Anda di halaman 1dari 22

IMUNISASI DIFTERI PERTUSIS TETANUS (DPT)

IMUNISASI DIFTERI PERTUSIS TETANUS (DPT)

PENGERTIAN IMUNISASI DPT

 Imunisasi adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap suatu penyakit
dengan cara memasukkan kuman atau produk kuman yang sudah dilemahkan atau
dimatikan kedalam tubuh. Dengan memasukkan kuman atau bibit penyakit tersebut
diharapkan tubuh dapat menghasilkan zat anti yang ada pada saatnya nanti digunakan
tubuh untuk melawan kuman atau bibit penyakit yang menyerang tubuh.

 Imunisasi adalah memasukkan vaksin kedalam tubuh untuk membuat zat anti untuk
mencegah penyakit.

 Vaksin adalah suatu bahan yang terbuat dari kuman, komponen kuman, atau racun
kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan. Vaksin difteria terbuat dari toksin
kuman difteri yang telah dilemahkan. Vaksin Tetanus yaitu toksin kuman tetanus
yang telah dilemahkan dan kemudian dimurnikan. Vaksin Pertusis terbuat dari kuman
Bordetella Pertusis yang telah dimatikan. Selanjutnya ketiga vaksin ini dikemas
bersama yang dikenal dengan vaksin DPT.

 Imunisasi DPT adalah upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit Difteri,
Pertusis, Tetanus dengan cara memasukkan kuman difteri, pertusis, tetanus yang telah
dilemahkan dan dimatikan kedalam tubuh sehingga tubuh dapat menghasilkan zat anti
yang pada saatnya nanti digunakan tubuh untuk melawan kuman atau bibit ketiga
penyakit tersebut (Markum, 2005).

 Imunisasi DPT (Diphteri, Pertusis dan Tetanus) merupakan imunisasi yang digunakan
untuk mencegah terjadinya penyakit difteri. Imunisasi DPT ini merupakan vaksin
yang mengandung racun kuman difteri yang telah dihilangkan sifat racunnya akan
tetapi masih dapat merangsang pembentukkan zat anti (toksoid). Frekuensi pemberian
imunisasi DPT adalah tiga kali, dengan maksud pemberian pertama zat anti terbentuk
masih sangat sedikit (tahap pengenalan) terhadap vaksin dan mengaktifkan organ-
organ tubuh membuat zat anti, kedua dan ketiga terbentuk zat anti yang cukup
(Alimul, 2008)

MANFAAT IMUNISASI DPT DASAR

 Salah satu upaya agar anak-anak jangan sampai menderita suatu penyakit adalah
dengan jalan memberikan imunisasi. Dengan imunisasi ini tubuh akan membuat zat
anti dalam jumlah banyak, sehingga anak tersebut kebal terhadap penyakit. Jadi
tujuan imunisasi DPT adalah membuat anak kebal terhadap penyakit Difteri, Pertusis,
Tetanus.

 Selain itu manfaat pemberian imunisasi DPT adalah :


1. Untuk menimbulkan kekebalan aktif dalam waktu yang bersamaan terhadap penyakit
difteri, pertusis (batuk rejan), tetanus.
2. Apabila terjadi penyakit tersebut, akan jauh lebih ringan dibanding terkena penyakit
secara alami.

 Secara alamiah sampai batas tertentu tubuh juga memiliki cara membuat kekebalan
tubuh sendiri dengan masuknya kuman-kuman kedalam tubuh. Namun bila jumlah
yang masuk cukup banyak dan ganas, bayi akan sakit. Dengan semakin
berkembangnya teknologi dunia kedokteran, sakit berat masih bisa ditanggulangi
dengan obat-obatan. Namun bagaimanapun juga pencegahan adalah jauh lebih baik
dari pada pengobatan (Markum, 2005).

JENIS-JENIS PENYAKIT YANG DAPAT DICEGAH DENGAN IMUNISASI DPT

Penyakit Difteri
Definisi

Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil,faring,laring, hidung,
adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit sertakadang-kadang konjunngtiva atau vagina. Timbulnya lesi
yang khas disebabkanoleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai
suatumembran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi.Tenggorokan
terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difterifaringotonsiler diikuti dengan kelenjar
limfe yang membesar dan melunak. Padakasus-kasus yang berat dan sedang ditandai dengan
pembengkakan dan oedema dileher dengan pembentukan membran pada trachea secara
ektensif dan dapatterjadi obstruksi jalan napas.Difteri hidung biasanya ringan dan kronis
dengan satu rongga hidung tersumbatdan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau
kolonisasi ) merupakankasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart
block dankegagalan jantung kongestif yang progresif,timbul satu minggu setelah gejalaklinis
difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapatdibedakan dari lesi
penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagiandari impetigo.(Kadun,2006)

Penyebab

Penyebab penyakit difteri adalah

Corynebacterium diphtheriae

. Berbentuk batanggram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman
sifatnyatidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxindifteri
ini, karena mempunayi efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Adatiga type variants dari

Corynebacterium diphtheriae

ini yaitu : type mitis, typeintermedius dan type gravis.

Corynebacterium diphtheriae
dapat dikalsifikasikandengan cara bacteriophage lysis menjadi 19 tipe.Tipe 1-3 termasuk tipe
mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas,
sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravisyang virulen.

Corynebacterium diphtheria ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat
ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaputmukosa.(Depkes,2007)

Gambar 1. Corynebacterium Difteriae

Cara Penularan

Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderitamaupun
sebagai carier.

Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderitapada masa inkubasi atau kontak dengan
carier

. Caranya melalui pernafasan atau

droplet infection

.Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak
masa inkubasi, sedangkan masa penularan

carier

bisa sampai 6bulan.Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. Ciri
khasdari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksiradang
lokal , dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darahputih sedang sel-
sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putihkeabu-abuan

(psedomembrane)

. Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah.Di bawah membran ini bersarang kuman
difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala dan
miyocarditis.
Penderita yang paling berat didapatkan pada difteri fauncial dan faringeal .(Depkes,2007)

Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:

1) Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidungdengan gejala hanya nyeri
menelan.
2) Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dindingbelakang
rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
3) Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi
seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahananggota gerak) dan nefritis
(radang ginjal).

Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakanpasien :

1) Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan ingusyang
bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus difteri. Bilatidak diobati akan
berlangsung mingguan dan merupakan sumber utamapenularan.
2) Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang akuttenggorokan,
demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat,tampak lemah, nafas
berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan tampak
membran berwarna putih keabu abuan kotor didaerah rongga mulut sampai dengan
dinding belakang mulut (faring).
3) Difteri laring (l a r y n g o t r a c h e a l d i p h t h e r i a e ) dengan gejala tidak bisabersuara,
sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajatcelsius, sangat lemah, kulit
tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher.Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat
karena bisa mengancam nyawapenderita akibat gagal nafas.

Gambar 2: Difteri Laring

Difteri kutaneus (cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupaluka mirip sariawan
pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrandiatasnya. Namun tidak seperti sariawan
yang sangat nyeri, pada difteri, lukayang terjadi cenderung tidak terasa apa apa.

Diagonosis
Pada penyakit difteri ini diagnosis dini sangat penting. Keterlambatan pemberianantitoksin
sangat mempengaruhi prognosa. Diagnosa harus ditegakakkanberdasarkan gejala klinik.Test
yang digunakan untuk mendeteksi penyakit Difteri boleh meliputi:

• gram Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk mengidentifikasiCorynebacterium


diphtheriae.

• Untuk melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding otot jantung) dapat di lakuka
dengan electrocardiogram (ECG).

Pengambilan smear dari membran dan bahan dibawah membran, tetapi hasilnyakurang dapat
dipercaya. Pemeriksaan darah dan urine, tetapi tidak spesifik.Pemeriksaan Shick test bisa
dilakukan untuk menentukan status imunitaspenderita.
Gejala Penyakit
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
1.Panas lebih dari 38 °C
2. Ada psedomembrane bisa di pharynx, laryng atau tonsil
3. Sakit waktu menelan
4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karenapembengkakan kelenjar leher

Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yangsakit waktu
menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah adapsedomembrane. Jika pada tonsil
tampak membran putih kebau-abuandisekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya
diambil sediaan (spesimen)berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.

Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang
diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakankelenjar getah
bening di leher sering terjadi.(Ditjen P2PL Depkes,2003)

Patogenesis

Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaputlendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampaike hidung, hidung akan meler.
Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan kepita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan
sehingga saluran udaramenyempit dan terjadi gangguan pernafasan.

Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau bendamaupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebarmelalui darah dan bisa menyebabkan
kerusakan jaringan di seluruh tubuh,terutama jantung dan saraf.

Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan.Penderita


mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu
ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai,
sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat
ringan, tampak sebagai kelainan ringanpada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan
menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung
secaraperlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk,
tak jarang difteri juga menyerang kulit.

Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaputyang terdiri
dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekatamandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek danberwarna abu-abu. Jika membran
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah. Membran inilah
penyebab penyempitan saluran udaraatau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat
saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.

Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang
dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan dilaboratorium.
Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibatpenyakit ini dilakukan pemeriksaan
dengan EKG. .(Ditjen P2PL Depkes,2003)

Komplikasi

Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah toksin,waktu
antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.

Komplikasi difteri terdiri dari :


1.Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus
2.Infeksi Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalan nafas
3.Infeksi Sistemik karena efek eksotoksin

Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjutmenjadi gagal
jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf penyebab gerakan tak
terkoordinasi. Kerusakan saraf bahkan bisa berakibatkelumpuhan, dan kerusakan ginjal.

Pencegahan dan Pengobatan

Setiap orang dapat terinfeksi oleh difteri,tetapi kerentanan terhadap infeksitergantung dari
pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga padakekebalannya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu
yang kebal akan mendapat kekebalanpasif, tetapi taka akan lebih dari 6 bulan dan pada umur 1
tahun kekebalannyahabis sama sekali. Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri tidak
selalumempunyai kekebalan abadi.

Paling baik adalah kekebalan yang didapat secaraaktif dengan imunisasi. Berdasarkan
penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan status imunisasi DPT dan DT yang tidak
lengkap beresiko menderita difteri 46.403 kali lebih besar daripada anak yang status imunisasi
DPT dan DT lengkap. Keberadaan sumberpenularan beresiko penularan difteri 20.821 kali lebih
besar daripada tidak adasumber penularan. Anak dengan ibu yang bepengetahuan rendah
tentangimunisasi dan difteri beresiko difteri pada anak-anak mereka sebanyak 9.826
kalidibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang imunisasi dan difteri. Status
imunisasi DPT dan DT anak adalah faktor yang paling dominandalam mempengaruhi
terjadinya difteri.(Kartono,2008)

Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus danpertusis
(DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selangpenyuntikan satu – dua bulan.
Pemberian imunisasi ini akan memberikankekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis
dan tetanus dalam waktubersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri
danbengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat penurunpanas .
Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi perludiulang pada saat usia
sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu DTsebanyak 1 kali. Sayangnya
kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun setelahimunisasi, sehingga orang dewasa
sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT)setiap 10 tahun sekali.

Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistemkekebalan mereka
atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi denganvaksin difteria dengan jadwal
yang sama.

Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada masyarakatterutama


kepada orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasiaktif diberikan kepada
bayi dan anak-anak. Dan perlu juga untuk menjagakebersihan badan, pakaian dan
lingkungan. Penyakit menular seperti difterimudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan
tingkat sanitasi rendah.Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus
menjagakebersihan lingkungan sekitar. Disamping itu juga perlu diperhatikan makananyang
kita konsumsi harus bersih. Jika kita harus membeli makanan di luar,pilihlah warung yang bersih. Jika
telah terserang difteri, penderita sebaiknyadirawat dengan baik untuk mempercepat
kesembuhan dan agar tidak menjadisumber penularan bagi yang lain. Pengobatan difteri
difokuskan untuk menetralkan toksin (racun) difteri dan untuk membunuh kuman
Corynebacteriumdiphtheriae penyebab difteri. Setelah terserang difteri satu kali, biasanya
penderitatidak akan terserang lagi seumur hidup.

Melihat bahayanya penyakit ini maka bila ada anak yang sakit dan ditemukangejala diatas maka harus
segera dibawa ke dokter atau rumah sakit untuk segeramendapatkan penanganan. Pasien
biasanya akan masuk rumah sakit untuk diopname dan diisolasi dari orang lain guna
mencegah penularan. Di rumah sakitakan dilakukan pengawasan yang ketat terhadap fungsi
fungsi vital penderitauntuk mencegah terjadinya komplikasi. Mengenai obat, penderita
umumnya akandiberikan antibiotika, steroid, dan ADS (Anti Diphteria Serum).

Perawatan umum penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi, bed rest : 2-3minggu,
makanan yang harus dikonsumsi adalah makanan lunak, mudah dicerna,protein dan kalori cukup,
kebersihan jalan nafas, pengisapan lendir.

Dengan pengobatan yang cepat dan tepat maka komplikasi yang berat dapatdihindari, namun
keadaan bisa makin buruk bila pasien dengan usia yang lebihmuda, perjalanan penyakit yang
lama, gizi kurang dan pemberian anti toksin yang terlambat.

Walaupun sangat berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya bisadicegah dengan cara menghindari
kontak dengan pasien difteri yang hasil lab-nyamasih positif dan imunisasi.

Pengobatan khusus penyakit difteri bertujuan untuk menetralisir toksin danmembunuh basil
dengan antibiotika ( penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin,Amoksisilin, Rifampicin, Klindamisin,
tetrasiklin).
Pengobatan penderita difteria ini yaitu dengan pemberian Anti Difteria Serum(ADS) 20.000 unit
intra muskuler bila membrannya hanya terbatas tonsil saja,tetapi jika membrannya sudah meluas diberikan
ADS 80.000-100.000 unit.Sebelum pemberian serum dilakukan sensitif test.

Antibiotik pilihan adalah penicilin 50.000 unit/kgBB/hari diberikan samapi 3 harisetelah


panas turun. Antibiotik alternatif lainnya adalah erythromicyn 30-40mg/KgBB/hari selama 14
hari.

Penanggulangan melalui pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis Tetanus )dimana vakisin
DPT adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan tetanusyang dimurnikan serta bakteri
pertusis yang telah diinaktifkan. Imunisasi DPTdiberikan untuk pemberian kekebalan secara
simultan terhadap difteri, pertusisdan tetanus, diberikan pertama pada bayi umur 2 bulan,
dosis selanjutnyadiberikan dengan interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan ). DPT
padabayi diberikan tiga kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya yaitu DT(Dipteri
Pertusis ) merupakan imunisasi ulangan yang biasanya diberikan padaanak sekolah dasa
kelas 1.(Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas,2005)

Seorang karier (hasil biakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala) dapatmenularkan
difteri, karena itu diberikan antibiotik dan dilakukan pembiakan ulang pada tenggorokannya.
Kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun setelah mendapatkan imunisasi,karena itu
orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster setiap 10 tahun.

http://www.scribd.com/doc/13758759/DIFTERI
Penyakit Pertusis
Pertusis atau Batuk Rejan adalah penyakit yang menyerang sistem pernafasan yang
disebabkan oleh bakteri yang hidup dimulut, hidung dan tenggorokan. Disebabkan oleh
kuman Bordetella Pertusis. Penyakit ini cukup parah bila diderita anak balita, bahkan dapat
berakibat kematian pada anak usia kurang dari 1 tahun.

Infeksi saluran pernafasan akut yang diuraikan dengan baik pada tahun 1500. Prevalensi
diseluruh dunia berkurang hanya karena imunisasi aktif. SYDENHAM yang pertama kali
menggunakan istilah pertusis (batuk kuat) pada tahun 1970 ; istilah ini lebih disukai dari
“Batuk Rejan(Whooping Cough)”, karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak
berteriak (Whoop=berteriak)

Pertusis (Batuk Rejan, Whooping Cough) adalah infeksi bakteri pada saluran pernafasan yang
sangat menular dan menyebabkan batuk yang biasanya diakhiri dengan suara pernafasan
dalam bernada tinggi (melengking). . Batuk akan berhenti setelah ada suara melengking pada
waktu menarik nafas, kemudian akan tampak letih dengan wajah yang lesu. Batuk semacam
ini terutama terjadi pada malam hari. Pertusis bisa terjadi pada usia berapapun, tetapi 50%
kasus ditemukan pada anak berumur dibawah 4 tahun. Serangan pertusis yang pertama tidak
selalu memberikan kekebalan penuh.

C. ETIOLOGI :

Penyebab pertusis atau batuk rejan adalah bordetella portusis atau hemophilus
pertusis, dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus gastrointesttimalis dan traktus
genitou rinorius penderita pertusis atau batuk rejan bersama-sama bordetella portusis atau
tanpa adanya berdetella. Bordetella portusis adalah suatu kuman kecil, tidak bergerak,

gram negatif dan didapatkan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring penderita
portusis atau batuk rejan, dan kemudian ditanam pada agar media border – gengou.
Bordetella pertusis banyak menyerang Negara Amerika, Denmark, Republik Ceko, Slovakia,
dan Rusia.

D. TANDA DAN GEJALA

Masa tunas 7 – 14 hari penyakit dapat berlangsung sampai 6 minggu atau lebih dan terbagi
dalam 3 stadium, yaitu :
ü 1. Stadium kataralis Lamanya 1 – 2 minggu

pada permulaan hanya berupa batuk-batuk ringan, terutama pada malam hari. Batuk-batuk
ini makin lama makin bertambah berat dan terjadi serangan dan malam. Gejala lainnya ialah
pilek, serak dan anoreksia. Stadium ini menyerupai influenza.

ü 2. Stadium spasmodik Lamanya 2 – 4 minggu

pada akhir minggu batuk makin bertambah berat dan terjadi paroksismal berupa batuk-batuk
khas. Penderita tampak berkeringat, pembuluh darah leher dan muka melebar. Batuk
sedemikian beratnya hingga penderita tampak gelisah Gejala – Gejala Masa inkubasi 5 – 10
hari. Pada awalnya anak yang terinfeksi terlihat seperti terkena flu biasa dengan hidung
mengeluarkan lendir, mata berair, bersih, demam dan batuk ringan. Batuk inilah yang
kemudian menjadi parah dan sering. Batuk akan semakin panjang dan seringkali berakhir
dengan suara seperti orang menarik nafas (melengking). Anak akan berubah menjadi biru
karena tidak mendapatkan oksigen yang cukup selama rangkaian batuk. Muntah-muntah dan
kelelahan sering terjadi setelah serangan batuk yang biasanya terjadi pada malam hari.
Selama masa penyembuhan, batuk akan berkurang secra bertahap.

ü 3.Stadium konvalesensi Lamanya kira-kira 4-6 minggu

Beratnya serangan batuk berkurang. Juga muntah berkurang, nafsu makan pun timbul
kembali. Ronki difus yang terdapat pada stadium spas,odik mulai menghilang. Infaksi
semacam “Common Cold” dapat menimbulkan serangan batuk lagi.

E. PATOFISIOLOGI :

Lesi biasanya terdapat di bronkus dan brontrolus, namun mungkin terdapat


perubahan-perubahan pada selaput lendir trakea laring dan nasofaring? Basil biasanya
bersarang pada silia opitel torak mukosis bagian besar dan tengah sel epitel terak, disertai
inflitrat neufrofil dan makrofag. Lendir yang terbentuk dapat menyambut bronkus kecil
hingga dapat menimbulkan emfisema dan atelektosis eksudasi dapat pula sampai ke alveolus
dan menimbulkan infeksi sekunder. Kelainan – kelainan paru ini dapat menimbulkan
bronkrektosis.

F. KOMPLIKASI

1.Alat Pernafasan Dapat terjadi otitis media (sering pada bayi), bronkitis,
bronkopneumania, atelektasis yang disebabkan sumbatan mukus, emfisema (dapat juga
terjadi emfisema mediastrum, leher kulit pada kasus yang berat, bronkrektasis, sedangkan
tuberkulosis yang sebelumnya telah ada dapat terjadi bertambah berat.

2.Alat Pencernaan Muntah-muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasi, prolaapsus


rektum atau hernia yang mungkin timbul karena tingginya tekanan intra abdominal, ulkus
pada ujung lidah karena lidah tergosok pada gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk,
stomatitis

5
3.Sususnan saraf Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat
muntah-muntah kadang-kadang terdapat kongesti dan edema otak. Mungkin pula terjadi
perdarahan otak

4.Lain -lain Dapat pula terjadi pendarahan lain seperti epistaksis dan perdarahan
subkonjungtiva.

G. TERAPI

Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksimal,untuk mengamati keparahan


batuk,member bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi,istirahat dan penyembuhan.
Bayi dengan kemungkinan pertusis mematikan mungkin tampak secara menyeluruh. Dalam
membuat keputusan antara perawatan rumah sakit dan rumah, paroksimal harus dilihat.
Hanya komplikasi dan rekaman analisis batuk yang teliti memungkinkan penilaian keparahan
dan penjelekan penyakit.

Pengisapan hidung,orofaring,atau trachea selalu mempercepat batuk, kadang-kadang


menyebabkan bronkospasme atau apnea dan tidak boleh dilakukan pada
program”pencegahan”.

Jika penderita waspada dan kekuatan di pertahankan paska episode batuk,pemberian makan
paling baik dilakukan dan dipertahankan selama periode refrakter batuk singkat ini.

Pemulangan dari rumah sakit tepat jika selama masa 48 jam keparahan penyakit tidak
berubah atau berkurang, tidak diperlukan intervensi selama paroksimal,nutrisi cukup,tidak
terjadi komplikasi dan orang tua cukup dipersiapkan untuk perawatan di rumah.

Dukungan keluarga mulai dengan empati karena pengalaman anak dan keluarga saat
ini,memindahkan beban tanggung jawab kehidupan anak pada tim,

perawatan kesehatan,dan menggambarkan penilaian dan pengobatan yang dilakukan.


Pendidikan keluarga,penarikan sebagai bagian dari tim,dan dukungan dilanjutkan sesudah
pulang sangat penting.

 Antibiotika
o Eritromisin dengan dosis 50 mg / kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis obat ini
menghilangkan bordetella pertusis dari nasofaring dalam 2 – 7 hari (rata-rata 3
– 6 hari) dan dengan demikian memperpendek kemungkinan penyebaran
infeksi. Eritromisin juga menggugurkan atau menyembuhkan portusis bila
diberikan dalam stadium kataralis. Mencegah dan menyembuhkan pneumania
dan oleh karena itu sangat penting dalam pengobatan pertusis khususnya pada
bayi muda.
o Ampisilin dengan dosis 100 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4
o Lain-lain : rovamisin, kontrimoksazol, kloramfenikal dan tetrasiklin
 .Imonoglobulin Belum ada persesuaian faham mengenai pemberian imonoglobuli
stadium kataralis, ada penelitian yang mengatakan pembrian imonoglobulin
menghasilkan pengurangan frekwensi efisode batuk poroksismal, tetapi ada pula yang
berpendapat bahwa imunoglobulin tidak faedah. Pemberian imunoglobulin pada
stadium paroksismal sama sekali tidak faedah.
 Eks pektoransia dan mukolitik
 .Kodein diberikan bila terdapat batuk-batuk yang hebat sekali
 .Luminal sebagai sedative

Vaksin DPT

Vaksin jerap DPT ( Difteri Pertusis Tetanus ) adalah vaksin yang terrdiri dari toxoid difteri
dan tetanus yang dimurnikan dan bakeri pertusis yang telah diinaktivasi.

Indikasi

Untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap pertusia. Cara pemberian dan dosis:

 Sebelum digunakan vaksin dikocok terlebih dahulu agar menjadi homogen.


 Disuntikan secara IM denagn dosis pemberian 0,5 ml sebanyak 3 dosis.
 Dosis pertama diberikan umur 2 bulan,dosis selanjutnya diberikan 1 bulan
 .Di unit pelayanan statis, vaksin DPT yang tekah dibuka hanya boleh digunakan 4
minggu

Efek Sampingnya

pnas Kebanyakan anak menderita panas pada sore hari setelah mendapat imunisasi DPT,
tetapi panas ini akan sembuh dalam 1-2 hari. Bila panas yang timbul lebih dari 1 hari sesudah
pemberian DPT, bukanlah disebabkan oleh vaksin DPT, mungkin ada infeksi lain yang perlu
diteliti lebih lanjut.

è Rasa sakit di daerah suntikan. Sebagian anak merasa nyeri, sakit, kemerahan, bengkak di
tempat suntikan. Bila hal tersebut terjadi setelah suntikan berarti ini disebabkan oleh suntikan
DPT. Hal ini perlu diberitahukan kepada ibu sesudah imunisasi serta meyakinkan ibu bahwa

keadaan itu tidak berbahaya dan tidak perlu pengobatan.

è PeradanganHal ini mungkin sebagai akibat dari: jarum suntik tidak steril, bisa karena
tersentuh tangan atau sterilisasi kurang lama ataupun sebelum dipakai menyuntik jarum
diletakkan di atas tempat yang tidak steril.

è Kejang-kejangAnak yang setelah pemberian vaksin DPT mengalami hal ini, tidak boleh
diberi vaksin DPT lagi dan sebagai gantinya diberi DT saja. Kontra indikasi. Gejala
keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala serius keabnormalan pada saraf
merupakan kontraindikasi pertussis. Anak yang mengalami gejala-gejala parah pada dosis
pertama, komponen pertussis harus dihindarkan pada dosis kedua dan untuk meneruskan
imunisasinya dapat diberikan DT. (Direktorat Jendral PPM & PL, Departemen Kesehatan RI)

STRATEGI

è meningkatkan kualitas pelayanan

è mengembangkan pelaksanaan program diseluruh unit pelayanan kesehatan

è meningkatkan kerja sama dengan semua pihak terkait

è meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat

è melaksanakan desentralisasi melalui titik berat manajemen program di kabupaten atau kota

è mengembangkan pelaksanan program melalui penelitian.

Kontraindikasi :

gejala-gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala serius keabnormalan
pada saraf merupakan kontraindikasi pertusis. Anak yang mengalami gejala-gejala parah
pada dosis pertama, komponen pertusis harus dihindarkan pada dosis kedua dan untuk
meneryskan iminisasi dapat diberikan DPT

http://ulkam.wordpress.com/2010/05/21/pertusis/

Penyakit Tetanus

DEFENISI

Tetanus yang juga dikenal dengan, merupakan penyakit yang disebakan oleh tetanospasmin, yaitu
sejenis neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani yang menginfeksi sistem urat saraf dan
otot sehingga saraf dan otot menjadi kaku (rigid). Kitasato merupakan orang pertama yang berhasil
mengisolasi organisme dari korban manusia yang terkena tetanus dan juga melaporkan bahwa
toksinnya dapat dinetralisasi dengan antibodi yang spesifik. Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani
yaitu tetanos dari teinein yang berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme
otot tonik dan hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya
punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang, dan paralisis pernapasan.
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani,
bermanifestasi dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan otot seluruh badan.
Kekuatan tonus otot massater dan otot-otot rangka.

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.

Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin.
Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani.

Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Dan pada tahun 1890, diketemukan toksin
seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang
mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan
dari tetanus. ( Nicalaier 1884, Behring dan Kitasato 1890 ).

Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena
terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum).

Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia hinggasaat ini masih relatif tinggi dibandingkan dengan
negara-negara tetangga. Meskipun menurut hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga selama dua
dekade terakhir bayi baru lahir yang meninggal akibat tetanus neonatorum (TN) menunjukkan
penurunan yang sangat berarti. Hal ini seiring dengan upaya jajaran kesehatan yang selalu
memberikan imunisasi kepada ibu hamil dan Wanita Usia Subur (WUS) yang dibarengi pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan.

Hal itu dikemukakan Sekertaris Jenderal Departemen Kesehatan Dr Dadi S Argadireja di sela-sela
penyerahan bantuan vaksin tetanus dan peralatan imunisasi dari pemerintah Jepang kepada
Indonesia senilai 140 juta Yen atau Rp 11,2 miliar yang diserahkan Wakil Duta besar Jepang untuk
Indonesia Mr Hideki Domichi di Jakarta.

“Bantuan berupa 736.540 vial vaksin Tetanus Toxoid (TT), 5.891.800 buah autodisable syringe dan
59.000 disposable boks untuk program imunisasi TT bagi 2.945.900 orang wanita usia subur (WUS) di
12 propinsi, yaitu Sumateran Utara, Tiau, Lampung, DKI Jakarta, Jawa tengah, Yogyakarta, Jawa
Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tangah, Bali, dan Nusa Tenggara Barat ini
dimaksudkan untuk mengurangi masih tingginya angka kematian bayi akibat tetanus, karena
persalinan yang kurang higienis,”kata Dadi.

Ditambahkannya, sejauh ini 9,8 persen dari sekitar 184.000 bayi baru lahir yang meninggal setiap
tahunnya disebabkan oleh tetanus neonatorum karena 60 persen persalinan tidak dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang terlatih, tetapi oleh dukun bayi yang belum mendapat pelatihan.
Untuk mempercepat pencapaian Eliminasi Tatatus Neonaturum (ETN) di Indonesia, Kata Sesjen
Depkes, telah dilakukan imunisasi TT kepada WUS di saerah risiko tinggi yang dimulai sejak tahun
1996. Dengan pemberian imunisasi TT sebanyak tiga dosis kepada semua WUS di daerah risiko
tinnggi tersegbut diperoleh kekebalan terhadap tetanus sekitar 10 tahun.

B. ETIOLOGI

Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping, berukuran 2-5 x 0,4-0,5 milimikro yang
berbentuk spora selama diluar tubuh manusia, tersebar luas di tanah dan mengeluarkan toksin bila
dalam kondisi baik.Termasuk golongan gram positif dan hidupnya anaerob. Kuman mengeluarkan
toksin yang bersifat neurotoksik. Toksin ini (tetanuspasmin) mula-mula akan menyebabkan kejang
otot dan saraf perifer setempat. Toksin ini labil pada pemanasan, pada suhu 65 C akan hancur dalam
lima menit. Disamping itu dikenal pula tetanolysin yang hemolisis, yang peranannya kurang berarti
dalam proses penyakit.

C. PATOGENESE

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada beberapa level dari susunan
syaraf pusat, dengan cara :

a. Tobin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan acethyl-choline


dari terminal nerve di otot.

b. Kharekteristik spasme dari tetanus ( seperti strichmine ) terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari
refleks synaptik di spinal cord.

c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglioside.

d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS ) dengan gejala :
berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia jantung, peninggian
cathecholamine dalam urine
Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi fungsi dari arcus
refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang otak.
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya aktifitas
dari neuron Yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter
adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak
hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis
sehingga timbul spasme otot yang khas .

Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:

1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa kekornu anterior
susunan syaraf pusat

2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk
kedalam susunan syaraf pusat.

D. PATHOLOGI

Toksin tetanospamin menyebar dari saraf perifer secara ascending bermigrasi secara sentripetal
atau secara retrogard mcncapai CNS. Penjalaran terjadi didalam axis silinder dari sarung parineural.
Teori terbaru berpendapat bahwa toksin juga menyebar secara luas melalui darah (hematogen) dan
jaringan/sistem lymphatic.

E. GEJALA KLINIS

Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa minggu ).

Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :

1. Localited tetanus ( Tetanus Lokal )

2. Cephalic Tetanus

3. Generalized tetanus (Tctanus umum)

Selain itu ada lagi pembagian berupa neonatal tetanus

Kharekteristik dari tetanus

• Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.

• Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya


• Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.

• Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.

Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme.

Otot masetter.

• Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )

• Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut mulut
tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .

• Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan

• Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.

• Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan
dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).

Ad 1. tetanus lokal (lokalited Tetanus)

Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat dimana luka
terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot
tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya
menghilang secara bertahap.

Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan
jarang menimbulkan kematian. Bisajuga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik
tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis
antitoksin.
Ad.2. Cephalic tetanus

Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 –2 hari, yang
berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala,
termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.

Ad.3 Generalized Tetanus

Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak dikenal beberapa
tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang
sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan
kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain
berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot
punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan
sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak tur dan
pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa
mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai
takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.

Ad.4. Neotal tetanus

Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan
persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik
oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan
untuk tali pusat yang telah terkontaminasi.

Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak
steril,merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.

Menurut penelitian E.Hamid.dkk, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.Pringadi Medan, pada tahun
1981. ada 42 kasus dan tahun 1982 ada 40 kasus tetanus. Biasanya ditolong melalui tenaga
persalianan tradisional ( TBA =Traditional Birth Attedence ) 56 kasus ( 68,29 % ), tenaga bidan 20
kasus ( 24,39 % ) ,dan selebihnya melalui dokter 6 kasus ( 7, 32 %) ). Berikut ini tabel. Yang
memperlihatkan instrument Untuk memotong tali pusat.

F. DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat, berupa :

1.Gejala klinik

Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile).

2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.

3. Kultur: C. tetani (+).

4. Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria.

G. DIAGNOSA BANDING

Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sular sekali dijumpati dari
pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan serebrospinal normal dan pemeriksaan darah
rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan SERUM aldolase sedikit meninggi
karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi, kekakuan otot-otot tubuh), risus
sardinicus dan kesadaran yang tetap normal.

H. PROGNOSIS

Prognosis tetanus diklassikasikan dari tingkat keganasannya, dimana :

1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )

2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum

3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.

Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih pendek atau pun lebih
panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa inkubasi, makin pendek
masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek.

Prognosa tetanus neonatal jelek bila:

1. Umur bayi kurang dari 7 hari

2. Masa inkubasi 7 hari atau kurang


3. Periode timbulnya gejala kurang dari 18 ,jam

4. Dijumpai muscular spasm.

I. KOMPLIKASI

Komplikasi pada tetanus yaang sering dijumpai: laringospasm, kekakuan otot-otot pematasan atau
terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia dan atelektase serta kompressi fraktur vertebra dan
laserasi lidah akibat kejang. Selain itu bisa terjadi rhabdomyolisis dan renal failure.

http://asuhankeperawatanonline.blogspot.com/2012/03/asuhan-keperawatan-anak-dengan-
tetanus.html

JADWAL PEMBERIAN IMUNISASI

 Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali, karena saat imunisasi pertama belum
memiliki kadar antibody protektif terhadap difteri dan akan memiliki kadar antibody
setelah mendapatkan imunisasi 3 kali dengan interval 4 minggu.

 Imunisasi DPT tidak boleh diberikan kepada anak yang sakit parah dan anak yang
menderita penyakit kejang demam kompleks. Jika tidak boleh diberikan pada anak
dengan batuk yang diduga mungkin sedang menderita batuk rejan. Bila pada suntikan
DPT pertama terjadi reaksi yang berat maka sebaiknya suntikan berikut jangan
diberikan DPT lagi melainkan DT saja (tanpa P).

 DPT biasanya tidak diberikan pada anak usia kurang dari 6 minggu, disebabkan
respon terhadap pertusis dianggap tidak optimal, sedangkan respon terhadap tetanus
dan difteri adalah cukup baik tanpa memperdulikan adanya antibody maternal
(Markum, 2005).

 Kekebalan terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus adalah dengan pemberian
vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan toksoid tetanus yang telah dimurnikan
ditambah dengan bakteri bortella pertusis yang telah dimatikan. Dosis penyuntikan
0,5 ml diberikan secara subkutan atau intramuscular pada bayi yang berumur 2-12
bulan sebanyak 3 kali dengan interval 4 minggu. Reaksi spesifik yang timbul setelah
penyuntikan tidak ada. Gejala biasanya demam ringan dan reaksi lokal tempat
penyuntikan. Bila ada reaksi yang berlebihan seperti suhu yang terlalu tinggi, kejang,
kesadaran menurun, menangis yang berkepanjangan lebih dari 3 jam, hendaknya
pemberian vaksin DPT diganti dengan DT. (Depkes RI, 2005).

EFEK SAMPING IMUNISASI DPT

 Kira-kira pada separuh penerima DPT akan terjadi kemerahan, bengkak dan nyeri
pada lokasi injeksi. Proporsi yang sama juga akan menderita demam ringan. Anak
juga sering gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca suntikan.
Kadang-kadang terdapat efek samping yang lebih berat seperti demam tinggi atau
kejang yang biasanya disebabkan oleh unsur pertusisnya (Markum, 2005).

 Efek samping pada DPT mempunyai efek ringan dan efek berat, efek ringan seperti
pembengkakan dan nyeri pada tempat penyuntikan dan demam, sedangkan efek berat
dapat menangis hebat kesakitan kurang lebih empat jam, kesadaran menurun, terjadi
kejang, ensefalopati, dan shock (Alimul, 2008).

http://dr-suparyanto.blogspot.com/2011/06/konsep-imunisasi-dpt.html

Anda mungkin juga menyukai