Anda di halaman 1dari 84

PROPOSAL

PENGARUH TERAPI BERMAIN CONGKLAK TERHADAP


TINGKAT STRESS ANAK PRASEKOLAH (3-6 TAHUN)
SELAMA HOSPITALISASI RUMAH SAKIT MELATI

OLEH:

SRI FITRIYANI

NIM: 211030121549

STIKes WIDYA DHARMA HUSADA TANGERANG

PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kuasa dan

karunia yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal yang

berjudul “Pengaruh Terapi Bermain Congklak terhadap Tingkat Stress Anak

Prasekolah (3-6 Tahun) sealama Hospitalisasi diRumah Sakit Melati”. Proposal

ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana

Keperawatan pada Program Studi S1 Ilmu keperawatan STIKes Widya Dharma

Husada Tangerang.

Dalam menyelesaikan Proposal ini penulis menyadari bahwa banyak mendapat

bantuan berupa bimbingan, arahan dan saran dari berbagai pihak. Untuk itu pada

kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada:

1. Dr (HC) Drs. H. Darsono selaku Ketua Yayasan Widya Dharma Husada

Tangerang.

2. Ns. Riris Andriati, S.Kep., M.Kep. selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Widya Dharma Husada Tangerang sekaligus sebagai pembimbing

3. Dr. Heri Priatna, MARS selaku Direktur RS Melati

4. Muhammad Zukfikar Adha, SKM.,M.KL, selaku Wakil Ketua 1 Bidang

Akademik Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Widya Dharma Husada

Tangerang.
5. Siti Novy Romlah, SST., M.Epid. selaku Wakil Ketua II Bidang Administrasi

dan Keuangan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Widya Dharma Husada

Tangerang.

6. Ida Listiana S.ST., M.Kes. selaku Wakil Ketua III Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Widya Dharma Husada Tangerang

7. Ns. Dewi Fitriani S.Kep., M.Kep. selaku Ketua Program Studi S1

Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Widya Dharama Husada

Tangerang.

8. Ns Heri Setiawan, S.Kep., M.Kep selaku Pembimbing II

9. Semua pihak yang telah mendukung dan membantu dalam penelitian ini.

Dengan berbagai keterbatasan dalam pembuatan Proposal ini, penulis menerima

kritik dan saran yang membangun guna perbaikan laporan penelitian ini.

Akhir kata semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan pada umumnya dan profesi

keperawatan khususnya.

Tangerang,

Sri Fitriyani

NIM. 211030121549
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hospitalisasi atau perawatan rawat inap merupakan proses yang

direncanakan atau darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal dirumah

sakit untuk menjalani terapi dan perawatan sampai anak dipulangkan ke

rumah (Kuswanto 2019). Anak-anak yang menjalankan hospitalisasi atau

perawatan rawat inap akan mengalami masalah sosial, psikologis dan

perkembangan disebabkan oleh diagnosa dan intervensi perawatan dan

perubahan lingkungan social (Mucuk and Cimke 2017). Selama anak

menjalani hospitalisasi banyak kejadian yang sering dialami anak dan

keluarga seperti perasaan trauma dan stress sehingga menimbulkan perasaan

cemas, marah, sedih, takut dan merasa bersalah (Safriani and Kurniawan

2018).

Berdasarkan data menurut Every Women Every Child tahun 2015 dari

200 juta anak di dunia 5,9 juta penyebab anak yang paling sering

mengeluhkan masalah kesehatan adalah karena penyakit infeksi seperti

pneumonia, diare, sepsis dan malaria sehingga secara global menyebabkan

25% anak-anak mengalami pertumbuhan terhambat. Pada tahun 2013-2018

data anak yang melakukan perawatan dengan penyakit seperti ISPA di

Afghanistan 62% anak yang dirawat, Coloumbia 64% anak yang dirawat dan

di Haiti 37% anak yang dirawat sedangkan penyakit seperti malaria di


Afghanistan 63% anak dirawat, Coloumbia 54%, dan di Haiti 40% anak yang

dirawat (World Health Organization et al. 2019).

Data kesehatan Indonesia 2021 menunjukan data kesehatan anak usia

<1 tahun 15,1%, 1-4 tahun terkena kasus campak 26,7%, 5-9 tahun 18,2%,

10-14 tahun 10,8% lebih dari 14 tahun 29,3%, kasus TB anak 0-14 tahun

9,7%, kasus pneumonia pada balita sebesar 31,4%, kasus diare pada semua

umur sebesar 33,6% dan pada balita sebesar 23,8% dan jumlah puskesmas

rawat inap selama lima tahun terakhir terus meningkat, yaitu sebanyak 3.459

unit pada tahun 2017, lalu meningkat menjadi 4.201 unit pada tahun 2021,

Puskesmas non rawat inap cenderung mengalami penurunan jumlah

puskesmasnya berdasarkan status pada tahun 2017, yaitu 6.366 dan pada

tahun 2021 sebanyak 6.091 (Profil Kesehatan Indonesia, 2021).

Data Susenas Maret 2021 menunjukkan sebanyak 11,75 persen anak

umur 0-17 tahun mempunyai keluhan kesehatan dan mengakibatkan

terganggunya kegiatan sehari-hari atau yang bisa disebut mengalami sakit.

Angka kejadian anak yang mengalami hospitalisasi tahun 2021 2,03%

mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, tahun 2019 yaitu 3,94%.

Angka rawat inap 0-17 tahun pada tahun 2019 3,84%, 2020 3,94% dan 2021

2,03%. Dan angka tertinggi rawat inap yaitu anak umur 0-4 tahun yaitu

4,47%, persentase anak umur 0-4 tahun di daerah perkotaan 5,20% yang

pernah rawat inap dalam setahun terakhir lebih besar daripada didaerah

perdesaan 3,52% (Profil Statistik Kesehatan, Dinkes Kota Tangerang 2021).

Dari anak 0-4 tahun yang pernah rawat inap, sebanyak 43,69 persen anak
umur 0-4 tahun pernah rawat inap di RS swasta, dan 30,81 persen pernah

rawat inap di RS pemerintah. Tempat rawat inap yang paling sedikit

digunakan oleh anak balita adalah praktik pengobatan tradisional/alternatif

yaitu hanya sebesar 0,02 persen (Profil Statistik Kesehatan, 2021).

Data pasien anak yang menjalani rawat inap pada bulan September

ada 158 anak. (Data register bulan September 2022 RS Melati)

Pada anak yang sedang menjalankan rawat inap dirumah sakit dapat

menimbulkan stress. Faktor yang menimbulkan stress ketika anak saat

menjalani hospitalisasi yaitu faktor lingkungan rumah sakit, faktor berpisah

dengan orang yang sangat berarti, faktor kurangnya informasi, faktor

kehilangan kebebasan dan kemandirian, faktor pengalaman yang berkaitan

dengan pelayanan kesehatan, faktor perilaku atau interaksi dengan petugas

rumah sakit (Hulinggi, 2018). Anak yang mengalami stress akan mengalami

gangguan perkembangan (Noviati et al, 2018). Stress yang dialami anak

mempengaruhi tingkat kesembuhan anak saat dirumah sakit. Stress yang

dirasakan seorang anak dapat memberikan efek negatif dalam perkembangan

hidup anak. Perubahan yang terjadi dapat berupa psikis atau fisik.

Dalam menurunkan tingkat stress pada anak hospitalisasi dapat

menggunakan terapi bermain. Terapi bermain merupakan terapi yang

diberikan pada anak yang mengalami kecemasan, ketakutan, dan mengenal

lingkungannya. Tujuan dari terapi bermain ini adalah menciptakan suasana

aman bagian akan untuk mengekspresikan diri mereka, memahami bagaimana

sesuatu dapat terjadi, mempelajari aturan social dan mengatasi masalah


mereka serta memberikan kesempatan bagi anak anak untuk berekspresi dan

mencoba sesuatu hal yang baru, selain itu dengan terapi bermain diharapkan

anak dapat melajutkan fase tumbuh kembangnya secara optimal,

mengembangkan kreativitas anak sehingga anak dapat beradaptasi lebih

efektif terhadap stress (Saputro, 2017).

Seiring dengan kemajuan teknologi, anak semakin menyukai bermain

dengan media gadget. Anak tidak mengenal lagi permainan tradisional.

Penggunaan teknologi modern seperti handphone, motor, televisi, dan

sebagainya yang dijadikan sebagai media bermain menjadi salah satu

penyebab bergesernya gaya hidup anak dari yang awalnya bergaya hidup

mandiri dan menjunjung tinggi nilai tradisional menjadi hedonis dan lebih

menyukai hal yang serba modern (Astuti, 2018).

Permainan tradisional memiliki nilai besar dalam menanamkan

pendidikan karakter pada anak. Permainan tradisional merupakan warisan

leluhur, mengandung nilai moral, dan ikut serta melestarikan budaya bangsa

(Syamsurrijal, 2020). Namun demikian terapi bermain dengan jenis

permainan tradisional belum diterapkan di rumah sakit. Jenis permainan yang

sering dilakukan dirumah sakit antara lain bola, puzzle, musik, play dough,

menggambar dan mewarnai. Permainan tradisional yang dapat dilakukan di

Rumah Sakit salah satunya adalah congklak. Permainan tradisional yang bisa

dimainkan oleh anak usia dini ini memiliki fungsi dalam mengembangkan

kemampuan dasar anak dan menstimulasi kecerdasan majemuk. Kemampuan

dasar yang dapat berkembang melalui permainan congklak yaitu kecerdasan


logika-matematika (KLM), kecerdasan interpersonal (Kinter), kecerdasan

intrapersonal (Kintra) (Saputra & Ekawati, 2017).

Studi pendahuluan di Rumah Sakit Melati tanggal 25 September

tahun 2022 dari 10 anak pasien anak yang menjalani rawat inap ada 8 anak

yang mengalami hospitalisasi yang mengalami stress, 3 stress berat umur 3-4

tahun, 2 stress sedang umur 5 tahun dan 3 pasien anak stress ringan umur 6

tahun. Pada tanggal 25-27 September 2022 dicoba melakukan terapi bermain

congklak setelah makan siang selama < lebih 15 menit dilakukan selama 3

hari, didapatkan hasil saat anak melihat perawat tidak lagi langsung

menangis, tidak memanggil nama orangtua dan tidak menarik diri setelah

dilakukan terapi bermain. Sehingga peneliti tertarik untuk membahas tentang

“Pengaruh Terapi Bermain Congklak terhadap Tingkat stress Anak

Prasekolah selama Hospitalisasi di Rumah Sakit Melati”

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

yang berjudul “Pengaruh Terapi Bermain Congklak terhadap Tingkat

Stress Anak Prasekolah (3-6 Tahun) selama Hospitalisasi di Rumah

Sakit Melati”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan masih banyaknya stress pada anak akibat hospitalisasi. Maka,

peneliti merumuskan dalam penelitian ini adalah “Apakah ada pengaruh

terapi bermain bermain congklak terhadap tingkat stress anak

prasekolah selama hospitalisasi dirumah sakit melati”.


C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian

sebagai berikut :

1. Bagaimana karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin, lama

perawatan, pengalaman perawatan ?

2. Bagaimana pengaruh perubahan tingkat stres anak selama hospitalisasi

sebelum dan sesudah diberikan terapi bermain congklak ?

3. Bagaimana perbedaan antara tingkat stres sebelum dilakukan terapi

bermain congklak dan sesudah dilakukam terapi bermain congklak ?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh terapi

bermain terhadap tingkat stres anak prasekolah (3-6 tahun) selama

hospitalisasi dirumah sakit melati

2. Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan usia, jenis

kelamin, diagnose medis, lama perawatan, pengalaman perawatan

dirumah sakit melati

2. Mengidentifikasi perubahan tingkat stres sebelum dan sesudah anak

selama hospitalisasi sebelum dan sesudah dilakukan terapi bermain

congklak
3. Mengidentifikasi bermain congklak pada anak yang di rawat di RS

melati.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti

Diharapkan peneliti mampu membuktikan secara ilmiah tentang

pengaruh terapi bermain congklak terhadap tingkat stres anak prasekolah

(3-6 tahun) selama hospitalisasi dirumah sakit melati.

2. Bagi responden

Memberikan informasi, pengetahuan dan keterampilan tentang

penanganan tingkat stres anak selama hospitalisasi bisa menggunakan

terapi bermain tradisional.

3. Bagi pelayanan Kesehatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan

dirumah sakit dan bisa menambahkan intervensi keperawatan untuk

mengurangi tingkat stress selama hospitalisasi

4. Bagi institusi Pendidikan

Mengembangkan teori dan meningkatkan pengetahuan bagi mahasiswa

STIKes Widya Dharma Husada Tangerang dan sebagai bahan

pertimbangan bagi mahasiswa yang akan dan sedang penelitian

keperawatan anak.
5. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi atau referensi

penelitian selanjutnya tentang tingkat stress anak selama hospitalisasi.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori

1. Konsep Anak Prasekolah

a. Pengertian Anak Prasekolah

Anak prasekolah merupakan anak yang berusia 3-6 tahun

yang memiliki kemampuan berinteraksi dengan sosial dan

lingkungannya sebagai tahap menuju perkembangan selanjutnya.

Anak prasekolah adalah anak yang berusia 3-6 tahun yang pada

masa ini anak memiliki kemampuan mengontrol diri, berinteraksi

dengan orang lain dan sebagai dasar menuju tahap perkembangan

selanjutnya, yaitu tahap sekolah (Astarani, 2017).

Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia 3 sampai 6

tahun, pada masa ini anak-anak senang berimajinasi dan percaya

mereka memiliki kekuatan.

b. Ciri-ciri Anak Prasekolah

Ciri-ciri anak prasekolah 3 sampai 6 tahun meliputi aspek fisik,

emosi, social dan kognitif anak (Oktiawati, dkk, 2017)

1) Ciri fisik anak prasekolah dalam penampilan maupun gerak

gerik prasekolah mudah dibedakan dengan anak yang berada

dalam tahapan sebelumnya anak sangat aktif, mereka telah


memiliki penguasaan terhadap tumbuhnya dan sangat

menyukai kegiaatan yang dilakukan sendiri, seperti

memberikan kesempatan kepada anak untuk lari, memanjat

dan melompat.

2) Ciri sosial anak prasekolah biasanya bersosialisasi dengan

orang disekitarnya. Biasanya mereka mempunya sahabat

yang berjenis kelamin sama. Kelompok bermain cendenrung

kecil dan tidak terlalu terorganisasi secara baik, oleh karena

itu kelompok tersebut cepat berganti-ganti. Anak menjadi

sangat mandiri, agresif secara fisik dan verbal.

3) Ciri emosional anak prasekolah yaitu cenderung

mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Sikap

marah sering diperlihatkan oleh anak usia tersebut, dan iri

hati sering terjadi. Mereka sering kali mempeributkan

perhatian guru.

4) Ciri kognitif anak prasekolah umunya telah terampil dalam

Bahasa. Sebagai besar dari mereka senang bicara, khususnya

dalam kelompoknya. Sebaikanya anak diberi kesempatan

untuk bicara. Sebagian mereka perlu dilatih untuk menjadi

pendengar yang baik.


c. Perkembangan Anak Usia Prasekolah

Perkembangan anak prasekolah menurut (Potts dan Mandleco,

2012 dalam Leni 2019) dibagi menjadi lima, yaitu :

1) Perkembangan fisik

Perkembangan fisik pada anak usia praskeolah

meliputi berat badan mengalami kenaikan pertahunnya

rata-rata 2 kg. kelihatan kurus akan tetapi aktivitas

motorik yang tinggi, dimana sistem tubuh sudah mencapai

kematangan seperti berjalan, melompat dan lain-lain. Pada

pertumbuhan khususnya ukuran tinggi badan anak akan

bertambah rat-rata 6-75 - 7,5 meter setiap tahunnya.

2) Perkembangan Motorik

Perkembangan motorik meliputi perkembangan

motorik kasar dan halus. Motorik kasar merupakan

gerakan fisik yang membutuhkan keseimbangan dan

koordinasi antar anggota tubuh, dengan menggunakan

otot-otot besar, sebagian atau seluruh anggota tubuh.

Motorik halus merupakan pengorganisasian penggunaan

otot-otot kecil seperti jari jemari dan tangan yang sering

menumbuhkan kecermatan dan koordinasi dengan tangan,

keterampilan yang mencakup pemanfaatan menggunakan

alat-alat untuk menggunakan suatu objek.


3) Perkembangan Psikososial

Pada usia 3 tahun sampai 6 tahun anak secara

normal telah menguasai rasa otonomi dan memindahkan

untuk menguasai rasa inisiatif. Perkembangan rasa

bersalah terjadi pada waktu anak dibuat merasa bahwa

imajinasi dan aktivitasnya tidak dapat diterima. Anak

prasekolah mulai menggunakan bahasa sederhana dan

dapat bertoleransi terhadap keterlambatan pemusatan

dalam periode yang lama.

4) Perkembangan Moral

Anak prasekolah berada pada tahap konvensional

pada tahap perkembangan moral yang berlangsung sampai

usia 10 tahun. Pada fase ini, kesadaran timbul dan

penekanannya pada kontrol eksternal. Standar moral anak

berada pada orang lain dan dia mengobservasi untuk

menghindari hukuman dan mendapatkan ganjaran.

5) Tugas Perkembangan Usia Prasekolah

Periode ini berasal sejak anak bergerah sambil

berdiri sampai mereka masuk sekolah, dicirikan dengan

aktivitas yang tinggi dan penemuan-penemuan. Periode ini

merupakan saat perkembangan fisik dan kepribadian yang

besar. Perkembangan motorik berlangsung terus menerus.

Pada usia ini, anak membutuhkan bahasa dan hubungan


sosial yang lebih luas, mempelajari standar peran,

memperoleh kontrol dan penguasaan diri, semakin

menyadari sifat ketergantungan dan kemandirian dan

mulai membentuk konsep diri.

2. Konsep Hospitalisasi

a. Pengertian Hospitalisasi

Hospitalisasi adalah suatu proses karena alasan maupun

darurat yang mengharuskan anak dirawat atau tinggal dirumah

sakit untuk mendapatkan perawatan yang dapat menyebabkan

bebrapa perubahan psikis pada anak. Hospitalisasi dan penyakit

sering kali menjadi krisis pertama yang harus dihadapi anak. Anak

sangat rentang terhadap krisis hospitalisasi dan penykait karena

stress akibat perubahan dari keadaan sehat biasa dan rutinitas

lingkungan dan anak memiliki jumlah mekanisme koping yang

terbatas untuk menyelesaikan stressor. Stress utama dari

hospitalisasi adalah perpisahan, kehilangan kendali. Reaksi anak

tersebut dipengaruhi oleh usia perkembangan mereka, pengalaman

mereka sebelumnya dengan penyakit, perpisahan atau hospitalisasi

(Oktiawati, dkk, 2017).


b. Faktor yang Mempengaruhi Reaksi Anak Prasekolah

Terhadap Sakit dan Hospitalisasi

Menurut (Oktiawati, dkk, 2017) faktor yang mempengaruhi reaksi

anak prasekolah terhadap sakit dan hospitalisasi sebagai berikut :

1) Perkembangan Usia

Reaksi anak terhadap sakit berbeda-beda sesuai tingkat

perkembangan anak. Pada anak usia prasekolah reaksi

perpisahan adalah kecemasan karena berpisah dengan orang tua

dan kelompok sosialnya. Pasien anak usia prasekolah umunya

takut pada dokter dan perawat.

2) Pengalaman Dirawat di Rumah Sakit Sebelumnya

Apabila anak pernah mengalami pengalaman tidak

menyenangkan dirumah sakit sebelumnya akan menyebabkan

anak takut dan trauma. Sebaliknya apabila anak dirawat

dirumah sakit mendapatkan perawatan yang baik dan

menyenangkan anak akan lebih kooperatif pada perawat dan

dokter.

3) Support Sistem yang Tersedia

Anak mencari dukungan dari orang lain melepaskan

tekanan akibat penyakit yang dideritanya. Anak biasanya akan

meminta dukungan kepada orang tua atau saudaranya. Perilaku

ini biasanya ditandai dengan permintaan anak untuk ditunggui


selama dirawat dirumah sakit, didampingi saat dilakukan

Tindakan keperawatan, minta dipeluk saat merasa takut dan

cemas bahkan saat merasa kesakitan.

c. Reaksi terhadap hospitalisasi

Perawatan anak dirumah sakit memaksakan untuk berpisah

dari lingkungan yang dirasakan aman. Penuh kasih sayang dan

menyenangkan, yaitu lingkungan rumah, permainan dan teman

sebayanya. Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukan anak ialah

dengan menolak makan, sering bertanya, menangis walaupun

perlahan dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan,

perawatan dirumah sakit juga membuat anak kehilangan kontrol

dirinya. Biasanya perawatan yang dilakukan dirumah sakit

mengharuskan anak membatasi aktivitas sehingga anak kehilangan

kekuatan diri dan menimbulkan reaksi agresif dengan marah dan

berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata marah,

tidak mau bekerja sama dengan perawat dan ketergantungan

terhadap orang tua (Oktiawati, dkk, 2017).

Reaksi yang timbul akibat hospitalisasi meliputi:

1) Reaksi anak

Secara umum, anak lebih rentan terhadap efek penyakit dan

hospitalisasi karena kondisi ini merupakan perubahan dari status

kesehatan dan rutinitas umum pada anak.


Hospitalisasi menciptakan serangkaian peristiwa traumatik dan

penuh kecemasan dalam iklim ketidakpastian bagi anak dan

keluarganya, baik itu merupakan prosedur elektif yang telah

direncanakan sebelumnya ataupun akan situasi darurat yang

terjadi akibat trauma. Selain efek fisiologis masalah kesehatan

terdapat juga efek psikologis penyakit dan hospitalisasi pada

anak (Kyle & Carman, 2015), yaitu sebagai berikut :

a) Ansietas dan kekuatan

Bagi banyak anak memasuki rumah sakit adalah seperti

memasuki dunia asing, sehingga akibatnya terhadap

ansietas dan kekuatan. Ansietas seringkali berasal dari

cepatnya awalan penyakit dan cedera, terutama anak

memiliki pengalaman terbatas terkait dengan penyakit dan

cidera.

b) Ansietas perpisahan

Ansietas terhadap perpisahan merupakan kecemasan utama

anak di usia tertentu. Kondisi ini terjadi pada usia sekitar 8

bulan dan berakhir pada usia 3 tahun.

c) Kehilangan kontrol

Ketika dihospitalisasi, anak mengalami kehilangan kontrol

secara signifikan.

2) Reaksi orang tua


Krisis penyakit dan hospitalisasi pada masa anak-anak

mempengaruhi setiap anggota keluarga inti. Reaksi orang tua

terhadap penyakit anak mereka bergantung pada keberagaman

faktor yang mempengaruhinya. Meskipun faktor-faktor yang

paling mungkin mempengaruhi respons mereka tidak dapat

diprediksi, tetapi sejumlah variable terlah berhasil diidentifikasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi orang tua terhadap

penyakit anak :

a) Keseriusan ancaman terhadap anak

b) Pengalaman sebelumnya dengan sakit anak atau

hospitalisasi

c) Prosedur medis yang terlibat dalam diagnosis dan

pengobatan

d) System pendukung yang ada

e) Kekuatan ego pribadi

f) Kemampuan koping sebelumnya

g) Stress tambahan pada system keluarga

h) Keyakinan budaya dan agama

i) Pola komunikasi diantara anggota keluarga

Hampir semua orang tua berespon terhadap penyakit dan

hospitalisasi anak dengan reaksi yang luar biasa. Pada

awalnya orang tua dapat bereaksi dengan tidak percaya,

terutama jika penyakit tersebut muncul tiba-tiba dan serius.


Setelah realisasi penyakit orang tua bereaksi dengan marah

atau merasa bersalah atau keduanya. Mereka dapat

menyalahkan diri mereka sendiri atas penyakit anak tersebut

atau marah pada orang lain beberapa kesalahan. Bahkan

pada kondisi penyakit anak yang paling ringan sekalipun,

orang tua dapat mempertanyakan kelayakan diri mereka

sendiri sebagai pemberi perawatan dan membahas kembali

segala tindakan atau kelalaian yang dapat mencegah atau

menyebabkan penyakit tersebut. Jika hospitalisasi

diindikasikan, rasa bersalah orang tua semakin menguat

karena orang tua merasa tidak berdaya dalam mengurangi

nyeri fisik dan emosi anak.

Takut, cemas dan frustasi merupakan perasaan yang banyak

diungkapkan oleh orang tua. Takut dan cemas dapat

berkaitan dengan keseriusan penyakit dan jenis prosedur

medis yang digunakan. Sering kali kecemasan yang paling

besar berkaitan dengan trauma dan nyeri yang terjadi pada

anak. Perasaan frustasi sering berhubungan dengan

kurangnya informasi tentang prosedur dan pengobatan,

ketidaktahuan tentang aturan dan peraturan rumah sakit,

rasa tidak diterima oleh petugas atau takut mengajukan

pertanyaan. Frustasi di unit pediatrik dapat dikurangi jika

orangtua mengetahui apa yang akan terjadi dan apa yang


diharapkan dari mereka, dianjurkan untuk berpatisipasi

dalam perawatan anak dan dianggap sebagai contributor

paling utama terhadap kesembuhan total anak.

Orang tua akhirnya dapat bereaksi dengan beberapa tingkat

depresi. Depresi biasanya terjadi ketika krisis akut yang

sempurna. Ibu sering mengungkapkan perasaan kelelahan

fisik dan mental setelah semua anggota keluarga beradaptasi

dengan kritis. Orangtua dapat juga merasa khawatir dan

merindukan anak-anak mereka yang lain, yang mungkin

ditinggalkan dalam perawatan keluarga, teman atau

tetangga. Alasan lain untuk cemas dan depresi berkaitan

dengan kekhawatiran akan masa depan anak, termasuk

dampak negative dari hospitalisasi dan beban keuangan

akibat hospitalisasi tersebut.

3) Reaksi saudara kandung (sibling)

Reaksi saudara kandung terhadap anak yang sakit dan dirawat di

rumah sakit adalah kesiapan, ketakutan, khawatiran, marah,

cemburu, benci, iri dan merasa bersalah. Berbagai faktor telah

diidentifikasi mempengaruhi dampak hospitalisasi anak pada

sibling. Faktor-faktor terkait yang berhubungan secara spesifik

dengan pengalaman rumah sakit dan ternyata meningkatkan

dampak pada sibling :

a) Berusia lebih muda dan mengalami banyak perubahan


b) Dirawat di luar rumah oleh pengasuh yang bukan kerabat

c) Menganggap orangtua memperlakukan mereka secara

berbeda dibandingkan sebelum hospitalisasi sibling mereka.

Simon (1993) telah menyatakan pada 45 sibling dari anak-

anak yang hospitalisasi tentang persepsi mereka terhadap

stress akibat hospitalisasi saudaranya. Persepsi sibling

tentang stress yang mereka alami sama tingkatannya dengan

stress anak yang dihospitalisasi.

4) Perubahan peran keluarga

Selain dampak perpisahan terhadap peran keluarga, kehilangan

peran orang tua dan sibling. Hal ini dapat mempengaruhi setiap

anggota keluarga dengan cara yang berbeda. Salah satu reaksi

orang tua yang paling banyak adalah perhatian khusus dan

intensif terhadap anak yang sedang sakit. Anak-anak yang

lainnya biasanya menganggap hal ini sebagai sesuatu yang tidak

adil dan menginterprestasikan sikap orang tua terhadap mereka

sebagai penolakan. Meskipun respons-respons semacam itu

biasanya tidak disadari dan tidak diinginkan, hal tersebut

menimbulkan beban pada anak yang sedang sakit. Misalnya,

anak yang sedang sakit merasa harus menjalani peran sakit

untuk memenuhi harapan orangtua, terutama anak-anak yang

memiliki kemampuan fisik yang terbatas dan baru saja

memperoleh kembali status kesehatannya, seperti pasca bedah


jantung korektif. Orangtua mungkin tidak dapat menerima

pemulihan anak sehingga meneruskan pola terlalu melindungi

dan perhatian yang memanjakan.

Anak yang sakit juga merasa iri dan kesal dengan saudaranya.

Karena posisi mereka yang istimewa dalam keluarga mereka

bisa saja menyangkal kehadiran saudaranya. Persaingan antara

sibling cenderung lebih besar pada anak sakit. Tanpa

pemahaman dinamika interpersonal diantara sibling, orangtua

cenderung menyalahkan anak yang sehat karena perilaku

antisosial tersebut. Penyakit dapat juga menyebabkan anak-anak

kehilangan statusnya baik dalam keluarga maupun kelompok

social. Sebagai contoh, penyakit pada anak-anak yang lebih

besar dapat sementara menghentikan hak istimewa sebagai anak.

d. Dampak Hopitalisasi

Menurut Saputro dan Fazrin (2017) dampak hopitalisasi

digolongkan menjadi dua, yaitu :

1. Dampak Jangka Pendek

Hospitalisasi menimbulkan stressor dipicu oleh penyakit

pasien sehingga gangguan emosional kecemasan dan ketakutan

yang akan membuat anak melakukan penolakan terhadap

tindakan medis serta pengobatan yang diberikan tenaga

kesehatan, sehingga berpengaruh terhadap lamanya hari


perawatan dan memperberat penyakit anak. Keluarga pasien

anak yang mengalami stress dapaty disebabkan beberapa

alasan meliputi penyebab penyakit, pengobatan dari penyakit,

rasa bersalah tentang penyakit, pengalaman sakit dan rawat

inap dimasa lalu, perawatan kesehatan jangka Panjang anak,

dampak keuangan rawat inap.

2. Dampak Jangka Panjang

Jika tidak segera ditangani dampak jangka Panjang

hospitalisasi menyebabkan kesulitan dan kemampuan yang

buruk, memiliki gangguan bahasa dan perkembangan kognitif,

menurunnya kemampuan intelektual dan social serta fungsi

imun (Saputro & Fazrin, 2017). Respon fisiologis yang muncul

yaitu palpitasi, denyut jantung meningkat, perubahan pola

nafas menjadi semakin cepat. Respon psikologis anak terhadap

kecemasan yang dapat menimbulkan yaitu gangguan

kecemasan akibat perpisahan akan menunjukan ketegangan

fisik, gelisah, kelelahan, sulit berkonsentrasi dan mudah

marah. Selain itu juga anak akan tremor, terkejut, bicara cepat,

kurang koordinasi, menarik diri, melarikan diri dari masalah,

menghindar (Saputo & Fazrin, 2017).

e. Keuntungan Hospitalisasi
Meskipun hospitalisasi dapat dan bisanya menimbulkan stress bagi

anak-anak, tetapi hospitalisasi juga dapat bermanfaat. Manfaat

paling nyata adalah pulih dari sakit, tetapi hospitalisasi juga dapat

memberi kesempatan pada anak-anak untuk mengatasi stress dan

merasa kompeten dalam kemampuan koping mereka. Lingkungan

rumah sakit dapat memberikan pengalaman sosialisasi baru bagi

anak yang dapat memperluas hubungan interpersonal mereka.

Manfaat psikologis perlu dipertimbangkan dan dimaksimalkan

selama hospitalisasi.

f. Mempersiapkan Anak Mendapatkan Perawatan di Rumah

Sakit

Pada tahapan sebelum anak masuk rumah sakit jalani rawat inap

dan setelah anak pulnag dari rumah sakit, bberapa hal dibawah ini

dapat dilakukan :

1) Menyiapkan ruang gawat darurat sesuai dengan tahapan usia

anak dan jenis penyakit yang dialami anak dengan peralatan

medis yang diperlukan.

2) Menginterpretasikan rumah sakit kepada anak menggunakan

miniature bangunan rumah sakit saat 1 hingga 2 hari sebelum

anak dirawat, dapat dilakukan apabila anak harus dirawat

secara bersamaan.
Perawat anak dapat memberikan edukasi kepada orangtua pada

hari pertama anak menjalani rawat inap juga dapat dilakukan hal-

hal berikut :

1) Memperkenalkan staff tenaga medis yang bertugas merawat

anak diruangan anak dirawat yaitu dokter dan perawat.

2) Memberikan orientasi pada orangtua dan anak tentang rumah

sakit dan ruangan yang akan digunakan beserta fasilitasnya.

3) Melibatkan orangtua berperan aktif dalam perawatan dimana

mengizinkan orangtua atau keluarga untuk tetap tinggal

bersama anak selama 24 jam untuk mempertahankan kontak

batin diantara mereka.

4) Memodifikasi lingkungan ruang rawat inap anak dirumah sakit

sehingga anak tidak merasa asing dengan lingkungan baru.

5) Memperkenalkan pasien anak dalam satu kamar yang menjadi

teman sekamarnya.

6) Memebrikan identitas kepada anak, berupa papan nama di

bedrail dan gelang tangan pasien.

7) Menjelaskan aturan rumah sakit yang berlaku dan operasional

jadwal anak selama diberikannya tindakan perawatan.

3. Konsep Stress Hospitalisasi

a. Pengertian Stress Hospitalisasi


Stress adalah suatu kondisi dimana terjadinya

ketidakseimbangan antara tuntutan lingkungan dan sumber

koping individu (Masten et al, dalam wong 2008). Stress

merupakan suatu kondisi yang dapat mempengaruhi segala

dimensi yang ada dalam kehidupan individu (Potter & Perry,

2005). Stress dapat timbul karena persepsi atau pengalaman

individu terhadap perubahan yang terjadi dalam kehidupannya.

Stress hospitalisasi adalah suatu kondisi dimana adanya

tekanan, perubahan dan ketegangan emosi akibat proses

perawatan dan tindakan medis di rumah sakit. Adanya tuntutan

untuk beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit ditambah

dengan penyakit yang sedang dialami dan kemampuan koping

dalam mengatasi masalah akan mempengaruhi tingkat stress yang

dialami individu.

Stress hospitalisasi merupakan pengalaman tidak

menyenangkan karena hospitalisasi menyangkut interaksi antara

individu yang sakit dan lingkungan baru, yang menyebabkan

ketidaksesuaian individu yang disertai adanya perubahan tingkah

laku (Saputro & Fazrin, 2017).

Keadaan stress yang dirasakan menimbulkan usaha extra

dan penyesuaian baru, jika berlanjut kurun waktu yang lama akan

melelahkan pertahanan individu sebagai reaksi fisik dan psikis

berupa perubahan gastrointestinal (Saputro & Fazrin, 2017).


b. Tanda dan Gejala Stress

Menurut Lazarus & Folkman, 1984 dalam Rafika (2020) tanda

dan gejala stress dapat dibagi menjadi empat, yaitu :

1) Aspek Fisiologis

Stress adalah objektif, lebih mudah di identifikasi dan secara

umum dapat diamati atau diukur akan tetapi tidak selalu

teramati sepanjang waktu pada semua klien yang mengalami

stress dan dampak tersebut bervariasi menurut individunya.

Stress fisiologis adalah kenaikan tekanan darah, peningkatan

ketegangan otot di leher, bahu, punggung, peningkatan denyut

nadi dan frekuensi pernafasan, telapak tangan berkeringat,

tangan dan kaki dingin, postur tubuh yang tidak tegap,

keletihan, sakit kepala, gangguan lambung, mual, muntah,

diare, perubahan nafsu makan serta berat badan, perubahan

frekuensi berkemih atau hilangnya control sfringter, gelisah

(Potter & Perry, 2005 dalam Rafika, 2020).

2) Aspek Psikologis

Berbeda dengan indicator fisiologis, pada indicator psikologis

dikaji dengan cara mengamati perilaku dan emosi pasien

secara langsung maupun tidak langsung. Reaksi stress

berkepanjangan dapat dilakukan dengan memeriksa gaya hidup


dan stressor terakhir, pengalaman terdahulu dengan stressor,

mekanisme koping yang berhasil dilakukan dimasa lalu. Stress

psikologis berupa ansietas, depresi, perubahan dalam

kebiasaan makan, sulit untuk tidur atau sering terbangun saat

tidur dan pola aktivitas menurun, kelelahan mental, kehilangan

motivasi, ledakan emosional, mudah lupa, pikiran buntu,

kehilangan perhatian terhadap hal-hal rinci, sulit

berkonsentrasi, kehilangan minat untuk belajar dan bermain

(Potter & Perry, 2005 dalam Rafika, 2020).

3) Aspek Emosional

Anak yang menjalani hospitalisasi kemudian mengalami stress

maka timbul marah, sedih, murung dan cemas dimana dapat

terjadi gangguan emosional yang ditimbulkan pada individu.

Aspek emosional ialah bentuk negative atau hal tidak

menyenangkan yang dirasakan oleh anak.

4) Aspek Tingkah Laku

Aspek tingkah laku pada anak yang timbul sebab stress

hopitalisasi meliputi menangis berlebihan, menolak makan dan

agresif. Gangguan perilaku yang bermacam-macam akan

timbul jika anak tersebut tidak mempunyai daya adaptasi untuk

mengatasi stress yang dialaminya.

c. Tingkat Stress Hospitalisasi


Menurut Potter & Perry (2005) dalam Restina (2018) terdapat

tiga tingkatan situasi stress yaitu :

1) Stress Ringan

Dimana stressor yang dihadapi bersifat umum dan teratur

serta tidak merusak aspek fisiologis. Umumnya stress

ringan tidak mengakibatkan timbulnya masalah kesehatan,

tetapi jika terjadi banyak stressor ringan dalam waktu yang

singkat maka dapat meningkatkan timbulnya masalah

kesehatan.

2) Stress Sedang

Dimana stress sedang merupakan berkelanjutan dari stress

ringan yang tidak teratasi. Semakin tinggi dan lama situasi

stress, maka semakin tinggi pula resiko terjadinya masalah

kesehatan.

3) Stress Berat

Dimana stress berat atau kronis merupakan berkelanjutan

stress sedang yang tidak teratasi dan merusak aspek

fisiologis sehingga menimbulkan terjadinya masalah

kesehatan. Stress yang berlebihan dapat mengganggu

hampir setiap sistem dalam tubuh.

d. Stressor dan Reaksi Anak terhadap Hospitalisasi


menurut James dkk, (2011) dalam Rafika (2020) stressor dan

reaksi yang terjadi pada anak usia prasekolah dalam

menghadapi penyakit pacsa hospitalisasi sebagai berikut :

1) Kecemasan Perpisahan

Menurut D. L Wong dkk (2008), dalam Rafika (2020),

respon utama pada anak terhadap kecemasan akan

perpisahan terbagi menjadi tiga fase meliputi fase protes,

fase putus asa dan fase detasemen.

a) Fase Protes

Pada tahap ini ciri khas yang ditunjukan yaitu reaksi

agresif, menangis, berteriak memanggil orangtua,

menolak perhatian dari orang lain, serta ketika anak

alami kesedihan, mereka tidak dapat ditenangkan atau

sangat sulit dikendalikan. Selama fase protes dapat

diobservasi yaitu memeohon orangtua dapat tinggal

disisinya, menahan orangtua dan mencari orangtua

jika ditinggal pergi. Selain itu anak menunjukan

reaksi tidak senang pada orangtuanya yang datang

kembali setelah mneinggalkannya (sikap temper

tantrum), menolak lakukan kegiatan harian dan

bahkan jika terus dibiarkan anak akan mengalami

regresi ke tingkat perkembangan yang bahkan jauh

lebih buruk. Sikap anak protes dengan cara


menangiskan berhenti apabila anak lelah menangis

dan pendekatan orang asing dapat mencetuskan

peningkatan stress.

b) Fase Putus Asa

Berlanjut pada fase putus asa ciri khasnya adalah

tangisan mulai brehenti dan muncul depresi akibat

keputusan, kesedihan. Anak-anak menjadi tidak aktif,

menarik diri dengan orang asing, sedih, tidak tertarik

untuk bermain dan makan, tidak tertarik dengan

lingkungan, bersikap apatis dan regresi atau mundur

ke perilaku awal (mengompol). Anak usia prasekolah

dihadapkan pada tumbuh kembang usia mereka yaitu

autonomi. Selama anak dirawat, akan banyak

pembatasan keinginan-keinginan anak yang dimana

mengakibatkan anak menjadi stress.

c) Fase Detasemen

Tahap terakhir ini juga disebut fase penyangkalan

atau penyesuaian diri. Fase detasemen tidak umum

terjadi dan hanya terjadi setelah perpisahan yang lama

dari orangtua maupun wali (beberapa hari bahkan

minggu) sehingga anak mulai beradaptasi baik dengan

lingkungannya, mulai dapat diajak bermain kembali

dengan orang lain. Ciri khas fase ini ditandai dengan


adanya peningkatan minat anak terhadap lingkungan

sekitar, mulai lakukan interaksi dengan orang asing

atau tenaga kesehatan pemberi asuhan yang

dikenalkannya maka mampu membentuk hubungan

interpersonal.

2) Takut akan cedera dan rasa sakit

Kondisi takut akan cedera dan rasa sakit pada anak

prasekolah dapat dengan mudah diperlihatkan pada saat

tenaga medis melakukan pemeriksaan telinga, mulut atau

suhu tubuh. Reaksi anak usia 3-6 tahun masih terbayang-

bayang oleh perasaan takut dengan tindakan yang

semestinya tidak menyakitkan sama sekali namun bagi

mereka tindakan tersebut terasa menyakitkan. Rasa takut

dominan terjadi pada prosedur yang dapat menyebabkan

rasa sakit seperti suntikan, pengambilan sample darah atau

tes darah sebab anak usia 3 tahun telah mampu

berkomunikasi rasa nyeri yang dialami dengan

menunjukan lokasi nyeri. Keterbatasan kemampuan anak

usia 3 tahun belum berkembang baik dalam

menggambarkan bentuk dan intensitas nyeri. Anak

bereaksi terhadap rasa nyeri dengan menggigit bibir,


wajah menyeringai, menangis, membuka mata dengan

lebar atau melakukan tindakan agresif lain.

3) Kehilangan Kendali

Hospitalisasi anak akan memunculkan kehilangan kendali

yang dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya

perpisahan dengan orangtua, adanya pembatasan aktivitas

fisik, perubahan rutinitas atau ketergantungan. Beberapa

anak akibat penyakit tertentu yang mengharuskan dirinya

mengalami imobilisasi ketempat tidur atau sebatas

beraktivitas di kamar saja, yang mengakibatkan stress

hospitalisasi dimana dapat mengganggu perkembangan

social dan motoriknya. Namun. Dari segi kemampuan

kognitif dapat membentuk anak menjadi diluar kendali.

Pemeriksaan medis yang dilakukan tenaga medis yang

bersifat kaku dan monoton membuat anak harus tetap

berbaring ditempat tidur membuat suatu pengalaman yang

penuh tekanan.

Anak sangat menyukai melakukan rutinitas familier

contohnya bermain, maka jika tidak diizinkan untuk

mempertahankan bebrapa area kontrol mereka mungkin

akan menunjukan beberapa regresi. Lingkungan fisik

rumah sakit yang tidak dikenal mungkin dinilai berbahaya

dan menuntut anak, sehingga menyebabkan stress.


Keadaan seperti kamar dengan beberapa tempat tidur

dapat berkontribusi pada hilangnya privasi dan control

pribadi, pencahayaan, kebisingan, bau alat-alat medis

dirumah sakit (Larsen, Larsen, & Birkelund, 2013 dalam

Andrade & Devlin, 2018). Interpretasi anak yang keliru

atau pemahaman yang kurang tepat terhadap selama

dirawat dirumah sakit akibat kurangnya informasi yang

diterima keluarga. Peran perawat dibutuhkan dalam

mengatasi kehilangan dengan cara menipulasi atau

memodifikasi Teknik prosedural perawatan dengan

kegiatan bermain yang disukai anak tetapi disesuaikan

dengan kondisinya dan mempertahankan kontak antara

orangtua dengan anak. Mobilisasi anak dapat ditingkatkan

dengan memindahkan anak ke gendongan, kursi roda,

sehingga anak terhindar dari kekakuan otot yang hanya

berbaring ditempat tidur.

e. Penanganan Stress Hospitalisasi pada Anak

Upaya penanganan stress hospitalisasi pada anak

diharapkan dapat mengurangi respon anak terhadap

hospitalisasi yang dijalaninya. Menurut Supartini, dalam

Jannah (2016) dalam Retina (2018) menyatakan bahwa upaya


penanganan stress hospitalisasi pada anak dapat dilakukan

dengan cara, antara lain :

1) Mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan

Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan

meminimalkan dampak perpisahan saat hospitalisasi, antara

lain :

a) Melibatkan orang tua untuk berperan aktif dalam

perawatan anaknya, dengan melakukan rooming in,

dengan menyediakan ruang untuk orangtua dan anak

tinggal bersama dalam satu ruangan selama 24 jam.

b) Memberikan kesempatan kepada orangtua untuk

melihat anaknya setiap saat, apabila tidak

memungkinkan dilakukannya rooming in.

c) Memodifikasi ruangan p;erawatan anak dengan

membuat dekorasi yang bernuansa anak.

d) Memberi kesempatan pada anak untuk tetap kontak

dengan kegiatan sekolah, seperti memfasilitasi bertemu

guru, teman sebaya dan memfasilitasi ruang belajar

anak serta buku-buku pelajaran.

2) Mencegah perasaan kehilangan kendali

Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah perasaan

kehilangan kendali pada anak, antara lain :


a) Tidak membatasi pergerakan fisik anak, apabila anak

kooperatif terhadap petugas kesehatan. Jika

mengharuskan anak untuk diisolasi, memodifikasi

lingkungan perawatan anak agar isolasi tidak terlalu

dirasakan oleh anak dengan mempertahankan kontak

mata orangtua anak.

b) Menjadwalkan kegiatan selama anak berada dirumah

sakit.

c) Memberi kesempatan kepada anak untuk mengambil

keputusan dan melibatkan orangtua dalam perencanaan

asuhan keperawatan.

3) Mengurangi rasa takut terhadap cedera atau perlukaan tubuh

dan rasa nyeri

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi rasa takut

terhadap cedera atau perlukaan tubuh dan rasa nyeri, antara

lain :

a) Mempersiapkan psikologis anak dan orangtua untuk

tindakan prosedur yang menimbulkan rasa nyeri dengan

menjelaskan apa yang akan dilakukan.

b) Sebelum melakukan persiapan fisik anak, permainan

yang berkaitan dengan tindakan yang akan dilakukan

terlebih dahulu, misalnya dengan bercerita,

menggambar dan lain sebagainya.


c) Pertimbangkan orangtua untuk mendampingi anak saat

dilakukan tindakan yang menimbulkan nyeri.

d) Menunjukan sikap empati

e) Melakukan persiapan perawatan pasca operasi apabila

memungkinkan, dengan mengorientasikan anak dengan

kamar operasi, tindakan yang akan dilakukan dan

petugas yang akan menanganinya dengan

menggunakan cerita bergambar atau menonton video.

Dan dalam penanganan stress hospitalisasi bisa

menggunakan permainan edukatif. Permainan edukatif

merupakan aktivitas menggunakan beberapa jenis

permainan bertujuan untuk mendidik, memasukan suatu

pemhaman kepada anak dengan cara menyenangkan dan

disukai anak. Permainan edukatif sangat bermanfaat

meningkatkan keterampilan anak dalam berbagai bidang

meliputi keterampilan berbahasa, keterampilan motorik

kasar dan halus serta keterampilan personal social (Saputro

& Fazrin, 2017).

Hal-hal yang penting diperhatikan dalam memilih

permainan edukatif untuk anak, antara lain :

1) Mainan sesuai usia anak


Kemampuan kognitif anak dalam memamhami

permainan yang dimainka berbeda-beda sesuai

perkembangan kognitif anak di masa usianya, sebaiknya

pilih dan tentukan permainan jenis apa yang sesuai

dengan masa usia anak.

2) Permainan Multifungsi

Permainan multifungsi ini bertujuan menstimulasi anak

agar lebih kreatif dan mengembangkan imajinasinya

terhadap suatu benda.

3) Melatih anak dalam pemecahan masalah

Anak juga menjumpai kesulitan dan hambatan. Oleh

karena itu sebaikanya keluarga menemani dan

memotivasi anak agar lebih berusaha. Keluarga hanya

membantu untuk menstimulasi, tidak selalu membantu

anak dalam menyelesaikan permainannya secara

keseluruhan.

4) Melatih konsep dasar

Permainan edukatif yang diberikan pada anak dapat

mengajarkan dan juga mengembangkan kemampuan

dasarnya seperti mengenal bentuk, warna, besaran dan

juga melatih motoric halusnya.

5) Melatih ketelitian dan ketekunan anak


Anak ada saatnya mengalami kebosenan dan keputusan

bila anak tersebut tidak dapat mengerjakan atau

menyelesaikan suatu permainan yang dimulainya.

Melalui aktivitas bermain, anak akan dilatih diusianya

untuk bersabar, bersikap lebih tenang agar dapat

terselesaikan.

f. Penilaian Stress

Kondisi stress yang dialami individu dapat dikelompokan

kedalam tingkat stress. Tingkat stress merupakan hasil

penilaian terhadap berat atau ringannya stress yang dirasakan

oleh individu. Untuk mengetahui tingkatan stress tersebut dapat

dilakukan penilaian dengan berbagai macam skala, salah

satunya adalah Depression Anxiety Stress Scale (DASS) yang

dikembangkan oleh Lovibond dan Lovibond pada tahun 1995

dan diusulkan oleh Australian Psychological Society (Basha &

Kaya, 2016), dalam Retina (2018).

Skala DASS merupakan seperangkat skala subjektif yang

digunakan dalam menentukan tingkat keadaan emosional

negative dari depresi, kecemasan dan stress. Terdapat dua versi

dari skala DASS, yaitu DASS 42 dan DASS 21. DASS 24

terdiri dari 42 item yang mencakup pemeriksaan tingkat

depresi, kecemasan dan stress yang masing-masing memiliki


14 item dan menggunakan empat titik skala linkert, yaitu tidak

pernah, kadang-kadang, sering dan selalu (Basha& Kaya,

2016). Sedangkan DASS 21 adalah bentuk ringkas dari DASS

42 yang terdiri dari 21 item terdiri masing-masing tujuh

pertanyaan untuk menilai depresi, cemas dan menilai stress.

Setiap pertanyaan diberikan skor o hingga 3 kemudian skor

pada masing-masing kategori dijumlahkan dan dilakukan

interpertasi normal, ringan, sedang, berat dan sangat berat.

Format DASS (Depression Anxiety Stress Scale)

Keterangan :

0 : Tidak atau Tidak pernah

1 : Sesuai dengan yang dialami sampai tingkat tertentu atau

kadang-kadang

2 : Sering

3 : Sangat sesuai dengan yang dialami atau hamper setiap saat

No Aspek Penilaian 0 1 2 3
1 Menjadi marah karena hal-hal kecil/sepele
2 Mulut terasa kering
3 Tidak dapat melihat hal yang positif dari suatu
kejadian

4 Merasakan gangguan dalam bernapas (napas


cepat, sulit bernapas)
5 Merasa sepertinya tidak kuat lagi untuk
melakukan suatu kegiatan
6 Cenderung bereaksi berlebihan pada situasi
7 Kelemahan pada anggota tubuh
8 Kesulitan untuk relaksasi/bersantai
9 Cemas yang berlebihan dalam suatu situasi namun
bisa lega jika hal/situasi itu berakhir
10 Pesimis
11 Merasa mudah kesal
12 Merasa banyak menghabiskan energi karena
cemas
13 Merasa sedih dan depresi
14 Tidak sabaran
15 Kelelahan
16 Kehilangan minat banyak hal (missal : makan,
ambulasi, sosialisasi)
17 Merasa diri tidak layak
18 Mudah tersinggung
19 Berkeringat (misal: tangan berkeringat) tanpa
stimulasi oleh cuaca maupun Latihan fisik
20 Ketakutan tanpa alasan yang jelas
21 Merasa hidup tidak berharga
22 Sulit untuk istirahat
23 Kesulitan dalam menelan
24 Tidak dapat menikmati hal-hal yang saya lakukan
25 Perubahan kegiatan jantung dan denyut nadi tanpa
stimulasi oleh Latihan fisik
26 Merasa hilang harapan dan putus asa
27 Mudah marah
28 Mudah panik
29 Kesulitan untuk tenang setelah sesuatu yang
mengganggu
30 Takut diri terhambat oleh tugas-tugas yang tidak
biasa dilakuka
31 Sulit untuk antusias pada banyak hal
32 Sulit mentoleransi gangguan-gangguan terhadap
hal yang sedang dilakukan
33 Berada pada keadaan tegang
34 Merasa tidak berharga
35 Tidak dapat memaklumi hal apapun yang
menghalangi anda untuk menyelesaikan hal yang
sedang anda lakukan
36 Ketakutan
37 Tidak ada harapan untuk masa depan
38 Merasa hidup tidak berarti
39 Mudah gelisah
40 Khawatir dengan situasi saat diri anda mungkin
menjadi panik dan mempermalukan diri sendiri
41 Gemetar
42 Sulit untuk meningkatkan inisiatif dalam
melakukan sesuatu
 Skala depresi : 3,5,10,13,16,17,21,24,26,31,34,37,38,42

 Skala kecemasan : 2,4,7,9,15,19,20,23,25,28,30,36,40,41

 Skala stress : 1,6,8,11,12,14,18,22,27,29,32,33,35,39

Kategori Depresi Rasa cemas Stress


Normal 0-9 0-7 0-14
Ringan 10-13 8-9 15-18
Sedang 14-20 10-14 19-25
Berat 21-27 15-19 26-33
Sangat berat 28+ 20+ 34+

4. Terapi Bermain pada Hospitalisasi Anak Prasekolah

a. Pengertian Terapi Bermain

Bermain merupakan stimulasi yang tepat bagi anak. Bermain dapat

meningkatkan daya piker anak sehingga anak menyalahgunakan

aspek emosional, social serta fisiknya. Bermain juga dapat

meningkatkan kemampuan fisik, pengalaman dan pengethuannya,

serta berkembangnya kesinambungan mental anak (Andriana,

2017).

Jadi, terapi bermain merupakan salah satu intervensi yang dapat

diberikan kepada anak ketika dirawat dirumah sakit. Saat

hospitalisasi, anak cenderung mengalami stress yang berlebihan.

Melalui terapi bermain anak dapat mengeluarkan rasa takut, cemas

yang mereka alami dan terapi bermain juga sesuai dengan

kebutuhan tumbuh kembang anak.


b. Tujuan Terapi Bermain

Menurut Saputro (2017) terapi bermain sangat penting bagi

mental, emosional dan kesejahteraan sosial anak. Terapi bermain

juga dapat menciptakan suasana aman bagi anak untuk

mengekspresikan diri mereka, memahami bagaimana sesuatu dapat

terjadi, mempelajari aturan social dan mengatasi masalah mereka

serta memberikan kesempatan bagi anak untuk berekspresi dan

mencoba sesuatu yang baru. Tujuan terapi bermain dirumah sakit

adalah agar anak melanjutkan fase tumbuh kembang secara

optimal, mengembangkan kreativitas anak sehingga anak dapat

beradaptasi lebih efektif terhadap stress.

c. Fungsi Bermain

Para ilmuan telah melakukan penelitian dan hasilnya, bermain

mempunyai manfaat yang sangat besar bagi perkembangan anak

yaitu perkembangan fisik, motorik, kognitif, bahasa serta sosial dan

emosional.

Kegiatan bermain tidak bisa dipisahkan dari dunia anak. Dan

diharapkan dari bermain anak dapat mendapatkan stimulus yang

baik untuk berkembang secara optimal. Berkaitan dengan hal

tersebut, Wong (2009) dalam Dyah (2018) menjelaskan bahwa


bermain pada anak hendaknya mempunyai fungsi-fungsi sebagai

berikut :

1) Perkembangan sensorik dan motorik

Sensorik dan motorik merupakan suatu komponen terbesar

dalam kegiatan bermain, karena kemampuan penginderaan

anak mulai meningkat akibat banyak stimulus. Stimulus yang

diterima anak antara lain yaitu stimulus visual, stimulus

pendengaran, stimulasi taktil (sentuhan) dan stimulasi kinetik.

2) Perkembangan intelektual (Kognitif)

Saat bermain di lingkungan sekitarnya anak melakukan

eksplorasi dan memanipulasi segala sesuatu dengan mengenal

warna, bentuk, ukuran, tekstur dan membedakan objek.

3) Perkembangan sosial

Perkembangan sosial ditandai dengan kemampuan anak dalam

berinteraksi dengan lingkungan disekitarnya. Anak belajar

untuk memberi dan menerima melalui kegiatan bermain.

Bermain dengan teman sebayanya anak akan belajar

bagaimana caranya bersosialisisasi dan memecahkan suatu

masalah yang ada ketika melakukan permainan.

4) Perkembangan kreativitas
Berkreasi merupakan suatu kegiatan yang diciptakan sesuai

dengan objek yang dilakukannya. Dimana melalui bermain

akan merealisasikan ide-ide yang dimilikinya dan mencoba

mengembangkan kemampuannya.

5) Perkembangan kesadaran diri

Anak dapat mengembangkan kemampuannya dan

membandingkannya dengan anak lain pada saat bermain. Anak

juga dapat mengatahui apa dampak positif dan dampak

negative dari perilakunya terhadap orang lain.

6) Perkembangan moral

Anak akan mempelajari nilai yang benar atau salah dari

orangtua, guru dan lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini peran

orangtua sangat penting untuk menanamkan nilai-nilai moral

dan etika pada anak. Dengan melakukan kegiatan bermain

anak bisa menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga bisa

diterima di lingkungan tersebut dan menyesuaikan aturan yang

ada.

7) Bermain sebagai terapi

Pada saat anak menjalani perawatan di rumah sakit, anak akan

mengalami berbagai macam perasaan yang tidak

menyenangkan

diantaranya yaitu takut, cemas, sedih, marah dan nyeri.

Perasaan-perasaan tersebut merupakan dampak dari


hospitalisasi karena anak mendapatkan banyak tekanan dari

lingkungan di Rumah Sakit. Untuk itu anak membutuhkan

sesuatu yang bisa membuat keteganganya menurun.

Salah satunya yaitu dengan melakukan permainan, dengan

bermain anak akan mengalihkan rasa sakitnya.

d. Tahap Perkembangan Bermain

Mildred parten dalam NS Yuliani (2012:147) dalam Dyah

(2018) adalah ahli yang mempopulerkan teori perilaku bermain

sosial. Dalam studinya, Parten mengidentifikasikan 6 tahapan

perkembangan bermain anak atau yang lebih dikenal sebagai

Parten’s Classic Study of Play, yaitu:

1) Unoccupied Play

Pada tahap ini, anak terlihat tidak bermain seperti yang

umumnya dipahami sebagai kegiatan bermain. Anak hanya

mengamati kejadian disekitarnya yang menarik

perhatiannya. Apabila tidak ada hal yang menarik, maka

anak akan menyibukkan dirinya sendiri. Ia mungkin hanya

berdiri di suatu sudut, melihat sekeliling ruangan, atau

melakukan beberapa Gerakan tanpa tujuan tertentu. Jenis

bermain semacam ini biasanya hanya dilakukan oleh bayi.

2) Solitary play (Bermain sendiri)


Pada tahapan ini, anak bermain sendiri dan tidak

berhubungan dengan permainan teman-temannya. Ia tidak

memperhatikan hal lain yang terjadi. Untuk anak-anak,

bermain tidak selalu seperti aktivitas bermain yang

dipahami oleh orang dewasa. Ketika ia merasa antusias dan

tertarik akan sesuatu, saat itulah anak disebut bermain,

walaupun mungkin anak hanya sekedar menggoyangkan

badan, menggerakkan jari-jarinya. Pada tahapan ini, anak

belum menunjukan antusiasmenya kepada lingkungan

sekitar, khususnya orang lain. Tahapan bermain ini biasanya

dilakukan oleh anak usia bayi sampai umur 2 tahun dan

menurun di masa-masa selanjutnya.

3) Onlooker play (Pengamat)

Pada tahapan ini, anak melihat atau memperhatikan anak

lain yang sedang bermain. Anak-anak mulai memperhatikan

lingkungannya. Disinilah anak mulai mengembangkan

kemampuannya untuk memahami bahwa dirinya adalah

bagian dari lingkungan. Walaupun anak sudah mulai

tertarik dengan aktivitas lain yang diamatinya, anak belum

memutuskan untuk bergabung. Dalam tahapan ini anak

biasanya cenderung mempertimbangkan apakah Ia akan

bergabung atau tidak.

4) Parrarel play (Bermain pararel)


Pada tahap ini, anak bermain terpisah dengan teman-

temannya namun menggunakan jenis mainan yang sama

ataupun melakukan perilaku yang sama dengan temannya.

Anak bahkan sudah berada dalam suatu kelompok

walaupun memang tidak ada interaksi di antara mereka.

Biasanya mereka mulai tertarik satu sama lain, namun

belum merasa nyaman untuk bermain bersama sehingga

belum ada satu tujuan yang ingin dicapai bersama. Tahapan

bermain ini biasanya dilakukan oleh anak-anak di masa

awal sekolah.

5) Associative play (Bermain asosiatif)

Pada tahapan ini, anak terlibat dalam interaksi sosial dengan

sedikit atau bahkan tanpa peraturan. Anak sudah mulai

melakukan interaksi yang intens dan bekerja sama. Sudah

ada kesamaan tujuan yang ingin dicapai bersama namun

biasanya belum ada peraturan. Misalnya anak melakukan

permainan kejar-kejaran, namun seringkali tidak tampak

jelas siapa yang mengejar siapa. Tahapan bermain ini

biasanya dilakukan oleh sebagian besar masa anak-anak

prasekolah.

6) Cooperative play (Bermain bersama)

Pada tahap ini, anak memiliki interaksi sosial yang teratur.

Kerjasama atau pembagian tugas/peran dalam permainan


sudah mulai diterapkan untuk mencapai satu tujuan tertentu.

Misalnya, bermain sekolah-sekolahan, membangun rumah -

rumahan. Tipe permainan ini yang mendorong timbulnya

kompetisi dan kerja sama anak. Tahapan bermain ini

biasanya dilakukan oleh anak-anak pada masa sekolah

dasar, namun sudah dapat dimainkan oleh anak-anak usia

dini bentuk sederhana.

e. Prinsip bermain dirumah sakit

Menurut Vanfeet (2010), dalam Saputro (2017) psinsip terapi

bermain yang dipehatikan dirumah sakit adalah :

1) Waktu bermain

Waktu yang diperlukan untuk terapi bermain pada anak

yang dirumah sakit adalah 15-20 menit. Waktu tersebut

dapat membuat kedekatan antara orang tua dan anak serta

tidak mengakibatkan anak kelelahan akibat bermain.

2) Mainan harus aman

Permainan harus memperhatikan keamanan dan

kenyamanan. Anak kecil perlu rasa nyaman dan yakin

terhadap benda yang dikenalinya dan tidak berbahaya bagi

anak.

3) Sesuai Kelompok Usia


Perlu dijadwalkan dan dikelompokan sesuai dengan

kebutuhan bermain anak dan usianya. Pada rumah sakit

yang ada tempat bermainnya perlu diperhatikan dan

dimanfaatkan secara baik.

4) Tidak Bertentangan dengan Terapi

Terapi bermain harus memperhatikan kondisi anak. Bila

program terapi mengharuskan anak harus istirahat, maka

kativitas bermain hendaknya dilakukan tempat tidur.

Apabila anak harus tirah baring, harus dipilih permainan

yang dilakukan ditempat tidur.

5) Perlu Keterlibatan Orang tua

Keterlibatan orang tua dalam terapi adalah sangat penting,

hal ini disebabkan karena orangtua mempunyai kewajiban

untuk tetap melangsungjan upaya stimulasi tumbuh

kembang pada anak walaupun sedang dirawat dirumah

sakit.

5. Terapi Bermain Congklak

a. Pengertian

Permainan congklak atau dakon merupakan permainan

tradisional yang dilakukan oleh dua orang dengan menggunakan


papan congklak dan 98 biji congklak (Mulyani, 2014). Permainan

congklak memiliki aspek-aspek perkembangan pada anak, yaitu

psikomotorik (melatih kemampuan motorik halus, emosional

(melatih kesabaran dan ketelitian), kognitif (melatih kemampuan

menganalisa dan menyusun strategi), sosial (menjalin kontak sosial

dengan teman bermain), serta melatih jiwa sportifitas (Heryanti,

2014).

Permainan tradisional congklak merupakan permainan yang

menitikberatkan pada kemampuan berhitung. Oleh karena itu

permainan ini akan lebih menarik apabila diterapkan sebagai media

pembelajaran karena peserta didik akan mengikuti pembelajaran

dengan aktif sesuai tahap perkembangan kognitif dan periode

perkembangan pada siswa sekolah dasar dalam menunjang

kemampuan berhitung karena memanfaatkan benda-benda konkret

(biji congklak) (Kurniati, 2016).

Congklak merupakan permainan tradisonal masyarakat

Indonesia yang terkenal, Permaian congklak menggunakan papan

congklak dan biji-bijian berupa kerang kecil atau kelereng

(Pangestu, 2013)
b. Manfaat Bermain

1) Bagi perkembangan aspek fisik : Anak berkesempatan

melakukan kegiatan yang melibatkan gerakan-gerakan tubuh

yang membuat anak tumbuh sehat dan otot-otot tubuh menjadi

kuat.

2) Bagi perkembangan motorik halus : Dalam bermain

dibutuhkan gerakan koordinasi tubuh, tangan, kaki, mata.

3) Bagi perkembangan aspek kognisi : Dengan bermain anak

dapat belajar dan mengembangkan daya pikirnya.

4) Bagi perkembangan alat penginderaan : Aspek penginderaan

atau penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan

perabaan perlu diasah agar anak lebih tanggap dan peka

terhadap hal-hal yang ada disekitarnya.

5) Bagi perkembangan aspek emosi dan kepribadian : Dengan

bermain anak dapat melepaskan ketegangan yang ada dalam

dirinya, menyalurkan dorongan-dorongan yang membuat anak

lega dan rileks.


6) Sebagai media intervensi : Bermain dapat melatih konsentrasi

atau pemusatan perhatian pada tugas tertentu, seperti melatih

konsep dasar warna, bentuk, dan lain-lain.

c. Manfaat Bermain Congklak

1) Meningkatkan kemampuan motorik halus, dengan

menggenggam biji congklak ditangannya dan memasukkan ke

dalam lubang, yang melibatkan gerakan-gerakan tubuh yang

membuat tubuh menjadi sehat dan otot-otot tubuh menjadi

kencang.

2) Kemampuan numerik, untuk anak yang belum bisa berhitung,

dengan permainan congklak anak bisa sambil belajar berhitung

dengan menggunakan biji-biji congklak selain itu juga ketika

anak anak menyimpan, menaruh biji-biji congklak satu persatu

didalam lobang papan congklak tersebut (Kurniati, 2015).

3) Melatih daya konsentrasi atau pemusatan perhatian pada tugas

tertentu, seperti melatih konsep dasar warna, bentuk, dan lain.

4) Melatih perkembangan kognisi, dengan bermain congklak

anak dapat belajar dan mengembangkan daya pikirnya.


d. SOP (Satuan Operasional Prosedur) Bermain Congklak

dan Rasionalnya

No SOP Rasionalisasi
1 Memberikan salam kepada anak dan Komunikasi awal yang
orangtua atau wali dilakukan melalui salam
merupakan awal dari
komunikasi terapeutik
yang diharapkan dapat
membangun hubungan
kerja sama yang ditandai
dengan tukar menukar
perilaku, perasaan,
pikiran dan pengalaman
ketika membina
hubungan.
(Putu & Elizabeth, 2018,
Devi Triyunda, 2017,
Sugiyono, 2018,
Masyhud, 2016, Nur
Hidayah, 2017).
2 Memberikan informed consent atau Menyampaikan
lembar persetujuan informasi mengenai
rencana tindakan yang
akan dilakukan berupa
keuntungan dan kerugian
yang akan didapatkan
tanpa paksaan.
(Devi Triyunda, 2017).
3 Mempersiapkan alat dan bahan : alat Mempermudah saat akan
bermain congklak, lembar kuesioner dilakukannya tindakan.
(Putu & Elizabeth, 2018,
Devi Triyunda, 2017,
Sugiyono,2018,
Masyhud, 2016, Nur
Hidayah, 2017).
4 Mencuci tangan Menghilangkan kotoran
dan menghambat atau
membunuh
mikroorganisme pada
kulit tangan serta
mencegah penyebaran
mikroorganisme
penyebab infeksi yang
ditularkan melalui
tangan. Mencuci tangan
juga salah satu
pencegahan penyakit
karena tangan seringkali
menjadi agen yang
membawa kuman dan
menyebabkan pathogen
berpindah dari satu orang
ke orang lain, baik
dengan kontak langsung
ataupun tidak langsung.
(Putu&Elizabeth, 2018,
Devi Triyunda, 2017,
Sugiyono, 2018,
Masyhud, 2016, Nur
Hidayah, 2017)
5 sebelum memulai permainan Kontrak waktu sangat
sesuiakan dengan kontrak waktu yang penting bagi pasien anak
sudah disepakati untuk menjamin
kelangsungan interaksi
sehingga terjalin rasa
percaya dan kenyamanan
bagi anak (Sugiyono,
2018).
6 Menjaga suasana tetap nyaman kenyamanan yang
diberikan oleh perawat
kepada anak melalui
terapi bermain diartikan
sama dengan
memberikan kekuatan,
harapan, hiburan,
dukungan, dorongan dan
bantuan (Putu &
Elizabeth, 2018, Devi
Triyunda, 2017,
Masyhud, 2016, Nur
Hidayat, 2017).
7 Memastikan anak dalam keadaan Bermain merupakan sifat
rileks dan mau bermain aktif sebab anak-anak
terlibat, hal ini membawa
efek positif karena
membuat pemainnya
tersenyum dan tertawa
serta menikmati yang
permainan yang
dilakukan. Hal ini
dikaitkan bahwa kegiatan
bermain harus dilakukan
secara sukarela, tanpa
paksaan atau tekanan
dari pihak manapun
(Sugiyono, 2018,
Masyhud, 2016, Nur
Hidayah, 2017).
8 mengajarkan anak cara bermainnya : bermain merupakan sifat
dengan cara biji-bijian yang terletak aktif sebab anak-anak
dilubang sebelah kanan dan terlibat, hal ini membawa
menjalankan biji-bijian tersebut efek positif karena
kearah kiri sampai biji terakhir jatuh membuat permainannya
ke lubang induk. Permainan akan tersenyum dan tertawa
berhenti jika sudah tidak ada biji-biji serta menikmati yang
yang dijalankan di anak lubang. permainan yang
Bermain congklaknya sehari sekali, dilakukan. Hal ini
selama 10-15 menit dilakukan terapi dikaitkan bahwa kegiatan
ini selama 3 hari. bermain harus dilakukan
secara sukarela, tanpa
paksaan atau tekanan
dari pihak manapun
(Putu & Elizabeth, 2018,
Devi Triyunda, 2017,
Sugiyono, 2018,
Masyhud, 2016, Nur
Hidayat, 2017).
9 memberikan kesempatan untuk mendukung
bermain lagi perkembangan anak di
dalam perkembangan
kognitif, diharapkan anak
mampu dapat menguasai
lebih lanjut konsep
warna, ukuran bentuk,
arah, Bahasa,
matematika dan
pengetahuan lain
sehingga merangsang
perkembangan
intelektualnya. Hal ini
harus disesuaikan dengan
permainan yang
dimainkan oleh anak.
Sehingga anak akan
mendapatkan
mengembangkan
pengetahuannya lebih
luas dan menyenangkan
(Putu & Elizabeth, 2018,
Devi Triyunda, 2017,
Masyhud, 2016, Nur
Hidayah, 2017)
10 Memberikan pujian ke ana katas memotivasi anak dalam
keberhasilannya dalam melakukan perkembangannya serta
permainan merupakan salah satu
landasan esensial yang
mendorong manusia
untuk tumbuh,
berkembang dan maju
mencapai sesuatu (Devi
Triyunda, 2017,
Sugiyono, 2018).
11 Berpamitan dengan anak dan orang berpamitan merupakan
salah satu bagian dari
komunikasi terapeutik
fase terminasi, dalam hal
ini perawat harus dapat
mengetahui keberhasilan
dirinya dalam mencapai
tujuan dari terapi yang
telah diberikan dan
ungkapan perasaan dari
klien. Berpamitan juga
merupakan salah satu
bentuk kesopanan yang
ditunjukan seseorang
untuk mengakhiri sebuah
interaksi (Sugiyono,
2018).
12 Merapikan kembali alat dan bahan keadaan lingkungan yang
rapi dan bersih sangat
berpengaruh terhadap
kondisi psikologis anak
dan orangtua ketika
berada diruang rawat
inap rumah sakit.
Dengan keadaan
lingkungan yang rapih
akan membuat ruang
perawatan terasa nyaman
dan tenang serta
memberikan privasi
terhadap anak ketika
ingin tidur atau
beristirahat, makan dan
aktivitas lainnya (Putu &
Elizabeth, 2018,
Sugiyono, 2018,
Masyhud, 2016, Nur
Hidayah, 2017).
13 mencuci tangan Cuci tangan dalam lima
momen sangat penting
karena jika tidak
dilaksanakan maka
berefek pada masalah
baru baik untuk pasien,
petugas kesehatan
maupun bagi keluarga
dan kerabat yang
berkunjung ke rumah
sakit. Pelaksanaaan cuci
tangan yang benar teknik
dan waktunya dapat
mencegah penyakit baik
dari petugas kesehatan
kepada pasien, dari
pasien kepada petugas
kesehatan, ataupun dari
pengunjung lain
(Putu&Elizabeth, 2018,
Devi Triyunda, 2017,
Sugiyono, 2018,
Masyhud, 2016, Nur
Hidayah, 2017)
14 Mendokumentasikan Laporan yang otentik
dari semua kegiatan yang
berhubungan dengan
pengelolaan data klien
yang dapat dipergunakan
untuk mengungkap suatu
fakta aktual dan dapat
dipertanggung jawabkan
(Devi Triyunda, 2017).

B. Penelitian Terkait

1. Penelitian yang dilakukan Dewi, Wilma Nurilla (2015) Pengaruh

Terapi Bermain Finger Painting Terhadap Penurunan Tingkat Stress

Hospitalisasi Pada Anak Usia Prasekolah, Metode penelitian

menggunakan desain pre eksperimental pre post test one group.

Sample dalam penelitian ini adalah 20 responden, hasil penelitian

menunjukan 20 responden mengalami perubahan tingkat stress yang

semakin rendah dengan nilai P Value = 0,000

2. Penelitian yang dilakukan Unri Rahayu Suryaningsih (2015) Pengaruh

Terapi Bermain Mewarnai Terhadap Tingkat Stress Hospitalisasi Pada

Anak Usia Prasekolah. Jumlah responden 42 responden, penelitian ini

menggunakan pra eksperiment dengan one Group Pretest posttest.

Hasil uji T test didapatkan nilai P Value = 0,001.

3. Penelitian Ayu Rina Hastuti (2018) Pengaruh Terapi Bermain

Hospital Story Terhadap Penurunan Stress Hospitalisasi Pada Anak

Usia 6 sampai 12 Tahun di RS AN-NISA. Metode penelitian pre

eksperimen dengan pre post design with one group. Jumlah responden

penelitian 44 menggunakan Teknik nonprobablity sampling jenis


quota sampling. Hasil uji hipotesis paired sample t-test pada tingkat

kemaknaan (α=0,05) menunjukan bahwa nilai ρ-value = 0,000 < α,

yaitu 0,000 < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya bahwa

ada pengaruh terapi bermain : Hospital story terhadap penurunan

stress hospitalisasi pada anak usia 6 sampai 12 tahun.


C. Kerangka Teori Penelitian

Kerangka pemikiran menurut Sugiyono (2019), merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan

berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting.

Dampak Hospitalisasi :

1. Jangka Tanda dan Gejala Penyebab stress Hospitalsisasi


rangkaHospitalisasi
Teori Stress
Pendek
Kecemasan akibat perpisahan
(gangguan
1. Fisik
Stress Hospitalisasi emosional) Takut akan cedera dan rasa sakit
2. Emosional
2. Jangka
3. Intelektual Tidak terkendali
Anak usia 3-6 tahun Panjang
(menurunnya
(Prasekolah ) kemampuan
intelektual dan
Pemberian terapi
social)
bermain congklak
(Saputro dan
Perkembangan anak usia Fazrin, 2017)
Prasekolah :
Tingkat stress
1. Perkembangan Fisik
2. Perkembangan 1. Stress Ringan
Motorik Manfaat pemberian terapi 2. Stress sedang
3. Perkembangan bermain 3. Stress Berat
Psikososial
agar anak melanjutkan fase Potter & Perry (2005)
4. Perkembangan Moral
tumbuh kembang secara dalam Restina (2018)
5. Tugas Perkembangan
optimal, mengembangkan
Usia Prasekolah
kreativitas anak sehingga
menurut (Potts dan anak dapat beradaptasi
Mandleco, 2012 dalam lebih efektif terhadap
Leni 2019) stress.

(Saputro, 2017)
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

A. Definisi Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah konsep yang dipakai sebagai suatu

landasan berpikir dalam kegiatan suatu ilmu. Kerangka konsep akan

membantu peneliti menghubungkan hasil penemuan dengan teori. Konsep

merupakan suatu abstrak dari sebuah realitas yang dapat dikomunikasikan

dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antara variable,

baik itu variable yang diteliti maupun yang tidak diteliti (Nursalam, 2015).

Kerangka konsep penelitian terdiri dari dua variabel yaitu, variabel

independent adalah tingkat stress hospitalisasi setelah dilakukan terapi

bermain sedangkan variabel dependen adalah tingkat stress hospitalisasi

sebelum dilakukan terapi bermain.

1. Variabel Independen (Variabel Bebas)

Variabel ini sering disebut sebagai variabel stimulus, prediktor,

antecedent. Dalam Bahasa Indonesia sering disebut variabel bebas.

Pengertian variabel independen (bebas) menurut Sugiyono (2019)

“Variabel bebas adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau

menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen

(terikat).” Dalam penelitian ini variabel independen yang digunakan

adalah tingkat stress hospitalisasi setelah dilakukan terapi bermain.


2. Variabel Dependen (variabel terikat)

Variabel ini sering disebut sebagai variabel output, kriteria,

konsekuen dalam bahasa Indonesia sering disebut variabel terikat.

Pengertian variabel dependen (terikat) menurut Sugiyono (2019)

“Variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat, karena adanya variabel

bebas.” Dalam penelitian ini adalah tingkat stress hospitalisasi sebelum

dilakukan terapi bermain.

Bagan 3.1 Kerangka Konsep

Terapi Bermain Congklak

Variabel Devenden Variabel Indevenden

Tingkat stress Hospitalisasi Tingkat stress Hospitalisasi


sebelum dilakukan terapi sebelum dilakukan terapi
bermain bermain

B. Definisi Operasional

Definisi operasional penelitian ini adalah suatu atribut atau sifat atau nilai

dari obyek atau kegiatan yang memiliki variasi tertentu yang telah ditetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya

(Sugiyono, 2019).
Definisi operasional pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Indikator Alat ukur Cara ukur Hasil Skala


Operasional ukur ukur

Variabel Devenden
1 Tingkat Segala situasi 1. Tingkat Lembar Wawancara 1. Skor Rasio
stress dimana stress kuesioner dan 0-14
hospitalisasi tuntutan non- normal Stress observasi normal
sebelum spesifik 2. Tingkat DASS 2. Skor
terapi mengharuska stress (Depressio 15-18
bermain n seorang ringan n Anxiety stress
individu 3. Tingkat Stress ringan
untuk stress Scale) 3. Skor
berespon atau sedang 19-25
melakukan 4. Tingkat stress
tindakan. stress sedang
berat 4. Skor
5. Tingkat 26-33
stress stress
sangat berat
berat 5. >34
stress
sangat
berat
Variabel Indevenden

2 Tingkat Segala 1. Tingkat Lembar Wawancara 1. Skor 0- Rasio


stress sesuatu stress kuesioner dan 14
hospitalisasi dimana normal Stress observasi normal
sesudah tuntutan non- 2. Tingkat DASS 2. Skor
terapi spesifik stress (Depressio 15-18
bermain mengharuska ringan n Anxiety stress
n seorang 3. Tingkat Stress ringan
individu stress Scale) 3. Skor
untuk sedang 19-25
berespon atau 4. Tingkat stress
melakukan stress sedang
tindakan. berat 4. Skor
5. Tingkat 26-33
stress stress
sangat berat
berat 5. >34
stress
sangat
berat
C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis pada dasarnya diartikan sebagai jawaban sementara terhadap

rumusan masalah penelitian (Sugiyono, 2019). Maka Hipotesis dalam

penelitian ini adalah :

Ha : Ada pengaruh terapi bermain congklak terhadap tingkat stress anak

prasekolah selama hospitalisasi dirumah sakit melati.

Ho : tidak ada hubungan terapi bermain congklak terhadap tingkat stress

anak prasekolah selama hospitalisasi dirumah sakit melati.

Harapan peneliti :

Ho ditolak dan Ha diterima yang artinya ada pengaruh terapi bermain

congkalak terhadap tingkat stress anak prasekolah selama hospitalisasi

di rumah sakit melati.


BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun

sederhana sedemikian rupa berguna untuk mendapatkan jawaban dari

pertanyaan penelitian (Setiadi, 2007 dalam Rafika, 2020). Jenis penelitian ini

menggunakan penelitian pra-eksperimen dengan rancangan penelitian one

group pretest-posttest without control group. Bertujuan untuk mengetahui ada

atau tidaknya pengaruh yang timbul dari individu sebelum (pretest) diberikan

terapi bermain congklak yang kemudian dilakukan pengukuran setelah (post

test) pada kelompok perlakuan (Sugiyono, 2018). Variabel dependen pada

penelitian ini yaitu tingkat stress hospitalisasi dan variabel independennya

yaitu bermain congklak pada anak usia prasekolah usia 3-6 tahun.

Prestest Treatment Posttest


O1 X O2

Gambar 4.1 One Group Pretest-Posttest Design (Sugiyono, 2018)

Keterangan :

O1 = nilai pre test (sebelum diberikan terapi/treatment)

O2 = nilai post test (setelah diberikan terapi/treatment)

X = terapi/treatment (bermain congklak )


B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Ruang Anak Ruang Bougenville Rumah Sakit Melati

pada bulan Desember 2022 – Januari 2023.

C. Populasi dan Sample

1. Populasi

Populasi dalam penelitian merupakan subyek yang memenuhi kriteria

yang telah ditetapkan oleh peneliti (Nursalam, 2017). Populasi dalam

penelitian ini adalah jumlah pasien anak prasekolah yang menjalani rawat

inap bulan September 2022 dirumah sakit melati sebanyak 45 anak.

Dengan kriteria sebagai berikut :

a. Kriteria Inklusi

1) Anak yang diizinkan orangtuanya menjadi responden

2) Anak yang dapat diajak komunikasi atau berbicara

3) Anak yang sadar atau tidak dalam keadaan koma

4) Anak yang dirawat minimal 1 hari dan maksimal 7 hari

5) Anak yang baru pertama kali mengalami rawat inap

b. Kriteria Eksklusi

1) Kondisi sangat lemah

2) Menjalani perawatan intensif


2. Sample

Menurut Sugiyono dalam bukunya, Teknik sampling merupakan teknik

pengambilan sampel. Dalam teknik sampling ada dua macam, yaitu

probality sampling dan non probability sampling. Probability sampling

adalah teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama

bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota

sampel. Sedangkan non probability sampling adalah teknik pengambilan

sampel yang tidak memberi peluang atau kesempatan yang sama bagi

setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel

(Sugiyono, 2016). Maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan non

probability sampling dengan teknik purposive sampling.

Purposive sampling adalah teknik penentu sampel dengan pertimbangan

tertentu. Dalam penelitian ini besarnya sampel ditetapkan dengan

menggunakan rumus slovin. Adapun rumus slovin adalah sebagai berikut

n : Ukuran Sampel

N : Ukuran Populasi

e : Standar Error (5%)

Berdasarkan rumus Slovin tersebut, maka diperoleh besar sampel sebagai

berikut:

n= 45

1+(45(5%2))
n= 45

1+ 45 (0,0025)

n= 45

1+ 0,1125

n= 45

1,1125

n = 40,449 (dibulatkan menjadi 40)

dengan menggunakan rumus Slovin didapat jumlah sampel yang akan

dijadikan responden dalam penelitian ini sebanyak 40 responden.

D. Instrument dan Cara Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemberian therapy

bermain congklak dan Pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti

menggunakan cara observasi dan wawancara, instrument yang digunakan

adalah kuesinoer DASS 42 yang telah disesuaikan dengan tujuan penelitian,

variabel penelitian dan berpacu pada teori yang telah dirancang. Pertanyaan

terdiri dari 2 bagian yaitu meliputi bagian pertama merupakan data identitas

pasien dan bagian kedua yaitu bagian yang berhubungan dengan variabel

penelitian.
E. Pengolahan dan Analisa Data

1. Pengolahan Data

Dilakukan dengan cara bantuan program computer berupa SPSS Versi 24

dengan tahapan sebagai berikut :

a. Editing (Menyunting Data)

Menyunting data adalah kegiatan memeriksa kembali kelengkapan

dari kuesioner yang telah diisi oleh responden saat berada dilapangan

dengan tujuan agar tidak ada pertanyaan yang terlewatkan saat

pengisian kuesioner dilapangan.

b. Coding (Mengkode Data)

Memberikan kode merupakan kegiatan mengkalsifikasikan data dan

memberikan kode untuk jawaban pada kuesioner yang mewakili setiap

variabel dalam penelitian. Tujuan memberikan kode pada setiap

pertanyaan adalah untuk dapat mempermudah pada pengolahan data

selanjutnya pada jawaban responden.

c. Entry (Memasukan Data)

Memasukan data yang telah diisi oleh responden pada kuisioner

kedalam computer dengan menggunakan aplikasi pengolahan data

untuk selanjutnya dilakukan pengolahan data. Selanjutnya apabila

sudah sesuai maka skor yang telah dimasukan kedalam aplikasi

pengolah data. Skor yang telah dimasukan kemudian dilakukan

transformasi data untuk mendapatkan total skor dan dikategorikan

sesuai dengan kategori variabel yang telah ditentukan.


d. Cleaning (Membersihkan Data)

Membersihkan data adalah proses yang dilakukan setelah data

dimasukan dalam software pengolah data. Tujuan dari membersihkan

data adalah pengecekan kembali kelengkapan data yang sudah

dimasukan dan memastikan kembali bahwa data tidak ada yang salah,

untuk menghindari kesalahan dalam melakukan analisa.

2. Analisa Data

a. Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji Validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti

prinsip keandalan intrumen dalam mengumpulkan data (Nursalam,

2015). Dalam penelitian ini peneliti tidak melakukan uji validasi

untuk kuisioner alat ukur tingkat stress karena kuisioner sudah

tervalidasi yaitu kuisioner DASS 42. Tingkat stress adalah hasil

penilaian terhadap berat ringannya stress yang dialami seseorang.

Tingkat stress ini diukur dengan menggunakan Depression Axiety

Stress Scale (DASS 42) (Lovibond, 1995). DASS 42 terdiri 42 item

pertanyaan yang mencangkup 3 subvariabel diantaranya 1) Fisik 2)

Emosi atau psikologis 3) perilaku. Dan reabilitas kuisioner DASS 42

memiliki nilai validasi dan reliabilitas 0,91 yang diolah berdasarkan

penilaian Cronbach’s Alpha.


b. Analisa univariat

Analisa univariat digunakan untuk menggambarkan karakteristik

masing-masing variabel yang di teliti. Analisis ini dilakukan dengan

cara mentabulasi data kemudian disusun dalam tabel sesuai dengan

variabel yang akan di teliti dan dihitung presentasinya dengan rumus

berikut :

Keterangan :
P : Presentase
F : Frekuensi
n: Jumlah semua sampel
Dan interpretasi data menggunakan keterangan presentase

berdasarkan tabel dibawah ini :

Tabel 4.1 Interpretasi Data

No % Keterangan
1 0% Tidak ada
2 1-5% Hampir tidak ada
3 6-25% Selebagian kecil
4 26-49% Hamper setengahnya
5 50% Setengahnya
6 51-74% Lebih dari setengahnya
7 75-94% Sebagian besar
8 95-99% Hamper seluruhnya
9 100% Seluruhnya
Sumber (Arikunto, 2016)
c. Analisa Bivariat

Analisa bivariat untuk menguji hubungan antara variabel

independen dan variabel dependen. Analisa data menggunakan

bantuan computer program SPSS. Uji yang digunakan adalah t-test

dengan untuk melihat hasil kemaknaan perhitungan statistik

digunakan apabila p value ≤ 0,05 berarti ada pengaruh yang

bermakna antara variabel dependent dan variabel independent, dan

apabila p value ≥ 0.05 berarti tidak ada pengaruh yang bermakna

secara statistik antara variabel dependen dan variabel independent.

F. Etika Penelitian

1. Inform Concent (Lembar Persetujuan)

Lembar persetujuan dibuat untuk menyatakan ketersediaan responden.

Dalam lembar tersebut berisi judul penelitian dan tujuan penelitian.

Peneliti tidak akan memaksa responden jika responden tidak bersedia.

2. Anonymity (Tanpa Nama)

Peneliti akan menjaga privasi dan kerahasiaan responden untuk

melindungi hak-haknya. Peneliti hanya memberikan kode pada

responden tanpa mencantumkan nama.

3. Confidentialy (Kerahasiaan)

Dalam melakukan penelitian, data dan informasi yang didapat dari

responden akan dirahasiakan kecuali pada angka tertentu yang digunakan

sebagai laporan hasil penelitian.


G. Keterbatasan Penelitian

Adanya keterbatasan penelitian menggunakan kuesioner yaitu terkadang

jawaban yang diberikan oleh responden tidak menunjukan dengan keadaan

sesungguhnya.
LEMBAR PERSETUJUAN

Proposal dengan judul :

PENGARUH TERAPI BERMAIN CONGKLAK TERHADAP TINGKAT


STRESS ANAK PRASEKOLAH SELAMA HOSPITALISASI
DIRUMAH SAKIT MELATI KOTA TANGERANG

Telah disetujui untuk diujikan dihadapan Dewan Penguji Proposal Program Studi
S-1 Keperawatan STIKes Widya Dharma Husada Tangerang.

Pamulang,

Pembimbing I Pembimbing II

Ns. Riris Andriati, S. Kep., M. Kep


NIDN. 0417108201

Mengetahui,
Ketua Program Studi S1 Keperawatan

Ns. Dewi Fitriyani, S. Kep, M. Kep


NIDN. 0317107603
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Sri Fitriyani

NIM : 211030121549

Tempat Tanggal Lahir : Tangerang, 22 Februari 1998

Menyatakan bahwa Proposal yang berjudul “Pengaruh Terapi Bermain Congklak


Terhadap Tingkat Stress Anak Presekolah Selama Hospitalisasi DiRumah Sakit
Melati Kota Tangerang Tahun 2022” adalah bukan karya orang lain baik Sebagian
maupun keseluruhan, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah disebutkan
sumbernya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan apabila pernyataan ini
tidak benar, saya bersedia menerima sanksi akademis.

Tangerang,
Yang membuat pernyatan,

Sri Fitriyani
NIM. 211030121549
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................
LEMBAR PERSETUJUAN .....................................................................
LEMBAR PERNYATAAN .....................................................................
KATA PENGANTAR ..............................................................................
DAFTAR ISI ............................................................................................
DAFTAR TABEL ....................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................
A. Latar belakang ...............................................................................
B. Rumusan Masalah .........................................................................
C. Pertanyaan Penelitian ....................................................................
D. Tujuan ...........................................................................................
1. Tujuan Umum ........................................................................
2. Tujuan Khusus .......................................................................
E. Manfaat Penelitian ........................................................................
1. Manffat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional .................................................................


Tabel 4.1 Interpretasi Data .......................................................................
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Teori ........................................................................


Bagan 3.1 Kerangka Konsep ....................................................................
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Izin Studi Pendahuluan


Lampiran 2 Surat Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 3 Kuesioner Penelitian
Lampiran 4 Daftar Riwayat Hidup
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN
UNTUK IKUT SERTA DALAM PENELITIAN
(INFORMED CONSENT)

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Usia :

Alamat :

No. Hp :

Pekerjaan :

Dengan sesungguhnya menyatakan bahwa saya telah mendapatkan penjelasan


secara rinci dan telah mengerti mengenai penelitian yang akan dilakukan oleh Sri
Fitriyani dengan judul “Pengaruh Terapi Bermain Congklak terhadap Tingkat
Stress Anak Prasekolah (3-6 Tahun) sealama Hospitalisasi diRumah Sakit
Melati”. Saya memutuskan setuju untuk ikut berpartisipasi pada penelitian ini
secara sukarela tanpa paksaan.

Tangerang
Yang memberikan persetujuan

Anda mungkin juga menyukai