Dosen Pengampu:
Oleh:
KESEHATAN MASYARAKAT
Di Indonesia wabah difteri muncul kembali sejak tahun 2001 di Cianjur, Semarang,
Tasikmalaya, Garut, dan Jawa Timur dengan CFR 11,7-31,9%. Pada tahun 2012 telah
terjadi 1192 kasus dengan 76 kematian. Dari 18 provinsi yang melaporkan adanya kasus
difteri, kasus tertinggi terjadi di Jawa Timur sebanyak 954 kasus. DiKabupaten
Bojonegoro kasus dan kematian akibat difteri sangat fluktuatif. Penyebaran kasus difteri
di Kabupaten Bojonegoro berawal pada tahun 2009 ditemukan 4 kasus. Pada tahun 2010-
2012 kasus difteri mengalami peningkatan dengan di temukan 1 kasus kematian di tahun
2012, akan tetapi pada tahun 2013-2014 kasus difteri mengalami penurunan dan terjadi 1
kasus kematian pada periode 2 tahun berturut-turun.
Di tahun 2015 kasus difteri mengalami peningkatan kembali dari tahun sebelumnya, lalu
mengalami penurunan hingga 1 kasus di tahun 2017 dan meninggal. Pada tahun 2018
penemuan kasus difteri di Kabupaten Bojonegoro mengalami peningkatan dan menjadi
penemuan kasus terbanyak dari tahun- tahun sebelumnya, yaitu ditemukan 15 kasus.
Sehingga perlu dilakukan tindakan penatalaksanaan dan peanggulangan kasus difteri
secara efektif dan efisien.
Bakteri paling sering menginfeksi bagian hidung dan tenggorokan. Setelah menginfeksi,
bakteri melepaskan zat berbahaya yang disebut racun yang kemudian menyebar melalui
aliran darah dan menyebabkan lapisan abu-abu tebal. Lapisan ini umumnya terbentuk di
area hidung, tenggorokan, lidah dan saluran udara. Dalam beberapa kasus, racun ini juga
dapat merusak organ lain, termasuk jantung, otak, dan ginjal, sehingga berpotensi
menimbulkan komplikasi yang mengancam jiwa.
Risiko penularan difteri meningkat pada orang-orang yang belum mendapatkan vaksinasi.
Faktor lain yang dapat meningkatkan risiko penularan difteri yaitu:
Berkunjung ke daerah dengan cakupan imunisasi difteri yang rendah;
Sistem kekebalan tubuh yang lemah, seperti penderita HIV/AIDS;
Gaya hidup yang tidak sehat;
Lingkungan dengan kebersihan dan sanitasi yang buruk;
Anak-anak di bawah usia 5 tahun dan orang tua di atas usia 60 tahun;
Tinggal di pemukiman padat penduduk;
Bepergian ke daerah yang tinggi kasus difteri
Seluruh isolat C. diphtheriae toksigenik yang diperoleh di Jawa Timur dan beberapa
lokasi lain, terutama di Indonesia timur, disimpan di laboratorium rujukan difteri yaitu
Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Surabaya. Tujuan penelitian ini adalah
menganalisis profil isolat C. diphtheriae toksigenik dari Jawa Timur pada periode 2012-
2017.
Biakan dari usap tenggorok dan hidung selalu dilakukan pada orang yang dicurigai
sebagai penderita maupun karier difteri. Studi di India selama 5 tahun mendapatkan
proporsi penderita difteri di tenggorokan mencapai 90% dari seluruh kasus. Di Jawa
Timur biotipe mitis masih mendominasi. Tidak ada biotipe intermedius dan Belfanti
dalam penelitian ini. Kedua biotipe yang diperoleh pada penelitian ini memang
merupakan biotipe dominan di dunia.
Menurut beberapa laporan dari berbagai tempat di dunia, intermedius telah beberapa kali
dilaporkan dalam jumlah cukup banyak. Data dari beberapa publikasi menunjukkan
biotipe gravis lebih sulit diatasi dari pada mitis. Sebagai kesimpulan, isolat terbanyak
berasal dari penderita difteri, berusia 1-5 tahun, yang diambil dari biakan usap tenggorok,
dan didominasi biotipe mitis. Sebagian besar penderita maupun karier berasal dari
wilayah tapal kuda di Provinsi Jawa Timur.
Penyebaran Difteri
6
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sept Okt Nov Des
Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa di Kabupaten Bojonegoro kasus dan kematian
akibat difteri sangat fluktuatif. Penyebaran kasus difteri di Kabupaten Bojonegoro
berawal pada tahun 2009 ditemukan 4 kasus. Pada tahun 2010-2012 kasus difteri
mengalami peningkatan dengan di temukan 1 kasus kematian di tahun 2012, akan tetapi
pada tahun 2013-2014 kasus difteri mengalami penurunan dan terjadi 1 kasus kematian
pada periode 2 tahun berturut-turun. Di tahun 2015 kasus difteri mengalami peningkatan
kembali dari tahun sebelumnya, lalu mengalami penurunan hingga 1 kasus di tahun 2017
dan meninggal. Pada tahun 2018 penemuan kasus difteri di Kabupaten Bojonegoro
mengalami peningkatan dan menjadi penemuan kasus terbanyak dari tahun- tahun
sebelumnya, yaitu ditemukan 15 kasus. Sedangkan pada tahun 2019 megalami penurunan
mejadi 8 kasus dan pada tahun 2020 serta 2021 tidak ditemuakan adanya kasus. Hal ini
menunjukan terjanya penurunan kasus.
Mayoritas masyarakat yang menderita difteri adalah mereka yang tidak mendapatkan
imunisasi lengkap. Kelompok usia yang sering tidak mendapat imunisasi Difteri secara
lengkap rata-rata berusia < 1 tahun, dimana pada kelompok usia tersebut harusnya sudah
mendapatkan imunisasi difteri sebanyak 4 dosis yaitu 3 dosis DPT-HB-Hib saat bayi dan
1 dosis DPT-HB-Hib booster saat berusia < 18 bulan hingga 18 bulan. Imunisasi booster
DPT-HB-Hib sangat berpengaruh terhadap kasus difteri. Menurut penelitian Saifudin,
Wahyuni, & Martini (2017) menyatakan bahwa kelengkapan imunisasi DPT sebanyak 3
kali sebelum usia 4 tahun seperti yang dianjurkan WHO (World Health Organization)
dapat menstimulasi level antibodi.
Kekebalan tubuh seseorang dipengaruhi adanya antitoksin dan kemampuan pembentukan
antibodi. Kemampuan ini terbentuk akibat dari adanya imunisasi aktif dari vaksinasi.
Menurut hasil dari wawancara yang dilakukan dengan penanggung jawab seksi surveilans
dan imunisasi. Pada tahun 2018 Kabupaten Bojonegoro diadakan ORI Difteri secara
serentak dengan sasaran kelompok usia 1-19 tahun. Dengan harapan memutuskan mata
rantai penyakit difteri tersebut dan memberikan booster lanjutan, sedangkan pada usia >
19 tahun tidak mendapatkan booster lanjutan. Pada tahun 2018 diadakan imunisasi ORI
difteri secara serentak yang terdiri dari tiga jenis yaitu DPT-HB-Hib, vaksin DT, dan
vaksin Td yang diberikan kepada anak-anak usia < 19 tahun guna untuk mencegah
persebaran penyakit difteri serta untuk memutus mata rantai dari penyakit difteri.
Di tahun 2019 kasus banyak dialami oleh kelompok usia > 19 tahun, hal ini bisa
disebabkan karena mayoritas penderita difteri tidak pernah melakukan imunisasi atau
tidak mendapatkan imunisasi secara lengkap khususnya imunisasi difteri ulangan seperti
imunisasi DPT-HB-Hib bosster sebanyak 1 dosis, imunisasi DT sebanyak 1 dosis dan
imunisasi Td sebanyak 2 dosis serta alas an lain karena ORI hanya dilakukan pada
kelompok usia 1-19 tahun. Kelengkapan imunisasi berpengaruh terhadap kejadian difteri.
Saneko, P., Wibowo, A., & Melaniani, S. (2014). Analisis Spasial Faktor Determinan Incident
Rate Difteri. Jurnal Biometrika dan Kependudukan, 3(2), 151-159.