Anda di halaman 1dari 22

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK PKMRS

FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2023


UNIVERSITAS HASANUDDIN

PNEUMONIA PADA NEONATUS

DISUSUN OLEH :

Irzal Darmawan

RESIDEN PEMBIMBING :

dr. Waode

SUPERVISOR :
dr. Besse Sarmila, M.kes, Sp.A(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN


MAKASSAR

2023

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 5
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 5
BAB 2 PEMBAHASAN ..................................................................................... 7
2.1 Definisi ...................................................................................................... 7
2.2 Epidemiologi ............................................................................................. 7
2.3 Etiologi ...................................................................................................... 8
2.4 Faktor Resiko ............................................................................................ 9
2.5 Anatomi dan Fisiologi ............................................................................. 11
2.6 Patofisiologi ............................................................................................ 15
2.7 Klasifikasi ............................................................................................... 16
2.8 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang ................................................... 17
2.9 Diferensial Diagnosis .............................................................................. 19
2.10 Penatalaksanaan .................................................................................... 20
2.11 Prognosis ............................................................................................... 21
2.12 Komplikasi ............................................................................................ 21
BAB 3 KESIMPULAN .................................................................................... 22
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pneumonia neonatal merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang
disebabkan terutama oleh bakteri, yang paling sering menyebabkan kematian pada bayi dan anak
balita. Bakteri penyebab pneumonia paling sering adalah streptococcus pneumonia (pneumokokus),
hemophilus influenza tipe b (Hib) dan staphylococcus aureus. Terjadinya pneumonia ditandai dengan
gejala batuk dan atau kesulitan bernapas seperti napas cepat, dan tarikan dinding dada bagian bawah
kedalam.1

Di negara-negara, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa hampir


800.000 kematian neonatal terjadi setiap tahun akibat infeksi pernapasan akut, sebagian besar
pneumonia.8 Kematian yang terjadi pada periode neonatal setiap tahun mencapai 41% (3,6 juta) dari
semua kematian pada anak di bawah 5 tahun. Angka kematian neonatal pada penyakit pneumonia
berkisar antara 750.000 sampai 1,2 juta kematian dan jumlah kematian saat dilahirkan tidak diketahui
setiap tahunnya. Diperkirakan bahwa 3,9 juta dari 10,8 juta kematian pada anak-anak setiap tahunnya
di seluruh dunia terjadi pada 28 hari pertama kehidupan. Lebih dari 96% dari semua kematian
neonatal terjadi di negara berkembang. 2

Kemungkinan terinfeksi pneumonia semakin tinggi jika terdapat faktor risiko yang
mendukung, di antaranya berat lahir rendah, kelahiran preterm, demam intrapartum dan ketuban
pecah dini (KPD). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa berat lahir rendah dan kelahiran preterm
merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian pneumonia neonatus. Penelitian lain
menunjukkan adanya hubungan linear terhadap peningkatan risiko infeksi pada neonatus.
Peningkatan risiko infeksi terlihat pada suhu 37,5°C sampai 38°C. Peningkatan ekstrim dari risiko
infeksi pada neonatus diobservasi pada suhu lebih dari 38oC. Pada suhu 39,16°C terdapat lonjakan
kasus infeksi empat kali lipat dibandingkan dengan suhu 38,3°C 3

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Pneumonia merupakan penyebab utama kematian di antara semua kelompok umur. Pada anak-
anak, banyak dari kematian ini terjadi pada masa neonatal. Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan
bahwa satu dari tiga kematian bayi baru lahir disebabkan pneumonia, Lebih dari dua juta meninggal
setiap tahun di seluruh dunia. Bayi dengan pneumonia yang terkomplikasi oleh infeksi melalui darah
memiliki resiko kematian 10% dan resiko ini menjadi tiga kali lipat jika bayi memiliki berat badan
kurang saat lahir. 1

2.2 EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan data WHO, kejadian infeksi pneumonia di Indonesia pada balita diperkirakan
antara10-20% pertahun. Insiden pneumonia di beberapa negara berkembang seperti di negara Afrika
perkiraan insiden mencapai 0,33 episode per anak setiap tahunnaya dan di negara lain bagian timur
diperkirakan mencapai 0,29 episode per anak atau 151,8 juta kasus baru setiap tahunnya. Terdapat 15
negara dengan prediksi kasus baru dan insidens pneumonia anak dan balita paling tinggi mencakup
74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh dunia. Lebih dari setengah kasus pneumonia terfokus
di 6 negara, meliputi India 43 juta, China 21 juta, Pakistan 10 juta, Bangladesh, Indonesia dan Nigeria
masing-masing 6 juta kasus per tahun, dari ke enam negara tersebut mencakup 44% populasi anak
dan balita di dunia 10

Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah 5
tahun (balita). Diperkirakan 2-3 orang balita meninggal setiap jam karena pneumonia. Jumlah kasus
pneumonia balita yang dilaporkan pada tahun 2014 adalah 600.682 kasus dan 32.025 adalah
pneumonia berat (5,3%). Dari 100 balita pneumonia, diperkirakan 3 diantaranya meninggal, jika
menderita pneumonia berat risiko kematian lebih besar bisa mencapai 60% terutama pada bayi.8

2.3 ETIOLOGI

Penyebab pneumonia yang biasa dijumpai adalah:11,13

2.3.1.Faktor Infeksi

a.Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus(RSV).


b.Pada bayi :

6
1) Virus:Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus.
2) Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
3) Bakteri:Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium
tuberculosa,Bordetellapertusis.
c.Pada anak-anak :
1) Virus :Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV,
2) Organismeatipikal : Mycoplasma pneumonia,
3) Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosis
d. Pada anak besar – dewasa muda :
1) Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
2) Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis

Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
pneumonia. Pada sistem imun penderita-penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon
imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya
penyakit ini.10

2.4 FAKTOR RESIKO

Pneumonia pada neonatus sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak yang
berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat kontaminasi dengan sumber
infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi mekonium, cairan amnion, atau dari serviks ibu.
Infeksi dapat berasal dari kontaminasi dengan sumber infeksi dari RS (hospital acquired
pneumonia), misalnya dari perawat, dokter, atau pasien lain; atau dari alat kedokteran,
misalnya penggunaan ventilator. Disamping itu, infeksi dapat terjadi akibat kontaminasi
dengan sumber infeksi dari masyarakat (community acquired pneumonia). Faktor-faktor
resiko lain penyebab tingginya angka mortalitas pneumonia pada balita di negara berkembang
terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal diantarany ausia, riwayat berat
badan lahir rendah (BBLR), prematur, status gizi buruk, tidak mendapat imunisasi, tidak
mendapat ASI yang adekuat, defisiensi vitamin A, tingginya prevalensi kolonisasi bakteri
patogen di nasofaring. Faktor eksternal diantaranya adalah tingginyapajanan terhadap polusi
udara (rokok, polusi industri) dan buruknya ventilasi.

7
2.4.1 Usia
Bayi dan balita memiliki mekanisme pertahanan tubuh yang masih rendah
dibanding orang dewasa, sehingga balita masuk ke dalam kelompok yang
rawan terhadap infeksi seperti influeanza dan pneumonia. Anak anak berusia
0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit pneumonia dibanding anak-anak
berusia di atas 2 tahun. Hal ini disebabkan imunitas yang belum sempurna dan
saluran pernapasan yang relative sempit.7 Selain itu balita yang lahir premature
(usia gestasi <37 minggu) mempunyai resiko tinggi terhadap penyakit-
penyakit yang berhubungan dengan SSP (susuan saraf pusat) dan paru-paru
antara lain aspirasi pneumonia karena reflex menghisap, menelan, dan batuk
belum sempurna dan sindroma gangguan pernafasan idiopatik (penyakit
membrane hialin).15

2.4.2 Berat badan lahir

Pada bayi dengan berat badan lahir rendah pembentukan zat anti kekebalan
kurang sempurna dan berisiko terkena penyakit infeksi terutama pneumonia
sehingga risiko kematian menjadi lebih besar dibanding dengan berat badan
lahir normal.15

2.4.3 Pemberian ASI eksklusif

Berdasarkan pedoman manajemen laktasi (2010) yang dimaksud dengan


pemberian ASI eksklusif disini yaitu bayi hanya diberi ASI tanpa makanan
atau minuman lain termasuk air putih kecuali obat, vitamin, mineral dan ASI
yang diperas.15

2.4.4 Status gizi

Beberapa studi melaporkan bahwa kekurangan gizi akan menurunkan


kapasitas kekebalan untuk merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan
fungsi granulosit, penurunan funsgi komplemen dan juga menyebabkan
kekurangan mikronutrien. Oleh karena itu, pemberian nutrisi yang sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan balita dapat mencegah anak terhindar
dari penyakit infeksi sehingga pertumbuhan dan perkembangananak menjadi
optimal.15

2.4.5 Imunisasi campak dan DPT

Anak yang telah mendapatkan imunisasi campak diharapkan terhindar dari


penyakit campak dimana pneumonia merupakan kompliasi yang paling sering

8
terjadi pada anak yang mengalami campak. Oleh karena itu, imunisasi campak
sangat penting untuk membantu mencegah terjadinya penyakit pneumonia.13

Imunisasi DPT dapat mencegah terjadinya penyakit difteri, pertussis dan


tetanus. Menurut UNICEF-WHO (2006) pemberian imunisasi dapat mencegah
infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi penyakit
pertussis ini. Pertusis dapat diderita oleh semua orang tetapi penyakit ini lebih
serius terjadi pada bayi. Oleh karena pemberian imunisasi DPT sangatlah tepat
untuk mencegah anak terhindar dari penyakit pneumonia.15

2.4.6 Riwayat asma

Anak-anak dengan riwayat mengi memiliki resiko saluran pernafasan yang


tidak normal, integritas lender, dan sel bersilia terganggu dan penurunan
humoral/imunitas selular local maupu sistemil. Dawood (2010) menjelaskan
anak-anak dengan asma akan mengalami peningkatan risiko terkena radang
paru-paru sebagai komplikasi dari influenza. Bayi dan anak-anak <5 tahun
berisiko lebih tinggi mengalami pneumonia sebagai komplikasi dari influenza
saat dirawat di RS.15

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Susi Hartati, Nani Nurheni, dan
Dewi Gayatri didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara ASI
eksklusif, status gizi, pemberian imunisasi DPT dengan kejadianpneumonia
pada balita.15

Hasil uji statistik menunjukkan balita berusia <13 bulan mempunyai peluang
3,24 kali untuk mengalami pneumonia dibanding dengan balita berusia 13
hingga <60 bulan. Pada balita yang tidak mendapatkan ASI ekslusif
mempunyai peluang pneumonia 4,47 kali dibanding balita yang mendapatkan
ASI eksklusif. Pada balita yang memiliki status gizi kurang berpeluang untuk
terjadi pneumonia sebesar 6,52 kali dibanding balita yang berstatus gizi baik.
Hasil uji statistik juga menunjukkan balita yang tidak mendapatkan imunisasi
campak berpeluang mengalami pneumonia 3,21 kali dibanding yang
mendapatkan imunisasi campak. Pada balita yang tidak mendapat
kanimunisasi DPT berpeluang mengalami pneumonia 2,34 kali dibanding
balita yangmendapat imunisasi DPT.15

9
2.5 ANATOMI DAN FISIOLOGI

2.5.1. Anatomi

Gambar 2.5.1 Anatomi sistem pernapasan manusia.12

(Patwa, A. and Shah, A. Anatomy and physiology of respiratory system.2015)

Struktur tubuh yang berperan dalam sistem pernafasan:11

Saluran pernafasan bagian atas, antara lain :

1. Nasal

2. Faring

3. Laring

Saluran pernafasan bagian bawah, antara lain :

1. Trakea

2. Bronkus

3. Paru-paru

Paru-paru adalah organ penting dari respirasi, jumlahnya ada dua, terletak di samping kanan dan
kiri mediastinum, dan terpisah satu sama lain oleh jantung dan organ lainnya dalam mediastinum.
Paru-paru memiliki area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40 m2 untuk pertukaran udara.
Karakteristik paru-paru yaitu berpori, tekstur kenyal ringan; mengapung di air,dan sangat elastis.

10
Permukaan paru-paru halus, bersinar, dan membentuk beberapa daerah polihedral, yang
menunjukkan lobulus organ: masing-masing daerah dibatasi oleh garis-garis yang lebih ringan
(fisura). Paru kanan dibagi oleh fisura transversa dan oblik menjadi tiga lobus: atas, tengah, dan
bawah. Paru kiri memiliki fisura oblik dan dua lobus .13

2.5.2 Fisiologi

Fisiologi ventilasi paru :

Masuk dan keluarnya udara antara atmosfer dan alveoli paru. Pergerakan udara ke dalam dan
keluar paru disebabkan oleh: 13

1. Tekanan pleura : tekanan cairan dalam ruang sempit antara pleura paru dan pleura
dinding dada. Tekanan pleura normal sekitar -5 cm H2O, yang merupakan nilai isap
yang dibutuhkan untuk mempertahankan paru agar tetap terbuka sampai nilai
istirahatnya. Kemudian selama inspirasi normal, pengembangan rangka dada akan
menarik paru ke arah luar dengan kekuatan yang lebih besar dan menyebabkan tekanan
menjadi lebih negatif (sekitar -7,5 cm H2O).

2. Tekanan alveolus : tekanan udara di bagian dalam alveoli paru. Ketika glotis terbuka
dan tidak ada udara yang mengalir ke dalam atau keluar paru, maka tekanan pada
semua jalan nafas sampai alveoli, semuanya sama dengan tekanan atmosfer (tekanan
acuan 0 dalam jalan nafas) yaitu tekanan 0 cm H2O. Agar udara masuk, tekanan alveoli
harus sedikit di bawah tekanan atmosfer. Tekanan sedikit ini (-1 cm H2O) dapat
menarik sekitar 0,5 liter udara ke dalam paru selama 2 detik. Selama ekspirasi, terjadi
tekanan yang berlawanan.

3. Tekanan transpulmonal : perbedaan antara tekanan alveoli dan tekanan padapermukaan


luar paru, dan ini adalah nilai daya elastis dalam paru yang cenderung mengempiskan
paru pada setiap pernafasan, yang disebut tekanan daya lenting paru.11

Fisiologi kendali persarafan pada pernafasan Terdapat dua mekanisme neural terpisah bagi
pengaturan pernafasan:14
1. Mekanisme yang berperan pada kendali pernafasan volunter. Pusat volunter terletak
di cortex cerebri dan impuls dikirimkan ke neuron motorik otot pernafasan melalui
jaras kortikospinal.

2. Mekanisme yang mengendalikan pernafasan otomatis. Pusat pernafasan otomatis


terletak di pons dan medulla oblongata, dan keluaran eferen dari sistem ini terletak di
rami alba medulla spinalis di antara bagian lateral dan ventral jaras kortikospinal.
11
Pengaturan aktivitas pernafasan baik peningkatan PCO2 atau konsentrasi H+ darah
arteri maupun penurunan PO2 akan memperbesar derajat aktivitas neuron pernafasan di
medulla oblongata, sedangkan perubahan ke arah yang berlawanan mengakibatkan efek
inhibisi ringan. Pengaruh perubahan kimia darah terhadap pernafasan berlangsung melalui
kemoreseptor pernafasan di glomus karotikum dan aortikum serta sekumpulansel di
medulla oblongata maupun di lokasi lain yang peka terhadap perubahan kimiawi dalam
darah. Reseptor tersebut membangkitkan impuls yang merangsang pusat pernafasan.
Bersamaan dengan dasar pengendalian pernafasan kimiawi, berbagai aferen lain
menimbulkan pengaturan non-kimiawi yang memengaruhi pernafasan pada keadaan
tertentu.14

2.6 PATOFISIOLOGI

Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru.
Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan
mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bu-
lu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi
Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin,
imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel. Infeksi paru terjadi bila
satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila virulensi organisme bertambah. Agen
infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal
15
dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen.

Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian


bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan seki-
tar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus. Invasi bakteri ke
parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan ikat paru yang bisa lobular, lobar,
atau intersisial. Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran
pembuluh darah, eksudasi cairan intraalveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang
dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunan
15
compliance paru dan kapasitas vital.
Peningkatan aliran darah yamg melewati paru yang terinfeksi menyebabkan ter-
jadinya pergeseran fisiologis (ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian me-

nyebabkan terjadinya hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan pening-katan


kerja jantung. Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan dis-
integrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan kasus, resolu-
si konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk selan-
12
jutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri menetap dan
meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi
dari reaksi pleura dapat berlangsung secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan
penebalan jaringan ikat dan pembentukan perlekatan.15

Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas
sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.
Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang terdiri
atas 4 stadium :1,8

a. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang


berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin
dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan
permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma
ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dankarbondioksida
maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

b. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari
reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karenaadanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udaraalveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

13
c. Stadium III (3-8 hari berikutnya)

Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih


mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabudan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.1

d. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)

Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.1,8

2.7 KLASIFIKASI PNEUMONIA


1. Berdasarkan sifatnya, yaitu:
a. Pneumonia primer, yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak
mempunya faktor resiko tertentu. Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus
pneumoniae ( pneumokokus), Hemophilus influenzae, juga Virus penyebab infeksi
pernapasan( Influenza, Parainfluenza, RSV). Selain itu juga bakteri pneumonia yang
tidak khas( “atypical”) yaitu mykoplasma, chlamydia, dan legionella.
b. Pneumonia sekunder, yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi.4
2. Berdasarkan Kuman penyebab, yaitu :
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya. Klebsiella pada
penderita alkoholik,Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia

c. Pneumonia virus, disebabkan oleh virus RSV, Influenza virus

d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada


7
penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised).
3. Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a. Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang


terjadi di lingkungan rumah atau masyarakat, juga termasuk pneumonia yang terjadi
7
di rumah sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam.
b. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan
14
pneumonia yang terjadi di “rumah sakit”, infeksi terjadi setelah 48 jam berada di
rumah sakit. Kuman penyebab sangat beragam, yang sering di temukan yaitu
Staphylococcus aureus atau bakteri dengan gramm negatif lainnya seperti E.coli,
Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeroginosa, Proteus, dll. Tingkat resistensi
8
obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab HAP.

4. Berdasarkan lokasi infeksi

a. Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu / beberapa lobus paru. Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram. Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn.
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae. Jarang pada
bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen. Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing, atau
adanya proses keganasan. 7
b. Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis. Bronkiolus terminalis


menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan. Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus.7
c. Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil.
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma. Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial. Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi perselubungan yang tidak merata. 7

5. Klasifikasi pneumonia menurut pedoman WHO


Pada balita klasifikasi penyakit pneumonia dibedakan untuk golongan umur < 2 bulan
dan umur 2 bulan sampai 5 tahun yaitu sebagai berikut:
a) Untuk golongan umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:

 Pneumonia berat: ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan
sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding
dada bagian bawah ke adalam (severe chest indrawing)
15
 Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan kuat dinding
dada bagian bawah atau nafas cepat
b) Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun, diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:

 Pneumonia berat: bila disertai nafas sesak yaitu adanya tarikan dinding bagian
bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat anak diperiksa anak
harus dalam keadaan tenang tidak menangis atau meronta)
 Pneumonia: bila disertai nafas cepat
 Bukan pneumonia: mencakup kelompok penderita balita dengan batuk yang tidak
menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) dan tidak
menunjukkan adanya tarikan dinding dada ke bawah.4

2.8 DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Diagnosis pneumonia

Diagnosis pneumonia pada balita didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran bernafas
disertai dengan peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat sesuai umur). Panduan WHO dalam
menentukan seorang anak menderita nafas cepat dapat dilihat pada tabel 2.2 sebagai berikut :

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
16
beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang-kadang
melebihi 40º C, sakit tenggorokan, nyeri otot dan sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum
mukoid atau purulen, kadang-kadang berdarah.5
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas , pada
palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah. Mungkin disertai ronkhi
8
halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi.

Tabel 2.8.1 (Sari pediatri,Infeksi Respiratori bagian bawah pada anak)15

b. Tanda Dan Gejala

Pada neonatus gejala dan tanda pneumonia lebih beragam, gejala dan tanda pneumonia
tidak selalu jelas terlihat. Gambaran klinis pneumonia neonatus tidak khas, mencakup
serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak
mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta, dan demam. Batuk biasanya tidak
dijumpai pada awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di manapada
awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif. 15

Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut:

Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal,
suprasternal, dan pernapasan cuping hidung. Tanda objektif yang merefleksikan adanya
distres pernapasan adalah retraksi dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan
cuping hidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekananintrapleura
yang bertambah negatif selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan
retraksi bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter
dan sub kostal, dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya,ruang interkostal

17
yang melentingdapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih
mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih
lemah dibandingkan anak yang lebih tua. Kontraksi yang terlihat dari otot
sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan
tanda yang paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas.15

Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”, yang dapatdiamati dengan
jelasketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan area suboksipital.
Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada “head bobbing”, adanya
kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai. Pengembangancuping hidung adalah tanda
yang sensitif akan adanya distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek
secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung memperbesar
pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain
itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama
inspirasi.15

Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris. Konsolidasi yang kecil pada paru
yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka,
namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi
vibrasi akan berkurang. Pada perkusi tidak terdapat kelainan Pada auskultasi ditemukan
crackles sedang nyaring. Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi
pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi
ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau
lemah (tergantung dariamplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles
individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan
oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang
tiba-tiba terbuka.15

c. Pemeriksaan penunjang6

 Darah perifer lengkap : pada pneumonia virus dan juga mikoplasma umumnya
ditemuka leukositosis dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada
pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisr antara 15.000- 40.000mm3
dengan predominan PMN.Leukopenia (<5000/mm3) menunjukkan prognosis
buruk.

 C-Reactive Protein (CRP) : kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus
dan infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. C- Reactive
Protein biasanya digunakan untuk evaluasi antibiotic.
18
 Uji Serologis : uji serologis untuk mendeteksi antigen dan antibody pada infeksi
bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Secara umum, uji
serologis tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri tipik.

 Pemeriksaan Mikrobiologis : pemeriksaan mikrobiologis untuk diagnosis pada


pneumonia anak tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat
di RS.

 Pemeriksaan rontgen thorax : gambaran foto thorax pneumonia pada anak meliputi

infiltrate ringan pada satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru.

Gambar :1. Foto Thorax Normal, 2. Pneumonia Lobar, 3. Bronkopneumonia, 4. Pneumonia Interstitial.12

2.9 DIFERENTIAL DIAGNOSIS

1. Asma

Asma merupakan penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang
mengakibatkan obstruksi dan hiperaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi.
Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk , sesak napas , dada tertekan yang timbul secara
kronik dan atau berulang , reversibel , cenderung memberat pada malam atau dini hari ,
biasanya timbul jika ada pencetus dan keluhan wheezing merupakan manifestasi klinis yang
di terima luas sebagai titik awal diagnosis asma.8

2. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium

tuberkulosis. Umumnya setelah masuk ke dalam tubuh melalui rongga pernapasan, bakteri
ini akan menuju ke paru-paru. Tetapi bukan hanya di paru-paru, bakteri inijuga dapatmenuju
organ tubuh lain, seperti ginjal, limpa, tulang, dan otak.
Seseorang yang terinfeksi TB paru akan menimbulkan berbagai dampak di
kehidupannya, baik secara fisik, mental, maupun sosial. Secara fisik, seseorang yang telah
terinfeksi TB paru akan sering batuk, sesak nafas, nyeri dada, berat badan dan nafsu makan

19
menurun, serta berkeringat di malam hari.14

3. Bronkiolitis

Bronkiolitis adalah suatu infeksi sistem respiratorik bawah akut yang ditandai
dengan pilek, batuk, distress pernapasan dan ekspiratorik effort (usaha napas pada saat
ekspirasi). Di Amerika Serikat sekitar 120.000 bayi dirawat dengan bronkiolitis
pertahun. Umumnya bronkiolitis menyerang pada anak di bawah umur 2 tahun dengan
kejadian tersering kira-kira usia 6 bulan.17

2.10 PENATALAKSANAAN

Pasien pneumonia mempunyai indikasi untuk perawatan di rumah sakit. Sesak


yang terjadi harus ditangani dengan segera. Pneumonia pada bayi di bawah 2 bulan
biasanya menunjukkan gejala yang cukup berat. Tata laksana pasien meliputi terapi
suportif dan terapi etiologik. Terapi suportif berupa pemberian makanan atau cairan
sesuai kebutuhan serta koreksi asam-basa dan elektrolit sesuai kebutuhan. Terapi
oksigen diberikan secara rutin.

Jika penyakitnya berat dan sarana tersedia, alat bantu napas mungkin
diperlukan terutama dalam 24-48 jam pertama. Bagian yang sangat penting dari tata
laksana pneumonia adalah pemberian antibiotik. Idealnya tata laksana pneumonia
sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun karena berbagai kendala diagnostik
etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan antibiotik secara empiris.
Pneumonia viral seharusnya tidak diberikan antibiotik, namun pasien dapat diberi
antibiotik apabila terdapat kesulitan membedakan infeksi virus dengan bakteri; di
samping kemungkinan infeksi bakteri sekunder tidak dapat disingkirkan. Streptokokus
dan pneumokokus sebagai kuman Gram positif dapat dicakup oleh ampisilin,
sedangkan hemofilus suatu kuman gram negatif dapat dicakup oleh kloramfenikol.

Dengan demikian keduanya dapat dipakai sebagai antibiotik lini pertama


untuk pneumonia anak tanpa komplikasi. Secara umum pengobatan antibiotik untuk

pneumonia diberikan dalam 5-10 hari, namun dapat sampai 14 hari. Pedoman lain
pemberian antibiotik sampai 2-3 hari bebas demam. Pada pasien pneumonia
community acquired, umumnya ampisilin dan kloramfenikol masih sensitif. Pilihan
berikutnya adalah obat golongan sefalosporin atau makrolid.

Penggunaan azitromisin dan klaritromisin pada IRBA sama efektifnya dengan


pemberian co-amoksiklav. Pemberian azitromisin tolerabilitasnya cukup baik serta
20
efek sampingnya minimal bila dibandingkan dengan co-amoksiklav.Pemberian
azitromisin sekali sehari selama 3 hari efektifitasnya setara dengan pemberian co-
amoksiklav selama 10 hari. Penggunaan klaritromisin secara multisenter pada
pneumonia mendapatkan hasil yang cukup baik dalam hal efektifitas dan efek
sampingnya.12 Efek samping gangguan gastrointestinal seperti mual, nyeri abdomen
didapatkan pada sebagian kecil pasien yang tidak berbeda bermakna dengan antibiotik
lain.8

2.11 PROGNOSIS

Prognosis pneumonia pada umumnya baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri
penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan
intensif sangat mempengaruhi prognosis dari pneumonia.8

2.12 KOMPLIKASI

Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam rongga
thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran bakteremia dan
hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari
penyebaran infeksi hematologi3. Efusi pleura terjadi bila terjadi penumpukan carian dalam
rongga pleura dapat di sebabkan oleh peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik
maka akan terbentuk pus/nanah , sehingga terjadi empiema8

21
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Pneumonia


neonatal merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang disebabkan
terutama oleh bakteri, yang paling sering menyebabkan kematian pada bayi dan anak
balita. Bakteri penyebab pneumonia paling sering adalah streptococcus pneumonia
(pneumokokus), hemophilus influenza tipe b (Hib) dan staphylococcus. Selain itu
penyakit ini juga dipengaruhi oleh imunitas dari tubuh manusia itu sendiri.

Banyak hal yang menjadi faktor resiko dari pneumonia pada anak sepertiberat
badan lahir yang rendah, lahir premature, status gizi buruk, tidak mendapat imunisasi,
ASI yang tidak adekuat dan lain lain. Sehingga perlu diperhatikan jika pada bayi dengan
gejala mengarah kepada pneumonia yang memiliki faktor resiko tersebut karena dapat
memperburuk prognosis dari keadaannya.
Terapi untuk pneumonia itu sendiri adalah dengan antibiotik dosis tertentu
dengan beberapa faktor yang harus diperhatikan dan dibedakan dosisnya berdasarkan
berat badan.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Suartawa, I Putu. Pneumonia pada anak usia 20 bulan. Jurnal Kedokteran.pp. 198- 206, nov.
2019. ISSN 2620-5890. Available at: <http://e
journal.unizar.ac.id/index.php/kedokteran/article/view/177>. Date accessed: 01 aug. 2020.
doi:
http://dx.doi.org/10.36679/kedokteran.v5i1.177.

2. Said M. Pneumonia. In: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.p.
352-63.
3. Barnett ED, Klein JO. Bacterial infections of the respiratory tract. Dalam: Remington JS,
Klein JO, Baker CJ, Wilson CB, editor (penyunting). Infectious disease of the fetus and
newborn infant. Edisi ke-6. Philadelphia: Elsevier; 2006. hlm. 305- 6, 309.

4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Data dan informasi profil kesehatan Indonesia
2017. 2020 [cited 2020 Aug 1]. Available from: http://www.
depkes.go.id/resources/download/ pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/ Data-dan-
Informasi_Profil-Kesehatan- Indonesia-2017.pdf

5. Monita, Osharinanda; YANI, Finny Fitry; Lestari, Yuniar. Profil pasien pneumonia
komunitas di bagian anak RSUP DR. M. Djamil Padang Sumatera Barat. Jurnal Kesehatan
Andalas,2015, 4.1.

6. Riset Kesehatan Dasar 2018. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Data dan informasi
kesehatan pneumonia pada anak di Sulawesi Selatan.

7. Ginting, Marim Hartati; Rosidi, Ali; SU, Yuliana Noor. Perbedaan Tingkat Kecukupan
Karbohidrat dan Status Gizi (BB/TB) dengan Kejadian Bronkopneumonia Pada Balita Usia
1-5. Tahun di Puskesmas Purwoyoso Semarang. Jurnal Gizi, 2015

8. Rahajoe, Nastini N. Buku ajar respirologi anak. Edisi ke- 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2018
9. Sakina, Meta; Larasati, T. A. Manajemen Bronkopneumonia pada Bayi 2 Bulan dengan
Riwayat Lahir Prematur. Jurnal Medula, 2016, 4.3: 104-109.

10. World Health Organization 2015. Data pneumonia pada anak.

11. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson: Textbook of pediatric. Edisi ke-20. Volume 2. 2015

12. Red Book Atlas of Pediatric Infectious Diseases 4th Edition.2020.pp:526

13. Majumder, N. Physiology of Respiration. IOSR Journal of Sports and Physical Education,
2(3).2015.pp.16-17.

14. Patwa, A. and Shah, A. Anatomy and physiology of respiratory system relevant to
anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia( 2015), 59(9), p.533

15. Sinaga, Fransisca. Faktor Resiko Bronkopneumonia pada Usia dibawah Lima Tahun yang di
Rawat Inap di RSUD Dr. H. Abdoel Moeloek Provinsi Lampung Tahun2015. Jurnal Ilmu
Kedokteran dan Kesehatan, 2018.

16. Apriliasari R, Hestiningsih R, Martini M, Udiyono A. Faktor yang Berhubungan dengan


Kejadian TB Paru pada Anak di kabupaten Magelang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-
journal).2018.Jan;6(1) 298-307

17. Supriyatno, Bambang. Infeksi Respiratorik Bawah Akut pada Anak. Sari Pediatri, 2016, 8.2:
100.

Anda mungkin juga menyukai