Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

BRONKIOLITIS

Pembimbing:

dr. Supriyanto, SpA

Disusun oleh :

Ratih Rizki Indrayani


G4A014123

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2016
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
BRONKIOLITIS

Disusun Oleh :
Ratih Rizki Indrayani
G4A014123

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu


Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal : Juni 2016

Dokter Pembimbing :

dr. Supriyanto, SpA


DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ vi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. vii

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan....................................................................................... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Definisi........................................................................................................3
B. Epidemiologi ..............................................................................................4
C. Etiologi........................................................................................................4
D. Patofisiologi................................................................................................5
E. Manifestasi Klinis.......................................................................................10
F. Penegakan diagnosis ..................................................................................11
G. Penatalaksanaan..........................................................................................15
H. Komplikasi..................................................................................................21
I. Prognosis ....................................................................................................23

III. KESIMPULAN...............................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................25

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Virus RSV................................................................................................6


Gambar 2. Proses patologi bronkiolitis......................................................................9
Gambar 3. Bagan Patofisiologi Bronkiolitis .............................................................9
Gambar 4. Gambaran radiologis penderita bronchiolitis...........................................15

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi dan Penanganan Berdasarkan Tingkat Keparahan


Bronkiolitis ..............................................................................................20

iii
I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Bronkiolitis akut adalah peradangan pada bronkiolus yang ditandai oleh
sesak napas, mengi, dan hiperinflasi paru. Penyakit bronkiolitis akut merupakan
infeksi respiratorik akut bagian bawah (IRA-B) yang sering pada bayi. Sekitar
20% anak pernah mengalami satu episode IRA-B dengan mengi pada tahun
pertama. Angka kejadian rawat inap IRA-B tiap tahun berkisar antara 3000
sampai 50.000-80.000 bayi, kematian sekitar 2 per-100.000 bayi.
Sekitar 95% dari kasus bronkiolitis secara serologis terbukti disebabkan oleh
invasi virus RSV (Respiratory Syncytial Virus). Orenstein menyebutkan pula
beberapa lain seperti Adenovirus, virus Influenza, virus Parainfluenza,
Rhinovirus, dan mikoplasma, tetapi belum ada bukti kuat bahwa
bronkiolitis  disebabkan oleh bakteri. Bronkiolitis ini sering terjadi pada anak usia
kurang dari 2 tahun. Bronkiolitis juga merupakan penyebab tersering perawatan
rumah sakit pada bayi dibawah 1 tahun, terutama usia antara 2 sampai 6 bulan.
Orenstein juga menyatakan bahwa bronkiolitis paling sering pada bayi laki-laki
yang tidak mendapatkan ASI, dan hidup dilingkungan padat penduduk.
Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di negara berkembang daripada
di negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status gizi dan
ekonomi, kurangnya tunjangan medis serta kepadatan penduduk di negara
berkembang. Sumber infeksi virus biasanya anggota keluarga dengan penyakit
pernafasan.

1
B. Tujuan
1. Mengetahui penyebab bronkiolitis
2. Mengetahui mekanisme terjadinya bronkiolitis
3. Mengetahui gejala klinis dari bronkiolitis
4. Mengetahui terapi yang diberikan untuk penderita bronkiolitis
5. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi akibat penyakit bronkiolitis

2
II. PEMBAHASAN

A. Definisi
Bronkiolitis adalah infeksi akut saluran respiratorik bawah yaitu bronkiolus
yang biasanya disebabkan oleh infeksi virus. Bronkiolitis ditandai dengan
peradangan bronkioli yang lebih kecil ditandai edema membran mukosa yang
melapisi dinding bronkioli, ditambah infiltrasi sel dan produksi mukus meningkat,
yang menimbulkan obtruksi jalan nafas. Bronkiolitis sering diderita bayi atau
anak berumur kurang dari 2 tahun, paling sering pada usia 6 bulan (Koehoorn et
al, 2013).

B. Epidemiologi
Bronkiolitis merupakan penyebab signifikan penyakit pernapasan seluruh
dunia. Menurut WHO (2014), 150 juta kasus baru terjadi setiap tahunnya, 11-20
juta (7-13%) kasus cukup berat sehingga membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Di seluruh dunia, 95% dari semua kasus terjadi di negara berkembang. Penyebab
dominan bronkiolitis adalah RSV dan menyumbang sekitar 65% kasus harus
rawat inap (Rudan et al, 2014). Data epidemiologi deskriptif-kohort (Koehoorn et
al, 2013), bronkiolitis berkaitan dengan kontak dokter rawat inap dan rawat jalan
pada awal kehidupan (134,2 kasus per 1.000 orang) (Koehoorn et al, 2013).
Berdasarkan epidemiologi usia, bronkiolitis terjadi pada awal kehidupan.
Bronkiolitis biasanya terjadi pada anak berusia kurang dari 2 tahun (95%) dan 75
% terjadi pada anak usia <1 tahun. Insiden tertinggi terjadi pada usia 3-6 bulan.
Bronkiolitis terjadi 1,25 kali lebih sering pada laki-laki daripada perempuan dan
1,5 kali lebih sering menyebabkan kematian pada laki-laki (Terrosi et al, 2013).

3
C. Etiologi
Etiologi bronkiolitis yang paling sering adalah Respiratory syncytial virus
(RSV), berkisar antara 45-55% dari seluruh. Sekitar 20% disebabkan oleh virus
lainnya, seperti virus parainfluenza (10-30%), virus influenza (10-20%),
rhinovirus, human metapneumovirus (9-30%), dan adenovirus (5-10%).
Bronkiolitis juga dapat disebabkan oleh Mycoplasma pneumoniae (5-15%) dan
bakteri, walau frekuensinya relative sedikit yang sampai menyebabkan
bronkiolitis pada bayi (Serafino et al, 2011).
RSV menyebabkan 20-40% kasus bronkiolitis dan 44% menginfeksipada
anak-anak di bawah 2 tahun. Bronkiolitis ditularkan melalui kontak langsung
yaitu dari droplet, dan sekret hidung. RSV adalah virus RNA dengan dengan
envelope lipid famili Paramyxoviridae genus Pneumovirus. RSV memiliki dua
subtipe yaitu RSV A dan B, yang dapat dibedakan dari struktural protein G.
Subtipe A menyebabkan infeksi paling berat. Masa inkubasi virus 2-5 hari dan
dapat menetap 6-21 hari setelah timbul gejala (Serafino et al, 2011).

D. Faktor Resiko
Faktor risiko bronkiolitis adalah sebagai berikut:
1. Usia
Bayi yang lebih muda memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena bronkiolitis
dibandingkan dengan usia yang lebih tua.
2. Significant comorbidity
a. Berat badan lahir rendah, terutama bayi prematur
b. Perawatan bayi di rumah sakit misalnya karena penyakit jantung bawaan
atau penyakit paru kronis/anomali jalan napas
3. Faktor sosial
a. Pemberian ASI <6 bulan memiliki risiko yang lebih besar untuk terjadi
bronkiolitis dibandingkan dengan pemberian ASI >6 bulan
b. Sosial ekonomi yang rendah
c. Bayi yang terpapar rokok

4
d. Kondisi ramai, tempat penitipan anak
4. Penyakit defisiensi imun bawaan ataupun diperoleh

E. Patofisiologi
Bronkiolus adalah saluran udara kecil (<2 mm), sedikit kartilago, dan sedikit
kelenjar submukosa. Bronkiolus terminalis adalah saluran napas akhir bronkiolus.
Asinus (unit pertukaran gas diparu-paru) terdiri dari bronkiolus, saluran alveolar,
dan alveoli. Lapisan bronchiolar terdiri dari sel-sel Clara surfaktan mensekresi
dan sel neuroendokrin, yang merupakan sumber produk bioaktif seperti
somatostatin, endotelin, dan serotonin. Infeksi bronkiolus mengakibatkan:
1. Peningkatan sekresi lendir
2. Obstruksi dan penyempitan bronkus
3. Kematian sel alveolar, debris mukus, invasi virus
4. Air Trapping
5. Atelektasis
6. Penurunan ventilasi yang mengarah ke mismatch ventilasi-perfusi
7. Sesak napas
Bronkiolitis didahului oleh suatu infeksi saluran nafas bagian atas yang
disebabkan virus, parainfluenza, dan bakteri. Mekanisme kompleks imunologi
yaitu reaksi alergi tipe 1 yang dimediasi oleh IgE berperan dalam patogenesis
bronkiolitis. Bayi yang mendapat ASI dengan kolostrum yang kaya
immunoglobulin A (IgA) relatif terlindungi dari bronkiolitis.
RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350 nm),
termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan
bagian yang penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment
protein) yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan
partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini
merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain
antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala pada pernapasan
yang lebih berat dan menimbulkan sekuele.

5
Gambar 1. Virus RSV (de Waal L et al, 2013)

Keterangan: (A) Protein M dan M2 membentuk matriks. (B) kapsul virus terdiri
dari 3 protein, sebuah nukleoprotein, phosphoprotein, dan protein polimerase. (C)
3 protein transmembran, protein hidrofobik, protein fusi, dan attachment protein.

Sebagian besar infeksi saluran napas ditularkan lewat droplet infeksi. Infeksi
primer oleh virus RSV biasanya tidak menimbulkan gejala klinik, tetapi infeksi
sekunder pada anak tahun-tahun pertama kehidupan akan bermanifestasi berat.
Selain melalui droplet, RSV bisa juga menyebar melalui inokulasi atau kontak
langsung dengan sekresi hidung penderita. Droplet yang besar dapat bertahan di
udara bebas selama 6 jam, dan seorang penderita dapat menularkan virus tersebut
selama 10 hari. Masa inkubasi RSV 2-5 hari. Virus ini bereplikasi didalam
nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah
melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi
sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran nafas melalui kolonisasi
dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran
patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran nafas
menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam

6
lumen bronkiolus. Pada bronkiolus ditemukan obstruksi parsial atau total karena
udema dan akumulasi mukus serta eksudat yang kental. Pada dinding bronkus dan
bronkiolus terdapat infiltrat sel radang. Radang juga bisa dijumpai pada
peribronkial dan jaringan interstisial. Obstruksi parsial bronkiolus menimbulkan
emfisema dan obstruksi totalnya menyebabkan atelektasis.
Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mokusilier,
mukus tertimbun didalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran nafas juga
akan mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan sehingga
dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan
kontraksi otot polos saluran nafas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran nafas
juga meningkatkan ekspresi Intercelluler Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan
produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi,
bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran
nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran nafas.
Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu,
menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran nafas, dead space serta
meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan
kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran nafas, hiperaerasi,
atelektasis, hipoksia, hiperkapnia, asidosis metabolik sampai gagal nafas. Karena
resistensi aliran udara saluran berbanding terbalik dengan diameter saluran napas
pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan
akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran nafas bayi dan
anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran nafas meningkat pada fase
inspirasi maupun pada fase ekspirasi. Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme
klep sehingga udara akan terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada.
Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali diatas normal.
Atelektasis dapat terjadi bila terdapat obstruksi total. Proses patologik ini
menimbulkan gangguan pada proses pertukaran udara di paru, ventilasi
berkurang, dan hipoksemia. Pada umumnya, hiperkapnia tidak terjadi kecuali
pada keadaan yang sangat berat.

7
Berbeda dengan bayi, anak besar dan orang dewasa jarang mengalami
bronkiolitis bila terserang infeksi virus karena sudah dapat mentoleransi udema
saluran nafas dengan baik. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan
anak yang lebih besar mungkin merupakan konstribusi terhadap hal ini. Respon
proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi
yang berulang pada saluran nafas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap
penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulatif
immunity sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih
tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.
Fase penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus
dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat
mencapai 15 hari. Infeksi virus sering berulang pada bayi. Hal ini disebabkan
oleh:
1. Kegagalan sistem imun host untuk mengenal epitope protektif dari virus.
2. Kerusakan sistem memori respons imun untuk memproduksi interleukin I
inhibitor dengan akibat tidak bekerjanya sistem antigen presenting.
3. Penekanan pada sistem respons imun sekunder oleh infeksi virus dan
kemampuan virus untuk menginfeksi makrofag serta limfosit. Akibatnya,
terjadi gangguan fungsi seperti kegagalan produksi interferon, interleukin I
inhibitor, hambatan terhadap antiobodi neutralizing, dan kegagalan interaksi
dari sel ke sel.

8
Gambar 2. Proses patologi bronkiolitis (AAP, 2010)

Gambar 3. Bagan Patofisiologi Bronkiolitis (Baldwin, 2013)

9
F. Manifestasi Klinis
Umumnya anak pernah terpajan dengan anggota keluarga yang menderita
infeksi virus beberapa minggu sebelumnya. Gejala awal yang dapat timbul adalah
gejal infeksi saluran napas atas yang ringan berupa pilek serous, batuk, bersin,
kadang-kadang disertai demam 38.5-39oC, dan nafsu makan berkurang. Gejala ini
berlangsung beberapa hari. Setelah gejala di atas timbul biasanya diikuti oleh
adanya distres respirasi berupa kesulitan bernapas (sesak) yang umumnya pada
saat ekspirasi, batuk paroksismal, dan wheezing. Bayi-bayi akan menjadi rewel,
muntah serta sulit makan dan minum. Timbulnya kesulitan minum terjadi karena
napas cepat sehingga menghalangi proses menelan dan menghisap (Woensel et
al, 2013).
Pada kasus ringan, gejala menghilang 1–3 hari. Pada kasus berat, gejalanya
dapat timbul beberapa hari dan perjalanannya sangat cepat. Kadang-kadang, bayi
mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali, bahkan ada yang
mengalami hipotermi. Terjadi distres pernapasan dengan frekuensi napas >60
x/menit, terdapat napas cuping hidung, penggunaan otot pernapasan tambahan,
retraksi, dan kadang-kadang disertai sianosis. Karena bayi mempunyai dinding
dada yang lentur, retraksi suprasternal dan kosta tampak jelas dan tepi kosta
terlihat melebar pada setiap pernafasan untuk menambah volume tidalnya. Hepar
dan lien bisa teraba karena terdorong diafragma akibat hiperinflasi paru. Mungkin
terdengar ronki pada akhir inspirasi dan awal ekpirasi. Terdapat ekpirasi yang
memanjang dan wheezing kadang-kadang terdengar dengan jelas. Sering terjadi
hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar. Pada beberapa pasien
dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media dan faringitis
(Orenstein, 2002).
Bronkiolitis kronis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus atau inhalasi
zat toksis (hydrochloric, nitrit acid, sulfur dioxide). Karakteristiknya : gambaran
klinis dan radiologis hilang timbul dalam beberapa minggu atau bulan dengan
episode atelektasis, pneumonia dan wheezing yang berulang. Proses

10
penyembuhan mengarah pada penyakit paru kronis. Histopatologi : hipertrofi dan
timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi dan deorganisasi jaringan otot
dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus tersumbat dan dilatasi. Alveoli
overdistensi, atelektasis dan fibrosis (Orenstein, 2002).

G. Penegakkan diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis  bronkiolitis  berdasarkan  gambaran  klinis,  umur  penderita 
dan adanya epidemi RSV di masyarakat . Kriteria bronkiolitis terdiri dari:
(1) wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau kurang, (3) pemeriksaan
fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek, demam (4) 
menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat
menyebabkan wheezing. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan
orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran napas atas yang
ringan (SIGN, 2006).
a. Usia
Bronkiolitis terjadi pada anak di bawah usia 2 tahun. Bayi berusia 12
bulan, 90% kasus membutuhkan rawat inap. Puncak insidensi bronkiolitis
berusia 3-6 bulan.
b. Demam
Bayi dengan bronkiolitis mengalami demam kadang disertai demam tinggi
≥ 39 ° C suhu aksila
c. Rhinorea/pilek
Discharge hidung sering mendahului timbulnya gejala lain seperti batuk,
takipnea, gangguan pernapasan dan kesulitan makan.
d. Batuk
Batuk serak kering (wheezy cough) adalah karakteristik dari bronkiolitis.
Batuk, bersama dengan gejala hidung, adalah salah satu gejala awal terjadi
pada bronkiolitis.
e. Peningkatan laju pernapasan

11
Satu hingga dua hari kemudian setelah timbul gejala awal (batuk, pilek,
dan demam) maka timbul sesak napas. Sesak napas dapat dilihat dari
Peningkatan laju pernapasan merupakan gejala penting dalam infeksi
saluran pernapasan bawah, khususnya bronkiolitis dan pneumonia.
f. Kesulitan makan dan minum
Kesulitan makan pada anak bronkiolitis disebabkan oleh adanya sesak.
Kesulitan makan menjadi alasan untuk dirawat di rumah sakit.
g. Peningkatan kerja napas
dipsneu dengan penggunaan alat bantu napas subkostal, interkostal dan
supraklavikula dapat terlihat pada bayi dengan bronkiolitis akut. Thoraks
tampak hiperinflasi. Adanya hyperinflasi dada dapat membantu untuk
membedakan bronkiolitis dengan pneumonia.
h. Ronki/crackles/crepitation
Ronki inspirasi pada seluruh lapang paru merupakan salah satu tanda
bronkiolitis.
i. Wheezing
Adanya mengi/wheezing pertama kali dan tidak membaik dengan tiga
dosis bronkodilator kerja cepat.
j. Apneu
Pada bronkiolitis dapat terjadi apneu terutama padabayi prematur dan
berat lahir rendah.
2. Pemeriksaan fisik
Pada kasus berat pemeriksaan fisik dapat ditemukan distres nafas
(keadaan dimana frekuensi napas sekitar 60 x/menit, dengan pernapasan
cuping hidung, penggunaan otot pernapasan tambahan, retraksi dan juga
sianosis) (SIGN, 2006).
a. Pemeriksaan tanda vital
Frekuensi nafas diatas 50-60 kali per menit (takipnea), nadi juga biasanya
meningkat (takikardi). Suhu badan bisa normal atau meningkat tinggi
sampai 41 ºC.

12
b. Pemeriksaan thorax
Obstruksi saluran respiratori bawah akibat respons inflamasi akut akan
menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha
pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan
menimbulkan napas cuping hidung dan retraksi interkostal.
1) Inspeksi : penggunaan otot bantu pernafasan yang dapat dilihat
dari retraksi interkostal, subkostal dan suprasternal.
Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya
hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam
paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang. Kadang
terdapat apneu.
2) Palpasi : penurunsn vokal fremitus
3) Perkusi : hipersonor
4) Auskultasi : wheezing dapat terdengar dengan ataupun tanpa
stetoskop, serta terdapat crackles. Pada auskultasi
dapat didapatkan rhonki basah halus nyaring pada
akhir atau awal ekspirasi.
c. Pemeriksaan abdomen
Hepar dan lien dapat teraba dibawah tepi kosta akibat pendorongan
diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi.

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan sebagai berikut (SIGN, 2006).
a. Saturasi oksigen
Pengukuran saturasi oksigen dengan Pulse Oximetry berguna untuk
menilai derajat keparahan penderita. Saturasi oksigen ≤92% adalah tanda
terjadinya hipoksia dan merupakan indikasi untuk rawat inap. Pemantauan
saturasi oksigen secara rutin dalam pengelolaan bronkiolitis berguna untuk
melihat perbaikan secara klinis.
b. Pemeriksaan darah lengkap

13
Pemeriksaan hematologi tidak memberikan gambaran yang bermakna.
Jumlah leukosit biasanya normal atau leukopeni disertai limfositosis
(terkait virus). Bronkiolitis karena bakteri dapat ditemukan leukositosis
dan jenis leukosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang.
c. Pemeriksaan analisis gas darah (AGD)
Gambaran analisis gas darah akan menunjukkan tanda-tanda asidosis
metabolik atau respiratorik, yang dapat ditandai dengan penurunan PaO2
dan terjadi hiperkapnia (peningkatan PaCO2), karena karbondioksida tidak
dapat dikeluarkan (air trapping). Analisis gas darah (AGD) diperlukan
untuk anak dengan sakit berat, khususnya yang membutuhkan ventilator
mekanik.
d. Pemeriksaan radiologis
Gambaran radiologik masih normal bila bronkiolitis ringan.
Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hiperaerated). Bisa juga
didapatkan bercak-bercak yang tersebar, mungkin atelektasis (patchy
atelectasis) atau pneumonia (patchy infiltrates). Pada x-foto lateral,
didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan kebawah
(Dawson, 2009).
Pada pemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated apabila
terdapat siluet jantung yang menyempit, jantung terangkat, diafragma
lebih rendah dan mendatar, diameter anteroposterior dada bertambah,
ruang retrosternal lebih lusen, iga horizontal, pembuluh darah paru tampak
tersebar. Pada sepertiga penderita, dapat ditemukan bercak-bercak
pemadatan (konsolidasi) yang tersebar merata akibat atelektasis sekunder
terhadap obstruksi atau peradangan (inflamasi) alveolus (Dawson, 2009).
Bronkiolitis terdapat kecenderungan ketidaksesuaian antara gambaran
klinis dan gambaran radiologis. Berbeda dengan pneumonia bakteri,
gambaran klinis yang berat akan menunjukkan gambaran kelainan
radiologis yang berat pula, sementara pada bronkiolitis gambaran klinis

14
berat tanpa gambaran radiologis berat (infiltrat yang biasanya tidak luas)
(Dawson, 2009).

Gambar 4. Gambaran radiologis penderita bronchiolitis (Dawson,


2009)

e. Kultur virus
Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan
aspirasi atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur
virus tetapi memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil
positif pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan
pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan cara imunofluoresen atau
ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 80-90% (SIGN, 2009).
 
H. Penatalaksanaan
Infeksi oleh virus RSV biasanya sembuh sendiri ( self limited) sehingga
pengobatan yang ditujukan biasanya pengobatan suportif. Prinsip dasar
penanganan suportif ini mencakup : oksigenasi, pemberian cairan untuk
mencegah dehidrasi dan nutrisi yang adekuat. Bronkiolitis ringan biasanya bisa
rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral yang adekuat. Bayi dengan
bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap. Tujuan perawatan di rumah

15
sakit adalah terapi suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila
diperlukan pemberian antivirus. Selain dengan terapi suportif, juga diberikan
secara rutin nebulasi agonis ß2 pada setiap penderita bronkiolitis. Steroid sistemik
diberikan pada kasus-kasus berat. Antibiotik diberikan jika keadaan umum
penderita kurang baik, atau ada dugaan infeksi sekunder dengan bakteri.
Indikasi penderita bronkiolitis masuk rumah sakit yaitu (Voets, 2006).
1. Saturasi istirahat oksigen persisten bawah 92% di ruang udara sebelum
pemberian beta-agonist
2. Peningkatan laju pernapasan (> 70-80 napas / menit)
3. Ganguan pernapasan yaitu berupa dispnea dan retraksi interkostal retraksi
4. Desaturasi di 40% oksigen (3-4 L / min oksigen), sianosis
5. Penyakit paru-paru kronis
6. Penyakit jantung bawaan, terutama jika dikaitkan dengan sianosis atau
hipertensi pulmonal
7. Premature
8. Usia < 3 bulan, atau penyakit dengan derajat berat
9. Tidak mampu intake oral
10. Orang tua tidak dapat merawat anak di rumah
Kriteria penderita untuk dilakukan perawatan di PICU yaitu memburuknya
hipoksemia atau hiperkapnia, distress respirasi, apnea,asidosis, dan penurunan
kesadaran. Terapi yang diberikan pada pasien bronkiolitis adalah sebagai berikut
(Voets, 2006).
1. Oksigenasi
Oksigen harus diberikan kepada semua penderita terutama penderita
dengan saturasi oksigen ≤92%. Hal ini penting untuk menjaga jangan sampai
terjadi hipoksia, sehingga tidak memperberat penyakitnya. Hipoksia terjadi
akibat gangguan perfusi ventilasi paru-paru. Oksigenasi dengan kadar oksigen
30-40% sering digunakan untuk mengoreksi hipoksia. Saturasi oksigen
menggambarkan kejenuhan afinitas hemoglobin terhadap oksigen didalam
darah. Oksigen dapat diberikan melalui kanul nasal (1-2 liter/menit), masker

16
(minimun 4 liter/menit) atau head box. Terapi oksigen dihentikan bila
pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SaO2) pada suhu
ruangan stabil diatas 94%. Pemberian oksigen pada saat masuk sangat
berpengaruh pada skor beratnya penyakit dan lama perawatan di rumah sakit
(SIGN, 2006).
Penderita bronkiolitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi mekanik,
yaitu pada kasus gagal napas, serta apneu berulang. CPAP ( continous
positive airway pressure) biasa digunakan untuk mempertahankan tekanan
positif paru. CPAP mungkin memberi keuntungan dengan cara membuka
saluran napas kecil, mencegah air trapping dan obstruksi. Bayi dengan
hipoksemia berat yang tidak membaik dengan ventilasi konvensional
membutuhkan ventilasi dengan high-frequency jet
ventilation atau extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) (SIGN,
2006).
2. Terapi cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk mencegah terjadinya dehidrasi
akibat keluarnya cairan lewat evaporasi, karena pernapasan yang cepat dan
kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi diperlukan pemberian cairan
rumatan. Cara pemberian cairan ini bisa intravena atau nasogastrik. Akan
tetapi, harus hati-hati pemberian cairan lewat lambung karena dapat terjadi
aspirasi dan menambah sesak napas akibat lambung yang terisi cairan dan
menekan diafragma ke paru-paru (SIGN, 2006).
Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan infus
dan diet sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan,
kenaikan suhu dan status dehidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien
muntah dan tidak dapat minum, panas atau distres napas untuk mencegah
terjadinya dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian retriksi cairan 2/3 dari
kebutuhan rumatan untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat
SIADH (Sindrome of Inappropriate Anti Diuretik Hormone). Selanjutnya

17
perlu dilakukan koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang
mungkin timbul (SIGN, 2006).
3. Obat-obatan
a. Bronkodilator
Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkiolitis telah lama
diperdebatkan hampir selama 40 tahun. Terapi farmakologis yang paling
sering diberikan untuk pengobatan bronkiolitis adalah bronkodilator dan
kortikosteroid. Obat-obatan beta 2 agonis sangat berguna pada penyakit
dengan penyempitan saluran napas karena menyebabkan efek
bronkodilatasi, mengurang pelepasan mediator dari sel mast, menurunkan
tonus kolinergik, mengurangi sembab mukosa dan meningkatkan
pergerakan silia saluran napas sehingga efektivitas dari mukosiler akan
lebih baik (Plint, 2009).
Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa pasien-pasien yang
diberikan beta 2 agonis secra nebulisasi menunjukkan perbaikan skor
klinis dan saturasi oksigen. Sebuah penelitian meta analisis oleh Kellner
dkk (1996) mengenai efikasi bronkodilator pada penderita bronkiolitis
mendapatkan bahwa bronkodilator menyebabkan perbaikan klinis yang
singkat (shot-term improvement) pada bronkiolitis ringan dan sedang.
Walaupun pemakaian nebulisasi dengan beta 2 agonis sampai saat ini
masih kontroversi, tetapi masih bisa dianjurkan dengan alasan. Pada
bronkiolitis selain terdapat proses inflamasi akibat infeksi virus juga ada
bronkospasme dibagian perifer saluran napas (bronkioli). Beta 2 agonis
dapat meningkatkan aktivitas mukosilier. Nebulasi dengan agonis ß2 :
salbutamol 0,1 mg/kgBB/dosis, diencerkan dengan cairan normal saline,
diberikan 4-6 kali per hari. Steroid diberikan pada bronkiolitis berat:
Dexametason 0,1-0,2 mg/kgBB/dosis IV (Plint, 2009).
Pemakaian kortikosteroid pd bronkiolitis masih
kontroversial.3 Banyak studi terdahulu yang telah dilakukan untuk
mencari efektivitas kortikosteroid pada pengobatan bronkiolitis. Penelitian

18
pada 61 penderita bronkiolitis anak dengan menggunakan deksametason
oral pada anak yang telah menggunakan nebulasi salbutamol tidak
didapatkan perbedaan antara grup perlakuan plasebo terhadap saturasi
oksigen, laju napas, skor RDAI dan lamanya rawat inap. Hasil yang
hampir sama juga didapatkan pada pemberian deksametason intravena
pada penderita bronkiolitis, dan ternyata tidak didapatkan perbedaan
terhadap skor klinis, laju napas, dan tes fungsi paru pada hari ke-3. Tetapi
Schuh dkk (2002) yang melakukan penelitian pada penderita bronkiolitis
yang dirawat jalan mendapatkan hasil bahwa dengan pemberian
deksametason oral 1 mg/kgBB mengurangi angka rawat inap penderita
bronkiolitis (Plint, 2009).
b. Antibiotik
Penggunaan antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita
bronkiolitis, karena sebagian besar disebabkan oleh virus. Penggunaan
antibiotik justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang
resisten terhadap antibiotik tersebut. Kecuali jika terdapat tanda-tanda
infeksi sekunder seperti perubahan pada kondisi umum penderita,
peningkatan leukosit atau pergeseran hitung jenis, atau adanya dugaan
sepsis maka perlu diperiksa kultur darah, urine, feses dan cairan
serebrospinalis, untuk itu secepatnya diberikan antibiotik yang memiliki
spektrum luas.
c. Antivirus
Bronkiolitis paling banyak disebabkan oleh virus sehingga ada
pendapat untuk mengurangi beratnya penyakit dapat diberikan antivirus.
Ribavirin adalah synthetic nucleoside analogue, menghambat aktivitas
virus termasuk RSV. Ribavirin menghambat translasi messeger RNA
(mRNA) virus kedalam protein virus dan menekan aktivitas polymerase
RNA. Titer RSV meningkat dalam 3 hari setelah gejala timbul atau 10 hari
setelah terkena virus. Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi

19
virus selama fase replikasi aktif, maka pemberian ribavirin lebih
bermamfaat pada fase awal infeksi (Ventre, 2007).
Efektivitas ribavirin sampai saat ini masih kontroversi mengenai
efektivitas dan keamanannya. Dalam sebuah penelitian dengan pemberian
ribavirin ini dapat terjadi perbaikan SaO2, penurunan penggunaan
ventilasi mekanik, lama perawatan di rumah sakit lebih singkat, dan
adanya perbaikan fungsi paru. Tetapi dalam penelitian lain, penggunaan
ribavirin tidak memberikan efek perbaikan. Perbedaan hasil tersebut
kemungkinan karena desain, metode yang dipakai berbeda termasuk
jumlah sampel yang terlibat. Dan keterlambatan dalam memulai terapi.
Kekurangan dari terapi ribavirin, harganya yang sangat mahal (Ventre,
2007).
American of Pediatric merekomendasikan penggunaan ribavirin pada
keadaan diperkirakan penyakitnya menjadi lebih berat seperti pada
penderita bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit
paru-paru kronik, immunodefisiensi, dan pada bayi-bayi prematur. Ada
beberapa penelitian prospektif tentang penggunaan ribavirin pada
penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung dapat menurunkan angka
kesakitan dan kematian jika diberikan pada saat awal. Penggunaan
ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol 12–18 jam per hari atau
dosis kecil dengan 2 jam 3 x/hari (Ventre, 2007)
4. Nasal Suction
Beberapa ahli mengungkapkan bahwa nasal suction dapat meningkatkan
melegakan pernapasan pada bayi dengan bronkiolitis. Nasal suction
digunakan untuk membersihkan sekresi lendir yang menyumbat jalan napas
(SIGN, 2006).

Tabel 1. Klasifikasi dan Penanganan Berdasarkan Tingkat Keparahan


Bronkiolitis (RCH, 2011)

20
Keparahan Tanda Penanganan
Ringan 1. Kesadaran baik/compose Dapat ditangani di rumah
mentis, warna kulit dengan istirahat dan makan
merah muda lebih sering dalam porsi
2. RR: normal kecil. Dapat dilakukan
3. Penggunaan alat bantu kunjungan follow-up ke
napas: tidak ada atau dokter dalam 24 jam.
minimal
4. Dapat makan dengan
baik
5. Saturasi oksigen > 93%
6. Episode apneu tidak ada
Sedang 1. Irritable, Lemah Dibawa ke RS:
2. Peningkatan RR, 1. Pemberian oksigen untuk
tracheal tug, nasal mempertahankan saturasi
flaring, kesulitan oksigen >92%
bernapas 2. Pemberian cairan
3. Penggunaan alat bantu intravena
napas : retraksi dinding 3. Observasi setiap jam
dada (sedang)
4. Kesulitan makan
5. Adanya kelainan jantung
atau saluran napas
6. Mild hipoksemia:
Saturasi oksigen 90-93%
7. Membaik dengan
pemberian oksigen
8. Usia kurang dari enam
bulan
9. Adanya Episode apneu
Berat 1. Letargi, peningkatan 1. Monitor jantung dan
iritabilitas, fatigue pernapasan
2. Peningkatan atau 2. Perawatan di ICU
penurunan RR, tracheal 3. Penggunaan CPAP atau
tug, nasal flaring, ventilator
kesulitan bernapas.
3. Penggunaan alat bantu
napas : retraksi dinding
dada
4. Enggan atau tidak bisa
makan.
5. Hipoksemia: Saturasi
oksigen <90%
6. Tidak membaik dengan

21
pemberian oksigen
7. Peningkatan frekuensi
apneu (prolonged
apnoeas).

I. Komplikasi
Dalam kebanyakan kasus, penyakit ini self-limited diseases. Namun, pada
bayi yang imunosupresi dan penyakit jantung bawaan atau penyakit paru-
paru, bronkiolitis dapat menyebabkan (Piastra et al, 2010):
1. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
2. Bronchiolitis obliterans
3. Penyakit paru-paru kronis
4. Apneu, pneumonia, sindrom aspirasi, gagal nafas yang membutuhkan
ventilator mekanik,
5. Pneumothorak dapat juga terjadi pada penyakit obstruksi yang berat. Ada
beberapa kelompok pasien yang beresiko tinggi terhadap infeksi RSV
yang berat yaitu : bayi prematur (usia kehamilan <35 minggu), penyakit
jantung kongenital, penyakit paru kronik, fibrosis kistik, dan kelainan
fungsi imunologi (bisa karena kemoterapi, transplantasi, dan kelainan
imunodefisiensi kongenital atau didapat)
6. Gagal jantung kongestif
7. Infeksi sekunder
8. Miokarditis
9. Aritmia
10. Komplikasi seperti otitis media akut, pneumonia bakterial dan gagal
jantung jarang dijumpai.

J. Prognosis
Fase penyakit yang paling kritis berlangsung 48-72 jam pertama setelah
batuk dan dispnea dimulai. Pada fase ini, bayi tampak sangat sakit, dapat

22
terjadi apneu pada bayi yang sangat muda, dan asidosis respiratori. Sesudah
fase kritis, perbaikan terjadi dengan cepat. Angka kematian berkisar antara
0,2% sampai 7%. Kematian bronkiolitis diakibatkan oleh serangan apnea yang
lama, asidosis respiratoir berat yang tidak terkompensasi, atau dehidrasi berat
akibat kehilangan penguapan air dan takipnea serta ketidakmampuan untuk
minum. Rata-rata perjalanan penyakit bronkiolitis terjadi selama 7-10 hari
(Oreinstein, 2002).
Kriteria pulang pada bronkiolitis adalah bila tidak diperlukan oksigen
dalam 10 jam terakhir (ditandai dengan saturasi oksigen menetap di atas 93%
atau stabil selama 4 jam), retraksi dada minimal, mampu makan/minum, dan
perbaikan tanda klinis yang lain (Oreinstein, 2002).
Sekitar 30-40% anak-anak dengan bronkiolitis akan timbul wheezing
berikutnya hingga umur 7 tahun, yang ditandai dengan peningkatan eosinofil
selama infeksi RSV masih ada.  Pada beberapa penelitian dinyatakan bahwa
pasien yang mempunyai riwayat bronkiolitis sebelumnya akan menjadi faktor
resiko tinggi timbulnya wheezing yang berulang atau predisposisi terjadinya
asma pada masa kanak-kanak. Dan juga bisa dijumpai kelainan fungsi
pernapasan yang minimal pada anak-anak usia sekolah (Oreinstein, 2002).

23
II. KESIMPULAN

1. Bronkiolitis adalah infeksi akut saluran respiratorik bawah yaitu bronkiolus yang
biasanya disebabkan oleh infeksi virus dan menimbulkan obtruksi jalan nafas
2. Faktor risiko terjadinya bronkiolitis yaitu bayi atau anak berumur kurang dari 2
tahun, paling sering pada usia 6 bulan, Berat badan lahir rendah, terutama bayi
prematur, bayi yang terpapar rokok .
3. Gejala bronkiolitis berupa pilek serous, batuk, bersin, kadang-kadang disertai
demam 38.5-39oC, dan nafsu makan berkurang, diikuti oleh adanya distres
respirasi berupa kesulitan bernapas (sesak) yang umumnya pada saat ekspirasi,
batuk paroksismal, dan wheezing.
4. Terapi bronkiolitis yaitu oksigen NK (1-2 L/menit), terpai cairan dan nasogastrik
dengan feading drip, pemberian inhalasi dengan salin normal dan beta agonis
untuk memperbaiki transpor mukosilier untuk sekresi berlebih. Pemberian
antibiotik, inhalasi beta 2 agoni, inhalasi kortikosteroid masih kontroversi.
5. Komplikasi beronkiolitis berupa Acute respiratory distress syndrome (ARDS),
Bronchiolitis obliterans, Penyakit paru-paru kronis, Apneu, pneumonia, sindrom
aspirasi, gagal nafas, dan pneumothoraks.

24
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics. 2010. Bronchiolitis . available at :


http://my.clevelandclinic.org/childrens-hospital/health-info/diseases-
conditions/hic-Bronchiolitis-and-Your-Child (diakses tanggal 1 Juni 2016)

Baldwin, Nick. 2013. Bronchiolitis: Patogenesis and Clinical Finding. The Calgary
Guide.

Dawson KP, Long A, Kennedy J, Mogridge N. 2009. The chest radiograph in acute
bronchiolitis. J Paediatr Child Health.. 26(4):209-11.

de Waal L, Koopman LP, van Benten IJ, et al. 2013. Moderate local and systemic
respiratory syncytial virus-specific T-cell responses upon mild or subclinical
RSV infection. J Med Virol;70:309-318.

entre K, Randolph AG. 2007. Ribavirin for respiratory syncytial virus infection of the
lower respiratory tract in infants and young children. Cochrane Database Syst
Rev.

Koehoorn M, Karr CJ, Demers PA, Lencar C, Tamburic L, dan Brauer M. 2013.
Descriptive epidemiological features of bronchiolitis in a population-based
cohort. Pediatrics. 122(6):1196-203. 

Orenstein DM. Bronchiolitis. 2002. Dalam Behrman RE, Kliegen RM, Arvin Am,
penyunting. Nelson Texbook of Pediatrics. Edisi kelimabelas. Saunders,
Philadelphia. h.1211-2.

Piastra M, Caresta E, Tempera A, Langer A, Zorzi G, Pulitano S. Sharing features of


uncommon respiratory syncytial virus complications in infants. Pediatr Emerg
Care. 2006 Aug. 22(8):574-8.

Plint AC, Johnson DW, Patel H, Wiebe N, Correll R, Brant R, et al. 2009.
Epinephrine and dexamethasone in children with bronchiolitis. N Engl J Med.
360(20):2079-89.

RCH (The Royal Children Hospital Melbourne). 2011. Clinical Practice Guideline.
Bronchiolitis Guideline. Available at:
http://www.rch.org.au/clinicalguide/guideline_index/Bronchiolitis_Guideline/
(diakses tanggal3 Juni 2016)

Rudan I, Tomaskovic L, Boschi-Pinto C, Campbell H. 2014. Global estimate of the


incidence of clinical pneumonia among children under five years of age.  World
Health Organisation. Dec. 82(12):895-903

25
Serafino RL, Gurgel RQ, Dove W, Hart CA, Cuevas LE. 2011. Respiratory syncytial
virus and metapneumovirus in children over two seasons with a high incidence
of respiratory infections in Brazil. Ann Trop Paediatr. 24(3):213-7

SIGN (Scottish Intercollegiate Guidlines Network). 2006. Bronchiolitis Guidline.in


Children. NHS

Terrosi C, Di Genova G, Martorelli B, Valentini M, Cusi MG. 2013. Humoral


immunity to respiratory syncytial virus in young and elderly adults. Epidemiol
Infect. 137(12):1684-6.

Van Woensel JBM, van Aalderen WMC, Kimpen JLL. 2013. Viral lower respiratory
tract infection in infants and young children. British Medical Journal 327:36-
40.

Voets S, van Berlaer G, Hachimi-Idrissi S. 2006. Clinical predictors of the severity of


bronchiolitis. Eur J Emerg Med. 13(3):134-8.

26

Anda mungkin juga menyukai