Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1
lebih bamyak ditemukan pada anak-anak yang sering bermain di tanah yang telah
terkontaminasi, sehingga mereka lebih mudah terinfeksi oleh cacain-cacing tersebut.
Biasanya hal ini terjadi pada daerah di mana penduduknya sering membuang tinja
sembarangan sehingga lebih mudah terjadi penularan. Pengalaman dalam hal membedakan
sifat berbagai spesies parasit , kista, telur, larva, dan juga pengetahuan tentang bentuk
pseudoparasit dan artefak yang dikira parasit, sangat dibutuhkan dalam pengidentifikasian
suatu parasit.
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
Untuk mengidentifikasi adanya telur cacing pada faeses.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari percobaan ini yaitu setelah melakukan praktikum ini kita dapat
mengetahui jenis parasit penyebab infeksi telur cacing pada faeses.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
berlebihan seperti pada anemia hemolitik. Sedangkan warna hitam dapat disebabkan
obat yang yang mengandung besi, arang atau bismuth dan mungkin juga oleh melena.
D. Bau
Indol, skatol dan asam butirat menyebabkan bau normal pada tinja. Bau busuk
didapatkan jika dalam usus terjadi pembusukan protein yang tidak dicerna dan
dirombak oleh kuman. Reaksi tinja menjadi lindi oleh pembusukan semacam itu.
Tinja yang berbau tengik atau asam disebabkan oleh peragian gula yang tidak dicerna
seperti pada diare. Reaksi tinja pada keadaan itu menjadi asam.
E. Darah
Adanya darah dalam tinja dapat berwarna merah muda,coklat atau hitam. Darah itu
mungkin terdapat di bagian lua rtinja atau bercampur baur dengan tinja. Pada
perdarahan proksimal saluran pencernaan darah akan bercampur dengan tinja dan
warna menjadi hitam, ini disebut melena seperti pada tukak lambung atau varices
dalam oesophagus. Sedangkan pada perdarahan di bagian distal saluran pencernaan
darahterdapat di bagian luar tinja yang berwarna merah muda yang dijumpai pada
hemoroid atau karsinoma rektum.
F. Lendir
Dalam keadaan normal didapatkan sedikit sekali lendir dalam tinja. Terdapatnya
lendir yang banyak berarti ada rangsangan atau radang pada dinding usus. Kalau
lendir itu hanya didapat di bagian luar tinja, lokalisasi iritasi itu mungkin terletak
pada usus besar. Sedangkan bila lendir bercampur baur dengan tinja mungkin sekali
iritasi terjadi pada usus halus. Pada disentri, intususepsi dan ileokolitis bisa
didapatkan lendir saja tanpa tinja.
G. Parasit
Diperiksa pula adanya cacing ascaris, anylostoma dan lain-lain yang mungkin
didapatkan dalam tinja
2.2 Pemeriksaan Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopik meliputi pemeriksaan protozoa, telur cacing, leukosit, eritosit,
sel epitel, kristal dan sisa makanan. Dari semua pemeriksaan ini yang terpenting adalah
pemeriksaan terhadap protozoa dan telur cacing.
A. Protozoa
4
Biasanya didapati dalam bentuk kista, bila konsistensi tinja cair baru didapatkan
bentuk trofozoit.
B. Telur cacing
Telur cacing yang mungkin didapat yaitu Ascaris lumbricoides, Necator americanus,
Enterobius vermicularis, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan sebagainya.
C. Leukosit
Dalam keadaan normal dapat terlihat beberapa leukosit dalam seluruh sediaan. Pada
disentri basiler, kolitis ulserosa dan peradangan didapatkan peningkatan jumlah
leukosit. Eosinofil mungkin ditemukan pada bagian tinja yang berlendir pada
penderita dengan alergi saluran pencenaan.
D. Eritrosit
Eritrosi thanya terlihat bila terdapat lesi dalam kolon, rektum atau anus. Sedangkan
bila lokalisasi lebih proksimal eritrosit telah hancur. Adanya eritrosit dalam tinja
selalu berarti abnormal
E. Sisa makanan
Hampir selalu dapat ditemukan juga pada keadaan normal, tetapi dalam keadaan
tertentu jumlahnya meningkat dan hal ini dihubungkan dengan keadaan abnormal.
Sisa makanan sebagian berasal dari makanan daun-daunan dan sebagian lagi berasal
dari hewan seperti serat otot, serat elastisdan lain-lain. Untuk identifikasi lebih lanjut
emulsi tinja dicampur dengan larutan lugol untuk menunjukkan adanya amilum yang
tidak sempurna dicerna. Larutan jenuh Sudan IIIatau IV dipakai untuk menunjukkan
adanya lemak netral seperti pada steatorrhoe. Sisa makanan ini akan meningkat
jumlahnya pada sindroma malabsorpsi.
2.3 Parasit Pada Cacing
A. Morfologi dan Siklus Hidup Ascaris lumbricoides
Ascaris lumbricoides memiliki bentuk giling (silindris) yang memanjang merah muda
keputihan. Ukuran cacing betina dewasa yaitu 20-35 cm dengan diameter 3-6 mm
sedangkan ukuran cacing jantan 15-31 cm dengan diameter 2-4 mm (Supali et al.,
2009). Cacing jantan Ascaris lumbricoides pada bagian ujung posteriornya tajam dan
melengkung, sedangkan pada cacing betina memiliki ujung posterior yang lurus.
Mulut Ascaris lumbricoides memiliki tiga tonjolan bibir berbentuk segitiga, antara lain
5
satu tonjolan dibagian dorsal dan dua tonjolan di ventrolateral. (Ideham & Pusarawati,
2007; Bethony et al., 2006).
6
Gambar 2. Telur cacing Ascaris lumbricoides
Apabila telur yang infektif tertelan oleh manusia, telur akan menetas di
dalam usus menjadi larva. Larva menginvasi mukosa usus halus menuju pembuluh
darah atau saluran limfe menuju paru. Di paru, larva menembus dinding pembuluh
darah, dinding alveolus, dan memasuki rongga alveolus. Larva naik ke bronkiolus
menuju bronkus lalu ke trakea menuju faring sehingga menimbulkan rangsangan pada
faring. Siklus hidup Ascaris lumbricoides ini berlangsung sekitar 65-70 hari atau kurang
lebih 2-3 bulan, dimulai sejak telur matang, tertelan, sampai dengan cacing dewasa
bertelur (Supali et al., 2009).
7
Gambar 3. Telur Trichuris trichiura (CDC, 2013).
Infeksi terjadi secara langsung dan tidak memerlukan hospes perantara. Cacing
betina menghasilkan telur sebanyak 3000 - 20.000 telur perhari di dalam sekum lalu
telur tersebut keluar bersama feses dan akan berkembang di tanah (Ideham &
Pusarawati, 2007). Telur menjadi infektif dalam waktu 2-6 minggu bila pada keadaan
lingkungan sesuai. Kondisi berkembangnya telur seperti kondisi suhu 25-28oC, di tanah
yang lembab dan terhindar dari sinar matahari (Supali et al., 2009).
Telur infektif dapat tertelan oleh manusia melalui tangan atau makanan yang
terkontaminasi, setelah tertelan telur akan aktif dan dapat menjadi larva, melalui dinding
telur yang rapuh larva keluar menuju ke usus halus bagian proksimal menembus fili-fili
usus dan menetap 3-10 hari didekat kripta Lieberkuhn. Setelah dewasa, cacing turun
ke usus bagian distal lalu masuk ke kolon asenden dan sekum (Ideham & Pusarawati,
2007). Masa pertumbuhan mulai dari telur tertelan hingga dewasa dan memproduksi
telur diperlukan waktu 30-90 hari dengan jangka waktu hidup 4-6 tahun atau menetap
hingga 8 tahun (Bethony et al., 2006).
8
BAB III
METODELOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Adapun waktu dan tempat dilaksanakannya praktikum pemeriksaan feses yaitu:
Hari/Tanggal : Sabtu, 29 Juni 201
Pukul : 09.00 – 10.30 WITA
Tempat : Laboratorium Terpadu FK UNIZAR
3.2 Alat
1. Objek glass
2. Cover glass
Gambar 4.
3. Lidi
Gambar 5.
4. Mikroskop
9
Gambar 6.
5. Pot sampel
6. Selotip
7. Kertas minyak
8. Kawat saring
Gambar 7.
9. Kertas karton
Gambar 8.
3.3 Bahan
1. Faeses
10
2. Eosin 2%
Gambar 9.
3. Larutan kato (Malacite green 3%, gliserin, aquadest)
4. Tissue
3.4 Cara Kerja
Sediaan Langsung
1. Teteskan 1-2 tetes eosin 2% pada object glass.
Gambar 10.
2. Ambil sedikit faeses dengan menggunakan lidi.
11
Gambar 11.
3. Letakkan pada object glass yang sudah ditetesi eosin 2% kemudian dicampur.
Gambar 12.
4. Tutup dengan cover glass.
5. Amati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x.
Teknik Kato
1. Rendam selotip pada lauratan kato selama kurang lebih 24 jam sebelum dipakai.
12
Gambar 13.
2. Letakkan kertas minyak diatas meja kerja.
Gambar 14.
3. Ambil kurang lebih seruas jari tangan faeses menggunakan lidi kemudian ditaruh di
atas kertas minyak.
4. Letakkan kawat saring diatas faeses lalu ditekan dengan dua batang lidi sehingga
faeses naik ke atas melalui kawat saring.
5. Pindahkan faeses yang sudah ada di atas kawat saring sebesar biji kacang merah (20
– 50 mg) ke atas objeck glass.
13
Gambar 15.
6. Tutup dengan selotipe yang sudah direndam dengan larutan kato, usahakan perekat
selotip menghadap ke faeses diatas objeck glass.
7. Ratakan faeses ke seluruh penjuru di bawah selotip dengan objeck glass lainnya
hingga cukup tipis.
8. Biarkan sediaan selama 20-30 menit di atas tissue.
9. Periksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10x.
14
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sediaan Langsung
Gambar 16.
Berdasarkan hasil pemeriksaan feses menggunakan sediaan langsung yaitu eosin 2%,
didapatkan gambaran ascharis lumbricoides.
4.2 Teknik kato
Gambar 17.
Berdasarkan hasil pemeriksaan feses menggunakan teknik kato, didapatkan gambaran
trichuris trichiura.
15
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang dilakuakan dalam pemeriksaan feses dengan menggunakan
dua metode yaitu sediaan langsung dan teknik kato di dapatkan telur cacing pada feses
tersebut yaitu gamabaran ascharis lumbricoides yang menggunakan metode sediaan
langsung dan gambaran trichuris trichiura yang menggunakan metode teknik kato.
16
DAFTAR PUSTAKA
Bethony, J., brooker., Albinico, M., Geiger, S. M., Loukas, A., Diemert, D., et al., 2006. Soil-
Transmitted Helminth Infections: Ascariasis, Trichuriasis, and Hookworm. Lancet,
367: 1521-32.
Ideham, B., dan Pusarawati, S., 2007. Helmintologi Kedokteran. Surabaya: Airlangga University
Press
Supali, T., Margono, S. S., dan Abidin, S. A. N., 2009. Nematoda Usus. Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Soedarmo, S.S.P. et al., 2012. Penyakit Infeksi Parasit. Dalam: Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis edisi kedua. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI.
17