Anda di halaman 1dari 70

LAPORAN LENGKAP

PRAKTIKUM PARASITOLOGI I

O LE H

SITTI RAHMAH M PO714203151042

SRI WAHYUNI HAFID PO714203151043

SUWESTY RAHAYU P PO714203151044

SYARIFAH ANNISA A PO714203151045

PROGRAM STUDI D-IV

JURUSAN ANALIS KESEHATAN

POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

2016
NEMATODA

1. TINJAUAN PUSTAKA

Helmintologi adalah ilmu yang mempelajari parasit berupa cacing. Berdasarkan taksonomi,
helmin dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Nemathelminthes (cacing gilik; nema = benang)
b. Plathyhelminthes (cacing pipih)

Cacing nemathelminthes, termasuk ke dalam kelas nematoda mempunyai jumlah spesies


terbanyak diantara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit. Nematoda dalam parasitologi
kedokteran terbagi menjadi 2, yaitu :
a. Nematoda usus, yang hidup di rongga usus
b. Nematoda jaringan, yang hidup di berbagai jaringan tubuh

Cacing-cacing tersebut berbeda-beda dalam habitat, daur hidup dan hubungan hospes-
parasit (host-parasite relationship). Pada nematoda usus, terdapat sejumlah spesies yang
ditularkan melalui tanah disebut soil transmitted helminthes. Beberapa spesies nematoda usus
tersebut, yaitu:
a. Ascaris lumbricoides
b. Necator americanus
c. Ancylostoma duodenale
d. Trichuris trichiura
e. Strongyloides stercoralis
f. Toxocara sp (Toxocara canis dan Toxocara cati)
g. Enterobius vermicularis
h. Trichinella spiralis

Sedangkan spesies nematoda jaringan terdiri dari:


a. Wuchereria bancrofti
b. Brugia malayi
c. Brugia Timori
d. Loa-loa
e. Onchocerca volvulus

Nematoda mempunyai berbagai macam ukuran. Nematoda juga mempunyai kepala, ekor,
dinding, rongga badan dan alat-alat lain yang agak lengkap. Stadium dewasa cacing nematoda
berbentuk bulat memanjang dan pada potongan transversal tampak rongga badan dan alat-alat.
Cacing tersebut mempunyai alat kelamin yang terpisah. Sistem pencernaan, ekskresi dan
reproduksinya terpisah. Umumnya cacing nematode bertelur tapi ada juga yang vivipar dan
berkembang biak secara parthenogenesis. Seekor cacing betina dapat mengeluarkan telur atau
larva sebanyak 20-200.000 butri sehari. Telur atau larva tersebut dikeluarkan dari dalam tubuh
hospesnya melalui tinja. Bentuk infektif dari cacing nematode ini dapat masuk ke dalam tubuh
manusia melalui berbagai cara, ada yang masuk secara aktif, ada pula yang tertelan atau masuk
melalui gigitan vektor.

1.1 NEMATODA USUS

a. Ascaris lumbricoides

Klasifikasi
Phylum
:

Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris
Species : Ascaris lumbricoides
Morfologi
Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm. Pada cacing
jantan ujung posteriornya lancip dan melengkung ke arah ventral, dilengkapi pepil
kecil dan dua buah spekulum berukuran 2 mm, sedangkan pada cacing betina
bagian posteriornya membulat dan lurus, dan 1/3 pada anterior tubuhnya terdapat
cincin kopulasi, tubuhnya berwarna putih sampai kuning kecoklatan dan
diselubungi oleh lapisan kutikula yang bergaris lurus.
Telur yang dibuahi, besarnya kurang lebih 60 x 45 mikron, dan yang tidak dibuahi
90 x 40 mikron. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang
menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini,
bila terbentuknya oval melebar, mempunyai lapisan yang tebal dan berbenjol-
benjol, dan umumnya berwarna coklat keemasan, ukuran panjangnya dapat
mencapai 75 m dan lebarnya 50 m. Telur yang belum dibuahi umumnya lebih
oval dan ukuran panjangnya dapat mencapai 90 m, lapisan yang berbenjol-benjol
dapat terlihat jelas dan kadang-kadang tidak dapat dilihat.
Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat yang
mempunyai kelembaban tinggi dan pada suhu 25-30 C. Pada kondisi ini telur
tumbuh menjadi bentuk yang infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-3
minggu.
Siklus Hidup
Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk
infektif dalam waktu kurang lebih 3 (tiga) minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan
oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus
menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian
mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah,
lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui
bronkiolus dan bronkus.
Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada
faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam
esophagus, lalu menuju usus halus. Di usus halus berubah manjadi cacing dewasa.
Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu
kurang lebih 2 (dua) bulan.
Patologi
Gejala yang timbul pada manusia disebabkan oleh cacing dewasa dan larva.
Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru-paru. Pada orang
yang rentan terjadi pendarahan ringan di dinding alveolus disertai batuk, demam,
dan eusinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu
tiga minggu. Keadaan tersebut disebut sindrom Loeffler. Gangguan yang
disebabkan cacing dewasa menyebabkan penderita terkadang mengalami
gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga
memeperberat keadaan malnutrisi dan penurunan status kognitif pada anak. Efek
yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi
usus (ileus). Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran
empedu, apendik, atau ke bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat
sehingga kadang-kadang perlu tindakan kooperatif.
Epidemiologi
Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya 60-
90%. Kurangya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah
dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di
tempat pembuangan sampah bahkan di negara-negara tertentu terdapat kebiasaan
memakai tinja sebagai pupuk.
Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu 25 o-30o C merupakan kondisi yang sangat
baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides menjadi bentuk infektif.
Pencegahan dan Pengendalian
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:
- Hendaknya pembuangan tinja (feses) pada W.C. yang baik
- Pemeliharaan kebersihan perorangan dan lingkungan
- Penerangan atau penyuluhan melalui sekolah, organisasi kemasyarakatan
oleh guru-guru dan pekerja-pekerja kesehatan
- Hendaknya jangan menggunakan tinja sebagai pupuk kecuali sudah dicampur
dengan zat kimia tertentu
Upaya pengendalian yang dapat dilakukan antara lain dengan memutus siklus
hidup Ascaris lumbricoides. Pemakaian jamban keluarga dapat memutus rantai
siklus hidup Ascaris lumbricoides ini. Kurang disadarinya pemakaian jamban
keluarga oleh masyarakat dapat menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja
disekitar halaman rumah, di bawah pohon dan di tempat-tempat pembuangan
sampah. Upaya pengendalian juga dapat dilakukan dengan memberikan obat-
obatan seperti yang diberikan secara perorangan maupun massal. Obat lama yang
pernah digunakan adalah piperasin, tiabendasol, heksilresorkimol, dan hetrazam.

b. Toxocara canis dan Toxocara cati


Klasifikasi
Klasifikasi Toxocara canis:
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Toxocara
Species : Toxocara canis

Klasifikasi Toxocara cati:


Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Toxocara
Species : Toxocara cati
Morfologi
Toxocara canis jantan mempunyai ukuran panjang 3,6-8,5 cm sedangkan yang
betina 5,7-10 cm, Toxocara cati jantan mempunyai ukuran 2,5-7,8 cm, sedangkan
yang betina berukuran 2,5-14 cm. Bentuknya menyerupai Ascaris lumbricoides
muda. Pada Toxocara canis terdapat sayap servikal yang berbentuk seperti lanset,
sedangakan pada Toxocara cati bentuk sayap lebih lebar, sehingga kepalanya
menyerupai kepala ular kobra. Bentuk ekor kedua spesies hampir sama; yang
jantan ekornya berbentuk seperti tangan dengan jari yang sedang menunjuk
(digitiform), yang betina ekornya bulat meruncing.
Siklus Hidup
Telur yang keluar bersama tinja anjing atau kucing akan berkembang menjadi telur
infektif di tanah yang cocok. Hospes definitif dapat tertular baik dengan menelan
telur infektif atau dengan memakan hospes paratenik yang tinggal di tanah seperti
cacing tanah dan semut. Penularan larva pada anak anjing atau kucing dapat terjadi
secara transplasental dari induk anjing yang terinfeksi atau melalui air susu dari
induk kucing yang terinfeksi telur tertelan manusia (hospes paratenik) kemudian
larva menembus usus dan ikut dalam peredaran darah menuju organ tubuh (hati,
jantung, paru, otak, dan mata). Di dalam orang larva tersebut tidak mengalami
perkembangan lebih lanjut.
Patologi
Pada manusia larva cacing tidak menjadi dewasa dan mengembara di alat-alat
dalam. Kelainan yang timbul karena migrasi larva dapat berupa perdarahan,
nekrosis, dan peradangan yang didominasi oleh eosinofil. Larva dapat terbungkus
dalam granuloma kemudian dihancurkan atau tetap hidup selama bertahun-tahun.
Kematian larva menstimulasi respon imun immediate-type hipersisentivity yang
menimbulkan penyakit visceral larva migrans (VLM). Dengan gejala demam,
perbesaran hati, dan limfa, gejala saluran nafas bawah seperti bronkhouspasme.
Kelainan pada otak menyebabkan kejang, gejala neuro psikitrik/ensefalopati berat
ringannya gejala klinis dipengaruhi oleh jumlah larva dan umur penderita.
Umumnya penderita VLM adalah anak usia di bawah 5 tahun karena mereka
banyak bermain di tanah atau kebiasaan memakan tanah yang terkontaminasi tinja
anjing atau kucing.
Epidemiologi
Toxocara canis dan Toxocara cati tersebar secara kosmopolit dan ditemukan juga
di Indonesia. Di jakarta prevalensi pada anjing 38,3% dan pada kucing 26,0%.
Prevalensi toxocariasis pada anjing dan kucing pernah dilaporkan di Jakarta
masing-masing mencapai 38,3 % dan 26,0 %.
Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan infeksi dilakukan dengan mencegah pembuangan tinja anjing atau
kucing peliharaan secara sembarangan terutama di tempat bermain anak-anak dan
kebun sayuran. Pada manusia, pencegahan dilakukan dengan pengawasan terhadap
anak yang mempunyai kebiasaan makan tanah, peningkatan kebersihan pribadi
seperti, kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, tidak makan daging yang
kurang matang dan membersihkan secara seksama sayur lalapan.

c. Enterobius vermicularis
Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Ordo : Oxyurida
Famili : Oxyuroidea
Genus : Enterobius
Species : Enterobius vermicularis
Morfologi
Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. Pada ujung anteriornya ada
pelebaran kutikulum seperti sayap yang disebut alae. Bulbus esofagus jelas sekali
ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh telur.
Cacing jantan berukuran 2-5 mm juga mempunyai sayap dan ekornya melingkar
sehingga bentuknya seperti tanda tanya, spikulum pada ekor jarang ditemukan.
Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus besar, dan di usus halus
yang berdekatan dengan rongga sekum.
Siklus Hidup
Manusia adalah satu-satunya hospes Enterobius vermicularis. Tempat hidup cacing
kremi dewasa biasanya adalah coecum, dan bagian usus besar dan usus halus yang
berdekatan dengan coecum. Cacing betina yang hamil, yang mengandung kira-kira
11.000 butir telur pada malam hari bermigrasi ke daerah perianal dan perineal,
tempat telurnya dikeluarkan dalam kelompok-kelompok dengan kontraksi uterus
dan vagina karena rangsangan suhu yang lebih rendah dan lingkungan udara. Telur
menjadi matang dan infektif beberapa jam setelah dikeluarkan. Telur jarang
dikeluarkan di dalam rongga usus maka pemeriksaan tinja tidak penting. Bila telur
ditelan, larva stadium pertama menetas di dalam duodenum.
Patologi
Enterobiasis relatif tidak berbahaya jarang menimbulkan lesi yang berarti. Gejala
klinis yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, perineum, dan vagina oleh
cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga
menyebabkan pruritus lokal. Karena cacing bermigrasi ke daerah anus dan
menyebabkan proritusani maka penderita menggaruk daerah di sekitar anus.
Keadaan ini terjadi pada waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya
dan menjadi lemah. Terkadang cacing dewasa muda bergerak ke usus halus bagian
proksimal sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga menyebabkan
gangguan pada daerah tersebut. Cacing betina gravid mengembara dan dapat
bersarang di vagina dan di tubafalopi sehingga menyebabkan radang di saluran
telur.
Beberapa gejala infeksi Enterobius vermicularis yaitu kurang nafsu makan, berat
badan turun, aktivitas tinggi, enuresis, cepat marah, insomnia, gigi menggeretak
dan masturbasi, tetapi kadang-kadang sukar untuk membuktikan hubungan sebab
dengan cacing kremi.
Epidemiologi
Penyebaran cacing kremi lebih luas daripada cacing lain. Penularan dapat terjadi
pada keluarga atau kelompok yang hidup dalam satu lingkungan yang sama
(asrama, rumah piatu). Telur cacing dapat diisolasi dari debu di ruangan sekolah
atau kafetaria sekolah dan menjadi sumber infeksi bagi anak-anak sekolah. Di
berbagai rumah tangga dengan bebarapa anggota keluarga yang mengandung
cacing kremi, telur cacing dapat ditemukan (92%) di lantai, meja, kursi, bufet,
tempat duduk kakus, bak mandi alas kasur, pakaian dan tilam. Penelitian di daerah
Jakarta Timur melaporkan bahwa enterobiasis sering menyerang pada anak usia 5-
9 tahun yaitu pada 46 anak (54,1%) dari 85 anak yang diperiksa.
Penularan dapat dipengaruhi oleh:
- Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal
(autoinfeksi) atau tangan dapat menyebarkan telur kepada orang lain maupun
kepada diri sendiri karena memegang benda-baenda maupun pakaian yang
terkontaminasi.
- Debu merupakan sumber infeksi karena mudah diterbangkan oleh angin
sehingga telur melalui debu dapat tertelan.
- Retrofeksi melalui anus : larva dari telur yang menetas disekitar anus kembali
masuk ke usus.
Anjing dan kucing tidak mengandung cacing kremi tetapi dapat menjadi sumber
infeksi oleh karena telur dapat menempel pada bulunya. Frekuensi di Indonesia
tinggi terutama pada anak dan lebih banyak ditemukan pada golongan ekonomi
lemah. Frekuensi pada orang kulit putih lebih tinggi daripada orang negro.
Pencegahan dan Pengendalian
Penularan enterobiasis dapat melalui tangan, debu ataupun retrofeksi melalui anus
oleh karena itu upaya pencegahan yang dapat dilakukan di antaranya:
- Menjaga kebersihan diri sendiri
- Kuku sebaiknya pendek dan selalu cuci tangan sebelum makan
- Makanan hendaknya dihindarkan dari debu dan tangan yang mengandung
parasit
- Pakaian dan alas kasur hendaknya dicuci bersih dan diganti setiap hari
- Anak yang mengandung Enterobius vermicularis sebaiknya memakai celana
panjang jika hendak tidur supaya alas kasur tidak terkontaminasi dan tangan
tidak dapat menggaruk daerah perianal
Upaya pengendalian dapat dilakukan dengan cara memberikan obat-obatan seperti
pyrantel pamoat, mebendazol ataupun albendazol.

d. Necator americanus dan Ancylostoma duodenale


Klasifikasi
Klasifikasi Necator americanus
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Ordo : Enoplida
Famili : Rhabditoidea
Genus : Necator
Species : Necator americanus
Klasifikasi Ancylostoma duodenale
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Ordo : Rhabditida
Famili : Rhabditoidea
Genus : Ancylostoma
Species : Ancylostoma duodenale
Morfologi
Cacing tambang dewasa berbentuk silindris, cacing betina berukuran 9-13 mm
sedangakan cacing jantan berukuran 5-10 mm bentuk Necator americanus
berbentuk seperti huruf S, sedangkan Ancylostoma duodenale memiliki bentuk
seperti huruf C. Rongga mulut kedua spesies cacing ini lebar dan terbuka. Pada
Necator americanus mulut dilengkapi dengan gigi kitin, sedangkan pada
Ancylostoma duodenale dilengkapi dua pasang gigi berbentuk lancip. Cacing
jantan pada kedua cacing ini, ujung ekornya mempunyai bursa kopulatriks,
sedangkan yang betina ujung ekornya lurus dan lancip. Secara morfologis kedua
spesies cacing dewasa ini mempunyai perbedaan yang nyata (terutama bentuk
tubuh, rongga mulut dan bursa kopulatriksnya).
Siklus hidup
Telur kedua cacing ini, keluar bersama dengan tinja. Di dalam tubuh manusia
dengan waktu 1-1,5 hari telur telah menetas dan mengeluarkan larva rabditiform
kemudian dalam waktu sekitar 3 hari, larva rabditiform berkembang menjadi larva
filariform (bentuk infektif). Larva filariform dapat tahan di dalam tanah selama 7-8
minggu. Infeksi pada manusia terjadi apabila larva filariform menembus kulit atau
tertelan.
Siklus hidup kedua cacing tambang ini dimulai dari larva filariform menembus
kulit manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan berturut-turut menuju jantung
kanan, paru-paru, bronkus, trakea, laring dan terakhir dalam usus halus sampai
menjadi dewasa.
Patologi
Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis, yaitu:
- Stadium larva
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi
perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasannya
ringan infeksi larva filariform Ancylostoma duodenale secara oral
menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi faring,
batuk, sakit leher dan serak
- Stadium dewasa
Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita
(Fedan Protein). Tiap cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan
darah sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale 0,08-
0,34 cc. Pada infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Di samping
itu juga terdapat eosinofilia. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan
kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja turun
Epidemiologi
Insidens tinggi ditemukan pada penduduk Indonesia, terutama di daerah pedesaan,
khususnya di perkebunan. Seringkali pekerja perkebunan yang langsung
berhubungan dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defekasi
di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun (di berbagai daerah tertentu)
penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah
tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk Necator americans 280-
320 C, sedangkan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah (230-250C). Pada
umumnya Ancylostoma duodenale lebih kuat. Untuk menghindari infeksi, antara
lain dengan memakai sandal atau sepatu.
Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan:
- Menghindari kontak langsung dengan tanah dan tempat kotor lainnya
- Hendaknya pembuangan feses pada tempat atau WC yang baik
- Melindungi orang yang mungkin mendapat infeksi
- Pemberantasan melalui perbaikan sanitasi lingkungan
- Hendaknnya penggunaan tinja sebagai pupuk dilarang, kecuali tinja tersebut
sudah dicampur dengan zat kimia tertentu untuk membunuh parasitnya
- Penerangan melalui sekolah-sekolah
- Menjaga kebersihan diri
- Selalu menggunakan sandal atau alas kaki ketika bepergian
- Meminum vitamin B12 dan asamfolat
Pengendalian:
Pengendalian dilakukan dengan cara pengobatan. Pengobatan yang dilakukan
yaitu melalui obat pilihan bernama tetrakloretilen (juga infektif untuk
Ancylostoma duodenale ). Obat lain yang bisa digunakan adalah mebendazol,
albendazol, pirantelpamoat, bitoskamat, dan befenium hidrosinafoat.

e. Strongyloides stercoralis
Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Ordo : Enoplida
Famili : Rhabiditoidea
Genus : Strongyloides
Species : Strongyloides stercoralis
Morfologi
Cacing ini disebut cacing benang, terdapat bentuk bebas di alam dan bentuk
parasitik di dalam intestinum vertebrata. Bentuk parasitik adalah parthenogenetik
dan telur dapat berkembang di luar tubuh hospes, langsung menjadi larva infektif
yang bersifat parasitik atau dapat menjadi bentuk larva bebas yang jantan dan
betina. Bentuk bebas ditandai dengan adanya cacing jantan dan betina dengan
esofagus rabditiform, ujung posterior cacing betina meruncing ke ujung vulva
terletak di pertengahan tubuh. Bentuk parasitik ditandai dengan esofagus filariform
tanpa bulbus posterior, larva infektif dari generasi parasitik mampu menembus
kulit dan ikut aliran darah.
Cacing dewasa betina hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyunum.
Cacing betina berbentuk filiform, halus, tidak berwarna dan panjangnya kira-kira 2
mm. Cacing dewasa betina memiliki esofagus pendek dengan dua bulbus dan
uterusnya berisi telur dengan ekor runcing. Cara berkembang biaknya adalah
secara parthenogenesis. Telur bentuk parasitik diletakkan di mukosa usus,
kemudian menetas menjadi larva rabditiform yang masuk ke rongga usus serta
dikeluarkan bersama tinja. Cacing dewasa jantan yang hidup bebas panjangnya
kira-kira 1 mm, esophagus pendek dengan 2 bulbus, ekor melingkar dengan
spikulum. Larva rabditiform panjangnya 225 mikron, ruang mulut: terbuka,
pendek dan lebar. Esophagus dengan 2 bulbus, ekor runcing. Larva Filariform
bentuk infektif, panjangnya 700 mikron, langsing, tanpa sarung, ruang mulut
tertutup, esophagus menempati setengah panjang badan, bagian ekor berujung
tumpul berlekuk.
Siklus Hidup
Cara berkembang biak Strongyloides stercoralis diduga secara parthenogenesis.
Telur bentuk parasitik diletakkan di mukosa usus, kemudian telur tersebut menetas
menjadi larva rabditiform yang masuk ke rongga usus serta dikeluarkan bersama
tinja. Parasit ini mempunyai tiga macam daur hidup.
- Siklus langsung
Sesudah 2-3 hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran 225 x 16
mikron, berubah menjadi larva filariform berbentuk langsing dan merupakan
bentuk infektif, panjangnya 700 mikron. Bila larva filariform menembus
kulit manusia, larva tumbuh masuk ke dalam peredaran darah vena, kemudian
melalui jantung kanan sampai ke paru. Dari paru parasit yang mulai dari
dewasa menembus alveolus masuk ke trakea dan laring. Sesudah sampai di
laring terjadi refleks batuk, sehingga parasit tertelan kemudian sampai di usus
halus bagian atas dan menjadi dewasa cacing betina yang dapat bertelur
ditemukan kurang lebih 28 hari sesudah infeksi
- Siklus tidak langsung
Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing
jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk bebas lebih gemuk dari bentuk
parasitik. Cacing betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran
0,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan dua buah
spikulum, sesudah pembuahan,cacing betina menghasilkan telur yang
menetas menjadi larva rabditiform. Larva raditiform dalam waktu beberapa
hari dapat menjadi larva filariform yang infektif dan masuk ke dalam hospes
baru, atau larva rabeditiform tersebut mengulangi fase hidup bebas. Siklus
tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum
yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit
ini, misalnya di negeri tropik dengan iklim lembab yang lebih dingin dengan
keadaan yang lebih menguntungkan untuk parasit tersebut
- Autoinfeksi
Larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau di
daerah di sekitar anus. Bila larva filariform menembus mukosa usus atau kulit
perianal maka terjadi daur perkembangan di dalam hospes. Autoinfeksi dapat
menyebabkan strongiloidiasis menahun pada penderita yang hidup di daerah
nonendemik
Patologi
Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan kulit
yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai rasa gatal yang hebat.
Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus halus. Infeksi ringan
Strongyloides stercoralis terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak
menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabklan rasa sakit seperti
tertusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual
dan muntah diare dan konstipasi saling bergantian. Pada strongioloidiasis dapat
terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup
sebagai parasit dapat ditemukan di seluruh traktus di gestivus dan larvanya dapat
ditemukan di berbagai alat dalam (paru, hati, kandung empedu). Pada pemeriksaan
darah mungkin ditemukan eosinofilia atau hipereosinofilia meskipun pada banyak
kasus jumlah sel eosinofil normal.
Epidemiologi
Daerah yang panas, kelembaban yang tinggi dan sanitasi kurang, sangat
menguntungkan cacing strongiloides sehingga terjadi daur hidup yang tidak
langsung. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ini adalah tanah gembur,
berpasir dan humus.
Pencegahan dan Pengendalian
Penularan strongiloidasisdapat dicegah dengan cara menghindari kontak dengan
tanah, tinja atau genangan air yang diduga terkontaminasi oleh larva infektif.
Tindakan pencegahannya dilakukan sesuai dengan pencegahan penularan infeksi
cacing tambang pada umumnya seperti memakai alat-alat yang menyehatkan
untuk pembuangan kotoran manusia dan memakai sepatu atau alas kaki waktu
bekerja di kebun. Upaya pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara
memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai cara penularan, cara
pembuatan serta pemakaian jamban.
Pengendalian bisa dilakukan yaitu apabila diketahui seseorang positif terinfeksi,
orang itu harus segera diobati. Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat
mebendazol, pirantel pamoat dan levamisol walaupun hasilnya kurang
memuaskan. Saat ini obat yang banyak dipakai adalah tiabendazol.

f. Trichuris trichiura
Klasifikasi
Phylum :
Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass :
Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Trichinelloidea
Genus : Trichuris
Species : Trichuris trichiura
Morfologi
Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm.
Bagian enterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang
seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk dan cacing betina
bentuknya membulat tumpul, sedangkan pada cacing jantan melingkar dan
terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum
(caecum) dengan satu spikulum dengan bagian anteriornya yang seperti cambuk
masuk kedalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan
telur setiap hari antara 3000-10000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32
mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada
kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian
dalamnya jernih.
Siklus Hidup
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi
matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah
yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan
merupakan bentuk yang infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan
hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui telur dan masuk ke dalam usus
halus. Sesudah manjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke
daerah kolon, terutama sekum (caecum). Jadi cacing ini tidak mempunyai siklus
paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa
betina menetaskan telur kira-kira 30-90 hari.
Patologi
Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi
dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak-
anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di
mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada
waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga
terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada
tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu rupanya cacing ini
menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Bila infeksinya
ringan biasanya asymtomatis (tanpa gejala). Bila jumlah cacingnya banyak
biasanya timbul diarrhea dengan feses yang berlendir, nyeri perut, dehidrasi,
anemia, lemah dan berat badan menurun.
Epidemiologi
Faktor penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja.
Telur tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimum 30 oC.
Pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di
Indonesia tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya sebesar
30-90%.
Pencegahan dan Pengendalian
Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan
penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik, pendidikan tentang sanitasi
dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, dan
mencuci sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagidinegeri yang
memakai tinja sebagai pupuk.

g. Trichinella spiralis
Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Ordo : Enoplida
Famili : Trichinelloidea
Genus : Trichinella
Species : Trichinella spiralis
Morfologi
Bentuk cacing dewasa ini sangat halus menyerupai rambut. Ujung anteriornya
langsing, mulut kecil, bulat tanpa papel. Cacing jantan panjangnya 1,4-1,6 mm,
ujung posteriornya melengkung ke ventral dan mempunyai umbai berbentuk lobus,
tidak mempunyai spikulum tepi, dan tidak terdapat vas deferens yang bisa
dikeluarkan sehingga dapat membantu kopulasi. Cacing betina panjangnya 3-4
mm, posteriornya membulat dan tumpul, vulva terletak seperlima bagian dari
anterior tubuh. Cacing betina tidak mengelurkan telur tetapi mengelurakan larva.
Panjang larva yang baru dikeluarkan kurang lebih 80-120 mikron, bagian anterior
runcing dan ujungnya menyerupai tombak.
Siklus Hidup
Awal infeksi pada manusia terjadi dengan memakan daging karnivora dan
omnivora mentah atau tidak dimasak dengan sempurna. Daging tersebut
mengandung kista yang berisi larva infektif yang berjumlah mencapai 1500 buah.
Daging dicerna di dalam lambung sehingga terjadi ekskistasi (larva keluar). Larva
masuk kedalam mukosa usus kemudian masuk ke dalam limfa dan peredaran
darah, lalu disebarkan ke seluruh tubuh, terutama otot diafragma, iga, lidah, laring,
mata, perut, rahang, leher, bisep dan lain lain.
Kurang lebih awal minggu ke 4 larva yang telah tumbuh hanya menjadi kista
dalam otot bergaris lintang. Panjang kista 0,8-1 mm. Larva dalam kista dapat
bertahan hidup sampai beberapa tahun. Kista dapat hidup di otot selama kurang
lebih 18 bulan, kemudian terjadi perkapuran dalam waktu 6 bulan sampai 2 tahun.
Infeksi terjadi bila daging babi yang mengandung larva infektif yang terdapat
dalam kista dimakan. Di usus halus bagian proksimal dinding kista dicernakan
dan dalam waktu beberapa jam larva dilepaskan dan segera masuk ke mukosa
kemudian menjadi dewasa dalam waktu 1,5-2 hari.
Patologi
Gejala trikinosis tergantung pada beratnya infeksi yang disebabkan oleh cacing
stadium dewasa dan stadium larva. Gejala klinis yang disebabkan cacing ini
meliputi sakit perut, diare, mual dan muntah. Masa tunas gejala usus ini kira-kira
1-2 hari sesudah infeksi. Larva tersebut tersebar di otot kurang lebih 7-8 hari
setelah infeksi. Pada saat ini timbul nyeri otot (mialgia) dan radang otot (miositis)
yang disertai demam pembengkakan, edema muka, badan lemah, eusinofilia dan
hipereosinofilia. Akibat kerusakan otot dapat menyebabkan gangguan mengunyah,
menelan, bernapas. Gejala lain yang timbul adalah polyneuritis, polionielitis,
mengisitis, ensefalitis, dermatomiositis dan nodosa. Kasus infeksi terberat adalah
miokaritis. Biasanya terjadi pada minggu ke 3, sedangkan kematian sering terjadi
pada minggu ke 4 sampai ke 8. Diperkirakan 20% sampai 80% penderita trikinosis
umumnya mengalami kelainan susunan saraf pusat. Apabila penderita tidak segera
diobati, kematian bisa mencapai 50%. Pada pemeriksaan hematologis, eusinofilia,
darah tepi minimal mencapai 20%. Banyak kasus ditemukan lebih dari 50%
bahkan mencapai 90%, terutama selama terjaadi kasus serangan otot. Gejala akan
berkurang setelah larva mengalami enkapsulasi. Di sini larva membentuk dinding
kista dan mengalami klasifikasi.
Epidemiologi
Cacing ini tersebar diseluruh dunia kecuali di kepulauan Pasifik dan Australia.
Frekuensi trikonosis pada manusia ditentukan oleh temuan larva dan kista di
mayat atau melalui tes intrakutan. Frekuensi ini banyak ditemukan di negara yang
penduduknya gemar memakan daging babi. Di daerah tropis dan subtropis
frekuensi trikinosis sedikit. Infeksi pada manusia tergantung pada hilang atau tidak
hilangnya penyakit ini dari babi.
Dilihat dari daur hidupnya, ternyata babi dan tikus memelihara infeksi di alam.
Infeksi pada babi terjadi karena babi makan tikus yang mengandung larva infektif
dalam ototnya, atau karena babi makan sampah dapur dan sampah penjagalan
(garbage) yang berisi sisa-sisa daging babi yang mengandung larva infektif.
Sebaliknya, tikus mendapat infeksi karena makan sisa daging babi di penjagalan
atau di rumah dan juga karena makan bangkai tikus. Frekuensi trikonosis pada
manusia tinggi di daerah tempat orang banyak makan babi yang diberi makanan
dari sisa penjagalan. Infeksi T.spiralis pada manusia tergantung dari lenyapnya
penyakit ini pada babi, misalnya dengan sisa penjagalan yang mengandung
potongan-potongan mentah. Pengolahan daging babi sebelum dimakan oleh
manusia juga penting. Home made sausage dapat lebih berbahaya. Hendaknya
dilakukan pula pendidikan pada ibu rumah tangga dalam cara memasak daging
babi yang baik. Larva mati pada suhu kira-kira 60 o C atau pada suhu jauh dibawah
titik beku. Larva tidak mati dalam daging yang diasin atau diasap.
Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi pada manusia tergantung pada hilang atau tidaknya penyakit ini dari babi.
Pencegahan dapat dilakukan dengan memusnahkan sisa potongan-potongan
daging mentah yang banyak ditemukan di penjagalan,tidak memberi makan babi
dengan daging sisa penjagalan, memasak daging babi dengan matang sempurna
serta menghindari pengolahan daging babi yang diasap atau diasinkan. Diperlukan
obat analgetik untuk menghilangkan sakit kepala dan nyeri otot.

h. Ancylostoma branziliense, Ancylostoma caninum dan Ancylostoma ceylanicum.


Klasifikasi
Klasifikasi Ancylostoma caninum
Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Class : Secernentea
Order : Strongylida
Family : Ancylostomatidae
Genus : Ancylostoma
Species : Ancylostoma caninum
Klasifikasi Ancylostoma braziliense
Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Class : Secernentea
Order : Strongylida
Family : Ancylostomatidae
Genus : Ancylostoma
Species : Ancylostoma braziliense
Klasifikasi Ancylostoma ceylanicum
Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Class : Secernentea
Order : Strongylida
Family : Ancylostomatidae
Genus : Ancylostoma
Species : Ancylostoma ceylanicum
Morfologi
Cacing dewasa tidak ditemukan pada manusia. Ancylostoma braziliense dewasa
yang jantan panjangnya 4,7-6,3 mm, sedangkan yang betina panjangnya 6,1-8,4
mm. Mulutnya mempunyai sepasang gigi besar dan sepasang gigi kecil. Cacing
jantan mempunyai bursa kopulatrik kecil dengan ras pendek. Ancylostoma
caninum jantan panjangnya 10 mm dan betinanya 14 mm. Mulutnya mempunyai 3
pasang gigi besar. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatrik besar dengan ras
panjang dan langsing. Ancylostoma ceylanicum dapat menjadi dewasa pada
manusia. Di rongga mulut terdapat dua pasang gigi yang tidak sama besarnya.
Siklus Hidup
Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari,
keluarlah larva rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rabditiform tumbuh
menjadi larva filariform (bentuk infektif), yang dapat menembus kulit dan dapat
hidup dalam 7-8 minggu di tanah. Daur hidup kedua cacing ini dimulai dari larva
filariform menembus kulit manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan
berturut-turut menuju jantung, paru-paru, bronkus, trakea, laring dan terakhir
dalam usus halus sampai menjadi dewasa.
Patologi
Pada manusia, larva tidak menjadi dewasa dan menyebabkan kelainan kulit yang
disebut creeping eruption, creeping disease atau cutaneous larva migrans.
Creeping eruption adalah suatu dermatitis dengan gambaran khas berupa kelainan
intrakutan serpiginosa, yang antara lain disebabkan Ancylostoma braziliense dan
Ancylostoma caninum. Pada tempat larva filariform menembus kulit terjadi papel
keras, merah dan gatal. Dalam beberapa hari terbentuk terowongan intrakutan
sempit yang tampak sebagai garis merah, sedikit menimbul, gatal sekali dan
bertambah panjang menurut gerakan larva didalam kulit. Sepanjang garis yang
berkelok-kelok terdapat vesikel-vesikel kecil dan dapat terjadi infeksi sekunder
karena kulit di garuk.
Epidemiologi
Ketiga cacing ini ditemukan di daerah topik dan subtropik dan juga ditemukan di
Indonesia. Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing
ditemukan 72% Ancylostoma braziliense, sedangkan pada sejumlah anjing
terdapat 18% Ancylostoma braziliense dan 68% Ancylostoma caninum. Diantara
100 anjing, 37% mengandung Ancylostoma ceylanicum. Cacing ini juga
ditemukan pada 50 ekor kucing sebanyak 24%. Kelompok anjing dan kucing ini
berasal dari Jakarta dan sekitarnya.
Pencegahan dan Pengendalian
Kucing dan anjing merupakan hospes definitif Ancylostoma braziliense dan
Ancylostoma caninum. Penularan bisa dicegah dengan menghindari kontak
dengan tanah yang tercemar oleh tinja anjing dan kucing. Pengobatan pada kucing
perlu mempertimbangkan jenis obat cacing yang digunakan dan umur atau berat
minimum si kucing. Beberapa obat seperti diklorofen atau toluen hanya boleh
diberikan pada kucing setidaknya dengan berat badan 1kg dan ivermektin
setidaknya pada umur kucing 6 minggu diberikan selama 3 hari. Pyrantel pamoat
dapat diberikan setelah umur 2 minggu sekali saja.

1.2 NEMATODA JARINGAN

a. Wuchereria bancrofti
Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah hydrocele, chyluria, dan
elephantiasis.Penyakitnya sendiri dinamakan filariasis, lebih spesifiknya Bancroftian
filariasis.Penyakit ini sampai sekarang memang sudah banyak diketahui, namun sangat
sedikit yang benar-benar dimengerti.
Distribusi geografis
WHO memperkirakan ada 250 juta kasus filariasis di dunia dan kebanyakan
mereka tinggal dia Asia Selatan dan Sub Sahara Afrika. Jumlah kasus sudah
banyak sekali berkurang di Amerika dan diperkirakan daerah endemic hanya di
Haiti , Republik Dominika, dan daerah pantai Brazilia. Khusus Wuchereria
bancrofti, strain nocturnal periodic ditemukan di Asia , Afrika, dan Pasifik Barat,
sedangkan strain diurnal periodic banyak ditemukan di Pasifik Selatan.
Siklus hidup
Larva yang infeksius keluar dari proboscis nyamuk pada saat nyamuk menghisap
darah.Larva tersebut jatuh di kulit dan masuk ke dalam kulit melalui bekas luka
tusukan proboscis nyamuk.Larva ini bermigrasi ke saluran limfe dan berdiam di
kelenjar limfe terdekat.Di kelenjar limfe inilah larva berkembang menjadi cacing
dewasa jantan dan betina.
Pada saat nyamuk menghisap darah dapat saja microfilaria yang ada di peredaran
darah ikut terhisap dan masuk ke lambung nyamuk.Dari lambung nyamuk larva ini
bepenetrasi ke hemocele dan berkembang menjadi larva stadium I, II, dan III (L1,
L2, L3) di thorax nyamuk. Dari thorax nyamuk larva L3 yang aktif dapat
melakukan penetrasi kemana-mana antara lain ke proboscis nyamuk. Untuk
menjadi larva infeksius dibutuhkan waktu kurang lebih 10-14 hari di tubuh
nyamuk.Pada hari kesepuluh biasanya tubuh nyamuk telah penuh mengandung
larva yang berpenetrasi kemana-mana.Keadaan ini menyebabkan kematian bagi
nyamuk tersebut dan dengan sendirinya mengakibatkan menurunnya prosentasi
infeksi.Larva stadium III adalah larva yang infeksius dan siap menginfeksi
manusia bila mana nyamuk menghisap darah dan menjatuhkan L3 ke kulit
manusia, sehingga siklus di atas terulang kembali.
Morfologi
Microfilaria dari Wuschereria bancrofti mempunyai cirri khas yang dapat
digunakan sebagai pedoman untuk membedakannya dengan microfilaria yang lain.
Adapun ciri khas tersebut adalah :
- Microfilaria berukuran 244 -296
- Tubuhnya dikelilingi oleh selubung atau sheath. Wuschereria bancrofti
strainnocturnal periodic memilki sheath yang biasanya terlepas sedangkan
strain nocturnal sub periodic sheath, sheathnya tidak terlepas
- Bentuk tubuhnya panjang agak melengkung dengan dinding tubuh yang halus
- Boddy nuclei-nya terpisah-pisah atau berdiri sendiri-sendiri, berawarna biru
Wuschereria bancrofti dewasa hidup di kelenjar limfe. Cacing dewasa berwarna
putih susu dan berbentuk seperti benang dan berkitukula halus. Cacing jantan
berukuran 40 mm sedangkan cacing betina anata 80-100 mm. bagian posteriornya
membulat.
Cacing jantan memiliki papilla di bagigan posteriornya sebanyak 12 pasang,
spiculennya tidak begitu jelas nampak.Cacing betina memilki vulva yang terletak
di anterior tubuh, vaginanya pendek yang melanjutkan didi menjadi uterus.Di
dalam uterus ini sering ditemukan microfilaria yang berukuran 25x38 .
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis akibat infeksi cacing ini terbentuk beberapa bulan sampai
beberapa tahun setelah infeksi, tetapi ada beberapa orang yang hidup di daerah
endemis tetap asimtomatik selama hidupnya. Mereka yang menunjukkan gejala
akut mengeluh demam, limpangitis, limpadenitis, orchitis, sakit pada otot,
anoreksia dan malaise. Tidak jarang ditemukan adanya eosinofilia dan
microfilariaremial.
Suatu sindrom yang khas terjadi pada infeksi dengan Wuchereria bancrofti
dinamakan Weingartners syndrome atau Tropical pulmonary eosinophilia (TPE).
TPE terjadi di individu yang hipersensitif antigen filarial, memberi gambaran
batuk pada malam hari, menimbulkan suaru whizzing dan demam yang berderajat
rendah.
Diagnosa laboratorium
Diagnosa ditegakkan dengan menemukan adanya microfilaria dsalam darah tepi
yang dibuat sebagai preparat darah tebal.Pengambilan darah dilakukan pada saat
microfilaria berada dalam jumlah banyak di darah tepi sesuai periodositasnya (di
atas pukul 20.00 pada yang nocturnal periodic).Untuk menentukan diagnosa
mikroskopis secara tetat, cirri-ciri khas seperti yang dibicarakan mengenai
morfologi cacing ini dijadikan pedoman utama.Agar dapat ditemukan microfilaria
yang lebih banyak, orang sering menggunakan membrane technique atau
membrane filtration.
Pengobatan
Pengobatan yang dapat diberikan pada pasien filariasis dengan tipe cacing
wuchereria bancrofti, yaitu berupa diethylcarbamzine (DEC), hetrazan (1-diethyl
carbamyl 1-4 methylpiperazine dihydrogen citrate).Pertama kali dicoba di klinik
tahun 1947 dan telah menjadi obat pilihan untuk filariasis bancrofti.

b. Brugia Malayi
Hospes dan nama penyakit
Brugia malayi dapat dibagi dalam dua varian yaitu yang hidup pada manusia dan
yang hidup pada manusia dan hewan, misalnya kucing, kera dan lain-lain.
Penyakit yang disebabkan oleh brugia malayi disebut filariasis malayi.
Distribusi geografi
Brugia malayi hanya terdapat di Asia, dari india sampai ke jepang, termasuk
Indonesia (parasitologi kedokteran edisi 3). Pada daerah tersebut hanya manusia
yang merupakan satu-satunya definitive host. Sedangkan strain diurnal
subperiodik ditemukan di daerah Asia Tenggara. Di daerah ini selain manusia,
ternyata kera, kucing, dan beberapa hewan carnivore dapat menjadi reservoir host.
Epidemologi
Brugia malayi terutama ditularkan melalui Mansonia spp, Aedes spp dan
Anopheles sp. Brugia malayi hanya terdapat di pedesaan, karena vektornya tidak
dapat berkembang biak diperkotaan. Brugia malayi hanya hidup pada manusia dan
hewan biasanya terdapat di pinggir pantai atau aliran sungai, dengan rawa-rawa.
Penyebaran brugia malayi bersifat fokal, dari Sumatra sampai ke kepulauan
Maluku. Yang terkena penyakit ini terutama adalah petani dan nelayan. Kelompok
umur dewasa muda paling sering terkena penyakit ini, sehingga produktivitas
penduduk dapat berkurang akibat serangan adenolimfangitis yang berulang kali.
Cara pencegahan sama dengan filariasis bancrofti (Parasitologi kedokteran).
Daur hidup dan morfologi
Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan pembuluh limfe. Bentuknya
halus seperti benang dan berwarna putih susu. Yang betina berukuran 55 mm x
0,16 mm dan yang jantan berukuran 22-23 mm x 0,09 mm. Cacing betina
mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung ukurannya adalah 200-260 mikron x 8
mikron. (buku pasitologi kedokteran). Mikrofilaria dari cacing ini juga memiliki
sheath. Pada pewarnaan, sheath tersebut biasanya berwarna merah muda terang.
Pada slide yang dikeringkan dengan cepat, mikrofilaria cacing ini masih
mempertahankan sheath-nya sehingga Nampak terbungkus seluruhnya oleh
sheath. Bila mana slide dikeringkan secara perlahan-lahan, Nampak microfilaria
ini terlepas dari sheathnya.
Periodisitas mikrofilaria brugia malayi adalah periodic nokturna, subperiodik
nokturna atau non periodik. Brugia malayi yang hidup pada manusia ditularkan
oleh nyamuk Anopheles barbirositris dan yang hidup pada manusia dan hewan
ditularkan oleh nyamuk Mansonia. Daur hidup parasit ini cukup panjang, tetapi
lebih pendek daripada W.bancrofti. masa perumbuhannya di dalam nyamuk kurang
lebih 10 hari dan pada manusia kurang lebih 3 bulan. Di dalam tubuh nyamuk
parasit ini juga mengalami dua kali pergantian kulit, berkembang dari larva
stadium I menjadi larva stadium II dan III, yang menyerupai perkembangan parasit
W.bancrofti. Di dalam tubuh manusia perkembangan parasit ini juga sama dengan
perkembangan W.bancrofti (Parasitologi kedokteran edisi ketiga).
Patologi dan gejala klinis
Gejala klinis pada filariasis malayi sama dengan gejala klinis pada filariasis timori.
Gejala klinis pada kedua penyakit tersebut tidak sama dengan filariasi bankrofti.
Stadium akut ditandai dengan serangan demam dan gejala peradangan saluran dan
kelenjar limfe, yang hilang timbul berulang kali. Limfadenitis biasanya mengenai
kelenjar limfe inguinal di satu sisi dan peradangan ini sering timbul setelah
penderita bekerja berat di ladang atau sawah. Limfadenitis biasanya berlangsung
2-5 hari dan dapat sembuh dengan sendirinya, tanpa pengobatan. Kadang-kadang
peradangan pada kelenjar limfe ini menjalar ke bawah, mengenai saluran limfe dan
menimbulkan limfangitis retrograde, yang bersifat khas untuk filariasis.
Peradangan pada saluran limfe ini dapat dilihat sebagai garis merah yang menjalar
kebawah biasanya ikut membengkak dan menimbulkan gejala limfedema.
Limfadenitis dapat pula berkembang menjadi bisul, pecah menjadi ulkus. Ulkus
pada pangkal paha, bila sembuh meninggalkan bekas sebagai jaringan parut dan
tanda ini merupakan salah satu gejala obyektif filariasis limfatik. Limfadenitis
dengan gejala komplikasinya dapat berlangsung beberapa minggu sampai tiga
bulan lamanya.
Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis dan dibuktikan dengan menemukan
microfilaria di dalam darah tepi.
- Diagnosis parasitologi, sama dengan pada filariasis bankrofti, kecuali sampel
berasal dari darah saja
- Radiodiagnosis umumnya tidak dilakukan pada filariasis malayi
- Diagnosis imunologi belum dapat dilakukan pada filariasis malayi

c. Brugia Timori
Hospes dan nama penyakit
Brugia timori hanya terdapat pada manusia. Penyakit yang disebabkan oleh brugia
timori disebut filariasis timori. Kedua penyakit tersebut kadang-kadang disebut
sebagai filariasis brugia.
Distribusi geografis
Brugia timori hanya terdapat di Indonesia Timur di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor
dan beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur.
Epidemologi
Brugia malayi dan brugia timori hanya terdapat dipedesaan, karena vektornya
tidak dapat berkembang biak diperkotaan. Brugia timori biasanya terdapat
didaerah persawahan, sesuai dengan tempat perindukan vektornya, An.barbirostris.
Brugia timori hanya terdapat di Indonesia bagian timur yaitu N.T.T dan timor-
timur. Yang terkena penyakit ini terutama adalah petani dan nelayan. Kelompok
umur dewasa muda paling sering terkena penyakit ini, sehingga produktivitas
penduduk dapat berkurang akibat serangan adenolimfangitis yang berulang kali.
Cara pencegahan sama dengan filariasis bankrofti
Daur hidup dan morfologi
Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan pembuluh limfe. Bentuknya
halus seperti benang dan berwarna putih susu. Yang betina berukuran 21-39 mm x
0,1 mm dan yang jantan 13-23 mm x 0,08 mm. cacing betina mengeluarkan
microfilaria yang bersarung, ukuran microfilaria brugia timori 280-310 mikron x 7
mikron (buku pasitologi kedokteran). Mikrofilia brugia timori mempunyai sifat
periodic noturna. Brugia timori ditularkan oleh nyamuk An. Barbirostris. Daur
hidup dari brugia timori cukup panjang, tetapi lebih pendek daripada W.bancrofti.
Masa pertumbuhannya didalam nyamuk kurang lebih 10 hari dan pada manusia
kurang lebih 3 bulan. Didalam tubuh nyamuk brugia timori juga mengalami dua
kali pergantian kulit, berkembang dari larva stadium I menjadi larva stadium II dan
III, menyerupai perkembangan parasit W.bancrofti. didalam tubuh manusia
perkembangan brugia timori juga sama dengan perkembangan W.bancfroti.
Patologi dan gejala klinis
Gejala klinis pada filariasis malayi sama dengan gejala klinis pada filariasis timori.
Gejala klinis pada kedua penyakit tersebut tidak sama dengan filariasi bankrofti.
Stadium akut ditandai dengan serangan demam dan gejala peradangan saluran dan
kelenjar limfe, yang hilang timbul berulang kali. Limfadenitis biasanya mengenai
kelenjar limfe inguinal di satu sisi dan peradangan ini sering timbul setelah
penderita bekerja berat di ladang atau sawah. Limfadenitis biasanya berlangsung
2-5 hari dan dapat sembuh dengan sendirinya, tanpa pengobatan. Kadang-kadang
peradangan pada kelenjar limfe ini menjalar ke bawah, mengenai saluran limfe dan
menimbulkan limfangitis retrograde, yang bersifat khas untuk filariasis.
Peradangan pada saluran limfe ini dapat dilihat sebagai garis merah yang menjalar
kebawah biasanya ikut membengkak dan menimbulkan gejala limfedema.
Limfadenitis dapat pula berkembang menjadi bisul, pecah menjadi ulkus. Ulkus
pada pangkal paha, bila sembuh meninggalkan bekas sebagai jaringan parut dan
tanda ini merupakan salah satu gejala obyektif filariasis limfatik. Limfadenitis
dengan gejala komplikasinya dapat berlangsung beberapa minggu sampai tiga
bulan lamanya.

d. Loa-Loa (Cacing Loa, Cacing Mata)


Hospes Dan Nama Penyakit
Parasit ini hanya ditemukan pada manusia. Penyakitnya disebut loaiasis atau
calabar swelling (fugitive swelling).
Distribusi Geografik
Parasit ini tersebar di daerah khatulistiwa di hutan yang berhujan (rain forest) dan
sekitarnya. Terutama terdapat di Afrika Barat, Afrika Tengah, dan Sudan.
Ditemukan di Afrika tropik bagian barat dari Sierra Leone sampai Angola, lembah
Sungai Kongo, Republik Kongo, Kamerun, dan Nigeria bagian Selatan.
Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dewasa hidup dalam jaringan subkutan dan konjungtiva mata. Cacing
betina berukuran 50-70 x 0,5 mm dan yang jantan berukuran 30-34 x 0,35-0,43
mm. Cacing betina mengeluarkan mikrofilari yang beredar dalam darah pada siang
hari (diurna). Sedangkan pada malam hari mikrofilaria berada dalam pembuluh
darah paru. Mikrofilaria mempunyai sarung berukuran 250-300 mikron x 6-8,5
mikron. Dapat ditemukan dalam urin, dahak, dan kadang-kadang ditemukan dalam
cairan sum-sum tulang belakang.
Parasit ini ditularkan oleh lalat Chrysops. Mikrofilaria yang beredar dalam darah
diisap oleh lalat dan setelah kurang lebih 10 hari di dalam badan serangga,
mikrofilaria tumbuh menjadi larva inefektif dan siap ditularkan kepada hospes
lainnya. Cacing dewasa tumbuh dalam badan manusia dalam waktu 1-4 tahun,
berkopulasi dan cacing dewasa betina mengeluarkan mikrofilaria.
Patologi dan Gejala Klinis
Cacing dewasa yang mengembara dalam jaringan subkutan dan mikrofilari yang
beredar dalam darah seringkali tidak menimbulkan gejala. Cacing dewasa dapat
ditemukan diseluruh tubuh dan sering menimbulkan gangguan di konjungtiva mata
dan pangkal hidung. Menimbulkan iritasi pada mata, mata sembab, sakit, pelupuk
mata menjadi bengkak sehingga mengganggu penglihatan. Secara psikis pasien
menderita. Pada saat tertentu pasien menjadi hipersensitif terhadap zat sekresi
yang dikeluarkan oleh cacing dewasa dan menyebabkan reaksi radang bersifat
temporer. Kelainan yang khas dikenal dengan calabar swelling atau fugitive
swelling. Pembengkakan jaringan yang tidak sakit dan non-pitting ini dapat
menjadi sebesar telur ayam. Terdapat di tangan, lengan, atau sekitarnya. Timbul
secara spontan dan menghilang setelah beberapa hari atau seminggu sebagai
manifestasi supersensitive hospes terhadap parasite. Masalah utama bila cacing
masuk ke otak dan menyebabkan ensefalitis. Cacing dewasa dapat ditemukan
dalam cairan serebrospinal pada orang yang menderita meningoensefalitis.
Diagnosis
Ditemukan mikrofilaria dalam darah pada siang hari. Dan ditemukan cacing
dewasa pada daerah konjungtiva mata dan daerah subkutan.
Pengobatan
Obat utama untuk pengobatan loaiasis yaitu Dietilkarbamasin (DEC). Dengan
dosis 2 mg/kg brat badan/hari, diberikan 3 kali sehari sesudah makan selama 14
hari. DEC dapat membunug mikrofilaria dan cacing dewasa. Obat ini bersifat
profilaksis terhadap infeksi parasit. Saat ini mulai dicoba pengobatan dengan
ivermectin. Cacingdewasa di dalam mata dikeluarkan dengan pembedahan yang
dilakukan oleh seorang ahli.
Epidemiologi
Daerah endemic adalahdaerah lalat Chrysops silacea dan Chrysops dimidiate yang
mempunyai tempat perindukan di hutan hujan dengan kelembaban tinggi. Lalat ini
menyerang manusia yang sering masuk hutan, dan sering ditemukan pada pria
dewasa. Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari gigitan lalat atau
pemberian obat sebulan sekali selama 3 hari berturut-turut.

e. Onchocerca volvulus
Morfologi
Cacing dewasa berwarna putih, dengan garis transversal pada kutikula, filiform
dengan ujung tumpul. Pada bagian anterior terdapat 8 papila kecil. Untuk cacing
jantan ukurannya 19-42 cm x 130-210 m, dengan ujung posterior melengkung ke
ventral, terdapat papilla perianal dan kaudal yang ukuran dan jumlahnya
bervariasi. Sedangkan cacing ukurannya relative lebih besar, yaitu 33,5-50 cm x
270-420 m, vulva sedikit terbuka keatas terletak sedikit di belakang esofagus
bagian posterior. Di dalam uterus terdapat larva(mikrofilaria) yang akan dilahirkan
dan akan membebaskan diri dari sarungnya. Cacing betina ini dapat menghasilkan
mikrofilaria selama 9-10 tahun. Mikrofilaria termasuk kelompok tidak bersarung,
terdapat dua ukuran yaitu 285-368 x 6-9 m dan 150-287 x 5-7 m. Pada bagian
anterior dan posterior tidak terdapat inti.
Daur Hidup
Hospes perantara cacing ini yaitu genus simulium atau lalat hitam. Siklus hidupnya
yaitu mikrofilaria masuk pada gigitan, larva dewasa masuk melalui kulit manusia.
Kemudian larva akan menjadi filaria dewasa terlokalisir dan akan melepaskan
microfilaria dalam pembuluh darah.
Kemudian Simulium mengisap sari jaringan kulit sehingga microfilaria juga ikut
terisap. Mikrofilaria menembus lambung lalat menuju otot thorax mengadakan dua
kali penyilihan kulit sehingga dalam 6 hari telah terbentuk larva infektif yang
segera bergerak menuju labium, sehingga pada saat lalat menginjeksi hospes
microfilaria pun terikutkan.
Pada hospes, cacing ini biasa ditemukan di dalam benjolan(nodul) pada jaringan
ikat subkutan, kadang-kadang terdapat di jaringan lebih dalam, tidak teraba diluar.
Nodul ini dapat terjadi disetiap badan tetapi paling banyak di daerah pelvic, daerah
persambungan tulang dan di kepala terutama daerah temporal dan oksipital.
Menurut Garcia,1997, microfilaria dapat ditemukan (jarang) pada urin, darah dan
sputum. Cacing ini dapat hidup selama 11 tahun. Masa inkubasi pada manusia
tidak jelas, diduga kurang lebih satu tahun.
Epidemiologi
Penyebarannya terdapat didaerah Afrika tropic, Amerika tengah, dan Selatan
terutama daerah di sekitar sungai. Sampai saat ini masih tercatat ada 20-40 juta
orang yang terinfeksi dan 2 juta diantaranya mengalami kebutaan. Kebanyakan
penderita tinggal di daerah sekitar sungai yang arusnya deras, karena simulium spp
suka berkembang biak di daerah itu. Jumlah cacing per penderita biasanya
semakin meningkat dengan bertambahnya umur penderita dan tentu saja sangat
berhubungan dengan intensitas transmisi serta lamanya pemaparan. Penyakit ini
ditemukan baik pada orang dewasa maupun pada anak-anak. Infeksi yang
menahun seringkali diakhiri dengan kebutaan. Kebutaan terjadi pada penduduk
yang berdekatan dengan sungai, makin jauh dari sungai kebutaan semakin
berkurang oleh karena itu penyakit ini dikenal dengan river blindness.
Patogenesis Dan Gejala Klinis
Dimulai dari orang-orang yang mandi dan bekerja di tepi sungai yang telah
terinfeksi oleh parasit dari lalat hitam(stimulum). Larva akan menembus kulit
manusia dan berkembang di dalam jaringan perifer menjadi cacing dewasa.
Cacing ini kemudian akan kawin dan melepaskan microfilaria dalam darah ke
jaringan tubuh. Di sekitar cacing terdapat banyak sel PMN, sel plasma serta
eosinofil kadang kadang giant cell. Pada infeksi kronis dan berat (orang dewasa
diatas 20 tahun) akibat cacing betina yang melepaskan banyak microfilaria pada
jaringan subkutan dan jaringan okuler, maka akan menyebabkan dermatitis
pruritis, dan penyakit mata (kreatitis punktata, pembentukan pannus
kornea,korioretinits). Mula mula mata merasa silau, hilangnya sebagian
penglihatan bahkan akhirnya buta. Terjadinya komplikasi pada mata lebih sering
pada infeksi yang multiple. Perubahan pada kulit dapat membuat terjadi penebalan
serta pengerutan kulit menimbulkan gambaran lizzard atau elephant skin.
Diagnosis
Dengan peragaan parasit pada potongan isolasi yang diambil dari pantat/tungkai
atau dengan visualisasi dengan lampu celah microfilaria dalam kornea atau kamera
okuli anterior. Dan juga dengan menemukan mikcrofilaria dalam nodul. Selain itu
dengan tes imunologi. Imunodiagnostik karena biasanya sulit mendapatkan
parasitnya. Tes imunologi dapat dilakukan dengan teknik complementfixation test
dengan menggunakan ekstrak cacing sebagai antigen.
Deteksi adanya antibody spesifik lainnya dapat pula dilakukan dengan tes ELISA,
pada awal infeksi sebelum ditemukan microfilaria. Pada kasus yang terdapat
kecurigaan penyakit akan tetapi tidak ditemukan parasitnya,dapat dilakukan tes
Mazzotti yang merupakan tes kulit dan mata tidak boleh dilakukan jika
microfilaria ditemukan dalam mata.
2. PRAKTIKUM
2.1 NEMATODA USUS
a. Metode Langsung
Alat dan Bahan
- Mikroskop
- Objek glass
- Cover glass
- Lidi
- Pipet tetes
- Feses
- Safranin
- Lugol
- Formalin
Prosedur Kerja
- Siapkan sampel yang berupa feses sebelum pemeriksaan
- Pipet salah satu pewarna dengan menggunakan pipet tetes ke objek glass
- Feses diambil menggunakan lidi ke objek glass yang sudah ada pewarnanya
dan ratakan
- Tutup objek glass dengan menggunakan deck glass
- Kemudian amati dengan mikroskop
Interpretasi Hasil\
Pada sample konsentrat tinja ditemukan Ascaris lumbricoides
Gambar

b. Metode Sedimentasi
Alat Dan Bahan
- Centrifuge
- Tabung centrifuge
- Mikroskop
- Objek glass
- Deck glass
- Pipet tetes
- Lidi
- Feses
- Safranin / lugol
- Formalin
- Aquadest
Prosedur Kerja
- Buatlah larutan emulsi feses dengan menggunakan aquadest didalam gelas
piala 100 cc, homogenkan
- Pipet larutan emulsi feses kedalam tabung sentrifuge sampai tabung
- Lakukan sentrifuge dengan kecepatan 200 rpm selama 5 menit
- Buang larutan suspestan dengan satu kali tuang, kemudian tambahkan
kembali aquadest, homogenkan
- Sentrifuge kembali, hingga substan jernih
- Untuk hasil sentrifuge akhir, sisakan sedikit
- Pipet endapan atau sedimen yang tersisa, letakan di atas objec glass kemudian
tutup dengan deck glass
- Lakukan mikroskop dengan pembesaran 10x atau 40x
Interpretasi Hasil
Pada feses di temukan Ascaris lumbricoides
Gambar

c. Metode Floutasi
Alat dan Bahan
- Batang pengaduk
- Deck glass
- Mikroskop
- Objek glass
- Pipet tetes
- Rak tabung
- Tabung reaksi
- Beaker glass
- Aquadest
- Garam dapur / kristal NaCl
- Feses
Prosedur kerja
- Buatlah larutan NaCl jenuh dengan melarutkan garam ke aquadest
- Buatlah larutan emulsi,larutan feses dengan menggunakan larutan nacl jenuh
- Saring larutan emulsi feses juka terdapat serat dengan penyaring teh
- Pipet emulsi tinja dalam tabung reakssi, kemudian cukupkan vlumenya
dengan menggunakan nacl jenuh sampai rata dengan permukaan tabung
- Letakkan deck glass di atas permukaan tabung reaksi sehingga menyentuh
larutan, hindari terbentuknya gelembung
- Biarkan 10 sampai 20 menit sampai telur cacing naik kepermukaan larutan
- Pindahkan deck glass tersebut di atas objek glass yang bersih dan kering
- Lakukan microskopis
Interpretasi Hasil
Pada feses manusia ditemukan cacing Ascaris lumbricoides dan cacing Trichuris
trichiura.
Gambar
2.2 NEMATODA USUS
a. Pemeriksaan Jentik Nyamuk
Alat dan Bahan
- Mikroskop
- Beaker glass
- Objek glass
- Cover glass
- Pipet tetes
- Jentik nyamuk
Prosedur Kerja
- Jentik nyamuk yang berada di beaker glass dipindahkan ke objek glass
dengan menggunakan pipet tetes
- Kemudian tutup dengan deck glass
- Lakukan miroskopis
Interpretasi Hasil
Dari pemeriksaan ini di temukan jentik nyamuk jenis culex
Gambar

b. Pemeriksaan Apusan Darah (Filariasis)


Alat dan Bahan
- Mikroskop
- Lampu spiritus
- Darah kapiler
- Giemsa
Prosedur Kerja
- Darah kapiler diteteskan pada bagian tengah kaca obyek,
- Kemudian darah disebarkan hingga menjadi sediaan darah berdiameter 2x3
cm serta biarkan kering diudara.
- Lalu darah dihemolisis dan dibiarkan mengering .
- Setelah kering darah di fiksasi
- Dan diwarnai dengan pewarnaan giemsa
- Lalu diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 40x
Interpretasi Hasil
Dalam hasil pemeriksaan di temukan filariasis dalam darah
Gambar
TREMATODA

1. TINJAUAN PUSTAKA
Trematoda atau cacing daun termasuk dalam filum Platyhelminthes dan hidup sebagai
parasit.Banyak sekali macam hewan yang dapat berperan sebagai hospes definitif bagi cacing
trematoda, yaitu kucing, anjing, sapi, babi, tikus, burung, dan harimau. Manusia pun
merupakan hospes utama bagi cacing trematoda. Trematoda menurut tempat hidupnya dibagi
menjadi empat yaitu trematoda hati, trematoda paru, trematoda usus, dan trematoda darah.

Secara umum cacing-cacing ini mempunyai hospes definitif manusia. Cacing tersebut
sebagian juga dapat kita temukan di Indonesia seperti Schistosoma japonicum, Paragonimus
westermani, dan Clonorchis sinensis. Oleh sebab itu diperlukan informasi yang jelas dan
tepat mengenai spesies dari cacing tersebut, habitatnya, gejala penyakit, pengobatan,
pencegahan dan juga pengandaliannya, untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit
yang dapat timbul akibat cacing trematoda.

1.1 TREMATODA DARAH


a. Schistosoma japonicum
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Subkelas : Digenea
Ordo : Strigeidida
Genus : Schistosoma
Spesies : Schistosoma Japonicum
Hospes dan Nama Penyakit
Nama penyakit : Skistosomiasis japonica, demam keong
Hospes definitif : manusia, anjing, kucing, rusa, dll
Hospes perantara : keong air tawar
Distribusi Geografis
Cacing ini ditemukan di Asia Timur dan Asia Tenggara seperti RRC, Jepang,
Filipina, Taiwan, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Di Indonesia terdapat
Sulawesi Tengah.
Morfologi dan Daur Hidup
Telur berukuran 70-80 m, bentuk oval, berhialin, warna transparan atau
kuning pucat, spina sukar dilihat, terletak dilateral dan sangat kecil dapat jadi
tertutup butiran-butiran yang biasanya ditemukan pada permukaan telur, berisi
embrio besar bersilia.
Serkaria berbentuk badan ovoid memanjang, memiliki ekor bercabang.
Cacing jantan panjang 1,5 cm , gemuk, integumen duri-duri sangat halus dan
lancip, memiliki batil isap perut dan kepala serta kanalis ginekoporik, memliki 6-
8 buah testis. Cacing betina panjang 1,9 cm, langsing, ovarium ditengah tubuh,
uterus merupakan saluran yang panjang dan lurus berisi 50-100 butir telur,
kelenjar vitellaria di posterior terletak dalam kanalis ginekoporus cacing jantan.
Telur yang berada di air tawar menetas dan melepaskan mirasidium yang
berenang aktif. Mirasidium mencari keong yang sesuai dan menembus jaringan
lunak pada keong tersebut. Dalam tubuh keong mirasidium tersebut berkembang
menjadi sporokista I dan sporokista II kemudian menjadi larva serkaria yang
ekornya bercabang. Dalam waktu 24 jam serkaria menembus kulit hospes
menuju jaringan kapiler dan selanjutnya berturut-turut masuk ke dalam sirkulasi
vena, jantung kanan, paru-paru, jantung kiri, dan ke sirkulasi sistemik (visceral)
hingga menjadi dewasa. Infeksi pada hospes dapat bertahan dalam jangka waktu
lama, yaitu mencapai 27 tahun.
Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan tergantung dari beratnya infeksi. Kelainan yang ditemukan pada
stadium I adalah gatal-gatal (urtikaria). Gejala intoksikasi disertai demam,
hepatomegali, dan eosinofilia tinggi.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau jaringan
biopsi hati dan biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu
menegakkan diagnosis. Reaksi serologi dapat dipakai adalah COPT (Circumoval
precipitin test), IHT (Indirect Haemagglutation test), CFT (Complement fixation
test), FAT (Fluorescent antibody test) dan ELISA (Enzyme linked immuno
sorbent assay).
Pengobatan
Obat pilihan yang sering dipakai adalah prazikuantel. Selain itu, dapat juga
digunakan natrium antimony tartrat. Obat lainnya tidak memberikan hasil yang
memuaskan.
Epidemiologi dan Pencegahan
Di Indonesia penyakit ini ditemukan endemi di dua daerah di Sulawesi
Tengah, yaitu di daerah danau Lindu dan lembah Napu. Di daerah danau Lindu
penyakit ini ditemukan pada tahun 1937 dan di lembah Napu pada tahun 1972.
Sebagai sumber infeksi, selain manusia ditemukan pula hewan-hewan lain
sebagai hospes reservoar yang terpenting adalah berbagai spesies tikus sawah
(rattus). Selain itu rusa hutan, babi hutan, sapi, dan anjing dilaporkan juga
mengandung cacing ini.
Hospes perantaranya, yaitu keong air Oncomelania hupensis lindoensis baru
ditemukan pada tahun 1971 (Carney dkk, 1973). Habitat keong di daerah danau
Lindu ada 2 macam, yaitu:
- Fokus di daerah yang digarap seperti ladang, sawah yang tidak dipakai lagi,
atau di pinggir parit di antara sawah
- Fokus di daerah hutan di perbatasan bukit dan dataran rendah
Pencegahan dapat dilakukan dengan mengurangi sumber infeksi,
melindungi perairan yang terkontaminasi tinja dan urin penderita yang terinfeksi
s.japonicum, mengawasi keberadaan hospes perantara (keong), dan melindungi
orang dari terinfeksi larva serkaria, pembuangan tinja dan urin secara teratur
dapat memberantas penyakit, namun terhambat oleh kebiasaan yang tidak bisa
dihindari.

b. Schistosoma haematobium
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Subkelas : Digenea
Ordo : Strigeidida
Family : Schistosomatidae
Genus : Schistosoma
Species : Schistosoma haematobium
Hospes dan Nama Penyakit
Nama penyakit : Skistosomiasis kandung kemih
Hospes definitif : manusia, baboon
Hospes perantara : keong air tawar
Distribusi Geografis
Cacing ini ditemukan di negara Timur Tengah, Afrika, dan Spanyol.
Morfologi dan Daur Hidup
Telur berukuran 145 x 60 mikron, duri di ujung, berisi mirasidium, telur
berwarna coklat kekuningan. Serkaria berbentuk badan ovoid memanjang dan
memiliki ekor bercabang.
Cacing jantan panjang 1,3 cm, gemuk, memiliki 3-4 buah testis, memiliki
kanalis ginekoporus, memiliki 2 batil isap berotot yang ventral lebih besar.
Cacing betina panjang 2 cm, langsing, batil isap kecil, ovarium terletak
posterior dari pertengahan tubuh, uterus panjang berisi 20-30 telur.
Cacing dewasa berada dalam vena kandung kemih. Telur dikeluarkan
bersama urin dan tinja. Telur dalam air menetas menjadi mirasidium. Mirasidium
masuk ke dalam tubuh keong (hospes perantara). Mirasidium berkembang
menjadi serkaria. Serkaria menginfeksi manusia dalam air. serkaria menjadi
skistosomula. Kemudian menjadi cacing dewasa dalam hati.
Patologi dan Gejala Klinis
Kelamin terutama ditemukan pada dinding kandung kemih. Gejala yang
ditemukan adalah hematuria dan disuria bila terjadi sistitis. Sindroma disentri
ditemukan bila terjadi kelainan di rekrum.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau jaringan
biopsi hati dan biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu
menegakkan diagnosis. Reaksi serologi dapat dipakai adalah CFT (Complement
fixation test).
Pengobatan
Obat pilihan yang banyak adalah prazikuantel. Obat lain yang bisa
digunakan adalah natrium antimonium tartrat dan tartrat emetic.
Epidemiologi dan Pencegahan
Schistosoma haematobium ini merupakan trematoda darah vesicalis yang
dapat menimbulkan schistomiasis vescicalis, schitosomoasis haematobia, vesical
atau urinary bilharziasis, schitosomal hematuria. Infeksi S. haematobium sering
terjadi di lembah hulu Sungai Nil, meliputi bagian besar Afrika termasuk
kepulauan di pantai Timur Afrika dan ujung Selatan Eropa.
Pengendalian efektif yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan
pendidikan masyarakat yang disertai perbaikan sanitasi untuk mencegah ekskreta
yang mencemari persediaan air bersih atau dengan memperbaiki tata cara
penyediaan air bersih untuk keperluan sehari-hari.
c. Schistosoma mansoni
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Subkelas : Digenea
Ordo : Strigeidida
Genus : Schistosoma
Spesies : Schistosoma mansoni
Hospes dan Nama Penyakit
Nama penyakit : Skistosomiasis usus
Hospes definitif : manusia, kera, baboon
Hospes perantara : keong air tawar
Distribusi Geografis
Parasit ini ditemukan di banyak negara di Afrika, Amerika Selatan (Brasil,
Suriname dan Venezuela), dan di bagian Timur Tengah.
Morfologi dan Daur Hidup
Telur berukuran 150 m, bentuknya oval, dengan salah satu kutubnya
membulat dan yang lain lebih meruncing, spina lateral terletak dekat dengan
bagian yang membulat besar dan berbentuk segitiga, kulit tipis sangat halus,
berwarna kuning pucat, dan berisi embrio besar bersilia, diliputi membran (kulit
dalam). Serkaria berbentuk badan ovoid memanjang dan memiliki ekor
bercabang.
Cacing jantan
panjang 1
cm, gemuk, memiliki 6-9
buah testis, pinggir
lateral saling
mengunci
oleh duri acuminate, dimana pada tempat ini lebih panjang dari tempat lain,
memiliki kanalis ginekoporus. Cacing betina panjang 1,4 cm, langsing,
integumen terdapat duri-duri terutama pada ujung tubuh, letak ovariumdi anterior
pertengahan tubuh, kelenjar vitellaria memenuhi pinggir lateral dari
pertenganhan tubuh, uterus merupakan saluran yang pendek berisi 1-4 butir telur.
Telur keluar bersama tinja. Telur matang dalam air, menetas, dan
membebaskan mirasidium yang berenang aktif. Mirasidium selanjutnya tumbuh
menjadi serkaria yang menembus kulit.
Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan dan gejala yang ditimbulkannya kira-kira sama seperti pada S.
japonicum, akan tetapi lebih ringan. Pada penyakit ini splenomegali dilaporkan
dapat menjadi berat sekali.
Diagnosis
Diagnosis dapat ditentukan dengan menemukan telur di dalam tinja.
Beberapa cara untuk melakukan beberapa cara seperti sediaan hapus langsung
dari tinja (metode Kato) maupun dengan cara sedimentasi (0,5 % gliserin dalam
air). Bila dalam tinja tidak ditemukan telur diagnosis dapat dilakukan dengan tes
serologi, sedangkan untuk menemukan telur yang masih segar dalam hati dan
usus dapat dilakukan dengan teknik digesti jaringan.
Pengobatan
Natrium antimonium tartrat cukup efektif untuk pengobatan penyakit yang
diakibatkan oleh parasit ini. Stiboven dapat diberikan secara intramuskuler.
Nitridiasol juga efektif tetapi bukan sebagai obat pilihan. Obat lain yang cukup
baik diberikan per oral misalnya oksamniquin dan nitrioquinolin.
Epidemiologi dan Pencegahan
Infeksi pada manusia hampir selalu berasal dari sumber manusia lain. Pada
daerah endemis, kera dan baboon dapat terinfeksi. Penyebaran skistomiasis
mansoni dapat dicegah dengan pengobatan massal, pemberantasan hospes
perantara (keong air tawar), dan perbaikan higienis maupun sanitasi.
1.2 TREMATODA HATI
a. Clonorchis sinensis

Cacing Dewasa
Telur
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Trematoda
Ordo : Opisthorchiida
Family : Opisthorchiidae
Genus : Clonorchis
Species : Clonorchis Sinensis
Hospes dan Nama Penyakit
Nama penyakit : Klonorkiasis
Hospes parasit : manusia, kucing dan anjing
Distribusi Geografis
Cacing ini ditemukan di Cina, Jepang, Korea, dan Vietnam. Penyakit yang
ditemukan di Indonesia bukan infeksi autokton.
Morfologi dan Daur Hidup
Telur berukuran kira-kira 30 x 16 mikron, bentuknya seperti bola lampu
pijar dan berisi mirasidium, dan ditemukan dalam saluran empedu.
Cacing dewasa hidup di saluran empedu, kadang-kadang ditemukan juga di
saluran pankreas. Ukuran cacing dewasa 10-25 mm x 3-5 mm, bentuknya pipih,
lonjong, dan menyerupai daun.
Telur dikeluarkan dengan tinja. Telur menetas bila dimakan keong air.
Dalam keong air, mirasidium berkembang menjadi sporokista, redia lalu serkaria.
Serkaria keluar dari keong air dan mencari hospes perantara II yaitu ikan. Setelah
menembus masuk tubuh ikan serkaria melepaskan ekornya dan membentuk kista
di dalam kulit di bawah sisik. Kista disebut metaserkaria.
Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria yang
masuk kurang matang. Eksistasi terjadi di duodenum. Kemudian larva masuk
duktus koledofokus, lalu menuju ke saluran empedu yang lebih kecil dan
menjadi dewasa dalam waktu sebulan. Seluruh daur hidup berlangsung selama
tiga bulan.
Patologi dan Gejala Klinis
Gejala yang dialami penderita klonorkiasis adalah akibat dari rangsangan
mekanik dan sekresi toksin oleh cacing. Pada awal infeksi terjadi lekositosis
ringan dan eosinofilia. Apabila terjadi
hiper infeksi dari jumlah cacing yang
banyak maka dapat menimbulkan
sirosis, tubuh lemah, ikterus, anemia,
berat badan menurun, edema, gangguan
pencernaan, rasa tidak enak
didaerah epigastrum dan diare.
Gejala selanjutnya palpitasi, vertigo dan sepresi mental.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur yang berbentuk khas dalam
tinja atau dalam cairan duodenum.
Pengobatan
Penyakit ini dapat diobati dengan prazikuantel.
Epidemiologi dan Pencegahan
Kebiasaan makan ikan yang diolah kurang matang merupakan fakta penting
dalam penyebaran penyakit, selain itu cara pemeliharaan ikan dan cara
pembuangan tinja di kolam ikan penting dalam penyebaran penyakit.

b. Opistorchis felineus
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Trematoda
Ordo : Plagiorchiida
Family : Opisthorchiidae
Genus : Opisthorchis
Species : Opisthorchis felineus
Hospes dan Nama Penyakit
Nama penyakit : Opistorkiasis
Hospes definitif : manusia, kucing, anjing hutan, dan babi
Hospes perantara I : keong air tawar
Hospes perantara II : ikan Cyprinidae
Distribusi Geografis
Cacing ini tersebar di Eropa Timur, Eropa Tengah, Eropa Selatan, Asia,
Vietnam, dan India. Daerah yang sangat endemis adalah Polandia, Donetsk, dan
Desna Basin.
Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dewasa bibirnya seperti lanset,berwarna kemerah merahan
berukuran 7-12 x 2-3 mm. Bagian posteriornya membulat, kulitnya halus dan
batil isap kepala mempunyai ukuran hampir sama dengan ukuan batil isap perut.
Batil isap kepala terletak sub terminal dan batil isap perut terletak seperlima
anterior tubuh. Testis padat berlobus dalam, letaknya miring antara satu dan
lainnya dan letaknya berurutan dengan ovarium. Ovarium berlobus melingkar
dan berisi telur. Telurnya mirip dengan C.sinensis berbentuk oval seperti kendi,
lebih kecil dan ujungnya lebih menyempit daripada C. Sinensis. Ukurannya
298x16 mikron. Bagian Posterior menebal, operkulum besar, pinggirnya kurang
jelas dan telur berisi mirasidium.
Telur keluar bersama tinja kemudian terbawa oleh aliran air. Telur kemudian
termakan oleh keong sebagai hospes perantara pertama. Dalam tubuh keong
telur berubah menjadi mirasidium lalu menjadi sporokista setelah itu berubah
menjadi redia dan terakhir menjadi serkaria. Serkaria lalu keluar dari tubuh
keong dan masuk kedalam tubuh ikan yang merupakan hospes perantara dua.
Kemudian ikan mentah yang termakan oleh manusia yang akan menginfeksi
tubuh hospes definitif. Serkaria masuk dalam tubuh dan menjadi cacing dewasa
selama 3- 4 minggu di dudenum. Siklus kemudian terus berlanjut dan berulang.
Patologi dan Gejala Klinis
Gejala yang disebabkan oleh cacing dewasa adalah terjadinya reaksi
peradangan dan poliferasi sel-sel epitel saluran empedu. Gejala selanjutnya dapat
menjadi fibrosis.Apabila terjadi hiperinfeksi saluran dan kandung empedu
penderita,akan mengalami fibrosis periportal.Skala berat dari penyakit ini
tergantung dari banyaknya jumlah cacing dan lamanya infeksi.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja atau cairan
duodenum. Telur cacing ini mirip dengan telur C. sinensis. Untuk membedakan
telur ini sangat sulit sehingga riwayat pasien harus diketahui dengan pasti.
Pengobatan
Pengobatan dilakukan dengan memberikan prazikuantel, klorokuin dan
gentian violet. Pengobatan ini sama dengan pengobatan klonorkiasis.
Epidemiologi dan Pencegahan
Infeksi dapat dicegah dengan memasak ikan sampai matang, membuang
tinja menurut cara-cara sanitasi yang baik, tidak meminum air mentah yang
tercemar tinja penderita opistorkiasis.

c. Fasciola hepatica

Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Trematoda
Order : Echinostomida
Family : Fasciolidae
Genus : Fasciola
Species : Fasciola Hepatica
Hospes dan Nama Penyakit
Nama Penyakit : Fasioliasis
Hospes definitif : manusia, kambing, sapi dan biri-biri
Hospes perantara I : keong air / siput
Hospes perantara II : tumbuhan air
Distribusi Geografis
Di Amerika Latin, Perancis, dan negara sekitar lau tengah banyak ditemukan
kasus fasioliasis pada manusia.
Morfologi dan Daur Hidup
Telur berkuran 130-150 mikron x 63-90 mikron, berwarna kuning
kecoklatan, dan berbentuk bulat oval dengan salah satu kutub mengecil, terdapat
overculum pada kutub yang mengecil, dinding satu lapis dan berisi sel-sel
granula berkelompok.
Cacing dewasa berukuran 30 mm x 13 mm, bersifat hermaprodit, sistem
reproduksinya ovivar, bentuknya menyerupai daun, mempunyai tonjolan konus
pada bagian anteriornya, memiliki batil isap mulut dan batil isap perut, uterus
pendek berkelok-kelok. Dan testis bercabang banyak, letaknya di pertengahan
badan berjumlah 2 buah, ovarium sangat bercabang.
Telur di air menjadi matang dan menetas mengeluarkan mirasidium.
Mirasidium masuk ke hospes perantara I (keong Lymnaea sp.). Di dalam tubuh
keong, mirasidium berubah menjadi sporokista, redia I, redia II, dan serkaria.
Serkaria menuju ke hospes perantara II (tumbuhan air) dan mengalami enkistasi
menjadi kista metaserkaria. Hospes definitif akan terinfeksi amemakan tumbuhan
air yang mengandung metaserkaria. Metaserkaria keluar dari kista (eksistasi)
menembus duodenum hospes definitif kemudian menembus dinding usus ke
rongga peritonium menuju saluran empedu hingga cacing menjadi dewasa.
Periodenya 3-4 bulan.
Patologi dan Gejala Klinis
Migrasi cacing Fasciola hepatica ke saluran empedu menimbulkan
kerusakan pada parenkim hati. Saluran empedu mengalami peradangan,
penebalan dan sumbatan sehingga menimbulkan sirosis periportal.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja, cairan
duodenum atau cairan empedu. Reaksi serologi sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis
Pengobatan
Obat pilihan yang digunakan adalah bitionol yang diberikan secara per oral.
Obat lain yang bisa digunakan adalah emetin hidroklorida yang diberikan secara
intramuscular. Prazikuantel juga cukup efektif untuk pengobatan faskioliasis.
Epidemiologi dan Pencegahan
Cacing ini tersebar kosmopolit di negara yang penduduknya banyak
memelihara ternak. Cacing ini lebih sering terdapat pada hewan daripada
manusia.
Pencegahan dapat dilakukan dengan tidak memakan tumbuhan air yang
tumbuh di tempat yang banyak dijumpai hewan ternak dan keong air. Bisa juga
dengan memberikan pengobatan terhadap hewan-hewan yang terinfeksi.
Memberantas keong dengan molus kisida, tidak memakan hati mentah atau tidak
dimasak dengan matang.
1.3 TREMATODA PARU
a. Paragonimus westermani

Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Trematoda
Ordo : Plagiorchiida
Family : Troglotrematidae
Genus : Paragonimus
Spesies : Paragonimus westermani
Hospes dan Nama Penyakit
Nama penyakit : Skistosomiasis japonica, demam keong
Hospes parasit : manusia, binatang yang memakan udang batu
Distribusi Geografis
Cacing ini ditemukan di RRCm Taiwan, Korea, Jepang, Filipina, Vietnam,
Thailand, India, dan Malaysia.
Morfologi dan Daur Hidup
Telur berbentuk lonjong, berukuran 80-118 mikron x 40-60 mikron dengan
operculum agak tertekan ke dalam.
Cacing dewasa hidup di dalam kista paru. Bentuknya bundar lonjong
menyerupai biji kopi, berukuran 8-12 x 4-6 mm, dan berwarna coklat tua. Batil
isap mulut hampir sama besar dengan batil isap perut. Testis berlobus terletak
berdampingan antara batil isap perut dan ekor. Ovarium terletak di belakang batil
isap perut.
Telur keluar bersama tinja atau sputum, dan berisi sel terlur. Telur menjadi
matang dalam waktu kira-kira 16 hari lalu menetas. Mirasidium lalu mencari
keong air dan dalam keong air terjadi perkembangan. Serkaria keluar dari keong
air, berenang mencari hospes perantara II, lalu membentuk metaserkaria di dalam
tubuhnya. Infeksi terjadi dengan memakan hospes perantara ke II yang tidak
dimasak sampai matang. Dalam hospes definitive, metaserkaria menjadi dewasa
muda di duodenum. Cacing dewasa muda bermigrasi menembus dinding usus,
masuk ke rongga perut, menembus diafragma dan menuju ke paru. Jaringan
hospes mengadakan reaksi jaringan sehingga cacing dewasa terbungkus dalam
kista, biasanya ditemukan 2 ekor di dalamnya.
Patologi dan Gejala Klinis
Karena cacing dewasa berada dalam kista paru, maka gejala di mulai dengan
adanya batuk kering yang lama kelamaan menjadi batuk darah. Keadaan ini
disebut endemic hemoptysis.
Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dalam sputum atau cairan pleura.
Terkadang telur ditemukan di dalam tinja. Reaksi serologi sangat membantu
untuk menegakkan diagnosa.
Pengobatan
Prazikuantel dan bitionol merupakan obat pilihan.
Epidemiologi dan Pencegahan
Penyakit ini berhubungan dengan kebiasaan makan ketam yang tidak
dimasak dengan baik. Penyuluhan kesehatan yang berhubungan dengan cara
masak ketam dan pemakaian jamban tidak mencemari air sungai dan sawah
dapat mengurangi transmisi paragonimiasis.
1.4 TREMATODA USUS
a. Fasciolopsis buski
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Trematoda
Ordo : Prosostomata
Famili : Fasciolodea
Genus : Fasciolopsis
Spesies : Fasciolopsis buski
Hospes dan Nama Penyakit
Nama penyakit : Faskiolopsiasis
Hospes definitif : manusia, babi, dan anjing
Hospes perantara I : keong air tawar
Hospes perantara II : tumbuhan air
Distribusi Geografis
Cacing ini banyak ditemukan di RRC, Taiwan, Vietnam, dan Thailand,
termasuk di Indonesia.
Morfologi dan Daur Hidup
Telur berwarna kekuning-kuningan, berukuran 130-140 x 80-85 mikron,
berbentuk elips, dinding tipis yang jernih, operculum kecil, dan terletak di salah
satu ujung.
Cacing dewasa berukuran 2,0-7,5 x 0,8-2,0 cm, bulat seperti daun. Telur
kekuning-kuningan dengan ukuran 130-140x80-85 mikron, elips, dinding tipis
transparan. Cacing dewasa mampu menghasilkan telur sebanyak 28.000/hari.
Proses siklus hidup melalui air yang terkontaminasi oleh feses manusia yang
mengandung telur cacing, kemudian telur tersebut berubah menjadi mirasidium
dan menginfeksi spesies keong yang hidup di air. Dalam tubuh keong (hospes
perantara I), mirasidium bermetaformosis menjadi menjadi sporakista dan
keluar dari tubuh keong dalam bentuk serkaria selanjutnya serkaria ini hinggap di
tumbuhan air (hospes II) dan berubah menjadi mertaserkaria yang bersifat
infektif terhadap manusia. Apabila metaserkaria dari Fasciolopsis buski ini
tertelan, manusia akan terinfeksi cacing ini.
Patologi dan Gejala Klinis
Gejala klinis lebih banyak disebabkan oleh cacing dewasa. Cacing dewasa
melekat pada dinding usus sehingga menimbulkan lesi iritasi, reaksi radang,
intoksitasi umum, dan kolik khusus. Infeksi ringan umumnya tanpa gejala,
infeksi berat dapat mengakibatkan peradangan kateral, ulserasi, pembentukkan
ulkus, diare, nyeri perut, anemia, dan edema. Pada penderita dengan infeksi berat
dapat ditemukan fesesnya yang berwarna hijau kekuningan.
Diagnosis
Didapatkan di suatu daerah pada edemi, cukup untuk menunjukkan adanya
penderita fasciolopsis namun diagnosa awal dengan menemukan telur dalam
tinja.
Pengobatan
Obat yang efektif untuk penyakit ini adalah diklorofen, niklosamid, dan
prazikuantel.
Epidemiologi dan Pencegahan
Infeksi berat menyebabkan kematian akan tetapi bila dilakukan pengobatan
sedini mungkin masih dapat memberi harapan untuk sembuh. Masalah yang
penting adalah reinfeksi yang sering terjadi pada penderita. Infeksi manusia
tergantung pada kebiasaan makan, tumbuh-tumbuhan air yang mentah, tercemar
dengan kotoran manusia ataupun babi, dapat menyebarluaskan penyakit tersebut.
Kebiasaan mengenai defekasi, pembuangan kotoran ternak dan cara
membudidayakan tumbuh-tumbuhan air untuk konsumsi harus diubah atau
diperbaiki untuk mencegah meluasnya penyakit fasciolopsis.

b. Echinostoma ilocanum

Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Class : Trematoda
Ordo : Echinostomida
Famili : Echinostomatidae
Genus : Echinostoma
Spesies : Echinostoma ilocanum
Hospes dan Nama Penyakit
Nama penyakit : Enkinostomiasis
Hospes definitif : manusia, tikus, anjing, dan burung
Hospes perantara : keong air tawar
Distribusi Geografis
Cacing ini ditemukan di Cina, India, Taiwan, Jepang, Filipina, dan Indonesia
Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dewasa berwarna abu-abu kemerahan, bentuk meruncing ke arah
posterior, ukuran panjang 2,5-6,5 mm dan lebar 1-1,35 mm, oral sucker
dikelilingi deretan duri-duri pada bagian dorsal dan lateral, dan testis bercabang-
cabang.
Telur mempunyai operculum, ukuran telur memiliki panjang 80-115 m dan
lebar 60-70 m. Telur yang keluar dari tubuh cacing mengandung mirasidium
yang belum matang.
Telur keluar bersama tinja berkembang di air telur menetas menjadi
mirasidium dalam waktu 10 hari masuk ke hospes perantara I (keong air)
berkembang menjadi sporokista redia 1 redia 2 serkaria keluar dari
hospes perantara I masuk ke hospes perantara II (tumbuhan air, ikan) hospes
definitif dapat terinfeksi jika memakan hospes perantara II.
Patologi dan Gejala Klinis
Biasanya cacing Echinostoma menyebabkan kerusakan ringan pada mukosa
usus dan tidak menimbulkan gejala yang berarti. Infeksi berat menyebabkan
timbulnya radang kataral pada dinding usus, atau ulserasi. Pada anak
menimbulkan gejala diare, sakit perut, anemia dan edema.
Diagnosis
Diagnosa Echinostomiasis adalah berdasarkan gejala klinis. Infeksi yang
berat dari Echinostoma menyebabkan kekurusan, kelemahan dan diare pada
unggas. Untuk memastikan diagnosa tersebut dapat dilakukan uji feses dengan
mengidentifikasii keberadaan telur Echinostoma secara mikroskopis. Namun,
ukuran telur yang cukup besar memiliki kemiripan dengan telur Fasciola
sehingga diperlukan uji yang lebih spesifik
Pengobatan
Tetrakloroetolen adalah obat yang dianjurkan, akan tetapi penggunaan obat-
obat baru yang lebih aman, seperti prazikuantel dapat dipertimbangkan.
Epidemiologi dan Pencegahan
Keong sawah yang digunakan untuk konsumsi sebaiknya dimasak hingga
matang. Sebab bila tidak, metaserkaria dapat hidup dan tumbuh menjadi cacing
dewasa.
c. Heterophyes heterophyes
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Class : Trematoda
Ordo : Opisthorchiida
Family : Heterophyidae
Genus : Heterophyes
Spesies : Heteropyes heterophyes
Hospes dan Nama Penyakit
Nama penyakit : Heterofiasis
Hospes definitif : manusia
Hospes perantara I : keong air payau
Hospes perantara II : ikan
Distribusi Geografis
Cacing ini terdapat di Cina, Jepang, Taiwan, Filipina, dan Mesir.
Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dari keluarga heterophyidae berukuran panjang antara 1-1,7 mm dan
lebar antara 0,3-0,75 mm, bentuk seperti buah pear ( pyroform ), bagian anterior
membulat dan posterior lebih besar. Warna abu-abu, tubuh diselimuti kutikula
dan duri.
Telur berwarna coklat muda, mempunyai operkulum, berbentuk bulat
lonjong dan berukuran 28-30 x 15-17 mikron. Telur dikeluarkan dari tubuh
cacing sudah mengandung mirasidium, akan menetas setelah dimakan keong air
tawar yang cocok.
Mirasidium yang keluar dari telur, menghinggapi keong air tawar/payau ,
seperti genus pirenella, Cerithidia, Semisulcospira, sebagai hospes perantara I
dan ikan dari genus Mugil, Tilapia, Aphanius, Achantogobius, Clarias dan lain-
lain sebai hospes perantara II. Dalam keong , mirasidium tumbuh menjadi
sporokista, kemudian menjadibanyak redia induk, berlanjut menjadi banyak redia
anak untuk pada gilirannya membentuk banyak serkaria. Serkaria ini
menghinggapi ikan-ikan tersebut menjadi metaserkaria.
Patologi dan Gejala Klinis
Pada infeksi cacing Heterophyes heterophyes, biasanya stadium dewasa
menyebabkan iritasi ringan pada usus halus, tetapi ada beberapa ekor cacing
yang mungkin dapat menembus virus usus. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh
infeksi berat cacing tersebut adalah mulas atau kolik dan diare berlendir, serta
nyeri tekan pada perut.
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja.
Pengobatan
Obat yang tepat adalah pirazikuantel, obat yang dapat dianjurkan adalah
tetrakloroetilen.
Epidemiologi dan Pencegahan
Manusia, terutama pedagang ikan dan hewan lain seperti kucing, anjing,
dapat merupakan sumber infeksi bila menderita penyakit cacing tersebut, melalui
tinjanya. Sebagai usaha untuk mencegah meluasnya infeksi cacing
heterophyidae, kebiasaan memakan daging ikan harus diubah.
2. PRAKTIKUM

2.1 Pemeriksaan
Pemeriksaan cacing trematoda pada keong dan kraca
2.2 Prinsip Kerja
Prinsip dari praktikum ini adalah perkembangbiakan trematoda secara aseksual berada
pada hospes perantara yaitu tubuh siput yang berlokasi di hati.
2.3 Alat dan Bahan
Objek glass
Deck glass
Mikroskop
Pisau
Talenan
Tissue
Keong
Kraca
2.4 Metode Kerja
Keong dan kraca diambil dan diletakan di atas talenan
Segmen ketiga dari belakang dipotong tanpa merusak cangkangnya
Lendir dari keong dioleskan pada objek glass
Objek glass ditutup dengan menggunakan cover glass
Sampel diamati menggunakan mikroskop
2.5 Hasil
Pada pemeriksaan keong dan kraca, didapatkan hasil:
Hasil Pengamatan
Jenis Gastropoda Larva Serkaria
Keong mas -
Kraca -

Gambar Pengamatan
Ditemukan telur pada keong yang diduga
merupakan telur Echinostoma ilocanum
karena jika gambar diperbesar bentuknya
mirip dengan Echinostoma ilocanum yang
berbentuk lonjong dan beroperkulum.

Merupakan bentuk telur Echinostoma


ilocanum yang ukurannya diperbesar.

Dari pemeriksaan sampel baik keong dan kraca dapat diketahui bahwa kedua sampel
tersebut menunjukan hasil negatif pada pengamatan yang dilakukan menggunakan
mikroskop dengan tidak ditemukannya larva serkaria. Hasil yang didapatkan adalah
dengan menemukannya telur trematoda yang diduga merupakan Echinostoma ilocanum.

2.6 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pada pemeriksaan potongan segmen keong mas negatif, karena tidak terdapat larva
cacing trematoda (serkaria), hasil yang ditemukan diduga merupakan telur
Echinostoma ilocanum
Telur Echinostoma ilocanum memiliki bentuk lonjong, memiliki operculum dan berisi
morula
Serkaria dapat ditemukan di hospes perantara satu seperti siput apabila hasilnya
positif pada trematoda.
CESTODA

A. PENDAHULUAN

Platyhelminthes dibedakan menjadi 3 kelas yaitu Turbellaria (cacing bersilia), Trematoda (cacing
pipih), dan Cestroda (cacing isap). Pada pembahasan ini membahas tentang cestoda dimana semua
anggota cestoda memiliki struktur pipih dan tertutup oleh kutikula. Cestoda juga disebut sebagai
cacing pita karena bentuknya pipih panjang seperti pita. Tubuhnya terdiri dari bagian anterior yang
disebut skoleks, leher (strobilus), dan rangkaian proglotid dan pada skoleks terdapat alat pengisap.
Manusia dapat terinfeksi Cestoda saat memakan daging hewan yang dimasak tidak sempurna, belum
matang.
Daging hewan hospes ( inang perantara ) yang mengandung Cysticercus Inang
pernatara Cestoda adalah hewan ternak misalnya Sapi yang tubuhnya terdapat Cisticercus jenis Taenia
saginata yang ada pada ototnya dan Babi yang tubuhnya terdapat Cisticercus jenis Taenia solium yang
ada pada ototnya. di Kedua ternak itu Cacing pita hanya sementara terjadi cyclus ditubuhnya hingga
membentuk Cysticercus, Jadi di sapi dan babi tidak dijumpai dala bentuk Dewasa ( yang dewasa di
tubuh manusia) hanya bentuk larva di Ternak berurutan cyclusnya : Telur - Oncosfer - Hexacant -
Cysticercus ( T-O-H-C), T-O-H-ada di Ususnya dan C(cysticercus) meninggalkan usus ke otot( daging
).

Adapun contoh golongan cestoda yaitu :

1. Taenia saginata
Adapun klasifikasinya yaitu :

Phylum : Platyhelminthes

Class : Cestoda

Ordo : Cyclophyllidea

Family : Taeniidae

Genus : Taenia

Species :Taenia saginata

Hospes dan nama penyakit


Hospe definitive dari cacing pita taenia saginata adalah manusia, sedangkan hewan memamah
biak dari keluarga bovidar. Seperti sapi, kerbau, dan lainnya adalah hospes perantaranya. Nama
penyakitnya disebut teniasis saginata.

Distribusi geografik
Cacing tersebut adalah kosmopolit, didapatkan di daerah Eropa, Timur Tengah, Afrika, Asia,
Amerika Utara, Amerika Latin, Rusia, dan juga Indonesia, yaitu daerah Bali, jakarta dll.

Morfologi dan daur hidup


Taenia saginata adalah salah satu cacing pita yang berukuran besar dan panjang terdiri atas
kepala yang disebut skoleks, leher dan strobila yang merupakan rangkaian ruas-ruas proglotid,
sebanyak 1000 2000 buah. Panjang cacing 4 12 meter atau lebih. Termasuk cacing hemaprodit.
Lubang kelamin letaknya selang seling pada sisi kanan atau kiri strobila. Strobila terdiri atas
rangkaian proglotid yang belum dewasa (imatur) yang dewasa (matur) dan yang mengandung telur
atau disebut gravid. Pada proglotid yang belum dewasa, belum terlihat struktur alat kelamin yang
jelas. Sedangkan pada proglotid yang dewasa terlihat struktur atau alat kelamin seperti folikel testis
yang berjumlah 300 400 buah, tersebar di bidang dorsal.

Uterus tumbuh dari bagian anteriorootip dan menjalur kebagian anterior proglotid. Setelah uterus ini
penuh dengan telur, maka cabang cabangnya akan tumbuh, yang berjumlah 15-30 buah pada satu
sisinya dan tidak memiliki lubang uterus (Porus Uterinus). Proglotid yang sudah gravid letaknya
terminal dan sering terlepas dari strobila. Proglotid ini dapat bergerak aktif, keluar sendiri dari
lubang dubur dengan spontan. Setiap harinya kira-kira 9 buah proglotid dilepas. Proglotid bentuknya
lebih panjang. Telur dibungkus oleh embriofor yang bergaris garis radial, berukuran 30 40 x 20 30
mikron, berisi embrio heksakan atau onkosfer.
Telur yang baru keluar dari uterus masih diliputi selaput tipis yang disebut lapisan luar telur.
Sebuah proglotid gravid kira-kira 100.000 buah telur. Waktu proglotid terlepas dari rangkaiannya dan
menjadi koyak cairan putih susu yang mengandung banyak telur mengalir keluar dari sisi
anteriorproglotid berkontraksi waktu gerak
Telur melekat dirumput bersama tinja, bila orang berdefekasi dipadang rumput. Ternak yang
memakan rumput yang terkontaminasi dihinggapi cacing Taenia saginata, oleh karena telur yang
tertelan di cerna dan embrio heksakan menetes. Embrio heksakan disaluran pencernaan ternak
menembus dinding usus, masuk ke saluran getah bening atau darah dan ikut dengan aliran darah ke
jaringan ikat di sela-sela otot untuk tumbuh menjadi cacing gelembung, disebut sistiserkus bovis yaitu
larva Taenia saginata.Peristiwa ini terjadi setelah 12 15 minggu.
Bagian tubuh ternak yang sering dihinggapi larva tersebut adalah otot maseter, paha belakang dan
punggung. Otot bagian lain juga dapat dihinggapi. Setelah satu tahun cacing gelembung ini biasanya
mmengalami degenerasi, walaupun ada yang dapat hidup sampai 3 tahun (Rosdiana, 2010).
Bila cacing gelembung yang terdapat pada daging sapi yang dimasak kurang matang termakan
oleh manusia, Skoleksnya keluar dari cacing gelembung dengan cara evaginasi dan melekat pada
mukosa usus halus biasanya yeyunum. Cacing gelembung tersebut dalam waktu 8 10 minggu
menjadi dewasa. Biasnya di rongga usus hospes terdapat seekor cacing(Rosdiana, 2010).
Adapun Referensi lain yang menjelaskan tentang siklus hidup Taenia
saginata yaitu siklus hidup Taenia saginata dimulai, ketika telur lulus dalam tinja dari manusia yang
terinfeksi dalam wadah yang disebut proglottidatau segmen cacing pita. Mereka dapat bertahan
beberapa bulan di lingkungan. Jika seekor sapi (host intermediate) feed pada vegetasi
terkontaminasi, ingests telur matang atau proglottids gravid. Dalam usus kecil yang disebut
larva oncospheres menetas, menembus dinding usus, memasuki aliran darah dan bermigrasi ke
jaringan otot (jarang ke hati atau organ lain), di mana mereka encyst ke cysticerci. Yang seukuran
kacangcysticerci dapat bertahan selama bertahun-tahun dan masih infektif ketika manusia makan
daging. Jika daging sapi tidak dimasak dengan benar,cysticerci excyst di usus kecil dan berkembang
menjadi dewasa dalam waktu dua bulan. Dewasa melekat pada dinding usus dengan scolex mereka
menggunakan empat pengisap. Scolex memiliki penampilan berbentuk buah pir dan cangkir-seperti
mencapai 1-2 mm. Hal ini melekat pada leher yang mulai memproduksi proglottids yang membentuk,
datar panjang, tubuh tersegmentasi juga dikenal sebagai strobila. Para proglottids matang dan tumbuh
lebih besar karena mereka mendapat lebih dari leher. Mereka adalah sekitar 16-20 mm dan panjang 5-
7 mm lebar dan proglottid masing-masing memiliki organ reproduksi sendiri. Mereka menyerap
nutrisi melalui membran mereka dan memproduksi hingga 100.000 telur per hari. Proglottids putus
dari ekor dan bergerak dengan kotoran keluar dari tubuh manusia. Sebuah cacing dewasa Taenia
saginata adalah keputihan dalam warna dan memiliki sekitar 1000-2000 proglottids dan sekitar enam
dari mereka terlepas setiap hari. Telur biasanya tinggal di dalamproglottids sampai mereka keluar di
lingkungan. Ketika mengeringproglottid, itu pecah dan melepaskan telur. Telur berembrio, kenari
coklat dan sekitar 35 mikrometer diameter memiliki oncosphere 6-bengkok di dalam shell tebal. Jika
kotoran mendarat di tanah penggembalaan untuk ternak, sapi mungkin tidak sengaja
menelan proglottids atau telur. Taenia saginata dapat hidup sampai 25 tahun. Hal ini dapat tumbuh
hingga 5 meternamun dalam beberapa kasus bisa mencapai panjang lebih dari 10 meter (melingkar di
saluran usus)

Patologi dan gejala klinis


Cacing dewasa Taenia Saginata, biasanya menyebabkan gejala klinis yang ringan,seperti sakit
ulu hati,perut merasa tidak enak, mual, muntah, diare,pusing atau gugup. Gejala tersebut disertai
dengan ditemukannyaproglotid cacing yang bergerak-gerak lewat dubur bersama dengan tinja. Gejala
yang lebih berat dapat terjadi, yaitu apabila proglotid masuk apendiks, terjadi ileus yang disebabkan
obstruksi usus oleh strobila cacing. Berat badan tidak jelas menurun. Eosinofilia dapat di temukan di
daerah tepi.

Namun infeksi berat sering menyebabkan penurunan berat badan, pusing, sakit perut, diare, sakit
kepala, mual, sembelit, atau gangguan pencernaan kronis, dan kehilangan nafsu makan

Diagnosis
Diagnosis yang ditegakkan dengan ditemukannya proglotid yang aktif bergerak dalam tinja, atau
keluar spontan juga dengan ditemukannya telur dalam tinja atau usap anus. Proglotid kemudian
diidentifikasi dengan merendamnya dalam cairan laktofenol sampai jernih. Setelah uterus dengan
cabang-cabangnya terlihat jelas, jumlah cabang-cabang dapat dihitung (Sutanto, 2008).
Dasar diagnosis dilakukan dari sempel tinja. Namun pada sampel tinja
kita hanya dapat melihat telur dari family Taenidae saja. Dan belum dapat
mendiagnosis spesies dari Taenia saginata. Karena sulit untuk mendiagnosa
menggunakan telur saja, kita harus melihat scolex atau proglottids gravid
untuk membantu mengidentifikasi Taenia saginata
Adapun tindak lanjut yang dilakukan setelah diketahui hasil dari diagnosis dasar yaitu melakukan
pemeriksaan sistiserkus, pemeriksaan jaringan subkutan, dan pemeriksaan serologi.
Pengobatan
Obat yang digunakan untuk mengobati Taeniasis saginata yaitu :
- Obat lama : Kuinakrin, Amodiakuin, Niklosamid
- Obat baru : Prazikuantel dan albendazol
Epidemiologi
Taenia Saginata sering ditemukan di Negara yang penduduknya banyak mengkonsumsi
daging sapi atau kerbau. Cara penduduk mengkonsumsi daging tersebut yaitu memakan (well down),
setengah matang (medium), atau mentah dan cara memelihara ternak memainkan peranan. Ternak
yang dilepas dipadang rumput lebih mudah di hinggapi Taenia Saginata, daripada ternak yang
dipelihara dan dirawat dengan baik dikandang

2. Taenia solium

Klasifikasinya :

Filum : Platyhelminthes

Kelas : Cestoda

Ordo : Cyclophyllidae

Famili : Taniidae

Genus : Taenia

Spesies : Taenia solium

Hospes dan nama penyakitnya


Nama Penyakit : Taeniasis solium (dewasa), Sistiserkosis (larva)

Hospes Definitif : Manusia.

Hospes Perantara : Manusia dan babi

Habitat : Usus halus (dewasa), jar subkutis, mata, otak, hati, paru, otot
jantung, rongga perut.

Distribusi geografis
Kosmopolit, terutama pada negara-negara yang penduduknya suka makan daging babi kurang
matang.

Morfologi dan daur hidup


1. Berukuran pjg kira-kira 2-4 meter dan kadang-kadang sampai 8 meter.

2. Terdiri dari skoleks, leher dan strobila yang terdiri dari 800-1000 ruas proglotid.
3. Strobila terdiri dari rangkaian proglotid yg belum dewasa (imatur), dws(matur) dan
mengandung telur (gravid).
4. Lubang kelamin letaknya bergantian selang seling pada sisi kanan atau sisi kiri strobila
secara idak beraturan.
Adapun daun hidupnya :
Telur termakan oleh hospes embrio keluar dr telur menembus dinding usus saluran getah
bening/darah tersangkut diotot hospes larva sistiserkus daging hospes dimakan manusia
(dinding kista dicerna) skoleks mengalami eviginasi melekat pd dinding usus halus dewasa
(3 bulan) melepas proglotid dengan telur.

Patologi dan gejala klinis

Cacing dewasa yang berjumlah seekor tidak menyebabkan gejala klinis. Bila ada, dapat
berupa nyeri ulu hati, mencret, mual, obstipasi dan sakit kepala. Gejala klinis yang sering
diderita, disebabkanoleh larva (sistiserkosis), infeksi ringan tidakmenunjukkan gejala, kecuali
yang dihinggapi merupakan alat tubuh yang penting.

Pada manusia, sistiserkus sering menghinggapi subkuti, mata, jar otak, otot, otot jantung,
hati, paru dan rongga perut. Pada jar otak atau medula spinalis, larva jarang mengalami
kalsifikasi, sehingga menimbulkan reaksi jaringan da dapat menyebabkan epilepsi, meningo-
ensefalitis gejala yang disebabkanoleh tekananintrakranial yang tinggi seperti nyeri kepala dan
kelainan jiwa. Hidrosefalus internus dapat terjadi bila timbul sumbatan aliran cairan
serebrospinal.

Diagnosis
Dengan menemukan telur dan proglotid. Telur sukar dibedakan dengan telur taenia saginata.
Dengan sistiserkosis dapat dilakukan dengan :
1 Ekstirpasi benjolan.
2 Radiologi dengan CTscan.
3 Deteksi antibody

Pengobatan
Untuk pengobatan T. solium dapat digunakan prazikuantel dan untuk larvanya digunakan
obat prazikuantel, albendazol atau dilakukan pembedahan.
Epidemiologi
Penyebaran Taenia solium bersifat kosmopolit,terutama di negara negara yang mempunyai
banyak peternakan babi dan di tempat daging babi banyak dikonsumsi seperti di eropa, Amerika
Latin, Republik Rakyat Cina, India, dan Amerika Utara. Penyakit ini tidak pernah ditemukan di
negara Islam yang melarang pemeliharaan dan mengkonsumsi babi. Kasus taeniasis atau
sistiserkosis juga ditemukan pada beberapa wilayah di Indonesia, antara lain Irian Jaya, Bali, dan
Sumatera Utara. Infeksi penyakit ini juga sering dialami oleh para transmigran yang berasal dari
daerah daerah tersebut (Gandahusada et al.2000)

Penyakit yang disebabkan cacing pita ini, sering dijumpai di daerah dimana orang orang
mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging babi yang dimasak tidak sempurna. Disamping itu
kondisi kebersihan lingkungan yang jelek dan melakukan defekasi di sembarang tempat
memudahkan babi mengkonsumsi tinja manusia. Penularan Taenia solium jarang terjadi di
Amerika, Kanada, dan jarang sekali terjadi di Inggris, dan di negara negara skandinavia.
Penularan oral vekal oleh karena kontak dengan imigran yang terinfeksi oleh Taenia solium
dilaporkan terjadi dengan frekuensi yang meningkat di Amerika. Para imigran dari daerah
endemis nampaknya tidak mudah untuk menyebarkan penyakit ini ke negara-negara yang kondisi
sanitasinya baik.

3. Diphyllobothrium latum
Klasifikasinya :

Kingdom : Animalia

Phylum : Platyhelminthes

Class : Cestoda

Subclass : Eucestoda

Order : Pseudophyllidea

Family : Diphyllobothriidae

Genus : Diphyllobothrium

Spesies : D. Latum

Hospes dan nama penyakitnya

Macam-Macam Hospes

Hospes Definitif : Manusia

Hospes Reservoar : Anjing, kucing dan 22 jenis mamalia lainnya, seperti: walrus, singa laut, babi dan
serigala.

Hospes Perantara I : Cyclops

Hospes Perantara II : Ikan

Nama Penyakit : Difilobotriasis


Distribusi geografis

Parasit ini ditemukan di Amerika, kanada, Eropa, daerah danau di Swiss, Rumania,
Turkestan, Israel, Mancuria, Jepang, Afrika, Malagasi dan Siberia.

Morfologi dan daur hidup

1. Berwarna gading

2. Panjang sampai 10m

3. Terdiri dari 3000-4000 prologtid; tiap proogtid terdiri dari alat kelamin jantan dan
betina yang lengkap

Adapun daur hidupnya yaitu :

Telur dikeluarkan melalui lubang uterus proglotid gravid di tinja menetas dalam air
Larva (koradisium) dimakan H P pertama, anggota Cepepoda (ex. Cyclops dan Dioptomus)
larva menjadi proserkoid cyclops dimakan H P kedua, ikan (ex. Salem) proserkoid
berubah menjadi larva pleroserkoid (sparganum) termakan manusia sparganum menjadi
cacing dewasa di rongga usus halus manusia

Patologi dn gejala klinik

Gejala yang ditimbulkan tidak begitu berat, misalnya :

1. Gejala saluran cerna (ex. Diare)

2. Tidak nafsu makan

3. Tidak enak di perut

Diagnosis

Menemukan telur atau proglotid dalam tinja

Pengobatan

1. Obat Atabrin dalam keadaan perut kosong, disertai Na-Bikarbonas, dosis 0,5 gr

2. Niclosamid (Yomesan), 4 tablet (2gr) dikunyah setelah makan hidangan ringan


3. Paromomisin, 1 gram aetiap 4 jam sebanyak 4 dosis

4. Prazikuantel dosis tunggal 10 mg/kg BB

Bila cacing sudah hidup di permukaan usus, gejala yang ditimbulkan:

Anemia hiperkrommakrositer

Defisiensi B12

Sumbatan usus secara mekanis bila cacing banyak

Obstruksi usus cacing membentuk benang kusut

Epidemiologi

1. Penyakit Jarang ditemukan di Indonesia akan tetapi di tempat yang banyak makan ikan salem
mentah atau kurang matang.

2. Untuk mencegah terjadinya infeksi ikan harus dimasak sempurna sebelum dihidangkan,
Anjing sebagai H R diberikan obat cacing.

3. Sparganosis

Sparganosis merupakan parasit zoonosis yang disebabkan oleh larva plerocercoid dari
cacing pita Pseudophyllidea terutama yang berasal dari genusSpirometra seperti Spirometra
mansoni, S. ranarum, S. mansonoides, S. Erinacei. Hospes definiifnya adalah anjing, kucig, dan
hewan sejenis lainnya. Manusia dapat menjadi hospes perantara II bila di dalam tubuhnya
mengandung sparganum.

Daur hidup

1. Sparganum mengembara di otot dan fasia larva tidak bisa menjadi dewasa.

2. Daur hidup menyerupai D. Latum, H P pertama : Cyclops, dibentuk proserkoid, dan H P


kedua : Hewan pengerat kecil, ular dan kodok, ditemukan pleroserkoid atau sparganum

Patologi dan gejala klinis

Larva dapat ditemukan di seluruh daerah badan, pada mata, kulit, jaringan otot, toraks,
perut, paha, daerah inguinal dan dada bagian dalam. Sparganum dapat menyebar ke seluruh
jaringan.

Perentangan dan pengerutan larva dapat menyebabkan:

1. Peradangan

2. 2. Edema jaringan sekitar yang nyeri

Larva yang rusak menyebabkan peradangan lokal yang dapat menyebabkan nekrosis, menunjukkan
sakit lokal, urtikaria raksasa yang timbu secara periodik, edema dan kemerahan yang disertai dengan
menggigil, demam dan hipereosinofilia

Infeksi pada bola mata menyebabkan konjungtivitis disertai dengan bengkak dan lakrimasi dan ptosis.

Diagnosis

Menemukan larva di tempat kelainan, Untuk mengidentifikasi diperlukan binatang


percobaan, caranya larva(sparganium) diinokulasikan pada hewan tersebut hingga berkembang
menjadi cacing dewasa.

Pengobatan

Cara pengobatan dilakukan dengan cara pembedahan untuk mengeluarkan/mengangkat


larva(sparganum).
Epidemiologi dan pencegahan

Parasit ditemukan di Asia Timur dan Asia Tenggara, Jepang, Cina, Afrika, Eropa, Australia,
Amerika utara-Selatan dan Indonesia. Dan untuk pencegahannya maka :

1. air minum dimasak atau disaring

2. Memasak daging hospes perantara sempurna

3. Pencegahan penggunaan daging kodok sebagai pengobatan pada daerah


mukosa-kutan yang meradang

4. Hymenolepis nana

Klasifikasi :

Kingdom : Animalia

Phylum : Platyhelminthes

Class : Cestoda

Ordo : Cyclophyllidea

Family : Hymenolepididae

Genus : Hymenolepis

Species : Hymenolepis nana


Nama penyakit : Hymenolepiasis

Hospes dan nama penyakit


Hospesnya adalah manusia dan tikus. Cacing ini menyebabkan penyakit himenolepiasis.

Distribusi geografis
Penyebarannya kosmopolit, banyak ditemukan di daerah dengan iklim panas dari pada iklim
dingin dan juga ditemukan di Indonesia.

Morfologi dan daur hidup


H.nana berbentuk seperti benang dengan ukuran 15-40 mm x 0,5-1 mm dan jumlah proglotid
mencapai yang 200. H.nana memiliki skoleks danrostellum pendek yang retraktil. Bagian lehernya
panjang dan ramping. H.nanamemiliki 3 testis yang berada pada bagian posterior dari setiap
proglotid. Segmen gravid H. nana mengandung 80 - 180 butir telur. Telur berbentuk bulat atau oval
dengan diameter 30-45 mikron. Dinding telur terdiri dari 2 lapis yaitu membran luar dan dalam. Telur-
telur dikeluarkan bersama tinja dengan cara disintegrasi pelan-pelan dari segmen gravid.
H. nana merupakan satu-satunya cacing pita manusia yang
tidak membutuhkan hospes perantara. Segmen gravid biasanya pecah di kolon sehingga telur dapat
dengan mudah ditemukan di feses. Telur H. nana segera menjadi infektif ketika dikeluarkan bersama
tinja dan tidak dapat bertahan lebih dari 10 hari pada lingkungan luar. Ketika telur infektif tersebut
ditelan oleh orang lain, onkosfer yang terkandung di dalam telur dilepaskan di usus kecil kemudian
mempenetrasi vilus dan berkembang menjadi larva sistiserkosis. Setelah villusruptur, sistiserkosis
kembali ke lumen usus, lalu mengeluarkan skoleks mereka, kemudian menempel ke mukosa
usus dan berkembang menjadi dewasa lalutinggal di ileus.

Autoinfeksi adalah dapat terjadi pada infeksi H.nana, dimana telur mampu mengeluarkan
embrio hexacanth mereka yang kemudianmenembus villus dan meneruskan siklus infektif
tanpa melalui lingkungan luar.Hal ini menyebabkan cacing dapat memperbanyak diri dalam tubuh
hospes. Masa hidup cacing dewasa adalah 4-6 minggu, tetapi autoinfeksi internal memungkinkan
infeksi bertahan selama bertahun-tahun. Cacing di dalam usus terdapat dalam jumlah 1.000 sampai
8.000 ekor. Jangka waktu hidupnya hanya 2 minggu.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telurnya dalam tinja.

Epidemiologi
H.nana adalah cestoda yang tersebar di seluruh dunia baik di daerah beriklim tropis maupun
sedang. Infeksi dariH.nana ditemukan banyak terdapat pada orang-orang dengan sanitasi yang
buruk dan padat. Infeksi cestoda ini sering terjadi pada anak-anak.

5. Hymenoilepis diminuta

Klasifikasinya :

Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Cestoda
Ordo : Cyclophyllidea
Family : Hymenolepididae
Genus : Hymenolepis
Species : Hymenolepis diminuta
Hospes : Tikus dan manusia
Penyakit : himenolepiasis diminuta
Penyebaran : kosmopolit

Hospes

Tikus dan manusia merupakan hospes cacing ini.


Distribusi geografis

Penyebaran cacing ini kosmopolit, juga ditemukan di Indonesia

Morfologi dan daur hidup

Cacing dewasa berukuran 20-60 cm mempunyai 800-1000 buah proglotid. Skoleks kecil
bulat, mempunyai 4 batil isap, dan rosteum tanpa kait-kait. Proglotid matang berukuran 0,8 x 2,5
mm. Proglotid gravid mengandung uterus yang berbentu kantong dan berisi kelompok-kelompok
telur. Apabila proglotid gravid lepas dari strobila, menjadi hancur dan telurnya keluar bersama
tinja. Telurnya agak bulat berukuran 60-79 mikron, mempunyai lapisan luar yang jernih dan
lapisan yang dalam yang mengeliilingi onkosfer dengan penebalan pada 2 kutub, tetapi tanpa
filamen. Onkosfer mempunyai 6 buah kait.
Cacing dewasa hidup di rongga usus halus. Hospes perantaranya adalah serangga berupa pinjal
dan kumbang tepung. Dalam pinjal, telur berubah menjadi larva sistiserkoid. Bila serangga
dengan sistiserkoid tertelan oleh hospes definitif maka larva menjadi cacing dewasa di rongga
usus halus.

Patologi dan gejala klinis

Parasit ini tidak menimbulkan gejala. Infeksi biasanya secara kebetulan saja.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan cara menemukan telur dalam tinja. Sekali-kali cacing ini dapat
keluar secara sponta setelah pugrasi.

Pengobatan

Atabrine merupakan obat yang efektif.

Epidemiologi

Hospes definitive mendapat infeksi bila hospes perantara yang mengandung parasit tertelan
secara kebetulan.

6. Dipylidium canium
Klasifikasi :

Kingdom : Animalia

Phylum : Platyhelminthes

Class : Cestoda

Ordo : Cyclophyllidea

Family : Hymenolepididae

Genus : Hymenolepis

Species : Hymenolepis diminuta

Hospes

Anjing dan manusia adalah hospes cacing ini.

Distribusi geografis

Penyebaran cacing ini kosmopolit.

Morfologi dan daur hidup

Panjang cacing ini kira-kira 25 cm dan mempunyai 60-75 buah proglotid. Skoleks kecil,
berbentuk jajaran genjang, mempunyai 4 batil isap lonjong yang menonjol dan rostelum seperti
kerucut yang refraktil dan diperlengkapi dengan 30-150 kait-kait yang berbentuk duri mawar dan
tersusun menurut garis transversal. Leher cacing pendek dan langsing. Bentuk proglotid seperti
tempayan. Tiap proglotid mempunyai dua perangkap alat kelamin. Proglotid gravidberukuran 12
x 2,7 mm, berisi penuh dengan kantong telur tipis yang mengandung 15-25 butir telur.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan proglotid yang bergerak aktif atau menemukan
kapsul-kapsul telur dalam tinja.

Epidemiologi

Sebagian besar penderita adalah anak. Infeksi ini kebanyakan terjadi karena bergaul erat
dengan anjing sebagai binatang pemeliharaan.

6. Echinoccoccus granulosis

Klasifikasi:

Kerajaan : Animalia
Phylum :Platyhelminthes
Class : Cestoda
Order : Cyclophyllidea
Family : Taeniidae
Genus : Echinococcus
Species : E. Granulosus

Hospes dan nama penyakit

Hospes cacing ini adalah anjing dan karnivora lainnya. Parasit ini dapat menyebabkan
hidatidosis. Serta Kista hidatid paru sangat berbahaya dan fatal terutama apabila kista ini pecah
dapat menyebabkan shock yang berat.

Distribusi geografis

Parasit ini ditemukan di Afustralia selatan, Afrika, AmerikA selatan, Eropa,RCC, Jepang,
Filipina, dan negara-negara Arab.
Morfilogi dan daur hidup

Cacing dewasa adalah cacing kecil yang berukuran 3-6 mm.


Skoleks bukat, dilengkapi 4 batil isap dan rostelum dengan kait-kait, mempunyai leher.
Mempunyai 1 proglotid imatur, 1 proglotid matur, 1 proglotid gravid
Dan adapun daur hidupnya yaitu sbb :
Cacing dewasa di usus anjing Telur dikeluarkan bersama tinja telur tertelan hospes
perantara telur menetas di rongga duodenum embrio yang dikeluarkan menembus dinding
usus masuk ke saluran limfe peredaran darah alat-alat tubuh (terbentuk kista hidatid)
kista termakan anjing cacing dewasa

Patologi dan gejala klinis

Ada beberapa hal gejala, yaitu:


1. Desakan kista hidatid
2. Cairan kista yang dapat menmbulkan reaksi alergi
3. Pecahnya kista, cairan kista masuk peredaran darah, dapat menimbulkan renjatan anaflaktik
yang dapat menyebabkan kematian
Gejala-gejala lain: hemoptisis ringan, batuk, dispnea, sakit dada yang tidak menetap, palpitasi,
urtikaria.
Infeksi ditandai dengan adanya pembentukan kista tunggal unilokular atau majemuk yang
membesar.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan skoleks yang dikeluarkan dari cairan kista, atau
dengan reaksi casoni: suatu es intrakutan dengan hasil kira-kira 86% dari kasus memberikan
reaksi positif

Epidemiologi

Hidatidosis penting di daerah dengan ternak domba dan yang berhubungan erat dengan
anjing, misalnya di negeri belanda dan selandia baru.
DAFTAR PUSTAKA

http://cindy-krystalia.blogspot.co.id/2013/05/makalah-parasitologi-trematoda.html
https://crocodilusdaratensis.wordpress.com/2010/10/24/
http://documents.tips/documents/trematoda-usus-55c38ca3656c9.html
http://dokumen.tips/documents/heterophyes-heterophyes-55cd85d2ee84b.html
http://dokumen.tips/documents/isi-makalah-trematoda-pertemuan-11.html
https://inibloger.blogspot.com/2015/12/laporan-praktikum-parasitologi.html
https://karyadrh.blogspot.co.id/2015/03/kejadian-sparganosis-pada-manusia.html
http://praktikum-parasitologi.blogspot.co.id/2015/07/pemeriksaan-cacing-trematoda-pada-keong.html
http://sihitammaniez.blogspot.co.id/2010/09/cacing-pita-cestoda.html
https://triyaniuc.wordpress.com/2013/06/02/trematoda-hati-dan-trematoda-darah/

Anda mungkin juga menyukai