Anda di halaman 1dari 10

NAMA : WIEKE SHARAH FEBRIANTI

NIM : P27820119096

KELAS : TINGKAT 2 REGULER B

RESUME MANAJEMEN PATIENT SAFETY

ASCARIS LUMBRICOIDES

Ascariasis adalah infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing Ascaris lumbricoides.
Ascariasis sendiri termasuk penyakit cacing yang paling besar prevalensinya diantara penyakit
cacing lainnya yang menginfeksi tubuh manusia. Manusia merupakan satu-satunya hospes untuk
A.lumbricoides.

Cacing A.lumbricoides merupakan golongan nematoda. Nematoda berasal dari kata nematos
yang berarti benang dan oidos yang berarti bentuk, sehingga cacing ini sering disebut cacing gilik
ataupun cacing gelang. Nematoda itu sendiri dibagi menjadi 2 jenis yakni nematoda usus dan
nematoda jaringan. Manusia merupakan hospes untuk beberapa nematoda usus yang dapat
menimbulkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diantara nematoda usus yang ada
terdapat beberapa spesies yang membutuhkan tanah untuk pematangannya dari bentuk non infektif
menjadi bentuk infektif yang disebut Soil Transmitted Helminths (STH). Cacing yang termasuk
golongan STH adalah A.lumbricoides, Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale, Necator
americanus, Strongyloides stercoralis, dan beberapa spesies Trichostrongylus.

Secara umum dapat dilihat bahwa cacing A. lumbricoides berwarna merah berbentuk
silinder. Cacing jantan lebih kecil ukurannya daripada cacing betina. Pada stadium dewasa, cacing
ini akan hidup dan berkembang didalam rongga usus kecil.
Cacing jantan berukuran 15-25 cm x 3 mm disertai ujung posteriornya yang melengkung ke
arah ventral dan diikuti adanya penonjolan spikula yang berukuran sekitar 2 mm. Selain itu, di
bagian ujung posterior cacing juga terdapat banyak papil-papil kecil. Cacing betina berukuran 25-35
cm x 4 mm dengan ujung posteriornya yang lurus. Cacing ini memiliki 3 buah bibir, masing-masing
satu dibagian dorsal dan dua lagi dibagian ventrolateral.

Cacing dewasa hidup dalam jangka waktu ±10 – 24 bulan . Cacing dewasa dilindungi oleh
pembungkus keras yang kaya akan kolagen dan lipid serta menghasilkan enzim protease inhibitor
yang berfungsi untuk melindungi cacing agar tidak tercerna di sistem pencernaan manusia. Cacing
betina mampu bertahan hidup selama 1- 2 tahun dan memproduksi 26 juta telur selama hidupnya
dengan 100.000 – 200.000 butir telur per hari yang terdiri dari telur yang telah dibuahi (fertilized),
yang tidak dibuahi (unfertilized), maupun telur dekortikasi.

Siklus hidup A. lumbricoides terjadi dalam 3 stadium yaitu stadium telur, larva, dan dewasa.
Siklus ini biasanya membutuhkan fase di luar tubuh manusia (hospes) dengan atau tanpa tuan
rumah perantara.

Telur cacing yang telah dibuahi dan keluar bersama tinja penderita akan berkembang
menjadi infektif jika terdapat di tanah yang lembab dan suhu yang optimal dalam waktu kurang
lebih 3 bulan. Seseorang akan terinfeksi A.lumbricoides apabila masuknya telur A. lumbricoides
yang infektif kedalam mulut bersamaan dengan makanan atau minuman yang terkontaminasi tanah
yang mengandung tinja penderita Ascariasis.

Telur infektif yang tertelan oleh manusia akan melewati lambung tanpa terjadi kerusakan
oleh asam lambung akibat proteksi yang tebal pada lapisan telur tersebut dan akan menetas di dalam
usus halus. Kemudian larvanya akan secara aktif menembus dinding usus halus menuju vena porta
hati dan pembuluh limfe. Bersama dengan aliran vena, larva A. Lumbricoides akan beredar menuju
jantung kanan dan berhenti di paru. Saat di dalam paru-paru larva yang berdiameter 0,02 mm akan
masuk kedalam kapiler paru yang hanya berukuran 0,01 mm maka kapiler tersebut akan pecah dan
larva akan masuk ke alveolus kemudian larva berganti kulit. Larva tersebut akan ke alveoli lalu naik
ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus setelah dari kapiler paru. Selanjutnya ke faring dan terjadi
refleks batuk hingga tertelan untuk kedua kalinya sampai ke usus halus. Masa migrasi ini
berlangsung selama 10 – 15 hari. Cacing akan berkembang menjadi dewasa, kawin, dan bertelur di
usus halus dalam waktu 6 – 10.
Gejala klinis yang timbul dari Ascariasis tergantung dari beratnya infeksi, keadaan umum
penderita, daya tahan, dan kerentanan penderita terhadap infeksi cacing ini. Penderita Ascariasis
tidak akan merasakan gejala dari infeksi ini (asimptomatik) apabila jumlah cacing sekitar 10-20
ekor didalam tubuh manusia sehingga baru dapat diketahui jika ada pemeriksaan tinja rutin ataupun
keluarnya cacing dewasa bersama dengan tinja. Gejala yang timbul pada penderita Ascariasis
berdasarkan migrasi larva dan perkembangbiakan cacing dewasa, yaitu:

1. Gejala akibat migrasi larva A. lumbricoides


Selama fase migrasi, larva A. lumbricoides di paru penderita akan membuat perdarahan kecil di
dinding alveolus dan timbul gangguan batuk dan demam. Pada foto thorak penderita Ascariasis
akan tampak infiltrat yaitu tanda terjadi pneumonia dan eosinophilia di daerah perifer yang
disebut sebagai sindrom Loeffler. Gambaran tersebut akan menghilang dalam waktu 3 minggu.
2. Gejala akibat cacing dewasa
Selama fase didalam saluran pencernaan, gejala utamanya berasal dari dalam usus atau migrasi
ke dalam lumen usus yang lain atau perforasi ke dalam peritoneum. Cacing dewasa yang tinggal
dilipatan mukosa usus halus dapat menyebabkan iritasi dengan gejala mual, muntah, dan sakit
perut. Anak yang menderita Ascariasis akan mengalami gangguan gizi akibat malabsorpsi yang
disebabkan oleh cacing dewasa. A. lumbricoides perhari dapat menyerap 2,8 gram karbohidrat
dan 0,7 gram protein, sehingga pada anak - anak dapat memperlihatkan gejala berupa perut
buncit, pucat, lesu, dan rambut yang jarang. Penderita Ascariasis juga dapat mengalami alergi
yang berhubungan dengan pelepasan antigen oleh A. lumbricoides dalam darah dan kemudian
merangsang sistem imunologis tubuh sebagai defence mechanism dengan gejala berupa asma
bronkial, urtikaria, hipereosinofilia, dan sindrom Loeffler.

Cara menegakkan diagnosis Ascariasis biasanya melalui pemeriksaan laboratorium karena


gejala klinis dari penyakit ini tidak spesifik. Secara garis besar Ascariasis dapat ditegakkan
berdasarkan kriteria sebagai berikut:

. Ditemukannya telur A. lumbricoides fertilized, unfertilized, maupun dekortikasi di dalam tinja


seseorang.
. Ditemukannya larva A. lumbricoides di dalam sputum seseorang.
. Ditemukannya cacing dewasa keluar melalui anus ataupun bersama dengan muntahan.
CACING TAMBANG (HOOKWORM)

Cacing tambang merupakan salah satu spesies yang termasuk dalam kelompok STH (soil
transmitted helmint). Penyakit cacing tambang masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia,
karena dapat menyebabkan anemia defisiensi besi dan hipoproteinemia. Spesies cacing tambang
yang banyak ditemukan di Indonesia adalah Necator americanus.

Penyakit cacing tambang manusia adalah infeksi cacing biasa yang sebagian besar
disebabkan oleh parasit nematoda Necator americanus danAncylostoma duodenale; organisme
yang memainkan peran lebih rendah termasuk Ancylostoma ceylonicum, Ancylostoma braziliense,
dan Ancylostoma caninum. Kedua spesies (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)
termasuk dalam ordo Panagrolaimida dan superfamili Strongyloidea dan keluarga
Ancylostomatidae. Anggotanya disebut “bursa nematoda” karena adanya aparatus sistem reproduksi
jantan yang memiliki bursacopulatrix.

Cacing memiliki morfologi melengkung di ujung anterior dan membentuk kail. Cacing
inimemiliki rongga mulut yang besar dengan lubang miring yang dipersenjatai dengan gigi
ataulempeng pemotong. Lapisan telurnya tipisseperti pada semua jenis Strongyloidea. Bursa
kopulatori (copulatory bursa)memiliki tulang rusuk pendek dan relatif kecil. Kedua spikula itu
panjang dan tipis. Betina dewasa sekitar 12 x 0,6 mm dan jantan 10 x 0,45 mm. Betina dewasa
menghasilkan sekitar 28.000 telur per hari yang keluar dari tubuh melalui feses. Setelah telur
bersentuhan dengan tanah yang hangat dan lembab, mereka akan berembrio. Dalam waktu 48 jam
larva tahap pertama (rhabditiform) menetas dan memakan bakteri tanah dan puing-puing. Setelah
dua moults lebih lanjut di tanah dan berkembang menjadi tahap infektif (larva filariform). Larva ini
merangkak keluar diantara rerumputanatau tempat yang cukup tinggi untuk dapat melakukan
kontak dengan manusia. Larva filariform dapat secara aktif menembus kulit melalui folikel rambut
atau kulit yang rusak. Begitu mereka mencapai lapisan kulit pada kulit, pertama-tama mereka
bermigrasi melalui lapisan kulit dan akhirnya memasuki pembuluh darah. Setelahnya, larva
berkembang ke tahap keempat danmasuk ke dalam bronkus paru-paru. Dari paru-paru mereka
merangkak naik ke tenggorokan dan tertelan, lalu larva tahap kelima muncul ke dalam usus. Betina
dewasa menghasilkan telur dalam waktu sekitar 40 hari. Produksi telur lebih tinggi di A.
duodenale  (25.000 telur / hari) daripada di N. americanus (10.000 telur / hari).
Sekitar 900 juta manusia saat ini terinfeksi, 50.000–60.000 per tahun meninggal karena
penyakit parasitic ini. A. duodenale, umumnya dikenal sebagai cacing tambang Dunia Lama,
berlaku di negara-negara subtropis Dunia Lama (Timur Tengah, Afrika Utara, India, dan
sebelumnya Eropa Selatan) dan N. americanus mendominasi di daerah tropis (Amerika, Afrika sub-
Sahara, Asia Tenggara, Cina, dan Indonesia).

Cacing dewasa hidup di rongga usus halus manusia, dengan mulut yang melekat pada
mukosa dinding usus. Ancylostoma duodenale ukurannya ebih besar dari Necator americanus. Yang
betina ukurannya 10-13 mm x 0,6 mm, yang jantan 8-11 x 0,5 mm, bentuknya menyerupai huruf C,
Necator americanus berbentuk huruf S, yang betina 9 – 11 x 0,4 mm dan yang jantan 7 – 9 x 0,3
mm. Rongga mulut A.duodenale mempunyai dua pasang gigi, N.americanus mempunyai sepasang
benda kitin. Alat kelamin jantan adalah tunggal yang disebut bursa copalatrix. A.duodenale betina
dalam satu hari dapat bertelur 10.000 butir, sedang N.americanus 9.000 butir. Telur dari kedua
spesies ini tidak dapat dibedakan, ukurannya 40 – 60 mikron, bentuk lonjong dengan dinding tipis
dan jernih. Ovum dari telur yang baru dikeluarkan tidak bersegmen. Di tanah dengan suhu
optimum23˚C - 33˚C, ovum akan berkembang menjadi 2, 4, dan 8 lobus.

Gejala klinik yang timbul bervariasi bergantung pada beratnya infeksi, gejala yang sering
muncul adalah lemah, lesu, pucat, sesak bila bekerja berat, tidak enak perut, perut buncit, anemia,
dan malnutrisi. Tiap cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005 –
0,1 cc sehari, sedangkan A. duodenale 0,08 – 0,34 cc. biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer.
Disamping itu juga terdapat eosinofilia.

Anemia karena Ancylostoma duodenale dan Necator americanus biasanya berat.


Hemoglobin biasanya dibawah 10 gram per 100 cc darah jumlah erythrocyte dibawah 1.000.000
(satu juta)/mm3. Jenis anemianya adalah anemia hypochromic microcyic. Bukti adanya toksin yang
menyebabkan anemia belum ada biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan
berkurang dan prestasi kerja menurun.

. Stadium Larva
Bila banyak filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut
ground itch, dan kelainan pada paru biasanya ringan.
. Stadium Dewasa
Gejala tergantung pada:
a) Spesies dan jumlah cacing
b) Keadaan gizi penderita
Cacing tambang memiliki alat pengait seperti gunting yang membantu melekatkan dirinya
pada mukosa dan submukosa jaringan intestinal. Setelah terjadi pelekatan, otot esofagus cacing
menyebabkan tekanan negatif yang menyedot gumpalan jaringan intestinal ke dalam kapsul
bukal cacing. Akibat kaitan ini terjadi ruptur kapiler dan arteriol yang menyebabkan perdarahan.
Pelepasan enzim hidrolitik oleh cacing tambang akan memperberat kerusakan pembuluh darah.
Hal itu ditambah lagi dengan sekresi berbagai antikoagulan termasuk diantaranya inhibitor
faktor VIIa (tissue inhibitory factor).

Cacing ini kemudian mencerna sebagian darah yang dihisapnya dengan bantuan enzim
hemoglobinase, sedangkan sebagian lagi dari darah tersebut akan keluar melalui saluran cerna)
Masa inkubasi mulai dari bentuk dewasa pada usus sampai dengan timbulnya gejala klinis
seperti nyeri perut, berkisar antara 1 - 3 bulan. Untuk meyebabkan anemia diperlukan kurang
lebih 500 cacing dewasa. Pada infeksi yang berat dapat terjadi kehilangan darah sampai 200
ml/hari, meskipun pada umumnya didapatkan perdarahan intestinal kronik yang terjadi
perlahanlahan) Terjadinya anemia defisiensi besi pada infeksi cacing tambang tergantung pada
status besi tubuh dan gizi pejamu, beratnya infeksi (jumlah cacing dalam usus penderita), serta
spesies cacing tambang dalam usus. Infeksi A. duodenale menyebabkan perdarahan yang lebih
banyak dibandingkan N. americanus) Gejala klinis nekatoriasis dan ankilostomosis ditimbulkan
oleh adanya larva maupun cacing dewasa. Apabila larva menembus kulit dalam jumlah banyak,
akan menimbulkan rasa gatal-gatal dan kemungkinan terjadi infeksi sekunder. Gejala klinik
yang disebabkan oleh cacing tambang dewasa dapat berupa nekrosis jaringan usus, gangguan
gizi dan gangguan darah.

Diagnosa dari infeksi cacing tambang, jika timbul gejala maka pada pemeriksaan tinja
penderita akan ditemukan cacing tambang. Jika dalam beberapa jam tinja dibiarkan dahulu,
maka telur akan mengeram dan menetas larva.

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara Sanitasi lingkungan, diantaranya:

a) Hindari berjalan keluar rumah tanpa memakai alas kaki


b) Cuci tangan sebelum makan
c) Hindari pemakaian feces manusia sebagai pupuk pada sayuran
d) Awasi dan jaga anak anda main di Tanah
e) Bersih Pakaian dan tempat
NEMATODA DARAH DAN JARINGAN

Nematode yang hidup sebagai parasit di dalam darah dan jaringan dapat di bagi menjadi 3
golongan: (1) cacing filaria dan cacing dracunculus, (2) invasi larva migrans di dalam kulit, jaringan
di bawah kulit dan alat-alat dalam oleh larva nematode dan (3) parasit yang jarang terdapat, di
dalam jaringan hati, ginjal, paru-paru, mata dan subkutis.

Spesies filarial yang paling sering mengeinfeksi manusia adalah Wuchereria brancrofti,
Brugia malayi, Brugia timori (di Indonesia), dan Onchocerca volvulus. Cacing dewasa hidup dalam
sistem limfatik, subkutan dan jaringan dalam. Cacing betina mengeluarkan microfilaria (prelarva)
yang masih mempunyai selaput telur (sarung) atau selaput terlepas (tidak bersarung). Mikrofilaria
ini sangat aktif, bentuknya seperti benang dan ditemukan dalam darah perifer atau jaringan kulit.
Wuchereria branchofti (filarial worm)

Phylum : Nemathelminthes

Class : Nematoda

Subclass : Secernemtea

Ordo : Spirurida

Super famili : Onchocercidae

Genus : Wuchereria

Species : Wuchereria Bancrofti

Parasit ini tersebar luas di daerah tropik dan subtropik, meluas jauh ke utara sampai ke
Spanyol dan ke selatan sampai Brisbane, Australia. Di belahan Timur Dunia dapat ditemukan di
Afrika, Asia, Jepang, Taiwan, Filipina, Indonesia dan kepulauan Pasifik selatan. Di belahan Barat
Dunia di Hindia barat, Costa Rica dan sebelah utara Amerika Selatan. Penyakit ini di Amerika
Selatan dimasukkan oleh budak belian dari Afrika melalui kota Charleston, Carolina Selatan, tetapi
telah lenyap 40 tahun yang lalu.

Cacing dewasa menyerupai benang, berwarna putih kekuning-kuningan. Cacing betina


berukuran 90-100x0,25 mm ekor lurus dan ujungnya tumpul, didelfik dan uterusnya berpasangan
(paired). Cacing jantan berukuran 35-40mmx0,1mm, ekor melingkar dan dilengkapi dua spikula.

Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria bersarung dan berukuran 250-300x7-8 mikron.


Mikrofilaria terdapat di dalam darah dan paling sering ditemukan di aliran darah tepi, tetapi pada
waktu tertentu saja. Pada umumnya mikrofilaria. Cacing ini mempunyai periodisitas nokturna
karena mikrofilaria dalam darah tepi banyak ditemukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari
mikrofilaria terdapat di kapiler organ-organ visceral (jantung, ginjal, paru-paru dan sebagainya).
Di daerah pasifik, mikrofilaria W. bancrofti mempunyai periodisitas subperiodik diurnal. Di
Thailand terdapat mikrofilaria dengan periodisitas subperiodik nokturna.

Untuk melengkapi siklus hidupnya, W. bancrofti membutuhkan manusia (hospes definitif)


dan nyamuk (hospes perantara). Nyamuk terinfeksi dengan menelan microfilaria yang terisap
bersama-sama dengan darah. Di dalam lambung nyamuk, mikrofilaria melepaskan sarungnya dan
berkembang menjadi stadium 1 (L-1), larva stadium 2 (L-2), dan larva stadium 3 (L-3) dalam otot
toraks kepala. Larva stadium 1 (L-1) memiliki panjang 135-375 mikron, bentuk seperti sosis, ekor
memanjang dan lancip, dan masa perkembangannya 0,5-5,5 hari (di toraks). Larva stadium 2 (L-2)
memiliki panjang 310-1.370 mikron, bentuk gemuk dan lebih panjang daripada L-1, ekor pendek
membentuk krucut, dan masa perkembangannya antara 6,5-9,5 hari (di toraks dan kepala). Larva
stadium 3 (L-3) memiliki mobilitas yang cepat sekali, kadang-kadang ditemukan di probosis
nyamuk sehingga larva ini bersifat infektif dan ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk.

Apabila L-3 ini masuk ke dalam jaringan manusia kemudian masuk ke sistem limfatik
perifer dan bermigrasi ke saluran limfe distal dan akhirnya ke kelenjar limfe dan tumbuh menjadi L-
4 dan L-5 (cacing betina dewasa dan jantan dewasa). Cacing betina yang sudah matang dan gravid
mengeluarkan mikrofilaria dan dapat dideteksi di darah perifer dalam waktu 8-12 bulan
pascainfeksi.

Diagnosis filariasis hasilnya lebih tepat bila didasarkan pada anamnesis yang berhubungan
dengan vektor di daerah emdemis dan di konfirmasi dengan hasil pemeriksaan laboratorium. Bahan
pemeriksaan adalah darah yang diambil pada malam hari. Sediaan darah tetes tebal yang diperoleh
dari tersangka, langsung diperiksa dengan mikroskop untuk melihat adanya mikrofilaria yang masih
bergerak aktif, sedangkan untuk menetapkan spesies filarial dilakukan dengan membuat sediaan
darah tetes tebal dan halus tipis yang diwarnai dengan larutan Giemsa atau Wright.

Untuk mengetahui infeksi ringan, dilakukan dengan cara mengambil 1 ml darah tersangka
yang dicampur dengan 10 cc larutan formalin 2%. Endapan darah diambil dan diperiksa langsung
atau diwarnai. Disini bias diketahui densitas mikrofilaria dalam darah.

Patogenesis filariasis bancrofti dibagi dalam tiga stadium, yaitu stadium mikrofilaremi,
stadium akut, dan kronis. Ketiga stadium ini tidak menunjukkan batas-batas yang tegas karena
prosesnya menjadi tumpang tindih. Pada stadium akut terjadi peradangan kelanjar, limfadenitis
maupun limfangitis retrograd. Dalam waktu satu tahun, peradangan ini hilang timbul berkali-kali.
Kasus peradang yang umum dijumpai adalah peradangan sistem limfatik organ genital pria,
misalnya epididimitis, funikulitis, dan orkitis. Saluran sperma mengalami peradangan hingga
membengkak dan keras menyerupai tali, bila diraba terasa nyeri sekali.

Pada stadium kronis (menahun) gejala yang sering terjadi adalah terbentuknya hidrokel.
Kadang-kadang terjadi limfedema dan elephantiasis yang mengenai daerah tungkai dan lengan,
payudara, testes, dan vulva yang dapat diperbaiki dengan tindakan operatif. Beberapa kasus pada
penderita terjadi kiluria.

Anda mungkin juga menyukai