Anda di halaman 1dari 19

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Ascaris lumbricoides Linn.

a. Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Filum : Nemathelminthes

Kelas : Nematoda

Sub kelas : Secernentea

Ordo : Ascaridida

Superfamili : Ascaridoidea

Famili : Ascarididae

Genus : Ascaris

Spesies : Ascaris lumbricoides Linn. (Widodo, 2013).

b. Morfologi

Cacing nematoda ini adalah cacing berukuran besar, berwarna

putih kecoklatan atau kuning pucat. Cacing jantan berukuran panjang

antara 10-31 cm, sedangkan cacing betina panjang badannya antara 22-

35 cm. kutikula yang halus bergaris-garis tipis menutupi seluruh

permukaan badan cacing. Ascaris lumbricoides mempunyai mulut

dengan tiga buah bibir, yang terletak sebuah di bagian dorsal dan dua

bibir lainnya terletak subventral (Soedarto, 2011).


5
6

Selain ukurannya lebih kecil daripada cacing betina, cacing jantan

mempunyai ujung posterior yang runcing, dengan ekor melengkung ke

arah ventral. Di bagian posterior ini terdapat 2 buah spikulum yang

ukuran panjangnya sekitar 2 mm, sedangkan di bagian ujung posterior

cacing terdapat juga banyak papil-papil yang berukuran kecil. Bentuk

tubuh cacing betina membulat (conical) dengan ukuran badan lebih besar

dan lebih panjang daripada cacing jantan dan bagian ekor yang lurus,

tidak melengkung (Soedarto, 2011).

c. Siklus Hidup

Pada tinja penderita askariasis yang membuang air tidak pada

tempatnya dapat mengandung telur askariasis yang telah dibuahi. Telur

ini akan matang dan menjadi bentuk yang infektif dalam waktu 21 hari

dalam lingkungan yang sesuai. Bentuk infektif ini, jika tertelan oleh

manusia menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus

menuju pembuluh darah atau saluran limfe, kemudian dialirkan ke

jantung. Dari jantung kemudian dialirkan menuju ke paru-paru (Widodo,

2013).

Larva di paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu

dinding alveolus, masuk rongga alveolus kemudian naik ke trakea

melalui bronkiolus dan bronkus. dari trakea larva ini menuju faring,

sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena

rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam oesofagus, lalu menuju

ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak
7

telur matang tertelan sampai cacing dewasa berteur dibutuhkan waktu

kurang lebih 2 bulan (Gandahusada et al., 2000; CDC, 2015).

Gambar 2.1. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides (CDC, 2015)


d. Patologi dan Gambaran Klinis

Kelainan klinik dapat disebabkan larva maupun cacing dewasa

Ascaris lumbricoides. Patologi dan gambaran klinis yang terjadi

disebabkan oleh :

1) Migrasi larva

Kelainan akibat larva yaitu demam selama beberapa hari

pada periode larva menembus dinding usus dan bermigrasi

akhirnya sampai ke paru. Biasanya pada waktu tersebut ditemukan

eosinofilia pada pemeriksaan darah. Foto thoraks menunjukkan

adanya infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan

ini disebut Sindrom Loeffler yang hanya ditemukan pada orang


8

yang pernah terpajan dan rentan terhadap antigen Ascaris atau

bilamana terdapat infeksi berat. Pada penderita penyakit yang juga

disebut pneumonitis Ascaris, dapat ditemukan gejala ringan seperti

batuk ringan sampai pneumonitis berat yang berlangsung selama 2-

3 minggu. Kumpulan gejala termasuk batuk, mengi, sesak nafas,

agak meriang, sianosis, takikardi, rasa tertekan pada dada atau sakit

dada, dan di dalam dahak kadang-kadang ada darah. Gejala-gejala

berlangsung selama 7-10 hari dan menghilang secara spontan pada

waktu larva bermigrasi keluar paru (Margono dan Hadjijaja, 2011).

2) Cacing dewasa

Terdapatnya cacing Ascaris dewasa dalam jumlah yang

besar di usus halus dapat menyebabkan abdominal distension dan

rasa sakit. Keadaan ini juga dapat menyebabkan lactose

intolerance, malabsorpsi dari vitamin A dan nutrisi lainnya.

Hepatobiliary dan pancreatic ascariasis terjadi sebagai akibat

masuknya cacing dewasa dari duodenum ke orificium ampullary

dari saluran empedu, timbul kolik empedu, kolesistitis, kolangitis,

pankreatitis dan abses hepar (Suriptiastuti, 2006).

Jumlah cacing yang banyak sangat berhubungan dengan

terjadinya malnutrisi, defisit pertumbuhan dan gangguan kebugaran

fisik, di samping itu masa cacing itu sendiri dapat menyebabkan

obstruksi. Hidup dalam rongga usus halus manusia mengambil

makanan terutama karbohidrat dan protein, seekor cacing akan


9

mengambil karbohidrat 0,14 g/hari dan protein 0,035 g/hari

(Siregar, 2006).

e. Pengobatan

Obat-obat yang digunakan untuk terapi askariasis adalah:

1) Pirantel pamoat
Derivat pirimidin ini berkhasiat terhadap Ascaris, Oxyuris,

dan cacing tambang, tetapi tidak efektif terhadap Trichiuris.

Mekanisme kerjanya berdasarkan pelumpuhan cacing dengan jalan

menghambat penerusan impuls neuromuskular. Lalu parasit

dikeluarkan oleh peristaltik usus tanpa memerlukan laksans. Efek

sampingnya ringan berupa gangguan saluran cerna dan kadang

sakit kepala. Dosis yang diberikan pada cacing kermi dan gelang

adalah 2-3 tablet dari 250 mg, anak-anak 1½-2 tablet sesuai usia

(10mg/kg). Pada cacing cambuk dosisnya sama selama 3 hari (Tjay

dan Rahardja, 2007).

2) Mebendazol

Ester-metil dari benzimidazol ini adalah antihelmintikum

berspektrum luas yang sangat efektif terhadap cacing kermi,

gelang, pita, cambuk dan tambang. Mekanisme kerjanya melalui

perintangan pemasukan glukosa dan mempercepat penggunaannya

(glikogen) pada cacing. Tidak perlu diberikan laksans. Efek

sampingnya jarang terjadi dan berupa gangguan saluran cerna

seperti sakit perut dan diare. Dosis dewasa dan anak-anak

sama,yakni pada infeksi cacing gelang, tambang, benang, pita dan


10

cambuk 2 dd 100 mg selama 3 hari, bila perlu diulang setelah 3

minggu (Tjay dan Rahardja, 2007).

3) Albendazol

Derivat karbamat dari benzimidazol ini berspektrum luas

terhadap Ascaris, Oxyuris, Taenia, Ancylostoma, Strongyloides dan

Trichiuris. Efek sampingnya berupa gangguan lambung-usus,

demam, dan rontok rambut. Dosis pada ascariasis, enterobiasis,

ancylostomiasis, trichuriasis anak dan dewasa single dose 400 mg

d.c, pada strongyloidiasis 1 dd 400 mg d.c selama 3 hari (Tjay dan

Rahardja, 2007).

4) Piperazin

Zat basa ini sangat efektif terhadap Oxyuris dan Ascaris

berdasarkan perintangan penerusan-impuls neuromuskuler, hingga

cacing dilumpuhkan untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh oleh

gerakan peristaltik usus. Efek sampingnya jarang terjadi, pada

overdose timbul gatal-gatal (urticaria), kesemutan (paresthesia)

dan gejala neurotoksis (rasa kantuk, pikiran kacau konvulsi, dll).

Dosis terhadap Ascaris 75 mg/kg berat badan atau dosis tunggal

dari 3 g selama 2 hari (Tjay dan Rahardja, 2007).

5) Levamisol

Derivat-imidazol ini sangat efektif untuk Ascaris dan cacing

tambang dengan jalan melumpuhkannya. Khasiat lainnya yang

penting adalah stimulasi sistem-imunologi tubuh. Efek sampingnya


11

jarang terjadi, yakni reaksi alergi (rash), granulocytopenia dan

kelainan darah lainnya. Dosis untuk askariasis pada orang dewasa

dengan berat badan lebih dari 40 kg adalah 150 mg d.c (garam

HCl), anak-anak 10-19 kg: 50 mg, 20-39 kg: 100 mg (Tjay dan

Rahardja, 2007).

6) Praziquantel
Obat ini digunakan sebagai obat satu-satunya pada

schistosomiasis dan juga dianjurkan pada taeniasis. Khasiatnya

berdasarkan pemicuan kontraksi cepat pada cacing dan desintegrasi

kulitnya, untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh. Dosis 600 mg

setelah makan malam. Untuk taeniasis dosis tunggal 10 mg/kg

(Tjay dan Rahardja, 2007).

2. Ascaris suum Goeze

a. Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Phyllum : Nemathelminthes

Kelas : Nematoda

Sub kelas : Secernentea

Ordo : Ascaridida

Superfamili : Ascaridoidea

Famili : Ascarididae

Genus : Ascaris

Spesies : Ascaris suum Goeze (Widodo, 2013)


12

b. Morfologi

Ascaris suum Goeze atau yang biasa dikenal sebagai cacing gelang

babi adalah nematoda yang menyebabkan askariasis pada babi. Hospes

utama Ascaris suum Goeze adalah babi, meskipun dapat pula menjadi

parasit pada tubuh manusia, sapi, kambing, domba, anjing, dan lain-lain

(Loreille dan Bouchet, 2003).

Secara morfologi, tidak banyak perbedaan antara Ascaris suum

Goeze dan Ascaris lumbricoides Linn. Perbedaan di antara keduanya

tidak dapat diamati dengan mikroskop cahaya biasa. Sedangkan

penelitian dengan menggunakan mikroskop elektron menunjukkan

adanya perbedaan pada geligi dan bentuk bibir di antara keduanya.

Adanya beberapa perbedaan pola ikatan molekul protein yang sama

antara Ascaris lumbricoides dan Ascaris suum Goeze mencerminkan

hubungan genetik yang cukup dekat, serta menunjukkan adanay

kemungkinan terjadinya hibridisasi antara Ascaris lumbricoides dan

Ascaris suum (Alba et al., 2009).

c. Siklus Hidup

Siklus hidup Ascaris suum Goeze tergolong sederhana. Babi

menyebarkan infeksi melalui tinja yang mengandung telur Ascaris. Telur

infertil akan berkembang menjadi telur yang fertil dalam waktu 4-6

minggu. Perkembangan ini membutuhkan kondisi tanah pada suhu antara

18-20°C (Mejer dan Roepstorff, 2006).


13

Pada Ascaris suum siklus hidup dapat terjadi secara langsung

(direct) maupun tidak langsung (indirect). Pada siklus direct, babi akan

menelan telur infentif yang mengandung larva III. Larva tersebut akan

bermigrasi ke bronkus. Selanjutnya, larva tersebut akan melakukan

penetrasi pada dinding usus besar dan bermigrasi melalui hati ke paru-

paru,. Ketika host batuk, larva akan tertelan dan masuk ke saluran

gastrointestinal. Di dalam traktus gastrointestinal, larva akan berkembang

menjadi bentuk dewasa. cacing dewasa akan hidup dan berkembang baik

dalam usus halus babi (Loreille dan Bouchet, 2003).

Pada siklus indirect, perkembangan akan melalui host perantara

atau host paratenik seperti cacing tanah. Host paratenik akan menelan

telur infertil yang berisi larva II dan larva tersebut akan berada di

jaringan sampai babi memangsa host paratenik tersebut. Selanjutnya,

larva akan berkembang dalam tubuh babi menjadi larva III seperti proses

yang berlangsung dalam siklus direct (Mejer dan Roepstorff, 2006).

Gambar 2.2. Siklus Hidup Ascaris suum Goeze


(Loreille dan Bouchet, 2003)
14

d. Aspek Klinis pada Manusia

Siklus hidup Ascaris suum menyebabkan kemungkinan cacing ini

menginfeksi manusia. Rute transmisi Ascaris suum dapat terjadi akibat

kontak dengan kotoran babi yang sering digunakan sebagai pupuk

tanaman. Rute yang lain diduga melalui konsumsi daging mentah dari

babi yang terinfeksi (Nejsum et al., 2012).

Pada tubuh penderita yang terinfeksi, larva Ascaris suum akan

bermigrasi ke berbagai organ dan menyebabkan manifestasi klinis yang

dikenal sebagai visceral larva migrans (VLM). Manifestasi klinis dari

VLM digambarkan dengan keadaan hipereosinophilia dengan

hepatomegali atau pneumonia serta gejala tidak spesifik seperti malaise,

batuk dan gangguan fungsi hati (Sakakibara et al., 2002).

3. Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.)

a. Klasifikasi

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Superdivisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Subkelas : Rosidae

Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Sauropus
15

Spesies : Sauropus androgunus(L.) Merr.

(Tjitrosoepomo, 2002)

b. Morfologi

Katuk memiliki beberapa nama yang berbeda di setiap daerah di

Indonesia antara lain sekop manis (Melayu), simami (Minangkabau),

sibabing, katu, katukan (Jawa), katuk (Sunda) dan kerakur (Madura). Di

beberapa negara, katuk dikenal dengan nama antara lain cekur manis,

sayur manis (Malaysia), puk waan (Thailand), sweet leaf bush/ star

gooseberry (Inggris) dan so kun mu (Cina) (Agoes, 2010).

Tanaman katuk merupakan tumbuhan perdu dengan ketinggian

tanaman mencapai 500 cm. Susunan morfologi tanaman katuk terdiri atas

akar, batang, daun, bunga, buah dan biji. Daun katuk berbentuk bulat

telur, berujung tumpul dengan ukuran panjang 2-7,5 cm. Bunga tanaman

katuk berwarna merah gelap atau kuning dengan bercak merah gelap.

Buahnya berbentuk bulat dengan diameter 1,5 cm (Bunawan et al.,

2015).

Sistem perakaran tanaman katuk menyebar ke segala arah dan

dapat mencapai kedalaman antara 30-50 cm. Batang tanaman tumbuh

tegak dan berkayu. Pada stadium muda, batang tanaman berwarna hijau

dan setelah tua berubah menjadi kelabu keputih-putihan. Tanaman katuk

tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian 5-1300 m di atas permukaan

laut (dpl) dengan rataan curah hujan antara 200 dan 300 mm per tahun
16

pada tanah jenis latosol. Tanaman ini dapat tumbuh di negara Malaysia,

Indonesia, Cina, dan Taiwan (Rukmana dan Harahap, 2003).

Gambar 2.3. Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.)


(Christi, 2014)

c. Efek Farmakologis Katuk

Tanaman katuk (Sauropus androgunus (L.) Merr) telah lama

dimanfaatkan oleh masyarakat, baik sebagai obat tradisional, sebagai

sayuran atau pewarna makanan. Kandungan nutrisi tanaman katuk sangat

tinggi antara lain protein sebesar 7,6 g/100 g, lemak 1,8 g/100 g,

karbohidrat 6,9 g/100 g, dan serat 1,9 g/100 g. Daun katuk yang segar

merupakan sumber provitamin A carotenoid, vitamin B, vitamin C,

protein dan mineral yang sangat baik. Selain kaya akan kandungan

nutrisi, katuk juga mengandung senyawa metabolit sekunder (Sanjayasari

dan Pliliang, 2011). Metabolit sekunder adalah senyawa kimia

bermolekul kecil yang terkandung dalam tumbuhan. Tumbuhan

menghasilkan senyawa metabolit sekunder berfungsi untuk melindungi

tumbuhan dari serangan serangga, bakteri, jamur dan jenis patogen

lainnya (Sarker et al., 2006).


17

Berdasarkan skrining fitokimia, daun katuk mengandung senyawa

metabolit sekunder antara lain steroid, tanin, saponin, alkaloid, flavonoid,

terpenoid, dan fenol (Selvi dan Basker, 2012).

Beberapa penelitian yang dilakukan para ahli menyebutkan bahwa

daun katuk memiliki efek meningkatkan produksi ASI (Sa’roni et al.,

2004), perbaikan jaringan pada penyembuhan luka (Bhaskar et al., 2009),

menurunkan kadar kolesterol jahat (LDL-k) (Agoes, 2010), aktivitas

antioksidan (Zuhra et al., 2008), dan antibakteri (Paul dan Anto, 2011).

d. Kandungan Daun Katuk yang Mempunyai Efek Antihelmintik

Hasil penapisan fitokimia menyatakan bahwa daun katuk

mengandung senyawa-senyawa aktif yang merupakan metabolit

sekunder. Senyawa yang terbukti terkandung dalam ekstrak daun katuk

adalah tannin, saponin, flavonoid, fenol, alkaloid, dan terpenoid (Selvi

dan Basker, 2012). Daun katuk mengandung kadar tanin sebesar 0,46

g/100 g berat kering dan saponin sebesar 2,84 g/100 g berat kering

(Azlan et al., 2015), kadar flavonoid sebesar 0,823 g/100 g (Andarwulan

et al., 2010), kadar fenol total sebesar 1,15 g/100 g berat kering dan kadar

alkaloid sebesar 0,58 g/100 g berat basah (Petrus, 2013).

Tanin merupakan senyawa bahan alam yang terdiri dari sejumlah

besar gugus hidroksi fenolik. Tanin adalah senyawa fenolik yang larut

dalam air atau bersifat polar. Secara kimia tanin sangat kompleks dan

biasanya dibagi ke dalam dua kelompok yaitu tanin terkondensasi dan

tanin terhidrolisis. Tanin memiliki efek vermifuga dengan cara merusak


18

protein tubuh cacing. Tanin dapat mengikat protein bebas pada saluran

pencernaan cacing (Hoste et al., 2006) atau glikoprotein pada kutikula

cacing sehingga mengganggu fungsi fisiologis seperti motilitas,

penyerapan nutrisi dan reproduksi (Githiori et al., 2006).

Di samping tanin, saponin juga memiliki efek antihelmintik.

Saponin merupakan glikosida tanaman yang terdiri atas gugus sapogenin

atau triterpenoid, gugus heksosa, pentosa dan asam uronat. Mekanisme

kerja saponin sebagai antihelmintik adalah dengan cara menghambat

kerja enzim asetilkolinesterase (Chastity et al., 2015). Enzim

asetilkolinesterase merupakan enzim yang berfungsi untuk

menghidrolisis asetilkolin. Asetilkolin merupakan zat yang dilepaskan

dari ujung saraf motorik untuk mengaktivasi reseptor sehingga

mengawali serangkaian kontraksi. Penghambatan kerja enzim

asetilkolinesterase akan meningkatkan penghambatan penerusan impuls

neuromuskuler sehingga akan menyebabkan paralisis otot pada cacing

(Syarif dan Elysabeth, 2007).

Aktivitas antihelmintik pada ekstrak daun katuk juga dipengaruhi

oleh komponen bioaktif lainnya seperti flavonoid, fenol, alkaloid, dan

terpenoid. Senyawa-senyawa ini mampu meningkatkan kerja senyawa

aktif lain atau melalui mekanisme tersendiri dalam melawan cacing.

Klongsiriwet et al. (2015) memaparkan bahwa kandungan tanin

terkondensasi dan dua flavonoid umum, quercetin dan luteolin, mampu

menyebabkan degenerasi sel otot dan disorganisasi intraseluler sehingga


19

mengakibatkan kematian cacing. Quercetin bertindak sebagai inhibitor P-

glikoprotein (P-gp) sehingga terjadi akumulasi produk metabolik yang

berlanjut menghasilkan toksisitas seluler. Komponen fenol juga

mempunyai mekanisme tersendiri dalam menghasilkan aktivitas

antihelmintik. Mekanisme fenol dalam membunuh cacing adalah dengan

cara mengganggu proses penghasilan energi cacing. Fenol mampu

memutus reaksi pada fosforilasi oksidatif dan mengganggu glioprotein

pada permukaan sel (John et al., 2007). Alkaloid yang memiliki efek

analgesik dan sedatif berkontribusi dalam proses paralisis dan kematian

cacing. Alkaloid bersifat toksik karena efeknya dalam menstimulasi

kebocoran isi sel dan disfungsi neurologis (Nalule et al., 2013).

Terpenoid dapat menyebabkan inhibisi motilitas dan proses reproduksi

pada cacing (Chitwood, 2002).

4. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan kandungan senyawa aktif

dari jaringan tumbuhan menggunakan pelarut tertentu. Beberapa hal yang

dapat mempengaruhi efisiensi ekstraksi yaitu bahan tanaman yang

digunakan, pemilihan pelarut, dan metode yang digunakan. Bahan tanaman

yang digunakan dapat berupa bagian tanaman utuh atau yang telah melalui

proses pengeringan. Pemilihan metode dan pelarut yang digunakan harus

tepat untuk mendapatkan hasil yang maksimal (Rompas et al., 2012).

Beberapa metode ekstraksi yang umum dilakukan adalah ekstraksi dengan

pelarut, distilasi, pengepresan mekanik, dan sublimasi. Di antara metode-


20

metode tersebut, metode yang banyak dilakukan adalah distilasi dan

ekstraksi menggunakan pelarut.

Maserasi adalah metode umum untuk mengekstraksi sejumlah kecil

bahan tanaman di laboratorium karena bisa dilakukan mudah di termos

Erlenmeyer (termos dapat ditutup dengan parafilm atau aluminium untuk

mencegah penguapan pelarut). Metode ini dapat dilakukan dengan cara

merendam bahan dengan sekali-kali dilakukan pengadukan atau pengadukan

secara berkesinambungan (maserasi kinetik). Maserasi didasarkan pada

kelarutan komponen terhadap komponen lain dalam campuran. Kelarutan

suatu zat tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstrak (Jones dan

Kinghorn, 2006).

Kelebihan dari metode ini yaitu efektif untuk senyawa yang tidak

tahan panas (terdegradasi karena panas), peralatan yang digunakan relatif

sederhana, murah, dan mudah didapat. Namun, metode ini juga memiliki

beberapa kelemahan yaitu waktu ekstraksi yang lama, membutuhkan pelarut

dalam jumlah banyak, dan adanya kemungkinan bahwa senyawa tertentu

tidak dapat diekstrak karena kelarutannya yang rendah pada suhu ruang

(Sarker et al., 2006).

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode maserasi dengan

pelarut etanol 70% untuk mendapatkan kandungan kimia seperti tanin dan

saponin yang ada pada daun katuk. Golongan tanin merupakan senyawa

fenolik yang cenderung larut dalam air dan pelarut polar. Saponin

merupakan glikosida triterpen yang memiliki sifat cenderung polar karena


21

ikatan glikosidanya (Sangi et al., 2008). Penggunaan etanol sebagai bahan

ekstraksi dengan alasan karena pelarut etanol memiliki indeks polaritas

sebesar 5,2 dan pelarut etanol dalam ekstraksi dapat meningkatkan

permeabilitas dinding sel simplisia sehingga proses ekstraksi menjadi lebih

efisien dalam menarik komponen polar hingga semi polar (Jones dan

Kinghorn, 2006).
22

B. Kerangka Pemikiran

Ekstrak Daun Katuk Pirantel pamoat

Saponin Tanin Menghambat kerja enzim


kolinesterase

Menghambat kerja Vermifuga (merusak


enzim kolinesterase protein tubuh cacing) Asetilkolin tidak
terhidrolisis

Merintangi penerusan
impuls neuromuskular Depolarisasi persisten

Gangguan aktivitas otot cacing Gangguan aktivitas otot cacing

Paralisis spastik Paralisis spastik

Cacing mati Cacing mati

Waktu kematian Waktu kematian

Variabel perancu yang terkendali:


1. Jenis dan panjang cacing
2. Suhu percobaan (37°C)

Variabel perancu yang tidak terkendali:


1. Umur cacing
2. Kepekaan cacing

Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran

Keterangan:

: mengandung, berefek

: variabel perancu yang mempengaruhi hasil penelitian

: hal yang dipengaruhi oleh variabel perancu


23

C. Hipotesis

Ekstrak etanol daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) pada

konsentrasi tertentu memiliki efek antihelmintik terhadap Ascaris suum Goeze

in vitro.

Anda mungkin juga menyukai