Disusun oleh:
Nama : Dominica Alma D.
NIM : 20/458151/KH/10521
DEPARTEMEN PARASITOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
ASCARIASIS
Etiologi
Ascariasis merupakan penyakit cacing yang dapat menyerang unggas dan
disebabkan oleh cacing Ascaridia galli. Nama lain dari spesies ini adalah
Ascaridia lineata, Ascaridia perspicillum. Ayam muda lebih peka terhadap cacing
Ascaridia galli daripada ayam dewasa. White Leghorn lebih peka daripada ayam
ras yang lain. Lewat umur tiga bulan ayam akan lebih tahan, hal ini berkaitan
dengan meningkatnya sel-sel goblet dalam usus. Cacing muda lebih banyak
menimbulkan kerusakan pada mukosa usus karena larva cacing cenderung
membenamkan diri pada mukosa sehingga sering menyebabkan perdarahan dan
enteritis. Cacing ini memiliki taksonomi sebagai berikut:
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematode
Ordo : Ascaridia
Famili : Heterakidae
Genus : Ascaridia
Spesies : Ascaridia galli
(Taylor et al., 2016)
Gambar 2. Telur Ascaridia galli berbentuk elips dengan lapisan luar tebal
(Taylor et al., 2016)
Gambar 3. Bagian anterior cacing Ascaridia galli betina, terlihat 3 buah bibir
menonjol (kiri); bagian posterior cacing betina terlihat anus subterminal dan spina
diujung ekor (kanan) (Gomes et al., 2015).
Gambar 4. (2C) Buccal apparatus tampak lateral dari cacing Ascaridia galli
jantan; (2D) Buccal apparatus tampak frontal terlihat 3 buah bibir; (2E) Organ
reproduksi cacing jantan tampak ventral; (2F) Bagian caudal dari cacing betina
tampak lateral, terlihat adanya anus (Poult, 2019).
Siklus Hidup
Siklus hidup Ascaridia galli pada ayam berlangsung 35 hari. Telur cacing
akan keluar lewat tinja ayam dan menjadi infektif dalam waktu 5 hari pada suhu
optimum, yaitu 32-34oC. Siklus hidup Ascaridia galli secara langsung, telur
dikeluarkan bersama dengan feses dari inang dan berkembang di lingkungan
eksternal inang. Untuk mencapai tahap infektif (L2) membutuhkan waktu 10
sampai 20 hari atau lebih, tergantung pada suhu dan kelembaban (Zulmi et al.,
2020). Telur kemudian mengandung larva 2 yang sudah berkembang penuh dan
larva ini sangat resisten terhadap kondisi lingkungan yang jelek. Telur tersebut
dapat tetap hidup selama 3 bulan di dalam tempat yang terlindung, tetapi dapat
mati segera terhadap kekeringan, air panas, juga di dalam tanah yang
kedalamannya sampai 15 cm yang kena sinar matahari. Infeksi terjadi bila unggas
menelan telur tersebut bersama makanan atau minuman. Cacing tanah dapat juga
bertindak sebagai vektor mekanis dengan cara menelan telur tersebut dan
kemudian cacing tanah tersebut dimakan oleh unggas. Telur yang mengandung
larva 2 kemudian menetas di proventrikulus atau duodenum unggas. Setelah
menetas, larva 3 hidup bebas di dalam lumen duodenum bagian posterior selama 8
hari. Kemudian larva 3 mengalami ekdisis menjadi larva 4, masuk ke dalam
mukosa dan menyebabkan hemoragi. Larva 4 akan mengalami ekdisis menjadi
larva 5. Larva 5 atau disebut cacing muda tersebut memasuki lumen duodenum
pada hari ke-17, menetap sampai menjadi dewasa pada waktu kurang lebih 28-30
hari setelah unggas menelan telur berembrio. Larva 4 dapat menetap di dalam
jaringan mukosa usus rata-rata selama 8 hari, akan tetapi dapat sampai 17 hari
(Anonim, 2014).
Pada hari ke ± 100 telur Ascaridia galli sudah dapat ditemukan dalam
feses inang. Pada kasus infeksi yang berat, insidental dapat terjadi larva
menembus mukosa usus terlalu dalam dan ikut aliran darah menuju hepar
kemudian ke paru-paru, namun kejadian ini jarang sekali (Kusnoto et al., 2015).
Periode prepaten berkisar dari 4-6 minggu pada ayam muda dan sampai 8 minggu
atau lebih pada ayam tua. Cacing hidup sekitar 1 tahun (Taylor et al., 2016).
KOKSIDIOSIS
Etiologi
Koksidiosis atau sering disebut berak darah adalah penyakit parasiter yang
menimbulkan gangguan terutama pada saluran pencernaan bagian aboral.
Koksidiosis pada ayam disebabkan oleh parasit protozoa intraseluler Eimeria spp.
yang memiliki taksonomi:
Kingdom : Protozoa
Filum : Apicomplexa
Kelas : Coccidia
Ordo : Eucoccidiorida
Famili : Eimeridae
Genus : Eimeria
(Taylor et al., 2016)
Sembilan spesies Eimeria spp. diidentifikasi sebagai agen penyebab
koksidiosis pada ayam tetapi hanya tujuh diantaranya telah dilaporkan bersifat
patogen (Kahn, 2008). Eimeria necatrix dan Eimeria tenella adalah spesies
Eimeria yang paling patogen. Eimeria arcevulina, Emeria maxima, dan Eimeria
mivati umum terjadi dengan tingkat patogen rendah sampai sedang, sementara
Eimeria brunetti jarang terjadi, tetapi patogen jika terjadi. Eimeria mitis, Eimeria
praecox, dan Eimeria hagani adalah spesies yang relatif non-patogen (Soulsby,
2002). Morfologi ookista berbentuk elipsoidal atau lingkaran dengan dinding sel
yang tebal dan mengandung sporokista. Mayoritas ookista Eimeria spp. memiliki
bentuk ovoid. Ookista Eimeria maxima (30,5 x 20,7 μm) adalah yang terbesar,
sedangkan Eimeria mivati (15,6 x 13,4 μm) dan Eimeria mitis (15,6 x 14.2 μm)
adalah yang terkecil dibandingkan dengan spesies Eimeria yang lain. Ookista
Eimeria tenella, Eimeria maxima, Eimeria acervulina, Eimeria hagani, dan
Eimeria brunetti berbentuk bulat telur sedangkan Eimeria necatrix berbentuk
bujur sangkar (Clark and Blake, 2012).
Gambar 6. Ookista dari tujuh Eimeria spp. pada ayam: (a) Eimeria maxima, (b)
Eimeria brunetti, (c) Eimeria tenella, (d) Eimeria necatrix, (e) Eimeria praecox,
(f) Eimeria acervulina, dan (g) Eimeria mitis (Dubey, 2020).
Gambar 7. Siklus hidup Eimeria spp. pada stadium sporogoni dan skizogoni: (1)
ookista yang matang; (2) ookista mengalami sporulasi; (3) spokista yang
mengandung sporozoite; (4) Sporozoit melakukan penetrasi pada sel inang; (5)
terbentuk tropozoit; (6) tropozoit membentuk skizon generasi I yang belum
matang; (7) skizon generasi I yang belum matang terus mengalami
perkembangan; (8) skizon generasi I yang telah matang; (9) skizon generasi I
yang matang melepaskan merozoite generasi I; (10) terbentuk skizon generasi II
yang belum matang Conway and McKenzie, 2007).
Perkembangan parasit dalam sel inang melibatkan tahap
perkembangbiakan aseksual dan seksual. Setelah memasuki sel inang, sporozoit
berubah dalam 12 hingga 48 jam menuju feeding stage yang disebut tropozoit.
Tropozoit mulai membesar dan inti parasit membelah dengan proses pembelahan
ganda aseksual yang dikenal sebagai skizogoni (merogoni) (Conway and
McKenzie, 2007). Selanjutnya tropozoit berkembang menjadi skizon generasi I,
II, dan seterusnya yang mengandung banyak merozoit (Prastowo dan Priyowidodo
2015).
INFESTASI TUNGAU
Ektoparasit tungau dari mamalia dan burung menghuni kulit, dimana
mereka memakan darah, getah bening, puing-puing kulit atau sekresi sebasea
yang mereka telan dengan menusuk kulit, mengais dari permukaan kulit atau
menyerap dari lesi epidermis. Kebanyakan tungau menghabiskan seluruh
hidupnya dalam kontak intim dengan inangnya, sehingga perpindahan dari inang
ke inang terutama melalui kontak fisik. Infestasi tungau disebut akariasis dan
dapat menyebabkan dermatitis parah yang disebut kudis (Wall and Shearer, 2001).
Ektoparasit biasanya menyebabkan ketidaknyamanan, iritasi, dan gatal, sehingga
burung mungkin menunjukkan kegelisahan, garukan, dan perawatan yang
berlebihan (Swayne et al., 2020). Secara umum bagian tubuh dari tungau terbagi
menjadi dua, yaitu gnathosoma (anterior) atau kapitulum, dan idiosoma
(posterior). Gnathosoma hanya terdiri atas mulut berbentuk bulat dan lebar,
sedangkan beberapa organ lainnya seperti otak ada pada bagian idiosoma. Bagian
idiosoma terbagi menjadi dua, bagian tubuh yang memiliki kaki disebut
podosoma dan bagian belakang tubuh yang tidak berkaki disebut opisthosoma.
Pada tungau dewasa, dua pasang kaki depan berbentuk lebih ramping dan
termodifikasi menjadi organ sensoris yang dapat membantu pergerakan dan
makan (Wall and Shearer, 2001).
Spesies dari genus Knemidocoptes adalah satu-satunya tungau penggali
astigmatid yang ditemukan pada unggas dan burung peliharaan. Dua belas spesies
telah dideskripsikan, tiga di antaranya penting bagi kedokteran hewan. Ciri utama
tubuh mereka mirip dengan Sarcoptes, tetapi permukaan punggung tidak memiliki
duri dan hanya sisik samar dan tidak beraturan. (Taylor et al., 2016).
Knemidocoptes mutans
Etiologi
Knemidocoptes mutans merupakan tungau penyebab kaki bersisik yang
menyerang unggas, terutama ayam dan kalkun. Berpredileksi di bawah sisik kaki
dan tungkai serta mempunyai nama umum Scaly Leg Mite (Taylor et al., 2016).
Morfologi Knemidocoptes mutans cukup mirip dengan Sarcoptes. Betina
berbentuk bulat dan panjangnya sekitar 400 µm, kakinya pendek dan gemuk,
dengan pengisap terminal hanya ditemukan pada jantan. Anus adalah terminal.
Pada fase larva tungau ini memiliki 3 pasang kaki, setelah melewati dua fase
nimpa tungau mencapai dewasa dan memiliki empat pasang kaki. Permukaan
punggung ditutupi oleh garis-garis samar. Namun, pada bagian punggung bagian
tengah lurik patah dalam pola seperti lempengan atau sisik. Tubuh tidak memiliki
duri atau sisik. Pulvili yang mengintai ada di semua kaki larva dan jantan, tetapi
tidak ada pada tahap nimfa dan betina. Pengisap kopulasi tidak ada pada tungau
jantan (Wall and Shearer, 2001). Tungau ini memiliki taksonomi sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Class : Arachnida
Subclass : Acari
Ordo : Astigmata (Sarcoptiformes)
Famili : Knemidocoptidae
Genus : Knemidocoptes
Spesies : Knemidocoptes mutans
(Taylor et al., 2016)
Gambar 10. Morfologi Knemidocoptes mutans tampak dorsal (kiri) dan tampak
ventral (kanan) dengan kaki 4 yang pendek dan gemuk serta punggung berlurik
(Baker, 2007; Swayne et al., 2020).
Siklus Hidup
Spesies tungau Knemidocoptes menghabiskan seluruh siklus hidupnya
yang berkisar selama 3 minggu pada tubuh host mereka. Siklus hidup tungau
mulai dari telur sampai menjadi dewasa membutuhkan waktu 10-14 hari. Tungau
jenis betina mampu hidup pada hospes selama 30 hari dan tungau Knemidocoptes
sp. betina ini mampu masuk ke dalam kulit dengan membentuk lorong dan
bertelur. Telur menetas menjadi larva kemudian berkembang menjadi protonimfa
(3-5 hari) dan tritonimfa (2-3 hari), kemudian menjadi tungau dewasa (3-6 hari)
(Wall and Shearer, 2001). Tungau jantan sering keluar untuk mencari betina
dewasa yang belum kopulasi. Seekor betina dapat bertelur dan menghasilkan 2-4
telur sehari selama dua bulan hidupnya dengan interval bertelur selama 2-3 hari
(Taylor et al., 2016).
Gejala Klinis
Knemidocoptes mutans akan menggali terowongan dibawah sisik kaki,
menyebabkan peradangan disertai eksudasi dan kegatalan. Eksudat yang keluar
lama-kelamaan akan mengering dan mengeras berbentuk seperti kapur,
mengakibatkan sisik kaki terangkat, permukaannya tidak rata, dan tidak teratur.
Sisik yang meninggi di kaki dan tungkai. Infestasi dapat menyebabkan kaki
lumpuh dan cacat. Kadang-kadang leher dan sisir mungkin terpengaruh. Saat
penyakit berkembang selama beberapa bulan, burung berhenti makan dan
akhirnya mati. Gejala klinis lainnya terjadi kepincangan, terlihat jari kuku kaki
bengkok (Taylor et al., 2016).
Gambar 11. Hiperkeratosis yang terjadi pada kaki ayam karena infeksi
Knemidocoptes mutans (Taylor et al., 2016).
Patogenesis
Infestasi Knemidocoptes mutans dapat terjadi dengan dua cara, yaitu
secara langsung dan tidak langsung. Infestasi secara langsung terjadi apabila
melakukan kontak dengan inang lain yang terinfestasi, sedangkan infestasi tidak
langsung berasal dari tanah atau kandang. Knemidocoptes mutans masuk ke dalam
liang kulit kaki dan tungkai unggas menyebabkan penampakan putih bersisik.
Iritasi terjadi bersamaan dengan eksudat yang mengeras membentuk massa yang
berkerak dan berkembang biak. Populasi yang besar dapat menyebabkan
ketimpangan dan kelainan bentuk pada kaki, tungkai, dan cakar karena hipertrofi
yang luas pada stratum korneum. Ini adalah kondisi yang dikenal sebagai ‘scaly
leg’. Sisik dan leher terkadang juga terpengaruh. Saat penyakit berkembang
selama beberapa bulan, unggas berhenti makan dan akhirnya terbuang percuma.
Tungau dewasa dewasa dapat ditemukan di bawah kerak (Wall and Shearer,
2001).
Diagnosis
Sisik yang terangkat pada tungkai dan kaki menunjukkan keberadaan
parasit. Konfirmasi dicapai dengan menemukan tungau pada kerokan kulit yang
diambil dari lesi. Tungau dewasa sering ditemukan di bawah kerak (Taylor et al.,
2016). Menemukan tungau dalam pemeriksaan kerokan kulit secara mikroskopis
dihubungkan dengan rontoknya bulu pada tempat predileksi tungau. Diagnosa dan
identifikasi tungau kudis dapat dilakukan dengan cara memeriksa kerokan kulit.
Bahan yang akan dipergunakan adalah kerokan kulit, minyak mineral, larutan
KOH 10%, dan entelan. Alat yang dipergunakan adalah mikroskop, telapa petri,
jarum, gelas obyek, dan gelas penutup. Pengerokan kulit dilakukan tepat pada
perbatasan antara kulit yang normal dengan yang mengalami perubahan (lesi).
Sebelum dikerok kulit ditetesi dengan minyak mineral agar kerokan kulit tidak
berhamburan dan tungau yang ada gerakannya dihambat. Kerokan kulit ditaruh
didalam telapa petri, tambahkan sedikit KOH 10%, biarkan beberapa saat dan
periksa di bawah mikroskop. Jika terlihat adanya tungau, dipindahkan ke atas
gelas obyek menggunakan jarum, tetesi dengan canada balsem dan akhirnya tutup
dengan gelas penutup. Periksa dengan mikroskop untuk identifikasi berdasarkan
ciri-ciri morfologinya (Wall and Shearer, 2001).
Knemidocoptes gallinae
Etiologi
Tungau ini adalah satu-satunya genus tungau yang menggali pada unggas
dan dalam banyak hal menyerupai Sarcoptes. Tubuh melingkar dan kaki pendek
yang pendek serta inang unggas biasanya cukup untuk diagnosis umum.
Meskipun mirip dengan Knemidocoptes mutans, individunya cenderung lebih
kecil dan pola garis dorsal tidak terputus (Wall and Shearer, 2001). Menyerang
ayam, kalkun, burung pegar, dan angsa. Berpredileksi di area yang berbulu dan
mempunyai nama umum Depluming Itch Mite. Tungau ini memiliki taksonomi
sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Class : Arachnida
Subclass : Acari
Ordo : Astigmata (Sarcoptiformes)
Famili : Knemidocoptidae
Genus : Knemidocoptes
Spesies : Knemidocoptes gallinae
(Taylor et al., 2016)
Gambar 12. Morfologi Knemidocoptes gallinae tampak dorsal dengan pola garis
dorsal tidak terputus (Baker, 2007).
Siklus Hidup
Siklus hidup tungau ini sama dengan Knemidocoptes mutans. Infeksi
tungau ini lazim terjadi pada musim semi dan musim panas serta dapat
menghilang pada musim gugur (Wall and Shearer, 2001).
Gejala Klinis
Knemidocoptes gallinae masuk ke dalam liang bulu dan rasa sakit serta
iritasi yang hebat menyebabkan burung mencabut bulu tubuhnya, biasa dikenal
dengan istilah ‘depluming itch’. Kondisi ini ditandai dengan garukan yang intens
dan bulu rontok di area tubuh yang meluas. Bulu rontok, patah atau dicabut oleh
burung. Tungau dapat ditemukan tertanam di jaringan di pangkal bulu duri,
menyebabkan kerak, papula, dan penebalan kulit (Taylor et al., 2016).
Patogenesis
Bagian tubuh yang paling sering terinfeksi adalah kepala, leher, punggung,
perut, dan kaki bagian atas. Kasus yang parah bisa mengakibatkan kekurusan dan
kematian (Taylor et al., 2016). Knemidocoptes gallinae menyerang unggas,
burung pegar, dan angsa, dimana ia bersembunyi di pangkal batang bulu, terutama
di punggung, kepala dan leher, bagian atas sayap, dan di sekitar lubang angin,
menyebabkan kondisi yang dikenal sebagai ‘gatal yang menyesakkan’. Kondisi
ini ditandai dengan garukan yang intens dan bulu rontok di area tubuh yang luas.
Bulu bisa rontok, putus atau dicabut oleh burung. Tungau dapat ditemukan
tertanam di jaringan di pangkal bulu duri, menyebabkan kerak, papula, dan
penebalan kulit. Infestasi sangat umum terjadi pada bulan-bulan musim panas
(Wall and Shearer, 2001).
Diagnosis
Bulu rontok dan garukan yang progresif menunjukkan adanya parasit.
Identifikasi spesies tungau dapat dilakukan melalui pemeriksaan tungau yang
terdapat pada bulu burung atau kerokan kulit diambil dari tepi lesi (Taylor et al.,
2016). Pengerokan kulit dilakukan tepat pada perbatasan antara kulit yang normal
dengan yang mengalami perubahan (lesi). Sebelum dikerok kulit ditetesi dengan
minyak mineral agar kerokan kulit tidak berhamburan dan tungau yang ada
gerakannya dihambat. Kerokan kulit ditaruh didalam telapa petri, tambahkan
sedikit KOH 10%, biarkan beberapa saat dan periksa di bawah mikroskop. Jika
terlihat adanya tungau, dipindahkan ke atas gelas obyek menggunakan jarum,
tetesi dengan canada balsem dan akhirnya tutup dengan gelas penutup. Periksa
dengan mikroskop untuk identifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologinya (Wall and
Shearer, 2001).
Knemidocoptes pillae
Etiologi
Knemidocoptes pillae sangat mirip dengan Knemidocoptes mutans dan
Sarcoptes scabei. Betina biasanya memiliki panjang 315-428 µm dan lebar 250-
380 µm. Jantan sedikit lebih kecil, umumnya panjang 200 µm dan lebar 150 µm
(Wall and Shearer, 2001). Menyerang ayam dan burung yang disangkarkan.
Berpredileksi di telapak kaki, pangkal paruh, kulit wajah, dan seluruh tubuh.
Morfologi umum dan lokasi inang biasanya cukup untuk diagnosis. Tungau betina
dari Knemidocoptes pillae memiliki perisai dorsolateral dan basis yang menyatu
dari seta lateral ke dorsal anterior. Knemidocoptes pillae jantan dicirikan oleh
bilobed pulvilusnya. Tungau ini memiliki taksonomi sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Class : Arachnida
Subclass : Acari
Ordo : Astigmata (Sarcoptiformes)
Famili : Knemidocoptidae
Genus : Knemidocoptes
Spesies : Knemidocoptes pillae
(Taylor et al., 2016)
Siklus Hidup
Siklus hidup sama dengan Knemidocoptes mutans. Diperkirakan bahwa
semua tahapan siklus hidup selesai dalam lesi yang dihasilkan (Wall and Shearer,
2001).
Gambar 13. Morfologi Knemidocoptes pillae betina dengan perisai dorsolateral
(kiri) tampak dorsal (kanan) tampak ventral (Baker, 2007).
Gejala Klinis
Tungau dapat terlihat di lapisan yang lebih dalam dari stratum korneum, di
mana mereka menyebabkan hiperkeratosis dan pengelupasan keratin. Ayam yang
terkena dampak awalnya memiliki serpihan berwarna kuning keputihan di atas
area yang terkena di dasar cere dan sudut mulut. Lesi ini meluas hingga menutupi
mata, dahi, dan cere. Paruhnya juga menjadi menyimpang dan rapuh (Baker,
2007). Gejala klinisnya terjadi kegatalan, sehingga burung akan mematuk,
mencakar tempat gigitan, tetapi kelainan kulit berlangsung lambat (Taylor et al.,
2016).
Patogenesis
Knemidocoptes pillae ditemukan pada budgerigars, beo, dan parkit. Itu
menyerang area telanjang atau berbulu tipis, terutama di sekitar kaki, paruh, area
ventilasi, dan punggung. Infestasi di sekitar kepala menyebabkan kondisi yang
dikenal sebagai ‘scaly face’. Aktivitas menggali betina pada prinsipnya
bertanggungjawab atas deratitis yang dihasilkan. Infeksi Knemidocoptes pillae
pada budgerigars memanifestasikan dirinya dengan pertumbuhan paruh berlebih
dan kelainan bentuk akibat infestasi di dasar cere, disertai dengan kegelisahan dan
perilaku perawatan yang tidak biasa. Tanda pertama adalah kerak bubuk putih
keabu-abuan yang menutupi area yang terkena diadu pada pemeriksaan lebih
dekat. Hiperkeratosis sering terjadi (Wall and Shearer, 2001).
Diagnosis
Identifikasi spesies tungau dapat dilakukan melalui pemeriksaan tungau
yang terdapat pada bulu burung atau kerokan kulit diambil dari tepi lesi (Taylor et
al., 2016). Pengerokan kulit dilakukan tepat pada perbatasan antara kulit yang
normal dengan yang mengalami perubahan (lesi). Sebelum dikerok kulit ditetesi
dengan minyak mineral agar kerokan kulit tidak berhamburan dan tungau yang
ada gerakannya dihambat. Kerokan kulit ditaruh didalam telapa petri, tambahkan
sedikit KOH 10%, biarkan beberapa saat dan periksa di bawah mikroskop. Jika
terlihat adanya tungau, dipindahkan ke atas gelas obyek menggunakan jarum,
tetesi dengan canada balsem dan akhirnya tutup dengan gelas penutup. Periksa
dengan mikroskop untuk identifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologinya (Wall and
Shearer, 2001).
DAFTAR PUSTAKA
Abebe, E., and Gugsa, G. 2018. A Review of Poultry Coccidiosis. Abyss. J. Sci.
Technol. Vol. 3, No. 1.
Anonim. 2014. Manual Penyakit Unggas. Jakarta: Subdit Pengamatan Penyakit
Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.
Baker, D. G. 2007. Flynn’s Parasites of Laboratory Animals Second Edition.
USA: Blackwell Publishing.
Bharat, G. A., Kumar, N.P., Subhasish, B., Ria, B. 2017. A Report of Ascaridia
galli in Commercial Poultry Egg from India. Journal of World’s Poultry
Research, 7(1): 23-26.
Clark, E. L., and Blake, D. P. 2012. Genetic Mapping and Coccidial Parasites:
Past Achievements and Future Prospects. Journal of Biosciences, 37,
879-886.
Conway, D. P., and Mckenzie, M. E. 2007. Poultry Coccidiosis, Diagnostic and
Testing Procedures 3rd Ed. Ames, Iowa: Blackwell Publishing.
Daszak, P. 1999. Zoite Migration During Eimeria tenella Infection: Parasite
Adaption to Host Defences. Parasitology Today, 2: 67-72.
Dubey, J.P. 2020. Coccidiosis in Livestock, Poultry, Companion Animals, and
Humans. Boca Raton: CRC Press Taylor and Francis Group.
Ekawasti, F., dan Martindah, E. 2019. Pengendalian Koksidiosis Pada Ayam
Melalui Pengobatan Herbal. Wartazoa Vol. 29 No. 1.
Foreyt, W. J. 2001. Veterinary Parasitology Reference Manual 5th Ed. Ames,
USA: Iowa State University Press.
Gomes, A. P. N., Olifiers, N., Santos, M. M. D., Simoes, R. D. O., Junior, A. M.
2015. New Records of Thress Species of Nematodes in Cerdocyon thous
from the Brazilian Pantanal Wetlands. Braz. J. Vet. Parasitol
Jaboticabal, 24(3): 324-330.
Griffiths, H. J. A. 1978. Handbook of Veterinary Parasitology Domestic Animals
of North America. USA: University of Minnesota Press.
Kahn, C. M. 2008. The Merck Veterinary Manual 9th ed.. USA: Merck and CO.,
INC.
Kauffman, J. 1996. Parasitic Infection of Domestic Animals. Berlin: Berkauser.
Kusnoto, Bendryman, S. S., Koesdarto, S., Sosiawati, S. M. 2015. Ilmu Penyakit
Helmin Kedokteran Hewan. Sidoarjo: Zifatama Publisher.
Levine, N. D. 1981. Textbook of Parasitology. USA: Burgess Publisher.
Prastowo, J. dan Priyowidodo, D. 2015. Penyakit Parasit pada Ayam.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Poult, B. J. 2019. An Outbreak of Intestinal Obstruction by Ascaridia galli in
Broilers in Minas Gerais. Brazilian Journal of Poultry Science, 21(4).
Reid, W. M. 1978. Coccidiosis. In Diseases of Poultry, 7th ed., ed. M. S. Hofstad,
B.W. Calnek, C. F. Helmboldt, W. M. Reid, and H. W. Yoder, Jr. Ames,
IA: Iowa State Univ. Press.
Rehman, Z. U., Mahfooz, A., Ahmad, T., Mahmood, S., Abbas, G., Saleem, M. I.,
Iqbal, A., Siddique, F., Fiaz, M. 2014. Comparative Therapeutic Efficacy
of Ivermectin and Piperazine Citrate Against Ascaridia galli in
Commercial and Rural Poultry. Scholar’s Advances in Animal and
Veterinary Research, 1(1): 20-24.
Sarjono, T. W. 2020. Helmintologi Kedokteran dan Veteriner Edisi Revisi.
Malang: UB Press.
Shaibu, I. E. 2015. Phytochemical Composition and Anthelminthic Effects of
Essential Oils from Three Nigerian Citrus Varieties on Ascaridia galli
(Thesis). Zaria: Faculty Of Science Ahmadu Bello University.
Soulsby, E. J. L. 2002. Helminths, Arthropods and Protozoan’s of Domesticated
Animals 7th ed. London: Bailliere Tindall.
Swayne, D. E., Boulianne, M., Logue, C. M., McDougald, L. R., Nair, V., Suarez,
D. L. 2020. Diseases of Poultry 14th Edition. USA: Wiley Blackwell.
Tabbu, C. R. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya: Penyakit Asal
Parasit, Noninfeksius, dan Etiologi Kompleks Vol 2. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Taylor, M. A., Coop, R. L., Wall, R. L. 2016. Veterinary Parasitology 4th Edition.
UK: Wiley-Blackwell.
Varghese, T. 2004. Eimeria Paradise Species and Isospora ragglara Species from
the Ragyiana Birds of Paradise (Paradisaea raggina sciates) from Papua
New Guinea. Journal of Parasitology, 63, 887-889.
Wall, R. and Shearer, D. 2001. Veterinary Ectoparasites Biology, Pathology, and
Control Second Edition. UK: Blackwell Science.
Zada, L., Rehman, T., Niazl, S., Zeb, M. A., Ruqia, B., Salma, Khan, M. A.,
Khan, A. 2015. Prevalence of Ascaridia galli in Some Poultry Farms of
District Mardan. The Journal of Advances in Parasitology, 2(4): 75- 79.
Zulmi, M. D., Ferasyi, T. R., Farida, Winarudin, Eliawardani, Zahrawaty. 2020.
Identification and Prevalence of Endoparasites in Lovebird (Agapornis
fisceri) Sold in Banda Aceh. Jurnal Medika Veterinaria 14 (1): 19-26.