Anda di halaman 1dari 27

TUGAS MANDIRI

KOASISTENSI DIAGNOSA LABORATORIUM

PERIODE OKTOBER - NOVEMBER 2020


Ascariasis, Koksidiosis, dan Infestasi Tungau pada Ayam
(Gallus gallus domesticus)

Disusun oleh:
Nama : Dominica Alma D.
NIM : 20/458151/KH/10521

DEPARTEMEN PARASITOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
ASCARIASIS
Etiologi
Ascariasis merupakan penyakit cacing yang dapat menyerang unggas dan
disebabkan oleh cacing Ascaridia galli. Nama lain dari spesies ini adalah
Ascaridia lineata, Ascaridia perspicillum. Ayam muda lebih peka terhadap cacing
Ascaridia galli daripada ayam dewasa. White Leghorn lebih peka daripada ayam
ras yang lain. Lewat umur tiga bulan ayam akan lebih tahan, hal ini berkaitan
dengan meningkatnya sel-sel goblet dalam usus. Cacing muda lebih banyak
menimbulkan kerusakan pada mukosa usus karena larva cacing cenderung
membenamkan diri pada mukosa sehingga sering menyebabkan perdarahan dan
enteritis. Cacing ini memiliki taksonomi sebagai berikut:
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematode
Ordo : Ascaridia
Famili : Heterakidae
Genus : Ascaridia
Spesies : Ascaridia galli
(Taylor et al., 2016)

Gambar 1. Cacing Ascaridia galli dewasa di dalam intestinum (Taylor et al.,


2016).

Ascaridia galli adalah cacing nematoda yang ukurannya paling besar


diantara jenis cacing pada unggas, berbentuk bulat, berwarna putih, tidak
berpigmen, dan dilengkapi dengan kutikula yang halus (Anonim, 2014). Cacing
ini merupakan parasit pada ternak unggas yang termasuk dalam soil transmitted
helminthes dan biasa ditemukan pada usus ayam dan unggas lain di seluruh dunia
(Levine, 1981). Cacing jantan berukuran panjang 50-76 mm dan lebar 490-1210
µm. Cacing betina berukuran panjang 60-116 mm dan lebar 900-1800 µm (Taylor
et al., 2016). Ujung anterior mempunyai 3 buah bibir, di ujung posterior cacing
jantan terdapat pre-anal sucker dan dua spikula berukuran panjang 1-2,4 mm.
Cacing betina memiliki vulva yang terletak di pertengahan tubuh. Telur Ascaridia
galli berbentuk oval, berkulit lembut, tidak bersegmen, ukuran 73-92 x 45-57 μm
(Sarjono, 2020).

Gambar 2. Telur Ascaridia galli berbentuk elips dengan lapisan luar tebal
(Taylor et al., 2016)

Gambar 3. Bagian anterior cacing Ascaridia galli betina, terlihat 3 buah bibir
menonjol (kiri); bagian posterior cacing betina terlihat anus subterminal dan spina
diujung ekor (kanan) (Gomes et al., 2015).
Gambar 4. (2C) Buccal apparatus tampak lateral dari cacing Ascaridia galli
jantan; (2D) Buccal apparatus tampak frontal terlihat 3 buah bibir; (2E) Organ
reproduksi cacing jantan tampak ventral; (2F) Bagian caudal dari cacing betina
tampak lateral, terlihat adanya anus (Poult, 2019).

Siklus Hidup
Siklus hidup Ascaridia galli pada ayam berlangsung 35 hari. Telur cacing
akan keluar lewat tinja ayam dan menjadi infektif dalam waktu 5 hari pada suhu
optimum, yaitu 32-34oC. Siklus hidup Ascaridia galli secara langsung, telur
dikeluarkan bersama dengan feses dari inang dan berkembang di lingkungan
eksternal inang. Untuk mencapai tahap infektif (L2) membutuhkan waktu 10
sampai 20 hari atau lebih, tergantung pada suhu dan kelembaban (Zulmi et al.,
2020). Telur kemudian mengandung larva 2 yang sudah berkembang penuh dan
larva ini sangat resisten terhadap kondisi lingkungan yang jelek. Telur tersebut
dapat tetap hidup selama 3 bulan di dalam tempat yang terlindung, tetapi dapat
mati segera terhadap kekeringan, air panas, juga di dalam tanah yang
kedalamannya sampai 15 cm yang kena sinar matahari. Infeksi terjadi bila unggas
menelan telur tersebut bersama makanan atau minuman. Cacing tanah dapat juga
bertindak sebagai vektor mekanis dengan cara menelan telur tersebut dan
kemudian cacing tanah tersebut dimakan oleh unggas. Telur yang mengandung
larva 2 kemudian menetas di proventrikulus atau duodenum unggas. Setelah
menetas, larva 3 hidup bebas di dalam lumen duodenum bagian posterior selama 8
hari. Kemudian larva 3 mengalami ekdisis menjadi larva 4, masuk ke dalam
mukosa dan menyebabkan hemoragi. Larva 4 akan mengalami ekdisis menjadi
larva 5. Larva 5 atau disebut cacing muda tersebut memasuki lumen duodenum
pada hari ke-17, menetap sampai menjadi dewasa pada waktu kurang lebih 28-30
hari setelah unggas menelan telur berembrio. Larva 4 dapat menetap di dalam
jaringan mukosa usus rata-rata selama 8 hari, akan tetapi dapat sampai 17 hari
(Anonim, 2014).
Pada hari ke ± 100 telur Ascaridia galli sudah dapat ditemukan dalam
feses inang. Pada kasus infeksi yang berat, insidental dapat terjadi larva
menembus mukosa usus terlalu dalam dan ikut aliran darah menuju hepar
kemudian ke paru-paru, namun kejadian ini jarang sekali (Kusnoto et al., 2015).
Periode prepaten berkisar dari 4-6 minggu pada ayam muda dan sampai 8 minggu
atau lebih pada ayam tua. Cacing hidup sekitar 1 tahun (Taylor et al., 2016).

Gambar 5. Siklus hidup Ascaridia galli (Sarjono, 2020).


Gejala Klinis
Ayam yang terinfeksi cacing Ascaridia galli dapat menunjukkan gejala
kelesuan pada sayap, pemutihan pada kepala, hilangnya nafsu makan, penurunan
aktivitas, kekurusan, dan diare. Diare dapat menyebabkan perubahan pada ayam
seperti anemia, bulu kusam dan acak-acakan, serta daerah kloaka yang kotor.
Penurunan berat badan dapat terjadi dikarenakan infeksi cacing Ascaridia galli
dapat mengurangi efisiensi penyerapan nutrisi (Shaibu, 2015; Zada et al., 2015).
Cacing dewasa juga dapat bermigrasi ke oviduk melalui kloaka atau penetrasi
usus sehingga mengakibatkan cangkang telur menjadi tipis dan lunak. Hal ini
dapat berefek pada penurunan produksi telur (Rehman et al., 2014; Bharat et al.,
2017).
Enteritis hemoragi, anemia, nafsu makan turun, bulu rontok, kusam, pucat,
sayap terkulai, lemah, dan emasiasi. Pada ayam layer yang sedang berproduksi
dapat mengakibatkan penurunan produksi telur atau sampai terhenti sama sekali.
Pada ayam broiler pertumbuhan akan terganggu dan berat badan menurun
(Kusnoto et al., 2015).
Patogenesis
Telur yang termakan inang akan menetas dan berkembang menjadi larva
stadium 3. Selanjutnya larva menembus mukosa intestinum, penetrasi larva ini
dapat mengakibatkan enteritis hemoragi dan kerusakan dinding usus, sedang pada
ayam muda dapat mengakibatkan anemia, diare, nafsu makan turun serta haus
yang berlebihan. Ayam muda lebih peka daripada ayam tua, karena ayam tua
mukus intestinumnya lebih banyak dibanding ayam muda dan pada mukus itulah
dibentuk antibodi parasit, sehingga dengan adanya peningkatan jumlah mukus
pada intestinum ayam lebih tua akan menjadi faktor penghambat perkembangan
larva cacing Ascaridia galli (Kusnoto et al., 2015).
Perkembangan larva stadium 3 menjadi larva stadium 4 berada di dalam
mukosa intestinum, kemudian larva stadium 4 akan menjadi cacing muda dan
keluar dari mukosa menuju lumen berkembang menjadi dewasa. Infeksi yang
hebat dari cacing dewasa Ascaridia galli ini dapat mengakibatkan obstruksi,
perforasi usus, dan kematian (Kusnoto et al., 2015). Patogenisitas umumnya
rendah, meskipun pada infeksi berat terjadi penurunan berat badan. Tidak jarang
ditemukan timbunan cacing yang sangat banyak sehingga usus tersumbat (Swayne
et al., 2020).
Diagnosis
Diagnosis terhadap kemungkinan ascariasis dilakukan dengan melihat
gejala klinis yang muncul, pemeriksaan natif dan sentrifus terhadap telur cacing di
dalam feses, dan pemeriksaan darah (Anonim, 2014). Pemeriksaan feses untuk
menemukan telur cacing Ascaridia galli, hanya saja pada ayam muda (0-8
minggu) dengan metode ini belum bisa dilakukan karena periode prepaten cacing
ini kurang lebih 100 hari. Menemukan cacing dalam usus pada saat bedah bangkai
(Kusnoto et al., 2015).
Koleksi feses
Feses yang dikoleksi untuk diperiksa parasitologi harus dikumpulkan dari
rektum menggunakan sarung tangan plastik sekali pakai. Sampel dikumpulkan di
tangan kemudian sarung tangan dibalik dan diberi udara kemudian diikat. Feses
yang baru dikeluarkan juga dapat digunakan untuk pemeriksaan yang tidak
terkontaminasi oleh tanah atau kotoran. Hal ini penting karena banyak larva
nematoda yang hidup bebas di lingkungan, sehingga dapat membuat diagnosa
yang kurang tepat. Telur dapat berkembang dengan cepat ke arah mana mereka
sulit untuk diperbaiki (Kauffman, 1996). Cepatnya telur ini berembrio, maka feses
harus disimpan dalam lemari es kecuali harus dilakukan dalam sehari. Jika sampel
akan dikirim, sistem penyimpanan anaerob di dalam wadah kedap udara yang
berisi udara akan membutuhkan pengembangan dan menetasnya telur (Taylor et
al., 2016).
Metode Identifikasi telur cacing dan cacing
Metode sederhana (natif)
Pemeriksaan natif dilakukan dengan mengambil sedikit sampel feses
kemudian diletakkan di atas gelas obyek. Feses ditetesi air dan dicampur,
kemudian diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x10 untuk mencari
ada tidaknya telur cacing (Griffiths, 1978). Metode ini memungkinkan untuk
menunjukkan parasit (telur atau larva cacing, ookista coccidia). Metode ini
memiliki kekurangan, yaitu hanya kerumitan yang efektif, parasit tinggi, sulit
untuk dilakukan karena tertutup oleh puing, dan hasil kuantitatif tidak dapat
diperoleh (Kauffman, 1996).
Metode pengapungan
Memisahkan telur dari puing-puing feses dengan cara mengapungkan telur
dengan berbagai macam suplemen. Saat feses di cairan yang berat jenisnya tinggi
dan disentrifugasi, telur cacing dan protozoa akan melayang ke atas sedangkan
debris feses akan tenggelam. Telur nematoda dan cestoda akan mengapung dalam
cairan dengan berat jenis antara 1,10-1,20. Telur trematoda yang jauh lebih
membutuhkan dari 1,30-1,35 (Kauffman, 1996). Pemeriksaan sentrifus dilakukan
dengan cara mengambil feses sebanyak 2 gram dan dimasukkan ke dalam cawan
mortar. Feses kemudian ditambah dengan air secukupnya dan diaduk. Campuran
kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifus sebanyak 3⁄4 tabung lalu
dilakukan sentrifugasi selama lima menit. Supernatan hasil sentrifus dibuang
sampai tersisa endapan di dasar tabung. NaCl jenuh dimasukkan ke dalam tabung
tersebut sampai 3⁄4 tabung lalu diaduk sampai rata dan disentrifuse kembali
selama lima menit. Hasil sentrifus kemudian ditambah lagi NaCl jenuh sampai
permukaannya cembung dan ditunggu selama tiga menit. Gelas objek ditempelkan
pada permukaan cembung tersebut dan dibalik dengancepat kemudian ditutup
dengan deck glass dan dilakukan pengamatan di bawah mikroskop dengan
perbesaran 10x10 (Griffiths, 1978). Parasit yang dapat ditemukan dengan metode
pengapungan adalah telur cestoda dan nematoda, larva lungworms, dan oosista
coccidia (kecuali Eimeria leuckarti). Telur trematoda sulit ditemukan dengan
metode ini (Kauffman, 1996).

KOKSIDIOSIS
Etiologi
Koksidiosis atau sering disebut berak darah adalah penyakit parasiter yang
menimbulkan gangguan terutama pada saluran pencernaan bagian aboral.
Koksidiosis pada ayam disebabkan oleh parasit protozoa intraseluler Eimeria spp.
yang memiliki taksonomi:
Kingdom : Protozoa
Filum : Apicomplexa
Kelas : Coccidia
Ordo : Eucoccidiorida
Famili : Eimeridae
Genus : Eimeria
(Taylor et al., 2016)
Sembilan spesies Eimeria spp. diidentifikasi sebagai agen penyebab
koksidiosis pada ayam tetapi hanya tujuh diantaranya telah dilaporkan bersifat
patogen (Kahn, 2008). Eimeria necatrix dan Eimeria tenella adalah spesies
Eimeria yang paling patogen. Eimeria arcevulina, Emeria maxima, dan Eimeria
mivati umum terjadi dengan tingkat patogen rendah sampai sedang, sementara
Eimeria brunetti jarang terjadi, tetapi patogen jika terjadi. Eimeria mitis, Eimeria
praecox, dan Eimeria hagani adalah spesies yang relatif non-patogen (Soulsby,
2002). Morfologi ookista berbentuk elipsoidal atau lingkaran dengan dinding sel
yang tebal dan mengandung sporokista. Mayoritas ookista Eimeria spp. memiliki
bentuk ovoid. Ookista Eimeria maxima (30,5 x 20,7 μm) adalah yang terbesar,
sedangkan Eimeria mivati (15,6 x 13,4 μm) dan Eimeria mitis (15,6 x 14.2 μm)
adalah yang terkecil dibandingkan dengan spesies Eimeria yang lain. Ookista
Eimeria tenella, Eimeria maxima, Eimeria acervulina, Eimeria hagani, dan
Eimeria brunetti berbentuk bulat telur sedangkan Eimeria necatrix berbentuk
bujur sangkar (Clark and Blake, 2012).
Gambar 6. Ookista dari tujuh Eimeria spp. pada ayam: (a) Eimeria maxima, (b)
Eimeria brunetti, (c) Eimeria tenella, (d) Eimeria necatrix, (e) Eimeria praecox,
(f) Eimeria acervulina, dan (g) Eimeria mitis (Dubey, 2020).

Masing-masing dari spesies Eimeria memiliki tempat predileksi yang


spesifik dengan tempat perkembangannya adalah di usus (sel epitel dari vili usus
atau sel kriptus) (Conway and McKenzie, 2007; Varghese, 2004). Masing-masing
spesies menyebabkan patogenisitas berbeda-beda, bergantung pada jenis inang
yang terjangkit. Ayam pedaging paling sering terkena Eimeria acervulina,
Eimeria maxima, dan Eimeria tenella. Unggas berumur panjang seperti breeder
dan layer menghadapi tantangan dari ketiga spesies Eimeria tersebut ditambah
Eimeria necatrix dan Eimeria brunetti (Dubey, 2020).
Tabel 1. Tempat predileksi Eimeria spp. pada hospes (Foreyt, 2011).
Eimeria spp. Tempat predileksi
Eimeria
Jejunum bagian depan
acervulina
Eimeria brunetti Jejunum bagian belakang dan rectum
Eimeria maxima Jejunum bagian tengah hingga belakang
Eimeria necatrix Jejunum bagian tengah atau keseluruhan
Eimeria tenella Sekum
Eimeria mivati Jejunum bagian depan
Eimeria mitis Duodenum
Eimeria hagani Duodenum
Eimeria praecox Duodenum
Siklus Hidup
Siklus hidup Eimeria spp. terbagi dalam 3 stadium perkembangan, yaitu
stadium skizogoni dan gametogoni yang terjadi di dalam tubuh hospes (ayam)
serta stadium sporogoni yang terjadi di luar tubuh hospes (lingkungan) (Prastowo
dan Priyowidodo 2015). Pada stadium sporogoni, ookista yang berada di
lingkungan bersporulasi setelah sekitar 24 jam berisi empat sporokista (Conway
and McKenzie, 2007). Setiap sporokista mengandung dua sporozoit. Sporozoit
dilepaskan secara mekanis dan biokimia di saluran pencernaan ayam (Reid 1978).
Sporozoit yang dibebaskan menyerang sel epitel di zona tertentu usus atau di
sekum tergantung spesies yang terlibat (Conway and McKenzie, 2007). Stadium
ini disebut stadium infektif karena terjadi infeksi ketika ayam yang rentan
menelan ookista dari lingkungan (Prastowo dan Priyowidodo 2015).

Gambar 7. Siklus hidup Eimeria spp. pada stadium sporogoni dan skizogoni: (1)
ookista yang matang; (2) ookista mengalami sporulasi; (3) spokista yang
mengandung sporozoite; (4) Sporozoit melakukan penetrasi pada sel inang; (5)
terbentuk tropozoit; (6) tropozoit membentuk skizon generasi I yang belum
matang; (7) skizon generasi I yang belum matang terus mengalami
perkembangan; (8) skizon generasi I yang telah matang; (9) skizon generasi I
yang matang melepaskan merozoite generasi I; (10) terbentuk skizon generasi II
yang belum matang Conway and McKenzie, 2007).
Perkembangan parasit dalam sel inang melibatkan tahap
perkembangbiakan aseksual dan seksual. Setelah memasuki sel inang, sporozoit
berubah dalam 12 hingga 48 jam menuju feeding stage yang disebut tropozoit.
Tropozoit mulai membesar dan inti parasit membelah dengan proses pembelahan
ganda aseksual yang dikenal sebagai skizogoni (merogoni) (Conway and
McKenzie, 2007). Selanjutnya tropozoit berkembang menjadi skizon generasi I,
II, dan seterusnya yang mengandung banyak merozoit (Prastowo dan Priyowidodo
2015).

Gambar 8. Siklus hidup Eimeria spp. pada stadium gametogoni: (11)


penampakan skizon generasi II yang matang; (12) skizon generasi II melepaskan
merozoit generasi II; terbentuknya gamet jantan (13) dan gamet betina (14); (15)
makrogametosit menjadi matang; (16) makrogametosit pecah, melepaskan
sejumlah besar mikrogamet biflagellate yang sangat kecil; (17) fertilisasi
makrogamet oleh mikrogamet; (18) perkembangan ookista; (19) ookista
dilepaskan dari sel epitel inang (Conway and McKenzie, 2007).

Pada stadium gametogoni skizon pecah saat matang (hari ke-3),


melepaskan merozoit (Conway and McKenzie, 2007). Skizon generasi II yang
pecah akan membebaskan merozoit generasi II. Merozoit selanjutnya menginfeksi
sel epitel lain dan berkembang menjadi makrogamet dan mikrogamet (Prastowo
dan Priyowidodo 2015). Gametosit jantan menjadi matang dan pecah, melepaskan
sejumlah besar mikrogamet biflagellate yang sangat kecil. Makrogametosit
tumbuh membentuk makrogamet. Bentuk dinding yang menebal di sekitar
makrogamet, membentuk zigot ketika makrogamet dibuahi oleh mikrogamet.
Pada tahap ini terbentuk ookista yang masih muda atau belum matang. Periode
prepaten bervariasi pada tiap spesies tergantung pada waktu yang dibutuhkan
untuk setiap siklus skizogoni dan banyaknya siklus yang terjadi. Ookista
kemudian merusak sel inang saat dewasa dan keluar melalui feses (Conway and
McKenzie, 2007).
Gejala Klinis
Koksidiosis pada unggas memiliki dua bentuk gejala, yaitu bentuk klinis
dan bentuk subklinis. Unggas yang terinfeksi penyakit koksidiosis menunjukkan
gejala klinis berupa anoreksia, depresi, bulu berdiri, kepucatan pada pial dan
jengger, kekurusan, dan kematian. Perkembangbiakan Eimeria sp. di sel epitel
mukosa usus halus menyebabkan terjadinya kerusakan sel epitel dan terjadi reaksi
peradangan. Sel-sel radang yang berkumpul di sekitar lesi akan meningkatkan
permeabilitis pembuluh darah usus halus sehingga terjadi hemoragi perdiapedesis.
Hemoragi pada usus halus tersebut menyebabkan terjadinya diare berdarah
(Anonim, 2014).
Ayam yang terkena koksidiosis menjadi lelah dan lemah, pada unggas
muda sering terdapat darah pada feses setelah 4-5 hari pasca infeksi, kemudian
mata tertutup dan sayap menggantung dan banyak unggas mengalami kematian
(Abebe and Gugsa, 2018). Beberapa spesies Eimeria membentuk koloni di usus
halus yang berisi ratusan merozoit. Merozoit tersebut akan berkembang dan
menginvasi lebih ke dalam hingga ke lapisan lamina propria sehingga saat
merozoit dilepaskan dari koloni akan terjadi erosi yang parah pada mukosa usus
halus. Erosi mukosa usus halus tersebut menyebabkan penyerapan nutrisi menjadi
tidak optimal dan terjadi dehidrasi. Kematian terjadi setelah 4 sampai 6 hari post
infeksi (Anonim, 2014). Koksidiosis subklinis ditandai dengan penambahan berat
badan yang buruk dan efisiensi konversi pakan yang menurun sehingga
memberikan dampak tertinggi dari total kerugian ekonomi (Taylor et al., 2016).
Patogenesis
Infeksi terjadi melalui ookista tersporulasi melalui jalur oral dengan
mengonsumsi pakan dan/atau air yang terkontaminasi. Setelah tertelan, ookista
membebaskan bentuk infektif yang disebut sporozoit. Sporozoit menginfeksi sel
epitel usus. Perpindahan sporozoit ke lokus tempat terbentuknya lesi primer
terjadi dengan bantuan limfosit intraepitel (Daszak, 1999). Kerusakan jaringan
dapat membuat unggas terkena infeksi bakteri, seperti Clostridium dan Salmonella
(Abebe and Gugsa 2018).
Infeksi pada setiap spesies juga menyebabkan lesi atau ciri yang spesifik:
Eimeria acervulina menghasilkan lesi bulat berwarna keputih-putihan, kadang
berbentuk guratan seperti tangga pada infeksi ringan dan plak yang menyatu dan
menyebabkan usus mengalami penebalan dinding pada infeksi berat; Eimeria
brunetti menyebabkan nekrosis dan enteritis mukoid berdarah; Eimeria maxima
menyebabkan diare, dinding usus yang menebal, eksudat mukoid, dan petechiae;
Eimeria mitis menyebabkan lesi yang mirip dengan Eimeria acervulina meskipun
pola lesinya kurang terorganisir (tidak berbentuk seperti tangga); Eimeria necatrix
menyebabkan pembengkakan usus, petechiae, dan eksudat berisi darah berlendir;
Eimeria praecox menyebabkan peningkatan eksudat mukoid tetapi tidak ada lesi
yang menciri; dan Eimeria tenella menyebabkan penebalan dinding sekal,
perdarahan, dan cecal cores (Dubey, 2020).
Diagnosis
Diagnosis terhadap koksidiosis dapat didasarkan atas gejala klinis,
perubahan patologik yang berhubungan dengan lokasi, dan riwayat kasus.
Diagnosa definitif dapat didasarkan atas pemeriksaan mikroskopik dan
identifikasi spesies Eimeria sp. (Tabbu, 2002). Untuk mendiagnosis koksidiosis,
setelah dipastikan adanya gejala klinis pada unggas, tiga prosedur biasanya
digunakan: macroscopic lesion scores, perhitungan jumlah ookista, dan
microscopic lesion scores (Dubey, 2020). Metode diagnosis yang lebih akurat dan
cepat telah dikembangkan dengan teknik Enzyme Linkedimmunosorbent Assay
(ELISA) maupun Polymerase Chain Reaction (PCR), menggunakan spesifik
primer (Ekawasti dan Martindah, 2019).
Pemeriksaan Lesi Makroskopis
Metode yang paling umum digunakan untuk mendiagnosis koksidiosis
klinis adalah dengan memeriksa keberadaan lesi makroskopis selama nekropsi.
Setiap spesies memiliki kecenderungan untuk menginfeksi pada lokasi tertentu di
saluran usus dan kebanyakan menyebabkan lesi yang spesifik seperti yang
dijelaskan sebelumnya. Keterbatasan metode ini termasuk kurangnya lesi yang
parah pada infeksi ringan atau dengan strain non-patogenik. Ayam sering
terinfeksi dengan beberapa spesies dalam kasus lapangan, skor lesi makroskopis
dapat bias untuk mengetahui spesies yang diinginkan (Dubey, 2020)

Gambar 9. Area lesion scoring (Conway and McKenzie, 2007).

Pemeriksaan Lesi Mikroskopis


Standar emas untuk mendeteksi dan mendiagnosis infeksi koksidiosis aktif
adalah melalui histopatologi dan skor lesi mikroskopis. Sampel dikumpulkan,
difiksasi dalam formalin, dipotong, dan diwarnai untuk pemeriksaan keberadaan
spesies Eimeria, respon inflamasi, dan gangguan jaringan normal menggunakan
pewarnaan hematoksilin dan eosin (Dubey, 2020).
Koleksi ookista
Metode lain untuk mendiagnosis infeksi koksidiosis bergantung pada litter
atau feses segar dibandingkan melakukan nekropsi pada unggas yang mati atau
melakukan proses euthanasia pada unggas yang sakit. Jumlah ookista feses dan
litter digunakan untuk menghitung jumlah ookista yang dikeluarkan unggas atau
yang ditemukan di litter flock yang terinfeksi. Perbedaan morfologi ookista dapat
diamati untuk menentukan jumlah spesies yang diekskresikan. Pada kebanyakan
flok, jumlah ookista meningkat pada minggu ke-3, dan meningkat tajam pada
minggu ke-4, lalu mengalami penurunan tajam pada minggu ke-5 dan ke-6
(Dubey, 2020).
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan ookista tergantung pada
tujuan pengumpulan. Dalam kebanyakan kasus, peralatan dasar yang diperlukan
seperti sentrifus, blender, saringan, kain katun tipis, gelas kimia, spatula atau
sendok berlubang, selotip atau karet gelang, larutan kalium dikromat 2,5%, dan
tabung atau botol sentrifus. Ookista untuk perhitungan ookista litter harus
dikumpulkan dari beberapa lokasi representatif dari kandang. Litter yang
dikumpulkan merupakan lapisan teratas sebanyak "segenggam" (sekitar 3 × 3 ×
0,5 inci). Sampel dicampur dan ditimbang sebanyak 5 gram lalu direndam
semalaman dalam 2,5% kalium dikromat. Keesokan harinya, larutan dituangkan
melalui saringan kecil atau saringan teh ke dalam gelas beker. Padatan litter
dibilas dengan air melalui saringan ke dalam gelas beker yang sama. Sisa padatan
yang tersisa bisa dibuang. Sampel larutan disentrifugasi dengan kecepatan sedang
(misalnya, 1500 rpm) untuk mengendapkan ookista. Supernatan dibuang dan
pellet disuspensi kembali dalam kalium dikromat untuk disimpan atau ditambah
beberapa volume larutan NaCl larutan untuk dilakukan perhitungan (Conway and
McKenzie, 2007).

INFESTASI TUNGAU
Ektoparasit tungau dari mamalia dan burung menghuni kulit, dimana
mereka memakan darah, getah bening, puing-puing kulit atau sekresi sebasea
yang mereka telan dengan menusuk kulit, mengais dari permukaan kulit atau
menyerap dari lesi epidermis. Kebanyakan tungau menghabiskan seluruh
hidupnya dalam kontak intim dengan inangnya, sehingga perpindahan dari inang
ke inang terutama melalui kontak fisik. Infestasi tungau disebut akariasis dan
dapat menyebabkan dermatitis parah yang disebut kudis (Wall and Shearer, 2001).
Ektoparasit biasanya menyebabkan ketidaknyamanan, iritasi, dan gatal, sehingga
burung mungkin menunjukkan kegelisahan, garukan, dan perawatan yang
berlebihan (Swayne et al., 2020). Secara umum bagian tubuh dari tungau terbagi
menjadi dua, yaitu gnathosoma (anterior) atau kapitulum, dan idiosoma
(posterior). Gnathosoma hanya terdiri atas mulut berbentuk bulat dan lebar,
sedangkan beberapa organ lainnya seperti otak ada pada bagian idiosoma. Bagian
idiosoma terbagi menjadi dua, bagian tubuh yang memiliki kaki disebut
podosoma dan bagian belakang tubuh yang tidak berkaki disebut opisthosoma.
Pada tungau dewasa, dua pasang kaki depan berbentuk lebih ramping dan
termodifikasi menjadi organ sensoris yang dapat membantu pergerakan dan
makan (Wall and Shearer, 2001).
Spesies dari genus Knemidocoptes adalah satu-satunya tungau penggali
astigmatid yang ditemukan pada unggas dan burung peliharaan. Dua belas spesies
telah dideskripsikan, tiga di antaranya penting bagi kedokteran hewan. Ciri utama
tubuh mereka mirip dengan Sarcoptes, tetapi permukaan punggung tidak memiliki
duri dan hanya sisik samar dan tidak beraturan. (Taylor et al., 2016).

Knemidocoptes mutans
Etiologi
Knemidocoptes mutans merupakan tungau penyebab kaki bersisik yang
menyerang unggas, terutama ayam dan kalkun. Berpredileksi di bawah sisik kaki
dan tungkai serta mempunyai nama umum Scaly Leg Mite (Taylor et al., 2016).
Morfologi Knemidocoptes mutans cukup mirip dengan Sarcoptes. Betina
berbentuk bulat dan panjangnya sekitar 400 µm, kakinya pendek dan gemuk,
dengan pengisap terminal hanya ditemukan pada jantan. Anus adalah terminal.
Pada fase larva tungau ini memiliki 3 pasang kaki, setelah melewati dua fase
nimpa tungau mencapai dewasa dan memiliki empat pasang kaki. Permukaan
punggung ditutupi oleh garis-garis samar. Namun, pada bagian punggung bagian
tengah lurik patah dalam pola seperti lempengan atau sisik. Tubuh tidak memiliki
duri atau sisik. Pulvili yang mengintai ada di semua kaki larva dan jantan, tetapi
tidak ada pada tahap nimfa dan betina. Pengisap kopulasi tidak ada pada tungau
jantan (Wall and Shearer, 2001). Tungau ini memiliki taksonomi sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Class : Arachnida
Subclass : Acari
Ordo : Astigmata (Sarcoptiformes)
Famili : Knemidocoptidae
Genus : Knemidocoptes
Spesies : Knemidocoptes mutans
(Taylor et al., 2016)

Gambar 10. Morfologi Knemidocoptes mutans tampak dorsal (kiri) dan tampak
ventral (kanan) dengan kaki 4 yang pendek dan gemuk serta punggung berlurik
(Baker, 2007; Swayne et al., 2020).

Siklus Hidup
Spesies tungau Knemidocoptes menghabiskan seluruh siklus hidupnya
yang berkisar selama 3 minggu pada tubuh host mereka. Siklus hidup tungau
mulai dari telur sampai menjadi dewasa membutuhkan waktu 10-14 hari. Tungau
jenis betina mampu hidup pada hospes selama 30 hari dan tungau Knemidocoptes
sp. betina ini mampu masuk ke dalam kulit dengan membentuk lorong dan
bertelur. Telur menetas menjadi larva kemudian berkembang menjadi protonimfa
(3-5 hari) dan tritonimfa (2-3 hari), kemudian menjadi tungau dewasa (3-6 hari)
(Wall and Shearer, 2001). Tungau jantan sering keluar untuk mencari betina
dewasa yang belum kopulasi. Seekor betina dapat bertelur dan menghasilkan 2-4
telur sehari selama dua bulan hidupnya dengan interval bertelur selama 2-3 hari
(Taylor et al., 2016).
Gejala Klinis
Knemidocoptes mutans akan menggali terowongan dibawah sisik kaki,
menyebabkan peradangan disertai eksudasi dan kegatalan. Eksudat yang keluar
lama-kelamaan akan mengering dan mengeras berbentuk seperti kapur,
mengakibatkan sisik kaki terangkat, permukaannya tidak rata, dan tidak teratur.
Sisik yang meninggi di kaki dan tungkai. Infestasi dapat menyebabkan kaki
lumpuh dan cacat. Kadang-kadang leher dan sisir mungkin terpengaruh. Saat
penyakit berkembang selama beberapa bulan, burung berhenti makan dan
akhirnya mati. Gejala klinis lainnya terjadi kepincangan, terlihat jari kuku kaki
bengkok (Taylor et al., 2016).

Gambar 11. Hiperkeratosis yang terjadi pada kaki ayam karena infeksi
Knemidocoptes mutans (Taylor et al., 2016).

Patogenesis
Infestasi Knemidocoptes mutans dapat terjadi dengan dua cara, yaitu
secara langsung dan tidak langsung. Infestasi secara langsung terjadi apabila
melakukan kontak dengan inang lain yang terinfestasi, sedangkan infestasi tidak
langsung berasal dari tanah atau kandang. Knemidocoptes mutans masuk ke dalam
liang kulit kaki dan tungkai unggas menyebabkan penampakan putih bersisik.
Iritasi terjadi bersamaan dengan eksudat yang mengeras membentuk massa yang
berkerak dan berkembang biak. Populasi yang besar dapat menyebabkan
ketimpangan dan kelainan bentuk pada kaki, tungkai, dan cakar karena hipertrofi
yang luas pada stratum korneum. Ini adalah kondisi yang dikenal sebagai ‘scaly
leg’. Sisik dan leher terkadang juga terpengaruh. Saat penyakit berkembang
selama beberapa bulan, unggas berhenti makan dan akhirnya terbuang percuma.
Tungau dewasa dewasa dapat ditemukan di bawah kerak (Wall and Shearer,
2001).
Diagnosis
Sisik yang terangkat pada tungkai dan kaki menunjukkan keberadaan
parasit. Konfirmasi dicapai dengan menemukan tungau pada kerokan kulit yang
diambil dari lesi. Tungau dewasa sering ditemukan di bawah kerak (Taylor et al.,
2016). Menemukan tungau dalam pemeriksaan kerokan kulit secara mikroskopis
dihubungkan dengan rontoknya bulu pada tempat predileksi tungau. Diagnosa dan
identifikasi tungau kudis dapat dilakukan dengan cara memeriksa kerokan kulit.
Bahan yang akan dipergunakan adalah kerokan kulit, minyak mineral, larutan
KOH 10%, dan entelan. Alat yang dipergunakan adalah mikroskop, telapa petri,
jarum, gelas obyek, dan gelas penutup. Pengerokan kulit dilakukan tepat pada
perbatasan antara kulit yang normal dengan yang mengalami perubahan (lesi).
Sebelum dikerok kulit ditetesi dengan minyak mineral agar kerokan kulit tidak
berhamburan dan tungau yang ada gerakannya dihambat. Kerokan kulit ditaruh
didalam telapa petri, tambahkan sedikit KOH 10%, biarkan beberapa saat dan
periksa di bawah mikroskop. Jika terlihat adanya tungau, dipindahkan ke atas
gelas obyek menggunakan jarum, tetesi dengan canada balsem dan akhirnya tutup
dengan gelas penutup. Periksa dengan mikroskop untuk identifikasi berdasarkan
ciri-ciri morfologinya (Wall and Shearer, 2001).

Knemidocoptes gallinae
Etiologi
Tungau ini adalah satu-satunya genus tungau yang menggali pada unggas
dan dalam banyak hal menyerupai Sarcoptes. Tubuh melingkar dan kaki pendek
yang pendek serta inang unggas biasanya cukup untuk diagnosis umum.
Meskipun mirip dengan Knemidocoptes mutans, individunya cenderung lebih
kecil dan pola garis dorsal tidak terputus (Wall and Shearer, 2001). Menyerang
ayam, kalkun, burung pegar, dan angsa. Berpredileksi di area yang berbulu dan
mempunyai nama umum Depluming Itch Mite. Tungau ini memiliki taksonomi
sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Class : Arachnida
Subclass : Acari
Ordo : Astigmata (Sarcoptiformes)
Famili : Knemidocoptidae
Genus : Knemidocoptes
Spesies : Knemidocoptes gallinae
(Taylor et al., 2016)
Gambar 12. Morfologi Knemidocoptes gallinae tampak dorsal dengan pola garis
dorsal tidak terputus (Baker, 2007).

Siklus Hidup
Siklus hidup tungau ini sama dengan Knemidocoptes mutans. Infeksi
tungau ini lazim terjadi pada musim semi dan musim panas serta dapat
menghilang pada musim gugur (Wall and Shearer, 2001).
Gejala Klinis
Knemidocoptes gallinae masuk ke dalam liang bulu dan rasa sakit serta
iritasi yang hebat menyebabkan burung mencabut bulu tubuhnya, biasa dikenal
dengan istilah ‘depluming itch’. Kondisi ini ditandai dengan garukan yang intens
dan bulu rontok di area tubuh yang meluas. Bulu rontok, patah atau dicabut oleh
burung. Tungau dapat ditemukan tertanam di jaringan di pangkal bulu duri,
menyebabkan kerak, papula, dan penebalan kulit (Taylor et al., 2016).
Patogenesis
Bagian tubuh yang paling sering terinfeksi adalah kepala, leher, punggung,
perut, dan kaki bagian atas. Kasus yang parah bisa mengakibatkan kekurusan dan
kematian (Taylor et al., 2016). Knemidocoptes gallinae menyerang unggas,
burung pegar, dan angsa, dimana ia bersembunyi di pangkal batang bulu, terutama
di punggung, kepala dan leher, bagian atas sayap, dan di sekitar lubang angin,
menyebabkan kondisi yang dikenal sebagai ‘gatal yang menyesakkan’. Kondisi
ini ditandai dengan garukan yang intens dan bulu rontok di area tubuh yang luas.
Bulu bisa rontok, putus atau dicabut oleh burung. Tungau dapat ditemukan
tertanam di jaringan di pangkal bulu duri, menyebabkan kerak, papula, dan
penebalan kulit. Infestasi sangat umum terjadi pada bulan-bulan musim panas
(Wall and Shearer, 2001).
Diagnosis
Bulu rontok dan garukan yang progresif menunjukkan adanya parasit.
Identifikasi spesies tungau dapat dilakukan melalui pemeriksaan tungau yang
terdapat pada bulu burung atau kerokan kulit diambil dari tepi lesi (Taylor et al.,
2016). Pengerokan kulit dilakukan tepat pada perbatasan antara kulit yang normal
dengan yang mengalami perubahan (lesi). Sebelum dikerok kulit ditetesi dengan
minyak mineral agar kerokan kulit tidak berhamburan dan tungau yang ada
gerakannya dihambat. Kerokan kulit ditaruh didalam telapa petri, tambahkan
sedikit KOH 10%, biarkan beberapa saat dan periksa di bawah mikroskop. Jika
terlihat adanya tungau, dipindahkan ke atas gelas obyek menggunakan jarum,
tetesi dengan canada balsem dan akhirnya tutup dengan gelas penutup. Periksa
dengan mikroskop untuk identifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologinya (Wall and
Shearer, 2001).

Knemidocoptes pillae
Etiologi
Knemidocoptes pillae sangat mirip dengan Knemidocoptes mutans dan
Sarcoptes scabei. Betina biasanya memiliki panjang 315-428 µm dan lebar 250-
380 µm. Jantan sedikit lebih kecil, umumnya panjang 200 µm dan lebar 150 µm
(Wall and Shearer, 2001). Menyerang ayam dan burung yang disangkarkan.
Berpredileksi di telapak kaki, pangkal paruh, kulit wajah, dan seluruh tubuh.
Morfologi umum dan lokasi inang biasanya cukup untuk diagnosis. Tungau betina
dari Knemidocoptes pillae memiliki perisai dorsolateral dan basis yang menyatu
dari seta lateral ke dorsal anterior. Knemidocoptes pillae jantan dicirikan oleh
bilobed pulvilusnya. Tungau ini memiliki taksonomi sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Class : Arachnida
Subclass : Acari
Ordo : Astigmata (Sarcoptiformes)
Famili : Knemidocoptidae
Genus : Knemidocoptes
Spesies : Knemidocoptes pillae
(Taylor et al., 2016)
Siklus Hidup
Siklus hidup sama dengan Knemidocoptes mutans. Diperkirakan bahwa
semua tahapan siklus hidup selesai dalam lesi yang dihasilkan (Wall and Shearer,
2001).
Gambar 13. Morfologi Knemidocoptes pillae betina dengan perisai dorsolateral
(kiri) tampak dorsal (kanan) tampak ventral (Baker, 2007).

Gejala Klinis
Tungau dapat terlihat di lapisan yang lebih dalam dari stratum korneum, di
mana mereka menyebabkan hiperkeratosis dan pengelupasan keratin. Ayam yang
terkena dampak awalnya memiliki serpihan berwarna kuning keputihan di atas
area yang terkena di dasar cere dan sudut mulut. Lesi ini meluas hingga menutupi
mata, dahi, dan cere. Paruhnya juga menjadi menyimpang dan rapuh (Baker,
2007). Gejala klinisnya terjadi kegatalan, sehingga burung akan mematuk,
mencakar tempat gigitan, tetapi kelainan kulit berlangsung lambat (Taylor et al.,
2016).
Patogenesis
Knemidocoptes pillae ditemukan pada budgerigars, beo, dan parkit. Itu
menyerang area telanjang atau berbulu tipis, terutama di sekitar kaki, paruh, area
ventilasi, dan punggung. Infestasi di sekitar kepala menyebabkan kondisi yang
dikenal sebagai ‘scaly face’. Aktivitas menggali betina pada prinsipnya
bertanggungjawab atas deratitis yang dihasilkan. Infeksi Knemidocoptes pillae
pada budgerigars memanifestasikan dirinya dengan pertumbuhan paruh berlebih
dan kelainan bentuk akibat infestasi di dasar cere, disertai dengan kegelisahan dan
perilaku perawatan yang tidak biasa. Tanda pertama adalah kerak bubuk putih
keabu-abuan yang menutupi area yang terkena diadu pada pemeriksaan lebih
dekat. Hiperkeratosis sering terjadi (Wall and Shearer, 2001).
Diagnosis
Identifikasi spesies tungau dapat dilakukan melalui pemeriksaan tungau
yang terdapat pada bulu burung atau kerokan kulit diambil dari tepi lesi (Taylor et
al., 2016). Pengerokan kulit dilakukan tepat pada perbatasan antara kulit yang
normal dengan yang mengalami perubahan (lesi). Sebelum dikerok kulit ditetesi
dengan minyak mineral agar kerokan kulit tidak berhamburan dan tungau yang
ada gerakannya dihambat. Kerokan kulit ditaruh didalam telapa petri, tambahkan
sedikit KOH 10%, biarkan beberapa saat dan periksa di bawah mikroskop. Jika
terlihat adanya tungau, dipindahkan ke atas gelas obyek menggunakan jarum,
tetesi dengan canada balsem dan akhirnya tutup dengan gelas penutup. Periksa
dengan mikroskop untuk identifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologinya (Wall and
Shearer, 2001).
DAFTAR PUSTAKA

Abebe, E., and Gugsa, G. 2018. A Review of Poultry Coccidiosis. Abyss. J. Sci.
Technol. Vol. 3, No. 1.
Anonim. 2014. Manual Penyakit Unggas. Jakarta: Subdit Pengamatan Penyakit
Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.
Baker, D. G. 2007. Flynn’s Parasites of Laboratory Animals Second Edition.
USA: Blackwell Publishing.
Bharat, G. A., Kumar, N.P., Subhasish, B., Ria, B. 2017. A Report of Ascaridia
galli in Commercial Poultry Egg from India. Journal of World’s Poultry
Research, 7(1): 23-26.
Clark, E. L., and Blake, D. P. 2012. Genetic Mapping and Coccidial Parasites:
Past Achievements and Future Prospects. Journal of Biosciences, 37,
879-886.
Conway, D. P., and Mckenzie, M. E. 2007. Poultry Coccidiosis, Diagnostic and
Testing Procedures 3rd Ed. Ames, Iowa: Blackwell Publishing.
Daszak, P. 1999. Zoite Migration During Eimeria tenella Infection: Parasite
Adaption to Host Defences. Parasitology Today, 2: 67-72.
Dubey, J.P. 2020. Coccidiosis in Livestock, Poultry, Companion Animals, and
Humans. Boca Raton: CRC Press Taylor and Francis Group.
Ekawasti, F., dan Martindah, E. 2019. Pengendalian Koksidiosis Pada Ayam
Melalui Pengobatan Herbal. Wartazoa Vol. 29 No. 1.
Foreyt, W. J. 2001. Veterinary Parasitology Reference Manual 5th Ed. Ames,
USA: Iowa State University Press.
Gomes, A. P. N., Olifiers, N., Santos, M. M. D., Simoes, R. D. O., Junior, A. M.
2015. New Records of Thress Species of Nematodes in Cerdocyon thous
from the Brazilian Pantanal Wetlands. Braz. J. Vet. Parasitol
Jaboticabal, 24(3): 324-330.
Griffiths, H. J. A. 1978. Handbook of Veterinary Parasitology Domestic  Animals
of North America. USA: University of Minnesota Press.
Kahn, C. M. 2008. The Merck Veterinary Manual 9th ed.. USA: Merck and CO.,
INC.
Kauffman, J. 1996. Parasitic Infection of Domestic Animals. Berlin: Berkauser.
Kusnoto, Bendryman, S. S., Koesdarto, S., Sosiawati, S. M. 2015. Ilmu Penyakit
Helmin Kedokteran Hewan. Sidoarjo: Zifatama Publisher.
Levine, N. D. 1981. Textbook of Parasitology. USA: Burgess Publisher.
Prastowo, J. dan Priyowidodo, D. 2015. Penyakit Parasit pada Ayam.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Poult, B. J. 2019. An Outbreak of Intestinal Obstruction by Ascaridia galli in
Broilers in Minas Gerais. Brazilian Journal of Poultry Science, 21(4).
Reid, W. M. 1978. Coccidiosis. In Diseases of Poultry, 7th ed., ed. M. S. Hofstad,
B.W. Calnek, C. F. Helmboldt, W. M. Reid, and H. W. Yoder, Jr. Ames,
IA: Iowa State Univ. Press.
Rehman, Z. U., Mahfooz, A., Ahmad, T., Mahmood, S., Abbas, G., Saleem, M. I.,
Iqbal, A., Siddique, F., Fiaz, M. 2014. Comparative Therapeutic Efficacy
of Ivermectin and Piperazine Citrate Against Ascaridia galli in
Commercial and Rural Poultry. Scholar’s Advances in Animal and
Veterinary Research, 1(1): 20-24.
Sarjono, T. W. 2020. Helmintologi Kedokteran dan Veteriner Edisi Revisi.
Malang: UB Press.
Shaibu, I. E. 2015. Phytochemical Composition and Anthelminthic Effects of
Essential Oils from Three Nigerian Citrus Varieties on Ascaridia galli
(Thesis). Zaria: Faculty Of Science Ahmadu Bello University.
Soulsby, E. J. L. 2002. Helminths, Arthropods and Protozoan’s of Domesticated
Animals 7th ed. London: Bailliere Tindall.
Swayne, D. E., Boulianne, M., Logue, C. M., McDougald, L. R., Nair, V., Suarez,
D. L. 2020. Diseases of Poultry 14th Edition. USA: Wiley Blackwell.
Tabbu, C. R. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya: Penyakit Asal
Parasit, Noninfeksius, dan Etiologi Kompleks Vol 2. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Taylor, M. A., Coop, R. L., Wall, R. L. 2016. Veterinary Parasitology 4th Edition.
UK: Wiley-Blackwell.
Varghese, T. 2004. Eimeria Paradise Species and Isospora ragglara Species from
the Ragyiana Birds of Paradise (Paradisaea raggina sciates) from Papua
New Guinea. Journal of Parasitology, 63, 887-889.
Wall, R. and Shearer, D. 2001. Veterinary Ectoparasites Biology, Pathology, and
Control Second Edition. UK: Blackwell Science.
Zada, L., Rehman, T., Niazl, S., Zeb, M. A., Ruqia, B., Salma, Khan, M. A.,
Khan, A. 2015. Prevalence of Ascaridia galli in Some Poultry Farms of
District Mardan. The Journal of Advances in Parasitology, 2(4): 75- 79.
Zulmi, M. D., Ferasyi, T. R., Farida, Winarudin, Eliawardani, Zahrawaty. 2020.
Identification and Prevalence of Endoparasites in Lovebird (Agapornis
fisceri) Sold in Banda Aceh. Jurnal Medika Veterinaria 14 (1): 19-26.

Anda mungkin juga menyukai