Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH ILMIAH

”EKOLOGI, PERILAKU DAN KONSERVASI TRENGGILING


SUNDA (Manis javanica)”

(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah ekologi hewan)

Dosen Pembimbing:

Dra. Christny F.E Rompas, M.Si


Ernest H. Sakul, S.Pd, M.Si

DI SUSUN OLEH:

Gratia Cintia Tengko (18 507 060)

UNIVERSITAS NEGERI MANADO

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PENDIDIKAN BIOLOGI

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Dengan segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, karena berkat rahmat serta hidayah-Nya akhirnya saya dapat
menyelesaikan tugas ini dengan judul Ekologi, perilaku dan konservasi
Trenggiling Sunda (Manis javanica) dalam rangka untuk memenuhi
tugas mata kuliah ekologi hewan.

Saya menyadari bahwa pada tugas ini masih terdapat banyak


kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
sebab itu, saya sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sebagai masukan bagi saya.

Akhir kata saya berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan saya sebagai penulis pada khususnya. Atas
segala perhatiannya saya mengucapkan banyak terima kasih.

Modayag 23 Mei 2021


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman hayati.


Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17% satwa di
dunia terdapat di Indonesia, walaupun luas Indonesia hanya 1,3% dari
luas daratan dunia. Indonesia nomor satu dalam hal kekayaan mamalia
(515 jenis) dan menjadi habitat lebih dari 1539 jenis burung. Sebanyak
45% ikan di dunia, hidup di Indonesia. Indonesia juga menjadi habitat bagi
satwa-satwa endemik atau satwa yang hanya ditemukan di Indonesia
saja. Jumlah mamalia endemik Indonesia ada 259 jenis, kemudian burung
384 jenis dan ampibi 173 jenis

Keberadaan satwa endemik ini sangat penting, karena jika punah


di Indonesia maka itu artinya mereka punah juga di dunia. Meskipun kaya,
namun Indonesia dikenal juga sebagai negara yang memiliki daftar
panjang tentang satwa liar yang terancam punah. Saat ini jumlah jenis
satwa liar Indonesia yang terancam punah) adalah 184 jenis mamalia, 119
jenis burung, 32 jenis reptil, dan 32 jenis ampibi. Jumlah total spesies
satwa Indonesia yang terancam punah dengan kategori kritis (critically
endangered) ada 69 spesies, kategori terancam (endangered) 197
spesies dan kategori rentan (vulnerable) ada 539 jenis. Satwa-satwa
tersebut benar-benar akan punah dari alam jika tidak ada tindakan untuk
menyelamatkanya.

Trenggiling jawa (Manis javanica Desmarest, 1822), yang dalam


bahasa Inggris disebut Sunda Pangolin atau Malayan Pangolin,
merupakan salah satu spesies dari genus Manis yang hidup di Indonesia
(Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan beberapa pulau kecil lainnya).
Trenggiling memiliki ciri khas tubuh yang unik, yakni tubuhnya ditutupi
oleh sisik, dan pakannya berupa semut dan rayap. Status trenggiling jawa
dikategorikan “genting” (endangered) oleh International Union for the
Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Spesies ini
tercantum pula dalam Appendix II Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dan Pemerintah
Indonesia memasukkan trenggiling jawa sebagai satwa dilindungi
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999.

B. Pembatasan Masalah
Batasan masalah dalam makalah ini yaitu:
1. Trenggiling memiliki ciri khas tubuh yang unik
2. Keberadaan trenggiling sunda di Indonesia mengalami
ancaman kepunahan
3. Upaya pemulihan populasi trenggiling dari hasil penangkaran
eks-situ maupun in-situ.
C. Rumusan Masalah
1. Uraikan karakteristik umum dan khusus hewan trenggiling
sunda (Manis javanica)?
2. Bagaimana taksonomi dan klasifikasi hewan trenggiling sunda
(Manis javanica)?
3. Bagaimana Ciri-ciri hewan trenggiling sunda (Manis javanica)?
4. Bagaimana habitat atau tempat hidup hewan trenggiling sunda
(Manis javanica)?
5. Bagaimana morfologi hewan trenggiling sunda (Manis
javanica)?
6. Bagaimana ekologi/perilaku hewan trenggiling sunda (Manis
javanica)?
7. Jelaskan konservasi hewan trenggiling sunda (Manis javanica)?

D. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui katakteristik umum dan khusus hewan
trenggiling sunda (Manis javanica)
2. Untuk mengetahui taksonomi dan klasifikasi hewan trenggiling
sunda (Manis javanica)
3. Untuk mengetahui ciri-ciri hewan trenggiling sunda (Manis
javanica)
4. Untuk mengetahui habitat atau tempat hidup hewan trenggiling
sunda (Manis javanica)
5. Untuk mengetahui morfologi hewan trenggiling sunda (Manis
javanica)
6. Untuk mengetahui ekologi/perilaku hewan trenggiling sunda
(Manis javanica)
7. Untuk mengetahui konservasi hewan trenggiling sunda (Manis
javanica)
E. Manfaat Penulisan
Dengan melaksanakan penelitian ini diharapkan dapat memberi
manfaat sebagai berikut:
1. Dapat menambah wawasan tentang ekologi, perilaku dan
konservasi hewan trenggiling sunda (Manis javanica)
2. Dapat bermanfaat bagi peneliti-peneliti yang ingin mencari
referensi karya ilmiah untuk melakukan penelitian lebih lanjut
tentang trenggiling sunda.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Karakteristik Umum dan Khusus dari Hewan Trenggiling


Sunda

Nama trenggiling merupakan turunan dari satu kata “guling” yang


dalam bahasa Melayu berarti suatu aktivitas untuk menggulungkan tubuh
(Lekagul & McNeely, 1988). Trenggiling memiliki karakteristik yang sama
dengan xenarthrans, yakni satwa pemakan semut raksasa (armadillo).
Namun, xenarthrans sebenarnya lebih terkait erat dengan karnivora
(seperti kucing, anjing, dan beruang). Berdasarkan analisis genetika,
trenggiling jawa dikelompokkan dalam ordo Pholidota dan memiliki
kedekatan dengan ordo Carnivora dalam satu clade Ferae (Murphi et al.,
2001; Beck et al., 2006; Cahyono, 2008). Tenggiling sunda, juga dikenal
sebagai tenggiling malaya atau jawa (Manis javanica syn. Paramanis
javanica) adalah wakil dari ordo Pholidota yang masih ditemukan di Asia
Tenggara. Hewan ini memakan serangga dan terutama semut dan rayap.
Tenggiling hidup di hutan hujan tropis dataran rendah. Tenggiling kadang
juga dikenal sebagai anteater (pemakan semut).

Bentuk tubuhnya memanjang, dengan lidah yang dapat dijulurkan


hingga sepertiga panjang tubuhnya untuk mencari semut di sarangnya.
Rambutnya termodifikasi menjadi semacam sisik besar yang tersusun
membentuk perisai berlapis sebagai alat perlindungan diri. Jika diganggu,
tenggiling akan menggulungkan badannya seperti bola. Ia dapat pula
mengebatkan ekornya, sehingga sisiknya dapat melukai kulit
pengganggunya.

B. Taksonomi Dan Klasifikasi Hewan Trenggiling Sunda


Nama lain trenggiling jawa di Indonesia adalah trenggiling sunda.
Beberapa nama asing jenis trenggiling ini, antara lain sunda pangolin atau
malayan pangolin (Inggris); pangolin javanais atau pangolin malais
(Perancis); pangolin malayo (Spanyol); të të java, trüt bo, trüt com, atau
trüt mö (Vietnam) (Nguyen et al.,2014).

Taksonomi trenggiling sunda yang terdapat di Indonesia adalah sebagai


berikut:

Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Infra kelas : Eutheria

Super ordo : Laurasiatheria

Ordo : Pholidota

Famili : Manidae

Genus : Manis

Spesies : Manis javanica

Klasifikasi trenggiling sebelumnya terdiri dari delapan spesies yang


semuanya termasuk dalam genus Manis (Famili Manidae) dan merupakan
satu-satunya ordo Pholidota yang berarti bersisik banyak (Corbet &
Hill,1992), serta lima subgenus, yaitu Manis, Paramanis, Smutsia,
Phataginus, dan Uromanis. Selanjutnya, perkembangan taksonomi
trenggiling dalam family Manidae terbagi menjadi tiga genus, yaitu Manis
(empat spesies) yang terdapat di Asia, Phataginus (dua spesies) dan
Smutsia (dua spesies) yang terdapat di Afrika (IUCN, 2016). Keseluruhan
spesies trenggiling tersebut adalah Manis crassicaudata (trenggiling
india), M. culionensis [sebelumnya subgenus Paramanis] (trenggiling
philipina), M. javanica (trenggiling jawa, trenggiling sunda, atau trenggiling
malayan), M. pentadactyla [sebelumnya subgenus Manis] (trenggiling
china), Phataginus tetradactyla [sebelumnya subgenus Uromanis;
sinonim: M. tetradactyla, Uromanis tetradactyla] (trenggiling ekor panjang),
P. tricuspis [sebelumnya subgenus Phataginus; sinonim: M. tricuspis]
(trenggiling pohon), Smutsia gigantea [sebelumnya subgenus Smutsia;
sinonim: M. gigantea] (trenggiling tanah raksasa), dan S. temminckii
[sebelumnya subgenus Smutsia; sinonim: M. temminckii] (trenggiling
tanah temminck).

Perbedaan kedelapan jenis trenggiling di Asia dan Afrika terlihat


pula dari ukuran tubuh, warna tubuh, dan warna sisik. Klasifikasi
trenggiling yang mengacu pada perbedaan tesebut, yaitu:

1. Trenggiling india (Manis crassicaudata) memiliki panjang


tubuh hingga kepala 60 cm, panjang ekor 45-50 cm, dan
sisik yang berwarna coklat muda atau kekuning-kuningan
2. Trenggiling philipina (Manis culionensis) memiliki sisik
berwarna gelap
3. Trenggiling jawa (Manis javanica) memiliki panjang tubuh
hingga kepala 50-60 cm, panjang ekor 50-80 c m, sisik yang
berwarna kuning sawo hingga coklat kehitam-hitaman, kulit
berwarna agak putih, dan rambut di antara sisik
4. Trenggiling china (Manis pentadactyla) memiliki panjang
tubuh hingga kepala 50-60 cm, panjang ekor 30-40 cm, sisik
berwarna coklat kehitam-hitaman, dan kulit berwarna putih
kelabu
5. Trenggiling ekor panjang (Phataginus tetradactyla) memiliki
ukuran panjang tubuh hingga kepala 30-35 cm, panjang ekor
60-70 cm, sisik berwarna coklat tua dengan pinggir
kekuning-kuningan, dan kulit berwarna coklat tua hingga
agak hitam
6. Trenggiling pohon (Phataginus tricuspis) memiliki bobot
badan 4,5-14 kg, panjang tubuh hingga kepala 35-45 cm,
panjang ekor 40-50 cm, dan sisik berwarna kelabu kecoklat-
coklatan hingga coklat tua
7. Trenggiling raksasa (Smutsia gigantea) memiliki panjang
tubuh hingga kepala 75-80 cm, panjang ekor 55-65 cm, sisik
berwarna coklat keabuabuan, dan kulit agak putih
8. Trenggiling tanah temminck (Smutsia temminckii)

C. Ciri – ciri hewan Trenggiling

Trenggiling (Manis javanica) mempunyai bentuk tubuh yang


memanjang, dengan lidah yang dapat dijulurkan hingga sepertiga panjang
tubuhnya untuk mencari semut di sarangnya. Tenggiling adalah haiwan
yang tergolong dalam golongan kelas Mamalia. Tenggiling adalah haiwan
berdarah panas, melahirkan anak, menjaga anak, dan mempunyai bulu
dan sisik di badan. Tubuh tenggiling lebih besar dari kucing.

Kakinya pendek dan ekornya panjang. Tubuhnya bersisik. Sisik


pada bagian punggung dan bagian luar kaki tenggiling berwarna coklat
terang. Ia tidak mempunyai gigi. Ia memangsa makanan berupa semut
dan serangga menggunakan lidahnya. Jantung Tenggiling terdiri daripada
4 bagian seperti manusia. Bagian atas dikenali sebagai atrium, sementara
bagian bawah dikenali sebagai ventrikel.

Rambutnya termodifikasi menjadi semacam sisik besar yang


tersusun membentuk perisai berlapis sebagai alat perlindungan diri. Jika
diganggu, trenggiling akan menggulungkan badannya seperti bola. Ia
dapat pula mengebatkan ekornya, sehingga "sisik"nya dapat melukai kulit
pengganggunya. Trenggiling mempunyai lidah yang mampu dijulurkan
hingga sepertiga panjang tubuhnya. Lidah ini berguna untuk menangkap
semut dan rayap yang merupakan makanan utamanya.
Lidahnya digunakan untuk menjilat buruannya. Semut dan rayap
akan melekat di lidah trenggiling berkat ludahnya. Di bagian dada
trenggiling terdapat kelenjar ludah yang sangat besar. Kelenjar ini
menghasilkan cairan yang bisa merekat insek. Trenggiling (Manis
javanica) merupakan binatang nokturnal yang aktif melakukan kegiatan
hanya di malam hari. Satwa langka ini mampu berjalan beberapa
kilometer dan balik lagi kelubang sarangnya yang ditempatinya untuk
beberapa bulan.

Trenggiling memiliki cakar yang tebal dan kuat yang digunakan


untuk menggali tanah saat berburu sarang semut atau sarang rayap.
Trenggiling adalah penggali yang kuat dan akan membuat sarang di dekat
sarang semut atau sarang rayap. Trenggiling juga memiliki indera
penciuman yang sangat tajam sehingga bisa menemukan sarang semut
atau rayap yang berada di dalam tanah.

Tubuh Trenggiling dilapisi oleh sisik dan rambut berserat. Panjang


tubuh Trenggiling bisa mencapai 65 cm, dengan panjang ekor mencapai
56 cm. Berat tubuh Trenggiling bisa mencapai 10 kg, dan Trenggiling
jantan cenderung lebih besar dari Trenggiling betina. Trenggiling
melahirkan setahun sekali. Biasanya dalam sekali persalinan mereka akan
melahirkan satu atau 2 ekor anakan trenggiling. Selama tiga bulan
berikutnya, induk trenggiling akan merawat anak-anaknya. Trenggiling
terkadang ditemukan berpasangan, tetapi pada hakekatnya mereka
adalah binatang yang soliter, nokturnal, dan penakut. Mereka akan
menggulung tubuh mereka seperti bola saat merasa terancam.

D. Habitat Atau Tempat Hidup Trenggiling Sunda

Trenggiling jawa (M. javanica) tidak memilih habitat tertentu dalam


mencari makan dan menempatkan sarang. Satwa ini menggunakan
seluruh tipe habitat seperti hutan alam primer dan hutan sekunder, hutan
campuran, savana, daerah budidaya termasuk kebun rakyat dan ladang di
sekitar pemukiman masyarakat yang bervegetasi semak cukup rapat,
ladang, perkebunan karet, dan kelapa sawit (Lim, 2008; Chin & Pantel,
2008; Kuswanda & Setyawati, 2015). Namun satwa ini lebih banyak
ditemukan di hutan sekunder karena habitat tersebut memberikan
kemudahan dalam menempatkan lubang tidur dan ketersediaan pakan
utama berupa semut dan rayap. Lim & Ng (2008) melaporkan bahwa
trenggiling jawa di Singapura, memiliki preferensi habitat yang utama di
hutan sekunder, tetapi ditemukan juga di hutan monokultur dan daerah
pemukiman atau urban.

Berdasarkan habitatnya, trenggiling dapat dibagi menjadi


trenggiling tipe terestrial dan arboreal. Tipe terestrial akan menggali
lubang atau menempati lubang yang telah ditinggalkan satwa lain untuk
tidur dan bersarang, sedangkan tipe arboreal termasuk trenggiling jawa
menggunakan cekungan pada tonggak pohon atau cabang kayu untuk
melakukan aktivitas. Kedua tipe tersebut tidak mutlak terpisah karena
terkadang keduanya digunakan oleh trenggiling, tergantung kondisi lokasi.
Ciri-ciri lubang trenggiling diantaranya memiliki kelerengan sekitar 300 C-
600 C, menghadap matahari agar memudahkan dalam menggali, dan
menjaga temperatur (Chang, 2004). Temperatur pada lubang sarang tidak
terpengaruh oleh temperatur di luar sarang. Hal ini terjadi pada lubang
sarang trenggiling china yang berkisar antara 17,800 C – 210 C, walaupun
temperatur di luar berfluktuasi pada musim dingin dan panas sekitar 4,600
C - 38,300 C (Bao et al., 2013).
Gambar 1. Habitat trenggiling sunda di alam

E. Morfologi Hewan Trenggiling


Trenggiling jawa adalah satwa sexual dimorphism, dimana
perbedaan jenis kelamin terlihat dari perbandingan bobot badan antara
betina dan jantan sekitar 10%-50% serta penampilan antara jantan dan
betina. Satwa ini memiliki karakteristik morfologi seperti tubuh yang
tertutup oleh sisik secara overlaping, dan bagian ventral tubuh (mulai
kepala sampai daerah perineum), tidak tertutup sisik tetapi ditumbuhi
rambut-rambut kecil yang relatif jarang serta sistem pencernaan (lidah)
yang panjang dan lengket oleh sekreta kelenjar mandibularis serta tidak
mempunyai gigi sebagai adaptasi satwa myrmecophagy (Luo et al., 2007;
Cahyono, 2008). Trenggiling merupakan salah satu mamalia yang unik
dan menarik karena memiliki morfologi tubuh yang ditutupi oleh tank yakni
sisik yang keras dan tersusun rapih seperti genting yang menutupi hampir
seluruh bagian atas tubuhnya. Anak trenggiling yang baru lahir sudah
memiliki sisik yang lembut dan akan mengeras pada beberapa hari
kemudian. Sisik trenggiling hampir sama dengan cula atau rambut yang
berkembang dan termodifikasi menjadi satu (Natural History Museum,
2007). Sisik trenggiling menempel pada tubuh bagian atas (punggung dan
ekor) dan bagian pinggir atau samping kanan kiri.

Berdasarkan penampakan fisiknya, trenggiling betina lebih pendek


dari trenggiling jantan, Trenggiling memiliki moncong dan hidung yang
merupakan daerah sensitif dan aktif. Berdasarkan analisis skeleton dan
limbus alveolaris, moncong hidung yang panjang dan lubang mulut yang
sempit menandakan bahwa otot pengunyah tidak berkembang dengan
baik sehingga makanan yang masuk kedalam mulutnya akan langsung
ditelan dan dicerna di dalam lambung. Selain itu, tulang lidahnya (os
hyoideus) yang berukuran panjang namun lebih sederhana dibandingkan
dengan os hyoideus karnivora lainnya berfungsi untuk membantu menelan
atau memasukkan makanan
Gambar 2. Trenggiling jantan (a) dan betina (b)

Bagian tubuh trenggiling yang tidak ditumbuhi sisik yakni ujung


hidung, bagian ventral dan lateral dari wajah, serta bagian bawah tubuh
dari leher sampai ke perut. Kulit bagian bawah tubuh trenggiling yang
tidak ditumbuhi sisik berwarna merah jambu, keputih-putihan, atau abu-
abu agak kebiru-biruan dan tertutup oleh rambut halus berwarna
keputihan sampai coklat pucat (Yasuma, 1994).

Trenggiling jawa memiliki lidah yang sangat penting untuk


keberlangsungan hidupnya karena melalui lidah, trenggiling dapat
mengambil makanan. Panjang lidah trenggiling jawa beradaptasi dengan
jenis pakannya. Menurut Prapong et al., (2009), panjang lidah trenggiling
sekitar 25-50 cm atau sekitar 50% dari panjang kepala dan badan. Otot
lidah (anchored to pelvis) dilapisi oleh cartilage rods. Menurut Ruhyana
(2007), lidah trenggiling jawa memiliki panjang yang hampir sama dengan
panjang tubuhnya, yakni mencapai 56 cm. Namun Sari (2007), Aubech
(2012), dan Takandjandji & Sawitri (2016a in press) melaporkan, panjang
lidah trenggiling jawa ketika dijulurkan dapat mencapai 25 cm atau 42%
dari panjang badan dan panjang kepala, dan panjang badan tergantung
pada umur trenggiling jawa.
Gambar 3. Lidah trenggiling jawa (M. javanica)

Lidah trenggiling jawa terletak di pangkal laring dan ketika lidah


diperpanjang, panjangnya melebihi panjang kepala dan tubuh. Namun
apabila sedang istirahat, lidah trenggiling ditarik ke dalam rongga dada
(Cahyono, 2008). Lidah trenggiling jawa memiliki ukuran panjang sekitar
25 cm, sedangkan trenggiling raksasa (M. temminkii) berukuran lebih dari
50 cm (Aubech, 2012). Menurut Takandjandji & Sawitri (2016a in press),
mamalia ini mengambil makanan berupa semut dan rayap menggunakan
lidah yang panjang dan dapat dengan cepat menggulung diri menjadi bola
ketika terancam.

Selain itu, trenggiling jawa memiliki otot khusus yang menutup


lubang hidung dan telinga, serta melindunginya dari serangan serangga.
Selain itu, trenggiling jawa juga memiliki otot khusus di mulutnya yang
mencegah semut dan rayap agar tidak melarikan diri saat ditangkap
dengan lidah (Cahyono, 2008).

Lambung trenggiling bagian dalam berotot dan berkeratin yang


mengandung batu-batu kecil (grit), untuk membantu mengunyah dan
melumatkan mangsa di dalam perut seperti halnya pada ampela bangsa
burung.

Trenggiling jawa sebagai satwa dengan ekor yang panjang dan


kuat (prehensile tail), dijumpai di Vietnam dan beradaptasi sebagai
pemanjat untuk mencari pakan semut dan tidur di pohon dan di lubang di
bawah akar pohon, sedangkan M. pentadactyla membuat lubang di tanah
(Newton et al., 2008). Seperti halnya trenggiling jawa, trenggiling arboreal
yang hidup di pohon seperti M. tetradactyla dan M. tricupis memiliki ekor
yang lebih panjang dari tubuhnya (Encyclopedia of Life, 2014).

Anggota badan kaki trenggiling jawa, khususnya kaki depannya


berfungsi sebagai penggali yang tangguh. Setiap kaki depan dan
belakang memiliki lima jari kaki, dan kaki depan memiliki tiga jari kuku
atau cakar yang panjang, melengkung yang digunakan untuk
menghancurkan sarang rayap dan semut serta menggali liang untuk
bersarang dan tidur.

F. Perilaku Hewan Trenggiling Sunda

1. Perilaku di alam

Perilaku merupakan suatu aktivitas yang melibatkan fungsi


fisiologis berupa penerimaan rangsangan melalui panca indera dan
perubahan rangsangan menjadi aktivitas neural, aksi integrasi susunan
syaraf dan aktivitas berbagai organ motorik, baik internal maupun
eksternal (Tanudimadja dan Kusumamihardja, 1985). Aktivitas puncak
trenggiling jawa dilakukan dari jam 03.00-06.00, dimana periode aktif
harian adalah 127±13,10 mt, sedangkan daerah jelajahnya berbentuk
jajaran genjang seluas 23,46-69,70 ha dimana 56,30 ha atau 80,77%
merupakan daerah jelajah trenggiling jantan, namun daerah jelajah
trenggiling betina lebih kecil (13,40 ha atau 19,22% dari luas daerah
jelajah). Kondisi ini terkait dengan status trenggiling jawa betina yang
sedang mengasuh anaknya sehingga waktunya lebih banyak di dalam
sarang dan lokasi sarang berdekatan dengan lokasi tempat pakan berupa
sarang semut dan rayap. Hal ini berarti trenggiling jawa betina
membutuhkan waktu dan energi yang relatif sedikit untuk memperoleh
pakan.
Trenggiling jawa beraktivitas pada malam hari atau nokturnal.
Satwa ini pada siang hari tidur di dalam liang-liang bawah tanah atau
lubang-lubang pohon yang menempel dengan tanah. Aktivitas trenggiling
jawa yang menggali lubang dalam ekosistem, juga berfungsi
menggemburkan tanah di dalam hutan. Trenggiling jawa juga merupakan
satwa pemangsa serangga perusak pohon seperti semut dan rayap yang
sering menggerogoti pohon hingga mengalami pengeroposan. Oleh
karena itu, keberadaan trenggiling ini secara tidak langsung dapat
menjaga kelangsungan regenerasi ratusan jenis pohon yang ada di hutan
dengan memakan hama tanaman (EBN, 2010). Perilaku trenggiling Jawa
di alam terdiri dari perilaku makan, bergerak, tidur, mempertahankan diri,
dan berkembangbiak.

2. Perilaku Makan

Perilaku ini meliputi aktivitas mencari makan dan minum. Menurut


Likasta (2014), trenggiling menggunakan daya penciuman yang tajam
ketika mencari semut atau rayap dengan cara membaui daerah yang
diduga merupakan tempat bersarangnya mangsa. Saat menerobos masuk
ke dalam sarang semut, selaput yang terdapat pada saluran hidung dan
telinga trenggiling akan menutup untuk mencegah masuknya semut. Di
samping itu, mata trenggiling juga dilindungi oleh membran niktitans yang
tebal (Lekagul & McNelly, 1988).

Tempat trenggiling jawa mencari pakan di alam yakni di tunggak-


tunggak pohon yang telah membusuk atau di bawah pohon yang tumbang
dan terdapat di hutan ataupun di koridor hutan terutama di daerah ekotone
yang merupakan daerah pemukiman dan perkebunan teh, kelapa, dan
kebun masyarakat (Bismark, 2009). Bekas mencari pakan semut terlihat
banyak di tebing-tebing sungai atau di ladang masyarakat berupa bekas
garukan kukunya. Untuk mencapai lokasi yang cukup sulit tersebut, satwa
ini menggunakan ekornya untuk berpegangan pada alang-alang (Imperata
cylindrica).
Gambar 4. Perilaku trenggiling jawa saat mencari pakan

Saat ini trenggiling sulit ditemukan di perkebunan teh karena


adanya penggunaan herbisida untuk mematikan rumput sehingga sarang
semut jarang dijumpai karena di sekitar lubang semut, berbau pestisida.
Di samping itu, adanya intensifikasi pemeliharaan pohon teh untuk
menghilangkan kadaka atau paku sarang mengakibatkan tidak tersedia
tempat tidur trenggiling di perkebunan teh. Trenggiling biasanya tidur di
paku sarang yang lebat atau rimbun. Menurut Nowak (1999), jikalau
trenggiling Jawa berada di atas pohon, akan tidur di lubang batang pohon
atau di paku sarang burung (Asplenium nidus), pelepah daun aren
(Arenga pinnata) atau pelepah daun kelapa (Cocos nucifera). Pakan
trenggiling berupa semut dan rayap diambil dari sarangnya di atas pohon
atau dipermukaan tanah sehingga satwa ini termasuk myrmecophages
(Corbet & Hill, 1992). Sarang semut atau rayap dibongkar dengan cakar
kaki depannya yang kuat dan panjang, kemudian dengan lidahnya yang
panjang dan mengandung kelenjar ludah yang berfungsi sebagai cairan
pekat seperti lem, serangga tersebut dimakan atau disedot. Untuk
menggerakkan lidahnya, terdapat otot yang panjang dan kecil seperti
cacing pada mulut yang kecil, sehingga rahangnya dapat terbuka dengan
waktu yang pendek atau cepat (Yasuma, 1994).
3. Perilaku Tidur

Trenggiling jawa merupakan satwa nokturnal dan pada siang hari


tidur dimana saja, di tanah atau di atas pohon, tergantung jenisnya.
Tempat tidur tersebut berupa lubang baru yang digali atau bekas lubang
satwa lain yang tidak dihuni lagi. Menurut Lim & Ng. (2008), penggunaan
lubang untuk tidur oleh trenggiling Jawa dibedakan menurut lingkungan
sekitar lubang yaitu lubang di bawah tanah yang mengarah pada lubang
pohon dari pohon mati (25%), lubang pada pohon yang mati (38%), dan
lubang di bawah pohon yang hidup (37%). Selanjutnya di Sumatera,
lubang tidur ditemukan berlokasi di bawah pohon tumbang 58%, dan 42%
ditemukan di bawah pohon yang masih berdiri tegak.

4. Perilaku Mempertahankan Diri

Trenggiling di alam terutama di hutan primer dan sekunder, selalu


menghadapi predator seperti ular python (Malayophyton reticulatus),
anjing hutan (Cuon alpinus), dan macan tutul (Panthera pardus). Anjing
hutan umumnya memakan bagian leher sampai kepala sedangkan bagian
bawah yaitu badan ditinggalkan. Macan tutul akan memakan semua
bagian tubuh trenggiling kecuali sisiknya. Sebagai bentuk perlawanan
terhadap predator dan mempertahankan diri dari serangan, trenggiling
mengeluarkan bau yang tidak sedap dari kelenjar di dekat anus, sehingga
diharapkan musuhnya akan meninggalkannya atau menggulungkan
badannya dan menggelinding (Collins, 1975; Grzimek’s, 1975).

5. Perilaku Berkembangbiak

Trenggiling termasuk satwa soliter yang hanya bertemu dengan


pasangannya pada saat satu musim kawin dalam setahun (Grosshuesch,
2012). Trenggiling jantan akan menarik trenggiling betina dengan cara
meninggalkan tanda-tanda yang berbau menyengat dari kotorannya (urine
dan faeces), apabila terdapat lebih dari satu jantan dalam areal yang
sama maka akan terjadi perkelahian untuk memperebutkan sang betina.
Trenggiling melahirkan satu anak, namun Payne & Francis (2005)
melaporkan kelahiran anak trenggiling dua individu. Masa kebuntingan
satwa ini sekitar 140 hari, kemudian melahirkan sepanjang waktu, namun
treggiling jawa di Singapura melahirkan bulan September di hutan alam
(Norman & Lim, 2007). Lokasi kelahiran di lubang pohon atau di liang
selama 3-4 hari induk trenggiling akan berdiam diri. Masa menyusui
berlangsung selama empat bulan (September-Desember), penyapihan
dilakukan dengan memperkenalkan pada makanan berupa serangga,
setelah anak berumur dua tahun akan hidup terpisah dari induknya.

G. Konservasi Hewan Trenggiling Sunda


1. Konservasi In-Situ

Sesuai data dan pelaporan hasil penelitian di habitat aslinya,


penemuan trenggiling secara umum hanya terbatas pada penemuan jenis.
Penemuan dan penelitian mengenai populasi di alam belum banyak
dilaporkan secara jelas. Hal ini sebenarnya menyulitkan para peneliti
trenggiling untuk melakukan penelitian di habitat alaminya. Data tiga tahun
terakhir yang dilakukan oleh LIPI hanya mengenai kuota penetapan
perdagangan trenggiling yang diizinkan ekspor tidak lebih dari 10 ekor
yang diambil langsung dari alam. Selain itu data lain hanya berisi tentang
trafficking. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya keberadaan
populasi di alam dapat dikatakan sangat rendah atau bahkan belum dapat
dipastikan secara langsung berapa jumlah aktual saat ini.

Setelah mengetahui data penurunan populasi trenggiling dan


ketersediaannya di alam hendaknya pengelolaan dapat diarahkan dalam
bentuk pengelolaan populasi trenggiling dan habitatnya di alam, baik
dalam kawasan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, maupun di kawasan-
kawasan pelestarian alam seperti Taman Nasional. Namun upaya itu
belum terlihat karena belum ada kawasan tertentu baik di Taman
Nasional, Cagar Alam maupun Suaka Margasatwa yang benar-benar
fokus pada trenggiling dan permasalahannya. Biasanya hanya ditemukan
daftar jenis satwaliar secara umum dan bentuk-bentuk pengelolaan
habitat yang umum di alam. Penanggulangan masalah trenggiling secara
in-situ sebenarnya dapat dengan mudah dilaksanakan jika seluruh
stakeholder yang terkait dapat sepemahaman dan komitmen dalam
mengelola populasinya. Pengawasan sangat diperlukan dalam hal ini.
bukan hanya pengawasan terhadap bio-ekologi satwa yang dikelola,
tetapi juga pengawasan terhadap sosio-ekonomi masyarakat di sekitar
kawasan konservasi in-situ.

2. Konservasi Ex-Situ

Penangkaran menurut Fakultas Kehutanan IPB (1991) adalah


suatu usaha atau kegiatan mengembangbiakkan jenis-jenis satwaliar yang
bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan tetap
mempertahankan kemurnian genetiknya di luar habitat alaminya. Usaha
penangkaran trenggiling diketahui belum banyak dilaporkan. Hal ini
menjadikan banyaknya kesulitan ditemukan dalam perolehan data dan
informasi mengenai satwa ini di penangkaran. Trenggiling diketahui
merupakan satwa yang sulit beradaptasi dengan lingkungan diluar habitat
aslinya sehingga sulit pula melakukan perkembangbiakan (breeding) di
penangkaran (Lim dan Ng 2007; Wu et. al 2004). Namun ada yang
menyebutkan bahwa trenggiling dapat bertahan hidup dengan kuat dan
sangat keras. Spesies Manis crassicaudata dilaporkan dapat hidup di
penangkaran selama hampir 20 tahun (Nowak 1999).

Berdasarkan informasi dan penelitian terbatas, diketahui bahwa


UD. Multi Jaya Abadi telah melakukan kegiatan konservasi untuk satwa ini
dalam bentuk penangkaran (Bismark 2009). Penangkaran ini dilakukan
dengan tujuan untuk melindungi satwa ini dari kegiatan perdagangan liar
satwa langka, terlebih lagi ada kebiasaan masyarakat Sibolga yang gemar
memburu trenggiling dengan menggunakan jerat berpaku. Penggunaan
alat tangkap ini tidak sesuai karena dapat melukai satwa.
Dengan kondisi yang luka maka trenggiling yang telah ditangkap
akan memiliki nilai jual yang jauh lebih rendah. Untuk itu muncullah ide
untuk membeli seluruh trenggiling yang ada pada warga untuk ditangani
atau diselamatkan (rescue) dan ditangkarkan sekaligus sebagai sarana
penyadar-tahuan kepada masyarakat agar tidak lagi menangkap
trenggiling di alam karena populasinya sudah mulai terbatas. Untuk kasus
yang sama dengan Spesies Manis crassicaudata yang dilaporkan oleh
Nowak (1999), trenggiling di UD. Multi Jaya Abadi menurut Bismark
(2009) juga dapat hidup lama di dalam penangkaran dan telah berhasil
melakukan reproduksi. Jumlah anakan (F2) yang tercatat sejak tahun
2007 sebanyak 4 individu.

Berhasil atau tidaknya suatu kegiatan konservasi ex-situ


bergantung pada teknik pemeliharaannya. Menurut Bismark (2009), teknik
pemeliharaan trenggiling di UD. Multi Jaya Abadi menggunakan sistem
kandang semi permanen (semi alami) dengan lantai tetap terbuat dari
tanah dan atap kandang terbuat dari rumbia. Meskipun demikian, sanitasi
yang baik tetap diperhatikan. Jenis pakan yang diberikan adalah kroto dan
berbagai buah-buahan penarik semut. Aktivitas harian trenggiling di dalam
kandang hampir tidak jauh berbeda dengan kondisi dan aktivitasnya di
habitat asli trenggiling.

F. Peneletian Yang Relevan


1. Jurnal yang berjudul “Karakteristik habitat trenggiling jawa (manis
javanica) ditaman nasional gunung halimun salak” oleh AFROH
MANSHUR1), AGUS PRIYONO KARTONO2), BURHANUDDIN
MASYUD3) tahun 2015. Penerbit: Media Konservasi. Dengan
kutipan Trenggiling (Manis javanica) merupakan salah satu
mamalia terancam punah berdasarkan kategori International Union
for Conservation of Nature. Upaya konservasi M. javanica masih
sangat terbatas mengingat kajian ekologi jenis ini belum banyak
diungkap. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah
mengidentifikasi karakteristik habitat yang dimanfaatkan oleh M.
javanica.
2. Jurnal/artikel yang berjudul “Perilaku Trenggiling (Manis Javanica
Desmarest, 1822) Di Penangkaran Purwodadi, Deli Serdang,
Sumatera Utara” Oleh Reny Sawitri, M. Bismark, Mariana
Takandjandji, tahun 2012. Penerbit: Sawitri. Dengan kutipan
Populasi trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di alam
cenderung menurun akibat perburuan ilegal, sehingga perlu
diantisipasi dengan penangkaran. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mendapatkan informasi yang terkait dengan perilaku
trenggiling dalam upaya peningkatan keberhasilan penangkaran.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tenggiling sunda (Manis javanica) dikenal sebagai tenggiling


malaya atau jawa (Manis javanica syn. Paramanis javanica) adalah wakil
dari ordo Pholidota yang masih ditemukan di Asia Tenggara. Hewan ini
memakan serangga dan terutama semut dan rayap. Tenggiling hidup di
hutan hujan tropis dataran rendah. Tenggiling kadang juga dikenal
sebagai anteater (pemakan semut).

Bentuk tubuhnya memanjang, dengan lidah yang dapat dijulurkan


hingga sepertiga panjang tubuhnya untuk mencari semut di sarangnya.
Rambutnya termodifikasi menjadi semacam sisik besar yang tersusun
membentuk perisai berlapis sebagai alat perlindungan diri. Jika diganggu,
tenggiling akan menggulungkan badannya seperti bola. Ia dapat pula
mengebatkan ekornya, sehingga sisiknya dapat melukai kulit
pengganggunya.

Berdasarkan habitatnya, trenggiling dapat dibagi menjadi


trenggiling tipe terestrial dan arboreal. Tipe terestrial akan menggali
lubang atau menempati lubang yang telah ditinggalkan satwa lain untuk
tidur dan bersarang, sedangkan tipe arboreal termasuk trenggiling jawa
menggunakan cekungan pada tonggak pohon atau cabang kayu untuk
melakukan aktivitas.

Populasi trenggiling di Indonesia berada dalam tingkat


keterancaman yang tinggi akibat volume perdagangan yang semakin
meningkat. Perburuan liar dilakukan secara intensif di alam sehingga
sangat mengancam kelestariannya. Tingginya perburuan ilegal trenggiling
karena dari bagian tubuh satwa ini diyakini dapat dijadikan sebagai obat
dari berbagai penyakit, penambah stamina, dan sebagai bahan
pembuatan shabu-shabu. Kondisi ini tidak diimbangi dengan pemulihan
populasi trenggiling dari hasil penangkaran eks-situ maupun in-situ.

Upaya penangkaran trenggiling sangat penting untuk dilakukan


mengingat kondisi populasi di alam yang semakin menurun, dan belum
berhasilnya penangkaran yang telah dilakukan. Penangkaran merupakan
tindakan terbaik untuk menjaga kelestariannya di alam, sekaligus
menggali potensi manfaat trenggiling bagi kehidupan manusia.
Pendekatan tingkah laku, pengelolaan sumber pakan, aspek biologi,
biomedis, serta manajemen terpadu dalam penangkaran trenggiling
diharapkan merupakan faktor penentu dalam keberhasilan penangkaran
dan penggalian potensi trenggiling, sehingga tercapainya tujuan
pelestarian dan pemanfaatannya.

B. Saran

Supaya hewan trenggiling tidak terancam punah maka sebagai


manusia kita harus berpartisipasi dalam melestarikan hewan trenggiling
supaya hewan trenggilng masih bisa dilihat oleh generasi masa depan
dan kita harus mulai melakukannya pada diri kita sendiri bagaimana cara
melestarikan hewan trenggling di indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Bao, F., Wu, S., Su, C., Yang, L., Zhang, F., Ma, G. (2013). Air
temperature changes in burrows of Chinese pangolin (Manis
pentadactyla) in winter. Folia Zoologica 62:42-47.

Bismark, M. (2009). Penangkaran trenggiling di HP Dramaga. Laporan


Tahunan. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Tidak
diterbitkan.

Cahyono, E. (2008). Kajian anatomi skelet trenggiling jawa (Manis


javanica). Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Chin, S.Y., and S. Pantel. (2008). “Pangolin capture and trade on


Malaysia”. Proceedings in Trade and Conservation of Pangolins
native to South and South East Asia 30 June-2 July 2008
Singapore Zoo: 143-160.

Chang, C.Y. (2004). Study on the apparent digestibility of diet on


Formosan pangolin. National Taiwan University, Taipei, Taiwan
(In Chinese).

Encyclopedia of Life. (2014). “Long-tailed Pangolin (Manis tetradactyla) -


Information on Long-tailed Pangolin” (On-line). EOL: Encyclopedia
of Life. Accessed April 26, 2014 at:
http://eol.org/pages/337656/overview.

Grosshuesh, C. (2012). Adaptations-Protection perfected. Diunduh 10


april 2014 dari: http://bloweb.uwlax.edu/.../adaptation.htm.

Kuswanda, W. (2014). Tingkat perburuan, pengetahuan masyarakat dan


kebijakan perlindungan trenggiling (Manis javanica Desmarest,
1822) di sekitar hutan konservasi. Jurnal Politik dan Kebijakan. Vol.
11 No. 2

Lekagul & McNeely. (1988). Mammals of Thailand. Sakakarubhat Co.


Bangkok

Murphy, D & Phan, T.D. (2001). Mammal observations in Cat Tien


National Park. WWF, Hanoi, Vietnam.

Nguyen, v.T., Clark, L, and Phuong T.Q. (2014). Husbandry Guidelines


Sunda Pangolin (Manis javanica). First Edition. Carnivore &
Pangolin Conservation Program Cuc Phuong National Park,
Vietnam.

Natural History Museum. (2007). Morphology. Diunduh 8 April 2014 dari:


http://nhm.ac.uk/nature-online/....index.html. 2 hal.

Ruhyana, A.Y. (2007). Kajian morfologi saluran pernapasan trenggiling


(Manis javanica) dengan tinjauan khusus pada trachea dan paru-
paru. [skripsi]. Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.

Sawatiri, R., Bismark, M., dan Takandjandji, M. 2012. Perilaku Trenggiling


(Manis Javanica Desmarest, 1822) Di Penangkaran Purwodadi,
Deli Serdang, Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam 9 (3) : 285 – 297.

Sari, R.M. (2007). Kajian morfologi lidah trenggiling (Manis javanica).


Skripsi. Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.

Takandjandji, M dan R. Sawitri. (2016b ). Penangkapan dan perdagangan


Trenggiling Jawa (Manis javanica Desmarest, 1822) di Indonesia.
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Puslitbang Sosial, Ekonomi,
Kebijakan dan Perubahan Iklim, Bogor. In press
Yasuma, S. (1994). An invitation to the mammals of East Kalimantan.
Pursehut. Special Publication, Samarinda, Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai