Anda di halaman 1dari 9

TUBAN/BANDIKUT (Echymipera kalubu)

PENDAHULUAN
Taman Nasional Wasur (TNW) adalah satu dari 3 taman nasional yang ada di
pulau Papua. TNW terletak di bagian selatan pulau Papua tepatnya di Merauke, yang
memiliki ekosistem tipe lahan basah yang terluas di pulau Papua. Bila dilihat dari posisi
geografisnya, Merauke terletak di sebelah utara benua australia yang berdasarkan
sejarah proses terbentuknya dataran bahwa Papua dan Australia awalnya merupakan
satu daratan, oleh karena itu satwa dan ekosistem yang ada di Australia bagian utara
memiliki kemiripan dengan yang ada di Papua khususnya di daerah Merauke.
Terpisahnya daratan Australia dengan Papua oleh lautan berawal dari
berakhirnya zaman es yang terjadi pada 15.000 tahun yang lalu. Mencairnya es
menjadi lautan pada akhirnya memisahkan daratan Papua dengan benua Australia.
Kawasan Pelestarian Alam ini memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang cukup
tinggi. Savanna yang sangat luas dan mendominasi kawasan ini seakan memanjakan
satwa-satwa khususnnya herbivora dan omnivora yang berada dalam kawasan TNW.
Beberapa jenis mamalia yang sering dijumpai dan menjadi sumber protein bagi
masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNW antara lain : kangguru,
rusa, babi hutan, kus-kus dan tikus tanah (bandikut).
Kondisi saat ini, keberadaan kangguru dan rusa sangat jarang kita temui pada
habitatnya. Demikian pula dengan babi hutan. Perburuan yang dilakukan oleh
masyarakat dan oknum yang tidak bertanggung jawab mengakibatkan berkurangnya
populasi satwa-satwa tersebut. Masyarakat dari berbagai lapisan dan kalangan tidak
mau ketinggalan untuk memburu satwa-satwa tersebut. Bagi masyarakat lokal dalam
kawasan TNW, perburuan sudah diatur secara tradisional melalui kebiasaan yang
secara turun temurun telah berlaku, yang dituangkan dalam aturan adat tidak tertulis
dalam masing-masing marga. Walaupun telah diatur secara adat, namun dengan
adanya pengaruh dari masyarakat luar yang semata-mata berorientasi pada
kepentingan ekonomi menyebabkan sebagian masyarakat lokal kadang tidak perduli
dengan aturan adat yang ada. Segelintir dari mereka kadang melakukan pelanggaran
dalam pemanfaatan sumber daya alam yang ada.
Lain halnya dengan tikus tanah (bandikut). Bandikut masih sering kita jumpai
dalam kawasan TNW. Satwa ini populasinya masih berlimpah, terbukti dengan
seringnya perjumpaan terhadap mamalia kecil tersebut ketika kita memasuki kawasan
TNW, khususnya di savanna, hutan jarang, padang rumput (grassland) dan di habitat
lain dalam kawasan TNW.
BANDIKUT (Echymipera kalubu)
Bandikut (Echymipera kalubu) oleh masyarakat merauke disebut dengan
“Tuban”. Di dalam kawasan TNW, mamalia berkantung (marsupial) ini masih sering kita
jumpai berkeliaran, meskipun tidak sedikit dari mereka harus diburu sebagai sumber
protein dan tambahan ekonomi bagi masyarakat yang berdiam di dalam dan sekitar
kawasan TNW, dan tidak jarang satwa ini harus tergilas roda kendaraan yang sering
melintas di jalan Trans Irian Merauke. Tingginya populasi disebabkan karena Bandikut
memiliki laju reproduksi yang paling tinggi diantara semua marsupialia dengan jumlah
anak perkelahiran 2-4 ekor dan frekuensi beranak sebanyak 5-6 kali dalam setahun
(Petocz 1994). Menurut Crysostomus, 2003, satwa ini tergolong dalam jenis mamalia
prolifik, karena cepat berkembang biak, mampu beranak 5-6 kali dalam setahun dengan
jumlah anak per kelahiran 3-4 ekor.

Bandikut (Echymipera kalabu)

Bandikut (Echymipera kalubu) merupakan salah satu satwa endemik Papua


yang saat ini statusnya masih sebagai hewan liar dan populasinya masih berlimpah
pada habitat yang sesuai (Leary et al. 2008). Satwa ini bukan dari golongan binatang
pengerat seperti tikus-tikus yang ada di rumah-rumah. Spesies ini merupakan bentuk
fauna peralihan antara Australia dan New Guinea (Gorodon, at al, 1990). Populasinya
tersebar luas di dataran rendah pada hutan tertutup, hutan terbuka, padang rumput dan
semak belukar. Dalam kawasan TNW bandikut sering dijumpai di savanna, dan hutan
jarang yang tidak terendam air, juga sering ditemukan pada daerah peralihan antara
hutan jarang dan hutan dengan vegetasi rapat.
SISTEMATIKA ZOOLOGIS BANDIKUT (Echymipera kalubu)
Secara umum kedudukan bandikut dalam sistematika zoologis adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Cordata
Sub Phylum : Vertebrata
Class : Mamalia
Sub Class : Therya (Parker and Haswell, 1897)
Infraclass : Metatheria (Huxley, 1880)
Superordo : Marsupialia (Illeger, 1811)
Ordo : Peramelemorphia (Kirsch, 1968)-Bandicoots and Bilbies
Family : Perorictidae (Groves and Flannery, 1990) – Peroryctid Bandicoots
Genus : Echymipera – New Guinean Spiny Bandicoots
Speciess : Echymipera kalubu (Lesson, 1828)

MORFOLOGI BANDIKUT (Echymipera kalubu)

Bandikut memiliki kepala yang panjang dan telinga agak berbulu dengan
moncong yang runcing, yang menandakan satwa ini memiliki penciuman yang tajam.
Tubuhnya agak kompak yang berukuran antara kelinci dan tikus. kaki belakang
memanjang seperti kus-kus, kangguru dan wallabi, yang memungkinkan dia dapat
berjingkrak, melompat dan berlari dengan cepat. tungkai kaki depan jauh lebih
pendek tetapi kuat dan mempunyai 3 cakar yang mencolok dan tajam, untuk
menggaruk dan menggali. Pada kaki belakang jari kedua dan ketiga pada pangkal
cakarnya disatukan oleh kulit dan hanya ujung sendi terakhir dan kukunya yang
terpisah. Bentuk kuku yang seperti ini digunakan sebagai sisir untuk membersihkan
ektoparasit dan kotoran yang ada pada tubuhnya. Rambutnya halus tetapi agak
jarang, agak kasar dan kaku. Tidak seperti pada kangguru, kantung pada betina
menghadap ke bawah, sehingga anak yang akan memasuki kantungnya masuk dari
belakang dan merayap ke arah depan. Mamalia marsupial kecil ini memiliki susunan
gigi poliprotodon yaitu mempunyai banyak pasang gigi seri di rahang bawah dan di
antara taring. Formula susunan gigi : I 4–5/3, C 1/1, P 3/3, M 4/4 (Tate, 1968 dan
Lindenmayer, 1977) . Panjang bandikut berkisar antara 28 – 81 cm, dengan panjang
ekor sampai 20 cm (Manzies, 1991).

Bentuk kuku depan (a) dan belakang (b)

Bandikut tergolong hewan omnivora (Cookburn, 1990; Reese, 2001; Paliling,


2002) pemakan insekta (semut hitam, belalang, serangga kecil, kumbang muda, larva,
pupa, kupu-kupu kecil, rayap), invertebrata (cacing tanah, laba-laba, ulat kayu), dan
invertebrata kecil, buah-buahan yang jatuh, biji- bijian dan akar pohon. Jenis vertebrata
yang sering dikonsumsi adalah kadal, katak, dan tikus.Selain iti bandikut juga memakan
keong, kelapa, pisang, pepaya, ubi jalar, buah sagu, dan sisa makanan manusia bila
masuk ke pemukiman atau kebun penduduk. Namun demikian bandikut paling
menyukai tipe makanan jenis serangga dan invertebratan (Quin, 1985; Stodart, 1977).

REPRODUKSI
Tingkat reproduksi bandikut pada umumnya sangat tinggi, namun tingkat
mortalitasnya juga tinggi yaitu berkisar antara 30-50 % terutama bandikut muda dalam
kantung dan setelah penyapihan. Bandikut termasuk poliestrus dan bereproduksi
sepanjang tahun (Makerras & Smith 1960). Betina dewasa mulai kawin sekitar umur 4
bulan dengan berat badan paling rendah 450 gram, dan jantan pada umur 5 bulan
dengan berat badan 650 gram (Lyne, 1964; Flannery, 1995a). Jumlah anak
perkelahiran 2-4 ekor, bahkan ada yang 7 ekor. Seekor betina dalam setahun dapat
beranak 5-6 kali. Interval kelahiran paling umum selama 58 hari. Anak bandikut tinggal
dan menyusu dalam kantung induk sampai umur 48-53 hari, dan berhenti menyusu
pada umur 59-61 hari ketika kelahiran berikutnya kemudian mengikuti induknya sampai
umur 71-73 hari. Induk kawin lagi setelah anak berumur 49-50 hari dan masih menyusu
di dalam kantong (Stodart, 1977; Petocz, 1994; Fishman, 2001). Bandikutlahir dengan
bentuk yang belum berkembang sempurna dan berlindung dalam kantung induk sampai
perkembangannya sempurna. Ramput pertama muncul di tubuhnya pada umur 45 hari,
mata terbuka antara umur 45 - 50 hari dan penyapihan terjadi pada umur 60 hari (Lyne,
1990).

Anak bandikut di dalam kantung

Percumbuan bandikut saat betina mengalami estrus (birahi). Betina yang


sedang estrus akan mengekskresikan bau spesifik melalui urine yang dibuang
sepanjang jalan yang dilewati sehingga bandikut jantan akan mencium bau tersebut
dan mengejar sampai betina mau dikopulasi (Petocz, 1994). Masa estrus hanya
beberapa malam saja. Proses percumbuan berlangsung sampai terjadi kopulasi
berlangsung sampai 5 jam lebih. Sedangkan proses kopulasinya berlangsung antara 2-
4 menit (Manufandu, 2000).
TINGKAH LAKU
Seperti satwa lain pada umumnya, bandikut juga memiliki daerah teritorial
dengan luas dapat mencapai 4 hektar. Satwa ini selalu menandai dan mempertahankan
daerah teritorinya dengan menandainya dengan bau spesifik yang keluar dari kelenjar
bau yang ada di telinga, mulut, kantung, dan kloakanya (Fisherman, 2001) sehingga
dapat langsung menandai dengan urine dan fesesnya. Satwa ini termasuk satwa
marsupial yang soliter, yaitu tidak hidup dalam kelompoknya kecuali induk dan anaknya,
nocturnal (lebih banyak aktif pada malam hari), dan oportunis (selalu mencari
kesempatan dan menghabiskan waktu untuk mencari makan). Pada siang hari bandikut
lebih sering berada di sarangnya dan hanya muncul dari sarangnya pada senja dan
terancam untuk lari menyelamatkan diri. Sebelum meninggalkan sarangnya, bandikut
akan keluar secara perlahan untuk memastikan keadaan sekelilingnya aman dengan
cara mengendus kemudian dia masuk lagi dan menutup sarangnya dengan serasah
dan rerumputan yang ada di sekelilingnya, kemudian lari cepat meninggalkan
sarangnya. Bandikut betina memiliki naluri secara gigih untuk mempertahankan
teritorialnya terhadap bandikut jantan, terutama apabila ada bandikut betina yang
sedang birahi. Paling sedikit ada 2 pejantan yang berkelahi untuk memperebutkan
daerah. Salah satu di antara 2 pejantan yang berebut tersebut harus kalah dan
menyerahkan bandikut betina. Bandikut hidup dalam dua musim yaitu musim kering
dan musim hujan. Selama musim kering bandikut hidup pada vegetasi yang lebat yang
terdiri atas gulma-gulma yang tinggi, pohon-pohon yang kecil, dan semak perdu yang
lebat. Hal ini kemungkinan karena karena ketersediaan pakan yang kurang. Sedangkan
pada musim ujan bandikut keluar dan mengembara di padang rumput, karena pada
musim ini ketersediaan pakan cukup melimpah.

SARANG
Dalam kawasan TNW, bandikut bersarang di atas tanah yang tidak terendam
air. Sarang terbuat dari rerumputan kering dan dedaunan yang gugur yang ada di
sekitar mereka. bandikut membentuk sarang mereka menyerupai mangkok yang
terbalik, yang dilengkapi dengan pintu sebagai jalan keluar masuknya. Sarang terletak
diatas tanah dan tertutup oleh rerumputan dan semak yang masih hidup. Satu sarang
hanya terdiri dari seekor bandikut, kecuali yang masih merawat anaknya sampai masa
sapih anak mereka. Sarang bandikut rata memiliki ukuran diameter rata-rata 25 cm,
dengan tinggi sarang mencapai 20 cm diukur dari permukaan tanah. Ada juga yang
membuat sarang di dalam tanah dengan menggali tanah hingga mencapai 1,5 meter.
Tidak sedikit pula yang menggunakan lubang kayu / rongga kayu sebagai tempat
persembunyian dan berlindung, namun pada umumnya bandikut lebih menyukai sarang
tertutup di atas permukaan tanah.

Sarang bandikut

PERBURUAN
Dalam kawasan TNW, bandikut diburu sebagai sumber protein alternatif dan
dipercaya sebagai obat bagi masyarakat. Secara umum bagi masyarakat papua
bandikut memiliki nilai etnozoologis (rambut, tulang, dan anak bandikut umur 12 hari
dipercaya berkhasiat untuk pengobatan) (Warsono, 2009).
Perburuan secara tradisional sering dilakukan pada malam hari karena satwa
ini aktif pada alam hari (nocturnal). Dengan menggunakan senter sebagai alat penerang
dan bantuan kayu atau parang sebagai pemukul, masyarakat mengejar bandikut yang
sedang beraktifitas di luar sarang mereka. Pada siang hari, masyarakat berburu dengan
mencari sarang bandikut, kemudian memukul sarang tersebut dengan menggunakan
kayu atau parang tersebut.
PUSTAKA

Tethool A.N., 2011. Karakteristik Reproduksi Bandikut (Echimipera kalubu) Jantan.


Instutut Pertanian Bogor.

Pattiselanno F. Tikus Tanah Sebagai Sumber Protein Hewani. Mungkinkah ? (Artikel


yang dipresentasikan dalam Seminar Nasional di Fakultas Peternakan
Universitas Jenderal Soedirman, 15 Oktober 2011).

Annonim, 2013. http://www.belantaraindonesia.org/2011/07/sejarah-pulau-pulau-besar-


di-indonesia.html

Anda mungkin juga menyukai