Anda di halaman 1dari 13

PENGEMBANGAN BURUNG HANTU

(Tyto alba javanica Gmel) DALAM PENGENDALIAN HAMA TIKUS

Eli Paska Siahaan, SP. MP. dan Panangian Silalahi

Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Medan


JL. Asrama No. 124 Medan Kel. Cinta Damai Kec. Medan Helvetia (20126)
Fax. 8466771, Telp. (061) 8470504, 8458008, 8445794, 8466787

ABSTRAK

Burung hantu Tyto alba javanica (Gmel) merupakan musuh alami


hama tikus yang efektif, efisien dan berkesinambungan. Di alam, burung
hantu Tyto alba javanica tidak pandai membuat sarang. Burung ini
bersarang secara alami pada pepohonan tua, bangunan tidak dihuni,
sekolah, pergudangan dan bangunan lainnya dan seringkali mendapat
gangguan bahkan diburu dan dibunuh. Metode pengembangan dan
pemanfaatan burung hantu Tyto alba javanica (Gmel) dalam
mengendalikan hama tikus dapat dilakukan dengan menyediakan sarang
atau rumah burung hantu buatan (rubuha) di lapangan.
Waktu yang tepat mendirikan rubuha adalah pada saat musim
bertelur. Rubuha yang didirikan 10 15 meter dari sarang alami akan
ditempati oleh burung hantu dalam satu musim bertelur. Rubuha yang
didirikan dimana hanya terdapat tanda keberadaan burung hantu namun
tidak terdapat sarang alami, akan ditempati dalam waktu yang lebih lama
atau lebih dari satu tahun.
Kata kunci: Pengembangan, Tyto alba, Rubuha.

I. PENDAHULUAN

Tikus dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang relatif besar


pada tanaman budidaya karena menyerang pada semua stadia tanaman
mulai dari benih, pembibitan hingga pasca panen (Priyambodo, 2009).
Setiap upaya pengendalian hama tikus memiliki kelebihan dan
kekurangan. Pengendalian dengan sanitasi dan penghalang (barier) tidak
mengurangi populasi tikus pada pertanaman. Pengendalian secara fisik
dengan berburu (gropyokan) membutuhkan banyak tenaga kerja dan
kekompakan yang relatif sulit diwujudkan. Pengendalian secara mekanis
dengan perangkap relatif kurang efektif karena tikus memiliki sifat takut
terhadap benda-benda baru (neophobia). Penggunaan bahan kimia

1
memiliki dampak negatif seperti resiko membunuh organisme bukan
sasaran dan pencemaran lingkungan.
Secara alami, hama tikus terkendali dengan adanya predator
seperti ular, kucing, anjing, garangan, burung hantu dan burung elang.
Akan tetapi dengan kondisi alam yang tidak seimbang, pengendalian
secara alami juga menjadi tidak seimbang sehingga pengendalian secara
alami menjadi kurang efektif. Hal ini karena populasi predator sudah
relatif sedikit akibat berbagai aktivitas manusia dan rusaknya lingkungan.
Pengendalian hama tikus dengan memanfaatkan predator sangat
potensial dan memiliki keunggulan yakni ramah lingkungan, ekonomis dan
berkesinambungan.
Salah satu predator hama tikus yang sangat potensial untuk
dikembangkan adalah burung hantu Tyto alba javanica (Gmel). Upaya-
upaya pengendalian hama tikus dengan burung hantu sudah banyak
dikembangkan di berbagai daerah dan terbukti efektif. Pengembangan
burung hantu di desa Telogoweru, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak,
Propinsi Jawa Tengah berhasil menurunkan serangan tikus pada
pertanaman padi sawah dan jagung secara signifikan (Pudjoarto dan
Sutedjo, 2015). Keberhasilan pengendalian hama tikus dengan
memanfaatkan burung hantu terletak pada adanya campur tangan
manusia. Hal ini karena habitat alami burung hantu pada kawasan hutan
atau kawasan dengan banyak pepohonan sudah terganggu bahkan rusak
sehingga burung hantu membuat sarang pada pemukiman manusia
seperti rumah, gedung sekolah, masjid, gereja, pergudangan dan
bangunan lainnya. Namun keberadaan dan kelestarian burung hantu pada
daerah pemukiman terancam oleh mitos atau pandangan negatif dimana
burung hantu dianggap sebagai pertanda buruk sehingga diusir dan
dibunuh. Aktivitas berburu juga kerap kali membunuh burung hantu.

2
II. BURUNG HANTU Tyto alba javanica (G.mel)

2.1. Klasifikasi
Burung hantu adalah kelompok burung yang merupakan anggota
ordo Stringiformes. Burung ini termasuk golongan burung buas pemakan
daging (karnivora) dan merupakan hewan malam (nokturnal). Ordo
Stringiformes terdiri dari dua suku (famili), yakni suku burung serak atau
burung-hantu gudang (Tytonidae) dan suku burung hantu sejati (Strigidae)
(Anonim, 2014a).
Jumlah spesies burung hantu pada famili Strigidae sebanyak 123
spesies sedangkan pada famili Tytonidae sebanyak 11 spesies, salah
satunya adalah spesies Tyto alba. Klasifikasi burung hantu Tyto alba
adalah:
Phylum : Chordata
Sub phylum : Craniata
Classis : Aves
Ordo : Strigiformes
Family : Tytonidae
Genus : Tyto
Spesies : Tyto alba javanica Gmel.
(Indriyati dan Isnaini, 2013)
Burung hantu Tyto alba javanica (G.mel) di Indonesia dikenal
sebagai burung hantu putih atau serak jawa. Walaupun telah dikenal jauh
sebelumnya, Tyto alba baru dideskripsikan secara resmi pada tahun 1769
oleh seorang naturalis berkebangsaan Italia bernama Giovanni Scopoli.
Nama spesies alba dipilih berdasarkan warna bulu badannya yang putih.
Burung hantu Tyto alba memiliki wajah berbentuk jantung, warna putih
dengan tepi coklat. Mata menghadap ke depan, merupakan ciri yang
mudah dikenali (Anonim, 2014c).

3
Gambar 1. Burung hantu Tyto alba javanica (Gmel)

2.2. Morfologi
Ciri-ciri morfologi burung hantu Tyto alba javanica (G.mel) adalah
bulu sayap atas dan punggung berwarna berwarna abu-abu kekuningan.
Sayap bawah dan bagian dada dan perut berwarna putih dengan bintik-
bintik hitam. Semua bulunya mengandung zat lilin. Perbedaan antara
jantan dan betina terletak pada warna bulu di bagian leher depan. Pada
T.alba betina berwarna putih dan bintik-bintik hitam, sedangkan jantan
berwarna kuning kecoklatan dan berbintik-bintik hitam. Ukuran tubuh
antara jantan dan betina hampir sama, namun biasanya betina memiliki
ukuran tubuh lebih besar dari pada jantan (Indriyati dan Isnaini, 2013).

Tabel. 1. Perbandingan ukuran tubuh jantan dan betina burung hantu


Tyto alba javanica Gmel).
Perbedaan Ukuran Tubuh
Karakteristik
Jantan Betina
- Panjang Badan 32 38 cm 34 40 cm
- Berat Badan 470 gram 570 gram
- Rentang Sayap 107 cm 110Cm
Sumber: Indriyati dan Isnaini, 2013.

Tyto alba javanica merupakan binatang pemburu tikus yang sangat


cepat. Lehernya dapat berputar 2700 ke segala arah. Mata memiliki
adaptasi yang baik untuk melihat pada intensitas cahaya yang sangat
rendah. Lubang telinga diselubungi lapisan fleksibel yang tersusun dari
bulu-bulu yang menyelimuti lingkar wajah berfungsi sebagai keping
pemantul (reflektor) suara membuat burung hantu memiliki pendengaran

4
yang peka dan bersifat mengarah (direksional) terhadap sumber bunyi,
sehingga burung hantu mampu mendeteksi lokasi mangsa (dalam arah
dan jarak) secara tepat meskipun dalam gelap. Paruh besar, melengkung
dengan ujung runcing dan tajam berfungsi memotong dan merobek
mangsa. Kaki panjang dilengkapi jari dan kuku yang kokoh untuk
mencengkeram mangsa hingga tidak berdaya (bahkan mati) pada saat
ditangkap (Indriyati dan Isnaini, 2013).

2.3. Biologi
Burung hantu Tyto alba javanica bersifat monoganus dan hidup
berpasangan, berkembang biak dengan cara bertelur. Musim kawin dua
kali dalam setahun, umumnya pada bulan Februari dan Juli. Dalam satu
musim kawin, individu betina dapat menghasilkan telur 4-12 butir
tergantung ketersediaan makanan. Telur berwarna putih dan berbentuk
bulat oval. Panjang telur 38 46 mm dengan lebar 30 35 mm. Telur
dierami segera setelah telur pertama diletakkan selama 21 28 hari.
Peletakan telur berlangsung dalam interval beberapa hari sehingga
penetasan telur tidak bersamaan. Hal ini menyebabkan terjadinya gradasi
ukuran tubuh anakan. Anakan dengan ukuran tubuh terbesar biasanya
memperoleh asupan makanan yang lebih banyak dari induknya.
Akibatnya, dapat terjadi tidak seluruh anakan yang menetas dalam satu
sarang pada periode yang sama akan bertahan hidup, kecuali makanan
banyak di sekitar sarang (Indriyati dan Isnaini, 2013).
Burung hantu meletakkan telur di atas plafon bangunan tempatnya
bersarang. Burung hantu mampu bertelur 2 3 kali dalam setahun.
Anakan menjadi dewasa setelah berumur + 8 bulan (Sipayung, 1990).

Gambar 2. Tahapan perkembangan burung hantu Tyto alba javanica (Gmel)

5
2.4. Sifat dan Perilaku
Burung hantu selalu membawa makanan (tikus) hasil perburuan ke
dalam sarang. Seringkali burung hantu hanya memakan bagian kepala
dan dada tikus. Hal ini dibuktikan dengan banyak ditemukan sisa-sisa
makanan berupa potongan bangkai tikus di dalam atau sekitar sarangnya.
Pada malam hari, sekelompok burung hantu sering berkumpul pada salah
satu tempat, seperti pada pohon tinggi di atas bangunan sambil berkicau.
Mula-mula kegiatan ini dilakukan oleh beberapa ekor saja, kemudian
disusul burung hantu lainnya untuk mendekati. Kegiatan ini biasanya
dilakukan sebelum atau selesai mencari makan. Sekitar 30 menit
kemudian, burung hantu akan kembali ke sarang. Suara yang sering
dikeluarkan oleh burung hantu adalah cicitan serak (parau). Panggilan
kawin (cumbuan) dari individu jantan berupa cicitan yang melengking dan
berulang-ulang. Pada saat kembali ke sarang, individu dewasa terkadang
mengeluarkan suara parau. Jika dikejutkan, burung hantu mengeluarkan
suara desisan, cicitan dan suara gemeretak keras yang dilakukan dengan
cara menggerak-gerakkan lidahnya (Indriyati dan Isnaini, 2013).
Burung hantu betina pada saat bertelur atau mengerami telurnya
selalu berada dalam sarangnya dengan posisi membelakangi cahaya
pada siang hari. Namun pada malam hari tetap mencari makan. Burung
hantu jantan selalu menunggu burung hantu betina (yang sedang bertelur
atau mengerami) tidak jauh dari sarang seperti pepohon tinggi sampai
anakan mulai belajar bisa terbang (sekitar dua bulan). Burung hantu tidak
akan berburu tikus di tempat lain apabila disekitar sarang masih cukup
banyak dan mudah mendapatkannya. Kawasan perburuan semakin
meluas sejalan dengan semakin berkurangnya populasi tikus di kawasan
perburuan sebelumnya, sehingga dalam jangka panjang populasi tikus
dapat terkendali dengan baik oleh keberadaan burung hantu. Waktu
terbaik melihat burung hantu adalah ketika matahari baru saja terbenam.
Tempat terbuka adalah tempat terbaik untuk mengamati burung hantu
(Indriyati dan Isnaini, 2013).

6
III. PENGEMBANGAN BURUNG HANTU Tyto alba javanica (G.mel)

Populasi burung hantu di Indonesia tergolong rendah karena kurang


tersedianya tempat bersarang dan keterbatasan makanan di kawasan
tertentu. Untuk meningkatkan populasi burung hantu maka perlu dilakukan
penyediaan sarang untuk berkembangbiak karena sifat burung hantu yang
tidak pandai membuat sarang. Hasil kajian Siahaan, dkk (2015) bahwa
secara umum ada dua kondisi awal yang menyebabkan adanya dua
strategi dalam pengembangan burung hantu Tyto alba javanica yakni ada
atau tidak adanya burung hantu lokal (native) pada kawasan yang akan
dikembangkan. Ada atau tidaknya burung hantu pada suatu kawasan
dapat diketahui dengan melakukan monitoring tanda-tanda keberadaan
burung hantu Tyto alba berupa feces, pelet, bulu, sarang alami maupun
fisik burung hantu itu sendiri.

3.1. Kondisi awal kawasan sudah terdapat populasi


burung hantu lokal
Pada kawasan yang sudah terdapat populasi burung hantu Tyto
alba javanica maka tahapan pengembangan yang dapat dilakukan adalah:
a. Lakukan survei lokasi keberadaan burung hantu.
Umumnya tyto alba bersarang pada plafon bangunan sekolah,
rumah ibadah, gudang dan bangunan lainnya. Sarang alami yang
ditemukan harus dipastikan aktif yang ditandai dengan adanya kotoran,
pelet dan sisa makanan (bangkai tikus) yang masih baru. Umumnya pada
siang hari burung hantu berada dalam sarang. Apabila tepat pada waktu
musim bertelur maka didalam sarang dapat ditemukan telur maupun
anakan burung hantu. Pengamatan dilakukan pada sore hingga malam
hari untuk memantau keberadan burung hantu.

Gambar 3. Sarang alami Tyto alba javanica pada plafon gedung sekolah

7
Gambar 4. Tanda-tanda keberadaan burung hantu Tyto alba javanica berupa
feces, pelet dan bulu pada sebuah bangunan kosong

Gambar 5. Sarang alami yang tidak aktif (tidak ditemukan kotoran dan sisa
makanan baru)

Gambar 6. Tanda-tanda keberadaan burung hantu Tyto alba javanica di kebun


kelapa sawit berupa feces namun tidak ditemukan sarang alami

b. Mendirikan rumah burung hantu buatan (rubuha)


Induk burung hantu Tyto alba javanica akan mengusir anakan dari
dalam sarang apabila memasuki musim kawin dan musim bertelur.
Sebaliknya, anakan burung hantu yang telah dewasa juga akan mencari
pasangan dan sarang baru saat ingin kawin dan bertelur. Anakan inilah
yang diharapkan akan menempati rumah burung hantu (rubuha) yang
telah disediakan atau didirikan di lokasi dimana pada saat survei
ditemukan sarang alami atau adanya tanda-tanda keberadaan burung
hantu. Rubuha dapat terbuat dari papan dengan kontruksi sebagai berikut:

8
Gambar 7. Kontruksi rumah burung hantu (rubuha)

Metode mendirikan rubuha adalah sebagai berikut:


Rubuha didirikan pada saat musim bertelur atau pada sarang alami
terdapat fase anakan burung hantu .
Rubuha didirikan dengan jarak 10 15 meter dari sarang alami atau
dimana ditemukan adanya tanda-tandan keberadaan burung hantu.
Rubuha sebaiknya didirikan terkonsentrasi pada sarang alami karena
sifat burung hantu yang suka mengumpul atau berkelompok pada satu
kawasan.
Rubuha dapat didirikan menggunakan tiang bambu, kayu dan lain
sebagainya atau diatas pepohonan.

Gambar 8. Dua buah rubuha diatas pohon yang ditempati burung hantu
dengan jarak 10-15 meter dari sarang alami

9
Gambar 9. Rubuha dengan tiang bambu pada areal kebun kelapa sawit
dan persawahan

Pada kawasan dimana hanya terdapat kotoran dan/atau pelet Tyto


alba (tidak terdapat sarang alami) menandakan bahwa kawasan tersebut
merupakan wilayah Tyto alba berburu tikus. Pada kawasan dengan
kondisi seperti ini, rubuha akan ditempati burung hantu dalam waktu relatif
lama yakni sekitar dua periode musim kawin atau musim bertelur atau
lebih dari satu tahun.

3.2. Kondisi awal kawasan tidak terdapat populasi burung hantu lokal
Pada kawasan yang tidak terdapat populasi burung hantu Tyto alba
javanica maka upaya yang perlu dilakukan adalah mengintroduksi
burung hantu sehingga diharapkan menjadi populasi awal di kawasan
pengembangan tersebut. Cara mengintroduksi Tyto alba adalah:
a. Dirikan kandang karantina sebagai tempat lokalisasi (adaptasi) dan
memelihara Tyto alba di lingkungan yang baru serta sebagai tempat
mensosialisasikan rubuha bagi Tyto alba.
b. Masukkan satu pasang (atau lebih) burung hantu berumur 2 3 bulan
ke dalam kandang karantina.
c. Lokalisasi Tyto alba di dalam rubuha yang ditempatkan di dalam
kandang karantina selama sekitar dua minggu. Selama proses
lokalisasi, pintu rubuha dalam keadaan tertutup dan Tyto alba diberi
makan berupa cincangan daging tikus sebanyak 4 6 ekor setiap
sore hari.
d. Setelah sekitar dua minggu pintu rubuha dapat dibuka, namun Tyto
alba masih dipelihara atau dilokalisasi di dalam kandang karantina

10
selama 2 3 minggu atau sampai Tyto alba benar-benar bersarang
pada rubuha. Tikus dalam keadaan hidup dapat dilepas ke dalam
kandang karantina sebagai makanan sekaligus melatih naluri burung
hantu Tyto alba dalam berburu tikus.
e. Setelah Tyto alba bersarang dalam rubuha, Tyto alba dapat dilepas
yaitu dengan memindahkan Tyto alba bersama rubuha yang
ditempatinya keluar kandang karantina. Memindahkan Tyto alba pada
kondisi bertelur atau telah berkembangbiak dalam rubuha adalah lebih
baik.
f. Segera berdirikan 4 5 unit rubuha di sekitar rubuha yang telah
ditempati. Induk Tyto alba akan mengusir anakan dari sarang pada
musim kawin atau musim bertelur berikutnya. Anakan inilah yang
diharapkan akan menempati rubuha yang telah disediakan.

Gambar 10. Beberapa model kandang karantina Tyto alba

IV. HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN

Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk keberhasilan dalam


pengembangan dan penyebaran burung hantu Tyto alba adalah:
a. Pengembangan pada kawasan dengan keberadaan burung hantu
Tyto alba lokal sangat tergantung pada populasi yang ditandai
dengan sarang alami aktif yang ditemukan. Pengembangan burung
hantu lokal tidak mutlak membutuhkan kandang karantina.
b. Kegiatan introduksi burung hantu ke kawasan yang belum terdapat
burung hantu mutlak membutuhkan kandang karantina. Dianjurkan
untuk membuat lebih banyak rubuha karena burung hantu yang
dilepaskan biasanya tidak langsung menempati rubuha, tetapi
hinggap di pohon-pohon yang mempunyai tajuk lebat. Ketika betina
akan bertelur, maka akan mencari sarang/rubuha. Dianjurkan

11
mendirikan 4 5 unit rubuha untuk setiap pasang burung hantu
yang dilepaskan.
c. Penyebaran burung hantu sangat tergantung pada ketersediaan
sarang atau rubuha di areal pengembangan. Hal ini karena burung
hantu mempunyai sifat monoceus (berumah satu) dan tidak suka
tinggal bersama anakan yang sudah dewasa dalam satu
sarang/rubuha. Anakan yang sudah dewasa akan terbang mencari
pasangan dan menempati sarang atau rubuha baru. Rubuha di
lapangan tidak harus disebar, namun dapat dipusatkan pada satu
lokasi pengembangan. Diduga metode ini akan mempercepat
perkembangan populasi burung hantu karena sifat burung hantu
yang suka mengelompok. Disisi lain, pengawasan terhadap rubuha
juga lebih mudah dilakukan.
d. Apabila di suatu kawasan populasi burung hantu telah banyak dan
ingin diintroduksi ke daerah lain, maka perlu menyapih anakan
yang belum mampu terbang (berumur sekitar 2 bulan) dipelihara
dalam kandang karantina dan diberi makan dengan potongan
daging tikus.
e. Lakukan monitoring pada rubuha dan sarang alami secara rutin.
Proses penetasan telur tetap harus diawasi, karena telur yang
menetas lebih dahulu akan menjadi anakan yang lebih besar
dibanding telur yang menetas kemudian. Anakan yang lebih kecil
umumnya akan kalah bersaing dalam berebut makanan dan sering
ditemukan terjatuh dari sarang/rubuha.
f. Kemapanan burung hantu dalam suatu ekosistem sangat
tergantung pada ketersediaan habitat yang sesuai.
g. Sosialisasi menfaat burung hantu dalam mengendalikan hama tikus
di masyarakat.
h. Rumusan kesepakatan bersama untuk melindungi dan
melestarikan burung hantu yang dapat tertuang dalam peraturan
desa (perdes) atau setidak-tidaknya kesepakatan petani dalam
peraturan AD/ART kelompok tani.

12
REFERENSI

Adidharma dan Dhamayanti, 2009. Kajian sosial ekonomi pengendalian


hama tikus pohon, Rattus tiomanicus Miller dengan burung hantu,
Tyto alba, pada perkebunan kelapa sawit.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/54330. diakses tanggal
01 April 2014.

Anonim, 2014a. Burung Hantu. http://id.wikipedia.org./wiki/burung_hantu.


Diakses Tanggal 08 Juli 2014.

,2014b. Serak Jawa. http://id.wikipedia.org./wiki/serak_jawa.


Diakses Tanggal 08 Juli 2014.

,2014c. Burung hantu Serak Jawa.


http://myaluzzsblog.wordpress.com. Diakses Tanggal 12
Desember 2014.

Siahaan, E.P., Ramli N., dan Silalahi, P., 2015. Pengembangan Burung
Hantu Tyto alba javanica (Gmel) Dalam Pengendalian Hama Tikus
Pada Tanaman Perkebunan. Balai Besar Perbenihan Dan Proteksi
Tanaman Perkebunan Medan, Medan.

Indriyati, M. K. dan Isnaini, N., 2013. Buku Pedoman Pengembangan


Burung Hantu (Tyto alba javanica Gmel) Sebagai Pengendali Tikus
Pada Areal Perkebunan. Direktorat Perlindungan Perkebunan,
Jakarta.

Priyambodo S., 2003. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Penebar


Swadaya, Jakarta.

Pudjoarto dan Sutedjo, 2015. Materi Pelatihan (In House Training)


Monitoring Dan Evaluasi Tyto Alba, tanggal 27 -30 Oktober di
BBPPTP Medan.

Sipayung, 1990. Burung Hantu Tyto alba Pemangsa Tikus Di Perkebunan


Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Perkebunan Marihat, Pematang
Siantar, Sumatera Utara.

13

Anda mungkin juga menyukai