ABSTRAK
I. PENDAHULUAN
1
memiliki dampak negatif seperti resiko membunuh organisme bukan
sasaran dan pencemaran lingkungan.
Secara alami, hama tikus terkendali dengan adanya predator
seperti ular, kucing, anjing, garangan, burung hantu dan burung elang.
Akan tetapi dengan kondisi alam yang tidak seimbang, pengendalian
secara alami juga menjadi tidak seimbang sehingga pengendalian secara
alami menjadi kurang efektif. Hal ini karena populasi predator sudah
relatif sedikit akibat berbagai aktivitas manusia dan rusaknya lingkungan.
Pengendalian hama tikus dengan memanfaatkan predator sangat
potensial dan memiliki keunggulan yakni ramah lingkungan, ekonomis dan
berkesinambungan.
Salah satu predator hama tikus yang sangat potensial untuk
dikembangkan adalah burung hantu Tyto alba javanica (Gmel). Upaya-
upaya pengendalian hama tikus dengan burung hantu sudah banyak
dikembangkan di berbagai daerah dan terbukti efektif. Pengembangan
burung hantu di desa Telogoweru, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak,
Propinsi Jawa Tengah berhasil menurunkan serangan tikus pada
pertanaman padi sawah dan jagung secara signifikan (Pudjoarto dan
Sutedjo, 2015). Keberhasilan pengendalian hama tikus dengan
memanfaatkan burung hantu terletak pada adanya campur tangan
manusia. Hal ini karena habitat alami burung hantu pada kawasan hutan
atau kawasan dengan banyak pepohonan sudah terganggu bahkan rusak
sehingga burung hantu membuat sarang pada pemukiman manusia
seperti rumah, gedung sekolah, masjid, gereja, pergudangan dan
bangunan lainnya. Namun keberadaan dan kelestarian burung hantu pada
daerah pemukiman terancam oleh mitos atau pandangan negatif dimana
burung hantu dianggap sebagai pertanda buruk sehingga diusir dan
dibunuh. Aktivitas berburu juga kerap kali membunuh burung hantu.
2
II. BURUNG HANTU Tyto alba javanica (G.mel)
2.1. Klasifikasi
Burung hantu adalah kelompok burung yang merupakan anggota
ordo Stringiformes. Burung ini termasuk golongan burung buas pemakan
daging (karnivora) dan merupakan hewan malam (nokturnal). Ordo
Stringiformes terdiri dari dua suku (famili), yakni suku burung serak atau
burung-hantu gudang (Tytonidae) dan suku burung hantu sejati (Strigidae)
(Anonim, 2014a).
Jumlah spesies burung hantu pada famili Strigidae sebanyak 123
spesies sedangkan pada famili Tytonidae sebanyak 11 spesies, salah
satunya adalah spesies Tyto alba. Klasifikasi burung hantu Tyto alba
adalah:
Phylum : Chordata
Sub phylum : Craniata
Classis : Aves
Ordo : Strigiformes
Family : Tytonidae
Genus : Tyto
Spesies : Tyto alba javanica Gmel.
(Indriyati dan Isnaini, 2013)
Burung hantu Tyto alba javanica (G.mel) di Indonesia dikenal
sebagai burung hantu putih atau serak jawa. Walaupun telah dikenal jauh
sebelumnya, Tyto alba baru dideskripsikan secara resmi pada tahun 1769
oleh seorang naturalis berkebangsaan Italia bernama Giovanni Scopoli.
Nama spesies alba dipilih berdasarkan warna bulu badannya yang putih.
Burung hantu Tyto alba memiliki wajah berbentuk jantung, warna putih
dengan tepi coklat. Mata menghadap ke depan, merupakan ciri yang
mudah dikenali (Anonim, 2014c).
3
Gambar 1. Burung hantu Tyto alba javanica (Gmel)
2.2. Morfologi
Ciri-ciri morfologi burung hantu Tyto alba javanica (G.mel) adalah
bulu sayap atas dan punggung berwarna berwarna abu-abu kekuningan.
Sayap bawah dan bagian dada dan perut berwarna putih dengan bintik-
bintik hitam. Semua bulunya mengandung zat lilin. Perbedaan antara
jantan dan betina terletak pada warna bulu di bagian leher depan. Pada
T.alba betina berwarna putih dan bintik-bintik hitam, sedangkan jantan
berwarna kuning kecoklatan dan berbintik-bintik hitam. Ukuran tubuh
antara jantan dan betina hampir sama, namun biasanya betina memiliki
ukuran tubuh lebih besar dari pada jantan (Indriyati dan Isnaini, 2013).
4
yang peka dan bersifat mengarah (direksional) terhadap sumber bunyi,
sehingga burung hantu mampu mendeteksi lokasi mangsa (dalam arah
dan jarak) secara tepat meskipun dalam gelap. Paruh besar, melengkung
dengan ujung runcing dan tajam berfungsi memotong dan merobek
mangsa. Kaki panjang dilengkapi jari dan kuku yang kokoh untuk
mencengkeram mangsa hingga tidak berdaya (bahkan mati) pada saat
ditangkap (Indriyati dan Isnaini, 2013).
2.3. Biologi
Burung hantu Tyto alba javanica bersifat monoganus dan hidup
berpasangan, berkembang biak dengan cara bertelur. Musim kawin dua
kali dalam setahun, umumnya pada bulan Februari dan Juli. Dalam satu
musim kawin, individu betina dapat menghasilkan telur 4-12 butir
tergantung ketersediaan makanan. Telur berwarna putih dan berbentuk
bulat oval. Panjang telur 38 46 mm dengan lebar 30 35 mm. Telur
dierami segera setelah telur pertama diletakkan selama 21 28 hari.
Peletakan telur berlangsung dalam interval beberapa hari sehingga
penetasan telur tidak bersamaan. Hal ini menyebabkan terjadinya gradasi
ukuran tubuh anakan. Anakan dengan ukuran tubuh terbesar biasanya
memperoleh asupan makanan yang lebih banyak dari induknya.
Akibatnya, dapat terjadi tidak seluruh anakan yang menetas dalam satu
sarang pada periode yang sama akan bertahan hidup, kecuali makanan
banyak di sekitar sarang (Indriyati dan Isnaini, 2013).
Burung hantu meletakkan telur di atas plafon bangunan tempatnya
bersarang. Burung hantu mampu bertelur 2 3 kali dalam setahun.
Anakan menjadi dewasa setelah berumur + 8 bulan (Sipayung, 1990).
5
2.4. Sifat dan Perilaku
Burung hantu selalu membawa makanan (tikus) hasil perburuan ke
dalam sarang. Seringkali burung hantu hanya memakan bagian kepala
dan dada tikus. Hal ini dibuktikan dengan banyak ditemukan sisa-sisa
makanan berupa potongan bangkai tikus di dalam atau sekitar sarangnya.
Pada malam hari, sekelompok burung hantu sering berkumpul pada salah
satu tempat, seperti pada pohon tinggi di atas bangunan sambil berkicau.
Mula-mula kegiatan ini dilakukan oleh beberapa ekor saja, kemudian
disusul burung hantu lainnya untuk mendekati. Kegiatan ini biasanya
dilakukan sebelum atau selesai mencari makan. Sekitar 30 menit
kemudian, burung hantu akan kembali ke sarang. Suara yang sering
dikeluarkan oleh burung hantu adalah cicitan serak (parau). Panggilan
kawin (cumbuan) dari individu jantan berupa cicitan yang melengking dan
berulang-ulang. Pada saat kembali ke sarang, individu dewasa terkadang
mengeluarkan suara parau. Jika dikejutkan, burung hantu mengeluarkan
suara desisan, cicitan dan suara gemeretak keras yang dilakukan dengan
cara menggerak-gerakkan lidahnya (Indriyati dan Isnaini, 2013).
Burung hantu betina pada saat bertelur atau mengerami telurnya
selalu berada dalam sarangnya dengan posisi membelakangi cahaya
pada siang hari. Namun pada malam hari tetap mencari makan. Burung
hantu jantan selalu menunggu burung hantu betina (yang sedang bertelur
atau mengerami) tidak jauh dari sarang seperti pepohon tinggi sampai
anakan mulai belajar bisa terbang (sekitar dua bulan). Burung hantu tidak
akan berburu tikus di tempat lain apabila disekitar sarang masih cukup
banyak dan mudah mendapatkannya. Kawasan perburuan semakin
meluas sejalan dengan semakin berkurangnya populasi tikus di kawasan
perburuan sebelumnya, sehingga dalam jangka panjang populasi tikus
dapat terkendali dengan baik oleh keberadaan burung hantu. Waktu
terbaik melihat burung hantu adalah ketika matahari baru saja terbenam.
Tempat terbuka adalah tempat terbaik untuk mengamati burung hantu
(Indriyati dan Isnaini, 2013).
6
III. PENGEMBANGAN BURUNG HANTU Tyto alba javanica (G.mel)
Gambar 3. Sarang alami Tyto alba javanica pada plafon gedung sekolah
7
Gambar 4. Tanda-tanda keberadaan burung hantu Tyto alba javanica berupa
feces, pelet dan bulu pada sebuah bangunan kosong
Gambar 5. Sarang alami yang tidak aktif (tidak ditemukan kotoran dan sisa
makanan baru)
8
Gambar 7. Kontruksi rumah burung hantu (rubuha)
Gambar 8. Dua buah rubuha diatas pohon yang ditempati burung hantu
dengan jarak 10-15 meter dari sarang alami
9
Gambar 9. Rubuha dengan tiang bambu pada areal kebun kelapa sawit
dan persawahan
3.2. Kondisi awal kawasan tidak terdapat populasi burung hantu lokal
Pada kawasan yang tidak terdapat populasi burung hantu Tyto alba
javanica maka upaya yang perlu dilakukan adalah mengintroduksi
burung hantu sehingga diharapkan menjadi populasi awal di kawasan
pengembangan tersebut. Cara mengintroduksi Tyto alba adalah:
a. Dirikan kandang karantina sebagai tempat lokalisasi (adaptasi) dan
memelihara Tyto alba di lingkungan yang baru serta sebagai tempat
mensosialisasikan rubuha bagi Tyto alba.
b. Masukkan satu pasang (atau lebih) burung hantu berumur 2 3 bulan
ke dalam kandang karantina.
c. Lokalisasi Tyto alba di dalam rubuha yang ditempatkan di dalam
kandang karantina selama sekitar dua minggu. Selama proses
lokalisasi, pintu rubuha dalam keadaan tertutup dan Tyto alba diberi
makan berupa cincangan daging tikus sebanyak 4 6 ekor setiap
sore hari.
d. Setelah sekitar dua minggu pintu rubuha dapat dibuka, namun Tyto
alba masih dipelihara atau dilokalisasi di dalam kandang karantina
10
selama 2 3 minggu atau sampai Tyto alba benar-benar bersarang
pada rubuha. Tikus dalam keadaan hidup dapat dilepas ke dalam
kandang karantina sebagai makanan sekaligus melatih naluri burung
hantu Tyto alba dalam berburu tikus.
e. Setelah Tyto alba bersarang dalam rubuha, Tyto alba dapat dilepas
yaitu dengan memindahkan Tyto alba bersama rubuha yang
ditempatinya keluar kandang karantina. Memindahkan Tyto alba pada
kondisi bertelur atau telah berkembangbiak dalam rubuha adalah lebih
baik.
f. Segera berdirikan 4 5 unit rubuha di sekitar rubuha yang telah
ditempati. Induk Tyto alba akan mengusir anakan dari sarang pada
musim kawin atau musim bertelur berikutnya. Anakan inilah yang
diharapkan akan menempati rubuha yang telah disediakan.
11
mendirikan 4 5 unit rubuha untuk setiap pasang burung hantu
yang dilepaskan.
c. Penyebaran burung hantu sangat tergantung pada ketersediaan
sarang atau rubuha di areal pengembangan. Hal ini karena burung
hantu mempunyai sifat monoceus (berumah satu) dan tidak suka
tinggal bersama anakan yang sudah dewasa dalam satu
sarang/rubuha. Anakan yang sudah dewasa akan terbang mencari
pasangan dan menempati sarang atau rubuha baru. Rubuha di
lapangan tidak harus disebar, namun dapat dipusatkan pada satu
lokasi pengembangan. Diduga metode ini akan mempercepat
perkembangan populasi burung hantu karena sifat burung hantu
yang suka mengelompok. Disisi lain, pengawasan terhadap rubuha
juga lebih mudah dilakukan.
d. Apabila di suatu kawasan populasi burung hantu telah banyak dan
ingin diintroduksi ke daerah lain, maka perlu menyapih anakan
yang belum mampu terbang (berumur sekitar 2 bulan) dipelihara
dalam kandang karantina dan diberi makan dengan potongan
daging tikus.
e. Lakukan monitoring pada rubuha dan sarang alami secara rutin.
Proses penetasan telur tetap harus diawasi, karena telur yang
menetas lebih dahulu akan menjadi anakan yang lebih besar
dibanding telur yang menetas kemudian. Anakan yang lebih kecil
umumnya akan kalah bersaing dalam berebut makanan dan sering
ditemukan terjatuh dari sarang/rubuha.
f. Kemapanan burung hantu dalam suatu ekosistem sangat
tergantung pada ketersediaan habitat yang sesuai.
g. Sosialisasi menfaat burung hantu dalam mengendalikan hama tikus
di masyarakat.
h. Rumusan kesepakatan bersama untuk melindungi dan
melestarikan burung hantu yang dapat tertuang dalam peraturan
desa (perdes) atau setidak-tidaknya kesepakatan petani dalam
peraturan AD/ART kelompok tani.
12
REFERENSI
Siahaan, E.P., Ramli N., dan Silalahi, P., 2015. Pengembangan Burung
Hantu Tyto alba javanica (Gmel) Dalam Pengendalian Hama Tikus
Pada Tanaman Perkebunan. Balai Besar Perbenihan Dan Proteksi
Tanaman Perkebunan Medan, Medan.
13