Anda di halaman 1dari 5

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Tyto alba

Tyto alba pertama kali dideskripsikan oleh Giovanni Scopoli tahun 1769.

Nama alba berkaitan dengan warnanya yang putih. Tyto alba termasuk dalam

famili Tytonidae yang memiliki 25 genus yang terdiskripsi dan untuk species Tyto

yang sudah terdeskripsikan terdapat 17 jenis (Harjanto, 2016).

Klasifikasi serak jawa menurut ADW (2011) adalah sebagai berikut :

Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Subphylum Vertebrata, Kelas Aves, Ordo

Stringiformes, Famili Tytonidae, Genus Tyto, Spesies Tyto alba

Burung hantu sangat dikenal, tersebar diseluruh dunia. Ciri khasnya adalah

bermata besar. Burung yang bersifat nokturnal ini memiliki kepala besar dan

bulat, muka rata, dan mata mengawasi kedepan. Salah satu kelompok besar di

kelompok burung hantu ini adalah serak (MacKinnon, dkk., 2010).

Serak adalah kelompok burung hantu dengan muka berbentuk hati dan

sangat bulat serta mata berwarna gelap. Piringan muka berukuran lebar dan

berfungsi untuk membesarkan suara ke telinga. Bulu sayap lembut sehingga tidak

terdengar ketika terbang. Salah satu jenis dalam anggota serak ini adalah serak

jawa (MacKinnon, dkk., 2010).

Serak jawa yang dikenal dengan Tyto alba ini berukuran besar (34 cm) dan

dominan berwarna putih. Muka berwarna putih, berbentuk hati dan lebar. Tubuh

bagian atas berwarna kuning dan bercorak secara merata. Tubuh bagian bawah

berwarna putih dengan bintik bintik hitam secara keseluruhan. Iris mata serak

jawa berwarna coklat gelap dan paruh serta kaki berwarna kuning kotor

(MacKinnon, dkk., 2010). Debus (2009) memyatakan bobot serak jawa dewasa
450 – 600 gram dengan bentang sayap 107-110 cm. Panjang kaki 11,45 cm,

panjang tubuh 30,75 cm, diameter kaki 1,14 cm, dan panjang ekor 10,85 cm.

Ukuran tubuh antara jantan dan betina hampir serupa, namun biasanya betina

memiliki ukuran tubuh sedikit lebih besar dari pada jantan.

Secara umum, serak jawa ini tersebar luas di dunia. Di Sumatera, dapat

dijumpai pada dataran rendah hingga ketinggian 800 mdpl. Dengan kebiasaan

berupa bersarang dan menghabiskan waktu sepanjang siang hari bersembunyi di

dalam lubang yang gelap, baik di pohon, gua, karang, vegetasi yang rapat bahkan

pada bagian loteng atap bangunan. Serak jawa biasanya muncul pada sore hari

melewati daerah terbuka, terbang rendah dengan kepakan sayap tanpa suara

(MacKinnon, dkk., 2010). Tyto alba memiliki kemampuan memangsa tikus cukup

baik, mudah beradaptasi dengan lingkungan baru dan cepat berkembang biak.

Burung ini dapat bertelur 2–3 kali setahun. Sekali bertelur bisa mencapai 6-12

butir dengan masa mengerami 27-30 hari (Sukmawati, 2017)

Simatupang (2015) menyatakan bahwa Tyto alba umumnya bersifat

teritorial, kenyataan ini akan nampak pada saat musim berbiak. Mereka dengan

sekuat tenaga mempertahankan sarang dan teritori makanan dari individu lain atau

jenis burung lain yang menjadi pesaing untuk sumber daya yang sama.

2.2 Mangsa dan Pellet Tyto alba

Mangsa Tyto alba berupa mamalia kecil terutama yang berada ditanah

seperti tikus, jenis marsupial, kelinci dan lain-lain. Selain itu ditemukan juga

burung ini memangsa kelelawar, serangga berukuran besar bahkan burung-burung

yang lebih kecil. Namun mangsa spesifiknya adalah tikus (Debus, 2009). Hal ini

didukung dengan hasil penelitian Syaphon (2014) menunjukkan bahwa kotoran


burung hantu Tyto alba 99% adalah jenis tikus, sedangkan 1% lainnya serangga.

Tito Alba mampu mengkonsumsi tikus antara 3-5 ekor per hari dan mampu

berburu tikus melebihi jumlah yang dimakannya.

Tyto alba mulai berburu mangsanya setelah matahari terbenam, berburu

berikutnya sekitar 2 jam menjelang fajar namun jika sedang mengasuh anak

mereka akan berburu sepanjang malam. Kebiasaan berburu dimulai dengan

mengitari daerah perburuan sebelum menangkap mangsa di tanah. Tyto alba

mampu menangkap tikus dengan hanya mengandalkan pendengarannya dari jarak

500 m (Agustini, 2013).

Tyto alba tidak memiliki gigi, sehingga tidak dapat mengunyah makanan

seperti halnya mamalia. Tyto alba langsung menelan mangsa yang kecil seperti

kelelawar dan tikus secara utuh, sedangkan untuk mangsa yang besar Tyto alba

mencabik atau memotong-motong mangsa menjadi bagian yang lebih kecil

dengan paruhnya terlebih dahulu agar mudah dalam proses penelanan. Awalnya,

burung ini akan memotong leher tikus menggunakan paruhnya. Sasaran utama

yang menjadi santapan adalah kepala tikus yang akan ditelan bersama-sama kulit

serta bulunya. Bagian tubuh mangsa yang tidak bisa dicerna (tulang dan rambut)

dipadatkan menjadi pellet yang akan dimuntahkan (regurgitasi) sekitar 6 jam

setelah dicerna (Hidayat, 2014).

Saluran pencernaan Tyto alba meliputi paruh, rongga mulut, esofagus,

proventrikulus, gizzard, usus halus, usus besar dan kloaka. Burung hantu tidak

memiliki tembolok untuk menampung sementara makanan, sehingga makanan

yang masuk akan langsung menuju lambung dan diproses secara enzimatis. Proses
pencernaan pada Tyto alba yaitu tetap mempertahankan makanan yang masuk.

Aktifitas kontraksi dan relaksasi akan menyebabkan makanan tercerna secara

mekanik. Hasil pencernaan makanan akan diteruskan menuju usus halus melalui

adanya kontraksi tadi sehingga nutrisi dari makanan dapat diserap di usus halus,

sedangkan material yang tidak tercerna seperti tulang, bulu atau rambut, serta

kuku, akan dikeluarkan kembali menjadi pellet (Hidayat, 2014).

Pellet akan dikeluarkan jika proses pencernaan telah selesai dan nutrisi

yang terkandung dalam makanan tersebut sudah diserap. Pada saat akan

mengeluarkan pellet, Tyto alba memperlihatkan perilaku yang khas, seperti leher

ditekuk sampai paruh mendekati dada, lalu leher diregangkan sampai kepala

menengadah ke atas. Proses ini dilakukan berkali-kali sambil menutup kedua mata

sampai pellet keluar melalui rongga mulut. Tyto alba tidak akan melakukan

aktifitas makan lagi jika pellet belum diregurgitasi (Hidayat, 2014)

Pellet merupakan massa padat berbentuk bulat lonjong yang terbentuk dari

material yang tidak dapat dicerna. Pellet Tyto alba memiliki ukuran panjang

sekitar 2-3 cm dan lebar 1-2 cm. Tyto alba betina menggunakan pellet untuk lantai

sebagai tempat bertelur dalam sarang yang ditempatinya. (Ramsden et al. 2010).

Ada 4 spesies tikus yang sering ditemukan di areal kelapa sawit, yaitu

tikus belukar (Rattus tiomanicus), tikus sawah (Rattus argentiventer), tikus

padang (Rattus exulans) dan tikus rumah (Rattus diardi). Tapi tikus belukar

(Rattus tiomanicus) merupakan jenis tikus yang paling dominan dijumpai pada

hampir semua perkebunan kelapa sawit (Adi, 2015).

Keuntungan mengendalikan tikus dengan burung hantu, yaitu :

a) mampu menekan populasi tikus secara efektif,


b) tidak berdampak negatif terhadap lingkungan,

c) tidak memerlukan biaya dan tenaga yang besar,

d) meningkatkan efisiensi waktu petani dan dapat dimanfaatkan oleh beberapa

petani (Imanadi, 2012). Dengan melihat beberapa keuntungan tersebut, burung

hantu dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengendalikan hama tikus.

Anda mungkin juga menyukai