Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang

Ular merupakan salah satu satwa yang memiliki jumlah jenis yang tinggi. Menurut Halliday
dan Adler (2000), ular terdiri dari 2.389 jenis dan 11 famili yang tersebar pada berbagai
habitat. Berdasarkan Iskandar dan Colijn (2001), keanekaragaman jenis ular yang ada di
Asia Tenggara dan Papua Nugini adalah sebanyak 658 jenis dari 11 famili. Pada be
berapa pulau di Indonesia, tercatat

sedikitnya 154 jenis dari 10 famili di Kalimantan

(Stuebing dan Inger, 1999), 127 jenis dari 9 famili di Sumatera (Patrick dan Vogel, 1996),
dan 52 jenis dari 13 famili di Sulawesi (de Lang dan Vogel, 2005).
Meskipun catatan mengenai jenis ular di Indonesia telah tersedia, namun data tersebut
masih tergolong umum karena hanya terbatas pada wilayah yang relatif luas. Data yang
lebih spesifik mengenai jenis dan penyebaran ular pada wilayah-wilayah
terutama

pada

kawasan-kawasan

konservasi

di

tertentu,

Indonesia masih sangat kurang.

Padahal ular memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem kawasan
secara alami, baik sebagai predator(pemangsa) maupun sebagai prey(mangsa).
Di alam, ular berperan sebagai pengendali hama pertanian (tikus atauhewan pengerat
lainnya) yang sangat efektif dan ular juga merupakan mangsa dari jenis satwa lain yang
memiliki trophic level yang lebih tinggi (Goin et al., 1978; OShea, 1996; Link, 2005). Pada
makalah ini akan di bahas secara khusus tentang fauna eksotik yang merupakan salah satu
kekayaan dari provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu Sanca Timor (Phyton Timorensis.
1.2.

Tujuan

Mempelajari dan Mengidentifikasi salah satu jenis fauna langka yang berada di Nusa
Tenggara Timur yaitu Sanca Timor (Phyton Timorensis).

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bio-ekologi Ular
Ular termasuk kedalam salah satu jenis herpetofauna yang memiliki habitat dan
penyebaran sangat luas. Ular dapat ditemukan diseluruh dunia, kecuali di daerah kutub. Ular
dapat digolongkan kedalam beberapa kelompok, antara lain ular terrestrial yang hidup di
tanah/daratan, ular akuatik dan semi akuatik yang hidup di daerah perairan, ular fossorial yang
hidup di dalam tanah, dan ular arboreal yang hidup di atas pohon.
Umumnya ular dapat ditemukan pada daerah yang memiliki suhu, kelembaban, cahaya
matahari yang stabil, serta adanya kelimpahan makanan . Ular dapat berhabitat dekat dengan
lingkungan manusia, seperti di halaman rumah, kebun, sawah, ladang, hutan, sungai, rawa-rawa,
gua, pantai, dan laut .
Dapat ditemukannya ular di wilayah pemukiman manusia dikarenakan pada wilayah
tersebut banyak ditemukan tikus (mangsa ular) yang berhabitat di sawah, kebun, ladang, saluran
air, dan semak-semak. Hal ini sesuai dengan kondisi pada Dusun Kopendukuh yang mayoritas
mata pencaharian masyarakatnya adalah berkebun. Dekatnya habitat ular dengan wilayah
pemukiman ini menyebabkan terjadinya interaksi antara manusia dan ular yang akhirnya dapat
menimbulkan sebuah keyakinan dan kebiasaan bersikap terhadap ular yang biasanya kurang
baik. Hal ini apabila terus berlangsung dapat berkontribusi dalam mengurangi jumlah ular.
Di sisi lain ular berperan penting bagi ekosistem yaitu sebagai predator dan mangsa
dalam rantai makanan. Ular merupakan predator alami tikus, serangga, dan laba-laba sehingga
dapat menjaga populasi hama tetap terkendali. Ular juga merupakan sumber makanan (mangsa)
bagi mamalia, burung-burung predator, seperti elang dan burung hantu, dan reptil lainnya. Peran
ular lainnya yaitu bisa ular dapat dimanfaatkan dalam bidang medis . Atas dasar hal tersebut,
perlu diketahui spesies ular yang hidup di Dusun Kopendukuh dan persepsi masyarakat terhadap
ular secara umum.

2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Ular


Klasifikasi ular menurut Goin et al. (1978) dan Gow (1989) adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Animalia

Phylum

: Chordata

Sub Phylum : Vertebrata


Class

: Reptilia

Sub Class

: Lepidosauria

Order

: Squamata

Sub Order

: Serpentes

Infra Order : Scolecophidia


Henophidia
Caenophidia
Ular tidak memiliki kaki, lubang telinga, dan kandung kemih (urinary bladder).
Kelopak mata pada ular tidak dapat digerakkan. Seluruh tubuhnya tertutup oleh sisik
transparanyang dapat berganti pada jangka waktu tertentu. Ular mendeteksi mangsa dengan
menggunakan sensor kimia, disebut Jacobson organ, yang terletak pada bagian dalam rahang
atas dengan memanfaatkan lidahnya yang bercabang untuk menangkap partikel-partikel kimia
di udara dan getaran yang ditimbulkan oleh mangsa, kemudian dimasukkan ke dalam
organ tersebut secara cepat dan berulang.
Ular

tidak

memiliki

laryns sehingga tidak dapat bersuara, namun

ular dapat mengeluarkan bunyi mendesis. Terdapat organ internal yang berpasangan dan
tersusun bersebelahan secara memanjang. Paru-paru berjumlah sepasang, namun hanya
satu yang berkembang. Paru-paru kiri berukuran sangat kecil sedangkan paru-paru kanan
berkembang

dengan

(Goin et al., 1978).

bentuk

memanjang

dan

digunakan untuk pernapasan yang efektif

Ular memiliki ruas tulang belakang lentur yang terdiri dari sekitar 400 vertebra.
Setiap vertebra memiliki sepasang tulang rusuk, kecuali vertebra ekor. Bagian bawah
tulang rusuk ular tidak menyambung sehingga dapat meregang ketika ular menelan mangsa
yang besar (Setford, 2005).
Ular dapat digolongkan berdasarkan tipe taring bisa yang dimilikinya. Ada empat tipe
taring bisa ular, yaitu Aglypha, Ophistoglypha, Proteroglypha, dan Solenoglypha (Suhono,
1986; Zug, 1993; Supriatna, 1995; Shine, 1999; Setford, 2005).
1. Aglypha
Merupakan jenis ular yang tidak memiliki taring bisa. Ular dengan tipe taring bisa
ini tidak berbahaya jika menggigit. Namun beberapa jenis ular dengan tipe seperti ini memiliki
ukuran tubuh yang sangat besar. Ular yang termasuk tipe ini, antara lain Python sp., Elaphe sp.,
dan Morelia sp.
2. Ophistoglypha
Merupakan jenis ular yang memiliki taring bisa pada bagian belakang rahang atas.
Bisa yang yang terdapat pada jenis ular ini tergolong bisa menengah dan tidak berbahaya bagi
manusia. Ular yang termasuk tipe ini, antara lain Ahaetulla sp., Boigasp., dan Enhydrissp.
3. Proteroglypha
Merupakan jenis ular yang memiliki taring bisa pada bagian depan rahang atas. Ular
dengan tipe taring bisa ini termasuk ular yang sangat berbahaya. Bisa yang terkandung
umumnya berjenis neurotoxin yang menyerang pusat syaraf pernafasan. Jika tidak segera
dilakukan penanganan lebih lanjut setelah digigit ular ini, maka akan mengakibatkan
kematian pada korban yang digigit. Ular yang termasuk

tipe

ini,

antara

lain

Naja sp.,

Bungarus sp., Laticauda sp., dan Ophiophagus Hannah.


4. Solenoglypha
Merupakan jenis ular yang memiliki taring bisa berbentuk melengkung yang
panjang pada bagian depan rahang atas dan dapat dilipat ke dalam sejajar dengan rahang.
Ular ini termasuk jenis ular yang sangat berbahaya. Gigitannya dapat

mengakibatkan

kematian,
terkandung

seperti
berjenis

pada

ular

haemotoxin

dengan
yang

tipe

taring

menyerang

proteroglypha.

Bisa

yang

30 jaringan darah. Umumnya

kelompok ular dengan tipe taring seperti ini memiliki kepala berbentuk segitiga. Ular
yang termasuk tipe ini, antara lain Trimeresurussp., Calloselasma rhodostoma, dan Daboia
rusellii
2.1.2 Habitat dan Penyebaran
Menurut Odum (1971), habitat merupakan tempat suatu individu hidup, sedangkan
menurut Alikodra (2002) habitat merupakan suatu kesatuan fisik maupun

biotik

yang

digunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwaliar. Ular termasuk kedalam
salah satu jenis herpetofauna yang memiliki habitat dan penyebaran sangat luas. Ular
dapat ditemukan di seluruh dunia, kecuali di daerah kutub. Secara garis besar, ular dapat
digolongkan kedalam beberapa kelompok, antara lain ular terrestrial yang hidup di
tanah/daratan, ular akuatik dan semi akuatik yang hidup di daerah perairan, ular fossorial yang
hidup di dalam tanah, dan ular arboreal yang hidup di atas pohon (Goin et al., 1978;
Mattison, 1992; Halliday dan Adler, 2000). Umumnya ular dapat ditemukan pada daerah
yang memiliki suhu, kelembaban, serta cahaya matahari yang stabil (Mattison, 1992;
Putegnat, 2006).
Ular jarang ditemukan pada tempat-tempat yang dingin dan memiliki temperatur
yang ekstrim, namun jenis Agkistrodon himalayanus pernah ditemukan pada ketinggian
4900 m dpl di daerah pegunungan yang merupakan habitat yang tidak ideal bagi ular dari jenis
lain (Mattison, 1992). Menurut Matthews

et al. (2002), faktor penting lainnya yang

mempengaruhi penyebaran ular pada suatu habitat adalah ketersediaan satwa amfibi
sebagai mangsanya. Selain itu, ketinggian tempat juga mempengaruhi penyebaran ular,
terutama dalam hal keanekaragaman jenis dan kelimpahannya (Hofer et al., 2000; Endarwin,
2006)
Penyebaran beberapa jenis ular akuatik umumnya dipengaruhi oleh adanya asosiasi yang
sangat erat dengan habitatnya. Beberapa jenis ular laut berasosiasi sangat erat dengan
habitat perairan dasar laut. Adapula yang berasosiasi dengan terumbu karang, seperti

Aipysurus laevis dan Emydocephalus annulatus. Jenis lainnya hidup berasosiasi dengan
habitat estuarin (Lukoschek et al., 2007).
2.2. Ular Sanca (Python sp.)
Ular adalah reptilia yang kehilangan apendiks, sternum, kelopak mata, telinga luar dan
kandung kemih. Ular memiliki tengkorak yang lemah, karena bagian-bagian tulangnya
dapat bergerak satu sama lain. Gigi tumbuh pada rahang dari tulang langit-langit mulut.
Posisi gigi-gigi itu mengarah ke belakang untuk menahan mangsanya. Ular tidak
mengunyah atau merobek mangsanya, tetapi menelannya secara utuh. Mangsanya mungkin
lebih besar dari penampang tubuhnya. Hal ini mungkin karena:
(a) Pertautan ujung dua mandibula oleh ligamentum yang elastis.
(b) Tulang kuadrat bebas dari tulang kepala dan mandibula.
(c) Tulang langit-langit bergerak bebas. Karena hal tersebut, mulut dapat terbuka lebar.
Penelanan mangsa dibantu oleh gigi-gigi yang mengarah ke belakang.
(d) Tidak ada tulang dada (sternum) dan rusuk-rusuk bebas, sehingga dada dapat dilatasi.
(e) Kulit lunak dan elastis.
(f) Esofagus dan lambung dapat melebar (Brotowidjoyo, 1989).
Pythonidae merupakan salah satu keluarga ular yang mencakup ular besar seperti
sanca

batik

(Python

reticulatus)

dan

ular

sanca

bodo

(Python molurus).

ular
Satwa

buruan ular sanca sangat bervariasi dari mamalia dan unggas/aves. Berbeda dengan
ular-ular yang mampu membunuh mangsanya dengan bisa, ular sanca membelit untuk
melumpuhkan mangsanya (Matswapati, 2009). Feses yang dikeluarkan oleh ular memiliki
ciri diantaranya, bentuk bolus utuh memanjang, mengandung rambut/bulu dan tulang
dimana kondisi tulang berupa pasta karena tercerna oleh enzim pencernaan yang kuat dan bau
pada feses menyengat (Raharyono & Paripurno, 2001).
Pengenalan jenis-jenis ular dan pengetahuan status perlindungannya penting bagi polhut
BKSDA dan petugas terkait lainnya, sebagai SOP penanganan perkara jika terjadi pelanggaran

dan

masyarakat yang ingin memanfaatkannya. Syarat keabsahan pemanfaatan Jenis ular

dilindungi undang-undang berbeda dengan jenis ular tidak dilindungi tetapi terdapat dalam
Apendix CITES atau jenis ular tidak dilindungi dan tidak terdapat dalam Apendix CITES
demikian pula sanksinya apabila terdapat pelanggaran.
Beberapa kali BKSDA Lampung diminta mengidentifikasi satwa liar jenis ular dan status
perlindungannya oleh kepolisian dan karantina hewan untuk memastikan legalitas peredarannya,
secara pribadi saya ucapkan terimakasih, penghargaan dan salut pada kawan-kawan dikepolisian
dan karantina yang menaruh perhatian terhadap pelestarian satwa liar.
Ada 3 satwa liar jenis ular dilindungi undang-undang sebagaimana disebut dalam
lampiran PP No. 7 tahun 1999 yaitu:
1. Ular Sanca Timor (Phyton Timorensis)

Sanca Timor' adalah spesies ular sanca dari genus Malayopython yang endemik di daerah
Nusa Tenggara Timur. Ular ini satu kerabat dengan Sanca kembang. Belum ada upajenis yang
diketahui.
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan :

Animalia

Filum

Chordata

Upafilum :

Vertebrata

Kelas

Reptilia

Ordo

Squamata

Upaordo :

Serpentes

Famili

Pythonidae

Genus

Malayopython

Spesies :

M. timoriensis

Nama binomial
Malayopython timoriensis
Pengenalan
Ular ini mencapai panjang hingga 7 kaki (2,13 meter). Hidup diatas pohon dan aktif pada
siang dan malam hari. Seperti sanca lain pada umumnya, ular ini memiliki organ pendeteksi
panas di sela-sela bibirnya, sehingga ular ini bisa mengetahui keberadaan mangsanya di
kegelapan. Makanan utamanya ialah mamalia kecil dan burung. Berkembang biak dengan
bertelur (Ovipar). Ular ini sering terlihat berjemur di batang pohon yang terkena sinar matahari
atau di atas batu. Makanan ular jenis ini adalah tikus kelinci rusa dan lain-lain.
Ciri Khas
Sisik berwarna kecoklatan, bercak-bercak coklat tua kehitaman dengan tepi tidak
berurutan, dibagian punggung, ukuran dewasa tidak pernah mencapai panjang lebih dari 180 cm
Agihan
Ular ini endemik di Indonesia, tersebar di daerah NTT: Flores, Timor, Lomblen, dan
kemungkinan juga pulau-pulau di sekitarnya. Tipe spesimen yang diteliti dan diberikan adalah
"Kupang, NTT".

Catatan taksonomi
Sebelumnya, ular ini (dan ular sanca kembang) termasuk ke dalam genus Python.
Namun, setalah dilakukan studi DNA dan kromosom, ular-ular ini dikelompokkan ke dalam
genus baru, yakni Malayopython.
Selain itu, terdapat 2 jenis ular sanca yang sangat di lindungi di Indonesia yaitu
2. Ular Sanca Bodo (Python molurus)
Ular sanca bodo dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Asiatic Rock Python, Burmese
Python, atau Tiger Python. Sedangkan dalam bahasa latin disebut Python molurus (Linnaeus,
1758) Ular sanca bodo mempunyai warna dasar kulitnya coklat muda hingga coklat tua, ada
pula yang kuning atau krem, dengan belang-belang hitam atau coklat tua. Corak belang pada
sanca bodo berupa jaringan dengan mata jaring hampir berbentuk segi empat. Ular sanca bodo
termasuk ular besar (Boidae) karena mampu mencapai panjang 10 meter. Di Indonesia, ular
sanca bodo

dapat ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sumbawa, hingga sebagian

Sulawesi.
Klasifikasi ilmiah ular sanca bodo
Kerajaan: Animalia;
Filum

: Chordata;

Kelas

: Reptilia;

Ordo

: Squamata;

Famili

: Pythonidae;

Genus

: Python;

Spesies

: Python molurus;

Subspesies: Python molurus molurus dan Python molurus bivittatus (Linnaeus, 1758)

3. Ular Sanca Hiaju (Chondropython viridis)

Ular Sanca Hijau merupakan hewan yang sebagian besar kegiatannya pada pepohonan
(arboreal), dan aktif pada malam hari (nokturnal). Ular ini mempunyai ciri berwarna kuning atau
merah kecoklatan pada saat muda, dan berwarna hijau saat dewasa dan terkadang terdapat strip
kuning atau putih pada tubuhnya, pupil mata vertikal, kepala yang tampak besar dengan leher
yang semakin mengecil.
Jika kita membayangkan namanya adalah ular sanca atau python tentu kita membayangkan
bahwa ular ini adalah ularyang bertubuh besar lebih besar daripada ular pada umumnya namun
tidak demikian dengan ular sanca hijau ular ini hanya mencapai panjanng kisaran 2 meteran.
Klasifikasi ilmiah sanca hijau sebaga berikut:
Phyllum

: Chordata

Subphyllum: Vertebrata
Class

: Reptilia

Subclass

: Lepidosauria

Ordo

: Squamata

Subordo: Serpentes
Famili

: Boidae

Subfamili: Phytonidae
Genus

: Morelia

Species

: Morelia viridis, (Gow 1989)

BAB III
PENUTUP
3.1.

Kesimpulan

Ular termasuk kedalam salah satu jenis herpetofauna yang memiliki habitat dan penyebaran
sangat luas. Ular dapat ditemukan diseluruh dunia, kecuali di daerah kutub. Ular dapat
digolongkan kedalam beberapa kelompok, antara lain ular terrestrial yang hidup di tanah/daratan,
ular akuatik dan semi akuatik yang hidup di daerah perairan, ular fossorial yang hidup di dalam
tanah, dan ular arboreal yang hidup di atas pohon. Ular dapat digolongkan berdasarkan tipe
taring bisa yang dimilikinya. Ada empat tipe taring bisa ular, yaitu Aglypha, Ophistoglypha,
Proteroglypha, dan Solenoglypha . ular sanca atau Pyton Timor termasuk ke dalam golongan
Aglypha. Sanca Timor' adalah spesies ular sanca dari genus Malayopython yang endemik di
daerah Nusa Tenggara Timur
3.2.

Saran

Makalah ini masih sangat kurang, untuk itu saya mohon partisipasi dari setiap orang yang
membaca makalah ini untuk kita sama-sama melengkapi dan mempelajari tentang Pyton Timor
yang merupakan faua ekstotik yang berada di Nusa Tenggara Timur.

DAFTAR PUSTAKA
McDiarmid RW, Campbell JA, Tour T. 1999. Snake Species of the World: A Taxonomic and
Geographic Reference, vol. 1. Herpetologists' League. 511 pp. ISBN 1-893777-00-6
(series). ISBN 1-893777-01-4 (volume).
Rawlings LH, Rabosky DL, Donnellan SC, Hutchinson MN. 2008. Python phylogenetics:
inference from morphology and mitchondrial DNA. Biological Journal of the Linnean
Society 93:603-619.
Timor python @ Reptile Database
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan.
Auliya M. 2002. Rediscovery of the Indochinese Rat Snake Ptyas korros (Schlegel, 1837)
(Serpentes: Colubridae) in Borneo. The Raffles Bulletin of Zoology 2002 50(1): 197-198
Boeadi, Shine R, Sugardjito J, Amir M, Sinaga MH. 1998. Biology of the Commerciallyharvested Rat Snake (Ptyas mucosus) and Cobra (Naja sputatrix) in Central Java, p. 99104 dalam Erdelen, W. (editor).
Conservation, Trade and Sustainable Use of Lizards and Snakes in Indonesia. Mertensiella 9.
Deutsche Gesellschaft fr Herpetologie und Terrarienkunde e. V., Rheinbach, Germany.
144 p.
Brower JE, Zar JH. 1977. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Dubugue, Iowa:
Wn. C. Brown Company Publisher.
Burrough PA. 1986. Principles of Geographical Information System for Land Resources
Assesment. Oxford: Clarendon Press.
Claasen D van R. 1992. The Utilisation of Remote Sensing in the South Pasific.
Canberr:.ACIAR Technical Report No. 19.
Cox MJ, van Dijk PP, Nabhitabhata J, Thirakhupt K. 1998. A Photographic Guide to Snakes and

Other Reptiles of Thailand and Southeast Asia. Bangkok: Asia Books.


Das I. 1995. Amphibians and Reptiles Recorded at Batu Apoi, A Lowland Dipterocarp Forest in
Brunei Darussalam. The Raffles Bulletin of Zoology 1995 43(1): 157-180.
Goin CJ, Goin OB, Zug ZR. 1978. Introduction to Herpetology. Third Editions. San Fransisco:
W. H. Freeman and Company.
Gow G. 1989. The Complete Guide to Australian Snake. Australia: Angus and Robertson
Publisher.
Halliday T, Adler K. 2000. The Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. New York: Facts on
File Inc.
Harvey MB, Barker DG, Ammerman LK, Chippindale PT. 2000. Systematics of Pythons of the
Morelia amethistina Complex (Serpentes: Boidae) with the Description of Three New
Species. Herpetological Monographs 14: 139-185.
Heyer WR., Donnelly MA, Mc Diarmid, Hayek LC, Foster MS. 1994. Measuring and
Monitoring Biological Diversity: Standard Methods for Amphibians. Washington:
Smithsonian Institution Press.
HIMAKOVA IPB, TBI Indonesia. 2005. Laporan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2005:
Studi Ilmiah Hubungan Keanekaragaman Hayati denganMasyarakat Adat sebagai Dasar
Pengembangan dan PengelolaanEkowisata. Jilid I. Kerjasama Himpunan Mahasiswa
KonservasiSumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) IPB dengan
TropenbosInternational Indonesia (TBI Indonesia). Taman Nasional Betung Kerihun,
Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Juli 2005.
Hofer U, Bersier LF, Borcard D. 2000. Ecotones and Gradient as Determinants of Herpetofaunal
Community Structure in the Primary Forest of Mount Kupe, Santosa Y. 1995. Teknik
Pengukuran Keanekaragaman Satwaliar. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan,
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Setford S. 2005. Seri Intisari Ilmu: Ular dan Reptilia Lain. Terjemahan. Jakarta: Penerbit
Erlangga.

Sheil D, Meijaard E. 2005. How to Reconcile Wildlife Conservation and Production Forestry in
Indonesian Borneo. Yokohama: ITTO Tropical Forest Up Date Vol. 15 No. 2.

Shine R. 1999. Australian Snake: A Natural History. Sydney: New Holland. Shine R,
Ambariyanto, Harlow PS, Mumpuni. 1999a. Ecological Attributes of Two Commerciallyharvested Python Species in Northern Sumatra. Journal of Herpetology 1999 33(2): 249257.____ . 1999b. Reticulated Pythons in Sumatra:Biology, Harvesting and
Sustainability. Biological Conservation 1999 87(3): 349-357.
Socha JJ, CA Sidor. 2005. Chrysopelea ornata, C. paradisi (Flying Snakes). Behaviour.
Herpetological Review 2005 36(2):190-191.
Soerianegara I, Indrawan A. 1987. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor:Laboratorium Ekologi
Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Stuebing R. 1994. A New Species of Cylindrophis (Serpentes: Cylindrophiidae) from Sarawak,
Western Borneo. Raffles Bulletin of Zoology 1994 42(4): 967-

Anda mungkin juga menyukai