Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

ILMU PENYAKIT DALAM

(Gangguan Musculoskeletal Pada Hewan )

OLEH :

PUTRI FLORENSIA LUDJI PAU

1409010048

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Komponen penting dalam sistem muskuloskeletal meliputi otot dan perlekatannya, tulang
dan sendi. Fungsi utama sistem ini adalah mendukung tubuh dalam berbagai cara untuk
menampilkan gerakan dan postur yang normal. Selain dari pada itu struktur tulang tertentu juga
terlibat dalam beberapa fungsi tertentu, seperti respirasi, mastikasi, urinasi dan defekasi.

Beberapa penyakit otot, tulang atau sendi akan memiliki gejala klinis utama berupa lokomosi
yang abnormal (pincang) dan atau postur yang mengalami perubahan. Gangguan lokomosi akan
ditemukan pada saat hewan bergerak atas kemauan sendiri atau bilamana hewan tersebut diberi
perlakuan dengan suatu latihan. Gangguan fungsi lokomosi dapat muncul akibat adanya penyakit
pada sistem syaraf dan juga penyakit-penyakit lain yang tidak mengenai alat gerak. Penyakit
sistemik yang sangat berat sering menimbulkan kelemahan otot, tremor, inkoordinasi akibat
terjadinya toksemia. Demikian pula halnya, perubahan postur tubuh berupa kyphosis dapat
terjadi akibat adanya nefritis akut.

Pada bab ini akan dibicarakan tentang pemeriksaan klinis terhadap otot, tulang, persendian
dan foot pada hewan besar dan kecil. Bahan ajar ini akan disajikan selama 2 jam tatap muka.
Tujuan instruksional bab ini adalah bahwa setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa mampu
mengerjakan pemeriksaan klinis terhadap otot, tulang, sendi dan teracak pada pasien.

1.2. Tujuan
Mengidentifikasi dan mempelajari tentang gangguan muscuskeletal pada hewan dan
penyakit strategis yang ada di Indonesia
BAB II

PEMBAHASAN

OTOT

Otot-otot bagian superfisial diperiksa dengan methoda inspeksi dan palpasi. Fungsi dan
tonus otot dapat dievaluasi dengan methoda tersebut. Untuk keperluan pemeriksaan otot
sebaiknya juga dilakukan observasi pada saat hewan menjalani latihan. Suatu perubahan ukuran
lokal pada otot secara mudah dapat ditemukan bilamana dapat dilakukan pembandingan suatu
atau sekelompok otot pada satu sisi dengan sisi tubuh yang lain. Penurunan ukuran suatu otot
(atrophy) dapat terjadi akibat penggunaan otot yang terbatas, seperti pada kasus kelumpuhan
syaraf radial yang persisten, rasa sakit berlebihan pada tulang dan sendi yang menimbulkan
keterbatasan gerakan, dan pada kasus ankylosis. Selain dari pada itu, kerusakan pada otot dapat
pula dievaluasi dengan pemeriksaan ekskresi kreatin dalam urin, pemeriksaan kadar serum
glutamic oxalacetic transaminase (SGOT) dan pemeriksaan histopatologik.

Peningkatan tonus otot mungkin bersifat kontinyu (spasmus tonik) sebagaimana pada
kasus tetanus atau bersifat intermittent (spasmus klonik) seperti pada kasus keracunan
strychnine. Peningkatan tonus ini dapat pula berkembang menjadi sangat berat dan bersifat
menyeluruh sehingga hewan yang menderita akan mengalami ambruk rebah lateral dan
opisthotonus (ekor dan kepala yang mengarah keatas, punggung mengalami depresi dan kaki
mengalami ekstensi). Bilamana spasmus otot meningkat hebat, dapat ditemukan adanya otot
yang kaku dan keras pada saat palpasi dan otot-otot superfisial akan dapat dilihat dengan jelas
secara individual. Spasmus otot juga dapat menimbulkan adanya eksitasi dan peningkatan
respirasi. Tremor, suatu kontraksi otot volunter yang berulang-ulang, mudah diamati dan dapat
diketahui secara palpasi. Gangguan dapat terjadi akibat adanya dehidrasi, ketidakseimbangan
elektrolit tubuh dan gangguan fungsi syaraf.

Berbagai perubahan patologik/penyakit yang mengenai otot antara lain myopathy,


myositis, muscular hypertrophy dan berbagai defek perkembangan.
TULANG

Pemeriksaan klinis terhadap tulang dapat dilakukan dengan cara inspeksi dan palpasi
pada bagian tubuh tempat tulang muncul ke superfisial tubuh dan tidak tertutup oleh massa otot.
Beberapa penyakit tulang dapat menyebabkan hewan memiliki postur tubuh dan cara berjalan
yang khas dan perubahan-perubahan pada tulang yang dapat ditemukan pada saat palpasi seperti
abnormalitas konsistensi, bentuk dan sensitifitas. Dengan inspeksi dan palpasi dapat pula diambil
suatu kesimpulan tentang penyakit tulang yang terjadi apakah bersifat lokal pada suatu tulang
atau bersifat umum/menyeluruh. Selain dari pada itu, pemeriksaan radiologik terhadap tulang
dapat pula memberikan informasi yang sangat bernilai karena pemeriksaan ini dapat
mengungkap struktur tulang yang diperiksa.

Beberapa perubahan patologik/penyakit tulang yang sering ditemukan pada hewan antara
lain berupa defek perkembangan tulang, degenerasi tulang yang berkaitan dengan faktor nutrisi,
agen toksik dan keturunan, penyakit keradangan dan penyakit proliferatif.

2.1. Atropic Rhinitis Pada Babi

2.1.1. Pendahuluan

Atropic rhinitis adalah penyakit menular pada babi ditandai dengan adanya sekresi
hidung yang bersifat purulen, disertai perubahan bentuk hidung berupa moncong hidung
membengkok, atrofi tulang turbinatum dan penurunan produktifitas. Atropic rhinitis
kemungkinan telah tersebar diseluruh dunia. Amerika serikat dan beberapa negara di Eropa
menderita kerugian cukup besar oleh penyakit ini.

2.1.2. Etiologi

Pada bentuk parah dan progresif, penyebab penyakit ini adalah Pasteurella multocida
yang toksigenetik disertai atau tidak disertai oleh Bordetella bronchoseptica. Bentuk ringan
sampai sedang, disebabkan oleh Bordetella bronchoseptica saja, atau disertai oleh fl ora normal
pada hidung.
Bordetella bronchoseptica adalah bakteri berbentuk batang atau coccobacillus, Gram
negatif. Bakteri ini motil, tidak membentuk spora dan bersifat aerob. Secara eksperimental telah
dibuktikan bahwa B.bronchoseptica sendiri dapat menimbulkan atrofi turbinatum bila ditularkan
secara intra nasal pada anak babi Specifi c Pathogenic Free (SPF) umur di bawah tiga minggu.
Pasteurella multocida adalah bakteri yang pada awalnya dianggap sebagai bakteri penyebab
kedua pada atropic rhinitis, tetapi belakangan diketahui P.multocida merupakan penyebab utama
atropic rhinitis pada babi.

2.1.3. Spesies rentan

Atropic rhinitis merupakan penyakit khas pada babi dari berbagai umur, namun demikian
gejala klinis lebih banyak ditemukan pada babi muda.

2.1.4. Pengaruh lingkungan

Keparahan penyakit erat hubungannya dengan cara pengelolaan intensif misalnya


pemeliharaan babi dalam jumlah banyak dalam ruangan terbatas (over stocking), hygiene
kandang dan Iingkungannya yang tidak memadai. Peningkatan konsentrasi amonia dalam ruang
kandang yang dipergunakan untuk penggemukan babi, juga sering menyebabkan peningkatan
kasus atropic rhinitis.

2.1.5. Cara penularan

Penularan terjadi secara aerosol, dari babi tertular ke babi sehat, melalui droplet yang
dikeluarkan babi tertular saat bersin. Penularan dapat terjadi pada semua umur dari beberapa hari
atau minggu. Induk babi yang tertular secara kronis akan menularkan penyakit pada anak-anak
babi secara kontak langsung lewat hidung mereka.

2.1.6. Gejala Klinis

Atropic rhinitis mempunyai 2 manifestasi klinis yaitu bentuk ringan sampai sedang, serta
bentuk progresif dan parah. Gejala Klinis yang mula- mula terlihat adalah babi terlihat bersin-
bersin kemudian diikuti oleh eksudat bersifat mukus keluar dari lubang hidung. Gejala pertama
ini sudah dapat dilihat pada anak babi umur 7 hari. Apabila penyakit menjadi Iebih parah dapat
ditemukan lakrimasi dan sekresi hidung berubah menjadi mukopurulen. Pada tahap ini kerusakan
tulang turbinatum terjadi. Kadang-kadang sekresi hidung disertai bercak-bercak darah, sebagai
akibat kerusakan pada tulang turbinatum. Apabila kerusakan tulang turbinatum berlanjut, maka
panjang dan diameter lubang hidung menjadi berkurang dan terlihat dari luar sebagai tulang
hidung memendek dan melengkung. Kelainan ini menyebabkan pertumbuhan anak babi
terhambat karena kesulitan makan.

2.1.7. Patologi

Apabila dari luar batang hidung sudah terlihat membengkok, maka kelainan tulang
turbinatum mudah diduga. Dalam hal kelainan bentuk batang hidung tidak terlihat, maka perlu
dilakukan pemotongan memanjang (cross section) rongga hidung setinggi gigi premoral kedua.
Patologi yang mencolok adalah hipoplasia turbinatum nasalis. Dalam mukosa lubang hidung
ditemukan eksudat.
2.1.8. Diagnosa

Diagnosa didasarkan pada perubahan histopatologi pada pemeriksaan tulang turbinatum,


isolasi dan identifi kasi bakteri penyebab. Perubahan histopatologi termasuk penggantian
jaringan fi brosa pada lempeng conchae bagian bawah, terkadang diikuti dengan peradangan dan
perubahan reparatif. Isolasi P.multocida dari B.bronchoseptica sebagai penyebab harus disertai
dengan deteksi toksin.

2.1.9. Diagnosa Banding

Atropic rhinitis pada babi terutama bentuk ringan sampai sedang, dapat dikelirukan
dengan infeksi saluran pernafasan yang lain, misalnya swine influenza.dat mukopurulen.

2.1.10. Pengobatan

B.bronchoseptica sensitif terhadap sulfonamida. Preparat sulfa yang dipergunakan ialah


sulfamethazine dalam makanan atau sodium sulfathiazole dalam air minum. Sulfamethazine
dengan dosis 100-125 g per ton pakan cukup efektif untuk mengobati atropic rhinitis. Sodium
sulfathiazole dengan dosis 0,33-0,5 g/3,8 liter air minum disarankan untuk pengobatan penyakit
ini. Untuk menuntaskan infeksi B.bronchoseptica pada anak babi memerlukan sekurangnya 5
minggu, sedangkan pada hewan yang lebih tua memerlukan waktu sekitar 4 minggu.
2.1.11. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan

Pencegahan atropic rhinitis dapat dengan cara vaksinasi. Vaksin yang digunakan
merupakan kombinasi B.brochoseptica dan P.multocida. Induk babi yang divaksinasi pada waktu
bunting, akan memberikan kekebalan kepada anaknya lewat kolostrum. Imunisasi pada anak
babi dapat menghindarkan anak babi dari gejala rhinitis dan mengurangi kejadian atropic rhinitis
pada babi. Di Belanda dilakukan managemen all in all out untuk menghindari terjadinya kasus
atropic rhinitis.

2.2. Black Leg

Blackleg atau radang paha adalah penyakit infeksi, tidak menular secara kontak,
menyerang sapi dan domba ditandai oleh gangren otot dan myositis emphysematosa terbatas,
disebabkan oleh Clostridium chauvoei. Radang paha ditemukan diberbagai penjuru dunia,
termasuk Indonesia. Clostridium chauvoei bisa membentuk spora sehingga tahan terhadap
pengaruh fi sik maupun kimiawi.

2.2.1. Etiologi

Penyebab blackleg adalah Clostridium chauvoei (Cl.chauvoei) / Cl.feseri, merupakan


bakteri berbentuk batang pleomorfi k, berukuran antara 0,5-1,0 mikron x 3-8 mikron, berspora
dengan posisi sentral atau subterminal. Bakteri ini bersifat anaerob, membentuk beberapa jenis
eksotoksin, salah satu toksin adalah toksin alfa bersifat mematikan, menimbulkan hemolisa darah
dan nekrosa jaringan. Selain toksin diproduksi pula enzym deoxyribonuclease, hyalumidase dan
oxygen-labile hemolysin. Sapi dan domba merupakan jenis hewan yang paling sering terserang
black leg. Babi dinilai lebih tahan dibandingkan sapi dan domba.

2.2.2. Cara penularan

Di Indonesia black leg tidak diketahui secara jelas, namun sebagian besar diduga terjadi
per oral. Spora Cl.chauvoei dapat tetap di dalam tanah selama bertahun-tahun dalam keadaan
tidak aktif, dan kembali ke bentuk infektif ketika dikonsumsi oleh ternak yang merumput.
Padang rumput yang terkontaminasi merupakan sumber utama penularan organisme ini, yang
juga ditemukan secara alami dalam usus hewan.
Sumber penularan adalah tanah atau makanan tercemar spora bakteri penyebab black leg.
Penularan lewat luka dapat terjadi pada waktu dilakukan pemotongan tanduk, kastrasi,
pencukuran bulu, alat suntik atau pertolongan kelahiran. Cara Penularan yang terbanyak adalah
melalui tanah atau makanan tercemar spora, sedang cara penularan yang lain lebih jarang terjadi.

2.2.3. Gejala Klinis

Umumnya black leg menyerang sapi muda umur antara 6 bulan sampai 1 tahun.
Kelumpuhan merupakan gejala klinis yang pertama kali terlihat. Kemudian terjadi kebengkakan
yang cepat menyebar pada otot gerak di daerah bahu dan paha. Hewan yang terserang terlihat
depresi (lesu), disertai kenaikan suhu rektal. Palpasi pada bagian yang membengkak, terasa
lunak, oedematos, panas dan terdengar suara krepitasi, akibat terbentuk gas diantara jaringan
otot. Kematian terjadi 24-48 jam setelah gejala klinis pertama kali kelihatan. Kadang-kadang
hewan ditemukan tiba-tiba mati.

Pada domba selain gejala yang telah disebutkan tadi, ditemukan warna merah kehitaman
pada kulit, terdengar suara krepitasi akibat terbentuknya gas di antara jaringan otot. Kematian
terjadi 24-48 jam setelah gejala klinis pertama kali terlihat. Kadang-kadang hewan ditemukan
tiba-tiba mati.

2.2.4. Patologi

Tanda cukup khas pada hewan mati akibat black leg adalah warna gelap pada otot daerah
paha, berkonsistensi spon (busa), berisi gelembung- gelembung udara dan dikelilingi oleh
oedema berwarna kekuningan. Hewan yang mati cepat membusuk, ditandai oleh bau tengik.
Dekomposisi terjadi cepat, sehingga apabila pemeriksaan pasca mati dilakukan terlambat,
diagnosa laboratorik (histopatologis) sulit ditegakkan.
2.2.5. Diagnosa

Peneguhan diagnosa dapat dilakukan secara FAT menggunakan spesimen berupa ulas
jaringan dari lesi yang dicurigai. Deteksi antigen dengan cara ini mempunyai akurasi tinggi dan
dapat dilakukan dalam waktu singkat. Antiserum dari jenis hewan terserang yang di label dengan
fl uorescein dapat diperoleh secara komersial.

lsolasi bakteri penyebab dapat dilakukan dari potongan jaringan yang dicurigai dan
dipupuk pada agar darah dalam suasana anaerobik. Apabila ditemukan koloni yang dicurigai,
dilanjutkan dengan pemupukan dalam media thioglycolate dan cooked meat medium. Sebagian
dari potongan jaringan dapat disuspensikan dalam broth untuk mengisolasi hewan percobaan
(marmot). Inokulasi dilakukan pada kaki belakang. Apabila terlihat adanya infeksi atau marmot
mati, dibuat preparat ulas dari hati atau otot untuk pemeriksaan mikroskopis dan dipupuk pada
media thioglycolate dan cooked meat medium.

2.2.6. Pengobatan

Pada masa lalu pengobatan dilakukan dengan pencicilin 4.000- 8.000 IU per kg berat
badan dengan hasil baik. Namun demikian, jaringan yang mengalami gangren pada hewan yang
sembuh umumnya mengelupas. Di negara maju, ternak dicurigai terserang radang paha
umumnya dibunuh dan dikubur.

PENYAKIT STRATEGIS PADA KUDA, KUCING DAN DOMBA

2.3. Tetanus

Tetanus adalah keracunan akibat neurotoksin yang disebabkan oleh Clostridium tetani
dengan gejala klinis spasmus otot dan mengakibatkan kematian pada hewan mamalia serta
manusia. Penularan tetanus dapat terjadi melalui kontaminasi spora bakteri Cl.tetani yang
tersebar di tanah dan di kandang ternak. Kejadian tetanus dapat timbul karena dimulai oleh
adanya perlukaan tertutup yang terkontaminasi oleh bakteri Cl.tetani. Pada luka tertutup tersebut
dapat timbul kondisi anaerob yang merupakan persyaratan berkembangnya bakteri CI.tetani.
Dalam jangka waktu tertentu bakteri Cl.tetani mengeluarkan toksin yaitu berupa tetanotoksin
(neurotoksin). Toksin ini menimbulkan spasmus terhadap otot-otot tubuh.

2.3.1. Etiologi

Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani. C.tetani merupakan bakteri berbentuk batang
Iangsing, berukuran 0.4-0.6x2-5 mikron dan bersifat motil. Baik di dalam jaringan maupun pada
biakan, bakteri tetanus dapat tersusun tunggal atau berantai membentuk fi lamen yang panjang.
Bakteri ini membentuk spora setelah dibiakkan selama 24-48 jam, spora bulat, terminal, dimana
sel di tempat spora membengkak sehingga bakteri berbentuk seperti pemukul gendrang atau
Drum stick bacteria. Pada biakan muda bakteri tetanus bersifat Gram positif, dan cepat
berubah menjadi Gram negatif pada biakan yang lebih tua.

2.3.2. Spesies rentan

Beberapa jenis spesies rentan terhadap tetanus secara berturut-turut sebagai berikut,
bangsa kuda, domba dan kambing, anjing dan kucing, sapi dan babi. Unggas tidak rentan
terhadap tetanus. Di antara hewan percobaan yang paling rentan adalah tikus.

2.3.3. Cara Penularan

Syarat terjadinya infeksi diperlukan luka yang dalam atau pada luka superfi cial yang
tercemari bakteri anaerob yang mempunyai potensi oksidasi reduksi lemah. Kejadian penularan
pada kuda pada umumnya melalui luka pada kuku sewaktu memasang tapal kuda, pada domba
terjadi melalui luka kastrasi atau pencukuran rambut, sedang pada sapi melalui luka bekas
pemotongan tanduk dan pada babi melalui luka kastrasi. Selain itu penularan juga terjadi melalui
luka tertusuk paku, luka-luka pada rongga mulut, luka tersembunyi di dalam usus atau alat
kelamin.

2.3.4. Gejala klinis

Masa tunas 1-3 minggu. Gejala Klinis tetanus untuk semua hewan hampir mirip. Tanda
awal ialah sedikit kekakuan, gelisah dan terjadi kekejangan yang berlebihan bila ada sedikit
rangsangan dari luar (suara, sentuhan, cahaya dan lain-lain). Pada kuda terjadi kekakuan yang
khas berupa spasmus membrana niktitan, trompet hidung melebar, ekor naik dan kaki
membentuk kuda-kuda. Bila yang terserang otot-otot fascia maka hewan akan susah membuka
mulut, sehingga penyakit dinamai Lock jaw. Bila toksin sudah menyerang otak maka akan
terjadi kekejangan umum, konvulsi yang berkesinambungan terjadi disebabkan oleh aspeksia.

2.3.5. Diagnosa

Berdasarkan gejala kIinis, disertai sejarah penyakit bahwa hewan tersebut tidak atau
belum pernah divaksin tetanus atau hewan pernah mengalami luka sebelumnya.
2.3.6. Diagnosa Banding

Adanya tanda kekejangan yang terjadi maka tetanus dapat dikelirukan dengan penyakit
lain seperti:

a. Gras tetani : pada penyakit ini terdapat hipocalcemia

b. Keracunan striknin : kekejangan yang terjadi tidak tergantung adanya rangsangan dari luar

c. Muscular rheumatism : merupakan penyakit kronis.

d. Stiff lamb disease : ada gejala diare

e. Rabies : ada gejala kelumpuhan

2.3.7. Pengobatan

Pengobatan tetanus dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Luka dibuat segar, dengan membuang bagian jaringan yang rusak, kemudian luka dicuci
dengan KMnO4 atau H2O2 dan diobati dengan antibiotika.

b. Diberikan antitoksin tetanus dosis kuratif

c. Perlakuan pada hewan sakit diberikan:

kandang bersih, kering, gelap


diberikan kain penyangga perut
makanan disediakan setinggi hidung
luka yang ada diobati

d. Diberikan obat-obatan untuk mengatasi simptom atau gejala antara lain

obat penenang
muscle relaxan
2.4. Surra

2.4.1. Etiologi

Surra merupakan penyakit parasit yang menular pada hewan dan disebabkan oleh
protozoa berfl agella yang tersirkulasi dalam darah secara ekstraseluler yang bernama
Trypanosoma evansi. Protozoa ini merupakan flagellata dari subfi lum sarcomastigophora, super
kelas mastigophorasica, kelas zoomastigophorasida, ordo kinetoplastorida, familia
trypanosomatidae, dan genus Trypanosoma. Bentuk tubuhnya seperti kumparan dengan salah
satu ujung lancip dan ujung yang lain sedikit tumpul.

2.4.2. Gejala Klinis

Masa inkubasi 4-13 hari diikuti demam (temperatur lebih dari 39C). Hewan nampak lesu
dan lemah. Mula-mula selera makan menurun kemudian pulih kembali. Kepincangan sering
terjadi pada kaki belakang, bahkan tidak jarang mengalami kelumpuhan pada tubuh bagian
belakang. Selaput lendir mata hiperemia disertai bintik-bintik darah (ptechiae), kemudian
berubah anemis berwarna kuning sampai pucat. Kadang-kadang ditemukan adanya keratitis.
Limfl ogandula submaxillaris bengkak dan apabila diraba terasa panas dan hewan merasa sakit.
Kadang-kadang terjadi urticaria tanda oedema dimulai pada bagian bawah perut menyebar
kearah bagian pada dada, alat kelamin (busung papan) dan turun ke kaki belakang. Pada kuda
jantan diikuti pembengkakan buah zakar, kadang-kadang terjadi pembengkakan pada penis. Pada
kuda bunting dapat mengalami keguguran. Gejala klinis demikian juga dapat ditampakkan pada
infeksi oleh T. Equiperdum ataupun infeksi bakterial. Dalam waktu yang cepat (kurang dari 2
minggu) kuda mengalami cachexia dan kelemahan yang hebat diikuti roboh dan mati. Pada
kasus-kasus tertentu terlihat gejala syaraf (mubeng/berputar di tempat) sebelum robuh dan mati.
Ini terjadi karena Trypanosoma telah masuk ke dalam otak.

2.4.3. Diagnosa

Pemeriksaan mikroskopik secara langsung

a. Pemeriksaan preparat ulas darah natif


Darah perifer diambil dari vena auricularis ataupun vena coccigea. Darah sebanyak 2-3 l
diteteskan pada kaca obyek dan ditutup dengan kaca penutup. Kaca obyek tersebut kemudian
diamati di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 200x400 kali.

b. Pemeriksaan preparat ulas darah dengan pewarnaan Giemsa

Teteskan 10 l darah pada kaca obyek dan diratakan. Preparat ulas darah dibiarkan
hingga mengering (sekitar 1 jam). Preparat kemudian diwarnai dengan pewarnaan Giemsa (1
tetes giemsa komersial + PBS pH 7,2) selama 25 menit.

c. Pemeriksaan biopsi cairan limfa dan edema

Biopsi cairan limfa dapat dilakukan pada limfonglandula prescapular atau limfoglandula
precrural. Cairan limfa tersebut kemudian diamati dibawah mikroskop.

2.4.4. Pengobatan dan Pencegahan

Belum ada vaksin yang diproduksi untuk mencegah penyakit surra, sedangkan obat surra
yang direkomendasikan adalah suramin, isometamidium klorida, dan diminizena aceturate.
Meskipun suramin diketahui paling efektif untuk mengobati trypanosomiasis, tetapi sediaan ini
tidak dijumpai di Indonesia.

2.5. Toxoplasmosis

2.5.1. Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh sporozoa yang dikenal dengan nama Toxoplasma gondii,
yaitu suatu parasite intraselluler yang banyak menginfeksi manusia dan hewan peliharaan dalam
hal ini adalah kucing. Toxoplasma ini biasanya berbentuk bulat atau oval, jarang ditemukan
dalam darah perifer, tetapi sering ditemukan dalam jumlah besar pada organ-organ tubuh seperti
pada jaringan hati, limpa, sumsum tulang, paru-paru, otak, ginjal, urat daging, jantung dan urat
daging licin lainnya.

2.5.2 Gejala Klinis

Gejala klinis toxoplasmosis sebagian besar asimptomatik, dengan masa inkubasi 1


sampai 2 minggu. Prevalensi penyakit berbeda pada tiap daerah umumnya berhubungan dengan
berbagai factor seperti umur, kebiasaan makan, iklim, lokasi, status kesehatan lingkungan dan
keberadaan kucing domestic.

2.5.3. Diagnosa

Pengenal hewan yang menderita toxoplasmosis sangat sulit karena tidak memberikan
gejala klinis yang jelas. Diagnosis dini dapat ditegakkan dengan melakukan uji serologis untuk
mendeteksi adanya antibodi (IgM atau IgG) baik secara indirect haemaglutination assay (IHA),
direct ggutination test (DAT), inhibition fl uorescent assay (IFA) atau enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA). Kit diagnosa cepat lainnya untuk penyakit ini adalah Field
ELISA (FELISA) dan PCR.

2.5.4. Pengobatan dan Pengendalian

Pada ternak pengobatan yang dilakukan adalah dengan pemberian preparat Clindamycin
dengan dosis 25-50 mg/kg berat badan per hari dibagi menjadi 2 dosis, yaitu pagi dan sore
diberikan secara per oral. Pengobatan ini diberikan sampai 2 minggu setelah gejala klinis hilang.
Preparat yang lain adalah Sulfi dazine dengan dosis 30 mg/kg berat badan diberikan per oral
setiap 12 jam. Bersama-sama dengan pemberian pyrimethamine 0,5 mg/kg berat badan, dan
untuk mengurangi gejala samping yang timbul, maka pada waktu memberi makan perlu
ditambahkan folinic acid 5 mg/hari.

Prinsip pencegahan toxoplasmosis adalah dengan memutus rantai penularan, sehingga


oosista maupun sista tidak masuk ke dalam tubuh manusia maupun ternak. Dari cara penularan
toksoplasmosis ke manusia, dapat terlihat jelas bahwa jalan utama masuk T.gondii ke dalam
tubuh manusia adalah melalui mulut, atau dengan kata lain melalui makanan yang tercemar oleh
trofozoit, oosista atau sista.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pada makalah ini telah dibahas jenis-jenis penyakit atau gangguna pada tulang maupun
otot yang menyerang hewan besar maupun hewan kecil, serta Ppenyakit-penyakit strategis yang
ada di Indonesia. Setiap penyakit memiliki gejala klinis yang khas dan dapat berakibat buruk
bagi kesehatan hewan. Untuk itu telah dibahas cara pencegahan dan pengobatan dari setiap
penyakit yang menentukan nantinya menjadi penentu prognosa dari kondisi hewan yang
terserang. Jika pencegahan terhdapa penyakit-penyakit tersebut diterapkan dengan sebaik
mungkin, maka dapat menekan tingkat kejadian penyakit pada hewan.
DAFTAR PUSTAKA

Direktur Kesehatan Hewan, 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Kesehatan
Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta Indonesia.

Plumb DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd Edition. Iowa State University Press Ames.

Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D 2002. Veterinary
Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company
Australia.

Radostids OM and DC Blood 1989. Veterinary Medicine A Text Book of the Disease of Cattle,
Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th Edition. Bailiere Tindall. London England.

Smith BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affi liate of Elsevier Science, St
Louis London Philadelphia Sydney Toronto.

Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi Veteriner:
Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta Indonesia.

Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum) Penyakit-
penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai