HIPERTENSI
TUGAS
Disusun oleh :
Bogita Karunia Illahi 4119041
Linda Apriani 4119045
Dettri Megantari 4119057
Kerista Hafitri 4119058
Nurul Alfah 4119059
Selviani Delsiana 4119064
Novianti Dewi 4119044
M. Fareza P. N 4119076
Septian Budi U.H 4119090
Iis Solihat 4119082
3. Etiologi
Gangguan metabolik dengan meningkatnya konsentrasi asam urat ini
ditimbulkan dari penimbunan kristal di sendi oleh monosodium urat (MSU,
gout) dan kalsium pirofosfat dihidrat (CPPD, pseudogout), dan pada tahap
yang lebih lanjut terjadi degenerasi tulang rawan sendi.
Klasifikasi gout dibagi 2 yaitu :
1. Gout primer
Dipengaruhi oleh faktor genetik. Terdapat produksi/sekresi asam urat
yang berlebihan dan tidak diketahui penyebabnya.
2. Gout sekunder
a. Pembentukan asam urat yang berlebih
1) Kelainan mieloproliferatif (polisitemia, leukemia, myeloma
retikularis)
2) Sindroma Lech-Nyhan yaitu suatu kelainan defisiensi
hipoxantin guanine fosforibosil transferase yang terjadi pada
anak-anak dan sebagian pada orang dewasa
3) Gangguan penyimpanan glikogen
4) Pada pengobatan anemia perniosiosa oleh karena maturasi sel
megaloblastik menstimulasi pengeluaran asam urat
b. Sekresi asam urat yang berkurang
1) Kegagalan ginjal kronik
2) Pemakaian obat salisilat, tiazid, beberapa macam diuretic dan
sulfonamid
3) Keadaan-keadaan alkoholik, asidosis laktit, hiperparatiroidisme
dan pada miksedemia
Faktor predisposisi terjadinya penyakit gout yaitu umur, jenis kelamin lebih
banyak terjadi pada pria, iklim, herediter dan keadaan-keadaan yang
menyebabkan timbulnya hiperurikemia (Nurarif & Kusuma, 2015).
4. Patofisiologi
Adanya gangguan metabolisme purin dalam tubuh, intake bahan yang
mengandung asam urat tinggi, dan sistem eskresi asam urat yang tidak
adekuat akan menghsilkan akumulasi asam urat yang berlebihan didalam
plasma darah (hiperurisemia), sehingga mengakibatkan kristal asam urat
menumpuk dalam tubuh. Penimbunan ini menimbulkan iritasi lokal dan
menimbulkan respon inflamasi.
Hiperurisemia merupakan hasil :
1. Meningkatnya produksi asam urat akibat metabolisme purin abnormal
2. Menurunnya eskresi asam urat
3. Kombinasi keduanya
(Padila, 2013)
5. Komplikasi
Gout dapat menimbulkan komplikasi berupa batu ginjal dan kerusakan
tubuler yang menyebabkan gagal ginjal kronis. (Risnanto & Insani, 2014).
Gout dapat merusak organ tubuh misalnya penurunan fungsi ginjal , memicu
perlengketan trombosit pada pembuluh darah, dan mengendap pada klep
jantung (Dalimartha, dkk, 2008).
6. Manifestasi Klinis
1. Hiperurisemia
2. Arthritis pirai/gout akut, bersifat eksplosif, nyeri hebat, bengkak, merah,
teraba panas pada persendian, dan akan sangat terasa pada waktu bangun
tidur dipagi hari
3. Terdapat kristal urat yang khas dalam cairan sendi
4. Telah terjadi lebih dari satu serangan akut
5. Adanya serangan pada satu sendi, terutama sendi ibu jari kaki
6. Sendi terlihat kemerahan
7. Terjadi pembengkakan asimetris pada satu sendi
8. Tidak ditemukan bakteri pada saat serangan dan inflamasi
(Naga, 2014)
7. Pemeriksaan Diagnostik
1. Kadar asam urat serum meningkat
2. Laju sedimentasi eritrosit (LSE) meningkat
3. Kadar asam urat urine dapat normal atau meningkat
4. Analisis cairan synovial dari sendi terinflamasi atau tofi menunjukan
kristal urat monosodium yang membuat diagnosis
5. Sinar X sendi menunjukkan massa tofaseus dan destruksi tulang dan
perubahan sendi
(Nurarif & Kusuma, 2015)
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gout biasanya dibagi menjadi penanganan serangan akut dan
penanganan hiperurisemia pada pasien arthritis kronik. Ada 3 tahapan dalam
terapi penyakit ini :
1. Mengatasi serangan akut
2. Mengurangi kadar asam urat untuk mencegah penimbunan kristal urat
pada jaringan, terutama persendian
3. Terapi pencegahan menggunakan terapi hipourisemik
4. Terapi non farmakologi :
Terapi non farmakologi merupakan strategi esensial dalam penanganan
gout. Intervensi seperti istirahat yang cukup, penggunaan kompres
dingin, modifikasi diet, mengurangi asupan alcohol dan menurunkan
berat badan pada pasien yang kelebihan berat badan terbukti efektif.
5. Terapi Farmakologi
Preparat colchicine (Oral atau parenteral) atau NSAID, seperti
indometasin, digunakan untuk meredakan serangan akut gout.
Penatalaksanaan medic hiperurisemia, tofus, pengancuran sendi, dan
masalah renal biasanya dimulai setelah proses inflamasi akut mereda.
Preparat urikosurit seperti probenesid akan memperbaiki keadaan
hiperurisemia dan melarutkan endapan urat. Alupurinol juga merupakan
obat yang efektif tetapi penggunaannya terbatas karena terdapat resiko
toksisitas. Kalau diperlukaan penurunan kadar asam urat dalam serum,
preparat urokosurik merupakan obat pilihan. Kalau pasiennya beresiko
mengalami insufisiensi renal atau batu ginjal (kalkuli renal), alupurinol
merupakan obat pilihan (Nurarif & Kusuma, 2015).
2. Pathway
3. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen cidera biologis pembengkakan sendi
b. Hambatan mobilitas fisik b/d nyeri persendian, penurunan rentang gerak,
kelemahan otot pada rentang gerakan, dan kekakuan pada sendi kaki sekunder
akibat erosi tulang rawan
c. Resiko tinggi cedera fisik b.d penurunan fungsi tulang, lansia, hati-hati saat
berjalan menggunakan alat bantu tongkat
(Nurarif & Kusuma NANDA, 2015)
4. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan/Kriteria Intervensi Rasional
Keperawatan hasil
1 Nyeri sendi b.d Setelah dilakukan 1. Kaji nyeri dengan 1. Membantu dalam
agen cidera tindakan keperawatan PQRST menentukan
biologis selama 3x24 jam, 2. Anjurkan klien untuk managemen nyeri
pembengkakan nyeri yang dirasakan mandi air panas / 2. Panas meningkatkan
sendi klien berkurang hangat letak sisi otak dan
dengan kriteria hasil : 3. Berikan klien posisi mobilitas,
- Klien melaporkan yang nyaman pada menurunkan rasa
penelusuran nyeri waktu tidur / duduk sakit
- Menunjukkan dikursi 3. Tirah baring
perilaku yang lebih 4. Berikan masase yang mungkin diperlukan
rileks lembut untuk membatasi
- Skala nyeri nyeri 5. Berikan obat sesuai nyeri / cedera sendi
berkurang dari 0 – 1 indikasi 4. Menaikan relaksasi
atau teratasi. atau regangan otot
5. Menaikan relaksasi
dan sebagai terapi
pengobatan
2 Hambatan Setelah dilakukan 1. Pertahankan istirahat 1. Untuk mencegah
mobilitas fisik tindakan keperawatan tirah baring / duduk kelelahan dan
b/d penurunan 3x24 jam klien jika diperlukan mempertahankan
rentang gerak, mampu melaksanakan 2. Bantu bergerak kekuatan
kelemahan otot aktivitas fisik sesuai dengan bantuan 2. Menaikan fungsi
pada rentang dengan seminimal mungkin sendi, kekuatan otot
gerakan, dan kemampuannya 3. Dorong klien dan stamina umum
kekakuan pada dengan kriteria hasil : mempertahankan 3. Memaksimalkan
sendi kaki - Klien ikut dalam postur tegak, duduk fungsi sendi dan
sekunder program latihan tinggi, dan berjalan mempertahankan
akibat erosi - Tidak mengalami 4. Berikan lingkungan mobilitas
tulang rawan kontraktur sendi yang aman dan 4. Menghindari cedera
- Kekuatan otot menganjurkan untuk akibat kecelakaan
bertambah menggunakan alat 5. Untuk menekan
- Klien menunjukkan bantu inflamasi sistemik
tindakan untuk 5. Berikan obat-obat akut
meningkatkan sesuai indikasi
mobilitas dan
mempertahankan
koordinasi optimal.
a. Kelenjar Hipotalamus
Kelenjar Hipotalamus adalah daerah kecil diotak dibawah ventrikel
ketiga dan dibelakang kiasma opitikum; membentang kebawah sebagai
infundibulum, terdiri dari sel-sel saraf yang mengelompokan menjadi
nukleus, dengan serat saraf berjalan menuju hipotalamus dari bagian otak
lain dan serat saraf berjalan dari hipotalamus melalui infundibulum
hypophysis masuk ke dalam lobus posterior kelenjar tersebut. Kapiler
berjalan secara langsung dari hipotalamus menuju lobus anterior kelenjar
hipofisis (Gibson, 2002). Hormon hormon hipotalamus antara lain:
1. ACRH : Adrenocortico Releasing Hormon
- ACIH : Adrenocortico Inhibiting Hormon
2. TRH : Tyroid Releasing Hormon
- TIH : Tyroid Inhibiting Hormon
3. GnRH : Gonadotropin Releasing Hormon
- GnIH : Gonadotropin Inhibiting Hormon
4. PTRH : Paratyroid Releasing Hormon
- PTIH : Paratyroid Inhibiting Hormon
5. PRH : Prolaktin Releasing Hormon
- PIH : Prolaktin Inhibiting Hormon
6. GRH : Growth Releasing hormon
- GIH : Growth Inhibiting Hormon
7. MRH : Melanosit Releasing Hormon
- MIH : Melanosit Inhibiting Hormon
b. Kelenjar Hipofisis
Kelenjar Hipofisis terletak dalam fossa hypophysialis (sella tursica),
cekungan dalam pada permukaan atas corpus os sphenoidale. Lembaran
dura mater menutupi lubang fossa. Infundibulum hypophysis
menghubungkan hipotalamus dengan kelenjar, berjalan melalui lubang
pada dura mater. Kelenjar terdiri dari 2 lobus : anterior dan posterior,
dengan asal, struktur dan fungsi yang berbeda.
1) Lobus anterior ( disebut juga “pemimpin” atau “kelenjar utama” )
terdiri dari kolom sel-sel, yang bercabang tidak teratur dan dipisahkan
oleh sinusoid tempat darah bersirkulasi. Tiga jenis sel dapat dibedakan
dengan metode pewarnaan :
1. asidofil yang bewarna merah
2. basofil yang bewarna biru
3. kromofob yang tidak bewarna
a) lobus anterior memiliki hormon diantaranya: hormon pertumbuhan
(GH) menyebabkan retensi nitrogen dalam tubuh dan sangat
penting untuk pertumbuhan.
b) Thyroid Stimulating Hormone (TSH) merangsang kelenjar tyroid
untuk menghasilkan tiroksin dan tryiodotironin.
c) Hormon Adrenocorticotropik (ACTH) merangsang korteks
kelenjar adrenal menghasilkan glukokortikoid.
d) Hormon Gonadotropik (Gonado Tropin) bekerja pada kelenjar
seks, pada pria Interstitial cell Stimulating Hormone (ICSH)
merangsag sel sel interstitial testis untuk menghasilkan androgen.
Pada wanita Folilicle Stimulating Hormone (FSH) menyebabkan
pematangan polikel ovarium tempat berkembang, dan Luteinizing
Hormone (LH) untuk menyempurnakan pematangan polikel dan
merangsang perkembangan korpus luteum.
2) Lobus posterior , hormon diproduksi didalam hipotalamus dan
mengalir melalui serat saraf kelobus posterior kelenjar hipofisis. Lobus
ini lebih kecil dari pada lobus anterior dan terdiri dari serat saraf,
neuroglia, dan pembuluh darah. Serat saraf berjalan menuju lobus ini
dari hipotalamus. Terdiri dari hormon antidiuretik merangsang tubulus
distal ginjal untuk mereabsorpsi air dari cairan di dalamnya, dan
oksitosin terlibat dalam kerja uterus saat melahirkan dan kontraksi otot
saluran payudara, menyebabkan susu diperas dari saluran dalam
kesaluran supervisial (Gibson, 2002).
c. Kelenjar Tiroid
Kelenjar Tiroid , terletak pada leher dan terdiri dari lobus kanan dan
kiri yang dihubungkan oleh istmus yang sempit. Kedua lobus terletak
disekitar samping bagian atas trakea dan esofagus ; istmus adalah pita
sempit jaringan tiroid yang menghubungakan kedua lobus, menyilang
dibagian depan cartilago trachea II dan III. Ujung atas lobus mencapai
sampai ke cartilago tiroidea. Kelenjar lunak dan bewarna coklat dan
ditutupi didalam kapsul. Kelenjar terdiri dari sejumlah besar folikel yang
terdiri dari satu lapis sel yang melapisi koloid, cairan kuning yang
merupakan tempat utama konsentrasi yodium dalam kelenjar. Kelenjar
tiroid menyekresi tiroksin , tri-yodotironim dan tirokalsitonin (Gibson,
2002).
Kelenjar tiroid berfungsi mengatur kecepatan proses metabolik
tubuh. Badan tiroid terdiri atas masa folikel kecil yang mengandung
koloid. Unsur utama koloid adalah tiroglobulin, yang membebaskan
hormon tiroid. Selain sel-sel polikel, ada sel-sel parafolikuler yodium
diperlukan untuk hormon tiroid.
Kelenjar tiroid menghasilkan 3 jenis hormon yaitu : T3, T4, dan
sedikit tirokal sitonin. Hormon T3 dan T4 dihasilkan oleh folikel
sedangkan tirokalsitonin dihasilkan oleh paravoliker. Bahan dasar
pembentukan hormon-hormon ini adalah yodium yang diperoleh dari
makanan dan minuman.
d. Kelenjar Paratiroid
Kelenjar Paratiroid , terdapat empat kelenjar paratiroid kecil, setiap
kelenjar berdiameter sekitar 3mm, terletak dibelakang kelenjar tiroid atau
terbenam dalam kapsul kelenjar tiroid , sepasang diatas dan sepasang
dibawah. Kelenjar ini dapat mempunyai ukuran dan jumlah yang
bervariasi , dan kadang-kadang ditemukan dibagian dalam kelenjar tiroid
atau dibelakang faring atau dalam toraks. Fungsi kelenjar parathyroid :
1. Memelihara konsentrasi ion kalsum plasma dalam batas yang sempit
meskipun terdapat variasi variasi yang luas
2. Mengontrol ekskresi kalsium dan fosfor oleh ginjal, mempunyai efek
terhadap reabsorpsi tubuler dari kalsium dan sekresi fosfor
3. Mempercepat arbsorpsi kalsium di intestinum
4. Jika pemasukan kalsium berkurang, hormon paratiroid menstimulasi
resorpsi tulang sehingga menambah kalsium dalam darah
5. Dapat menstimulasi transport kalsium dan fosfat melalui membfran
dari mitokondria (Syaifuddin, 2011).
e. Kelenjar Adrenal
Kelenjar Adrenal, Kelenjar adrenal (suprarenalis) terletak pada
bagian belakang abdomen dan tepat diatas ginjal, meliputi kutup atas
ginjal. Kelenjar ini mempunyai tinggi sekitar 5cm, lebar 2,5cm dan pada
dasarnya, dan tebal 1cm, sisi kiri lebih pipih dari pada sisi kanan dan lebih
berbentuk bulan sabit (Gibson, 2002).
Setiap kelenjar terdiri dari korteks kuning dan bagian dalam medula
yang berwarna merah keabuan. Korteks dan medula memiliki asal, struktur
dan fungsi yang berbeda. Korteks memiliki 3 zona sel, sel-sel luar dalam
kelompok, sel tengah dalam kolom, sel bagian dalam berupa kolom
ilegular. Sel-sel memiliki kolestrol tinggi yang dibutuhkan untuk
pembentukan steroid adrenal (Gibson, 2002).
Medula dibentuk dari jaringan yang sama dengan jaringan syaraf dan
sesungguhnya merupakan bagian dari sistem saraf simpatis. Terdiri dari
untaian ireguler sel, dikelilingi oleh sinus darah dan diinervasi oleh saraf
simpatis.
3. Etiologi
Tampaknya kedua faktor baik herediter maupun lingkungan berperan
didalamnya. Faktor penyebab diabetes tipe 1 adalah infeksi virus atau reaksi
autoimun yang merusak sel-sel penghasil insulin pada pankreas, sehingga
pankreas sama sekali tidak dapat menghasilkan insulin. Biasanya pada diabetes
tipe 1 gejala dan tanda-tandanya muncul mendadak. tiba-tiba cepat merasa
haus, sering kencing, penurunan berat badan dan lemah.
Sedangkan pada Tipe 2 disebabkan oleh kegagalan relatif sel beta dan
resistensi insulin. Faktor resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya
diabetes tipe 2 antara lain usia, obesitas, dan riwayat keluarga, gejalanya
berupa cepat lelah, berat badan turun walaupun banyak makan, dan rasa
kesemutan ditungkai. (Nurrahmani, 2012).
4. Patofisiologi
Insulin dibutuhkan oleh 2/3 sel-sel tubuh untuk menyerap glukosa dari dlm
darah. Insulin berikatan dengan reseptornya di dinding luar sel dan berperan
seperti kunci untuk membuka pintu masuk kedalam sel bagi glukosa. Sebagian
glukosa disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen atau asam
lemak. Saat produksi insulin tidak mencukupi atau saat kunci insulin sulit
membuka pitu sel banyak glukosa akan tinggal dalam darah dan tidak dapat
masuk ke dalam sel menyebabkan hiperglikemia. Hiperglikemia melebihi
ambang batas reabsorbsi ginjal oleh tubulus proksimal sehingga sebagian
glukosa terbuang bersama urine. Peningkatan osmotik urin menghambat
reabsorbsi air oleh ginjal . Hal ini juga menyebabkan peningkatan jumlah urine
yang berlebihan dan glukosuria .
Peningkatan kadar glukosa darah dalam waktu lama menyebabkan
penyerapan oleh lensa mata sehingga penglihatan menjadi kabur. Tubuh
mengatasi peningkatan level glukosa dalam darah (hiperglikemia) dengan
menyerap air dari dalam sel sehingga kadar glukosa darah mengalami dilusi
selanjutnya diekskresi di urin. Hal ini manyebabkan rasa haus yang menetap
dan produksi urine yang berlebihan. Pada saat yang sama terjadi “puasa” sel
terhadap glukosa dan memberi signal ke tubuh untuk mendapatkan makanan
yang lebih banyak sehingga pasien merasakan lapar yang berlebihan.
Untuk mendapatkan energi sel menggunakan protein dan lemak.
Penguraian protein dan lemak menghasilkan kompleks asam yang disebut
keton. Keton dapat diekskresi di urine. Peningkatan keton di dalam darah dapat
menyebabkan kondisi ketoasidosis yang bila tidak ditangani menyebabkan
koma dan kematian.
Pada diabetes mellitus tipe 1 yang terjadi adalah tidak adanya insulin yang
dikeluarkan oleh pankreas, dengan tidak adanya insulin, glukosa dalam darah
tidak dapat masuk kedalam sel untuk dirubah menjadi tenaga. Karena tidak
bisa diserap oleh insulin, glukosa ini terjebak dalam darah dan kadar glukosa
dalam darah menjadi meningkat. Sedangkan pada diabetes tipe 2 yang sering
terjadi pada lansia, jumlah insulin normal, tetapi jumlah reseptor insulin yang
terdapat pada permukaan sel kurang, sehingga glukosa yang masuk kedalam
sel sedikit dan glukosa dalam darah meningkat.
5. Komplikasi
Menurut Brunner & Suddarth (2002), komplikasi dari diabetes mellitus ada
dua, yaitu:
1. Komplikasi akut DM
Ada tiga komplikasi akut pada diabetes yang penting dan berhubungan
dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek.
Ketiga komplikasi tersebut adalah:
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi jika glukosa darah dibawah 60 mg/dl. Keadaan
ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang
berlebihan, konsumsi makanan yang berlebihan atau aktifitas fisik
yang berat.
b. DKA (Diabetes Ketoasidosis)
Disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah
insulin. Kondisi ini terjadi apabila kelebihan gula dalam tubuh terlalu
banyak. Keadaan ini mengakibatkan gangguan pada metabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak.
c. SHHN (Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik)
Merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan
hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat kesadaran.
2. Komplikasi DM jangka panjang
a. Makrovaskular
Disebabkan oleh aterosklerosis, terutama mempengaruhi pembuluh
darah besar dan sedang. Akibat kekurangan insulin, lemak diubah
menjadi glukosa untuk energi. Perubahan pada sintesis dan
katabolisme lemak mengakibatkan peningkatan kadar VLDL (Very
Low-Density Lipoprotein) dan LDL (Low-Density Lipoprotein).
Oklusi vaskuler dari aterosklerosis dapat menyebabkan penyakit arteri
koroner, vaskular perifer, dan penyakit vaskular serebral.
a) Penyakit arteri koroner
Perubahan aterosklerosis dalam pembuluh arteri koroner
menyebabkan peningkatan insidensi infark miokard pada penderita
DM.
b) Penyakit vaskular perifer
Menurut Brunner & Suddarth (2002), perubahan aterosklerosis
dalam pembuluh darah besar pada ekstremitas bawah merupakan
penyebab utama meningkatnya insiden gangrene dan amputasi
pada pasien-pasien DM, hal ini disebabkan karena pada penderita
DM sirkulasi buruk, terutama pada area yang jauh dari jantung,
turut menyebabkan lamanya penyembuhan jika terjadi luka.
c) Penyakit serebrovaskular
Perubahan aterosklerosis dalam pembuluh darah serebral atau
pembentukkan embolus ditempat lain dalam sistem pembuluh
darah yang kemudian terbawa aliran darah sehingga terjepit dalam
pembuluh darah serebral dapat menimbulkan serangan iskemia
sepintas (Transient Ischemic Attack).
b. Mikrovaskular
Terutama mempengaruhi pembuluh darah kecil dan disebabkan oleh
penebalan membran dasar kapiler dari peningkatan kadar glukosa
darah secara kronis. Hal ini menyebabkan diabetik retinopati,
neuropati, dan nefropati.
a) Retinopati diabetik
Kelainan patologis pada mata yang disebabkan oleh perubahan
pembuluh darah kecil pada retina mata, dengan gejala penurunan
penglihatan sampai kebutaan.
b) Neuropati diabetik
Neuropati diabetik adalah komplikasi diabetes pada sistem saraf,
sehingga menyebabkan mati rasa dan kesemutan, serta
meningkatkan resiko kerusakan kulit terutama pada kaki, karena
berkurangnya kepekaan kulit.
c) Nefropati
Setelah terjadi diabetes, khususnya bila kadar glukosa darah
meningkat, maka mekanisme filtrasi ginjal akan mengalami stress
yang menyebabkan kebocoran protein darah kedalam urin, dan
menyebabkan gagal ginjal kronis.
c. Neuropati
Neuropati disebabkan oleh kerusakan kecepatan konduksi saraf
karena konsentrasi glukosa tinggi dan penyakit mikrovaskular.
Neuropati motor sensori berperan dalam ulkus dan infeksi kaki dan
telapak kaki. Neuropati autoimun berperan dalam kandung kemih
neurogenik, impotensi, konstipasi yang berubah-ubah dengan diare,
penurunan keringat, gastroenteritis, dan hipotensi ortostatik.
(Misnadiarly, 2006).
6. Manifestasi Klinik
Poliuria, dan timbul rasa haus.
Rasa lapar yang berlebihan dan berat badan menurun.
Lelah.
Kesemutan ditungkai, dan mata kabur (Nurrahmani, 2012).
7. Pemeriksaan Diagnostik
1. Tes laboratorium DM
Jenis tes pada pasien DM dapat berupa tes saring, tes diagnostic, tes
pemantauan terapi dan tes untuk mendeteksi komplikasi
2. Tes saring
Tes saring pada DM adalah :
GDP, GDS
Tes glukosa urin :
Tes konvensional (metode reduksi/benedict)
Tes carik celup (metode glucose oxidase/hexokinase)
3. Tes diagnostik
Tes-tes diagnostik pada DM adalah : GDP, GDS, GD2PT (glukosa darah 2
jam post prandial), glukosa jam ke-2 TTGO
4. Tes monitoring terapi
Tes-tes monitoring terapi DM adalah :
GDP : plasma vena, darah kapiler
GD2PT : plasma vena
A1C : darah vena, darah kapiler
5. Tes untuk mendeteksi komplikasi adalah :
Mikroalbuminuria : urin
Ureum, kreatinin, asam urat
Kolestrol total : plasma vena (puasa)
Kolestrol LDL : plasma vana (puasa)
Kolestrol HDL : plasma vena (puasa)
Trigliserida : plasma vena (puasa)
6. Tes toleransi glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari 200MG/DL).
biasanya, tes ini dianjurkan untuk pasien yang menunjukan kadar glukosa
darah meningkat di bawah kondisi stress.
7. Glukosa darah puasa (FBS) normal atau di atas normal
8. Essei hemoglobin glikolisat di atas rentang normal. tes ini mengukur
presentase glukosa yang melekat pada homoglobin. glukosa tetap melekat
pada hemoglobin selama hidup sel darah merah. rentang normal adalah 5-
6%.
9. Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton. pada respon terhadap
defisiensi intra seluler, protein dan lemak diubah menjadi glukosa
(glukoneoginesis) untuk energy. selama proses pengubahan ini, asam
lemak bebas dipecah menjadi badan keton oleh hepar. ketosis terjadi
ditunjukan oleh tetonuria. glukosuria menunjukan bahwa ambang ginjal
terhadap reabsorpsi glukosa dicapai. ketonuria menandakan ketoasidosis.
10. Kolestrol dan kadar trigeliserida serum dapat meningkat menandakan
ketidakadekuatan control glikemik dan peningkatan propensitas pada
terjadinya aterosklerosis.
(Nurarif & Kusuma, 2015)
8. Penatalaksanaan Medis
Untuk penatalaksanaan pada penderita ulkus DM khususnya penderita
setelah menjalani tindakan operasi debridement yaitu termasuk tindakan
perawatan dalam jangka panjang.
a. Medis
Menurut Sugondo (2009), penatalaksaan secara medis sebagai berikut :
1) Obat hiperglikemik Oral
2) Insulin
a) Ada penurunan BB dengan drastis
b) Hiperglikemi berat
c) Munculnya ketoadosis diabetikum
d) Gangguan pada organ ginjal atau hati.
3) Pembedahan
Pada penderita ulkus DM dapat juga dilakukan pembedahan yang
bertujuan untuk mencegah penyebaran ulkus ke jaringan yang masih
sehat, tindakannya antara lain :
a) Debridement : pengangkatan jaringan mati pada luka ulkus
diabetikum.
b) Neucrotomi
c) Amputasi
b. Keperawatan
Menurut Sugondo (2009), dalam penatalaksaan medis secara
keperawatan yaitu :
a) Diit
Diit harus diperhatikan guna mengontrol peningkatan glukosa.
b) Latihan
Latihan pada penderita dapat dilakukan seperti olahraga kecil, jalan
– jalan sore, senam diabetik untuk mencegah adanya ulkus.
c) Pemantauan
Penderita ulkus mampu mengontrol kadar gula darahnya secara
mandiri dan optimal.
d) Terapi insulin
Terapi insulin dapat diberikan setiap hari sebanyak 2 kali sesudah
makan dan pada malamhari.
e) Penyuluhan kesehatan
Penyuluhan kesehatan dilakukan bertujuan sebagai edukasi bagi
penderita ulkus dm supaya penderita mampu mengetahui tanda
gejala komplikasi pada dirinya dan mampu menghindarinya.
f) Nutrisi
Nutrisi disini berperan penting untuk penyembuhan luka
debridement, karena asupan nutrisi yang cukup mampu mengontrol
energy yang dikeluarkan.
g) Stress Mekanik
Untuk meminimalkan BB pada ulkus. Modifikasinya adalah seperti
bedrest, dimana semua pasin beraktifitas di tempat tidur jika
diperlukan. Dan setiap hari tumit kaki harus selalu dilakukan
pemeriksaan dan perawatan (medikasi) untuk mengetahui
perkembangan luka dan mencegah infeksi luka setelah dilakukan
operasi debridement tersebut. (Smelzer & Bare, 2005)
h) Tindakan pembedahan
Fase pembedahan menurut Wagner ada dua klasifikasi antara lain :
Derajat 0 : perawatan local secara khusus tidak dilakukan atau tidak
ada.
Derajad I – IV : dilakukan bedah minor serta pengelolaan medis, dan
dilakukan perawatan dalam jangka panjang sampai dengan luka
terkontrol dengan baik. (Smelzer & Bare, 2005).
Tujuan utama penatalaksanaan klien dengan diabetes adalah untuk
mengatur glukosa darah dan mencegah timbulnya komplikasi akut dan kronis.
Jika klien berhasil mengatasi diabtes yang dideritanya, dia akan terhindar dari
hiperglikemia dan hipoglikemia.
Penurunan pemakaian
glukosa oleh sel
Makrovaskular Mikrovaskular
4. Intervensi
No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1. Defisit volume Setelah dilakukan 1) Kaji pengeluaran 1) Membantu dalam
cairan b.d tindakan urine memperkirakan
hiperglikemia, keperawatan 3x24 2) Pantau tanda- kekurangan volume
diare, muntah, jam diharapkan tanda vital total, tanda dan gejala
poliuria, evaporasi klien akan 3) Monitor pola mungkin sudah ada
mendemonstrasikan napas pada beberapa waktu
hidrasi adekuat, 4) Observasi sebelumnya, adanya
dengan kritria : frekuensi dan proses infeksi
1) Nadi perifer kualitas mengakibatkan demam
dapat teraba, pernapasan dan keadaan
turgor kulit baik. 5) Timbang berat hipermetabolik yang
2) Vital sign dalam badan menigkatkan
batas normal, 6) Pemberian cairan kehilangan cairan
haluaran urine sesuai dengan 2) Perubahan tanda-tanda
lancer. indikasi vital dapat diakibatkan
3) Kadar elektrolit oleh rasa nyeri dan
dalam batas merupakan indicator
normal untuk menilai keadaan
perkembangan
3) Paru-paru
mengeluarkan asam
karbonat melalui
pernapasan
menghasilkan alkalosis
respiratorik,
ketoasidosis
pernapasan yang
berbau aseton
berhubungan dengan
pemecahan asam
aseton dan asetat
4) Koreksi hiperglikemia
dan asidosis akan
mempengaruhi pola
dan frekuensi
pernapasan.
Pernapasan dangkal,
cepat, dan sianosis
merupakan indikasi
dari kelelahan
pernapasan, hilangnya
kemampuan untuk
melakukan kompensasi
pada asidosis.
5) Memberikan perkiraan
kebutuhan akan cairan
pengganti fungsi ginjal
dan keefektifan dari
terapi yang diberikan.
6) Tipe dan jenis cairan
tergantung pada derajat
kekurangan cairan dan
respon
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Medikal Bedah. Edisi
8. Jakarta: EGC.
Gibson, J. (2002). Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk Perawat. Edisi 2.
Jakarta: EGC.
Misnadiarly. (2006). Diabetes Mellitus: Gangren, Ulcer, Infeksi, Mengenal
Gejala, Menanggulangi, dan Mencegah Komplikasi. Jakarta: Pustaka
Populer Obor.
Nurarif, AH & Kusuma H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Edisi Revisi Jilid 3. Yogyakarta:
Medication Jogja.
Nurrahmani, U. (2012). Stop Diabetes. Yogyakarta: Familia Group Relasi Inti
Media.
Rumahorbo, H. (2014). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Endokrin. Jakarta: EGC.
Syaifuddin. (2011). Anatomi Fisiologi Untuk Keperawatan dan Kebidanan. Edisi
4. Jakarta: EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN HIPERTENSI
3. Etiologi
Etiologi yang pasti dari hipertensi belum diketahui. Namun, esensial
belum diketahui. Namun sejumlah interaksi beberapa energi homeostatik
saling terkait. Faktor hereditas berperan penting bilamana kemampuan
genetik dalam mengelola kadar natrium normal. Kelebihan intake natrium
dalam diet dapat meningkat volume cairan cairan dan curah jantung,
pembuluh darah memberikan reaksi atas peningkatkan aliran darah melalui
kontriksi atau peningkatan tekanan perifer. Tekanan darah tinggi adalah hasil
awal dari peningkatan curah jantung yang kemudian dipertahankan pada
tingkat yang lebih tinggi sebagai suatu timbal balik peningkatan tahanan
perifer.
Etiologi hipertensi sekunder pada umumnya diketahui. Berikut ini
kondisi yang menjadi penyebab terjadinya hipertensi sekunder.
1. Penggunaan kontrasepsi hormonal (estrogen)
Oral kontrasepsi yang berisi estrogen dapat menyebabkan
hipertensi melalui mekanisme renin-aldosteron-mediater volume
expansion. Dengan menghentikan oral kontrasepsi, tekanan darah normal
kembali setelah beberapa bulan.
2. Penyakit parenkim dan vaskular ginjal
Merupakan penyebab utama hipertensi sekunder. Hipertensi
renovaskuler berhubungan dengan penyempitan satu atau lebih arteri
besar yang secara langsung membawa darah ke ginjal. Sekresi 90% lesi
arteri renal pada klien dengan hipertensi disebabkan oleh aterosklerosis
atau fibrous displasia (pertumbuhan abnormal jaringan fibrous). Penyakit
parenkim ginjal terkait dengan infeksi, inflamasi, dan perubahan struktur,
serta fubgsi ginjal.
3. Gangguan endokrin
Dapat menyebabkan hipertensi sekunder. Adrenal-mediator
hypertension disebabkan kelebihan primer aldosteron, kortisol, dan
katekolamin. Pada aldostreronisme primer biasanya timbul dari benign
adenoma korteks adrenal. Pheochromocytomas pada medula adrenal
yang paling umum kemudian meningkatkan sekresi katekolamin yang
berlebihan. Pada sindrom cushing, kelebihan glukokortikoid yang
diekskresi dari kontreks adrenal sSindrom Cushing’s mungkin
disebabkan oleh hiperplasi adrenokortikal atau adenoma adrenokortikal.
4. Coarctation aorta
Merupakan penyempitan aorta kongenital yang muncul yang
terjadi beberapa tingkat pada aorta torasik atau aorta abdominal.
Neurogenik : tumor otak, encephalitis, dan gangguan psikiartrik.
1) Kehamilan.
2) Luka bakar.
3) Peningkatan volime intavaskuler.
4) Merokok
Nikotin dalam rokok merangsang pelepasan katekolamin. Peningkatan
katekolamin menyebabkan iritabilitas miokardial, peningkatan denyut jantung,
dan menyebabkan vasokontriksi, yang mana pada akhirnya meningkatkan tekanan
darah (Udjianti, 2010).
4. Patofisiologi
a. Hipertensi Primer (Esensial)
Faktor yang menghasilkan perubahan pada resistansi vascular
perifer, denyut jantung, atau curah jantung memengaruhi tekanan darah
arteri sistemik. Empat sistem kontrol yang memainkan peran utama
dalam menjaga tekanan darah adalah : (1) sistem baroreseptor dan
kemoreseptor arteri ; (2) Pengaturan volume cairan tubuh ; (3) sistem
rening–angiotensis ; (4) autoregulasi vaskular. Hipertensi primer
kemungkinan besar terjadi karena kerusakan atau malfungsi pada
beberapa atau semua sistemini.
Baroreseptor dan kemoreseptor arteri bekerja secara reflek untuk
mengontrol tekanan darah ,baroreseptor, reseptor peregangan utama,
ditemukan di sinus karotis, aorta, dan dinding bilik jantung kiri, mereka
memonitor tingkat tekanan arteri dan mengatasi peningkatan melalui
vasodilatasi dan memperlambat denyut jantung melalui saraf vagus.
Kemoreseptor ,berada di medulla dan tubuh karatos dan aorta, sensitive
terhadap perubahan dalam konsentrasi oksigen, karbondioksida, dan ion
hydrogen ( pH ) dalam darah. Penurunan konsentrasi oksigen arteri atau
pH menyebabkan fleksif pada tekanan, sementara kenaikan konsentrasi
karbondioksida menyebabkan penurunan tekanan darah.Perubahan-
perubahan pada volume cairan memengaruhi tekanan arteri sitemik.
Dengan demikian kelainan dalam transport natrium dalam tubuh ginjal
memungkinkan menyebabkan hipertensi esensial. Ketika kadar natrium
dan air berlebih. Volume total darah meningkat, dengan demikian
meningkatkan tekanan darah. Perubahan-perubahan patologis yang
mengubah ambang tekan dimana ginjal mengekstresikan garam dan air
mengubah tekanan darah sistemik.Selainitu, produksi hormone natrium
yang berlebihan menyebabkan hipertensi.
Renin dan angiotensin memaikan peran dalam pengaturan
tekanan darah.Rening adalah enzim yang diproduksi olehginjal yang
mengatalisis substrat protein plasma untuk memisahkan angiotensis I,
yang dihilangkan oleh enzim pengubah keparu-paru untuk
membentukangiotensis II dan kemudian angiotensis III.Angiotensis II
dan III bertindak sebagai vasokontriktor dan juga merangsang
pelepasan aldosterone. Dengan meningkatnya aktivitas sistem saraf
simpatik, angiotensin II dan III tanpaknya juga menghambat eksresi
natrium, yang menghasilkan naiknya tekanan darah. Sekresi rening
yang bertambah telah ditelit sebagai penyebab meningkatnya resisten
vascular peripheral pada hipertensi primer.Selendotel vascular
terbentuk penting dalam hipertensi. Selendotel memproduksi nitra
loksida yang mendilatasi arteriol dan endothelium yang
mengonstriksikannya. Disfungsi endothelium telah berimplikasi pada
hipertensi esensial manusia.
b. Hipertesi Sekunder
Banyak masalah ginjal, vaskular, neurologis, obat dan makanan
yang secaralangsung berpengaruh negative terhadap ginjal dapat
mengakibatkan gangguan serius pada organ-organ ini yang
mengganggu ekskresi natriun, perfusi renal, mekanisme renin
angiotensin-aldosteron, yang mengakibatkan naiknya tekanan darah
dari waktu kewaktu.
Glomerulo nefritis dan stenosis arteri renal kronis adalah
penyebab yang paling umum dari hipertensi sekunder. Juga, kelenjar
adrenal dapat mengakibatkan hipertensi sekunder jika ia memproduksi
aldosterone, kortisol, dan katekolamin berlebih, kelebihan aldosterone
mengakibatkan renal menyimpan natrium dan air, memperbanyak
volume darah, dan menaikan tekanan darah. Feokromositoma, tumor
kecil di medula adrenal, dapat mengakibatkan hipertensi dramatis
karena pelepasan jumlah epinefrin dan norepinefrin (disebut
katekolamin) yang berlebih.Permasalahan adrenokorsikal lainnya dapat
mengakibatkan produksi kortisol yang berlebih (sindrom chusing).Klien
dengan sindrom chusing memiliki 80% risiko pengembangan
hipertensi. Kortisol meningkatkan tekanan darah dengan meningkatnya
simpanan natrium renal, kadar angiotensin II, dan reaktivitas vascular
terhadap norepinefrin. Stress kronis meningkatkan kadar katekolamin,
aldosterone, dan kortisol dalam darah (Black & Hawks, 2014)
5. Komplikasi
Komplikasi hipertensi terjadi karena kerusakan organ yang
diakibatkan peningkatan tekanan darah sangat tinggi dalam waktu lama.
Organ-organ yang paling sering ruksak, antara lain otak, mata, jantung,
pembuluh darah arteri, serta ginjal. Organ-organ ini disebut target organ
hipertensi (Marliani, 2007).
Komplikasi juga banyak terjadi pada jantung dan pembuluh darah,
antara lain:
1) Arteriosklerosis atau pengerasan pembuluh darah arteri. Pengerasan pada
dinding arteri ini terjadi karena terlalu besarnya tekanan. Karena
hipertensi, lama kelamaan dinding arteri menjadi tebal dan kaku.
Pengerasan pada arteri ini mengakibatkan tidak lancarnya aliran darah
sehingga dibutuhkan tekanan yang lebih kuat lagi sebagai
kompensasinya.
2) Aterosklerosis atau penumpukan lemak pada lapisan dinding pembuluh
darah arteri. Penumpukan lemak dalam jumlah besar disebut plak.
Pembentukan plak dalam pembuluh darah sangat berbahaya karena dapat
menyebabkan penyempitan pembuluh darah sehingga organ-organ tubuh
akan kakurangan pasokan darah. Aterosklerosis paling sering terjadi pada
arteri yang melewati jantung, otak, dan ginjal, juga pada pembuluh darah
besar yang disebut aorta abdominalis di dalam perut dan tungkai.
3) Aneurisma, yaitu terbentuknya gambaran seperti balon pada dinding
pembuluh darah akibat melemah atau tidak elasisnya pembuluh darah
akibat kerusakan yang timbul. Aneurisma ini paling sering terjadi pada
pembuluh darah aorta yang melalui perut. Aneurisma ini sangat
berbahaya karena bisa pecah yang bisa mengakibatkan perdarahan yang
sangat fatal. Gejala yang dapat timbul dari aneurisma ini adalah sakit
kepala hebat yang tidak bisa hilang terjadi pada arteri otak, dan sakit
perut berkepanjangan jika terjadi didaerah perut.
4) Penyakit pada arteri koronaria. Arteri koronia adalah pembuluh darah
utama yang memberi pasokan darah pada otot jantung. Apabila arteri
mengalami gangguan, misalnya karena plak, aliran darah kejantung akan
tergannggu sehingga kekurangan darah.
5) Hipertropi bilik kiri jantung. Bilik kiri jantung atau serambi kiri jantung
adalah ruang pompa utama jantung. Akibat ototnya yang bekerja terlalu
berat ketika memompakan darah ke aorta karena hipertensi, akhirnya
terjadi hipertropi atau penebalan otot serambi kiri tersebut sehingga
mengakibatkan semakin bertambahnya pasokan darah. Dilain pihak
penyempitan pembuluh darah karena hipertensi menyebabkan tidak
tercukupinya kebutuhan darah tersebut sehingga jantung akan ruksak dan
akan bekerja lebih kuat dan akan bekerja lebih kuat lagi dalam memompa
darah.
6) Gagal jantung, yaitu suatu keadaan ketika jantung tidak kuat memompa
darah ke seluruh tubuh sehingga banyak organ lain rusak karena
kekurangan darah dan tidak kuatnya otot jantung dalam memompa darah
kembali ke jantung.
7) Pada ginjal, komplikasi hipertensi timbul karena pembuluh darah dalam
ginjal mengalami aterosklerosis karena tekanan darah terlalu tinggi
sehingga aliran darah ke ginjal akan menurun dan ginjal tidak dapat
melaksanakan fungsinya. Fungsi dari ginjal adalah membuang semua
bahan sisa dari dalam darah. Bila ginjal tidak berfungsi, bahan sisa akan
menumpuk dalam darah dan ginjal akan mengecil dan berhenti berfungsi.
(Marliani, 2007).
6. Manifestasi Klinis
Pada tahap awal perkembangan hipertensi, tidak ada manifestasi
yang cacat oleh klien atau praktis kesehatan pada akhirnya tekanan darah
akan naik, dan jika keadaan ini tidah “terdeteksi”selama pemeriksan rutin,
klien akan tetap tidak sadar bahwa tekanan darahnya naik. Jika keadaan ini
dibiarkan tidak terdiagnosis, tekanan darah akan terus naik, manifestasi
klinis akan menjadi jelas, dan klien pada akhirnya akan datang ke rumah
sakit dan klien pada akhirnya akan datang kerumah berbagai keluhan
seperti :
1) Sakit kepala terus menerus.
2) Kelelahan.
3) Pusing.
4) Berdebar.
5) Sesak.
6) Pandangan kabur atau penglihatan ganda, atau mimisan
(Black & Hawks, 2014)
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Foto rontgen dada
Tes ini bertujuan untuk mengetahui adanya pembengkakan pada bilik
kanan jantung atau pembuluh darah paru-paru, yang merupakan tanda dari
hipertensi pulmonal.
b. Elektrokardiogram (EKG)
Untuk mengetahui aktivitas listrik jantung dan mendeteksi gangguan irama
jantung.
c. Ekokardiografi.
Ekokardiografi atau USG jantung dilakukan untuk menghasilkan citra
jantung dan memperkirakan besarnya tekanan pada arteri paru-paru serta
kerja kedua bagian jantung untuk memompa darah.
d. Tes fungsi paru
Tes fungsi paru dilakukan untuk mengetahui aliran udara yang masuk dan
keluar dari paru-paru, menggunakan sebuah alat yang bernama spirometer.
e. Kateterisasi jantung
Tindakan ini dilakukan setelah pasien menjalani pemeriksaan
ekokardiografi untuk memastikan diagnosis hipertensi pulmonal sekaligus
mengetahui tingkat keparahan kondisi ini. Dengan katerisasi jantung
kanan, dokter dapat mengukur tekanan arteri pulmonal dan ventrikel kanan
jantung.
f. Pemindaian
Pemindaian seperti CT scan atau MRI digunakan untuk memperoleh
gambaran yang lebih jelas mengenai ukuran dan fungsi jantung,
penggumpalan pada pembuluh darah, dan aliran darah pada pembuluh
darah paru-paru.
g. V/Q scan atau ventilation-perfusion scan
Pemindaian ini bertujuan mendeteksi adanya gumpalan darah yang
menyebabkan hipertensi pulmonal. Dalam pemindaian ini, zat radioaktif
khusus akan disuntikkan pada pembuluh vena di lengan guna memetakan
aliran darah dan udara pada paru-paru.
h. Tes darah
Untuk melihat keberadaan zat seperti metamfetamin, atau penyakit lain
seperti penyakit hati yang dapat memicu hipertensi pulmonal.
i. Polisomnografi
Digunakan untuk mengamati tekanan darah dan oksigen, denyut jantung,
dan aktivitas otak selama pasien tertidur. Alat ini juga digunakan untuk
mengenali gangguan tidur, seperti sleep apnea.
j. Biopsi paru
Dilakukan dengan cara mengambil sampel jaringan paru-paru untuk
melihat kelainan di paru-paru yang dapat menjadi penyebab hipertensi
pulmonal.
8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan medis pada klien dengan hipertensi adalah
mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas penyerta dengan mencapai
dan mempertahankan tekanan darah di bawah 140/90 mmHg. Efektivitas
setiap program ditentukan oleh derajat hipertensi, komplikasi, biaya
perawatan, dan kualitas hidup sehubungan dengan terapi (Mutaqin, 2009).
a. Modifikasi Gaya Hidup
Menurut Mutaqin (2009), beberapa penelitian menunjukan pendekatan
nonfarmakologi yang dapat menungurangi hipertensi adalah sebagai
berikut:
1) Teknik –teknik mengurangi stres
2) Penurunan berat badan
3) Pembatasan alkohol
4) Olahraga/ latihan ( meningkatkan lipoprotein berdensitas tinggi)
5) Relaksasi merupan intervensi wajib yang harus dilakukan pada setiap
terapi antihipertensi
b. Terapi farmakologis
Menurut Mutaqin (2009), obat-obatan antihipertensi dapat dipakai
sebagai obat tunggal atau dicampur dengan obat lain,obat- obatan ini di
klasifikasikan menjadi lima katagori, yaitu:
1) Diuretik; hidroklorotiazid adalah diuretik yang paling sering
diresepkan untuk mengobati hipertensi ringan. Hidroklorotiazid
dapat diberikan sendiri pada klien dengan hipertensi ringan atau
klien yang baru. Banyak obat antihipertensi dapat menyebabkan
retensi cairan; karena itu, sering kali diuretik diberi bersama
antihipertensi.
2) Menekan simpatetik (simpatolitik); penghambat (adrenegik bekerja
di sentral simpatolik), penghambat adrenergik alfa, dan
penghambat neuron adrenergik diklasifikasikan sebagai penekan
simpatetik, atau simpatolitik penghambat adrenegik beta, dibahas
sebelumnya juga dianggap sebagai simpatolitik dan menghambat
reseptor beta.
a. Penghambat Adrenegik -Alfa golongan golongan obat ini
memblok reseptor adrenergik alfa , menyebabkan vasodilatasi
dan penurunan tekanan darah. Penghambat beta juga
menurunkan lipoprotein bersitas sangat rendah ( very low -
densitiy lipoprotei- VLDL) yang bertanggung jawab dalam
penimbunan lemak di arteri (arteriosklerosis).
b. Penghambat Neuron Adrenergik (simpatolik yang Bekerja
Perifer) merupakan obat antihipertensi yang kuat yang
menghambat norepinefrin dari ujung saraf simpatis, sehingga
pelepasan norepinefrin menjadi berkurang dan ini
menyebabkan baik curah jantung maupun tahanan vascular
perifer menurun. Resepin dan guanetidin dipakai untuk
mengendalikan hipertensi berat. Hipotensi ortostatik merupakan
efek samping yang sering terjadi klien harus dinasehatkan untuk
bangkit perlahan- lahan dari posisi baring atau dari posisi
duduk. Obat-obatan dalam kelompok ini dapat menyebabkan
retensi natriumdan air.
3) Vasodilatator Arteriol yang Bekerja langsung adalah obat tahap III
yang bekerja dengan merelaksasikan otot- otot polos pembuluh
darah, terutama arteri, sehingga menyebabkan vasodilatasi.
4) Antagonis Angiotensin (ACE Inhibitor); obat dalam golongan ini
menghambat pembentukan II (vasokontriktor) dan menghambat
pelepasan aldosteron. Aldosteron meningkat retensi natrium dan
ekskresi kalium. Jika aldosteron dihambat, natrium diekresikan
bersama-sama dengan air. Katopril, enalpril, dan lisinopril adalah
ketiga antagonis angiotensin. Obat -obat ini dipakai pada klien
dengan kadar renin serum yang tingggi
5) Penghambat saluran kalsium (blocker calcium antagonis).
2. Pathway
3. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri b.d peningkatan tekanan vaskuler serebral
b. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum dan ketidakseimbangan antara suplai darah
dan kebutuhan oksigen
4. Intervensi
No Diagnosa Tujuan/kriteria
Intervensi Rasional
keperawatan hasil
1. Nyeri b.d Setelah dilakukan 1. Mempertahanakan tirah 1. Tindakan yang
peningkatan tindakan 3x24 jam baring selama fase aktif menurunkan tekanan
tekanan vaskuler diharapkan nyeri 2. Berikan tindakan vaskuler serebral dan
serebral
dapat berkurang atau nonfarmakologi untuk yang memperlambat
teratasi kriteria hasil: menghilangkan sakit kepala respon simatis efektif
a. Menurunkan seperti kompres dingin dan dalam langka
skala pijit mengurangi sakit
rangsangan 3. Kolaborasi dalam kepala dan komplikasi
nyeri dikepala pemberian analgesik 2. Mengurangi atau
b. TTV dalam mengontrol nyeri dan
batas normal menurunkan
rangsangan system
saraf simpati
2. Intoleransi Setelah dilakukan 1. Kaji respon pasien 1. Perubahan aktifitas dapat
aktivitas b.d 3x24 jam diharapkan terhadap aktifitas mengidentifikasi tingkat
kelemahan dapat melakukan 2. Observasi tanda-tanda kelemahan fisik pasien
umum dan aktifitas dengan vital atau klien
ketidakseimba Kriteria hasil : 3. Berikan tentang tekhnik 2.Mengidentifikasi
ngan antara - ikut serta dalam penghemat energy perubahan respon
suplai darah kegiatan yang (melakukan aktivitas fisiologis terhadap aktifitas
dan kebutuhan dibutuhkan perlahan dan menggunakan 3.Teknik pengehmat
oksigen - menunjukan alat bantu) energy mengurangi
toleransi aktivitas 4. Berikan dorongan untuk penggunaan energi dan
yang dapat diukur melakukan aktifitas atau membantu keseimbangan
- intoleransi perawatan diri, jika dapat suplai oksigen
fisiologis mengalami ditoleransi (secara 4.Kemajuan aktifitas
penurunan bertahap) secara bertahan mencegah
peningkatan jantung secara
tiba-tiba.
DAFTAR PUSTAKA
Black JM, Hawks JH. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Manajemen Klinis
Untuk Hasil Yang Diharapkan (Nampira RA, Yudhistrira, Eka SC editor
Bahasa Indonesia). 8th ed. Buku 1. Elsevier: Singapore.
Marliani. (2007). 100 Question & Answers Hipertensi. Jakarta: PT Elex Media.
Muttaqin, Arif. (2012). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika.
Padila. (2013). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nuha Medika.
Potter dan Perry. (2010). Fundamental keperawatan. (Nggie AF, Albar M, editor
Bahasa Indonesia). 7th ed. Buku 2. Jakarta: Salemba Medika.
Udjianti. (2013). Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika.