I. KONSEP MEDIS
A. Pengertian
Lupus eritematosus merupakan gangguan inflamasi kronis jaringan ikat yang muncul
dalam dua bentuk: lupus eritematosus diskoid yang mengenai kulit saja dan sistemik lupus
eritematosus (SLE) yang menyerang lebih dari satu sistem organ selain kulit serta bersifat
fatal. SLE ditandai oleh remisi dan eksaserbasi yang rekuren dan sering dijumpai terutama
pada musim semi serta musim panas (Kowalak, 2011).
Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit kolagen autoimun inflamasi yang
sifatnya kronis yang disebabkan oleh gangguan pengaturan imun yang mengakibatkan
produksi antibodi yang berlebihan (Brunner, 2013).
B. Penyebab
Penyebab pasti SLE masih merupakan misteri, tetapi bukti yang ada menunjukkan faktor-
faktor imunologi, lingkungan, hormonal, dan genetik yang saling terkait. Faktor-faktor ini
dapat meliputi (Kowalak, 2011):
1. Stres fisik atau mental
2. Infeksi streptokokus atau virus
3. Imunisasi
4. Kehamilan
5. Metabolisme estrogen yang abnormal
6. Terapi dengan obat tertentu, seperti prokainamid (pronestyl), hidralazin (apresoline),
antikonvulsan, dan yang lebih jarang penisilin, obat-obat sulfa, serta kontrasepsi oral (pil
KB).
C. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit
yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan
beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat
dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-
supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi
tambahan dan siklus tersebut berulang kembali (Brunner, 2002).
E. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil
pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan serta penurunan berat
badan dan kemungkinan pula artritis, peuritis dan perikarditis. Pemeriksaan serum : anemia
sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leukopenia dan antibodi antinukleus
yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mendukung tapi tidak memastikan diagnosis
(Brunner, 2013).
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan SLE dapat meliputi (Brunner, 2013):
1. Medis
a. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama
kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus.
b. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
c. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
2. Keperawatan
Pengkajian yang cermat, tindakan suportif, dukungan emosi, dan edukasi pasien semua
merupakan bagian penting dalam rencana asuhan keperawatan bagi pasien SLE
(Kowalak, 2011).
a. Awasi gejala konstitusional: nyeri atau kaku sendi, kelemahan, demam, rasa mudah
lelah dan menggigil. Amati kemungkinan dispnea, nyeri dada dan edema pada
ekstremitas. Catat ukuran, tipe, dan lokasi lesi pada kulit. Periksa adanya hematuria,
periksa apakah kulit kepala mengalami kerontokan rambut, dan periksa apakah
terdapat ptekie, perdarahan, ulserasi, pucat, dan memar pada kulit serta membran
mukosa.
b. Terapkan diet seimbang. Lesi pada ginjal dapat memerlukan diet rendah protein
rendah garam.
c. Anjurkan pasien banyak istirahat. Jadwalkan tes diagnostik dan tindakan lain untuk
memberi kesempatan istirahat lebih lama.
d. Lakukan kompres panas untuk meredakan rasa nyeri atau kaku sendi. Anjurkan
latihan teratur untuk mempertahankan rentang pergerakan sendi (RPS) penuh dan
mencegah kontraktur.
e. Awasi kemungkinan efek samping obat yang merugikan, khususnya ketika pasien
menggunakan kortikosteroid dosis tinggi.
f. Sarankan pasien yang memakai obat siklofosfamid untuk menjaga hidrasi yang
adekuat. Jika obat ini digunakan, berikan mesna untuk mencegah sistitis hemoragik
dan ondansentron untuk mencegah nausea dan vomitus.
g. Pantau tanda-tanda vital, asupan dan haluaran cairan, berat badan, dan hasil
laboratorium. Cek frekuensi denyut nadi dan awasi kemungkinan ortopnea. Periksa
feses dan sekret GI untuk menemukan darah.
h. Awasi hipertensi, kenaikan berat badan, dan tanda-tanda gangguan gijal lain.
i. Kaji tanda-tanda kerusakan neurologi; perubahan kepribadian, perilaku psikotok atau
paranoid; ptosis atau diplopia. Waspadai kemungkinan serangan kejang.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas b.d ekspansi paru menurun
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d hipovolemia
3. Kerusakan integritas kulit b.d lesi pada kulit
4. Hambatan mobilitas fisik b.d inflamasi dan kerusakan jaringan
5. Nyeri akut b.d inflamasi dan kerusakan jaringan
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual dan muntah
7. Retensi urine b.d inhibisi arkus reflex
8. Resiko infeksi
9. Resiko penurunan perfusi jaringan otak
10. Keletihan b.d peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi
11. Gangguan citra tubuh b.d perubahan pada struktur kulit
12. Ansietas b.d penularan penyakit interpersonal, perubahan dalam status kesehatan dan
lingkungan
C. Intervensi Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas b.d ekspansi paru menurun
Tujuan : mempertahankan pola pernapasan efektif
Intervensi :
a. Auskultasi bunyi napas, tandai daerah paru yang mengalami penurunan /
kehilangan ventilasi, dan munculnya bunyi adventisius misalnya krekels, mengi,
ronki.
R : memperkirakan adanya perkembangan komplikasi / infeksi pernapasan ,
misalnmya atelektasis / pneumonia.
b. catat kecepatan / kedalaman pernapasan, sianosis, penggunaan otot aksesori /
peningkatan kerja pernapasan dan munculnya bunyi dispnea, ansietas.
R : takipnea, sianosis, tak dapat beristirahat, dan peningkatan napas menunjukkan
kesulitan pernapasan dan adanya kebutuhan untuk meningkatkan pengawasan /
intervensi medis.
c. Tinggikan kepala tempat tidur. Usahakan pasien untuk berbalik, batuk, menarik
napas sesuai kebnutuhan.
R : meningkatkan fungsi pernapasan yang optimal dan mengurangi aspirasi atau
infeksi yang ditimbulkan karena atelektasis
d. Berikan periode istirahat yang cukup diantara waktu aktivitas perawatan.
Pertahankan lingkungan yang tenang.
R : menurunkan konsumsi O2
e. Berikan tambahan O2 yang dilembabkan melalui cara yang sesuai misalnya melalui
bkanula, masker, intubasi / ventilasi mekanis.
R : mempertahankan ventilasi / oksigenasi efektif untuk mencegah / memperbaiki
krisis pernapasan.
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d hipovolemia
Tujuan : menunjukkan perfusi adekuat yang dibuktikan dengan tanda-tanda dan vital
stabil, nadi perifer jelas, kulit hangat dan kering, tingkat kesadaran umum,
haluaran urinarius individu yang sesuai dan bising usus aktif.
Intervensi :
a. Pertahankan tirah baring; bantu dengan aktivitas perawatan
R : menurunkan beban kerja mokard dan konsumsi O2, memaksimalkan efektifitas
dari perfusi jaringan
b. Pantau kecenderungan pada tekanan darah, mencatat perkembangan hipotensi, dan
perubahan pada tekanan denyut.
R : hipotensi akan berkembang bersamaan dengan mikroorganisme menyerang
aliran darah, menstimulasi pelepasan dan aktivasi dari substansi hormonal maupun
kimiawi yang umumnya menghasilkan vasodilatasi perifer, penurunan tahapan
vaskuler sistemik dan hipovolemia relatif.
c. Pantau frekuensi dan irama jantung. Perhatikan disritmia
R : disritmia jantung dapat terjadi sebagai akibat dari hipoksia, ketidakseimbangan
elektrolit / asam basa dan status aliran perfusi yang rendah
d. Kaji kulit terhadap perubahan warna, suhu, dan kelembaban.
R : mekanisme kompensasi dari vasodilatasi mengakibatkan kulit hangat, merah
muda, kering, adalah karakteristik dan hiperfusi pada fase hiperdinamik dan syok
septik dini.
e. Pertahankan suhu tubuh, gunakan bantuan tambahan sesuai kebutuhan.
R : memaksimalkan O2 yang tersedia untuk masukan seluler.