Anda di halaman 1dari 64

(Sistemisc Lupus Erythematosus)

1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala
yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala
tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung
jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki,
tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.

1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.


Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :
a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres hangat; masase, perubahan posisi,
istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)
b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
c. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan nyeri.
d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik penyakitnya.
e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering membawanya
kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai metode terapi yang
belum terbukti manfaatnya.
g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.

1. Nyeri
2. Keletihan
3. Gangguan integritas kulit
4. Kerusakan mobilitas fisik
5. Gangguan citra tubuh

1. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama kortikosteroid, secara topikal
untuk kutaneus.
2. Obat antimalaria untuk gejala kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
3. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
1. Sistem muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.
2. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki,
tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering
terjadi depresi dan psikosis.

2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.


Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang diperlukan untuk
mengubah.
Intervensi :
a. Beri penjelasan tentang keletihan :
• hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan
• menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara melaksanakannya
• mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air hangat dan teknik relaksasi yang
memudahkan tidur)
• menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan emosional
• menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga
• kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.
b. Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
c. Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
d. Rujuk dan dorong program kondisioning.
e. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri
pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :
a. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.
b. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :
• Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit
• Meningkatkan pemakaian alat bantu
• Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.
• Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.
c. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
d. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.
• Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
• Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas.
• Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi
4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta psikologis
yang diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik yang ditimbulkan enyakit.
Intervensi :
a. Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan penanganannya.
b. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
• Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.
• Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.
• Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan
kompleks imun.
Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.

Ada 3 jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu:


1. Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus yang menyerang kulit.
2. Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system di dalam tubuh, seperti kulit, sendi,
darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan sistem saraf. Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemics Lupus
Erythematosus).
3. Drug-Induced, penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu. Gejala-gejalanya biasanya
menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.

Asuhan Keperawatan SLE

Asuhan Keperawatan SLE

Daftar Pustaka

Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang
klasik mencakup demam, keletihan serta penurunan berat badan dan kemungkinan pula artritis, peuritis dan
perikarditis.
Pemeriksaan serum : anemia sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leukopenia dan antibodi
antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mendukung tapi tidak memastikan diagnosis.

Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

Etiologi SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus)

Evaluasi Diagnostik SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus)

Intervensi

Intervensi :
a. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
b. Hilangkan kelembaban dari kulit
c. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan kompres hangat yang terlalu
panas.
d. Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
e. Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.

Klasifikasi SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus)


Manifestasi Klinis SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus)

Masalah Keperawatan

Patofisiologi SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus)

Penatalaksanaan Medis SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus)

Pengertian SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus)

Pengkajian

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi
yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat
dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal
sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen
yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

Ruth F. Craven, EdD, RN, Fundamentals Of Nursing, Edisi II, Lippincot, Philadelphia, 2000

Sampai saat ini faktor yang merangsang sistem pertahanan diri untuk menjadi tidak normal belum diketahui.
Ada kemungkinan faktor genetik, kuman virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu memainkan peranan.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Ini
menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun
perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) bukanlah suatu penyakit keturunan. Walau bagaimanapun,
mewarisi gabungan gen tertentu meningkatkan lagi risiko seseorang itu mengidap penyakit Sistemik Lupus
Erythematosus (SLE).

SLE (Sistemisc lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui,
dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh
terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.

Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun,
dimana tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal,
hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri
ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.

Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Volume 3.
Jakarta : EGC.
Tags: askep sle, lupus eritematosus, lupus eritematosus sistemik

Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Cetakan I, EGC, Jakarta, 1997

aporan Pendahuluan SLE dan DLE

Lupus eritematosus merupakan kelainan autoimun, yang terdapat dalam dua bentuk utama : Lupus
Eritematosus Sistemik ( systemic lupus erythematosus, SLE ) yang dapat menyerang kulit maupun organ-organ
dalam, dan Lupus Eritematosus Diskoid ( discoid lupus erythematosus, DLE ), yang hanya bisa menyerang
kulit. Pada sebagian kecil pasien, DLE bisa berkembang menjadi SLE. varian ketiga, yaitu lupus Eritematosus
Kutan Subakut ( subacute cutaneous lupus erythematosus, SCLE ), mempunyai cirri lesi kulit berbeda yang
mungkin berkaitan dengan gejala-gejala sistemik.

SLE ( systemic lupus erythematosus ) merupakan kelainan multisistem, yang dapat menyerang kulit,
persendian, jantung, pericardium, paru-paru, ginjal, otak, dan sistem hemopoletik. Penyakit ini secara khas
menyerang perempuan, terutama pada usia subur, serta berlanjut dalam suatu seri terjadinya eksaserbasi dan
remisi.

DLE ( discoid lupus erythematosus ) adalah salah satu bentuk LE dengan manifestasi klinik hanya
berupa lesi di kulit tanpa kelainan sistemik. Namun dikatakan ada 5 – 10 % penderita DLE dapat berkembang
menjadi SLE dengan manifestasi klinik pada multipel organ dan dengan prognosis yang kurang baik. DLE
adalah kelainan kulit non neoplastik yang penegakan diagnosis histopatologisnya sangat sulit, karena
banyaknya kemiripan dengan gambaran pada penyakit lain. Bentuk DLE yang merupakan 60 % seluruh SLE.

Cara untuk mendiagnosis penyakit ini adalah secara klinis dan histopatologis, serta harus dibedakan dengan
penyakit lain yang mirip secara klinis dan histopatologis dari penyakit ini. Untuk mendapatkan ketepatan
diagnosis dan penatalaksanaan penyakit ini, perlu kerjasama yang baik antara bagian patologi anatomi dan
bagian kulit dan kelamin dalam suatu RS.

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

PENGKAJIAN

IDENTITAS

Penyakit SLE ( Sistemik Lupus Eritematosus ) kebanyakan menyerang wanita, bila dibandingkan dengan
pria perbandingannya adalah 8 : 1. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang berkulit hitam dari pada
orang yang berkulit putih.

Penyakit DLE ( Lupus eritematosus Diskoid ) kebanyakan menyerang manusia dewasa dengan umur antara
25 - 40 tahun. Penderita wanita berjumlah 2 kali lebih banyak dibanding dengan penderita pria. Dapat
mengenai semua ras, namun terbanyak menyerang pada orang kulit hitam.
KELUHAN UTAMA

Pada SLE ( Sistemik Lupus Eritematosus )

Kelainan kulit meliputi eritema malar ( pipi ) rash seperti kupu-kupu, yang dapat mengenai seluruh tubuh,
sebelumnya pasien mengeluh demam dan kelelahan.

Pada DLE ( Lupus Eritematosus Diskoid )

Lesi kulit ( makula atau plak eritematosus ) berbentuk discoid atau koin. Pada bagian yang sering terkena
sinar matahari .

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pada penderita SLE dan DLE, di duga adanya riwayat penyakit Anemia Hemolitik, Trombositopeni,
abortus spontan yang unik. Kelainan pada proses pembekuan darah ( kemungkinan sindroma, antibody,
antikardiolipin ).

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Faktor genetic keluarga yang mempunyai kepekaan genetik sehingga cenderung memproduksi auto
antibody tertentu sehingga keluarga mempunyai resiko tinggi terjadinya Lupus Eritematosus, baik SLE
ataupun DLE.

POLA – POLA FUNGSI KESEHATAN

a. Pola Nutrisi

Penderita SLE banyak yang kehilangan be rat badannya samapi beberapa kg, penyakit ini diseratai
adanya rasa mual dan muntah sehingga mengakibatkan penderita nafsu makannya menurun.

b. Pola Aktivitas

Penderita SLE dan DLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa Pada penderita DLE yang
beresiko terkena atau berkembang menjadi SLE mengalami nyeri pada persendian nya.

c. Pola Eliminasi

Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif mesangial, Namun, secara klinis
penderita ini juga mengalami diare.

d. Pola Sensori dan Kognitif

Pada penderita SLE, Daya perabaannya akan sedikit terganggu bila pada jari – jari tangannya
terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik

e. Pola Persepsi dan Konsep Diri

Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang menimbulkan bekas seperti luka dan
warna yang buruk pada kulit penderita SLE dan terutama DLE akan membuat penderita merasa
malu dengan adanya lesi kulit yang ada.
PEMERIKSAAN FISIK

a. Sistem Integumen

Pada penderita SLE cenderung mengalami kelainan kulit eritema molar yang bersifat irreversibel.
Namun pada penderita DLE banyak terdapat kelainan kulit yaitu lesi yang biasanya bersifat
reversibel

b. Kepala

Pada penderita SLE mengalami lesi pada kulit kepala dan kerontokan yang sifatnya reversibel dan
rambut yang hilang akan tumbuh kembali.

Pada penderita DLE juga mengalami lesi kulit kepala dan kerontokan rambut yang bersifat
irreversibel

c. Muka

Pada penderita SLE tidak selalu terdapat pada muka/wajah

Pada DLE sekitar 85 % terdapat lesi pada muka / wajah dan konke aurikularis bersifat irrversibel

d. Telinga

Pada penderita SLE tidak selalu ditemukan lesi di telinga. Namun pada penderita DLE biasanya
ditemukan lesi pada telinga.

e. Mulut

Pada penderita SLE sekitar 20% terdapat lesi mukosa mulut.

Pada penderita DLE mukosa mulutnya juga sering terdapat lesi sebesar 15 % bersifat irreversibel.

f. Ekstrimitas

Pada penderita SLE sering dijumpai lesi vaskulitik pada jari-jari tangan dan jari jari-jari kaki, juga
sering merasakan nyeri sendi. Pada penderita DLE sebesar 14 % lesi juga ada terdapat di
ekstrimitas atas terutama punggung tangan.

g. Paru – paru

Penderita SLE mengalami pleurisy, pleural effusion, pneumonitis, interstilsiel fibrosis.

h. Leher

Penderita SLE tiroidnya mengalami abnormal, hyperparathyroidisme, intolerance glukosa.

i. Jantung

Penderita SLE dapat mengalami perikarditis, myokarditis, endokarditis, vaskulitis.


j. Gastro Intestinal

Penderita SLE mengalami hepatomegaly / pembesaran hepar, nyeri pada perut.

k. Muskuluskletal

Penderita mengalami arthralgias, symmetric polyarthritis, efusi dan joint swelling.

l. Sensori

Penderita mengalami konjungtivitis, photophobia.

m. Neurologis

Penderita mengalami depresi, psychosis, neuropathies.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Penderita SLE

Diagnosis dapat ditemukan dengan melakukan biopsi kulit. Pada pemeriksaan histologi terlihat adanya
infiltrat limfositik periadneksal, proses degenerasi berupa mencairnya lapisan basal epidermis
penyumbatan folikel, dan hyperkeratosis. Imunofluoresensi langsung pada kulit yang mempunyai lesi
memberikan gambaran pola deposisi immunoglobulin seperti yang terlihat pada SLE.

 Penderita DLE

Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop electron pada lesi kulit menunjukkan adanya perubahan
pada sel basal dan lamina densa. Sel basal menunjukkan vakuolisasi pada sitoplasmanya, yang
kemudian akan mengalami nekrosis dan disintegrasi, akan terlihat sebagai koloid / civatte bodies pada
dermis dan epidermis, yang gambarannya sangat mirip dengan yang terlihat pada liken planus.

Pemeriksaan laboratorium yang penting adalah pemeriksaan serologis terhadap autoantibodi /


antinuklear antibodi / ANA yang diproduksi pada penderita LE. Skrining tes ANA ini dilakukan dengan
teknik imunofluoresen indirek, dikenal dengan fluorescent antinuclear antibody test ( FANA
).DIAGNOSA KEPERAWATAN

Pada penderita SLE

1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d penurunan keinginan untuk makan yang berakibat
anoreksia, mual dan muntah

2. Diare b/d perforasi usus besar dan kecil

3. Gangguan kenyamanan ( nyeri ) b/d kram abdomen, diare dan muntah – muntah akibat vaskulitasi pada
usus

4. Kelebihan vol. cairan b/d gangguan mekanisme regulator sekunder akibat gagal ginjal

5. Resiko terhadap cedera b/d kerusakan fungsi sensori penglihatan


Pada penderita DLE

1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d kesulitan mengunyah dan menelan terhadap lesi pada
mukosa mulut.

2. Kerusakan integritas kulit b/d inflamasi sambungan dermis-epidermis akibat lupus eritematosus.

3. Perubahan membrane mukosa mulut b/d lesi oral.

4. Intoleransi aktivitas b/d menurunya tonus otot.

5. Gangguan konsep diri b/d perubahan penampilan akibat bekas atrofi.

INTERVENSI KEPERAWATAN

Pada penderita SLE

1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d penurunan keinginan untuk makan yang berakibat
anoreksia, mual dan muntah

Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi dan berat badan naik

Kriteria hasil : - Individu akan meningkatkan masukan oral

- Individu dapat menjelaskan faktor – faktor penyebab

- Individu dapat menjelaskan rasional dan prosedur untuk pengobatan

Intervensi :

1) Tentukan kebutuhan kalori harian yang realitan dan adekuat

R/ Pemberian makanan kebutuhan kalori dapat terpenuhi secara tepat dan sama dengan
kebutuhan pasien

2) Ukur BB minimal 1 minggu dan periksa hasil lab terbaru

R/ Mengetahui perkembangan kesehatan terhadap pengobatan tang telah diberikan

3) Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering

R/ Menghindari rasa mual. Namun kebutuhan tubuh tetap terpenuhi

2. Diare b/d perforasi usus besar dan kecil

Tujuan : Diare berkurang atau hilang

Kriteria hasil : - Individu akan melaporkan diare berkurang

- Individu akan menggambarkan faktor – faktor yang mempengaruhi


Intervensi :

1) Hindari produk susu, lemak, dan makanan yang berserat tinggi

R/ Produksi susu, lemak, dan makanan yang berserat tinggi dapat menyebabkan diare semakin
paruh

2) Secara bertahap tambahkan makanan semi padat dan padat

R/ Menormalkan kembali fungsi pencernaan secara berkesinambungan

3) Perbanyak cairan tinggi kalium dan natrium

R/ Mengganti cairan elektrolit yang telah hilang saat BAB

3. Gangguan kenyamanan ( nyeri ) b/d kram abdomen, diare dan muntah – muntah akibat vaskulitasi pada
usus

Tujuan : Mengurangi rasa nyeri

Kriteria hasil : - Individu akan memperlihatkan bahwa orang lain membenarkan adanya nyeri

- Individu akan menghubungkan pengurangan rasa nyeri setelah melakukan tindakan peredaan rasa nyeri

Intervensi :

1) Kaji tingkat nyeri yang dialami oleh pasien

R/ Mengetahui keadaan umum nyeri yang diderita oleh pasien

2) Ajarkan metode distraksi dan relaksasi selama nyeri akut

R/ Meminimalkan atau mengurangi rasa nyeri yang timbul

3) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk pemberian analgesik

R/ Analgesik dapat mengurangi rasa nyeri

4. Kelebihan vol. cairan b/d gangguan mekanisme regulator sekunder akibat gagal ginjal

Tujuan : Vol. cairan dalam tubuh dapat kembali normal

Kriteria hasil : - Individu akan memperlihatkan penurunan edema perifer dan sacral

- Individu akan menyebutkan faktor – faktor penyebab

Intervensi :

1) Jelaskan penyebab retensi cairan

R/ Pasien dapat mengerti dan dapat melakukan intervensi secara tepat


2) Kaji masukan diet dan kebiasaan yang dapat menunjang retensi cairan

R/ Menjauhi kebiasaan makanan pasien, sehingga dapat membatasi / mengurangi kebiasaan


makan pasien yang tidak sehat

3) Ajarkan individu untuk mengolah makanan tanpa garam dan menggunakan bumbu – bumbu
untuk menambah rasa

R/ Pemberian garam dapat mengganggu fungsi ginjal, dan dapat menyebabkan hipernatrium

5. Resiko terhadap cedera b/d kerusakan fungsi sensori penglihatan

Tujuan : Mencegah agar tidak terjadi resiko cedera pada sistem penglihatan

Kriteria hasil : - Individu akan mengungkapkan suatu maksud untuk melakukan tindakan

– Individu akan mengungkapkan suatu keinginan untuk melakukan tindakan

– tindakan pengamanan sehingga mencegah cedera

Intervensi :

1) Orientasikan setiap pasien baru terhadap sekeliling

R/ Membiasakan pasien pada kondisi yang akan dijalaninya

2) Pantau pasien pada saat malam, selama beberapa hari

R/ tingkat ketajaman penglihatan pasien pada malam hari menurun

3) Kaji adanya efek samping obat – obatan yang dapat menyebabkan vertigo

R/ Efek samping seperti vertigo dapat menghambat proses penyembuhan

Pada penderita DLE

1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d kesulitan mengunyah dan menelan terhadap lesi pada
mukosa mulut.

Tujuan :kebutuhan nutrisi dapat kembali sesuai kebutuhan tubuh

Kriteria hasil: - Individu dapat menjelaskan faktor penyebab dan prosedur perawatan.

- Berat badan meningkat.

- Individu mendapatkan pengalaman tentang nutrisi yang adekuat.

Intervensi :

1) Kaji faktor penyebab.


R/ untuk mengetahui rencana keperawatan yang akan dilakukan

2) Anjurkan pasien untuk menggunakan suplemen tinggi kalori

R/ sebagai pendamping atau tambahan makanan pokok

3) Ubah variasi rasa dan kepadatan makanan

R/ untuk merangsang selera makan

4) Anjjurkan pasien untuk selalu membersihkan mulut setelah makan

R/ tidak terdapat sisa makanan dalam mulut

2. Kerusakan integritas kulit b/d inflamasi sambungan dermis-epidermis akibat lupus eritematosus.

Tujuan : mempertahankan integritas kulit

Kriteria hasil : - Individu dapat menyebutkan rasional tindakan

- Individu dapat berpartisipasi dalam rencana perawatan

Intervensi :

1) Identifikasi derajat luka

R/ menentukan intervensi

2) Tutupi luka dengan balutan steril

R/meminimalkan kontaminasi

3) Ajarkan pasien dan keluarga cara merawat luka

R/ agar dapat berkolaborasi dalam proses penyambuhan luka

4) Bersihkan luka dengan larutan NaCL setiap hari

R/ larutan NaClsamadengan cairan fisiologis tubuh

5) Anjurkan untuk menggunakan pakaian tertutup, jika keluar ruangan

R/ sinar matahari dapat memperparah atau memperburuk kondisi

3. Perubahan membrane mukosa mulut b/d lesi oral.

Tujuan : membran mukosa dapat kembali normal.

Kriteria hasil : - Individu bebas dari iritasi mukosa mulut

- Individu dapat mengungkapkan dan menunjukan pengetahuan yang optimal tentang kebersihan mulut
Intervensi :

1) Kaji adanya faktor penyebab

R/ menetukan rencana keperawatan yang akan dilakukan

2) Anjurkan pasien untuk menghindari mencuci mulut dengan larutan yang mengandung alkohol,
swab lemon / gliserin atau penggunaan perhidrol yang lama

R/ larutanm tersebut dapat memperburuk keadaan luka

3) Lakukan kebiasaan menyikat gigi setelah makan dan sebelum tidur

R/ agar mulut selalu dalam keadaan bersih sehungga tidak ada kuman yang tertinggal

4) Kolaborasi dengan tim dokter tentang pemberian obat

R/ pemberian obat dapat mempercepat proses penyembuhan

4. Intoleransi aktivitas b/d menurunya tonus otot.

Tujuan : meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot

Kriteria hasil : - Individu dapat mengungkapkan dan menunjukan teknik untuk mengurangi intoleran aktivitas

- Individu mampu mempertahankan TD, nadi, dan nafas dalam rentang yang telah ditentukan sebelumnya
selama aktiuvitas

- Individu dapat mengungkapkan faktor yang memperberat intoleransi aktifitas

Intervensi :

1) Atur dan rubah posisi pasien setiap satu jam atau jika perlu

R/ mencegah terjadinya ulkus pada daerah kulit

2) Ajarkan pasien teknik latian ROM secara aktif dan pasif

R/ agar otot tidak terasa kaku

3) Dorong pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri

R/ pasien secara mandiri dapat melakukan aktifitasnya sendiri

4) Kaji tanda-tanda vital sebelum dan sesudah aktivitas

R/ mengetahui kondisi dan perkembangan pasien

5. Gangguan konsep diri b/d perubahan penampilan akibat bekas atrofi.

Tujuan : meningkatkan konsep diri


Kriteria hasil : - individu dapat menunjukan dan menyatakan peningklatan konsep diri

- individu dapat adaptasi yang baik terhadap lingkungan sekitar

Intervensi :

1) Bina hubungan saling percaya

R/ agar pasien dapat secara bebas menceritakan apa yang sedang dirasakan

2) Ciptakan lingkungan yang kondusif

R/ pasien dapat merasa nyaman terhadap lingkungannya

3) Dorong pasien untuk menyatakan apa yang ia rasakan

R/ membantu mengurangi beban pikiran yang dirasakan oleh pasien

EVALUASI

a. Berhasil : Perilaku pasien sesuai pernyataan tujuan dalam waktu atau tanggal yang ditetapkan di tujuan.
b. Tercapai sebagian : Pasien menunjukkan perilaku tetapi tidak sebaik yang ditentukan dalam pernyataan
tujuan.

Belum tercapai : pasien tidak mampu sama sekali menunjukan perilaku yang diharapkan sesuai dengan
pernyataan tujuan.
Diposkan oleh dark_nurse_academic di 00.59

ASKEP Penyakit Lupus (Sistem Imun dan Hematologi)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti “Anjing hutan,” atau “Serigala,” merupakan
penyakit kelainan pada kulit, dimana disekitar pipi dan hidung akan terlihat kemerah-merahan. Tanda awalnya
panas dan rasa lelah berkepanjangan, kemudian dibagian bawah wajah dan lengan terlihat bercak-bercak merah.
Tidak hanya itu, penyakit ini dapat menyerang seluruh organ tubuh lainnya salah satunya adalah menyerang
ginjal. Penyakit untuk menggambarkan salah satu ciri paling menonjol dari penyakit itu yaitu ruam di pipi yang
membuat penampilan seperti serigala. Meskipun demikian, hanya sekitar 30% dari penderita lupus benar-benar
memiliki ruam “kupu-kupu,” klasik tersebut.
Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang diakibatkan kuman, virus, dan
lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita lupus, sistem imun menjadi berlebihan, sehingga justru
menyerang tubuh sendiri, oleh karena itu disebut penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan
keradangan di berbagai organ tubuh kita, misalnya: kulit yang akan berwarna kemerahan atau erythema, lalu
juga sendi, paru, ginjal, otak, darah, dan lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini dinamakan “Sistemik,” karena
mengenai hampir seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak
terkena, maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya dibandingkan lupus yang
sistemik (Sistemik Lupus /SLE). Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri
maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi,
sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu
dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak
pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).
Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil penelitian Lembaga
Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung sudah terdapat 350 orang yang
terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat
diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan
peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya
kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan
SLE. Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik,
neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah proses penyakit lupus tersebut ?
2. Bagaimanakah tindakan yang akan dilakukan seorang perawat / mahasiswa calon perawat, bila menghadapi
klien dengan penyakit lupus tersebut ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan


1. Tujuan Penulisan
a) Tujuan Umum :
Untuk mengetahui dan dapat memahami penjabaran tentang penyakit lupus.
b) Tujuan Khusus :
1) Mampu menjelaskan tentang defenisi, etiologi, klasifikasi / jenis-jenis penyakit lupus, patofisiologi dan
pathway, manifestasi klinis (tanda dan gejala), prognosis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan serta
komplikasi penyakit lupus.
2) Mampu menjabarkan dan atau membuat asuhan keperawatan pada klien yang menderita penyakit lupus.
2. Manfaat Penulisan
a) Manfaat Teoritis :
1) Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam mengetahui tentang penyakit lupus
2) Sebagai bahan ajar dalam proses belajar-mengajar di kelas.
b) Manfaat Praktis :
Dengan adanya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususnya seorang perawat maupun mahasiswa calon
perawat dalam mengkaji laporan pendahuluan (defenisi, etiologi, dan lain-lain) serta dalam menyusun asuhan
keperawatan pada klien yang menderita penyakit lupus.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar
Penyakit lupus termasuk penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan antibodi yang sebenarnya
untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang ada di tubuh, tetapi dalam keadaan autoimun, antibodi tersebut
ternyata merusak organ tubuh sendiri. Organ tubuh yang sering dirusak adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, paru,
otak, dan sistem pembuluh darah. Semakin lama proses perusakan terjadi, semakin berat kerusakan tubuh. Jika
penyakit lupus melibatkan ginjal, dalam waktu lama fungsi ginjal akan menurun dan pada keadaan tertentu
memang diperlukan cuci darah. (Dr. Samsuridjal Djauzi, 2009)
Penyebab penyakit lupus belum diketahui secara pasti, agaknya disebabkan kombinasi berbagai faktor
seperti genetik, hormon, infeksi, dan lingkungan. Terjadi penyimpangan pada sistem kekebalan yang pada
mulanya sistem kekebalan tidak bisa membedakan teman dan musuh, kemudian “teman-teman” sendiri (sel-sel
tubuh/organ sendiri) dianggap sebagai musuh, sehingga dibuat zat anti terhadap sel-sel tersebut, kemudian zat
anti ini menyerang sel-sel tubuh.organ sendiri tersebut. Akibatnya serangan ini menimbulkan kerusakan-
kerusakan pada organ tersebut.
Ada berita dari Jerman yang menyatakan sekelompok peneliti mencurigai ada suatu enzim dalam sel
yang bertugas menghancurkan DNA dari sel yang sudah mati, tetapi enzim ini tidak bekerja normal, sehingga
DNA tersebut tidak habis, tetapi sisa-sisa hancuran DNA masih ada. Tehadap sisa-sisa ini kemudian terbetuk
zat anti. Dengan cara penyakit ini mengganggu kesehatan, maka penyakit ini digolongkan dalam penyakit
autoimun. Penyakit ini juga menyerang beberapa organ lain, yaitu organ saluran pencernaan dan bahkan bisa
sampai kelainan jiwa (psikosis). Penyakit ini terdiagnosis saat organ tubuh telah mengalami kerusakan parah.
Gejala penyakit lupus sistemik amat beragam. Demam merupakan gejala yang sering timbul. Disamping
itu mungkin juga terdapat nyeri sendi, kelainan pada kulit, anemia, gangguan fungsi ginjal, nyeri kepala sampai
kejang. Pada jantung atau paru, bisa terdapat cairan sehingga timbul sesak napas. Gejala ini tidak semuanya
timbul pada seorang penderita lupus. Penderita lupus mungkin hanya mengalami beberapa gejala saja.
Gejala lainnya adalah perempuan merasa lebih gampang lelah, rambut rontok, sering demam, sering
sariawan, kencing mengandung protein, serta mengalami fotosensitif. Ini dikemukakan oleh Prof. Handono
Kalim selaku Ketua Indonesian Rheumatology Association (IRA) (Antar News, 2012).
Seperti yang diungkapkan dalam buku kecil Care for Lupus (Syamsi Dhuha), Lupus adalah sebutan
umum dari suatu kelainan yang disebut sebagai Lupus Erythematosus.
Dalam istilah sederhana, seseorang dapat dikatakan menderita penyakit Lupus Erythematosus saat
tubuhnya menjadi alergi pada dirinya sendiri.
Penyakit ini dalam ilmu kedokteran disebut Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu ketika penyakit
ini sudah menyerang seluruh tubuh atau sistem internal manusia. Dalam ilmu imunologi atau kekebalan tubuh,
penyakit ini adalah kebalikan dari kanker atau HIV/AIDS. Pada Lupus, tubuh menjadi overacting terhadap
rangsangan dari sesuatu yang asing dan membuat terlalu banyak antibodi atau semacam protein yang malah
ditujukan untuk melawan jaringan tubuh sendiri. Dengan demikian, Lupus disebut sebagai autoimmune disease
(penyakit dengan kekebalan tubuh berlebihan).
Penyakit ini dikelompokkan dalam tiga jenis (kelompok), yaitu :
1. Penyakit Lupus Diskoid
Cutaneus Lupus atau sering disebut dengan discoid, adalah penyakit lupus yang terbatas pada kulit. Klien
dengan lupus diskoid memiliki versi penyakit yang terbatas pada kulit, ditandai dengan ruam yang muncul pada
wajah, leher, dan kulit kepala, tetapi tidak memengaruhi organ internal.
Penyakit ini biasanya lebih ringan biasanya sekitar 10%-15% yang berkembang menjadi lupus sistemik.
2. Penyakit Lupus Sistemik
Pada sekitar 10% pasien lupus diskoid, penyakitnya berevolusi dan berkembang menjadi lupus sistemik yang
memengaruhi organ internal tubuh seperti sendi, paru-paru, ginjal, darah, dan jantung. Lupus jenis ini sering
ditandai dengan periode suar (ketika penyakit ini aktif) dan periode remisi (ketika penyakit ini tidak aktif).
Tidak ada cara untuk memperkirakan berapa lama suar akan berlangsung. Setelah suar awal, beberapa pasien
lupus sembuh dan tidak pernah mengalami suar lain, tetapi pada beberapa pasien lain suar datang dan pergi
berulang kali selama bertahun-tahun.
3. Drug Induced Lupus (DIL)
DIL atau dikenal dengan nama Lupus karena pengaruh obat. Jenis lupus ini disebabkan oleh reaksi terhadap
obat resep tertentu dan menyebabkan gejala sangat mirip lupus sistemik. Obat yang paling sering menimbulkan
reaksi lupus adalah obat hipertensi hydralazine dan obat aritmia jantung procainamide, obat TBC Isoniazid, obat
jerawat Minocycline dan sekitar 400-an obat lain. Gejala penyakit lupus mereda setelah pasien berhenti
mengkonsumsi obat pemicunya.
Ada juga “Lupus neonatal” yang jarang terjadi. Kondisi ini terjadi pada bayi yang belum lahir dan bayi baru
lahir dapat memiliki ruam kulit dan komplikasi lain pada hati dan darahnya karena serangan antibodi dari
ibunya. Ruam yang muncul akan memudar dalam enam bulan pertama kehidupan anak.
Penyakit lupus ini bermacam-macam. Jika menyerang kulit, kulit kepala akan ngelotok sehingga
rambutpun akan rontok. Jika menyerang tulang, seluruhnya sakit, berbaring posisi apa pun sakit. Biasanya
untuk menghilangkan sakit menggunakan morfin, tapi jika menggunakan morfin efeknya tidak baik, jadi sering
kali penderita berteriak kesakitan, mengerikan memang. Jika menyerang darah, darahnya akan mengental dan
tidak mencapai otak, stroke dan koma. Lupus itu mirip AIDS bahkan mungkin lebih parah, daya tahan tubuh
penderita menurun drastis, sehingga penyakit-penyakit mudah menyerang tubuh penderita.
Penyakit lupus ini dapat menyerang siapa saja dan para peneliti masih menindak lanjuti penyebab
penyakit ini. Penyakit lupus justru kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai usia 50 tahun sekalipun
ada juga pria yang mengalaminya. Menurut perkiraan para ilmuwan bahwa hormon wanita (hormon estrogen)
mungkin ada hubungannya dengan penyebab penyakit lupus karena dari fakta yang ada diketahui bahwa 9 dari
10 orang penderita penyakit lupus adalah wanita. Yang memicu penyakit lupus adalah lingkungan, stress, obat-
obatan tertentu, infeksi, dan paparan sinar matahari.
Pada kehamilan dari perempuan yang menderita penyakit lupus, sering diduga berkaitan dengan
kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan perkembangan janin atau pun bayi meninggal saat lahir.
Tetapi hal yang berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk gejala penyakit lupus. Sering dijumpai
gejala penyakit lupus muncul sewaktu hamil atau setelah melahirkan.
Kebanyakan kasus memiliki latar belakang dari riwayat keluarga yang pernah terkena sebelumnya,
namun dalam beberapa kasus tidak ada penyebab yang jelas untuk penyakit ini. Penyakit lupus telah banyak
diteliti dan telah dikaitkan dengan gangguan lain, tetapi hanya dalam teori, tidak ada yang jelas dinyatakan
sebagai fakta.
Sampai saat ini, Lupus masih merupakan penyakit misterius di kalangan medis. Kecuali lupus yang
disebabkan reaksi obat, penyebab pasti penyakit ini tidak diketahui. Perdebatan bahkan masih berlangsung
mengenai apakah lupus adalah satu penyakit atau kombinasi dari beberapa penyakit yang berhubungan. Sekitar
90% penderita lupus adalah perempuan, yang mengindikasikan bahwa penyakit ini mungkin terkait hormon-
hormon perempuan. Menstruasi, menopause dan melahirkan dapat memicu timbulnya lupus. Sekitar 80%
pasien lupus menderita penyakit ini di usia antara 15 sampai dengan 45 tahun atau 50 tahun.
Biasanya odipus (orang hidup dengan lupus) akan menghindari hal-hal yang dapat membuat
penyakitnya kambuh dengan :
1. Menghindari stress
2. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari
3. mengurangi beban kerja yang berlebihan
4. menghindari pemakaian obat tertentu. ( sumber wikipedia indonesia)

Saat ini tidak ada tes tunggal yang dapat memastikan apakah seseorang terkena penyakit lupus.
Diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan komprehensif yang mempertimbangkan semua gejala dan
riwayat penyakit.
Pada tahun 1982 American College of Rheumatology atau American Rheumatism Association (ARA)
menetapkan “Sebelas Kriteria Lupus” untuk membantu dokter mendiagnosis lupus dan yang diperbaharui tahun
1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode
pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :
1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi dimana
tulang di sekitar persendiantidak mengalami kerusakan
2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormalditemukan dengan immunofluoroscence atau
pemeriksaan serupajika diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat memicu ANAsebelumnya
3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada
wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar)
4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV /matahari, menyebabkan pembentukan
atau semakin memburuknya ruam kulit
5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit
6. Salah satu Kelainan darah :
a) anemia hemolitik,
b) Leukosit < 4000/mm³,
c) Limfosit<1500/mm³, dan
d) Trombosit <100.000/mm³
7. Salah satu Kelainan Ginjal :
a) Proteinuria > 0,5 g / 24 jam,
b) Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel darah merah/putih maupun
sel tubulus ginjal
8. Salah satu Serositis :
a) Pleuritis,
b) Perikarditis
9. Salah satu kelainan Neurologis :
a) Konvulsi / kejang,
b) Psikosis
10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapatditemukan
11. Salah satu Kelainan Imunologi :
a) Sel LE+
b) Anti dsDNA diatas titer normal
c) Anti Sm (Smith) diatas titer normal
d) Tes serologi sifilis positif palsu

B. Pengobatan Tradisional Penyakit Lupus Menggunakan Obat Herbal


Jika sudah terkena Lupus harus segera mendapat penanganan yang serius. Didalam makalah ini tim
penulis juga akan memberikan beberapa saran pengobatan penyakit lupus secara herbal alami dengan kombinasi
produk herbal dari PT UFO BKB Syariah yaitu :
1. XAMthone Plus
2. Madu Cerna
3. Teh Murbei
4. Kapsul MGL Super
Madu Cerna fungsinya menyembuhkan sistim saluran pencernaan yang sudah diserang sehingga nanti
bisa menyerap zat dari XAMthone Plus, Teh Murbei dan Kapsul MGL untuk menormalkan sistim kekebalan
tubuh yang berlebihan tersebut.
Secara spesifik Teh Murbei dan Kapsul MGL Super akan memperbaiki kinerja ginjal yang sudah rusak
yang menyebabkan persendian sakit bahkan tidak bisa digerakkan atau lumpuh. Perlu diketahui ginjal adalah
benteng pertahanan pertama dari tubuh kita karena semua zat-zat yang masuk ke dalam tubuh akan di saring di
ginjal. Sedangkan XAMthone Plus akan memperbaiki sistem-sistem secara keseluruhan.

BAB III
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Defenisi Penyakit Lupus


Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit autoimun artinya tubuh pasien lupus
membentuk antibodi yang salah arah, yang akhirnya merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel
darah merah, leukosit, atau trombosit dan organ lain. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri
ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
Lupus adalah penyakit yang disebabkan sistem imun menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat
dengan kata lain, sistem imun yang terbentuk berlebihan. Kelainan ini dikenal dengan autoimunitas. Pada satu
kasus penyakit ini bisa membuat kulit seperti ruam merah yang rasanya terbakar (lupus DLE). Pada kasus lain
ketika sistem imun yang berlebihan itu menyerang persendian dapat menyebabkan kelumpuhan (lupus SLE).
SLE (Sistemics lupus erythematosus) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum
diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi
disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoimun dalam tubuh.
SLE atau LES (lupus eritematosus sistemik) adalah penyakit radang atau imflamasi multisystem yang
penyebabnya diduga karena adanya perubahan system imun (Albar, 2003).
B. Etiologi
Sehingga kini faktor yang merangsangkan sistem pertahanan diri untuk menjadi tidak normal belum
diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman, virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu
memainkan peranan.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Ini
menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun
perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian.

C. Patofis (Patofisiologis)
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoimun
yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat
dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. .
Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang
tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal
terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen.
Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik
yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian
dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutamaterletak pada
nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon.Kebanyakan diantaranya dalam
keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel
ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan
komponen integral semua jenis sel.Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody).
Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah
ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks
imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun
Uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit
kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam
organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi
komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah
yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi,
pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya
mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.

D. Manifestasi Klinis
Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit lain, dan antibodi
ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang.
Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi,
mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa
kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari
akan melibatkan organ lainnya.
1. Sistem Muskuloskeletal
a) Artralgia
b) artritis (sinovitis)
c) pembengkakan sendi,
d) nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, dan
e) rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem Integument (Kulit)
a) Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi,
dan
b) Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
a) Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
a) Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
a) Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
b) eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi
lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
a) Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
a) Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering
terjadi depresi dan psikosis.

E. Prognosis
Karena perjalanan lupus tak dapat diramalkan, maka prognosisnya sangat bervariasi. Penyakit ini cenderung
menjadi kronis dan kambuhan, seringkali dengan periode bebas gejala yang dapat berakhir dalam hitungan
tahun. Flare jarang terjadi setelah menopous. Prognosis penyakit ini semakin membaik dengan bermakna dalam
dua dekade terakhir ini. Biasanya, jika inflamasi awal dikendalikan, prognosis jangka panjangnya adalah baik.
Jika gejala lupus adalah disebabkan oleh penggunaan suatu obat, penghentian obatakan menyembuhkan lupus,
walaupun penyembuhan dapat memakan waktu berbulan-bulan.

F. Evaluasi Diagnostik
Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:
1. Pemeriksaan Laboratorium
a) Tes Anti ds-DNA
Batas normal : 70 – 200 IU/mL
Negatif : < 70 IU/mL
Positif : > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit
lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat
ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan
sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada
penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang
tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA
yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-
DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain.
Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan
konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem
komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana,
2002).
b) Tes Antin uclear antibodies (ANA)
Harga norma l : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi
protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil
yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga
berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit
dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA
diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus
dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya
dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat
meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La)
(Pagana and Pagana, 2002).
2. Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada
penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon,
marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen
(C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase
(Pagana and Pagana, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Ruam kulit atau lesi yang khas.
b) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
c) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung.
d) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau +++.
e) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
f) Biopsi ginjal.
g) Pemeriksaan saraf.

G. Tinjauan Pengobatan
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya inflamasi
dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor
manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang
manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi
klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik
yang muncul.
Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000), sebagai
berikut :
1. Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara
istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok
karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE.
Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada
pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin
proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al.,
1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat
disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di
luar rumah (Delafuente, 2002).
2. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya
pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang
timbul pada setiap pasien.
3. NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID yang lain
(Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat
dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor
menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat
rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan
COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk
melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel
endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID
adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib
merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian
perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping yang timbul,
frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk
mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka
dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak
meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan.
Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria
tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).
4. Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau serositis)
yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria
adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA,
mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel
T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor α (TNF- α).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan kebanyakan pasien mengalami
regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon yang baik maka dosis
diturunkan menjadi 50% selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan
dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali
per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000).
5. Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap penggunaan obat
lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus
eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau
intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim
fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator – mediator
inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel
pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang
bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan
dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan
APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme,
dan memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan
pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala,
memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul.
Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk
mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka
panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk intravena (10–30 mg/kg BB lebih dari
30 menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan yang berarti dalam
beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea
nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid Kadar
komplemen dan antibodi DNA dalam serum menurun dalam 1 sampai 3 minggu. Beberapa
manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan
respon dalam 5 sampai 19 hari.
Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya lebih pendek dan lebih
mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai maka untuk terapi
selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit
terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya
sudah asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day dan adanya
kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan melakukan tapering
dosis prednison 20 mg per hari atau kurang dan penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati
karena dapat terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi hipotalamus-pituitari-adrenal
(HPA).
Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia, lemas atau
serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan penambahan NSAID atau
hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar selama penyebaran (contoh nefritis) tidak
selalu dipertimbangkan untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif untuk
mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau hipertensi sehingga
diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah selama penggunaan obat ini.
Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang
merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang
menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan
peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium,
oleh karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan
vitamin D (Rahman, 2001).
6. Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat
ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga
menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam
inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G)
sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang
meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin
terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval
pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.
Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan meningkatkan kadar
komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan
steroid dosis tinggi pada penderita lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage
dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan alopesia. Pengobatan
mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat
menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al.,
2000).
7. Terapi hormone
Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada saat masih fetus dan
berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia
30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah.
Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek samping
jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme
menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk
mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis
Advisory Comittee, 2001).
8. Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan tubuh mudah
terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg
and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin
secara oral 800 mg lima kali sehari selama 5–7 hari. Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan
kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan penisilin dan
sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan rash yang sensitif sehingga dapat memperparah rash SLE
(Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B,
flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).
H. Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg per hari s/d 6 bulan postpartum) (metilprednisolon 1000 mg per 24jam
dengan pulse steroid th/ selama 3 hr, jika membaik dilakukan tapering off).
2. AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).
3. Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).
4. Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000 mg/m luas permukaan tubuh, bersama
dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu.

BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala
yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala
tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
a) Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
b) Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung
jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen
a) Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
b) Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki,
tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Uraian Masalah Keperawatan
a) Nyeri
b) Kerusakan intergritas kulit
c) Isolasi sosial
d) Kerusakan mobilitas fisik
e) Keletihan/kelelahan
f) Perubahan Nutrisi
g) Kurang Pengetahuan

Sumber diagnose diatas di ambil dari beberapa sumber buku dan dipadu dalam buku ini.
Yang akan tim penulis ambil didalam makalah ini adalah sebagai berikut :

2. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
b) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
c) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

C. Intervensi (Rencana Tindakan)


1. Diagnosa Keperawatan : Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan :
1) Gangguan nyeri dapat teratasi
2) Perbaikan dalam tingkat kenyamanan
b) Kriteria Hasil :
1) Skala Nyeri : 1-10
c) Rencana Tindakan (Intervensi; simbol I) dan Rasional (simbol R)
Mandiri :
1) I : Kaji Keluhan Nyeri : Pencetus, catat lokasi, karakteristik, dan intensitas (skala nyeri 1-10).
R : Nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan/kerusakan tetapi, biasanya
paling berat selama penggantian balutan dan debridemen.
2) I : Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode pemajanan pada udara terbuka.
R : suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung saraf.
3) I : Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat, penutup tubuh hangat.
R : pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor. Sumber panas eksternal perlu untuk mencegah
menggigil.
4) I : Lakukan penggantian balutan dan debridemen setelah pasien di beri obat dan/atau pada hidroterapi.
R : menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi sehubungan dengan penggantian balutan dan debridemen.
5) I : Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri.
R : Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan mekanisme koping.
6) I : Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif, napas dalam, bimbingan
imajinasi dan visualisasi.
R : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan rasa control, yang dapat
menurunkan ketergantungan farmakologis.
7) I : Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/kondisi.
R : membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami dan memfokuskan kembali perhatian.
Kolaborasi
8) I : Berikan analgesic sesuai indikasi.
R : membantu mengurangi nyeri.

2. Diagnosa Keperawatan : Kerusakan integritas kulit b/d proses penyakit.


Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan :
1) Pemeliharaan dan perawatan integritas kulit
b) Kriteria Hasil :
1) Kulit dapat terpelihara dan terawat dengan baik.
c) Rencana Tindakan dan Rasional
Mandiri
1) I : Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan amati perubahan.
R : Menentukan garis dasar di man perubahan pada status dapat di bandingkan dan melakukan intervensi yang
tepat.
2) I : Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh kemudian mengeringkannya dengan
berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan lotion atau krim.
R : mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi.
3) I : Gunting kuku secara teratur.
R : kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.
4) I : Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier protektif, mis, duoderm, sesuai
petunjuk.
R : Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.
Kombinasi :
5) I : gunakan/berikan obat-obatan (NSAID dan kortikosteroid) sesuai indikasi
R: Digunakan pada perawatan lesi kulit.

3. Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan b/d kurangnya sumber informasi.


Tujuan dan Kriteria Hasil :
a) Tujuan :
1) Memberikan informasi tentang penyakit dan prosesnya kepada klien dan keluarga klien/orang terdekat (bila
tidak ada keluarga).
b) Kriteria Hasil :
1) Klien dan keluarga klien/orang terdekat mendapatkan pengetahuan dari informasi yang diberikan
c) Rencana Tindakan dan Rasional
1) I : Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan.
R : Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi.
2) I : Tinjau ulang cara penularan penyakit.
R: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi, meningkatkan , mendukung keamanan bagi pasien/orang lain.
3) I : Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien.
R : merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.
4) I : Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi
R : memberi kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan perubahan/individu.
5) I : Identifikasi sumber-sumber komunitas, misalnya rumah sakit sebelumnya/pusat perawatan tempat tinggal.
R : Memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut; mendukung pemulihan dan kemandirian.

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan materi dalam makalah ini tim penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1) Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS dan kanker. Penyakit ini merupakan
salah satu penyakit autoimun, dimana sistem imun terbentuk secara berlebihan sehingga kelainan ini lebih
dikenal dengan nama autoimunitas.
2) Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkannya tetapi diduga yang menjadi
penyebabnya adalah factor genetik, infeksi (kuman dan virus) sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu, dan
lingkungan. Para ilmuwan menduga penyakit ini ada kaitannya dengan hormon estrogen.
3) Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering dianggap sepele tetapi justru perlu untuk ditangani
sejak awal agar terhindar dari penyebarannya sampai ke organ-organ.

B. Saran
Oleh karena itu, tim penulis memberikan beberapa saran :
1) Perlu mengenali gejala-gejala pada penyakit lupus ini agar dapat ditangani dengan baik sejak awal untuk
mempercepat proses penyembuhan dan atau merawat penyakit ini untuk menghindari penyebarannya keseluruh
organ tubuh.
2) Perlu mengetahui tindakan-tindakan untuk proses penyembuhan penyakit ini.
3) Perlu mendapatkan informasi yang lebih dalam makalah ini tentang penyakit ini.
Fotosensitif adalah kondisi di mana seseorang sangat peka terhadap sinar matahari. Bila terkena sinar matahari
kulit akan menjadi merah, sangat letih, tubuh tidak nyaman dan tidak enak.
Estrogen (atau oestrogen) adalah sekelompok senyawa steroid yang berfungsi terutama sebagai hormon seks
wanita. Walaupun terdapat baik dalam tubuh pria maupun wanita, kandungannya jauh lebih tinggi dalam tubuh
wanita usia subur.
Jadi hormone estrogen ada pada wanita dan pria. Bedanya adalah dikadarnya (kandungannya). Pria memeliki
kadar yang lebih sedikit dibandingkan wanita (terutama pada usia produktif yaitu wanita usia subur)
Radang (bahasa Inggris: inflammation) adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi
mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang mengalami cedera,
seperti karena terbakar, atau terinfeksi. Radang atau inflamasi adalah satu dari respon utama sistem kekebalan
terhadap infeksi dan iritasi.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Buku Kedokteran


Djaunzi, Samsuridjal. an. Raih Kembali Kesehatan : Mencegah Berbagai Penyakit Hidup Sehat untuk
Keluarga. Jakarta : Kompas
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
Gibson J.M, MD. 1996. Mikrologi dan Patologi Modern untuk Perawat. Buku Kedokteran
Lumenta, Nico A. dkk. 2006. Manajemen Hidup Sehat : Kenali Jenis Penyakit dan Cara Penyembuhannya.
Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Robins. Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi (edisi 4). Buku Kedokteran
Robins., dkk. 1996. Buku Saku Robins : Dasar Patologi Penyakit (edisi 5). Buku Kedokteran
Smeltzer, Suzanne C. 2007. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart edisi 8 volume 3.
Jakarta : EGC

SLE (Sistemisc lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui,
dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh
terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh. Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan,
atau penyakit auto imun, dimana tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh
sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan
untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.( Smeltzer. Suzanne C. 2002)

SLE (Sistemisc lupus erythematosus)adalah suatu penyakit komplek yang bersifat genetis dan di
duga lebih dari satu gen menentukan seseorang akan terkena atau tidak (Sharon moore, 2008).

B. ETIOLOGI

Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar
10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian
SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%).
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-
DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu
C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin.
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah
yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis
dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh
sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda
asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda
asing tersebut. Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat
mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE. Selain itu infeksi virus dan
bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi
antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE ..

C. MANIFESTASI KLINIS

1. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.
2. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki,
tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
.Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering
terjadi depresi dan psikosis.

D. PATOFISIOLOGI

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan utoantibodi yang berlebihan.
Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana
terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari,
luka bakar termal), juga trdapat komplek kekebalan(klompok antibody,antigen, dan virus di dalam darah) yang
tak dapat dipecah oleh tubuh. Komplek-komplek itu menyebabkan peradangan dan perusakan ketika
mengendap dalam jaringan dan organ-organ. Pada kasus kronik, pembuluh adarah menunjukan penebalan
fibrosa dan penyempitan lumen.
GINJAL. Terlihat pada hampir semua kasus SLE. Ada 5 bentuk lupus nefritis:
Kelas I. Normal pada mikroskop cahaya, mikroskop elektron, dan mikroskop fluoresens; jarang.
Kelas II. Glumerulonefritis lupus mesangial, ditemuka pada 25% penderita, dihubungkan denga adanya
hematuria atau proteinuria minimal. Sedikit peningkatan matriks dan sel mesangial dengan Ig mesangial
granuler dan deposit komplemen.
Kelas III. Glumerulonefritis ploroferansi fokal; 20% penderita. Berhubungan dengan hematuria berulang,
proteinuria sedang, dan insufisiensi ginjal ringan. Pembengkakan glomerulus fokal dan segmental denga
proliferasi endotel dan mesangial, infiltrasi neutrofil, dan kadang-kadang ada deposit fibrinoid dan trombus
kapiler.
Kelas IV. Glomerulusnefritis proliferatif difus; 35%-40% penderita, kebanyakan dari mereka menunjukan
gejala yang jelas, dengan hematuria mikroskopik sampai dengan hematuria yang nyata (gross hematuria),
proteinuria (kadang-kadang seperti pada nefrotik), hipertensi dan hilangnya laju filtrasi glomerulus.
Kelas V. Glumerulonefritis membranosa; 15% penderita; menunjukan proteinuria berat atau sindrom
nefrotik. Dinding kapiler melebar secara luas seperti pada glumerulonefritis mebranosa idopatik, dan ditandai
oleh deposit kompleks imun “subepitel”.
KULIT. Gejala khas adalah eritema, termasuk jembatan hidung. Juga ditemukan lesi kulit bervariasi daro
eritema sampai bulla. Lesi menjadi lebih parah oleh sinar matahari. Secara mikroskopik terdapat degenerasi
lapisan basal dan deposit Ig dan komplemen pada batas dermis-epidermis. Pada dermis terlihat fibrosis,
infiltrasi perivaskuler sel mononukleus dan perubahan fibrinoid vaskuler.
SENDI. khas sebagai sinovitis non-spesifik, non-erosif. Deformitas sendi minimal dibandingkan atritis
reumatoid.
SUSUNAN SARAF PUSAT. Manifestasi neuropsikiatrik mungkin sekunder setelah jejas dan penyumbatan
endotel (antibodi antifosfolipid) atau kerusakan fungsi neuron.
SEROSITIS. Mula-mula membentuk jaringan fibrin vaskulitis fokal, nekrosis fibrinoid, dan edema, meningkat
menjadi adhesiyang menyumbat ruang serosa.(Kumar R.C.1999).
Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan
di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau
obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal
sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen
yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

E. PATHWAY

imun

obat sinarUV

stuktur DNA

sendi gen HLA DR4

asetilasi
obat apoptosis
sinovitis sel keratonosit

degeneras ilapisan

deformitas sendi obat berikatan dg basal dan deposit Ig

protein tubuh

nyeri

fibrosa pd dermis
sekresi protein

Gangguan citra
tubuh

terganggu

sakit ketika

bergerak

sindom urenia

Kerusakan mobilitas
fisik

depresi
keletihan

perpospaternia

Gangguan intregritas
kulit

F. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Gejala
yang klasik mencakup demam, keletihan serta penurunan berat badan dan kemungkinan pula artritis, peuritis
dan perikarditis.
Pemeriksaan serum : anemia sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leukopenia dan
antibodi antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mendukung tapi tidak memastikan
diagnosis.

G. Penatalaksanaan Medis

1. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama kortikosteroid,
secara topikal untuk kutaneus.

2. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE

3. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.

H. ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang
dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.

2. Kulit

Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.

3. Kardiovaskuler

Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.


Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung
jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekste.sor lenfan bawah atau sisi lateral tanga.

4. Sistem Muskuloskeletal

Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistemintregumen

Lesi pada kulit yang terdiri atas ruamberbentuk kupu-kupu yang melingkar pangkal hidungserta pipi.
Ulkus oral dapat menganai mukosa pipi atau palatum $upum.

6. Sistem pernafasan

Pleuritis atau perfusi pleura.

7. Sistem vaskuler

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papulep,eritemapous dan purpupa di ujung jari kaki,
tangan, siku serta permukaan lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

8. sistem Renal

Edema dan hematuria.

9. Sistem saraf

Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.

B. Masalah Keperawatan

1. Nyeri

2. Keletihan

3. Gangguan integritas kulit

4. Kerusakan mobilitas fisik

5. Gangguan citra tubuh

C. Intervensi

1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.

Tujuan : perbaikan dalam tingkat kenyamanan


Intervensi :

a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin;


masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai; teknik relaksasi,
aktivitas yang mengalihkan perhatian)

b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.


c. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan
nyeri.

d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik
penyakitnya.

e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri
sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.

f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai
metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.

g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.

2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.

Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang diperlukan untuk
mengubah.
Intervensi :

a. Beri penjelasan tentang keletihan :

hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan

menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara melaksanakannya

mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air hangat
dan teknik relaksasi yang memudahkan tidur)

menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan


emosional

menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga

kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.

b. Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.

c. Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.

d. Rujuk dan dorong program kondisioning.

e. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit,


penumpukan kompleks imun.
Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
a) Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
b) Hilangkan kelembaban dari kulit
c) Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan kompres hangat yang terlalu
panas.
d) Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.

e) Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.

4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan


otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.

Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.


Intervensi :

a. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.

b. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :

Menekankan kisaran gerak pada sendi yang sakit


Meningkatkan pemakaian alat bantu
Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.
Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.

c. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.

d. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.

Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas


Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas.
Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi

5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta
psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.

Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan perubahan fisik serta psikologik yang ditimbulkan penyakit.

Intervensi :
a. Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan penanganannya.
b. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.
Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.
Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.
lAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

DENGAN

SISTEMIK LUPUS

SLE (Sistemic Lupus Erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui,
dengan perjalanan penyakit yang mungkin dapat akut dan kronik remisi serta eksaserbasi disertai adanya
berbagai macam auto antibodi dalam tubuh. Klasifikasi SLE (Sistemik Lupus Erithematosus) ada 3 jenis
penyakit Lupus yang dikenal yaitu:

Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus yang menyerang kulit.

1. Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system di dalam tubuh, seperti kulit,
sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan sistem saraf. Selanjutnya kita singkat dengan SLE
(Systemics Lupus Erythematosus).
2. 3. Drug-Induced, penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu. Gejala-gejalanya
biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.

Sampai saat penyebab SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) belum diketahui, Diduga ada beberapa faktor yang
terlibat seperti faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE (Sistemik Lupus
Eritematosus)

Tanda yang paling sering dikenal pada SLE adalah munculnya ruam merah pada wajah yang mirip dengan
kupu-kupu. Biasanya jika telah ditemukan kasus pasien dengan tanda seperti itu, kemungkinan besar pasien
tersebut menderita SLE. Tanda atau gejala lainnya dari SLE telah dinyatakan oleh “American College of
Rheumatology” yaitu 11 kriteria untuk klasifikasi SLE. Kesebelas kriteria tersebut antara lain:

1. Ruam malar
2. Ruam discoid
3. Fotosensitivitas (sensitivitas pada cahaya)
4. Ulserasi (semacam luka) di mulut atau nasofaring
5. Artritis
6. Serositis (radang membran serosa), yaitu pleuritis (radang pleura) atau perikarditis (radang perikardium)
7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria (adanya protein pada urin) persisten >0.5 gr/hari
8. Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang
9. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik atau leucopenia
10. Kelainan imunologik, yaitu ditemukan adanya sel LE positif atau anti DNA positif
11. Adanya antibodi antinuklear.

Selain itu, gejala atau tanda lainnya yang sering ditemukan antara lain penurunan berat badan, demam, dan
kelainan tulang seperti pada arthritis

Pathways :

ASKEP SLE

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau
inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003).
SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem
muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan
pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi
sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia. Prevalensi pada berbagai populasi berbeda
– beda bervariasi antara 3 – 400 orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003).
SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan mungkin juga
Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per
10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998).
Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini
ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai
prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di New
Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus
per 100.000 populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006).
Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan
jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia).
Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005
sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid
artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan
Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang meninggal dunia. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000
penderita baru. Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat
pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi
oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan
keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Oleh karena itu penting
sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit SLE terhadap kesehatan serta
dampak psikologi dan sosialnya yang cukup berat untuk penderita maupun keluarganya. Kurangnya prioritas di
bidang penelitian medik untuk menemukan obat-obat penyakit SLE yang baru, aman dan efektif, dibandingkan
dengan penyakit lain juga merupakan masalah tersendiri (Yayasan Lupus Indonesia).
Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik,
neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005). Penderita
SLE dengan manifestasi kulit dan muskuloskeletal mempunyai survival rate yang lebih tinggi daripada dengan
manifestasi klinik renal dan central nervous system (CNS). Meskipun mempunyai survival rate yang berbeda,
penderita dengan SLE mempunyai angka kematian tiga kali lebih tinggi dibandingkan orang sehat. Saat ini
prevalensi penderita yang dapat mencapai survival rate 10 tahun mendekati 90%, dimana pada tahun 1955
survival rate penderita yang mencapai 5 tahun kurang dari 50%. Peningkatan angka ini menunjukkan
peningkatan pelayanan terhadap penderita SLE yang berkaitan dengan deteksi yang lebih dini, perawatan dan
terapi yang benar sejalan dengan perkembangan ilmu kedokteran dan farmasi. Penyebab mortalitas paling tinggi
terjadi pada awal perjalanan penyakit SLE adalah infeksi yang disebabkan oleh pemakaian imunosupresan.
Sedangkan mortalitas pada penderita SLE dengan komplikasi nefritis paling banyak ditemukan dalam 5 tahun
pertama ketika dimulainya gejala. Penyakit jantung dan kanker yang berkaitan dengan inflamasi kronik dan
terapi sitotoksik juga merupakan penyebab mortalitas.
The Framingham Offspring Study menunjukkan bahwa wanita dengan usia 35 – 44 tahun yang menderita SLE
mempunyai resiko 50 kali lipat lebih besar untuk terkena infarct miocard dari pada wanita sehat. Penyebab
peningkatan penyakit coronary artery disease (CAD) merupakan multifaktor termasuk disfungsi endotelial,
mediator inflamasi, kortikosteroid yang menginduksi arterogenesis, dan dislipidemia yang berkaitan dengan
penyakit ginjal (salah satu manifestasi klinis dari SLE). Dari suatu hasil penelitian menunjukkan penyebab
mortalitas 144 dari 408 pasien dengan SLE yang dimonitor lebih dari 11 tahun adalah lupus yang akif (34%),
infeksi (22%), penyakit jantung (16%), dan kanker (6%) (Bartels, 2006).
Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar. Pengobatan pada
penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi remisi serta mempertahankan remisi selama
mungkin pada perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan
didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing individu.
Dan Peran Perawat pada kasus halusinasi ini meliputi :
- Promotif ialah memberikan penyuluhan tentang penyakit SLE kepada individu,keluarga dan masyarakat.
- Preventiv ialah memberikan pendidikan tentang SLE kepada individu, keluarga dan masyarakat.
- Curativ ialah memberikan askep dengan pendekatan proses keperawatan baik untuk individu, keluarga dan
masyarakat dengan menggunakan pendekatan manajemen keperawatan yang terdiri dari : perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan secara konsisten berupa :
a. Perencanaan askep yang di susun oleh SDM
b. Pengorganisasian : metode pemberian askep berupa M. Fungsional, M. Kasus total, M tim, M keperawatan
primer ( Gillies, 1989 ).
c. Pengarahan : Motivasi, manajement konflik, pendelegasian komunikasi.
d. Pengawasan dan pengendallian langsung dan tidak langsung.
- Rehabilitativ ialah memberikan kegiatan yang mempunyai efek positif terhadap SLE supaya tidak terulang dan
mencegah faktor Genetik.
Berdasarkan data di atas yang melatarbelakangi kenapa kelompok kami mengambil SLE ( sistemik Lupus
Erythematosus ) sebagai materi makalah kami.
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan Umum
Setelah mempelajari atau membahas makalah ini kelompok dapat memberikan asuhan keperawatan pada klien
dengan masalah sistemics lupus erythematosus ( SLE )
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian pada klien dengan sistemics lupus ertythematosus ( SLE )
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan sistemics lupus erythematosus ( SLE )
c. Mampu merencanakan tindakan keperwatan pada klien dengan sistemic lupus erythematosus ( SLE )
d. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan sistemics lupus erythematosus ( SLE )
e. Melaksanakan evaluasi keperawatan pada klien dengan sistemics lupus erythematosus( SLE )

C. Ruang lingkup
Ruang lingkup dari makalah keperawatan dengan sistemics lupus erythematosus yaitu asuhan keperawatan pada
klien dengan sistemics lupus erythematosus ( SLE )

D. Metode penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode
1. Research library yaitu pengambilan sumber dari buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan atau
studi pustaka.
2. Web search yaitu ialah pengambilan sumber dari internet yang ada hubunganya dengan sistemics lupus
erythematosus ( SLE ).

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau
inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003).
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and
Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem
imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem
muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan
pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi
sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).
B. Etiologi
1. Faktor genetik
Mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20%
pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada
saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3,
komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3,
C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .

2. Faktor lingkungan
Pada Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di
daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi
apoptosis dari sel keratonosit.
SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4
menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh
sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut
(Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine
dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain
itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan
peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya
SLE (Herfindal et al., 2000).

3. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi
yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat
dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal
sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen
yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

4. Pathway SLE
Gangguan Respon Imun

Stimulasi Antigen
( Bahan Kimia, DNA Bakteri, Antigen Virus, Fosfolipid, Protein, DNA dan RNA )

Aktivasi Sel T

Memproduksi Sitokin

Sel B Terangsang

Produksi Autoantibodi Yang patogen


Peningkatan Sel Antibodi Hipergamaglobulinemia
Pembentukan Kompleks Imun

5. Tanda dan gejala


1. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.
2. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki,
tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering
terjadi depresi dan psikosis.

6. Komplikasi
a. Gagal Ginjal
b. Kerusakan Jaringan Otak
c. Infeksi Sekunder

7. Pemeriksaan Penunjang
a. CBC (Complete Blood Cell Count) untuk mengukur jumlah sel darah, maka terdapat anemia,
leukopenia,trombositopenia.
b. ESR(Erithrocyte Sedimen Rate), laju endap darah pada lupus akan ESR akan lebih cepat dari pada normal.
c. (biopsi) untuk mengetahui fungsi hati dan ginjal
d. Urinalysis pengukuran urinà kadar protein dan sel darah merah
e. X-ray dada
f. Uji imunofluroresensi ANA pada setiap pasien SLE + sehingga uji tersebut sangat sensitif.

8. Pengobatan
1. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama kortikosteroid, secara topikal
untuk kutaneus.
2. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, musPemeriksaan kuloskeletal dan sistemik ringan SLE
3. Preparat imunosupresan ( pengkelat dan analog purion ) untuk fungsi imun.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala
yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala
tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung
jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki,
tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat
bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta psikologis yang
diakibatkan penyakit kronik.
5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.

C. Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :
a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin, masase, perubahan
posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai, teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)
b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
c. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan nyeri.
d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik penyakitnya.
e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering membawanya
kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai metode terapi yang
belum terbukti manfaatnya.
g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang diperlukan.
Intervensi :
a. Beri penjelasan tentang keletihan :
- Hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan
- Menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara melaksanakannya
- Mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air hangat dan teknik relaksasi yang
memudahkan tidur)
- Menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan emosional
- Menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga
- Kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.
b. Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
c. Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
d. Rujuk dan dorong program kondisioning.
e. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada
saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :
a. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.
b. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :
- Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit
- Meningkatkan pemakaian alat bantu
- Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.
- Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.
c. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
d. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan
- Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
- Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas
- Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi
4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta psikologis yang
diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik yang ditimbulkan penyakit
Intervensi :
a. Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan penanganannya.
b. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
- Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.
- Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.
- Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.
Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
a. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
b. Hilangkan kelembaban dari kulit
c. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan kompres hangat yang terlalu
panas.
d. Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
e. Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.

h. Evaluasi
Evaluasi adalah merupakan salah satu alat untuk mengukur suatu perlakuan atau tindakan keperawatan terhadap
pasien. Dimana evaluasi ini meliputi evaluasi formatif / evaluasi proses yang dilihat dari setiap selesai
melakukan implementasi yang dibuat setiap hari sedangkan evaluasi sumatif / evaluasi hasil dibuat sesuai
dengan tujuan yang dibuat mengacu pada kriteria hasil yang diharapkan. Adapunevaluasi yang di harapkan pada
klien dengan kasus SLE ( Sistemisc lupus erythematosus ) ialah :
a. Skala nyeri normal dan nyeri berkurang.
b. Aktivitas sehari – hari teratur sesuai kebutuhan dan di sesuaikan dengan kondisi klien.
c. Klien dapat melakukan imobilisasi dalam memenuhi kegiatan sehari – harinya.
d. Integritas kulit kembali normal ( Elastis, Halus dan bersih ).
e. Klien mengerti dan menerima terhadap penyakitnya.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sistemisc lupus erythematosus ( SLE ) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui,
dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh
terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh adapun tanda dan gejalanya seperti sistem
muskuloskeletal, sistem integumen, sistem kardiak, sistem pernapasan, sistem vaskuler, sistem perkemihan,
sistem saraf adapun untuk pengobatannya seperti
- Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama kortikosteroid, secara topikal
untuk kutaneus.
- Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
- Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
B. Saran
Sebagai tenaga propesional tindakan perawat dalam penanganan masalah keperawatan khususnya sistemics
lupus erythematosus ( SLE ) harus di bekali dengan pengetahuan yang luas dan tindakan yang di lakukan harus
rasional sesuai gejala penyakit.

SUHAN KEPERAWATAN SISTEMIC LUPUS ERITEMATOSUS ( S L E )

A. Anatomi fisiologi

Darah manusia adalah cairan jaringan tubuh. Fungsi utamanya adalah mengangkut oksigen yang diperlukan
oleh sel-sel di seluruh tubuh. Darah juga menyuplai jaringan tubuh dengan nutrisi, mengangkut zat-zat sisa
metabolisme, dan mengandung berbagai bahan penyusun sistem imun yang bertujuan mempertahankan tubuh
dari berbagai penyakit. Hormon-hormon dari system endokrin juga diedarkan melalui darah.. Darah manusia
berwarna merah, antara merah terang apabila kaya oksigen sampai merah tua apabila kekurangan oksigen.
Warna merah pada darah disebabkan oleh hemoglobin, protein pernapasan (respiratory protein) yang
mengandung besi dalam bentuk heme, yang merupakan tempat terikatnya molekul-molekul oksigen.
Manusia memiliki sistem peredaran darah tertutup yang berarti darah mengalir dalam pembuluh darah dan
disirkulasikan oleh jantung. Darah dipompa oleh jantung menuju paru-paru untuk melepaskan sisa metabolisme
berupa karbon dioksida dan menyerap oksigen melalui pembuluh arteri pulmonalis, lalu dibawa kembali ke
jantung melalui vena pulmonalis. Setelah itu darah dikirimkan ke seluruh tubuh oleh saluran pembuluh darah
aorta. Darah mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh melalui saluran halus darah yang disebut pembuluh kapiler.
Darah kemudian kembali ke jantung melalui pembuluh darah vena cava superior dan vena cava inferior.
Darah juga mengangkut bahan bahan sisa metabolisme, obat-obatan dan bahan kimia asing ke hati untuk
diuraikan dan ke ginjal untuk dibuang sebagai air seni.

B. Pengertian

SLE (Sistemisc lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum
diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi
disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.

C. Etiologi
Hingga kini faktor yang merangsang sistem pertahanan diri untuk menjadi tidak normal belum diketahui.
Ada kemungkinan faktor genetik, kuman virus, sinaran ultraviolet, dan obat-obatan tertentu memainkan
peranan.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Ini
menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun
perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian. Penyakit
Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) bukanlah suatu penyakit keturunan. Walau bagaimanapun, mewarisi
gabungan gen tertentu meningkatkan lagi risiko seseorang itu mengidap penyakit Sistemik Lupus
Erythematosus (SLE).

D. Klasifikasi
Ada 3 jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu:
1. Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus yang menyerang kulit.
2. Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system di dalam tubuh, seperti kulit, sendi,
darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan system saraf. Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemics Lupus
Erythematosus).
3. Drug-Induced, penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu. Gejala-gejalanya biasanya
menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.
Pengaruh kehamilan terhadap SLE
Eksaserbasi terjadi karena hormone estrogen meningkat selama kehamilan. Jika terjadi SLE, maka eksaserbasi
meningkat 50-60%. Pada T.III eksaserbasi 50%, T.I & T.II eksaserbasi 15%, postpartum 20%.
Pengaruh SLE terhadap kehamilan
Prognosis b’dasarkan remisi sebelum hamil, jika > 6 bulan eksaserbasi 25% dengan prognosis baik, jika < 6
bulan eksaserbasi 50% dengan prognosis buruk. Abortus meningkat 2-3kali, PE/E, kelahiran prematur, lupus
neonatal.

E. PatofisiologiPenyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan


peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara
faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia
reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin,
prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti
kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

ng kembal

F. Tanda dan gejala


Tanda atau gejala lainnya dari SLE telah dinyatakan oleh “American College of Rheumatology” yaitu
11 kriteria untuk klasifikasi SLE. Kesebelas kriteria tersebut antara lain:
Ruam malar
Ruam discoid
Fotosensitivitas (sensitivitas pada cahaya)
ulserasi (semacam luka) di mulut atau nasofaring
Artritis
Serositis (radang membran serosa), yaitu pleuritis (radang pleura) atau perikarditis (radang perikardium)
Kelainan ginjal, yaitu proteinuria (adanya protein pada urin) persisten >0.5 gr/hari
Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang
Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik atau leucopenia
kelainan imunologik, yaitu ditemukan adanya sel LE positif atau anti DNA positif
adanya antibodi antinuklear.
Selain itu, gejala atau tanda lainnya yang sering ditemukan antara lain penurunan berat badan, demam, dan
kelainan tulang seperti pada arthritis.

G. Manifestasi Klinis
1. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.
2. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.

4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki,
tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering
terjadi depresi dan psikosis.

H. Pemeriksaan diagnostik

1. Ana Test
2. Anti ribosomal P
3. Anti Kardiopilin
4. Coombstest
5. Pemeriksaan Darah lengkap
6. Urinalisasi

I. Evaluasi Diagnostik

Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang
klasik mencakup demam, keletihan serta penurunan berat badan dan kemungkinan pula artritis, peuritis dan
perikarditis.
Pemeriksaan serum : anemia sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leukopenia dan antibodi
antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mendukung tapi tidak memastikan diagnosis.

J. Komplikasi

1. Vaskulitis
2. Perikarditis
3. Myocarditis
4. Anemia Hemolitik
5. Intra Vaskuler Trombosis
6. Hypertensi
7. Kerusakan Ginjal Permanen
8. Gangguan Pertumbuhan
K. Penatalaksanaan

Medis
1. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama kortikosteroid, secara topikal
untuk kutaneus.
2. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
3. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
4. Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg/hr s/d 6 bulan postpartum) (metilprednisolon 1000 mg/24jam dengan
pulse steroid th/ selama 3 hr, jika membaik dilakukan tapering off).
5. AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).
6. Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).
7. Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000 mg/m luas permukaan tubuh, bersama
dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu.

Keperawatan

1. Diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien memerlukan kortikosteroid,
dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah
garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional.
2. Aktivitas
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk mempertahankan densitas
tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan
dengan kekambuhan. Pasien disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar
matahari harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam. Lampu
fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien SLE.

L. Pencegahan

1. Hindari sinar matahari berlebihan


2. Makan makanan yang sehat
3. Hindari infeksi, misalnya infeksi luka tatto
4. Bagi remaja perempuan sangat dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi obat-obatan yang mengandung
hormon estrogen.

ASUHAN KEPERAWATAN Pada PENYAKIT SLE


A. Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala
yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala
tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit, Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung
jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki,
tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.

NURSING CARE PLAN


NO DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN HASIL
1. Kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kulit setiap hari. 1. Menentukan garis
kulit berhubungan keperawatan selama 3x24 Catat warna, dasar di man
dengan proses jam diharapkan pasien dapat turgor,sirkulasi dan sensasi.
perubahan pada
penyakit menunjukkan perilaku/teknik Gambarkan lesi dan amati status dapat di
untuk meningkatkan perubahan. bandingkan dan
penyembuhan, mencegah melakukan
komplikasi dengan criteria :2. Pertahankan/instruksikan intervensi yang tepat
dalam hygiene kulit, mis, 2. mempertahankan
 Menjaga kebersihan membasuh kemudian kebersihan karena
di daerah lesi mengeringkannya dengan kulit yang kering
 Memakai alat berhati-hati dan melakukan dapat menjadi barier
pelindung kulit yang masase dengan infeksi
dapat menyebabkan menggunakan lotion atau
iritasi atau infeksi krim.
berulang. 3. Gunting kuku secara
teratur.
3. kuku yang panjang
dan kasar
4. Tutupi luka tekan yang meningkatkan risiko
terbuka dengan pembalut kerusakan dermal.
yang steril atau barrier 4. dapat mengurangi
protektif, mis, duoderm, kontaminasi bakteri,
sesuai petunjuk. meningkatkan proses
5. Kolaborasi penyembuhan.
gunakan/berikan obat-
obatan topical sesuai 5. digunakan pada
indikasi. perawatan lesi kulit

2. Ketidak seimbangan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kemampuan untuk 1. lesi mulut,
nutrisi kurang dari keperawatan selama 3x24 mengunyah, merasakan dan tenggorok dan
kebutuhan tubuh jam diharapkan pasien dapat menelan. esophagus dapat
: menyebabkan
disfagia, penurunan
 mempertahankan kemampuan pasien
berat badan antar 0,9- mengolah makanan
1,35 kg dari berat 2. Berikan perawatan dan mengurangi
sebelum sakit. mulut yang terus menerus, keinginan untuk
 Menunjukkan nilai awasi tindakan pencegahan makan.
laboratorium dalam sekresi. Hindari obat kumur 2. Mengurangi
batas normal (Hb yang mengandung alcohol. ketidaknyamanan
meningkat) yang berhubungan
 Melaporkan 3. Jadwalkan obat-obatan di dengan
perbaikan tingkat antara makan (jika mual/muntah, lesi
energy memungkinkan) dan batasi oral, pengeringan
 Melaporkan pemasukan cairan dengan mukosa dan
kebersihan mulut dan makanan, kecuali jika halitosis. Mulut yang
timbulnya nafsu cairan memiliki nilai gizi. bersih meningkatkan
makan nafsu makan.
4. Dorong aktivitas fisik 3. lambung yang
sebanyak mungkin. penuh akan akan
5. Berikan fase istirahat mengurangi napsu
sebelum makan. Hindari makan dan
prosedur yang melelahkan pemasukan makanan
saat mendekati waktu
makan.
4. dapat
6. Dorong pasien untuk meningkatkan napsu
duduk pada waktu makan. makan dan perasaan
sehat.
5. mengurangi rasa
7. Catat pemasukan kalori lelah; meningkatkan
ketersediaan energi
untuk aktivitas
makan.

6. mempermudah
proses menelan dan
mengurangi resiko
aspirasi.

7. mengidentifikasi
kebutuhan terhadap
suplemen atau
alternative metode
pemberian makanan.

3. Nyeri kronik Setelah dilakukan tindakan 1. Tutup luka sesegera 1. suhu berubah dan
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 mungkin kecuali perawatan gerakan udara dapat
imflamasi / jam diharapkan pasien dapat luka bakar metode menyebabkan nyeri
kerusakan jaringan. : pemajanan pada udara hebat pada
terbuka. pemajanan ujung
 Mengungkapkan 2. Pertahankan suhu saraf.
keluhan lingkungan nyaman, 2. pengaturan suhu
hilangnya/berkurang berikan lampu penghangat, dapat hilang karena
nya nyeri penutup tubuh hangat. luka bakar mayor.
 Menunjukkan 3. Kaji keluhan nyeri. Sumber panas
posisi/ekspresi wajah Perhatikan lokasi/karakter eksternal perlu untuk
rileks dan intensitas (skala 0-10). mencegah
 Dapat beristirahat menggigil..
dan mendapatkan 3. nyeri hampir
pola tidur yang 4. Lakukan penggantian selalu ada pada
adekuat. balutan dan debridemen beberapa derajat
setelah pasien di beri obat beratnya keterlibatan
dan/atau pada hidroterapi jaringan/kerusakan
tetapi biasanya
5. Dorong ekspresi perasaan paling berat selama
tentang nyeri. penggantian balutan
dan debridemen.
6. Dorong penggunaan 4. menurunkan
teknik manajemen stress, terjadinya distress
contoh relaksasi progresif, fisik dan emosi
napas dalam, bimbingan sehubungan dengan
imajinasi dan visualisasi. penggantian balutan
dan debridemen.
7. Berikan aktivitas
terapeutik tepat untuk
usia/kondisi. 5. pernyataan
memungkinkan
pengungkapan emosi
dan dapat
meningkatkan
mekanisme koping.

6. memfokuskan
kembali perhatian,
meningkatkan
relaksasi dan
meningkatkan rasa
control, yang dapat
menurunkan
ketergantungan
farmakologis.
7. membantu
mengurangi
konsentrasi nyeri
yang di alami dan
memfokuskan
kembali perhatian.

Diposkan oleh oda sunrise di 08.13


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS


(SLE)

I. PENGERTIAN
Suatu penyakit auotoimun kronik yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang
bervariasi dari yang ringan sampai berat. (kapita selekta 2000).

II. ETIOLOGI
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui .
Diduga faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh
kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaki
imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam pembentukan
komplek imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multi organ.
Faktor resiko:
1. Genetik
2. Hormon
Estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgan mengurangi resiko ini.
3. Sinar ultraviolet
Mengurangi supresi imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh dan bertambah berat.
4. Imunitas
Pada pasien SLE terdapat hiperaktifitas sel B atau intoleransi terhadap sel T
5. Obat
Obat yang pasti menyebabkan SLE: hidralazin, prokainamid, metildopa,dll.
Obat yang mungkin dapat menybabkan SLE: penisilamin, dilantin, dan kuinidin.

6. Infeksi
Terkadang penyakit ini kambuh setelah infeksi.
7. Stress
Stress berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan penyakit ini.

III. PREVALANSI
Angka kejadian sebesar 25 % pada kembar monozigot, tapi hanya 2% pada saudara kandung yang tidak
kembar. SLE terutama timbul pada populasi wanita Afrika – Amerika sekitar (1 dari 250). Sebaliknya
prevalansi yang rendah pada kelompok etnis yang sama di Afrika Barat.Pada populasi multietnis di Inggris
prevalensinya 45 – 50 per 100 ribu wanita.Wanita terkena 10 akli lebih banyak dibandingkan pria. Puncak onset
adalah pada usia 15 – 40 tahun ( Medicine at a Glance 2005).

IV. MANIFESTASI KLINIS


Gejala yang paling sering adalah artritis simetris atau atralgia. Gangguan ini dapat ditemukan pada
sekitar 90% dari seluruh kasus, seringkali sebagai manifestasi awal. Sendi – sendi yang paling sering terserang
adalah sendi – sendi proksimal tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, lutut, dan pergelangan kaki. Poliartritis
SLE berbeda dari AR karena jarang bersifat erosif atau membentuk deformitas.
1. Gejala konstitusional
Demam
Rasa lelah
Lemah
Berkurangnya berat badan
Keletihan dan rasa lemah ( timbul sebagai gejala sekunder dari anemia ringan yang ditimbulkan untuk SLE )

2. Menifestasi kulit
Ruam eritematosa pada pipi berbentuk kupu - kupu, leher, dan anggota gerak
Alopesia
Ulserasi pada mukosa mulut dan nasofaring
3. Pleuritis ( nyeri dada )
4. Karditis
Yang menyerang miokardium, endokardium, dan perikardium
5. Fenomena Raynaud
Adalah spasme arteri pada daerah jari yang akhirnya dapat terjadi perubahan sistemik, nekrosis dan
gangren.Timbul lebih kurang 40% penderita SLE ,
6. Manifestasi SSP
perubahan tingkah laku ( depresi, psikosis )
kejang – kejang
neuropati perifer
7. Manifestasi ginjal
Terjadinya nefritis akibat anti DNA melekat pada DNA dan diendapkan pada glomerulus ginjal. Komlpemen
terfiksasi pada kompleks imun ini, dan proses peradangan dimulai. Akibatnya dapat terjadi peradangan ginjal,
kerusakan jaringan dan pembentukan jaringan parut yang akhirnya bisa berakibat terjadinya penurunan fungsi
ginjal secara progresif.

Diagnosa formal ditentukan berdasarkan ditemukannya 4 dari 11 gejala yang mungkin seperti yang
ditentukan oleh American College of Rheumatology dibawah ini:
Klinis Laboratorium
Ruam malar Kelainan hematologis
Ruam fotosensitif Kelainan imunologis
Ruam lupus diskoid ANA positif
Keterlibatan neurologis
Kejang atau psikosis
Penyakit ginjal: Proteinuri atau sedimen
Serositis: Pleuritis atau perikarditis
Ulkus aftosa mukosa
Artritis

V. PROSEDUR DIAGNOSTIK
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium.
Pemereksaan laboratorium meliputi:
1. Pemeriksaan darah
Leukopeni / limfopeni
Anemia
Trombositopenia
LED meningkat
2. Imunologi
ANA ( antibodi anti nuklear )
Anti bodi DNA untai ganda ( ds DNA ) meningkat
Kadar komplemen C3 dan C4 menurun
tes CRP ( C- reactive protein ) positif
3. Fungsi ginjal
Kreatinin serum meningkat
Penurunan GFR
Protein uri ( > 0.5 gram per 24 jam)
Ditemukan sel darah merah dan atau sedimen granular
4. Kelainan pembekuan yang berhubungan dengan antikoagulan lupus
APTT memanjang ayng tidak membaik pada pemberian plasma normal
5. Serologi VDRL ( sifilis )
Memberikan hasil positif palsu
6. Tes vital lupus
Adanya pita Fg 6 yang khas dan atau deposit Ig M pada persambungan
dermo – epidermis pada kulit yang terlibat dan yang tidak

VI. PENATALAKSANAAN MEDIS


INS ( Obat Anti Inflamasi Non Steroid)
ndikasi :
Analgetik
Anti piretik
Anti Inflamasi
Anti Koagulan
rtikosteroid
Indikasi :
- Anti Inflamasi : bersifat paliatif ( hanya mengatasi gejala)
- Menurunkan reaksi hipersensitif
3. Antimalaria, efektif dalam mengatasi manifestasi kulit, muskuloskeletal dan kelainan sistemik ringan.
Indikasi :
Anti Inflamasi
Imunosupresif
Fotoprotektif
Stabilisasi nukleoprotein
4. Siklofosfamid
Indikasi : Bila tidak berespon terhadap kortikosteroid dosis tinggi

PROGNOSIS
Angka harapan hidup 5 tahun secara keseluruhan adalah 85-88 %. Dan 10 tahun 76-87 %. Penyebab utama
kematian pada SLE adalah karena infeksi, nefritis lupus, dan konsekwensi gagal ginjal, penyakit kardiovaskuler
dan lupus SSP.

WOC

ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian

a. Riwayat Kesehatan

Riwayat kesehatan dahulu


wayat terekspos sinar radiasi UV yang parah
Riwayat pemakaian obat-obatan hidralazin, prokainamid,isoniazid, kontrasepsi oral dll
wayat terinfeksi virus
erekspos bahan kimia
wayat pasien wanita yang haid pertama terlalu cepat
Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat keluarga dengan penyakit autoimin
Riwayat keluarga dengan infeksi berulang
Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengatakan:
nyeri sendi karena gerakan
kekakuan pada sendi
kesemutan pada tangan dan kaki
sakit kepala
demam
merasa letih, lemah
limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu senggang,pekerjaan
keputusasaan dan ketidakberdayaan
kesulitan untuk makan
nausea, vomitus
sesak nafas
nyeri dada
ancaman pada konsep diri, citra diri

b. Pemeriksaan Fisik

1) Aktivitas dan latihan


Keterbatasan rentang gerak
Deformitas
Kontraktur
2) Nyeri dan kenyamanan
Pembengkakan sendi
Nyeri tekan
Perubahan gaya berjalan/pincang
Gerak otot melindungi yang sakit
3) Kardiovaskuler
Fenomena raynoud
Hipertensi
Edeme
Pericardial friction rub
Aritmia
murmur
4) Nutrisi dan metabolik
Lesi pada mulut
Penurunan berat badan
5) Pola eliminasi
Peningkatan pengeluaran urin
Konstipasi /diare

c. Pemeriksaan Penunjang

Sama seperti pemeriksaan diagnostik


Diagnosa
1. Intoleransi aktivitas b.p peningkatan aktivitas penyakit
2. Gangguan rasa nyaman b. d. distensi jaringan oleh akumulasi cairan/ proses inflamasi, destruksi sendi
3. Gangguan integritas kulit b.d. fotosensitive, ruam kulit dan alopesia
4. Intoleran aktivitas b.d. artralgia, kelemahan dan keletihan
5. Gangguan citra diri b.d penyakit kronik

Intervensi
1) Intoleransi Aktivitas b.d peningkatan aktivitas penyakit
Manifestasi klinis : Kehilangan energi
Ketidakmampuan ADL
Kriteria Hasil :
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menurunkan toleran aktivitas
2. Memperlihatkan kemajuan (khususnya tingkat yang lebih tinggi dari mobilitas yang mungkin)
3. Memperlihatkan penurunan tanda-tanda hipoksia pada peningkatan aktivitas(nadi, tekanan darah, pernafasan)
4. Melaporkan penurunan gejala-gejala intoleran aktivitas
Intervensi Rasional
1) Kaji respon pasien terhadap Untuk mengatahui adanya ADL
aktivitas Untuk mengembangkan rutinitas kegiatan
2) Kaji pasien untuk aktivitas prioritas sehari – hari secara sempurna
3) Ajarkan teknik penyimpanan energi Untuk menyelesaikan sesuatu sebanyak
seperti duduk disaat mencuci piring, mungkin dengan meminimalkan
mendapat bantuan dari orang lain pengeluaran energi
4) Libatkan keluarga dalam rencana
keperawatan Untuk me ningkatkan dukungan pada pada
pasien dan keluarga mengerti tentang
5) Ajarkan teknik medikasi dan yoga penyakit dan komplikasi.
6) Anjurkan pasien untuk istirahat Untuk mengurangi stres
teratur dan sesuai dengan yang Untuk sementara membalikkan efek dari
dibutuhkan keletihan

2) Gangguan rasa nyaman b. d. distensi jaringan oleh akumulasi cairan/ proses inflamasi, destruksi sendi
klinis : Keluhan dari nyeri sendi, perilaku distraksi,berfokus pada diri sendiri.
Intervensi Rasional
1) Kaji lokasi nyeri dan beratnya nyeri Untuk merencanakan intervensi yang
tepat
2) Berikan analgesia sebagai order dan Untuk mengurangi nyeri
monitor efek, ajarkan tindakan
menjaga sendi, kompres panas dan
dingin yang sesuai
3) Gunakan nonfarmakologi, nyeri Untuk menggantikan analgesia
intervensi seperti relaksasi dan
imajinasi

3) Gangguan integritas kulit b.d fotosensitif, ruam kulit, dan alopesia


klinis : Ruam pada beberapa bagian tubuh, muka “kupu-kupu”, rambut rontok, daerah ulkus diujung jari, keluhan dari
urtikaria dan fotosensitif
:
1. Menunjukkan tingkah laku untuk mencegah kerusakan kulit/meningkatkan kesembuhan
2. Menunjukkan kemajuan pada luka/penyembuhan lesi.

Intervensi Rasional
Mandiri
1) Kaji kulit setiap hari. Catat warna, Untuk merencanakan intervensi yang
turgir, sirkulasi, dan sensasi. tepat
Gambarkan lesi dan amati perubahan
2) Pertahankan / instruksikan higine Mempertahankan kebersihan karena kulit
kulit. Misal: membasuh, kemudian yang kering dapat menjadi barier infeksi.
mengeringkannya dengan hati – Pembasuhan kulit kering sebagai ganti
hatidan melakukan masase dengan menggaruk menurunkan resiko trauma
lotion atau krim dermal. Masase meningkatkan sirkulasi
kulit dan meningkatkan kenyamanan.
3) Secara teratur ubah posisi, ganti Meningkatkan aliran darah kejaringan,
seprai sesuai kebutuhan dan meningkatkan proses kesembuhan
4) Pertahankan sprei bersih, kering, Friksi kulit disebabkan oleh kain yang
dan tidak berkerut berkerut dan basah yang menyebabkan
iritasi dan potensial terhadap infeksi
5) Tutupi luka tekan yang terbuka Dapat mengurangi kontaminasi bakteri,
dengan pembalut yang steril meningkatkan proses penyembuhan
Kolaborasi
1) Dapatkan kultur dari lesi kulit Mengidentifikasi bakteri patogen dan
terbuka pilihan perawatan yang sesuai
2) Berikan obat – obatan topikal atau Diginakan pada perawatan lesi kulit
sistemik sesuai indikasi
3) Lindungi lesi / ulkus dengan balutan Melindungi area ulserasi dari kontaminasi
basa atau salep antibiotik sesuai dan meningkatkan penyembuhan
petunjuk

MAKALAH SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit sistemik lupus eritematasus (SLE) tampaknya terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan auto antibodi yang berlebihan, limfadenopati terjadi pada 50% dari seluruh pasien
SLE pada waktu tertentu selama perjalanan penyakit tersebut. Sistemik lupus eritematosus (SLE) merupakan
salah satu penyakit autoimun yang disebabkan oleh disregulasi sistim imunitas dan secara garis besar
dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu endokrin-metabolik, lingkungan dan genetik.Gangguan renal juga terdapat pada
sekitar 52% penderita SLE. Pada sebagian pasien, gangguan awal pada kulit dapat menjadi prekursor untuk
terjadinya gangguan yang bersifat lebih sistemik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa defenisi sistemik lupus eritmatasus?
2. Apa etiologi dari sistemik lupus eritmatasus?
3. Bagaimana patofisiologi sistemik lupus eritmatasus?
4. Apa saja manifestasi klinik sistemik lupus eritmatasus?
5. Bagaimana pemeriksaan diagnostik untuk sistemik lupus eritmatasus?
6. Bagaimana penatalaksanaan untuk sistemik lupus eritmatasus?
7. Bagaimana konsep keperawatan sistemik lupus eritmatasus?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep medis
1 Defenisi
Sistemik lupus erythematosus adalah suatu penyakit kulit menahun yang ditandai dengan peradangan dan
pembetukan jaringan parut yang terjadi pada wajah, telinga, kulit kepala dan kandung pada bagian tubuh
lainnya.
Systemic Lupus Erythematosus (SLE), merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan produksi antibodi
terhadap komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi yang luas. Penyakit lupus merupakan
penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, dimana tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang
salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit.
Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
2 Etiologi
Belum diketahui dengan jelas , namun terdapat banyak bukti bahwa Sistemik lupus erythematosus (SLE)
bersifat multifaktor, mencakup :
a. Genetik
b. Infeksi
c. Lingkungan
d. Stress
e. Cahaya matahari
f. Faktor Resiko : hormon; imunitas; obat

3 Fatofisiologi
Penyakit sistemik lupus eritematosus ( SLE ) tampaknya terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan auto anti bodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif ) dan lingkungan ( cahaya matahari, luka bakar termal ). Obat-obat tertentu
seperti hidralasin ( Apresoline , prokainamid ( Pronestyl ), isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan disamping makanan kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia
atau obat-obatan.
Pada sistemik lupus eritematosus, peningkatan produksi auto anti bodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-
Supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang anti bodi tambahan, dan siklus tersebut berulang kembali.
4 Manefestasi klinik
Keluhan utama dan pertama sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah artralgia, dapat juga timbul artritis
nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer. Pasien mengeluh lemas, lesu dan capek sehingga menghalanginya
beraktivitas. Demam pegal linu seluruh tubuh, nyeri otot dan penurunan berat badan terdapat kelainan kulit
spesifik berupa bercak malar menyerupai kupu-kupu dimuka dan eritema umum yang menonjol. Terdapat
kelainan kulit menahun berupa bercak diskoid yang bermula sebagai eritema papul atau plak bersisik. Dapat
pula terjadi kelaian darah berupa anemia hemoditik, kelainan ginjal, pneumonitis, kelainan jantung,
gastrointestinal, gangguan saraf dan kelainan psikatrik.
5 Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan Antibodi Antinuklear
b. Laju Endap Darah
c. Pemeriksaan Urin
d. Pemeriksaan Serum
6 Penatalaksanaan
Bercak kemerahan kecil biasanya berhasil diobati dengan krim kortikosteroid. Bercak lebih besar resisten,
kadang memerlukan pengobatan selama beberapa bulan dengan kortikosteroid per-oral (ditelan) atau dengan
obat imunosupresan seperti digunakan untuk mengobati lupus eritematosus sistemik. Krim steroid yang kuat
sebaliknya dioleskan pada bercak kulit sebanyak 1-2 kali/hari. Sampai bercak menghilang jika bercak sudah
mulai kurang bisa digunakan krim steroid yang lebih ringan.
Salep cortison yang dioleskan pada lesi sering kali dapat memperbaiki keadaan dan memperlambat
perkembangan penyakit. Suntikan cortison yang dioleskan pada dalam lesi juga bisa mengobati keadaan ini dan
bisanya lebih efektif dari pada salep.
Lupus discoid tidak disebabkan oleh malaria, tetapi obat anti malaria ( cloroquine, hydroxcloroquine ) memiliki
daya anti peradangan yang ampuh bagi sebagian besar kasus lupus discoid.

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. pengkajian
a. Biodata, riwayat penyakit
b. Pemeriksaan Fisik
1) Sistem Muskuloskeletal : Terjadi pembengkakan, keterbatasan gerak, kemerahan dan nyeri tekan pada sendi.
2) Sistem Integumen : Ulserasi membran mukosa, ekimosis, ptekye, purpura, infadenopati difus
3) Sistem Pencernaan : Nyeri tekan abdomen, hepatosplenomegali, peristaltic usus meningkat, kelenjar parotis
membesar
4) Sistem Pernafasan : Takipneu, perkusi suara redup, efusi pleura dan ronchi
5) Sistem Kardiovaskuler : Takikardi, aritmia
6) Sistem Persyarafan : Konvulsi, neuropati perifer, paraplegi, hemiplegi, afasia, halusinasi, delusi, disorientasi
7) Sistem Penglihatan : Konjungtivitis, edema periorbital, uveitis, perdarahan subkonjungtiva
2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri akut kronis berhubungan dengan distensi jaringan oleh akumulasi cairan atau proses inflamasi destruksi
sendi, kulit
b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan lesi pada kulit.
c. Mobilitas fisik kerusakan berhubungan dengan defometas skeletal

3. Intervensi keperawatan
a. Nyeri akut kronis berhubungan dengan distensi jaringan oleh akumulasi cairan atau proses inflamasi destruksi
sendi, kulit.
Tujuan : Menunjukkan nyeri atau terkontrol.
Intervensi :
 Catat faktor-faktor yang mempercepat dan tanda-tnda rasa sakit non verbal.
 erikan matras tinggikan laken tempat tidur sesuai kebutuhan.
 Tingkatkan istirahat ditempat tidur sesuai indikasi.
 Hindari gerakan yang menyentak.
 Beri obat sebelum aktivitas yang direncanakan sesuai petunjuk
b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan lesi pada kulit.
Tujuan : agar tidak terjadi lesi pada kulit
Intervensi :
 Kaji warna dan kedalaman lesi perhatikan adanya nekrotik dan jaringan perut
 Beri perawatan pada lesi.
 Pertahankan penutupan lesi.
 Hindari trauma.
 Intruksikan kepada pasien untuk tidak menggaruk lesi.

c. Mobilitas fisik kerusakan berhubungan dengan defometas skeletal


Tujuan : Mempertahankan fungsi dengan tidak hadirnya atau pembatasan kontraktor.
Intervensi :
 Memantau tingkat inflamasi sakit pada sendi.
 Pemindahan dan penggunaan bantuan mobilitas.
 Gunakan bantal kecil atau tipis dibawah leher.
 Berikan matras busa atau pengubah tekanan.
 Berikan obat sesuai indikasi

Asuhan Keperawatan SLE


(Sistemisc Lupus Erythematosus)

1. Pengertian

SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum
diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi
disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.
Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, dimana tubuh pasien
lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah
merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang
masuk ke dalam tubuh.
2. Etiologi
Sampai saat ini faktor yang merangsang sistem pertahanan diri untuk menjadi tidak normal belum
diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu
memainkan peranan.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Ini
menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun
perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) bukanlah suatu penyakit keturunan. Walau
bagaimanapun, mewarisi gabungan gen tertentu meningkatkan lagi risiko seseorang itu mengidap penyakit
Sistemik Lupus Erythematosus (SLE).
3. Klasifikasi
Ada 3 jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu:
1. Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus yang menyerang kulit.
2. Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system di dalam tubuh, seperti kulit, sendi,
darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan sistem saraf. Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemics Lupus
Erythematosus).
3. Drug-Induced, penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu. Gejala-gejalanya biasanya
menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.

4. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan
autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor
genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif)
dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid,
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa
turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang
abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi
antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
5. Manifestasi Klinis
1. Sistem musculoskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.
2. Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki,
tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering
terjadi depresi dan psikosis.

6. Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik
Difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri,
kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi eritematous papuler dan purpura
yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem musculoskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki,
tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.

7. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada
saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta psikologis yang
diakibatkan penyakit kronik.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis :
1. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama kortikosteroid,
secara topikal untuk kutaneus.
2. Obat antimalaria untuk gejala kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
3. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
Penatalaksanaan Keperawatan :
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :
a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres hangat; masase, perubahan posisi,
istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian).
b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
c. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan nyeri.
d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik penyakitnya.
e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering membawanya
kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai metode terapi yang
belum terbukti manfaatnya.
g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang diperlukan untuk
mengubah.
Intervensi :
a. Beri penjelasan tentang keletihan :
a) Hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan
b) Menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara melaksanakannya
c) Mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air hangat dan teknik relaksasi yang
memudahkan tidur)
d) Menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan emosional
e) Menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga
f) Kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.
b. Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
c. Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
d. Rujuk dan dorong program kondisioning.
e. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.

3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada
saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :
a. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.
b. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :
a) Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit
b) Meningkatkan pemakaian alat bantu
c) Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.
d) Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.

c. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.


d. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.
a) Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
b) Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas.
c) Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta psikologis yang
diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik yang ditimbulkan enyakit.
Intervensi :
a. Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan penanganannya.
b. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
a) Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.
b) Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.
c) Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.
Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
a. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
b. Hilangkan kelembaban dari kulit
c. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan kompres hangat yang terlalu
panas.
d. Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
e. Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.

Daftar Pustaka
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Volume 3.
Jakarta : EGC.
Ruth F. Craven, EdD, RN, Fundamentals Of Nursing, Edisi II, Lippincot, Philadelphia, 2000
Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Cetakan I, EGC, Jakarta, 1997
Tags: askep sle, lupus eritematosus, lupus eritematosus sistemik
KASUS

Seorang perempuan usia 35 tahun datang ke UGD dengan keluhan merasa tidak nyaman dengan kulit
memerah pada daerah pipi dan leher, awalnya kecil setelah 1 minggu bertambah besar, demam, nyeri dan terasa
kaku seluruh persendian terutama pada pagi hari dan kurang nafsu makan. Pada pemeriksaan fisik diperoleh
ruam pada pipi dengan terbatas tegas, peradangan pada siku, lesi berskuama pada daerah leher, malaise.
Tekanan darah 110/80 mmHg, pernapasan 20x/menit, nadi 90x/menit, suhu 38,50 C, HB 11 gr/dl, WBC
15.000/mm3.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN


SISTEMISC LUPUS ERYTHEMATOSUS (LUPUS)

1. Definisi

SLE (Sistemisc lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui,
dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh
terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.
Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, dimana tubuh pasien
lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah
merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang
masuk ke dalam tubuh.
Penyakit lupus termasuk penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan antibodi yang sebenarnya
untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang ada di tubuh, tetapi dalam keadaan autoimun, antibodi tersebut
ternyata merusak organ tubuh sendiri. Organ tubuh yang sering dirusak adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, paru,
otak, dan sistem pembuluh darah. Semakin lama proses perusakan terjadi, semakin berat kerusakan tubuh. Jika
penyakit lupus melibatkan ginjal, dalam waktu lama fungsi ginjal akan menurun dan pada keadaan tertentu
memang diperlukan cuci darah. (Dr. Samsuridjal Djauzi, 2009)
Penyebab penyakit lupus belum diketahui secara pasti, agaknya disebabkan kombinasi berbagai faktor
seperti genetik, hormon, infeksi, dan lingkungan. Terjadi penyimpangan pada sistem kekebalan yang pada
mulanya sistem kekebalan tidak bisa membedakan teman dan musuh, kemudian “teman-teman” sendiri (sel-sel
tubuh/organ sendiri) dianggap sebagai musuh, sehingga dibuat zat anti terhadap sel-sel tersebut, kemudian zat
anti ini menyerang sel-sel tubuh.organ sendiri tersebut. Akibatnya serangan ini menimbulkan kerusakan-
kerusakan pada organ tersebut.

2. Etiologi

Sehingga kini faktor yang merangsangkan sistem pertahanan diri untuk menjadi tidak normal belum
diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman, virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu
memainkan peranan.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Ini
menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun
perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian.
Belum diketahui dengan jelas , namun terdapat banyak bukti bahwa Sistemik lupus erythematosus (SLE)
bersifat multifaktor, mencakup :
2.1 Genetik
2.2 Infeksi
2.3 Lingkungan
2.4 Stress
2.5 Cahaya matahari
2.6 Faktor Resiko : hormon; imunitas; obat

Pengkajian Klien dengan SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus)

1. Identitas
1.1 Nama : Nn. A
1.2 Umur : 35 Tahun
1.3 Jenis Kelamin : Perempuan

2. Keluhan Utama
2.1 Pipi dan Leher merah.
2.2 Demam.
2.3 Nyeri pada kulit yang memerah
2.4 Persendian terasa kaku

3. Riwayat kesehatan sekarang.


Klien datang ke UGD dengan keluhan merasa tidak nyaman dengan kulit memerah pada daerah pipi dan
leher, awalnya kecil setelah 1 minggu bertambah besar, demam nyeri dan terasa kaku seluruh persendian
utamanya pada pagi hari dan berkurang nafsu makan.

4. Pemeriksaan umum
4.1 Tekanan darah : 110/80 mmHg
4.2 Respirasi : 20X/menit
4.3 Nadi : 90X/menit
4.4 Suhu : 38,50 C
4.5 Hb : 11 gr/dl
4.6 WBC : 15.000/mm3

5. Pemeriksaan Fisik
5.1 Ruam pada pipi yang terbatas tegas
5.2 Peradangan pada siku
5.3 Lesi berskuama pada daerah leher
5.4 Malaise

6. Pemeriksaan Penunjang
6.1 Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
6.2 Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung.
6.3 Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau +++.
6.4 Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.

7. Analisa Data

No. Data Etiologi Masalah


1. DS : Produksi autoimun yg Resiko Infeksi
Klien merasa tidak nyaman berlebihan
dengan kulit memerah pada
daerah pipi dan leher, demam Jumlah anti body meningkat
dan nyeri.
DO : Antibody merusak jaringan
- Suhu 38,50 C
- WBC 15.000/mm3 Terjadi peradangan /
- Hb11 gr/dl inflamasi
a
2. DS : Peradangan / inflamasi Intoleran Aktivitas
Klien mengatakan, nyeri dan
persendian terasa kaku, Sendi
utamanya dipagi hari.
DO : Artitis
- Peradangan pada siku.
3. DS : Kerusakan jaringan Resiko Nutrisi kurang
Klien mengaku kurang nafsu kebutuhan
makan. Saluran cerna akan
DO : mengiritasi lambung
Malaise
Mual/Muntah
Intake tidak adekuat
4. DS : Produksi anti body Gangguan Integrasi
Klien merasa tidak nyaman Kulit
dengan kulit memerah pada Penyakit inflamasi multi
daerah pipi dan leher. organ
DO : Merusak kulit yang normal
- Ruam pada pipi dengan
terbatas tegas. Degenerasi lapisan basal
- Lesi berskuama pada daerah
leher Fibrosis, inviltrasi
perivaskuler sel
mononukleus
Lesi, Eritema dan Bula
8. Penyimpangan KDM.

9. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi.

No. Diagnosa Keperawatan Intervensi

1. Resiko Infeksi - Meminimalkan penyebaran dan penularan agens


infeksius.
- Mencegah dan mendeteksi dini infeksi pada pasien yang
beresiko.

2. Intoleran Aktivitas - Menggunakan gerakan tubuh aktif atau pasif untuk


mempertahankan atau memperbaiki fleksibilitas sendi.
- Membantu Klien untuk tetap melakukan AKS.

3. Resiko nutrisi kurang - Membantu klien untuk makan


kebutuhan
- Membantu atau menyediakan asupan makanan dan
cairan diet seimbang.
- pemberian makanan dan cairan untuk mendukung
proses metabolik pasien yang malnutrisi atau beresiko
tinggi terhadap malnutrisi.

4. Gangguan Integrasi Kulit - Mencegah dan mengobati daerah gatal


- Mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk
mempertahankan integritas kulit dan membran mukosa.

5. Cemas. - Bantu klien mengekpresikan perasaan kehilangan dan


takut.
- Kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan, damping
klien dan lakukan tindakan bila menunjukkan perilaku
merusak.
- Hindari Konfrontasi.
- Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi
kecemasan.
- Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh
istirahat.
- Tingkatkan control sensasi pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1. Doengoes, Marilyn C, Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien, Edisi 3 Jakarta: EGC, 1999
2. Buku Diagnosa Keperawatan Nanda, NIC, NOC.
3. Smeltzer, Bare, Buku Ajar keperawatan Medical Bedah, Bruner & Suddart, Edisi 8, Jakarta, EGC, 2001

Anda mungkin juga menyukai