Dosen Pembimbing:
Disusun Oleh:
Kelompok 1
1. Fatima Azzahra. M Nim 22010016 9. Riani Kapita Nim 22010036
2. Gita Gris Tiyanti Kopi Nim 22010018 10. Ryan Prasetyo Nim 22010039
3. Husnainy I. Mahmud Nim 22010021 11. Seflin Babao nim 22010040
4. Indri Cassia P.Laslanut Nim 22010022 12. Selfi Nim 22010041
5. Moh. Arsal. Suiyangi Nim 22010027 13. Siti Nurhaliza Nim 22010043
6. Musdalifa S. Mese Nim 22010029 14. Tri Prameswari Nim 22010046
7. Nabila Fauziah .B Nim 22010030 15. Vionalita Nim 22010048
8. Nanda Chyntia Komuna Nim 22010031 16. Vita Anggriani.G Nim 22010049
A. DEFINISI
Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun,
dimana tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh
sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi
seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
(Tanzilia et al., 2021)
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah suatu penyakit yang tidak jelas
etiologinya, yaitu terjadinya kerusakan jaringan dan sel akibat autoantibodi dan kompleks
imun yang ditunjukkan kepada salah satu atau lebih komponen inti sel. Prevalensi
penyakit ini pada wanita usia subur adalah sekitar 1 dari 500. Angka kelangsungan hidup
10 dan 20 tahun masing-masing adalah 75 dan 50 persen, dengan infeksi, kekambuhan
lupus, kegagalan organ ujung (end-organ), dan penyakit kardiovaskular merupakan
penyebab utama kematian.
B. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 – 400 orang
per 100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu
seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina.
Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang
tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam
yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000
populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi.
Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi
diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang
(Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di
RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi
penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low
back pain.
C. ETIOLOGI
Mekanisme etiologi SLE belum seluruhnya diketahui, namun berdasarkan
penelitian yang dilakukan selama beberapa dekade, diketahui bahwa terjadinya SLE ada
hubungannya dengan berbagai faktor seperti faktor genetik, hormonal, imunologik dan
lingkungan. Faktor genetik diduga memengaruhi kerentanan dan perkembangan maupun
tingkat keparahan penyakit SLE.
Faktor lingkungan meliputi obat demetilasi, infeksi virus, virus endogen atau
elemen seperti viral serta sinar ultraviolet (sinar UV).2,8 Sinar UV merupakan faktor
lingkungan yang paling sering menyebabkan eksaserbasi SLE.
D. PATOFISIOLOGI
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi
sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan
kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang
antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.(Tanzilia et al., 2021)
Gambar 1. Perjalanan penyakit SLE. 2 Patogenesis SLE dipengaruhi oleh faktor genetik
dan lingkungan (seperti sinar UV). Perjalanan penyakit SLE dimulai dengan fase
preklinik yang ditandai pembentukan autoantibodi, kemudian berlanjut pada fase klinik
yang lebih spesifik. Selama periode ini dapat terjadi flares dan kerusakan organ.
Kerusakan pada tahap awal berhubungan dengan penyakit sedangkan kerusakan pada
tahap yang lebih lanjut disebabkan komplikasi penyakit yang telah berlangsung kronik
serta akibat terapi imunosupresif. Keterangan: SLICC= Systemic Lupus International
Collaborating Clinics
E. KLASIFIKASI
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus,
systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
Discoid Lupus >> Dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit lupus yang
menyerang kulit. Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas
eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini
timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini
dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan
parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap.
Lupus yang diinduksi oleh obat >> Lupus yang disebabkan oleh induksi obat
tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4
menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh
sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal
ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut. Gejala-
gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.
F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa
lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan .
Sistem Muskuloskeletal >> Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri
tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
Sistem integumen >> Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-
kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi
atau palatum durum.
Sistem cardiac >> Perikarditis merupakan manifestasi cardiac.
Sistem pencernaan >> Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin
disertai mual (muntah jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan
sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh
peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang
mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.
Sistem pernafasan >> Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada
yang bilateral. Mungkin ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura. Biasanya efusi
menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis penyakit SLE
baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur, tuberkulosis dan
sebagainya telah disingkirkan.
Sistem vaskuler >> Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
Sistem saraf >> Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup
seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
G. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan menurut Betz (2002), Catzel(1995), Hartman(1994), antara lain :
Pemeriksaan Fisik
Meliputi pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal, integument dan vaskuler.
Inspeksi : bentuk kepala, leher dan thorax simetris atau tidak, tampak bengkak &
kemerahan pada metacarpophalangaeal dextra & sinistra atau tidak, tampak
adanya deformitas dan tampak adanya lesi akut pada kulit yang terdiri atas
ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi pasien
atau tidak. Ada ruam pada wajah dan leher klien atau tidak.
Palpasi : raba apa ada pembesaran kelenjar dan terdapat massa atau tidak, pergerakan
nafasnya normal atau tidak, ada nyeri tekan atau tidak di daerah abdomen dan
daerah ekstremitas atas maupun bawahnya, serta raba ada krepitasi atau tidak
pada ekstremitas atas maupun bawah klien. Ada oedema atau tidak dan suhu
teraba hangat atau tidak.
Perkusi: suara ketuknya sonor atau timpani.
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil
pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihans ecara penurunan
berat badan dan kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1
terlaboratorium megungkapkan anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia,
leukositosis atau leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi
diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak memastikan diagnostik
Anti ds DNA
Batas normal : 70 – 200 iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE
sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderitadengan penyakit
reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah
antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada
penyebaran penyakit terutama Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negativ
pada penyakit SLE yang tenang.
I. PENATALAKSANAAN
Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna (sangat jarang didapatkan remisi yang
sempurna). Terapi terdiri dari terapi suportif yaitu diet tinggi kalori tinggi protein dan
pemberian vitamin. Beberapa prinsip dasar tindakan pencegahan eksaserbasi pada SLE,
yaitu:
Monitoring teratur
Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup Fotoproteksi dengan
menghindari kontak sinar matahari atau dengan pemberian sun screen lotion untuk
mengurangi kontak dengan sinar matahari .Atasi infeksi dengan terapi pencegahan
pemberian vaksin dan antibiotik yang adekuat.
obat – obatan yang biasa digunakan pada SLE adalah sebagai berikut:
1. Nonsteroid anti inflamatori drugs {NSAIDS}
2. Korticosteroid
3. Antimalaria
4. Methoreksat
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
a) Kesadaran
b) Tanda-tanda vital
2) Pemeriksaan head to toe
a. Kepala
b. Mata
c. Telinga
d. Hidung
e. Mulut
f. Leher
g. Payudara
h. Genetalia
i. Dada
j. Muskuloskeletal
k. Abdomen
3) Pemeriksaan Sistemik
a. Sistem Muskuloskeletal
b. Sistem Integumen
c. Sistem Kardiaovaskuler
d. Sistem Pernafasan
e. Sistem Vaskuler
f. Sistem Perkemihan
g. Sistem saraf
h. Sistem Gastrointestinal
2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons klien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung
aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons
klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan
(SDKI, 2017).
Diagnosis Keperawatan yang muncul pada pasien Systemic Lupus Erythematosus antara
lain:
a. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
c. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur/bentuk tubuh
d. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi,
e. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan irama jantung
f. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernafasan
g. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
h. Risiko cidera berhubungan dengan terpapar patogen
i. Risiko defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan
j. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring
k. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
l. Risiko jatuh berhubungan dengan gangguan keseimbangan
m. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
n. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi
3. Intervensi Keperawatan
M : Measurable (tujuan keperawatan harus dapat diukur khususnya tentang perilaku klien
R : Realistic (tujuan harus masuk akal dan dapat di pertanggungjawabkan secara ilmiah)
T : Time (tujuan harus tercapai dalam jangka waktu yang ditentukan) Intervensi
Keperawatan
Edukasi :
lain menurun
3. Kemerahan menurun
perifer meningkat
2. Palpitasi menurun
4. Gangguan mobilitas
menurun
2. Keluhan lelah
menurun
5. Anjurkan melakukan aktivitas bertahap Kolaborasi:
Kolaborasi :
4. Anoreksia menurun
5. Frekuensi nadi
menurun
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap
pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditunjukkan pada perawat untuk
membuat klien dalam mencapai tujuan yang diharapkan oleh karena itu rencan tindakan yang
spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah Kesehatan
klien. Tujuan dari pelaksaan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan
yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan pemulihan. Jenis-jenis tindakan
pada tahap pelaksanaan implementasi adalah mandiri (independent) yaitu tindakan yang dilakukan
oleh perawat untuk membantu pasien dalam mengatasi masalahnya, saling ketergantungan
(interdependent) yaitu tindakan keperawatan atas dasar kerja sama tim keperawatan dengan tim
kesehatan lainnya seperti: dokter, fisioterapi dan rujukan/ketergantungan (dependent) yaitu
Tindakan keperawatan atas dasar rujukan dan profesi lainnya diantaranya dokter, psikiatri, ahli
gizi, dan lainnya (Nursalam,2017).
5. Evaluasi Keperawatan
perencanaan dan pelaksanaan tindakan. Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang
menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan
merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap
perencanaan (Nursalam, 2017). Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP
yaitu: