Anda di halaman 1dari 55

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Atresia duktus hepatikus adalah penyakit serius yang mana ini
terjadi pada satu dari 10.000 anak-anak dan lebih sering terjadi pada anak
perempuan daripada anak laki-laki dan pada bayi baru lahir Asia dan Afrika-
Amerika daripada di Kaukasia bayi baru lahir. Penyebab atresia duktus
hepatikus tidak diketahui, dan perawatan hanya sebagian berhasil. Atresia
duktus hepatikus adalah alasan paling umum untuk pencangkokan hati pada
anak-anak di Amerika Serikat dan sebagian besar dunia Barat (Santoso,
Agus.2010. Health Academy).
Atresia duktus hepatikus terjadi karena proses inflamasi
berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier
ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Jadi, atresia
duktus hepatikus adalah tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian
atau keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan
aliran empedu. Akibatnya di dalam hati dan darah terjadi penumpukan
garam empedu dan peningkatan bilirubin direk. Hanya tindakan bedah yang
dapat mengatasi atresia duktus hepatikus. Bila tindakan bedah dilakukan
pada usia 8 minggu, angka keberhasilannya adalah 86%, tetapi bila
pembedahan dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya
hanya 36%. Oleh karena itu diagnosis atresia duktus hepatikus harus
ditegakkan sedini mungkin, sebelum usia 8 minggu (Dr. Parlin.1991.Atresia
duktus hepatikus. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak FK UI).
Kerusakan hati yang timbul dari atresia duktus hepatikus
disebabkan oleh atresia dari saluran-saluran empedu yang bertanggung
jawab untuk mengalirkan empedu dari hati. Empedu dibuat oleh hati dan
melewati saluran empedu dan masuk ke usus di mana ia membantu
mencerna makanan, lemak, dan kolesterol. Hilangnya saluran empedu
menyebabkan empedu untuk tetap di hati. Ketika empedu mulai merusak
hati, menyebabkan jaringan parut dan hilangnya jaringan hati. Akhirnya hati

1
2

tidak akan dapat bekerja dengan baik dan sirosis akan terjadi. Setelah gagal
hati, pencangkokan hati menjadi perlu. Atresia duktus hepatikus dapat
menyebabkan kegagalan hati dan kebutuhan untuk transplantasi hati dalam
1 sampai 2 tahun pertama kehidupan (Santoso, Agus.2010. Health
Academy).
Atresia duktus hepatikus ditemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran.
Rasio atresia duktus hepatikus pada anak perempuan dan anak laki-laki
adalah 2:1. Meski jarang tetapi Jumlah penderita atresia duktus hepatikus
yang ditangani Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun
2002-2003, mencapai 37-38 bayi atau 23 persen dari 162 bayi berpenyakit
kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan DiInstalasi Rawat Inap Anak
RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 1999-2004 dari 19270 penderita
rawat inap, didapat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi
hati didapatkan atresia duktus hepatikus 9 (9,4%).
Dari 904 kasus atresia duktus hepatikus yang terdaftar di lebih 100
institusi, atresia duktus hepatikus didapat pada ras Kaukasia (62%), berkulit
hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian Amerika (1,5%)
Kasus Atresia duktus hepatikus dilaporkan sebanyak 5/100.000 kelahiran
hidup di Belanda, 5,1/100.000 kelahiran hidup di Perancis, 6/100.000
kelahiran hidup di Inggris, 6,5/100.000 kelahiran hidup diTexas, 7/100.000
kelahiran hidup di Australia, 7,4/100.000 kelahiran hidup di USA, dan
10,6/100.000 kelahiran hidup di Jepang (Dr.Widodo.2009. Koran Indonesia
Sehat.Jakarta: Yudhasmara).

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana penanganan dan asuhan keperawatan pada psien anak
dengan atresia duktus hepatikus.

1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Menjelaskan tentang konsep penyakit Atresia duktus hepatikus serta
pendekatan asuhan keperawatannya.
2. Tujuan Khusus
3

a) Mengidentifikasi definisi dari Atresia duktus hepatikus


b) Mengidentifikasi klasifikasi dari Atresia duktus hepatikus
c) Mengidentifikasi faktor risiko dari Atresia duktus hepatikus
d) Mengidentifikasi etilogi Atresia duktus hepatikus
e) Mengidentifikasi manifestasi klinis Atresia duktus hepatikus
f) Mengidentifikasi penatalaksaan pada Atresia duktus hepatikus
g) Mengidentifikasi komplikasi pada Atresia duktus hepatikus
h) Mengidentifikasi Pathway pada Atresia duktus hepatikus
i) Mengidentifikasi pengkajian pada klien dengan Atresia duktus
hepatikus
j) Mengidentifikasi diagnosa pada klien dengan Atresia duktus
hepatikus
k) Mengidentifikasi intervensi pada klien dengan Atresia duktus
hepatikus

1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu memahami tentang penyakit yang berhubungan
dengan sistem endokrin (Atresia duktus hepatikus) serta mampu
menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan Atresia duktus
hepatikus dengan pendekatan Student Center Learning.
4

BAB 2
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fungsi Sistem Bilier


Sistem empedu terdiri dari organ-organ dan saluran (saluran empedu,
kandung empedu, dan struktur terkait) yang terlibat dalam produksi dan
transportasi empedu.
Ketika sel-sel hati mengeluarkan empedu, yang dikumpulkan oleh
sistem saluran yang mengalir dari hati melalui duktus hepatika kanan dan
kiri. Saluran ini akhirnya mengalir ke duktus hepatik umum. Duktus
hepatika kemudian bergabung dengan duktus sistikus dari kantong empedu
untuk membentuk saluran empedu umum, yang berlangsung dari hati ke
duodenum (bagian pertama dari usus kecil).
Namun, tidak semua berjalan dari empedu langsung ke
duodenum. Sekitar 50 persen dari empedu yang dihasilkan oleh hati adalah
pertama disimpan di kantong empedu, organ berbentuk buah pir yang
terletak tepat di bawah hati.
Kemudian, ketika makanan dimakan, kontrak kandung empedu dan
melepaskan empedu ke duodenum disimpan untuk membantu memecah
lemak.

Gambar 1. Sistem atresia duktus hepatikus (Ohio State.2011)

4
5

Fungsi utama sistem bilier yang meliputi :


a) Untuk mengeringkan produk limbah dari hati ke duodenum
b) Untuk membantu dalam pencernaan dengan pelepasan terkontrol
empedu
Empedu merupakan cairan kehijauan-kuning (terdiri dari produk-
produk limbah, kolesterol, dan garam empedu) yang disekresikan oleh sel-
sel hati untuk melakukan dua fungsi utama, termasuk yang berikut:
a) Untuk membawa pergi limbah
b) Untuk memecah lemak selama pencernaan
Garam empedu adalah komponen aktual yang membantu memecah
dan menyerap lemak. Empedu, yang dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk
kotoran, adalah apa yang memberikan kotoran warna gelapnya coklat (Tim
Ohio State University.2011.Sistem Bilier.Columbus:Medical center).

2.2 Definisi Atresia Duktus Hepatikus


Atresia duktus hepatikus (biliary atresia) adalah suatu
penghambatan di dalam pipa/saluran-saluran yang membawa cairan
empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu (gallbladder). Ini
merupakan kondisi congenital, yang berarti terjadi saat kelahiran
(Lavanilate.2010.Askep Atresia duktus hepatikus).

Gambar 2. Atresia duktus hepatikus


Atresia duktus hepatikus merupakan kelainan yang berkisar dari
hipoplasiasegmental/generalisata saluran empedu dan atresia sampai
obliterasilengkap duktur billiaris ekstra/intra hepatic (David Sabiston,
6

1994). Atresia duktus hepatikus merupakan kelainan kongenital yang


berhubungan dengan kolangio hepatic intra uteri dimana saluran empedu
mengalami fibrosis. Proses ini sering berjalan terus setelah bayi lahir
sehingga prognosis umumnya buruk (Sjamsu Hidajat, 1998). Atresia
Billiary merupakan obstruksi total aliran empedu karena destruksi/tidak
adanya saluran/sebagian saluran empedu ekstra hepatic (Robbins Contrans,
1999). Atresia Billiary adalah tidak adanya/kecilnya lumen
padasebagian/keseluruhan traktus bilier ekstra hepatic (Ringoringo P.). Jadi
Atresia Billiary adalah suatu keadaan dimana saluran empedu tidak
berbentuk atau tidak berkembang secara normal.
Fungsi dari sistem empedu adalah membuang limbah metabolik
darihati dan mengangkut garam empedu yang diperlukan untuk mencerna
lemak di dalam usus halus. Pada Atresia Billiary terjadi penyumbatan aliran
empedudari hati ke kandung empedu. Hal ini bisa menyebabkan skerusakan
hati dansirosis hati.
Proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan
progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan
aliran empedu. Jadi, atresia duktus hepatikus adalah tidak adanya atau
kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier
ekstrahepatik yang menyebabkan inflamasi. Akibatnya di dalam hati dan
darah terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan degenerasi
edema hepatic dan bilirubin direk (Dr. Parlin.1991.Atresia duktus hepatikus.
Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak FK UI).
Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa Penyakit Atresia duktus
hepatikus terjadi pada 1 banding 10 ribu hingga 15 ribu bayi lahir hidup.
Dengan angka kelahiran hidup di Indonesia 4,5 juta pertahun, dari jumlah
tersebut diprediksi bayi yang menderita penyakit tersebut mencapai 300-450
bayi setiap tahunnya. Rasio atresia duktus hepatikus pada anak perempuan
dan anak laki-laki adalah 1,4 : 1 (Wartapedia.2010).
Bayi dengan atresia duktus hepatikus biasanya muncul sehat ketika
mereka lahir. Gejala penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu
pertama setelah hidup. Gejala-gejala seperti Ikterus, Jaundice Urin gelap
7

Tinja berwarna pucat, Penurunan berat badan dan ini berkembang ketika
tingkat ikterus meningkat.
Pasien dengan atresia duktus hepatikus dapat dibagi menjadi 2
kelompok, yakni :
1. Perinatal form ( Isolated Biliary Atresia)
65 ± 90 % Bentuk ini ditemukan pada neonatal dan bayi berusia 2-8
minggu. Inflmasi atau peradangan yang progresiv pada saluran empedu
extrahepatik timbul setelah lahir. Bentuk ini tidak muncul bersama
kelainan congenital lainnya.
2. Fetal Embrionic form
10 ± 35 % Bentuk ini ditandai dengan cholestatis yang muncul amat
cepat, dalam 2 minggu kehidupan pertama. Pada bentuk ini, saluran
empedu tidak terbentuk pada saat lahir dan biasanya disertai dengan
kelainan congenital lainnya seperti situs inversus, polysplenia,malrotasi,
dan lain-lain.

Gambar 3. Atresia duktus hepatikus ekstrahepatik (wikipedia.2006)

Atresia duktus hepatikus merupakan obliterasi atau hipoplasi satu


komponen atau lebih dari atresia duktus hepatikus akibat terhentinya
perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan hati
yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan
splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta (Kamus Kedokteran
Dorland 2002: 206).
Atresia duktus hepatikus atau atresia biliaris ekstrahepatik merupakan
proses inflamasi progresif yang menyebabkan fibrosis saluran empedu
8

intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada akhirnya akan terjadi


obstruksi saluran tersebut (Donna L. Wong 2008: 1028)

2.3 Klasifikasi Atresia duktus hepatikus


Kasai mengajukan klasifikasi atresia duktus hepatikus sebagai
berikut :

Gambar 4. tipe atresia duktus hepatikus


1. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal
paten.
2. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, duktus
sistikus, dan kandung empedu semuanyanormal).
3. Obliterasi duktus bilier komunis, duktus hepatikus komunis, duktus
sistikus. Kandung empedu normal.
Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi,
sampai ke hilus. Tipe I dan II merupakan jenis atresia duktus hepatikus yang
dapat dioperasi (correctable), sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak
dapat dioperasi (non-correctable). Sayangnya dari semua kasus atresia
duktus hepatikus, hanya 10% yang tergolong tipe I dan II.

Atresia Duktus Hepatikus dibagi menjadi 2 bagian yaitu :


a. Atresia Duktus Hepatikus Intra Hepatik
Merupakan atresia yang dapat dikoreksi. Bentuk ini lebih
jarangdibandingkan ekstra hepatik yang hanya 10 % dari penderita atresia.
Ditemukan saluran empedu proksimal yang terbuka lumennya. Tetapitidak
berhubungan dengan duodenum. Atresia hanya melibatkan
duktuskoledukus distal. Sirosis bilier terjadi lambat.
9

b. Atresia Duktus Hepatikus Ekstra Hepatik


Merupakan Atresia yang tidak dapat dikoreksi. Bentuk ini sekitar
90% dari penderita atresia. Prognosis buruk menyebabkan
kematian.Ditemukan bahwa seluruh sistem saluran empedu ekstra hepatik
mengalami obliterasi sirosis bilier terjadi cepat. Gejala klinik dan
patologik bergantung pada awal proses penyakitnya dan bergantung
padasaat penyakit terdiagnosis. Atresia Ekstra Hepatik terbagi menjadi 2
yaitu :
1. Embrional
1/3 penderita atresia ekstra hepatik terjadi pada masa
embrional. Awal prosesnya merusak saluran empedu mulai sejak masa
intrauterinhingga saat bayi lahir. Pada penderita tidak ditemukan masa
bebasikterus setelah pperiode ikterus neonatorum fisiologis (2 minggu
pertama kelahiran).
2. Perinatal
2/3 penderita atresia ekstra hepatik terjadi pada masa perinatal.
Awal prosesnya adalah gejala ikterus setelah periode ikterus psikologik
menghilang. Kemudian diteruskan ikterus yang progresif.
3. Kasai mengajukan klasifikasi atresia duktus hepatikus sebagai berikut :
a. I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen
proksimal paten.
b. IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis,
duktus sistikus, dankandung empedu semuanyanormal).
c. IIb. Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis,
duktus sistikus. Kandungempedu normal.
d. III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi,
sampai ke hilus.Tipe I dan II merupakan jenis atresia duktus
hepatikus yang dapat dioperasi (correctable), sedangkantipe III
adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi (non-correctable).
Sayangnya dari semua kasusatresia duktus hepatikus, hanya 10%
yang tergolong tipe I dan II.
10

Gambar 5. Klasifikas Atresia duktus hepatikus

2.4 Etiologi
Etiologi Atresia Duktus Hepatikus masih belum diketahui dengan
pasti. Atresia Duktus Hepatikus terjadi antara lain karena proses inflamasi
berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier
ekstra hepatik sehingga menyebabkan hambatan aliiran empedu. Ada juga
sebagian ahli yang menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang
dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi 17, 18 dan 21 serta
terdapatnya anomalioragan pada 10-30 % kasus Atresia Duktus Hepatikus.
Insiden Atresia Duktus Hepatikus adalah1/10000 sampai 1/14.000
kelahiran hidup. Rasio Atresia Duktus Hepatikus pada anak perempuan dan
laki-laki adalah + 1,4 : 1.Dari 904 kasus Atresia Duktus Hepatikus yang
terdaftar di lebih dari 100 institusi, Atresia Duktus Hepatikus terdapat pada
Ras Kaukasia (62 %), berkulit hitam (20 %), Hispanik (11 %), Asia (4,2 %)
dan Indian Amerika (1,5 %). Namun, sebagian besar penulis berpendapat
bahwa atresia duktus hepatikus adalah akibat proses inflamasi yang merusak
duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi (Behrman, Richard E. (1992).
11

Beberapa anak, terutama mereka dengan bentuk janin atresia duktus


hepatikus, seringkali memiliki cacat lahir lainnya di jantung, limpa, atau
usus.
Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia duktus hepatikus bukan
merupakan penyakit keturunan. Kasus dari atresia duktus hepatikus pernah
terjadi pada bayi kembar identik, dimana hanya 1 anak yang menderita
penyakit tersebut. Atresia duktus hepatikus kemungkinan besar disebabkan
oleh sebuah peristiwa yang terjadi selama hidup janin atau sekitar saat
kelahiran. Kemungkinan yang "memicu" dapat mencakup satu atau
kombinasi dari faktor-faktor predisposisi berikut :
a) Infeksi virus atau bakteri
b) Masalah dengan sistem kekebalan tubuh
c) Komponen yang abnormal empedu
d) Kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu
e) Hepatocelluler dysfunction

2.5 Manifestasi Klinis


Bayi dengan atresia duktus hepatikus biasanya muncul sehat ketika
mereka lahir. Gejala penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu
pertama setelah hidup. Manifestasi klinis dari penyakit atresia duktus
hepatikus, antara kain.
a) Ikterus, kekuningan pada kulit dan mata karena tingkat bilirubin yang
sangat tinggi (pigmen empedu) tertahan di dalam hati dan akan
dikeluarkan dalam aliran darah.Jaundice disebabkan oleh hati yang
belum dewasa adalah umum pada bayi baru lahir. Ini biasanya hilang
dalam minggu pertama sampai 10 hari dari kehidupan. Seorang bayi
dengan atresia duktus hepatikus biasanya tampak normal saat lahir,
tapi ikterus berkembang pada dua atau tiga minggu setelah lahir
b) Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk
pemecahan dari hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian
disaring oleh ginjal dan dibuang dalam urin.
c) Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan
bilirubin yang masuk ke dalam usus untuk mewarnai feses. Juga, perut
dapat menjadi bengkak akibat pembesaran hati.
d) Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus meningkat
12

e) degenerasi secara gradual pada liver menyebabkan jaundice, ikterus,


dan hepatomegali, Saluran intestine tidak bisa menyerap lemak dan
lemak yang larut dalam air sehingga menyebabkan kondisi malnutrisi,
defisiensi lemak larut dalam air serta gagal tumbuh
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut :
a) Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan
malnutrisi.
b) Gatal-gatal : karena asam empedu yang menumpuk dan menyebar
kedalam aliran darah yang menyebabkan kulit merasa gatal
c) Rewel
d) Splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi
portal / Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang
mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).

2.6 Patofisiologi
Atresia duktus hepatikus terjadi karena proses inflamasi
berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier
ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu, dan tidak
adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier
ekstrahepatik juga menyebabkan obstruksi aliran empedu
Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi
saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial. Obstruksi total dapat
disertai tinja yang alkoholik. Penyebab tersering obstruksi bilier
ekstrahepatik adalah : sumbatan batu empedu pada ujung bawah ductus
koledokus, karsinoma kaput pancreas, karsinoma ampula vateri, striktura
pasca peradangan atau operasi.
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi
aliran normal empedu dari hati ke kantong empedu dan usus. Akhirnya
terbentuk sumbatan dan menyebabkan cairan empedu balik ke hati ini akan
menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati. Dan apabila asam
empedu tertumpuk dapat merusak hati. Bahkan hati menjadi fibrosis dan
13

cirrhosis. Kemudian terjadi pembesaran hati yang menekan vena portal


sehingga mengalami hipertensi portal yang akan mengakibatkan gagal hati.
Penyebab sebenarnya atresia billier tidak diketahui sekalipun
mekanisme imin atau viral injury bertanggung jawab atas proses progresif
yang menimbulkan obliterasi total saluran empedu. Berbagai laporan
menunjukkan bahwa atresia billier tidak terlihat pada janin, bayi yang lahir
mati (stillbirth) atau bayi baru lahir (Halamek dan Stevenson, 1997);
keadaan ini menunjukkan bahwa atresia billier terjadi pada akhir kehamilan
atau dalam periode perinatal dan bermanifestasi dalam waktu beberapa
minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara progresif dengan
menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik
maupun ekstrahepatik. Akan terjadi berbagai derajat kolestasis yang
menimbulkan pruritus berat. Pembedahan untuk menghasilkan drainase
getah empedu yang efektif harus dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3
bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi.
(Sumber: Wong, Donna L.(et.al). 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik
Wong. Jakarta: EGC).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi
aliran normal empedu ke luar hati dan ke dalam kantong empedu dan usus.
Akhirnya terbentuk sumbatan dan menyebabkan empedu balik ke hati. Ini
akan menyebabkan peradangan , edema, dan degenerasi hati. Bahkan hati
menjadi fibrosis, sirosis, dan hipertensi portal sehingga akan mengakibatkan
gagal hati.
Jika cairan empedu tersebar ke dalam darah dan kulit, akan
menyebabkan rasa gatal. Bilirubin yang tertahan dalam hati juga akan
dikeluarkan ke dalam aliran darah, yang dapat mewarnai kulit dan bagian
putih mata sehingga berwarna kuning.
Degenerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik
dan hepatomegaly. Karena tidak ada aliran empedu dari hati ke dalam usus,
lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat diabsorbsi, kekurangan vitamin
larut lemak yaitu vitamin A, D,E,K dan gagal tumbuh.
14

Vitamin A, D, E, K larut dalam lemak sehingga memerlukan lemak


agar dapat diserap oleh tubuh. Kelebihan vitamin-vitamin tersebut akan
disimpan dalam hati dan lemak didalam tubuh, kemudian digunakan saat
diperlukan. Tetapi mengkonsumsi berlebihan vitamin yang larut dalam
lemak dapat membuat anda keracunan sehingga menyebabkan efek samping
seperti mual, muntah, dan masalah hati dan jantung.
1. Vitamin A
Vitamin A terdapat dalam makanan berwarna kuning-oranye,
berdaun hijau gelap dan dalam bentuk retinol pada makanan yang
berasal dari hewan. Wortel, mangga, labu, pepaya, bayam, brokoli,
selada air, kuning telur, susu dan hati adalah makanan yang kaya
vitamin A.
Vitamin A berperan dalam pertumbuhan dan pemeliharaan
tulang dan jaringan epitel, meningkatkan kekebalan, dan memerangi
radikal bebas (antioksidan). Kekurangan vitamin A adalah penyebab
utama kebutaan pada anak-anak di banyak negara berkembang.
2. Vitamin D
Ikan berlemak seperti sarden, mackerel, tuna, telur, makanan
yang diperkaya seperti margarin dan sereal adalah sumber vitamin D.
Vitamin ini sangat penting untuk pertumbuhan dan pemeliharaan
tulang karena mengontrol penyerapan kalsium dan fosfor yang penting
untuk metabolisme tulang. Kekurangan vitamin D pada anak-anak
akan menyebabkan penyakit rakhitis, dan pada orang dewasa
menyebabkan osteomalasia, kondisi di mana tulang menjadi lemah
dan lunak. Vitamin D dapat diproduksi tubuh saat kulit menerima
ultraviolet dari sinar matahari. Kekurangan vitamin D dapat terjadi
pada mereka yang memiliki diet rendah vitamin D atau jarang terkena
sinar matahari. Dosis besar vitamin dapat menyebabkan kelebihan
kalsium, terutama pada anak-anak, yang mengganggu pembentukan
tulang. Namun, hal tersebut sangat jarang terjadi. Tidak ada
rekomendasi mengenai diet vitamin D untuk orang dewasa yang hidup
normal dan cukup terpapar sinar matahari.
15

3. Vitamin E
Vitamin E hadir dalam minyak wijen, kacang kedelai, beras,
jagung dan biji bunga matahari, kuning telur, kacang-kacangan dan
sayuran. Vitamin ini adalah antioksidan penting yang mencegah
penuaan dini sel-sel, merangsang sistem kekebalan tubuh, mengurangi
risiko katarak, melindungi dari penyakit jantung, mencegah penyakit
kanker dan menjaga kesehatan kulit. Kekurangan vitamin E pada
manusia jarang terjadi, kecuali pada bayi prematur dan mereka yang
memiliki masalah pencernaan.
4. Vitamin K
Selada, kubis, kembang kol, bayam, kangkung, susu, dan
sayuran berdaun hijau tua adalah sumber terbaik vitamin ini. Vitamin
K terlibat dalam pembekuan darah dan kekurangannya dapat
menyebabkan perdarahan berlebihan dan kesulitan dalam
penyembuhan. Kekurangan vitamin ini jarang terjadi, kecuali pada
bayi baru lahir dan mereka yang memiliki masalah penyerapan atau
metabolisme vitamin, seperti penderita penyakit hati kronis.
16
2.7 Pathway

Hipertermi

Risiko Keterlambatan Perkembangan Risiko Infeksi

Defsit Nutrisi

Pola nafas tidak


efektif

Hipovolemia

Kerusakan integritas kulit Ansietas


17

2.7 Pemeriksaan Diagnosis


Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya
diandalkan untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan
ekstrahepatik. Secara garis besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu pemeriksaan :
1) Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan
mengetahui fungsi hati (darah, urin, tinja).
2) Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai
parenkim hati
3) Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang
diagnosis atresia duktus hepatikus.
4) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar
komponen bilirubin untuk membedakannya dari
hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan
darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar
bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuai dengan obstruksi total.
Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan
gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan
hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5kali dengan
peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis
ekstrahepatik.
Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak
menyingkirkan kemungkinan atresia duktus hepatikus.
Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin serum total atau
bilirubin direk, dan alkalifosfatase mempunyai spesifisitas
92,9% dalam menentukan atresia duktus hepatikus.
b) Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen penting
artinya pada pasien yang mengalami ikterus. Tetapi urobilin
dalam urine negatif. Hal ini menunjukkan adanya bendungan
saluran empedu total.
18

c) Pemeriksaan feces : warna tinja pucat karena yang memberi


warna pada tinja / stercobilin dalam tinja berkurang karena
adanya sumbatan.
d) Fungsi hati : bilirubin, aminotranferase dan faktor
pembekuan : protombin time, partial thromboplastin time.
e) Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya
diagnostik yang cukup sensitif, tetapi penulis lain menyatakan
bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari pemeriksaan
visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar
bilirubin dalam empedu hanya10%, sedangkan kadar asam
empedu di dalam empedu adalah 60%, maka tidak adanya asam
empedu di dalam cairan duodenum dapat menentukan adanya
atresia duktus hepatikus.
5) Pencitraan
a) Pemeriksaan ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan
dapat ditingkatkan bilapemeriksaan dilakukan dalam 3 fase,
yaitu pada keadaan puasa, saat minum dan sesudah minum.Bila
pada saat atau sesudah minum kandung empedu berkontraksi,
maka atresia duktus hepatikus kemungkinan besar (90%) dapat
disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus hepatikus,
tidak ditemukannya kandung empedu, dan meningkatnya
ekogenitas hati, sangat mendukung diagnosis atresia duktus
hepatikus. Namun demikian, adanya kandung empedu tidak
menyingkirkan kemungkinan atresia duktus hepatikus, yaitu
atresia duktus hepatikus tipe I / distal.
b) Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop
Technetium 99m mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%.
Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada pasien diberikan
fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis
19

selama 5 hari. Pada kolestasisintrahepatik pengambilan isotop


oleh hepatosit berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus
normal, sedangkan pada atresia duktus hepatikus proses
pengambilan isotop normal tetapi ekskresinya keusus lambat
atau tidak terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis
intrahepatik yang beratjuga tidak akan ditemukan ekskresi
isotop ke duodenum. Untuk meningkatkan sensitivitas
danspesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan
indeks hepatik (penyebaran isotop dihati dan jantung), pada
menit ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat menyingkirkan
kemungkinanatresia duktus hepatikus, sedangkan indeks hepatik
< 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya atresia duktus
hepatikus.Teknik sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan
DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4%. Torrisi
mengemukakan bahwa dalam mendetcksi atresia duktus
hepatikus, yang terbaik adalahmenggabungkan basil
pemeriksaan USG dan sintigrafi.
c) Liver Scan
Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA
(Hepatobiliary Iminodeacetic Acid). Hida melakukan
pemotretan pada jalur dari empedu dalam tubuh, sehingga dapat
menunjukan bilamana ada blokade pada aliran empedu.
d) Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio
Pancreaticography). Merupakan upaya diagnostik dini yang
berguna untuk membedakan antara atresia duktus hepatikus
dengan kolestasis intrahepatik. Bila diagnosis atresia duktus
hepatikus masih meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
kolangiografi durante operasionam. Sampai saat ini pemeriksaan
kolangiografi dianggap sebagai baku emas untuk membedakan
kolestasis intrahepatik dengan atresia duktus hepatikus.
20

6) Biopsi hati
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling
dapat diandalkan. Ditangan seorang ahli patologi yang
berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai 95%,sehingga dapat
membantu pengambilan keputusan untuk melakukan laparatomi
eksplorasi, danbahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai.
Keberhasilan aliran empedu pasca operasi Kasai di 6 tukan oleh
diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. Bila diameter
duktus100 200 u atau 150 400 u maka aliran empedu dapat terjadi.
Desmet dan Ohya menganjurkan agar dilakukan frozen section pada
saat laparatomi eksplorasi, untuk menentukan apakah
portoenterostomi dapat dikerjakan. Gambaran histopatologik hati yang
mengarah ke atresia duktus hepatikus mengharuskan intervensi bedah
secara dini. Yang menjadi pertanyaan adalah waktu yang paling
optimal untuk melakukan biopsi hati. Harus disadari, terjadinya
proliferasi duktuler (gambaran histopatologik yang menyokong
diagnosis atresia duktus hepatikus tetapi tidak patognomonik)
memerlukan waktu. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk melakukan
biopsi pada usia < 6 minggu

2.8 Penatalaksanaan
a) Terapi medikamentosa
1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati
terutama asam empedu (asamlitokolat), dengan memberikan :
(a) Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral.
(b) Fenobarbital akan merangsang enzimglukuronil
transferase (untuk mengubah bilirubin indirek menjadi
bilirubin direk); enzimsitokrom P-450 (untuk oksigenisasi
toksin), enzim Na+ K+ ATPase (menginduksi
aliranempedu). Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6
dosis atau sesuai jadwal pemberian susu.
21

Kolestiraminmemotong siklus enterohepatik asam empedu


sekunder
2) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan : Asam
ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral.
Asam ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif
terhadap asam litokolat yang hepatotoksik.
b) Terapi nutrisi
Terapi yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan
berkembang seoptimal mungkin, yaitu :
1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain
triglycerides (MCT) untuk mengatasi malabsorpsi lemak dan
mempercepat metabolisme. Disamping itu, metabolisme yang
dipercepat akan secara efisien segera dikonversi menjadi energy
untuk secepatnya dipakai oleh organ dan otot, ketimbang
digunakan sebagai lemak dalam tubuh. Makanan yang
mengandung MCT antara lain seperti lemak mentega, minyak
kelapa, dan lainnya.
2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam
lemak. Seperti vitamin A, D, E, K
c) Terapi bedah
1) Kasai Prosedur

Gambar 6. Prosedur Kasai


22

Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang


mengalirkan empedu keusus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin
dilakukan pada 5-10% penderita. Untuk melompati atresia
duktus hepatikus dan langsung menghubungkan hati dengan
usus halus, dilakukan pembedahan yang disebut prosedur Kasai.
Biasanya pembedahan ini hanya merupakan pengobatan
sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan
hati.
2) Pencangkokan atau Transplantasi Hati
Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi
untuk atresia duktus hepatikus dan kemampuan hidup setelah
operasi meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun
terakhir. Karena hati adalah organ satu-satunya yang bisa
bergenerasi secara alami tanpa perlu obat dan fungsinya akan
kembali normal dalam waktu 2 bulan. Anak-anak dengan atresia
duktus hepatikus sekarang dapat hidup hingga dewasa, beberapa
bahkan telah mempunyai anak. Kemajuan dalam operasi
transplantasi telah juga meningkatkan kemungkianan
untuk dilakukannya transplantasi pada anak-anak dengan atresia
duktus hepatikus. Di masa lalu, hanya hati dari anak kecil yang
dapat digunakan untuk transplatasi karena ukuran hati harus
cocok. Baru-baru ini, telah dikembangkan untuk menggunakan
bagian dari hati orang dewasa, yang disebut"reduced size" atau
"split liver" transplantasi, untuk transplantasi pada anak dengan
atresia duktus hepatikus.
Berdasarkan terapi yang sering diberikan pada pasien dengan atresia
duktus hepatikus dapat diklasifikasikan menjadi :
a) Palliative treatment
Dilakukan home care untuk meningkatkan drainase empedu dengan
mempertahankan fungsi hati dan mencegah komplikasi kegagalan
hati.

b) Supportive treatment
23

1) Managing the bleeding dengan pemberian vitamin K yang


berperan dalam pembekuan darah dan apabila kekurangan
vitamin K dapat menyebabkan perdarahan berlebihan dan
kesulitan dalam penyembuhan. Ini bisa ditemukan pada selada,
kubis, kol, bayam, kangkung, susu, dan sayuran berdaun hijau
tua adalah sumber terbaik vitamin ini.
2) Nutrisi support, terapi ini diberikan karena klien dengan
atresia duktus hepatikus mengalami obstruksi aliran dari hati ke
dalam usus sehingga menyebabkan lemak dan vitamin larut
lemak tidak dapat diabsorbsi. Oleh karena itu diberikan
makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT)
seperti minyak kelapa.
3) Perlindungan kulit bayi secara teratur akibat dari akumulasi
toksik yang menyebar ke dalam darah dan kulit yang
mengakibatkan gatal (pruiritis) pada kulit.
4) Pemberian health edukasi dan emosional support, keluarga
juga turut membantu dalam memberikan stimulasi
perkembangan dan pertumbuhan klien.

2.9 Komplikasi
a) Kolangitis
Komunikasi langsung dari saluran empedu intrahepatic ke usus,
dengan aliran empedu yang tidak baik, dapat menyebabkan ascending
cholangitis. Hal ini terjadi terutamadalam minggu-minggu pertama
atau bulan setelah prosedur Kasai sebanyak 30-60% kasus.Infeksi ini
bisa berat dan kadang-kadang fulminan. Ada tanda-tanda sepsis
(demam, hipotermia,status hemodinamik terganggu), ikterus yang
berulang, feses acholic dan mungkin timbul sakitperut. Diagnosis
dapat dipastikan dengan kultur darah dan / atau biopsi hati.

b) Hipertensi portal
24

Portal hipertensi terjadi setidaknya pada dua pertiga dari anak-


anak setelah portoenterostomy. Hal paling umum yang terjadi adalah
varises esofagus.
c) Hepatopulmonary syndrome dan hipertensi pulmonal
Seperti pada pasien dengan penyebab lain secara spontan
(sirosis atau prehepatic hipertensi portal) atau diperoleh (bedah)
portosystemic shunts, shunts pada arterivenosus pulmo mungkin
terjadi. Biasanya, hal inimenyebabkan hipoksia, sianosis, dan
dyspneu. Diagnosis dapat ditegakan dengan scintigraphyparu. Selain
itu, hipertensi pulmonal dapat terjadi pada anak-anak dengan sirosis
yang menjadi penyebab kelesuan dan bahkan kematian mendadak.
Diagnosis dalam kasus ini dapat ditegakan oleh echocardiography.
Transplantasi liver dapat membalikan shunts, dan dapat membalikkan
hipertensi pulmonal ke tahap semula.
d) Keganasan
Hepatocarcinomas, hepatoblastomas, dan cholangiocarcinomas
dapat timbul pada pasien dengan atresia duktus hepatikus yang telah
mengalami sirosis. Skrining untuk keganasan harusdilakukan secara
teratur dalam tindak lanjut pasien dengan operasi Kasai yang berhasil.
Sirosis bilier bersifat progresif jika operasi Kasai gagal untuk
memulihkan aliran empedu dan pada keadaan ini harus dilakukan
transplantasi hati. Hal ini biasanya dilakukan di tahun kedua kehidupan,
namun dapat dilakukan lebih awal (dari 6 bulan hidup) untuk mengurangi
kerusakan dari hati. Atresia duktus hepatikus mewakili lebih dari setengah
dari indikasi untuk transplantasi hati di masa kanak-kanak. Hal ini juga
mungkin diperlukan dalam kasus-kasus dimana pada awalnya sukses setelah
operasi Kasai tetapi timbul ikterus yang rekuren (kegagalan
sekunder operasi Kasai), atau untuk berbagai komplikasi dari sirosis
(hepatopulmonary sindrome).

2.10 Prognosis
25

Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat


dioperasi, gambaran histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis,
dan pengalaman ahli bedahnya sendiri. Bila operasi dilakukan pada usia < 8
minggu maka angka keberhasilannya 71,86%, sedangkan bila operasi
dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya
34,43%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan
hidup 3 tahun hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Anak
termuda yang mengalami operasi Kasai berusia 76 jam. Jadi, faktor-faktor
yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi >
60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik hati, tidak adanya
duktus bilier ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi penyulit hipertensi
portal. (Dewi, Kristiana.2010.Atresia duktus hepatikus)

2.11 Asuhan Keperawatan Pasien dengan Atresia Duktus Hepatikus


a) Pengkajian
1. Identitas klien
Nama, umur (bisa terjadi pada semua umur), jenis kelamin (baik
perempuan ataupun laki-laki), pekerjaan, agama, alamat,
pendidikan.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Keluhan utama dalam penyakit atresia duktus hepatikus
adalah Jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan Jaundice
adalah perubahan warna kuning pada kulit dan mata bayi
yang baru lahir. Jaundice terjadi karena darah bayi
mengandung kelebihan bilirubin, pigmen berwarna kuning
pada sel darah merah.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Anak dengan Atresia duktus hepatikus
mengalami Jaundice yang terjadi dalam 2 minggu atau 2 bulan
lebih, apabila anak buang air besar tinja atau feses berwarna
pucat. Anak juga mengalami distensi abdomen, hepatomegali,
lemah, pruritus. Anak tidak mau minum dan kadang disertai
letargi (kelemahan).
26

c. Riwayat kesehatan lalu


Adanya suatu infeksi pada saat Infeksi virus atau bakteri
masalah dengan kekebalan tubuh. Selain itu dapat juga terjadi
obstruksi empedu ektrahepatik. yang akhirnya menimbulkan
masalah dan menjadi factor penyebab terjadinya Atresia Biliaris
ini.
d. Riwayat kesehatam keluarga
Anak dengan atresia biliaris diduga dalam keluarganya,
khususnya pada ibu pernah menderita penyakit terkait dengan
imunitas HIV/AIDS, kanker, diabetes mellitus, dan infeksi virus
rubella. Akibat dari penyakit yang di derita ibu ini, maka tubuh
anak dapat menjadi lebih rentan terhadap penyakit atresia
biliaris. Selain itu terdapat kemungkinan adanya kelainan
kongenital yang memicu terjadinya penyakit atresia biliaris ini.
3. Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi-pemeliharaan kesehatan.
Persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan mengenai
pengetahuan orang tua terhadap penyakit yang diderita klien
b. Pola nutrisi metabolic
Pola nutrisi pada anak dengan atresia biliaris ditandai dengan
anoreksia,nafsu makan berkurang, mual-muntah, tidak toleran
terhadap lemak dan makanan pembentuk gas dan biasanya
disertai regurgitasi berulang
c. Pola eliminasi
Pola eliminasi pada anak dengan atresia biliaris yaitu terdapat
distensi abdomen dan asites yang ditandai dengan urine yang
berwarna gelap dan pekat. Feses berwarna dempul, steatorea.
Diare dan konstipasi pada anak dengan atresia biliaris dapat
terjadi.
d. Pola aktivitas-latihan
Terjadi gangguan yaitu anak gelisah dan rewel yang gejalanya
berupa letargi atau kelemahan
e. Pola tidur – istirahat
Anak gelisah dan rewel yang gejalanya berupa letargi atau
kelemahan
f. Pola kognitif perceptual
Pola ini mengenai pengetahuan orang tua terhadap penyakit
yang diderita klien
27

g. Pola toleransi – koping stress


Keluarga perlu memeberikan dukungan dan
semangat sembuh bagi anak.
h. Persepsi diri / konsep diri
Bagaimana persepsi orang tua dan / atau anak terhadap
pengobatan dan perawatan yang akan dilakukan
i. Pola seksual – reproduksi
Pada anak yang menderita atresia biliaris biasanya tidak ada
gangguan dalam reproduksi
j. Pola hubungan dan peran
Biasanya peran orang tua sangat dibutuhkan dalam merawat dan
mengobati anak dengan atresia duktus hepatikus.
k. Pola nilai kepercayaan
Orang tua selalu optimis dan berdoa agar penyakit pada
anaknya dapat sembuh dengan cepat
4. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan Umum
Menjelaskan keadaan umum pasien meliputi tekanan darah,
denyut nadi, suhu tubuh, respirasi dan kesadaran pasien.
5. Pemeriksaan Fisik Head To Toe
a. Rambut : Rambut bersih, tidak ada ketombe, rambut
berwarna hitam, dan rambut tidak rontok.
b. Wajah : Kulit wajah baik, tidak terdapat edema, dan
tidak terdapat sianos.
c. Mata : Konjungtiva tidak anemis, pupil miosis,
konjungtiva anemis
d. Hidung : Simetris, tidak ada pembesaran polip, tidak
ada spuntum.
e. Telinga : Bentuk telinga simetris kiri dan kanan, dan
fungsi pendengaran baik, telinga bersih, tidak
ada serumen.
f. Mulut : Mukosa mulut tidak pecah-pecah, dan
biasanya lidah bersih.
g. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjer tiroid dan tidak
ada pembesaran kelenjer getah bening
h. Dada
Inspeksi : Asimetris, terdapat tarikan otot bantu
pernafasan dan tekanan pada otot diafragma
akibat pembesaran hati (hepatomegali)
Palasi : Taktil fremitus simetris kanan dan kiri,
denyutan jantung teraba cepat, tidak terdapat
nyeri tekan
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Asukultasi : Tidak terdengar suara ronchi, kemungkinan
28

terdengar bunyi wheezing


i. Abdomen
Inspeksi : Terdapat distensi abdomen
Auskultasi : Bising usus normal
Perkusi : Sonor
Palpasi : Kaku pada kuadran kanan, dapat terjadi
nyeri tekan
k. Ekstremitas
Tidak ada oedema, peregerakan normal, kelemahan
l. Integumen
Turgor kurang, pucat, kulit berwarna kuning (jaundice)

b. Diagnosa keperawatan
1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi.
2) Hipovolemia berhubungan dengan tingginya nausea dan
vomitting.
3) Hipertermia berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme.
4) Defisit nutrisi berhubungan dengan gangguan absorbsi nutrien.
5) Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan akumulasi
garam empedu dalam jaringan.
6) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional
7) Risiko keterlambatan perkembangan
29

c. Intervensi Keperawatan

Diagnosa/Masalah
No Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
Kolaborasi

1 Pola nafas tidak efektif 1. Mendemonstrasikan batuk efektif NIC


berhubungan dengan dan suara nafas yang bersih, tidak Intervensi keperawatan yang disarankan untuk
hiperventilasi ada sianosis dan dyspneu (mampu menyelesaikan masalah :
Definisi : Inspirasi dan/atau mengeluarkan sputum, mampu Manajemen Jalan Nafas
ekspirasi yang tidak memberi bernafas dg mudah, tidak ada 1. Buka jalan nafas dengan teknik chin lift atau jaw
ventilasi adekuat. purse lips breathing) thrust, sebagaimana mestinya
Batasan karakteristik 2. Menunjukkan jalan nafas yang 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
1. Bradipnea paten (klien tidak merasa tercekik, 3. Identifikasi kebutuhan aktual/ potensial pasien untuk
2. Dispnea irama nafas, frekuensi pernafasan memasukkan alat membuka jalan nafas
3. Takipnea dalam rentang normal, tidak ada 4. Lakukan fisioterapi dada, sebagaimana mestinya
4. Penurunan tekanan suara nafas abnormal) 5. Buang secret dengan memotivasi pasien untuk
ekspirasi 3. Tanda Tanda vital dalam rentang melakukan batuk atau menyedot lendir
5. Penurunan tekanan normal (tekanan darah, nadi, 6. Motivasi pasien untuk bernafas pelan, dalam, dan
inspirasi pernafasan) batuk efektif
6. Pernafasan cuping 7. Gunakan teknik yang menyenangkan untuk
hidung memotivasi bernafas dalam kepada anak-anak (misal:
7. Ortopnea meniup gelembung, meniup kincir, peluit, harmonica,
8. Pola nafas abnormal balon)
(mis. Irama, frekuensi, 8. Intruksikan bagaimana agar bisa melakukan batuk
kedalaman) efektif
9. Penggunaan otot bantu
30

pernafasan Terapi oksigen


10. Perubahan ekskursi dada 1. Bersihkan mulut, hidung, dan sekresi trakea dengan
Faktor yang berhubungan tepat
1. Ansietas 2. Pertahankan kepatenan jalan nafas
2. Nyeri 3. Siapkan peralatan oksigen dan berikan melalui sistem
3. Obesitas humidifier
4. Hiperventilasi 4. Berikan oksigen tambahan seperti yang diperintahkan
5. Keletihan 5. Monitor aliran oksigen
6. Keletihan otot pernafasan 6. Amati tanda-tanda hipoventilasi induksi oksigen
7. Cedera medulla spinalis 7. Anjurkan pasien mendapatkan oksigen tambahan
8. Deformitas dinding dada sebelum perjalanan udara atau perjalanan ke dataran
9. Deformitas tulang tinggu dengan cara yang tepat
10. Gangguan neurologis Monitor pernafasan
(mis. Trauma kepala, 1. Monitor kecepatan irama, kedalaman dan kesulitan
gangguan kejang) bernafas
11. Posisi tubuh yang 2. Catat gerakan dada, catat ketidaksimetrisan,
menghambat ekspansi penggunaan otot-otot bantu nafas, dan retraksi pada
paru otor supraclaviculas dan intercosta
12. Sindrom hipoventilasi 3. Monitor suara nafas tambahan seperti ngorok, mengi
4. Monitor pola nafas (misalnya, bradipneu, takipneu,
hiperventilasi, pernafasan kusmaul, pernafasan 1:1,
apneustik, respirasi biot, dan pola ataxic)
5. Palpasi kesimetrisan ekspirasi paru
6. Monitor kelemahan otot-otot diafragma dengan
pergerakan parasoksikal
7. Auskultasi suara nafas setelah tindakan
31

2 Hipovolemia NOC NIC


Definisi : penurunan cairan Outcome untuk menilai dan Monitor Cairan
intravaskular, intertisial,mengukur kejadian aktual dari 1. Monitor asupan dan
dan/atau intraselular inidiagnosis : pengeluaran
mengacu pada dehidrasi, 1. Keseimbangan Cairan 2. Cek kembali asupan dan
kehilangan cairan saja tanpa 2. Hidrasi pengeluaran
perubahan kadarnatrium Outcome yang berhubungan dengan 3. Monitor membran mukosa,
faktor risiko : turgor kulit dan respon haus
Batasan karakteristik 1. Perilaku patuh : diet yang sehat 4. Tentukan jumlah dan jenis
1. Haus 2. Penyembuhan luka bakar intake/ asupan cairan serta kebiasaan eleminasi
2. Kelemahan 3. Perilaku patuh : diet yang disarankan 5. Tentukan faktor-faktor resiko
3. Kulit kering 4. Keseimbangan elektrolit dan asam yang mungkin menyebabkan ketidakseimbangan
4. Membran mukosa kering basa cairan
5. Peningkatan frekuensi 5. Fungsi gastrointestinal Resusitasi cairan
nadi 6. Keparahan infeksi 1. Dapat dan pertahankan saluran IV yang besar
6. Peningkatan hematokrit 7. Pengetahuan : diet sehat dan 2. Berkolaborasi dengan dokteruntuk memastikan apa
7. Peningkatan konsentrasi pengobatan pemberian terbaik, baik kristaloid (misalnya, Hesban,
urin 8. Status nutrisi : mual dan muntah dan plasmanate) yang sesuai
8. Peningkatan suhu tubuh 9. Keparahan mual dan muntah 3. Kelola cairan IV, seperti yang diresepkan
9. Penurunan berat badan 10. Kontrol risiko 4. Dapatkan spesimen darah untuk pengecekan, yang
tiba-tiba sesuai
10. Penurunan haluan urine 5. Kelola produk darah, seperti yang telah diresepkan
11. Penurunan pengisian 6. Pantau respons hemodinamik pasien
vena 7. Monitor status oksigen
12. Penurunan tekanan darah 8. Monitor kelebihan cairan
13. Penurunan tekanan nadi 9. Memonitor output kehilangan cairan tubuh (misalnya,
14. Penurunan turgor kulit urine, drainase nasogastrik, dan selang dada)
15. Penurunan turgor ludah 10.Monitor BUN, kreatinin total protein dan kadar
32

16. Penurunan volume nadi albumin


17. Perubahan status mental 11. Monitor edema paru dan third spacing
Faktor yang Manajemen Hipovolemi
berhubungan 1. Timbang berat badan di waktu yang sama ( misalnya,
1. Kegagalan mekanisme setelah BAK/BAB, sebelum sarapan) dan monitor
regulasi kecenderungan arah gejala)
2. Kehilangan cairan aktif 2. Monitor status hemodinamik, meliputi nadi, tekanan
darah, MAP, CVP, PAP, PCWP, CO, dan CI, jika
tersedia
3. Monitor adanya tanda-tanda dehidrasi (turgor kulit
buruk, capilary refil terlambat, nadi lemah/therapy
pulse, sangat haus, membran mukosa kering, dan
penurunan urine output)
4. Monitor adanya sumber-sumber kehilangan cairan
5. Monitor asupan dan pengeluaran
6. Monitor adanya bukti laboratorium terkait dengan
kehilangan darah
7. Dukung asupan cairan oral
8. Tawarkan pilihan minuman setiap 1 sampai 2 jam saat
terjaga
9. Jag akepatean akses IV
10.Berikan cairan IV pada suhu kamar
11. Monotor integritas kulit pasien yang tidak dapat
bergerak dan memiliki kulit krting
12.Tingkatkan integritas kulit
13.Sediakan cairan oral sesering mungkin untuk
memelihara integritas membran muosa mulut
Pemasangan infus
33

1. Verifikasi instruksi untuk terapi IV


2. Beritahukan pasien mengenai prosedur
3. Pertahankan teknik aseptik dengan seksama
4. Identifikasi apakah pasien alergi terhadap obat,
yodium, atau plester
5. Pasang infus di lengan pasien yang berlawanan
dengan fistula arteriovenosa atau lintasan, atau kondisi
kontraindikasi kanulasi (misalnya, lymphedema,
mastektomi, lymphehectomy, terapi radiasi)
6. Anjurkan pasien untuk memegang ekstremitas lebih
rendah dari jantung untuk memaksimalkan aliran
darah ketempat yang sesuai
7. Minta pasien untuk membuka dan menutup tangan
beberapa kali
8. Masukkan jarum sesuai dengan instruksi pabrik,
gunakan hanya jarum dengan aspek-aspek pencegahan
cedera benda tajam

Manajemen syok
1. Monitor tanda-tanda vital, tekanan darah orthostatik,
status mental, output urin
2. Posisikan pasien untuk mendapatkan perfusi yang
optimal
3. Buat dan pertahankan kepatenan jalan nafas, sesuai
kebutuhan
4. Monitor tekanan oksimetri, sesuai kebutuhan
5. Monitor EKG, sesuai kebutuhan
6. Ambil gas darah arteri dan monitor oksigenasi
34

jaringan
7. Berikan vairan IV sementara melakukan monitor
tekanan hemonidamik dan urine output sesuai
kebutuhan
8. Berikan cairan IV krtistaloid dan koloid, sesuai
kebutuhan
Monitor tanda-tanda vital
1. Monitor tekanan darah, nadi suhu, dan status
pernafasan dengan tepat
2. Catat gaya dan fluktuasi yang luas pada tekanan darah
3. Monitor tekanan darah saat pasien berbaring, duduk,
dan berdiri sebelum dan setelah perubahan posisi
4. Monitor tekan darah pasien setelah minum obat
5. Auskultasi tekanan darah di kedua lengan dan
bandingkan
6. Monitor irama dan tekanan jantung
7. Monitor suara paru-paru
8. Monitor pola nafas abnormal
9. Monitor warna kulit, suhu dan kelembaban
10.Identifikasi kemungkinan penyebab perubahan tanda-
tanda vital
3 Hipertermi NOC NIC
Definisi : suhu inti tubuh di Outcome Untuk Mengukur Memandikan
atas kisaran normal Penyelesaian dari Diagnosis 1. Bantu dengan menggunakan kursi untuk mandi, bak
diurnalkarena kegagalan 1. Termoregulasi tempat mandi, mandi dengan berdiri, dengan
termoregulasi 2. Termoregulasi : Bayi baru lahir menggunakan cara yang tepat atau sesuai dengan
Batasan Karakteristik : Outcome Tambahan untuk keinginan pasien
1. Apnea Mengukur Batasan Karakteristik 2. Cuci rambut sesuai dengan kebutuhan atau
35

2. Bunyi tidak dapat 1. Status neurologi keinginan


mempertahankan 2. Status neurologi : otonomik 3. Mandi dengan air yang mempunyai suhu yang
menyusu 3. Tanda-tanda vital nyaman
3. Gelisah Outcome yang Berhubungan dengan 4. Gunakan tehnik mandi yang menyenangkan pada
4. Hipotensi Faktor yang Berhubungan atau anak
5. Kejang Outcome Menengah 5. Bantu dalam hal perawatan perineal jika memang
6. Koma 1. Reaksi transfusi darah diperlukan
7. Kulit kemerahan 2. Status kenyamanan : fisik 6. Bantu dalam hal kebersihan
8. Kulit terasa hangat 3. Tingkat ketidaknyamanan 7. Berikan fasilitas meredam kaki, sesuai dengan
9. Letargi 4. Hidrasi kebutuhan
10. Postur abnormal 5. Keparahan infeksi 8. Cukur pasien sesuai dengan indikasi
11. Stupor 6. Keparahan infeksi : bayi baru lahir 9. Berikan lubrikan dan krim pada area kulit yang
12. Takikardia 7. Pengetahuan : manajemen penyakit kering
13. Takipnea akut 10. Tawakan mencuci tangan setelah eleminasi dan
14. Vasodilatasi 8. Respon pengobatan sebelum makan
Faktor yang 9. Keparahan cedera fisik 11. Berikan bedak kering pada lipatan kulit yang dalam
Berhubungan : 10. Kontrol resiko : hipertermia 12. Maonitor fungsi kemampuan saat mandi
1. Ages farmaseutikal 11. Manajemen diri : penyakit akut Manajemen lingkungan
2. Aktivitas berlebihan 1. Ciptakan lingkungan yang aman bagi pasien
3. Dehidrasi 2. Indentifikasi kebutuhan keselamatan pasien
4. Iskemia berdasarkan fungsi fisik dan kognitif serta riwayat di
5. Pakaian yang tidak masa lalu
sesuai 3. Singkirkan bahaya lingkungan
6. Peningkatan laju 4. Singkirkan benda-benda bahaya dari lingkungan
metabolisme 5. Lindungi pasien dengan pegangan pada sisi/bantalan
7. Penurunan parspirasi di sisi ruangan,yang sesuai
8. Penyakit 6. Dampingi pasien selama tidak ada kegiatan bangsal,
9. Sepsis dengan tepat
36

10. Suhu lingkungan tinggi 7. Sediakan tempat tidur dengan ketinggian yang
11. Trauma rendah
8. Letakkan benda yang sering digunakan dalam
jangkauan pasien
Perawatan Deman
1. Pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya
2. Monitor warna kulit dan suhu
3. Monitor asupan dan keluaran, sadari perubahan
kehilangan cairan yang tidak dirasakan
4. Beri obat atau cairan IV (misalnya, antipiretik, agen
antibakteri, dan agen anti menggigil)
5. Jangan beri aspirin untuk anak-anak
6. Tutup pasien dengan selimut atau pakian ringan,
tergantung pada fase demam (yaitu : memberikan
selimut hangat untuk fase dingin: menyediakan
pakian atau linen tempat tidur ringan untuk demam
fase bergejolak/Flush)
7. Dorong konsumsi cairan
8. Fasilitasi istirahat, terapkan pembatasan aktivitas,
jika diperlukan
9. Berikan oksigen, yang sesuai
10. Mandikan pasien dengan spons hangat dengan hati-
hati (yaitu: berikan untuk pasien dengan suhu yang
sangat tinggi, tidak memberikannya selama fase
dingin, dan hindari agar pasien tidak menggigil)
11. Tingkatkan sirkulasi udara
12. Pantau komplikasi-komplikasi yang berhubungan
dengan demam serta tanda dan gejala kondisi
37

penyebab demam (misalnya kejang, penurunan


tingkat kesadaran, status elektrolit abnormal,
ketidakseimbangan asam-basa, aritmia jantung, dan
perubahan abnormallitas sel)
Manajemen cairan
1. Timbang berat badan tiap hari dan
monitor status pasien
2. Hitung atau timbang popok dengan baik
3. Jaga intake/asupan yang akurat dan catat
output [pasien] masuk kateter urin
4. Monitor status hidrasi
(misalnya,membrane mukosa lembab, denyut nadi
adekuat, dan tekanan darah ortostatik)
5. Monitor hasil laboratorium yang relevan
dengan retensi cairan (misalnya; peningkatan berat
jenis, peningkatan BUN, Penurunan hematokrit, dan
peningkatan kadar osmolalitas urun)
6. Monitor status hemodinamika, termasuk
CVP, MAP, PAP, dan PCWP, jika ada
7. Monitor tanda-tanda vital pasien
8. Monitor indikasi kelebihan cairan /
retensi (misalnya, cracles, elevasi CVP atau tekana
kapiler paru yang terganjal, edema, distensi vena
leher, dan asites)
9. Monitor perubaha berat badan
pasiensebelum dan sesudah dialysis
10. Kaji lokasi dan luasnya edema, jika ada
11. Monitor makanan/cairan yang
38

dikonsumsi dan hitung asupan kalori harian


12. Berikan terapi IV, seperti yang ditentukan
13. Monitor status gizi
14. Berikan cairan dengan tepat
Pengaturan hemodinamik
1. Lakukan penilaian komprehensif terhadap status
hemodinamika (yaitu, memeriksa tekanan darah,
denyut jantung,denyut nadi, tekana vena jugularis,
tekanan vena sentral attium kiri dan kanan tekanan
ventrikel dan tekanan arteri pulmonalis) dengan tepat
2. Gunakan beberapa parameter untuk menentukan
status klinis pasien ( yaitu nani proporsional dianggap
sebagai parameter definitive)
3. Berikan pemeriksaan fisik berkala pada populasi
berisiko (missal pasien gagal jantung)
4. Kurangi kecemasan dengan memberikan informasi
yang akurat dan perbaiki setiap kesalah pahaman
5. Pertimbangkan status volume (yaitu, apakah pasien
hipovolemi atau berada pada rentang cairan yang
seimbang)
6. Monitor adanya tanda dan gejala masalah status
volume
7. Lakukan auskultasi pada paru untuk mencari tau apa
ada bunyi atau suara tambahan lainnya
8. Lakukan auskultasi pada jantung
Manajemen syok
1. Monitor tanda-tanda vital, tekanan darah orthostatik,
status mental, output urin
39

2. Posisikan pasien untuk mendapatkan perfusi yang


optimal
3. Buat dan pertahankan kepatenan jalan nafas, sesuai
kebutuhan
4. Monitor tekanan oksimetri, sesuai kebutuhan
5. Monitor EKG, sesuai kebutuhan
6. Ambil gas darah arteri dan monitor oksigenasi
jaringan
7. Berikan vairan IV sementara melakukan monitor
tekanan hemonidamik dan urine output sesuai
kebutuhan
8. Berikan cairan IV krtistaloid dan koloid, sesuai
kebutuhan
Monitor tanda-tanda vital
1. Monitor tekanan darah, nadi suhu, dan status
pernafasan dengan tepat
2. Catat gaya dan fluktuasi yang luas pada tekanan
darah
3. Monitor tekanan darah saat pasien berbaring,
duduk, dan berdiri sebelum dan setelah perubahan
posisi
4. Monitor tekan darah pasien setelah minum obat
5. Auskultasi tekanan darah di kedua lengan dan
bandingkan
6. Monitor irama dan tekanan jantung
7. Monitor suara paru-paru
8. Monitor pola nafas abnormal
9. Monitor warna kulit, suhu dan kelembaban
40

10. Identifikasi kemungkinan penyebab perubahan


tanda-tanda vital
4 Defisit nutrisi NOC NIC
Definisi : asupan nutrisi Outcome untuk mengukur Manejemen diare
tidak cukup untuk memenuhi penyelesaian dari diagnosis : 1. Tentukan riwayat diare
kebutuhan metabolik 1. Status nutrisi bayi 2. Ambil tinja untuk pemerinkasaan kultur dan
Batasan Karakteristik : 2. Status nutrisi sensitifitas bila diare berlanjut
1. Bising usus hiperaktif 3. Status nutrisi: asupan nutrisi 3. Evaluasi profil pengobatan terhadap adanya efek
2. Cepat kenyang setelah Outcome tambahan untuk mengukur samping pada gastrointentinas
makan batasan karakteristik : 4. Ajari pasien cara penggunaan obat antidiare secara
3. Diare 1. Nafsu makan tepat
4. Gangguan sensasi rasa 2. Eliminasi usus 5. Instruksikan pasien atau anggota keluarga untuk
5. Kelemahan otot 3. Keberhasilan menyusui: bayi mencatat warna, volume, frekuensi, dan konsistensi
pengunyah 4. Pemberian makan melalui cangkir: tinja
6. Kelemahan otot untuk bayi 6. Evaluasi kandungan nutrisi dari makanan yang sudah
menelah 5. Tingkat ketidaknyamanan di konumsi sebelumnya
7. Berat badan 20% atau 6. Pengetahuan : diet sehat 7. Berikan makanan dalan porsi kecil dan lebih
lebih di bawah rentang 7. Status nutrisi: pengukuran seringserta tingkatkan porsi secara bertahap
berat badan ideal biokimia 8. Anjurkan pasien menghindari makanan pedas dan
8. Ketidakmampuan 8. Status nutrisi : energy yang menimblkan gas dalam perut
memakan makanan 9. Status nutrisi: asupan makanan & 9. Monitor tandan dan gejala diare
9. Kram abdomen cairan 10. Amati turgor kulit secara berkala
10. Kurang minat pada 10. Kesehatan mulut 11. Ukur diare/output pencernaan
makanan 11. Tingkat nyeri 12. Timbang pasien secara berkala
11. Membrane mukosa pucat 12. Fungsi sensori : pengecapan & 13. Instruksikan diet rendah serat, tinggi protein, tinggi
12. Penurunan berat badan pembau kalori sesuai kebutuhan
dengan asupan makanan 13. Status menelan 14. Lakukan tindakan untuk mengistirahatkan perut
adekuat 14. Perfusi jaringan : perifer (misalnya, nutrisi oral, diet cair)
41

13. Sariawan rongga mulut 15. Berat badan: massa tubuh Manajemen cairan
14. Tonus otot menurun Outcome yang berkaitan dengan 1. Timbang berat badan tiap hari dan monitor status
Faktor Yang faktor yang berhubungan atau pasien
Berhubungan : outcome menengah : 2. Hitung atau timbang popok dengan baik
1. Faktor biologis 1. Perilaku patuh: diet yang sehat 3. Jaga intake/asupan yang akurat dan catat output
2. Faktor ekonomi 2. Perilaku patuh: diet yang [pasien] masuk kateter urin
3. Gangguan psikososial disarankan 4. Monitor status hidrasi (misalnya,membrane mukosa
4. Ketidakmampuan makan 3. Tingkat depresi lembab, denyut nadi adekuat, dan tekanan darah
5. Ketidakmampuan 4. Kontrol diri terhadap kelainan ortostatik)
mencerna makanan makan 5. Monitor hasil laboratorium yang relevan dengan
6. Ketidakmnampuan 5. Kelelahan : efek yang mengganggu retensi cairan (misalnya; peningkatan berat jenis,
mangabsorbsi nutrient 6. Fungsi gastrointestinal peningkatan BUN, Penurunan hematocrit, dan
7. Kurang asupan makanan 7. Kepercayaan mengenai kesehatan peningkatan kadar osmolalitas urun)
8. Kepercayaan mengenai 6. Monitor status hemodinamika, termasuk CVP, MAP,
kesehatan :sumber-sumber yang PAP, dan PCWP, jika ada
diterima 7. Monitor tanda-tanda vital pasien
9. Pengetahuan: manejemen penyakit 8. Monitor indikasi kelebihan cairan/retensi
peradangan usus (misalnya,cracles,elevasi CVP atau tekana kapiler
10. Pengetahuan : diet yang disarankan paru yang terganjal, edema, distensi vena leher, dan
11. Pengetahuan : manejemen berat asites)
badan 9. Monitor perubaha berat badan pasiensebelum dan
12. Keparahan mual & muntah sesudah dialysis
13. Perawatan diri : makan 10. Kaji lokasi dan luasnya edema, jika ada
14. Status menelan: fase oral 11. Monitor makanan/cairan yang dikonsumsi dan hitung
15. Status menelan : fase faringeal asupan kalori harian
12. Berikan terapi IV, seperti yang ditentukan
13. Monitor status gizi
14. Berikan cairan dengan tepat
42

Monitor cairan
1. Monitor asupan dan pengeluaran
2. Cek kembali asupan dan pengeluaran
3. Monitor membran mukosa, turgor kulit dan respon
haus
4. Tentukan jumlah dan jenis intake/ asupan cairan serta
kebiasaan eleminasi
5. Tentukan faktor-faktor resiko yang mungkin
menyebabkan ketidakseimbangan cairan
Manajemen nutrisi
1. Tentukan status gizi pasien dan kemampuan pasien
untuk memenuhi kebutuhan gizi
2. Tentukan apa yang menjadi preferensi makanan bagi
pasien
3. Instruksikan pasien mengenai kebutuhan nutrisi
(yaitu : mebahas pedoman diet dan piramida
mkanan)
4. Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang
dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan gizi
5. Berikan pilihan makanan sambil menawarkan
bimbingan terhadap pilihan [makanan] yang lebih
sehat, jika diperlukan
6. Ciptakan lingkungan yang optimal pada saat
mengkonsumsi makan (misalnya, bersih,
berventilasi, santai, dan bebas dari bau yang
menyengat)
7. Lakukan atau bantu pasien terkait dengan perawatan
mulut sebelum makan
43

8. Beri obat-obatan sebelum makan (misalnya,


penghilang rasa sakit, antiemetik), jika diperlukan
9. Pastikan mkanan disajikan dengan cara yang
menarik dan pada suhu yang paling cocok untuk
konsumsi secara optimal
10. Anjurkan untuk keluarga membawa makanan favorit
pasien sementara [pasien] berada di rumah sakit atau
fasilitas perawatan, yang sesuai
11. Bantu pasien membuka kemasan makanan,
memotong makanan, dan makan, jika diperlukan
Monitor nutrisi
1. Timbang berat badan
2. Monitor pertumbuhan dan perkembangan
3. Lakukan pengukuran antropometrik pada komposisi
tubuh
4. Monitor kecenderungan turun dan naiknya berat
badan
5. Identifikasi perubahan berat badan terakhir
6. Monitor turgor kulit dan mobilitas
7. Identifikasi anormalitas kulit
8. Monitor adanya mual muntah
9. Identifikasi abnormalitas eleminasi bowel
10. Monitor diet dan asupan kalori
11. Identifikasi perubahan nafsu makan dan aktifitas
akhir-akhir ini
Monitor tanda-tanda vital
1. Monitor tekanan darah, nadi suhu, dan status
pernafasan dengan tepat
44

2. Catat gaya dan fluktuasi yang luas pada tekanan


darah
3. Monitor tekanan darah saat pasien berbaring, duduk,
dan berdiri sebelum dan setelah perubahan posisi
4. Monitor tekan darah pasien setelah minum obat
5. Auskultasi tekanan darah di kedua lengan dan
bandingkan
6. Monitor irama dan tekanan jantung
7. Monitor suara paru-paru
8. Monitor pola nafas abnormal
9. Monitor warna kulit, suhu dan kelembaban
10. Identifikasi kemungkinan penyebab perubahan
tanda-tanda vital
Manejemen saluran cerna
1. Catat buang air besar terakhir
2. Monitor buang air besar termasuk frekuensi,
konsistensi, bentuk, volum, dan warna, dengan cara
yang tepat
3. Monitor bising usus
4. Laporkan peningkatan frekuensi dan/atau bising usus
bernada tinggi
5. Laporkan berkurangnya bising usus
6. Monitor adanya tanda dan gejala diare, konstipasi,
dan impaksi
7. Evaluasi inkontinensia fekal sepenuhnya
8. Catat masalah BAB yang sudah ada sebelumnya,
BAB rutin, dan penggunaan laksatif
9. Ajarkan pasien mengenai makanan-makanan
45

tertentu yang membantu mendkung keteraturan usus


10. Anjurkan anggota pasien.keluarga untuk mencatat
warna, volume, frekuensi, dn konsistensi tinja
11. Masukkan supositoria rektal, sesuai kebutuhan
12. Memulai program latihan saluran cerna, dengan cara
yang tepat
13. Mendorong peburuhan asupan makanan pembentuk
gas, yang sesuai
14. Instruksikan pasien mengenai makanan tinggi serat,
dengan cara yang tepat
15. Berikan caran hangan setelah makan, dengan cara
yang tepat
Pemasangan infuse
1. Verifikasi instruksi untuk terapi IV
2. Beritahukan pasien mengenai prosedur
3. Pertahankan teknik aseptik dengan seksama
4. Identifikasi apakah pasien alergi terhadap obat,
yodium, atau plester
5. Pasang infus di lengan pasien yang berlawanan
dengan fistula arteriovenosa atau lintasan, atau
kondisi kontraindikasi kanulasi (misalnya,
lymphedema, mastektomi, lymphehectomy, terapi
radiasi)
6. Anjurkan pasien untuk memegang ekstremitas lebih
rendah dari jantung untuk memaksimalkan aliran
darah ketempat yang sesuai
7. Minta pasien untuk membuka dan menutup tangan
beberapa kali
46

8. Masukkan jarum sesuai dengan instruksi pabrik,


gunakan hanya jarum dengan aspek-aspek
pencegahan cedera benda tajam
Terapi intravena
1. Verifikasi perintah untuk terapi (IV)
2. Lakukan [prinsip] lima benar sebelum memulai infus
atau pemberian pengobatan (misalnya, benar obat,
dosis, pasien, cara, dan frekuensi)
3. Seleksi dan siapkan IV pompa infus, sesuai indikasi
4. Berikan cairan IV pada suhu ruang, kecuali jika
diperintahkan (berbeda)
5. Berikan pengobatan IV, sesuai yang diresepkan, dan
monitor untuk hasilnya
6. Monitor kecepatan aliran intravenadan area intravena
selama [pemberian] infus
7. Lakukan pengecekan pada area IV sesuai protokol di
institusi
8. Lakukan perawatan pada area IV sesuai protokol di
institusi
9. Monitor tanda vital
10. Catat asupan dan output dengan tepat
5 Kerusakan Integritas Kulit NOC NIC
Definisi : kerusakan pada Outcome untuk mengukur Perawatan Luka tekan
epidermis dan/ atau dermis penyelesaian dari diagnosis : 1. Catat karakteristik luka tekan setiap hari, meliputi
Batasan Karakteristik : Integritas jaringan : kulit & membrane ukuran (panjang x lebar x dalam), tingkatan luka (I-
1. Benda asing menusuk mukosa IV), lokasi, eksudat, granulasi atau jaringan nekrotik,
permukaan kulit Outcome tambahan untuk mengukur dan epitelisasi
2. Kerusakan integritas batasan karakteristik: 2. Monitor warna, suhu, udem, klembaban, dan kondisi
47

kulit 1. Respon alergi: local area sekitar luka


Faktor yang berhubungan: 2. Penyembuhan luka bakar 3. Jaga agar luka tetap lembab untuk membantu proses
Eksternal : 3. Akses hemodialysis penyembuhan
1. Agens farmaseutikal 4. Penyembuhan luka : primer 4. Berikan pelembab yang hangat di sekitar area luka
2. Cedera kimiawi kulit 5. Penyembuhan luka : sekunder untuk meningkatkan perfusi darah dan suplai
3. Faktor mekanik Outcome yang berkaitan dengan oksigen
4. Hipertermia faktor yang berhubungan atau 5. Bersihkan kulit sekitar luka dengan sabun yang
5. Hipotermia outcome menengah: lembut dan air
6. Kelembapan 1. Posisi tubuh : berinisiatif sendiri 6. Lakukan debridement jika diperlukan
7. Terapi radiasi 2. Pemulihan luka bakar 7. Bersihkan luka dengan cairan yang tidak berbahaya,
8. Usia ekstrem 3. Status sirkulasi lakukan pembersihan dengan gerakan sirkuler dari
4. Keseimbangan cairan dalam keluar
5. Keparahan cairan berlebihan 8. Cata karakteristik cairan luka
6. Konsekuensi imobilitas : fisiologi 9. Monitor tanda dan gejala infeksi di area luka
7. Respon pengobatan 10. Ubah posisi setiap 1-2 jam sekali untuk mencegah
8. Status neurologi : perifer penekanan
9. Status nutrisi 11. Ajarka pasien dan keluarga mengenai perawatan luka
10. Kontrol risiko : hipertermia Perawatan Luka
11. Kontrol risiko : hipotermia 1. Angkat balutan dan plester perekat
12. Perawatan diri ; mandi dan 2. Cukur rambut di sekitar daerah yang terkena, sesuai
kebersihan kebutuhan
13. Fungsi sensori : taktil 3. Monitor karakteristik luka, termasuk drainase,
14. Termoregulasi warna, ukuran, dan bau
15. Perfusi jaringan : perifer 4. Ukur luas luka, yang sesuai
5. Singkirkan benda-benda yang tertanam [pada luka]
(misalnya, serpihan, kutu, kaca, kerikil, logam)
6. Bersihkan dengan normal saline atau pembersih
yang tidak beracun, denga tepat
48

7. Berikan perawan ulkus pada kulit, yang diperlukan


8. Oleskan salep yang sesuai dengan kulit/lesi
9. Berikan balutan yang sesuai dengan jenis luka
10. Pertahankan teknik balutan steril ketika melakukan
perawatan luka, dengan tepat
11. Periksa luka setiap kali perubahan balutan
12. Bandingkan dan catat setiap perubahan luka
13. Reposisi pasien setidaknya setiap 2 jam, dengan
tepat.
Perawatan luka: luka bakar
1. Dinginkan luka bakar dengan air hangat (20 o C) atau
cairan normal salisine pada saat cedera terjadi
2. Kaji area tempat masuk dan keluar arus, pada luka
bakar yang disebabkan oleh sengatan listrik untuk
mangevaluasi organ mana saja yang mungkin
terkena dampak
3. Lakukan pemeriksaan EKG pada semua kasus luka
bakar yang disebabkan oleh sengatan listrik
4. Tingkatkan suhu tubuh pasien luka bakar karena
kedinginan
5. Pertahankan jalan nafas terbuka untuk memastikan
ventilasi
6. Monitor tingkat kesadaran pada pasien yang
mengalami luka bakar luas
7. Evaluasi rongga mulut dan hidung pasien untuk
mengidentifikasi kemungkinan adanya lesi karena
inhalasi
8. Evaluasi luka, kaji kedalaman, pelebaran, lokalisasi,
49

nyerim agen penyebab, eksudat, jaringan granulasi


atau nekrosis epitelisasi dan tanda-tanda infeksi
9. Berikan informasi pada paien mengenai prosedur
yang harus diikuti selama perawatan
10. Berikan tindakan kenyamanan sebelum dilakukan
perawatan luka
11. Lakukan debridemen luka
12. Aplikasikan agen topikal pada luka

Perawatan luka: drainase tertutup


1. Kumpulkan peralatan dan perlengkapan yang
diperlukan di samping tempat tidur (misalnya,
mangkuk spesimen dikalibrasi, bantalan penyerap,
dan sarung tangan)
2. Bantu pasien untuk mendapatkan posisi yang
nyaman
3. Buka selang dan tempat insersi kateter dan,
tempatkan sistem drainase di bantalan penyerap
4. Periksa kepatenan pompa dan kateter, segel, dan
stabilitas, serta behati-hati jangan sampai membuka
jahitan secara tidak sengaja, jika ada
5. Monitor tanda-tanda infeksi, peradangan, dan
ketidaknyamanan di sekitar drainase
6. Bersihkan leher botol drainase dengan menggunakan
swap antiseptik
7. Posisikan sistem [drainase] dengan tepat (yaitu,
mencegah selang terbelit dan mengamankannya pada
pakaian pasien atau ke tempat tidur, yang sesuai)
50

8. Catat volume dan karakteristik drainase (misalnya,


warna, konsistensi, dan bau)
9. Kompres sistem untuk memberikan [tindakan]
suksion dengan interval waktu yang teratur, sesuai
dengan kebijakan kelembagaan
10. Beri nomor perangkat koleksi, jika lebih dari satu
11. Buang barang-barang kotor dengan cara yang tepat
Perawatan tirah baring
1. Jelaskan diperlukannya tirah baring
2. Tempatkan matras atau kasur terapeutik dengan cara
yang tepat
3. Posisikan sesuai body aligment yang tepat
4. Hindari menggunakan kain linen kasur yang
teksturnya kasar
5. Jaga kain linen kasur tetap bersih, kering dan bebas
kerutan
6. Aplikasikan alat untuk mencegah terjadinya footdrop
7. Tinggikan teralis tempat tidur, dengan cara yang
tepat
Perlindungan infeksi
1. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi sistemik dan
lokal
2. Monitor kerentanan terhadao infeksi
3. Tinjau riwayat perjalanan internasional dan global
4. Batasi jumlah pengunjung
5. Hindari kontak dekat denganhewan peliharaan
hewan dan penjamu dengan munitas yang
membahayakan
51

6. Skrining semua pengunjung terkait penyakut


menular
7. Pertahankan asepsis untuk pasien beresiko
8. Pertahankan tehnik-tehnik isolasi, yang sesuai
9. Berikan perawatan kulit yang tepat untuk area edema
10. Periksa kulit dan selaput lwndir unruk adanya
kemerahan , kehangatan ekstrim, atau drainase
11. Periksan kondisi setiap sayatan bedah atau luka
12. Dapatkan kultur yang diperlukan.
Monitor tanda-tanda vital
11. Monitor tekanan darah, nadi suhu, dan status
pernafasan dengan tepat
12. Catat gaya dan fluktuasi yang luas pada tekanan
darah
13. Monitor tekanan darah saat pasien berbaring, duduk,
dan berdiri sebelum dan setelah perubahan posisi
14. Monitor tekan darah pasien setelah minum obat
15. Auskultasi tekanan darah di kedua lengan dan
bandingkan
16. Monitor irama dan tekanan jantung
17. Monitor suara paru-paru
18. Monitor pola nafas abnormal
19. Monitor warna kulit, suhu dan kelembaban
20. Identifikasi kemungkinan penyebab perubahan
tanda-tanda vital
6 Ansietas berhubungan NOC : NIC :
dengan faktor keturunan, - Kontrol kecemasan Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
krisis situasional, stress, - Koping 1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
52

perubahan status kesehatan, Setelah dilakukan asuhan 2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku
ancaman kematian, perubahan selama ……………klien pasien
konsep diri, kurang kecemasan teratasi dgn 3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan
pengetahuan dan hospitalisasi kriteria hasil: selama prosedur
DO/DS: 1. Klien mampu mengidentifikasi dan 4. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan
1. Insomnia mengungkapkan gejala cemas mengurangi takut
2. Kontak mata kurang 2. Mengidentifikasi, mengungkapkan 5. Berikan informasi faktual mengenai diagnosis,
3. Kurang istirahat dan menunjukkan tehnik untuk tindakan prognosis
4. Berfokus pada diri mengontol cemas 6. Libatkan keluarga untuk mendampingi klien
sendiri 3. Vital sign dalam batas normal 7. Instruksikan pada pasien untuk menggunakan tehnik
5. Iritabilitas 4. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa relaksasi
6. Takut tubuh dan tingkat aktivitas 8. Dengarkan dengan penuh perhatian
7. Nyeri perut menunjukkan berkurangnya 9. Identifikasi tingkat kecemasan
8. Penurunan TD dan kecemasan 10. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan
denyut nadi kecemasan
9. Diare, mual, kelelahan 11. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan,
10. Gangguan tidur ketakutan, persepsi
11. Gemetar 12. Kelola pemberian obat anticemas:........
12. Anoreksia, mulut kering
13. Peningkatan TD, denyut
nadi, RR
14. Kesulitan bernafas
15. Bingung
16. Bloking dalam
pembicaraan
17. Sulit berkonsentrasi
7 Risiko keterlambatan Setelah diberikan asuhan keperawtan 1. Monitor tinggi dan berat badan setiap hari dengan
perkembangan diharapkan nutrisi terpenuhi dnegan timbangan dan didokumentasikan dalam bentuk
53

kriteria hasil : grafik.


1. Tingkat pertumbuhan dan 2. Ijinkan anak untuk sering beristirahat dan hindari
perkembangan anak berfungsi secara gangguan pada saat tidur.
optimal sesuai tingkatannya. 3. Kajin factor penyebab gangguan perkembangan anak.
2. Keluarga dan anak mampu 4. Berikan perawatan yang konsisten.
menggunakan koping terhadap 5. Dorong anak melakukan perawatan sendiri.
tantangan karena adanya
ketidakmampuan.
3. Keluarga mampu mendapatkan
sumber-sumber sarana komunitas.
54

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Atresia duktus hepatikus (biliary atresia) adalah suatu penghambatan
di dalam pipa/saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari
liver menuju ke kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi
congenital, yang berarti terjadi saat kelahiran.
Etiologi atresia duktus hepatikus masih belum diketahui dengan pasti.
Sebagian ahli menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang
dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi17, 18 dan 21; serta
terdapatnya anomali organ pada 30% kasus atresia duktus hepatikus.
Namun, sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia duktus hepatikus
adalah akibat proses inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa karena
infeksi atau iskemi.
Bayi dengan atresia duktus hepatikus biasanya muncul sehat ketika
mereka lahir. Gejala penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu
pertama setelah hidup. Gejala-gejala seperti Ikterus, Jaundice Urin gelap
Tinja berwarna pucat, Penurunan berat badan dan ini berkembang ketika
tingkat ikterus meningkat.

3.2 Saran
Perlu deteksi dini kasus atresia duktus hepatikus dan pemberian
penatalaksanaan yang tepat demi tercapainya pertumbuhan fisik dan
perkembangan mental yang optimal bagi penderita atresia duktus hepatikus.

56
55

DAFTAR PUSTAKA

Behrman, Richard E. (1992). Ilmu Kesehatan Anak Ed. 2. Jakarta: EGC.David.


(1994). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Kumar, Robbins Cotran. (1999). Buku Saku Robbins Dasar Patologi Penyakit Ed.
5. Jakarta: EGC.

Markum, A. H. (1999). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Gaya Baru.

Sjamsuhidajat dan Win De Jong. (1998). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Ed. 1.
Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI

Oldham, Keith T.et all (eds); Biliary Atresia at Principles and Practice of Pediatric
Surgery, 4th Edition.

Carpenito, Lynda Juall. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.

Widodo Judarwanto. 2010. Atresia duktus hepatikus, Waspadai Bila Kuning Bayi
Baru Lahir yang berkepanjangan. From : url
:http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2012/02/07/atresia-bilier
waspadai-bila-kuning-bayi-baru-lahir-yang-berkepanjangan/

Steven M. Biliary Atresia. Emedicine. 2009. Available From: url: http://


emedicine. medscape.com/ article/927029-overview

Sjamsul Arief. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. Divisi Hepatologi Ilmu


Kesehatan Anak FK UNAIR.Surabaya. 2006. Available from : url
:http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-ena504-pkb.pdf

Anda mungkin juga menyukai