Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM

VERTEBRATA HAMA

Disusun oleh :
Nama : Ellen Artasya
NIM : 21/474146/PN/17116
Golongan : A

LABORATORIUM PENGENDALIAN HAYATI


DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2023
ACARA 1

PENGENALAN VERTEBRATA HAMA

A. Tujuan
Praktikum Vertebrata Hama Acara 1 yang berjudul “Pengenalan vertebrata
Hama” memiliki tujuan sebagai berikut.
1. Mengamati cemiri morfologi biologi dan ekologi Tikus, Bajing, Burung, Kelelawar,
Landak, Musang, Babi hutan, Monyet Ekor Panjang, Gajah
B. Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum acara 1 antara lain, .ppt,
video, spesimen vertebrata hama: tikus, bajing, burung.
C. Cara Kerja

Praktikum Vertebrata Hama Acara 1 dilaksanakan pada hari Rabu, 15 Maret


2023 di Laboraturium Pengendalian Hayati, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah
Mada. Adapun pelaksanaan praktikum yaitu, pertama asistensi menggunakan LCD
bersamaan di dua laboratorium oleh dosen dan/atau koasisten secara daring
dengan link zoom yang akan disiapkan menjelang asistensi. Selanjutnya, penjelasan
asistensi diikuti mengenai deskripsi cemiri morfologi, biologi, dan ekologi vertebrata
hama jenis Tikus, Bajing, Burung, Kelelawar, Landak, Musang, Babi Hutan, Monyet
Ekor Panjang, Gajah. Kemudian, pengamatan morfologi dan cara makan vertebrata
hama (a) Landak, (b) tikus, (c) burung pemakan biji, (d) burung pemakan buah, (e)
burung predator, (f) bajing. Selanjutnya, praktikan dibagi menjadi 6 (enam) kelompok,
10 – 11 praktikan per kelompok, setiap kelompok dibimbing seorang koas. Setiap
kelopok mengamati satu spesimen selama sekitar 10 menit, kemudian bergilir ke
specimen berikutnya sampai selesai spesimen ke-6. Kemudian, setiap praktikan
membuat laporan hasil praktikan Acara 1. Laporan dilengkapi foto spesimen dan
memuat deskripsi vertebrata hama dengan informasi dari berbagai sumber referensi.
Format laporan ikuti contoh halaman vi. Laporan dalam bentuk soft file dikirim ke
Koasisten menjelang Acara 2. Kemudian Post test.

D. Hasil Praktikum
1. Burung pemakan buah: Kutilang (Pycnonotus aurigaster)

Gambar 1. Burung pemakan buah


Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 2. Burung kutilang
Sumber: dokumentasi pribadi
Morfologi : berukuran sedang, dengan panjang tubuh sekitar 20 cm. Sisi
bagian atas tubuh (punggung dan ekor) berwarna coklat kelabu, sedangkan
sisi bawah (tenggorokan, leher, dada, dan perut) berwarna putih keabu-abuan.
Memiliki topi, dahi, dan jambul berwarna hitam. Paruh berwarna hitam, bulu
berwarna coklat pada bagian sayap dan ekor, ujung ekor mendatar, memiliki
tunggir berwarna jingga, dan bulu pada bagian tenggorokan, dada, dan perut
berwarna coklat pudar. Bentuk paruh burung kutilang tergolong bentuk paruh
lurus. Jari kakinya panjang dan semua jari terletak pada satu bidang datar
untuk bertengger di ranting pohon. Warna kaki hitam kecoklatan. (Kamal et
al., 2018).
Biologi :
 Siklus hidup : telur-kutilang muda-kutilang dewasa. Kutilang dewasa
dapat hidup 10-21 tahun, namun umur yang umum adalah 5 sampai 10
tahun. Kutilang muda berusia 2-6 bulan, 5-6 bulan. Kematangan
seksual dapat menjadi dewasa secara seksual sebelum mereka
mendapatkan bulu dewasa. (Kamal et al., 2018).
 Reproduksi, jumlah anak : burung kutilang betina biasa bertelur 2-3
butir. Telur berwarna kemerah-jambuan berbintik ungu dan abu-abu.
Berat telur bervariasai antara 3,40 – 5,37 gram dengan rata-rata 4,60
gram. Burung kutilang mengeram selama 14 hari terhitung sejak
burung tersebut bertelur. Daya tetas dari telur yang dihasilkan lima
pasang indukan burung sangat tinggi dimana setiap telur yang
dihasilkan menetas dengan baik. (Kamal et al., 2018).
Ekologi :
 Habitat : di tempat – tempat terbuka, seperti tepi jalan, kebun,
pekarangan, semak belukar dan hutan sekunder. Burung kutilang juga
sring ditemukan hidup secara liar di taman dan di halaman – halaman
rumah di perkotaan. Mereka lebih suka hidup secara berkelompok di
area terbuka layaknya kebun, pekarangan, semak belukar sampai
dengan hutan berketinggian sekitar 1.600 m di atas permukaan laut.
(Mikusinski et al., 2018).
 Perilaku khas : biasa hidup berkelompok, baik saat mencari makanan
maupun bertengger dengan sejenisnya sendiri maupun dengan jenis
merbah yang lain. Burung kutilang kerap terbang dengan
mengeluarkan suara rebut secara berulang-ulang, begitupun saat
burung bertengger. Burung ketilang memiliki kebiasaan untuk berjemur
dan mandi embun setiap pagi. Hal ini berguna untuk menjaga bulunya
yang terus diminyaki. Minyak ini berasal dari bagian belakang dekat
ujung ekornya yang berhubungan dengan badan. Selain itu, jambul
burung ini sering naik ketika ingin buang air besar. (Ruberte et al., 2017)

2. Burung pemakan biji: Pipit (Estrildidae)

Gambar 3. Burung pipit


Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 4. Burung pipit jantan dan betina


Sumber: dokumen pribadi
Morfologi : Burung pipit bertubuh kecil, dengan panjang tubuh antara 10-12
cm dan berat 10-14 gram. Burung ini termasuk jenis burung yang mempunyai
ukuran tubuh relatif kecil. Kuku burung pipit tumbuh sangat cepat. Burung pipit
jantan memiliki kepala yang sedikit lebih lebar dibanding burung pipit betina.
Bentuk paruhnya yang pendek tetapi runcing. Bentuk paruh seperti itu akan
membantu burung menguliti atau memecah biji-bijian. Kaki burung pipit
berbentuk ramping dan agak runcing, yang sesuai dan berfungsi untuk untuk
bertengger. Warna kaki biasanya hitam ke abuan. Ada beberapa warna pada
tubuhnya, seperti warna merah, abu-abu, kuning, biru, cokelat, emas, hijau,
dan masih banyak warna lainnya. (Ruberte et al., 2017)
Biologi :
 Siklus hidup : Burung pipit akan siap kawin setelah usia 7 bulan. Musim
kawin burung pipit biasanya terjadi pada musim hujan. Burung pipit
akan membuat sarang yang terbuat dari rumput kering dan sabut
kelapa. Sarang mereka berbentuk bulat seperti bola dengan lubang di
satu sisinya untuk tempat induk keluar masuk. Telur-pipit muda-pipit
dewasa. (Mikusinski et al., 2018).
 Reproduksi, jumlah anak : Burung pipit akan bertelur sebanyak 4-8 butir
dan telur mulai dierami setelah telur ketiga dikeluarkan. Selama
pengeraman, jantan dan betina akan bergantian mengerami, namun
betina yang akan lebih sering mengeram karena sifat keibuan mereka.
Lama pengeraman adalah 13-14 hari. Setelah menetas, anak burung
pipit akan mulai belajar terbang saat berusia 21-25 hari. Anak burung
pipit muda memiliki warna bulu coklat muda polos. (Mikusinski et al.,
2018).
Ekologi :
 Habitat : Burung pipit tinggal di area terbuka di dekat sumber makanan
mereka dimana terdapat banyak tanaman rumput berbiji seperti sawah
atau padang rumput. Burung pipit membuat sarang untuk berlindung
dari panas dan hujan di atas pohon pada ketinggian lebih dari 4 meter.
Pohon-pohon yang biasanya dipilih sebagai tempat membuat sarang
adalah pohon pinang, kelapa atau pohon jambu yang rimbun.
(Mikusinski et al., 2018).
 Perilaku khas : Burung pipit hidup dalam kelompok. Di dalam satu
kelompok sering ditemukan adanya variasi jenis/spesies pipit yang
berbeda. Kelompok pipit dalam jumlah besar merupakan hama padi
yang sangat merugikan. (Mikusinski et al., 2018).

3. Tikus Sawah (Rattus argentiventer)

Gambar 5. Tikus sawah


Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 6. Bagian ventral Gambar 7. Bagian dorsal tikus sawah


tikus sawah Sumber: dokumentasi pribadi
Sumber: dokumentasi pribadi

Morfologi : Tikus sawah mirip dengan tikus rumah, tetapi telinga dan ekornya
lebih pendek. Ekor biasanya lebih pendek daripada panjang kepala-badan,
dengan rasio 96,4 atau 1,3%, telinga lebih pendek daripada telinga tikus
rumah. Panjang kepala-badan 170-208 mm dan tungkai belakang 34-43 mm.
Tubuh bagian atas berwarna coklat kekuningan dengan bercak hitam pada
rambut, sehingga berkesan berwarna abu-abu. Daerah tenggorokan, perut
berwarna putih dan sisanya putih kelabu. Tikus betina mempunyai 12 puting
susu. Warna rambut punggung coklat muda berbintik bintik putih, sedangkan
rambut bagian perut berwarna abu-abu. Tekstur rambut agak kasar. Hidung
berbentuk kerucut. Badan berbentuk silindris. Warna badan dorsal coklat
kelabu kehitaman. (Ruberte et al., 2017)
Biologi :
 Siklus hidup : Masa bunting singkat (19-23 hari). Memiliki kemampuan
post partumoestrus (dapat kawin lagi setelah 1-2 hari melahirkan).
Dewasa umur 3-4 bulan sudah siap kawin. Tikus muda-tikus dewasa-
masa kehamilan (21 hari). (Singleton et al., 2010).
 Reproduksi, jumlah anak : Jumlah anak tikus per induk beragam antara
6-18 ekor, dengan rata-rata 10,8 ekor pada musim kemarau dan 10,7
ekor pada musim hujan, untuk peranakan pertama. Peranakan ke 2-6
adalah 6-8 ekor, dengan rata-rata 7 ekor. Peranakan ke 7 dan
seterusnya, jumlah anak menurun mencapai 2-6 ekor, dengan rata-rata
4 ekor. Interval antar peranakan adalah 30-50 hari dalam kondisi
normal. Pada satu musim tanam, tikus betina dapat melahirkan 2-3 kali,
sehingga satu induk mampu menghasilkan sampai 100 ekor tikus,
sehingga populasi akan bertambah cepat meningkatnya. Tikus betina
terjadi cepat, yaitu pada umur 40 hari sudah siap kawin dan dapat
bunting. Masa kehamilan mencapai 19-23 hari, dengan rata-rata 21
hari. Tikus jantan lebih lambat menjadi dewasa daripada betinanya,
yaitu pada umur 60 hari. Lama hidup tikus sekitar 8 bulan. (Singleton et
al., 2010).
Ekologi :
 Habitat : padi daerah peridomestik (peridomestic species), yang mana
aktivitas ada di luar rumah di areal persawahan dengan relung hidup
terestrial, area tergenang air, dan tempat yang menyediakan makanan
bagi tikus tersebut. (Singleton et al., 2010).
 Perilaku khas : tikus mampu menggali, meloncat, mengerat, berenang,
dan menyelam. Tikus sawah memiliki daya penglihatan tikus lemah
namun memiliki indra penciuman tinggi serta pendengaran yang
sensitif. Biasanya membangun rumah dalam tanah untuk menyimpan
makanannya. (Singleton et al., 2010).

4. Tikus Got (Rattus norvegicus)


Gambar 8. Bagian dorsal tikus got Gambar 9. Bagian kepala tikus got
Sumber: dokumentasi pribadi Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 10. Bagian ventral tikus got


Sumber: dokumentasi pribadi

Morfologi : ukuran panjang ujung kepala sampai ekor 300-400 mm, ukuran
panjang ekor 170-230 mm, ukuran panjang kaki belakang 42-47 mm, ukuran
telinga 18-22 mm, warna rambut bagian punggung yaitu coklat kehitaman
sedangkan warna rambut bagian dada dan perut berwarna abu-abu. Tikus got
memiliki ukuran mata yang kecil, hidung tumpul dan lebar, badan besar
berukuran 18-25 cm dan panjang total sekitar 31-46 cm. Kemudian ekor lebih
pendek dari kepala dan badan, bagian atas lebih tua dan warna muda pada
bagian bawahnya dengan rambut pendek serta kaku. Ukuran telinga tikus got
ini relatif kecil atau separuhnya tertutup oleh bulu dengan jarak lebih jarang
dari 20-23 mm. Sementara itu, bulu bagian punggung dari tikus got ini adalah
berwarna abu-abu kecoklatan dan pada bagian perutnya berwarna keabu-
abuan. (Ruberte et al., 2017).
Biologi :
 Siklus hidup : Tikus betina akan hamil selama sekitar 21 hari sebelum
melahirkan bayi tikus buta yang sepenuhnya bergantung pada
induknya. Setelah 21 hari berikutnya, tikus-tikus itu mulai mendapatkan
kemandiriannya. Tikus membutuhkan waktu 35 hari untuk mencapai
kematangan seksual, dan pada usia enam minggu, mereka mulai
kawin. Tikus muda->tikus dewasa. (Sholichah et al., 2021).
 Reproduksi, jumlah anak : Tikus got menghasilkan 7 - 8 anak
perkelahiran, dan melahirkan antara 3 - 6 per tahun. Masa kehamilan
adalah sekitar 3 minggu. Hanya membutuhkan waktu 10 -12 minggu
dari kelahiran sampai mencapai kematangan seksual. Umur
kematangan seksual pada betina adalah 3-4 bulan, sedangkan jantan
3-4 bulan.(Sholichah et al., 2021).
Ekologi :
 Habitat : hanya ditemukan di pelabuhan – pelabuhan dan beberapa
kota pedalaman yang lebih besar. Umumnya tikus tersebut tinggal
dijalanan dan di selokan. Mereka sering ditemukan di luar ruangan,
terutama di gorong-gorong, saluran air, dan tempat pembuangan
sampat. Mereka juga akan naik ke bangunan dan dinding ketika
sumber makanan tidak lagi tersedia. (Singleton et al., 2010).
 Perilaku khas : Mampu menggali liang, mampu memanjat, berenang
dengan baik, bereaksi terhadap objek baru, dan dapat hidup di selokan.
Tikus got dapat berkembang biak sepanjang tahun jika kondisinya
cocok. Pembawa lebih dari 45 jenis penyakit, mereka dapat mencemari
air, makanan dan lingkungan. Tikus dapat menyebabkan kehilangan
hasil tanaman secara langsung di area pertanaman, tempat
penyimpanan hasil, dan rantai produksi makanan. (Singleton et al.,
2010).

5. Tikus Pohon (Rattus tiomanicus)

Gambar 11. Bagian ventral tikus Gambar 12. Bagian dorsal tikus pohon
Pohon Sumber: dokumentasi pribadi
Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 13. Bagian kepala tikus pohon


Sumber: dokumentasi pribadi
Morfologi : Rambut bertekstur agak kasar, bentuk hidung kerucut, bentuk
badan silindris, warna badan dorsal coklat kekuningan, warna badan ventral
putih krem, warna ekor coklat gelap. Hewan ini memiliki panjang sekitar 14 –
19 cm. Beratnya berkisar antara 80 sampai 130 gr. Kulitnya berwarna cokelat
pada bagian atas, putih atau agak abu-abu pada bagian ventral, dan gelap
pada bagian ekor. Tikus pohon mempunyai ciri khas yang dapat dibedakan
dengan spesies tikusyang lain yaitu mempunyai ekor yang lebih panjang
daripada kepala dan badan, tubuh bagian dorsal berwarna coklat kekuningan
dan bagian ventralnya berwarna putih, putih kekuningan, atau krim. Hewan
betina memiliki puting susu lima pasang yaitudua pasang pektoral dan tiga
pasang inguinal, tekstur rambut agak kasar, bentuk hidung kerucut, bentuk
badan silindris, serta warna ekor bagian atas dan bawah coklathitam. Tikus
pohon memiliki bobot tubuh 55-300 gram, panjang kepala + badan 130-200
mm, panjang ekor 180-250 mm, panjang total 310-450 mm, lebar daun telinga
20-23 mm, panjang telapak kaki belakang 32-39 mm dan lebar sepasang gigi
pengerat pada rahang atas 3 mm. (Acad, 2022).
Biologi :
 Siklus hidup : Tikus pohon, seperti binatang hama pada umumnya
memiliki strategi r (r-strategist), yaitu mereka dapat berkembangbiak
dalam waktu singkat sehingga akan terjadi peningkatan populasi yang
sangat pesat atau sering disebut ledakan populasi. Tikus muda – tikus
dewasa (68 hari) – masa bunting. (Ruberte et al., 2017).
 Reproduksi, jumlah anak : seekor induk betina melahirkan anak
berkisar antara 2-7 ekor tikus. Kebuntingan betina sekitar 21 hari dan
mampu kawin lagi 48 jam setelah setelah melahirkan ( Post Partum
oestrus ). Tikus bereproduksi sepanjang tahun, dengan puncaknya
pada bulan Desember - Januari. Betina menjadi aktif secara seksual
dengan berat 30 - 50 g, laki-laki menjadi aktif secara seksual pada 60g.
Rata-rata jumlah embrio dalam satu populasi di perkebunan kelapa
sawit adalah 4 - 4; tandu memiliki 2 - 7 anak muda. (Acad, 2022).
Ekologi :

 Habitat : ditemukan di hutan sekunder dan area perkebunan. Tikus


pohon bersarang dalam tumpukan pohon yang tumbang, lubang
pohon, tandan buah dan di bawah semak-semak. Tikus pohon hidup di
daerah hutan pesisir, hutan bakau, atau padang rumput, tikus pohon
biasanya membuat sarangnya seperti sarang burung. Tikus pohon
biasanya hidup di perkebunan, pekarangan, dan persawahan. (Acad,
2022).
 Perilaku khas : mempunyai kemampuan memanjat pohon. Tikus
tersebut aktif terutama di malam hari. (Acad, 2022)

6. Tikus Rumah (Rattus tanezumi)


Gambar 14. Bagian dorsal tikus Gambar 15. Bagian ventral tikus rumah
Rumah Sumber: dokumentasi pribadi
Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 16. Bagian kepala tikus rumah


Sumber: dokumentasi pribadi

Morfologi : tekstur rambut agak kasar, bentuk badan silindris, bentuk hidung
kerucut, telinga berukuran besar tidak berambut pada bagiandalam dan dapat
menutupi mata jika ditekuk ke depan, warna badan bagian perut dan punggung
coklat hitam kelabu, warna ekor coklat hitam, bobot tubuh berkisar antara60-
300 gram, ukuran ekor terhadap kepala, dan badan bervariasi (lebih pendek,
sama,atau panjang). Berat antara 60 – 300 gram. Panjang Kepala + Badan :
100 – 210 mm. Panjang Ekor : 120 – 250 mm (Lebih Panjang dari
kepala+badan). Panjang dari Ujung Hidung Sampai Ujung Ekor : 220 – 460
mm. Panjang Telapak Kaki Belakang : 30 – 37 mm. Lebar Telinga : 19 – 23
mm. Putting Susu : 2+3 Pasang. Lalu, mempunyai ukuran telinga yang besar,
tetapi tidak berambut pada bagian dalam dan dapat menutupi mata apabila
telinganya ditekuk ke depan. (Nasir et al., 2019).
Biologi :
 Siklus hidup : Umur tikus rumah rata-rata satu tahun dan mencapai
dewasa siap kawin pada umur 2-3 bulan baik pada tikus jantan maupun
betina. Masa bunting selama 21-23 hari. Tikus membutuhkan waktu 35
hari untuk mencapai kematangan seksual, dan pada usia enam
minggu, mereka mulai kawin. Tikus muda -> tikus dewasa. (Ruberte et
al., 2017).
 Reproduksi, jumlah anak : seekor tikus betina dapat melahirkan 6-12
(rata-rata 8) ekor anak tikus. Seekor tikus betina umumnya
mengandung 6-8 kali selama setahun dengan masa kehamilan yang
relatif singkat antara 21-24 hari. Salah satu sebab kenapa tikus dapat
berkembang biak dengan cepat adalah kemampuan tikus untuk
mencapai tingkat kematangan seksual dalam waktu yang cukup singkat
– tikus jantan (10-12 minggu) dan tikus betina (8-9 minggu). (Ruberte
et al., 2017).
Ekologi :
 Habitat : tikus rumah biasanya hidup di permukiman manusia, rumah
dan gudang. Tikus sebenarnya tidak memilih hidup di dalam gudang
biji-bijian karena iklimnya terlalu kering dan tidak tersedia sumber air
minum. Tikus datang ke gudang untuk makan dan kembali untuk
minum, suatu hal lain. Tikus dengan cepat akan membantu dirinya
mendapatkan fasilitas hidup yang terbaik. Tikus ini terdapat di Gudang
makanan, pemukiman manusia terutama di langit – langit rumah. (Nasir
et al., 2019).
 Perilaku khas : Seperti tikus pohon, tikus rumah juga memiliki
kemampuan memanjatyang baik. Tikus rumah memiliki kemampuan
indera yang sangat menunjangaktivitasnya kecuali penglihatan. Tikus
ini sangat pandai memanjat, biasanya disebut sebagai pemanjat yang
ulung dan menggigit benda – benda keras. (Nasir et al., 2019).

7. Bajing (Callosciurus notatus)

Gambar 17. Bajing Gambar 18. Bagian kepala bajing


Sumber: dokumentasi pribadi Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 19. Bagian ekor bajing


Sumber: dokumentasi pribadi

Morfologi : warna rambut, bentuk moncong, bentuk ekor, dsb panjang


tubuhnya 198 mm dengan panjang ekor 195 mm dan panjang kaki 44 mm.
Bajing kelapa memiliki berat sekitar 150 sampai 280 gram. Di tubuhnya
terdapat rambut berwarna coklat di bagian punggung dan ekor. Bajing memiliki
ukuran sedang dengan bagian sisi atas tubuh dan ekor berwarna coklat zaitun.
Bagian bawahnya berwarna merah-coklat. Bagian samping tubuh memiliki
garis hitam sempit. Beberapa subspesies memiliki rambut merah di ujung
ekornya. Betina memiliki dua atau tiga puting susu. Beratnya berkisar 160-259
g. Ukuran bervariasi, tetapi panjang berkisar dari kepala dan tubuh 152-224
mm, ekor 146-211 mm, dan kaki belakang 38-47 mm. Giginya meliputi 2 gigi
seri besar atas dan bawah seperti terlihat pada semua hewan pengerat. Ada 2
gigi premolar atas dan 1 gigi premolar bawah di setiap sisi rahang, dan 3 gigi
molar atas dan bawah. Tidak memiliki gigi taring. (Tamura et al., 2021).
Biologi :
 Siklus hidup : Individu diketahui hidup selama 115,2 bulan dan dapat
tumbuh hingga 203,5 mm. Mereka memiliki pengasuhan orang tua
(betina memberikan pengasuhan). Bajing berkembang biak pada
pertengahan Desember atau awal Januari, dan sebagian kecil
berkembang biak lagi pada bulan Juni. Bajing muda dapat berkembang
biak hanya sekali di tahun pertama mereka. Masa kehamilan adalah 42
hingga 45 hari. (Tamura et al., 2021).
 Reproduksi, jumlah anak : Spesies ini melakukan fertilisasi selama 0,5-
8,0 menit. Callosciurus notatus berkembang biak sepanjang tahun,
tetapi betina hamil pada bulan April-Juni dan paling jarang pada bulan
Oktober-Desember. Ukuran bajing muda rata-rata adalah 2,2 cm
dengan kisaran 1-4 anakan. Bajing muda dilahirkan dengan mata
tertutup dan tidak berbulu. Callosciurus biasanya hamil selama 40 hari
dan berat bayi sekitar 16 g. (Tamura et al., 2021).
Ekologi :
 Habitat : areal perkebunan kelapa. Habitat perkebunan buah-buahan,
biji-bijian, kacang-kacangan, maupun pepohonan karet. Mudah terlihat
di kebun pekarangan, kebun campuran (wanatani), hutan
sekunder, hutan kota dan taman, serta beberapa jenis hutan di
dekat pantai. Bajing kelapa terutama menyebar luas di dataran rendah
hingga wilayah perbukitan. Hewan yang tinggal berdekatan dengan
permukiman dapat menjadi terbiasa dengan manusia dan berani
mendekati rumah. (Tamura et al., 2021).
 Perilaku khas : bersifat aboreal (hidup di pohon) namun kadang –
kadang turun ke tanah. Bajing melakukan aktivitas makan dan
pergerakan pada lapisan kanopi bawah dan tengah serta beristirahat
pada lapisan kanopi atas kelapa. Bajing aktif di siang hari (diurnal).
(Tamura et al., 2021).

8. Kelelawar (Chynopterus spp.)


Gambar 20. Kelelawar
Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 21. Kelelawar


Sumber: dokumentasi pribadi

Morfologi : panjang lengan bawah 55-71 mm, tepi telinga putih, panjang ekor
6-11 mm, panjang telinga 9-16 mm, panjang betis 18-26 mm, panjang kaki
belakang 9-16 mm, berat badan 30-50 gr, memiliki dua pasang gigi seri bawah,
kelelawar umumnya berwarna coklat sampai cokelat kekuningan dengan kerah
jingga tua lebih terang pada jantan dewasa, kekuningan pada betina. Anakan
lebih abu-abu dengan kerah tidak jelas. Tulang-tulang pada telinga dan sayap
biasanya bertepi putih. Coklat kekuningan dengan bahu bewarna jingga pada
jantan dewasa, dan bewarna kekuningan pada betina. Sayap kelelawar terdiri
dari selaput tipis yang membentang antara tulang-tulang telapak dan jari
tangan atau anggota tubuh depan, sampai sepanjang sisi samping tubuh dan
kaki belakang. (Safitri et al., 2020).
Biologi :
 Siklus hidup : kelelawar memiliki metamorfosis tidak sempurna.
Daur hidup kelelawar: Embrio-kelelawar kecil-kelawar dewasa. (Safitri
et al., 2020).
 Reproduksi, jumlah anak : Masa Kehamilan kelelawar 3,5-4 bulan,
menyusui 6-8 minggu. Reproduksi kelelawar diatur sedemikian rupa
sehingga masa laktasi sesuai dengan puncak musim hujan, yang
merupakan musim berbuah. Selain itu, bisa hidup selama 5 tahun di
alam liar. Kelelawar berkembang biak dengan cara melahirkan atau
beranak (vivipar). Umumnya, kelelawar hanya mempunyai satu bayi
per tahun. Beberapa mungkin memiliki dua hingga empat bayi per
tahun. (King, 2012).
Ekologi :
 Habitat : Kelelawar hidup pada beberapa tipe habitat seperti goa, hutan
alami, hutan buatan, dan perkebunan. Kelelawar mempunyai banyak
alternatif dalam memilih tempat bertengger. Kebanyakan jenis
kelelawar dari pemakan buah umumnya memilih tempat bertengger
untuk tidur pada pohon-pohon yang tergolong besar, sebaliknya
beberapa jenis kelelawar yang umumnya pemakan serangga lebih
banyak memilih tempat berlindung pada lubang-lubang batang pohon,
celah bambu, maupun goa. (Safitri et al., 2020).
 Perilaku khas : hidup di malam hari (nocturnal), bisa terbang, punya
kemampuan ekolokasi, dan tidur menggantung. (Safitri et al., 2020).

9. Landak (Hystrix javanica)

Gambar 22. Landak


Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 23. Bagian kepala landak Gambar 24. Bagian kaki dan kuku
Sumber: dokumentasi pribadi landak
Sumber: dokumentasi pribadi

Morfologi : mamalia berwarna coklat kehitaman dengan rambut keras (biasa


disebut duri) yang menutupi tubuh bagian atas, rambut landak berfungsi
sebagai alat pertahanan diri. Landak jawa merupakan rodentia yang berukuran
besar, panjang tubuhnya 37-47 cm, panjang ekor 23-36 cm, dengan berat
badan 13-27 kg, tubuh landak tertutup oleh rambut yang keras di bagian
separuh badan ke muka dan bagian bawah, sedangkan di bagian punggung
belakang sampai ekor tampak rambut. Ekor pendek landak terdiri dari dua tipe
duri, yaitu pertama adalah duri lancip, panjang, berwarna hitam dan putih,
kedua adalah duri yang menggerincing, yang didalamnya berlubang, ujungnya
terbuka dan berbentuk silinder. landak jawa mempunyai mata sempit berwarna
hitam dan bentuk telinga seperti kepingan uang logam. (Kurihara et al., 2018).
Biologi :
 Siklus hidup : landak betina mencapai dewasa seksual pada umur 9-16
bulan, sedangkan jantan 8-18 bulan. Satu ekor landak ratarata dapat
menghasilkan 3 ekor anak per tahun dalam satu kali kelahiran. Dengan
panjang gestasi 100-110 hari. Landak betina yang tidak mengalami
pembuahan akan mengalami siklus pembentukan ovarium pada hari ke
25-30 selama 8-12 jam. (Prawira et al., 2018).
 Reproduksi, jumlah anak : landak memiliki siklus estrus rata-rata 30-35
hari, dengan periode bunting mulai 93-110 hari. Landak yang baru lahir
memiliki berat 3% dari berat tubuh induknya. Landak yang baru
dilahirkan dapat mengkonsumsi pakan secara normal setelah berumur
2-3 minggu. Setelah kawin, landak betina akan melahirkan empat
hingga enam anak sekitar sebulan kemudian. (Prawira et al., 2018).
Ekologi :
 Habitat : Landak dapat ditemukan di daerah hutan primer, hutan
sekunder, dan perkebunan. Adapun, apabila landak merasa terancam,
maka landak akan menegakkan duri-duri yang ada pada tubuhnya
sehingga tubuh terlihat lebih besar (Prawira et al., 2018).
 Perilaku khas : Landak hidup secara nokturnal dan merupakan
binatang herbivora. Landak yang hidup di daerah tropis dapat hidup
pada kelembaban 35% dengan kelembaban terbaik sekitar 45%-60%.
(Prawira et al., 2018).

10. Musang (Paradoxurus hermaphroditus)

Gambar 25. Bagian kepala musang


Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 26. Musang


Sumber: dokumentasi pribadi
Morfologi : ukuran tubuh sedang, dengan panjang total sekitar 90 cm
(termasuk ekor) dan berat rata-rata 3 kg.Warna rambut adalah abu-abu
kecoklatan dengan ekor hitam-putih bergaris mulus. Sisi atas tubuh bewarna
abu-abu kecoklatan, dengan variasi dari warna coklat merah tua sampai
kehijauan. Jalur di punggung lebih gelap, biasanya berupa tiga atau lima garis
gelap yang tidak begitu jelas dan terputus-putus atau membentuk deretan
bintik-bintik besar. Sisi samping dan bagian perut memiliki warna lebih pucat.
Satwa ini memiliki beberapa bintik samar di seluruh tubuhnya. Wajah, kaki dan
ekor coklat gelap sampai hitam. Dahi dan sisi samping wajah hingga di bawah
telinga berwarna keputih-putihan, seperti beruban. Satu garis hitam samar-
samar lewat di tengah dahi, dari arah hidung ke atas kepala. Luwak betina
memiliki tiga pasang puting susu. (King, 2012).
Biologi :
 Siklus hidup : Musang dapat hidup sampai 22–24 tahun. Dewasa
kelamin musang betina yaitu sekitar umur 11–12 bulan. Lama
kebuntingan musang yaitu 60 hari. Musang muda -> musang dewasa.
(King, 2012).
 Reproduksi, jumlah anak : Bereproduksi sepanjang tahun, walaupun
pernah ada catatan bahwa anak Musang lebih sering dijumpai antara
bulan Oktober hingga Desember. Musang melahirkan 2-4 ekor anak,
yang diasuh induk betina hingga mampu mencari makanan sendiri.
Biasanya anak Musang diletakkan di dalam lubang pohon atau goa.
Selama kawin (mating) yang masanya cukup singkat, biasanya
pasangan musang luwak tetap tinggal bersama sampai anak musang
lahir. Usia Musang dewasa kelamin sekitar 11-12 bulan. Musang yang
dipelihara atau ditangkarkan dapat bertahan hidup hingga 22 tahun.
Musang beranak sepanjang tahun, walaupun anak musang lebih sering
ditemukan antara bulan Oktober hingga Desember. (King, 2012).
Ekologi :
 Habitat : semak-semak, hutan sekunder, perkebunan, dan di sekitar
pemukiman manusia. Musang dapat hidup di daerah dataran rendah
hingga di daerah dengan ketinggian 2.500 mdpl. Salah satu jenis
mamalia yang kerap ditemui di sekitar pemukiman dan bahkan
perkotaan. Musang Luwak juga menyukai hutan-hutan sekunder.
Musang merupakan hewan arboreal yang sebagian besar
menghabiskan waktu hidup di atas pepohonan. Hewan ini memilih
pohon tertinggi dan terbesar (>10 m) untuk aktivitas seperti beristirahat
dan makan. (King, 2012).
 Perilaku khas : satwa nocturnal, namun terlihat kawin pada siang hari
dengan kondisi yang lembab dan cahaya redup. Musang termasuk
hewan yang bersifat soliter dengan berbagai gaya hidup dan adaptasi,
sebagai contoh mereka sangat pandai memanjat pohon untuk mencari
makan. Memiliki kebiasaan hidup yang unik dalam proses adaptasi
yaitu hewan yang aktif di malam hari untuk mencari makan dan
beristirahat di siang hari. (King, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Acad, W. 2022. Rattus tiomanicus (Miller, 1900). GBIF Backbone Taxonomy. London.
Firmanto, R. 2020. Gajah Sumatera : Ulasan Lengkap Klasifikasi, Morfologi, Penyebaran,
Habitat dan Prilakunya. Jurnal Biofisika. https://jurnal.diary.co.id/gajah-sumatera/.
Diakses pada 20 Maret 2023.
Kamal, S., Agustina, E., dan Rahmi, Z. 2018. Spesies Burung pada Beberapa Tipe Habitat di
Kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Biotik. 4(1): 15-32.
King, C. M. 2012. The Natural History of Weasels and Stoats. Oxford University Press.
English.
Kurihara, A., Arai, S., Shimada, S., and Masuda, M. 2018. The conspecificity of Galaxaura
apiculate and G. hystrix (Nemaliales, Rhodophyta) inferred from comparative
morphology and rbcL and ITS1 sequences. Journal of Phycolologycal. 40: 39 – 52.
Minusinski, G., Roberge, J. M., and Fuller, R. J. 2018. Ecology and Conservation of Forest
Birds. Cambridge University Press.
Nasir, M., Hastuti, L., dan Rasnovi, S. 2019. Distribusi Jenis Mamalia Kecil Famili Muridae
pada Tiga Tipe Habitat di Kecamatan Kuta Cot Glie Kabupaten Aceh Besar.
Prosiding Seminar Nasional Biotik. 8(6): 239-245.
Prawira, A. Y., Hanandhita, D., Rahma, A., Supratikno, Novelina, S., and Agungpriyono, S.
2020. Characteristic of Skin Morphology of Sunda Porcupine (Hystrix javanica) with
Special Reference to The Connective Tissue. Jurnal Kedokteran Hewan. 12(1):23-
28.
Priyambodo, U. 2021. Tiga Jenis Babi Unik di Indonesia: Babi Berjanggut hingga 'Bercula'.
National Geographic. https://nationalgeographic.grid.id/read/132656688/tiga-jenis-
babi-unik-di-indonesia-babi-berjanggut-hingga-bercula?page=all. Diakses pada 20
Maret 2023.
Ruberte, J., Carretero, A., and Navarro, M. 2017. Morphological Mouse Phenotyping.
Academic Press. United States.
Safitri, Z., Prayogo, H., dan Erianto. 2020. Keanekaragaman Jenis Kelelawar (Chiroptera) di
Kawasan Universitas Tanjungpura Kota Pontianak. Jurnal Hutan Lestari. 8 (2) : 429
– 440.
Sholichah, Z., Ikawati, B., Marbawati, D., Khoeri, M. M., dan Ningsih, D. P. 2021. Peran Tikus
Got (Rattus norvegicus) dari Kelompok Tikus dan Suncus sebagai Penular Utama
Leptospirosis di Semarang. Jurnal Vektor Penyakit. 15(1): 53-62.
Singleton, G. R., Belmain, S. R., Brown, P. R., and Hardy, B. 2010. Rodent Outbreaks:
Ecology and Impacts. IRRI.
Tamura, N., Hayashi, F., Miyashita, K. 2021. Dominance hierarchy and mating behavior of
Formosan squirrel Callosciurus erythraeus thaiwanensis. Journal of Mammalogy.
60(2): 320-331.
Whitten, T., Henderson, G. S., and Mustafa, M. 2018. Ecology of Sulawesi. Tuttle Publishing.
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai