Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM

VERTEBRATA HAMA

Disusun oleh:
Nama : Ayu Lutfi Nur Awalia
NIM : 21/482352/PN/17504
Golongan : A3

LABORATORIUM PENGENDALIAN HAYATI


DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2023
ACARA 1

PENGENALAN VERTEBRATA HAMA

A. Tujuan
Praktikum Vertebrata Hama Acara 1 “Pengenalan vertebrata Hama” memiliki
tujuan sebagai berikut:
1. Mengamati cemiri morfologi biologi dan ekologi Tikus, Bajing, Burung, Kelelawar,
Landak, Musang, Babi hutan, Monyet Ekor Panjang, Gajah

B. Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada praktikum ini antara lain power point,
video, spesimen vertebrata hama berupa tikus, bajing, dan burung.

C. Cara Kerja
Pada praktikum Acara 1 yang berjudul "Pengenalan Vertebrata Hama"
dilaksanakan pada hari Rabu, 15 Maret 2023 di Laboraturium Pengendalian Hayati,
Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Adapun bahan yang digunakan dalam
praktikum ini antara lain yaitu power point, video, spesimen vertebrata hama berupa
tikus, bajing, dan burung.
Adapun cara kerja pada praktikum yaitu, pertama dilakukan asistensi
menggunakan LCD bersamaan di dua laboratorium oleh dosen dan/atau koasisten
secara daring dengan link zoom yang akan disiapkan menjelang asistensi.
Selanjutnya, ikuti penjelasan asistensi deskripsi cemiri morfologi, biologi, dan ekologi
vertebrata hama jenis Tikus, Bajing, Burung, Kelelawar, Landak, Musang, Babi
Hutan, Monyet Ekor Panjang, Gajah. Kemudian, dilakukan pengamatan morfologi
dan cara makan vertebrata hama (a) Landak, (b) tikus, (c) burung pemakan biji, (d)
burung pemakan buah, (e) burung predator, (f) bajing. Praktikan dibagi menjadi 6
(enam) kelompok, 10-11 praktikan per kelompok, setiap kelompok dibimbing seorang
koas. Setiap kelompok mengamati satu spesimen selama sekitar 10 menit, kemudian
bergilir ke specimen berikutnya sampai selesai spesimen ke-6.

D. Hasil Praktikum
1. Burung Pipit (Lonchura punctulata)

Gambar 1.1 Burung pipit (Lonchura punctulata)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 Morfologi: Memiliki bulu berwarna coklat, tubuh bagian atas berwarna coklat,
tangkai bulu warna putih dengan tenggorokan berwarna coklat kemerahan, tubuh
bagian bawah berwarna putih, bersisik coklat pada dada dan sisi tubuh. Burung
pipit remaja, tubuh bagian bawah berwarna kuning tua tanpa sisik. Iris coklat,
paruh berwarna abu-abu kebiruan, sedangkan kaki berwarna hitam keabu-abuan.
Burung pipit dewasa berwarna coklat kemerahan di leher dan sisi atas tubuhnya,
dengan coretan-coretan agak samar berwarna muda. Tubuh bagian bawah
berwarna putih, sisik berwarna coklat pada dada dan sisi tubuh. Perut bagian
bawah sampai pantat berwarna putih. Burung pipit muda memiliki dada dan perut
berwarna kuning tua sampai agak coklat kotor, iris mata berwarna coklat gelap
paruh berwarna abu-abu kebiruan, kaki berwarna hitam ke abu-abuan. Burung
pipit merupakan pemakan biji-bijian, memiliki ekor berukuran sedang,dan
berparuh pendek kerucut untuk memudahkan ketika memecah biji (Santoo et al.,
2022).
 Biologi: . Musim kawin burung pipit berlangsung ketika musim hujan tiba. Burung
pipit akan siap kawin sehabis umur 7 bulan. Ketika kawin, burung pipit akan
membuat sarang dengan bentuk bulat yang terbuat dari rumput kering serta sabut
kelapa. Ketika bertelur burung pipit mampu menghasilkan 4-8 butir telur yang
akan dierami sehabis telur ketiga dikeluarkan. Sepanjang pengeraman, jantan
serta betina akan bergantian mengerami. Lama pengeraman berkisar antara 13-
14 hari. Sesudah menetas, anak burung pipit akan mulai belajar terbang saat
berumur 21-25 hari. Anak burung pipit muda mempunyai warna bulu coklat muda
polos, dan akan memiliki pola warna bulu setelah mereka dewasa (Santoo et al.,
2022).
 Ekologi: Habitat burung pipit yaitu padang rumput, hutan alami, hutan
masyarakat, lahan pertanian, perkebunan, dan daerah pemukiman. Burung pipit
umumnya memiliki sifat yang sama yaitu menyesuaikan dengan cepat terhadap
habitat yang (Santoo et al., 2022).

2. Burung Kutilang (Pycnonotus aurigaster)

Gambar 1.2 Burung kutilang (Pycnonotus aurigaster)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 Morfologi: Burung kutilang berukuran sedang, dengan panjang tubuh sekitar 20


cm. Sisi bagian atas tubuh (punggung dan ekor) berwarna coklat kelabu, pada sisi
bawah (tenggorokan, leher, dada, dan perut) berwarna putih keabu-abuan.
Memiliki topi, dahi, dan jambul berwarna hitam, tunggir (bagian muka ekor)
berwarna putih, serta penutup pantat berwarna kuning jingga (Saibi & Pontororing,
2022).
 Biologi: Burung kutilang kawin secara monogami dan kawin seumur hidup.
Burung kutilang dapat menghasilkan 2-3 telur dalam semusim. Telur tersebut
diletakkan di dalam sarang yang berada di dahan pohon atau semak-semak.
Telurnya berwarna kemerahan dengan bintik halus berwarna ungu dan abu-abu
(Ardiansyah et al., 2019)
 Ekologi: Habitat burung kutilang tersebar di pepohonan terbuka, tepi hutan,
semak belukar, hutan sekunder, tepi jalan, pekarangan, kebun, hingga taman-
taman di perkotaan. Umumnya tersebar mulai dari dataran rendah sampai
ketinggian 1.500 mdpl. Burung Kutilang biasanya sering terlihat berkumpul
bersama di perkebunan, pohon-pohon tinggi untuk mencari makanan, yaitu buah-
buahan yang lunak dan serangga kecil (Saibi & Pontororing, 2022).

3. Tikus Rumah (Rattus tanezumi)

Gambar 1.3 Tikus rumah (Rattus tanezumi)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 Morfologi: Rattus tanezumi memiliki panjang total 185-360 mm, panjang ekor
102- 191 mm, panjang telapak kaki belakang 22-34 mm, lebar daun telinga 16-21
mm, dan berat tubuh 20-180 gram. Rattus tanezumi memiliki tekstur rambut agak
kasar, bentuk hidung kerucut, bentuk badan silindris, warna badan bagian dorsal
coklat hitam kelabu, warna badan bagian ventral cokelat hitam kelabu, warna ekor
bagian atas cokelat hitam, warna ekor bagian bawah cokelat hitam (Widayani &
Susilowati, 2019)
 Biologi: Tikus rumah bereproduksi sepanjang tahun. Masa kehamilan tikus
berkisar 23 hari, dan mampu menghasilkan 3-7 anak. Mata bayi tikus dapat
terbuka saat berumur 15 hari. Tikus muda bisa makan makanan padat di umur 3
minggu, disapih pada umur 1 bulan, dan mencapai kematangan seksual paling
cepat 3 bulan (Temmick & Schegel, 2020).
 Ekologi: Habitat tikus rumah yaitu di tempat lembab pada rumah yang tidak rapat
dan tidak terawat, seperti dapur, lemari, plafon, gudang, membuat lubang-lubang
di dalam tanah, di sampah, dan di tempat yang kotor seperti got, dan tempat
sampah. (Haidar et al., 2022).
4. Tikus Sawah (Rattus argentiventer)

Gambar 1.4 Tikus sawah (Rattus argentiventer)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 Morfologi: Tikus sawah memiliki ciri-ciri morfologi, yaitu bobot badan dewasa
yang berkisar antara 70-300 gram, panjang kepala-badan berkisar antara 170-208
mm, dan panjang tungkai belakang 34-43 mm. Ekor tikus sawah biasanya lebih
pendek dari panjang kepala-badan dengan rasio 96,4%. Tubuh bagian dorsal
(punggung) berwarna cokelat kekuningan dengan bercak-bercak hitam pada
bulunya, sehingga memberi kesan seperti berwarna abu-abu. Bulu pelindung
berwarna hitam/gelap dan pendek. Bagian thorax dan abdomen biasanya
berwarna gelap. Warna pada permukaan atas kaki tikus sama dengan warna
badan dan banyak yang berwarna cokelat gelap pada bagian karpal dan tarsal
(Sudarmanji & Herawati, 2018)
 Biologi: Secara umum, tikus termasuk tikus sawah memiliki potensi
perkembangbiakan yang cepat yang menyebabkan pertumbuhan populasi yang
cepat. Betina dewasa membutuhkan 21 hari untuk kehamilannya dan 21 hari
untuk masa penyapihan. Betina dapat hamil dan menyapih pada periode yang
sama. Tikus akan kawin lagi dalam 48 jam setelah melahirkan. Di lingkungan
yang baik, akan ada liang tikus ditempati oleh betina hamil dengan dua generasi
anak tikus. Oleh karena itu, potensi betina dewasa untuk beranak dalam satu
masa tanam padi musim adalah tiga kali (Sudarmanji & Herawati, 2018)
 Ekologi: Nokturnal . Sebagian besar aktif di permukaan tanah, banyak membuat
liang dan bersarang di dalam lubanglubang dalam tanah. Makanan termasuk
tanaman, bulir-bulir padi, buah dan bunga kelapa sawit, serta serangga. Terdapat
di persawahan, padang rumput, perkebunan, semak belukar (Sudarmanji &
Herawati, 2018)

5. Tikus Pohon (Rattus tiomanicus)


Gambar 1.5 Tikus pohon (Rattus tiomanicus)
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 Morfologi: Rattus tiomanicus atau tikus pohon memiliki kemampuan untuk


memanjat pohon. Kemampuan memanjat ini ditunjang oleh adanya tonjolan pada
telapak kaki yang disebut dengan footpad yang besar dan permukaan yang
kasar." Hasil identifikasi, spesies Rattus arti tikus tiomanicus yang diambil dari
morfologi kuantitatif adalah panjang total (PT) 390 mm, panjang ekor (T) 207 mm,
panjang telapak kaki belakang (HF) 34 mm, lebar daun telinga (E) 20 mm, dan
berat tubuh (W) 170 gram. Menurut Priyambodo,2 morfologi kuantitatif antara lain
(PT) 310-450 mm, panjang ekor (T) 180-250 mm, panjang telapak kaki belakang
(HF) 32-39 mm, lebar daun telinga (E) 20-23 mm, dan berat tubuh (W) 55-300
gram (Widayani & Susilowati, 2019)
 Biologi: Kebuntingan tikus betina dengan cara perabaan, tingkat kematangan
seksual tikus jantan dengan pengamatan pertumbuhan testis dimana tikus
dewasa dicirikan dengan testis scrotal dan tikus belum dewasa adanya testis
abdominal. Dalam sekali melahirkan tikus betina mampu melahirkan 10 - 14 ekor
anak (Sudarmanji & Herawati, 2018).
 Ekologi: Habitat tikus pohon berada di hutan atau perkebunan. Tikus pohon
memiliki kemampuan memanjat yang cepat dibandingkan tikus yang lain
(Sudarmanji & Herawati, 2018).
6. Tikus Got (Rattus norvegicus)

Gambar 1.5 Tikus got (Rattus norvegicus)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 Morfologi: Memiliki berat 85-180 gram dengan panjang tubuh 14- 21 cm, bentuk
hidung tumpul, badan besar, pendek, panjang kaki belakang 3,2-3,6 cm, pada
bagian bawah dengan rambut pendek kaku, dan berwarna kecoklatan tua, Tubuh
Bagian atas coklat pucat dengan bintik hitam halus, bagian bawah seluruhnya
abu-abu keperakan, sering dengan corengan berwarna gelap di sepanjang bagian
tengah (Ramdani & Prasetyo, 2020).
 Biologi: Rattus norvegicus kawin dengan cara poligini. Tikus got cenderung
berkembang biak dalam kelompok besar, begitu seekor betina memasuki periode
estrus dalam enam jam, maka dapat kawin sebanyak lima ratus kali dengan tikus
jantan yang bersaing. Tikus betina rata-rata mampu melahirkan sekitar tujuh kali
pertahun. Sekitar 18 jam setelah melahirkan, betina mengalami estrus
postpartum, dan kawin lagi, yang dapat melahirkan 60 anak setiap tahun per
betina. Setelah masa kehamilan singkat 22 - 24 hari, maka sekitar 8 anak lahir.
Bayi tikus baru lahir memiliki berat rata-rata 5 gram dan diberi susu hingga
penyapihan terjadi pada 3 hingga 4 minggu (Hamilton, 2017).
 Ekologi: Tikus got merupakan hewan nokturnal yang aktif dimalam hari.
Sebagian besar berada permukaan tanah, bersarang didalam lubang-lubang
dalam tanah (Ramdani & Prasetyo, 2020).
7. Bajing (Callosciurus notatus)

Gambar 1.7 Bajing (Callosciurus notatus)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 Morfologi: Callosciurus notatus memiliki panjang tubuh rata-rata 175-223 mm,


panjang ekor 160-210 mm, dan berat badan 150-280 gram. Bajing merupakan
mamalia pengerat (ordo Rodentia) dari suku (famili) Sciuridae (Sari et al.,
2020). Bajing memiliki warna bulu kecoklatan pada bagian dorsal dan jingga
kemerahan di bagian ventral serta memiliki moncong yang tidak terlalu panjang
bajing relatif agak rata pada bagian mulut dan hidungnya. Bajing ada yang hidup
di tanah juga ada yang hidup di pohon. Bahkan bajing dari subspesies Pteromyini
mampu terbang (melayang dari atas ke bawah), karena jenis ini mempunyai
membran (selaput tipis) diantara kaki depan dan belakang yang memungkinkan
melayang jauh diantara pepohonan (Alamendah, 2010).
 Biologi: Bajing kawin secara poligami, dimana satu jantan dapat mengawini
maksimal 4 betina. Pada betina memiliki kelenjar mammae yang berjumlah dua
atau tiga pasang. Dalam berkembangbiak satu induk betina mampu melahirkan 1-
4 ekor anak. Lama waktu hidup yang pernah tercatat yaitu 9 tahun 7 bulan (Sari et
al., 2020).
 Ekologi: Bersifat arboreal, dan dapat ditemukan di perkebunan, semak belukar,
kebun, hutan hujan, dan hutan bakau. hewan diurnal dan umumnya ditemukan
soliter atau dalam kelompok kecil. Aktivitas mereka biasanya terkait dengan
mencari makan. Seringkali, interaksi antara bajing saling kejar-mengejar (Sari et
al., 2020).

8. Kelelawar (Cynopterus brachyotis)

Gambar 1.8 Kelelawar (Cynopterus brachyotis)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
 Morfologi: Cynopterus brachyotis atau codot kawar memiliki berat rerata 27.80
gram, panjang tubuh 74.90 mm, ekor 13.27 mm, telinga 17.19 mm, kaki belakang
13.94 mm, lengan bawah 63.05 mm, dan betis 23.84 mm. C. brachyotis memiliki
tepi telinga bergaris putih tegas, berekor, dan mempunyai moncong yang pendek.
Betina adalah poliestrus dan dapat menghasilkan satu anak setahun dua kali.
Kepadatan populasi bisa mencapai 0,2-0,3 ekor/hektar. Kehamilan 3,5-4 bulan,
menyusui 6-8 minggu (Qaanitah et al., 2018).
 Biologi: Reproduksi Cynopterus brachyotis diatur sedemikian rupa sehingga
masa menyusui sesuai dengan puncak musim hujan, yang merupakan musim
berbuah. Selain itu, bisa hidup selama 5 tahun di alam liar (Qaanitah et al., 2018)
 Ekologi: Hewan nokturnal yang aktif di malam hari dan memiliki sarang pada
pohon khususnya di bawah daun palem yang mati dan diantara tandan dan daun
palem (Qaanitah et al., 2018)

9. Landak (Hystrix javanica)

Gambar 1.9 Landak ()


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 Morfologi: Morfologi Landak adalah hewan pengerat (Rodentia) yang memiliki ciri
morfologi meliputi panjang ekor berukuran antara 6 -13 cm. Bobot tubuh 8 kg
dengan panjang tubuh sekitar 45-73 cm. Landak memiliki dua bentuk rambut,
yaitu rambut halus dan rambut yang mengeras atau dikenal dengan sebutan duri.
Satu ekor Landak Jawa biasanya memiliki sekitar 30.000 duri di seluruh tubuhnya
(Haryono et al., 2019).
 Biologi: Proses reproduksi terjadi beberapa kali sampai landak betina merasa
cukup dan menjauhi si jantan. Kemudian, landak jantan akan pergi dan mencari
pasangan lainnya sementara betina akan menghabiskan tujuh bulan untuk hamil
dan menyusui anaknya selama empat bulan (Anonim, 2020)
 Ekologi: Ekologi Landak biasanya dapat ditemukan di daerah hutan primer, hutan
sekunder, dan perkebunan. Adapun, apabila landak merasa terancam, maka
landak akan menegakkan duri-duri yang ada pada tubuhnya sehingga tubuh
terlihat lebih besar (Salviana et al., 2017).
10. Musang (Paradoxurus hermaphroditus)

Gambar 1.10 Musang (Paradoxurus hermaphroditus)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 Morfologi: Musang luwak termasuk ke dalam famili Viverridae, akan tetapi tidak
termasuk ke dalam golongan karnivora sejati. Berbeda dengan keluarga kucing
yang merupakan karnivora sejati, struktur gigi musang tidak dirancang sebagai
pemangsa yang harus memakan daging sebagai pakan utamanya. Musang
Luwak lebih tepat disebut frugivora dari pada karnivora dalam batasan perilaku
makannya, yaitu akan memilih buah sebagai pakan utamanya selama 6
persediaan masih tersedia dan beralih memangsa vertebrata kecil, reptil, ataupun
serangga disaat terjadi kelangkaan buah-buahan (Wahyuningsih, 2018).
 Biologi: Musang dapat bereproduksi sepanjang tahun dengan rata-rata
melahirkan 2 – 4 ekor anak per tahun. Anak diasuh oleh induk betina. Anak yang
telah lahir diletakkan di dalam lubang pohon atau goa (Wahyuningsih, 2018).
 Ekologi: Musang merupakan mamalia yang aktif pada malam hari (nocturnal).
Habitat pada cekungan pohon menjadi tempat berlindung hewan unik ini,
termasuk celah-celah batu, atau dedaunan lebat. Musang dapat hidup di semak-
semak, hutan sekunder, perkebunan, dan pemukiman manusia. Musang Luwak
termasuk hewan yang bersifat soliter dengan berbagai gaya hidup dan adaptasi,
sebagai contohnya mereka sangat pandai memanjat pohon untuk mencari makan
(Wahyuningsih, 2018).
Daftar Pustaka

Anonim. 2020. Proses Unik Landak Kawin, Jantan Akan Basahi Betina dengan Air
Seni. < https://kumparan.com/dasar-binatang/proses-unik-landak-kawin-
jantan-akan-basahi-betina-dengan-air-seni-1tkjYU9BlWD/full>. Diakses pada
21 Maret 2023.
Alamendah. 2010. Bajing dan tupai adalah berbeda. <
https://alamendah.org/2010/01/23/bajing-dan-tupai-adalah-berbeda/>.
Diakses pada 21 Maret 2023.
Haidar, M., Rizwar, R., Darmi, D., & Putra, A. H. 2022. Preferensi tikus terhadap
beberapa jenis umpan yang berbeda di kawasan pemukiman. Bioedusains:
Jurnal Pendidikan Biologi dan Sains. 5(1): 137-142.
Hamilton, W. 2017. The Mammals of eastern United States, 3rd edition. Comstock
Publishing, Ithaca.
Haryono, M., Explotasia, I., Pramon, H., Kristanto, A., Hamidy, A., Achmadi, A. S.,
dan Primadian, B. R. 2019. Panduan identifikasi jenis satwa liar dilindungi
mamalia. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Qaanitah, I., Yustian, I., and Kamal, M. 2018. Identifikasi kelelawar berdasarkan
morfologi dan morfometri di kawasan kampus Universitas Sriwijaya,
Indralaya. Jurnal Penelitian Sains. 20(3): 71-76.
Ramdani, Y. R., dan Prasetyo, B. 2020. Perumusan pedoman pengendalian tikus
dan mencit di Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta. Prosiding
Seminar Nasional “Perumusan Pedoman Pengendalian Tikus dan Mencit di
Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta”. Fakultas Ilmu Keguruan
dan Pendidikan Universitas Terbuka.
Saibi, R. P., da Pontororing, H. H. 2022. Studi keanekaragaman jenis burung di
kawasan hutan kota Desa Kuwil Kabupaten Minahasa Utara. Eugenia. 27(1):
1-10.
Salviana, M., Abdullah, A., and Saputri, M. 2017. Habitat conditions malayan
porcupine (Hystrix brachyura) In captivity Deer park Village Lamtanjong
District Of Aceh And Village Panton Luas South Aceh Regency. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Pendidikan Biologi. 2(1): 1-14.
Santoo, P., Nizar, A., dan Yastutik, Y. 2022. Penggunaan alat tenaga surya untuk
mengendalikan hama burung pipit (Estrildidae) pada tanaman padi.
Polbangtan Malang. Disertasi Doktor.
Sari, R. M., Djong, H. T., & Roesma, D. I. 2020. Morphological variation of plantain
squirrel Callosciurus notatus (Boddaert, 1785)(Rodentia: Sciuridae)
population in West Sumatra, Indonesia. Asian Journal of Forestry. 4(2): 1-7.
Sudarmaji, & Herawati, N. A. 2018. Breeding ecology of the rice field rat (Rattus
argentiventer Rob & Kloss, 1916) in irrigated rice ecosystem in Indonesia. In
AIP Conference Proceedings 2002 (1).
Temminck and Schlegel. 2020. Rattus tanezumi. Fauna Japonica (51)
Wahyuningsih, S. 2018. Analisis keragaman morfologi fenotipik musang luwak
(Paradoxurus hermaphroditus) di wilayah Nusa Tenggara Barat sebagai basis
identifikasi variasi genetik. Universitas Muhammadiyah Malang. Disertasi
Doktor.
Widayani, H. A., dan Susilowati, S. 2019. Identification of rats and shrew in Argasoka
and Kutabanjar Village Banjarnegara Sub District Banjarnegara District 2014.
Jurnal Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara.
10(1): 27-30.

Anda mungkin juga menyukai