Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH FILSAFAT DAKWAH

IDEALISME DAN ETIKA DAKWAH, SISTEM NILAI

DAN MORAL DALAM ISLAM

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

Rini Sapitri Yanti (1730503123)

Dosen pengampu :

Richway, M.Pd.I

JURUSAN JURNALISTIK

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN FATAH

PALEMBANG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Idealisme sebuah pemikiran filosofis yang telah memberikan pengaruh
besar terhadap dunia pendidikan selama beberapa abad.
Dalam setiap agama, dakwah merupakan suatu bagian yang memang harus
ada di dalamnya. Dan dalam setiap kegiatan termasuk kegiatan dakwah pasti
memiliki aturan atau batasan yang disebut dengan etika dalam berdakwah. Etika
merupakan salah satu bagian yang memang harus ada.
Dalma uraian berikut ini juga akan membahas tentang bagaimana Islam
memberikan sistem nilai dan moral yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Sistem nilai dan moral yaitu suatu keseluruhan aturan yang terdiri dari dua
atau lebih, komponen yang satu sama lain saling mempengaruhi, atau bekerja
dalam satu kesatuan, atau keterpaduan yang bulat, yang melihat kepada nilai dan
moralitas Islami.
Jadi, makalah ini akan membahas tentang Idealisme dan Etika
Dakwah, Sistem Nilai dan Moral dalam Islam.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dalam
makalah ini antara lain:
1. Apa makna idealisme?
2. Apa etika dakwah?
3. Bagaimana sistem nilai dan moral dalam Islam?

C. Tujuan Masalah
Tujuan dalam makalah ini adalah:
1. Mengetahui makna idealisme.
2. Mengetahui etika dakwah.
3. Memahami sistem nilai dan moral dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna Idealisme
Herman Horne mengatakan idealisme merupakan pandangan yang
menyimpulkan bahwa alam merupakan ekspresi dari pikiran, juga mengatakan
bahwa subtansi dari dunia ini adalah dari alam pikiran serta berpandangan bahwa
hal-hal yang bersifat materi dapat dijelaskan melalui jiwa. Senada dengan itu,
Ahmad Tafsir mengemukakan bahwa dalam kajian filsafat, idealisme adalah
doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam
ketergantungannya pada jiwa (mind) dan spirit (ruh). lstilah ini diambil dari
"idea", yaitu sesuatu yang hadir dalamjiwa.1
Lebih lanjut George R. Knight menguiaikan bahwa idealisme pada
mulanya, adalah suatu penekanan pada realitas ide gagasan, pemikiran, akal pikir
daripada suatu penekanan pada objek-objek dan daya-daya materi. Idealisme
menekankan akal pikir (mind) sebagai hal dasar atau lebih dulu ada bagi materi
dan bahkan menganggap bahwa akal pikir adalah sesuatu yang nyata, sedangkan
materi adalah akibat yang ditimbulkan oleh akal pikir. Menurutnya, ini sangat
berlawanan dengan materialisme yang berpendapat bahwa materi adalah nyata
ada, sedangkan akal pikir (mind) adalah sebuah fenomena pengiring.2
Dari ketiga pengertian di atas dapat dipahami bahwa idealisme merupakan
suatu aliran filsafat yang mempunyai pandangan bahwa hakekat segala sesuatu
ada pada tataran ide. Realitas yang berwujud sebenarnya lebih dulu ada dalam
realitas ide dan pikiran dan bukan pada hal-hal yang bersifat materi. Meskipun
demikian, idealisme tidak mengingkari adanya materi. Materi merupakan bagian
luar dari apa yang disebut hakekat terdalam, yaitu akal atau ruh, sehingga materi
merupakan bungkus luar dari hakekat, pikiran, akal, budi, ruh atau nilai. Dengan
demikian, idealisme sering menggunakan term-term yang meliputi hal-hal yang
abstrak seperti ruh, akal, nilai dan kepribadian. Idealisme percaya bahwa watak
sesuatu objek adalah spritual, non material dan idealistik.
Pemikiran idealisme ini selalu identik dengan Plato. Platolah yang sering
dihubungkan dengan filsafat idealisme. Pandangan seperti ini muncul, mengingat
1
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum,( Bandung: Rosdakarya, 2004), hlm.144
2
George R. dkk. Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Idea Press, 1981), hlm.48
bahwa pada dasarnya Plato merupakan bapak filsafat idealisme atau pencetus
filsafat idealisme. Menurut Plato hakekat segala sesuatu tidak terletak pada yang
bersifat materi atau bendawi, tetapi sesuatu yang ada dibalik materi itu, yakni ide.
Ide bersifat kekal, immaterial dan tidak berubah. Walaupun materi hancur, ide
tidak ikut musnah.3 Dalam mencari kebenaran, Plato berpendapat bahwa
kebenaran tidak dapat ditemukan dalam dunia nyata, sebab dunia nyata ternyata
tidak permanen dan selalu mengalami perubahan. Artinya bahwa dunia materi
bukanlah dunia yang sebenarnya, tetapi hal itu merupakan analogi atau ilusi
semata yang dihasilkan oleh panca indera.
Walaupun idealisme selalu dihubungkan dengan Plato, lahirnya idealisme
sebagai mazhab atau aliran filsafat bukanlah pada zaman Plato masih hidup.
Istilah idealisme untuk menunjukkan suatu aliran filsafat, baru dipakai pada abad
ke-19 M.
Aliran filsafat idealisme dalam abad ke-19 M, merupakan kelanjutan dan
pemikiran filsafat rasionalisme yang berkembang pada abad ke- 17 M. Para
pengikut aliran idealisme ini pada umumnya, filsafatnya bersumber dari filsafat
kritisismenya Immanuel Kant. Fichte (1762-1814) yang dijuluki sebagai penganut
idealisme subjektif adalah merupakan murid Kant. Demikian juga dengan
Schelling yang filsafatnya disebut dengan idealisme objektif Kemudian kedua
filsafat idealisme ini (subjektif dan objektif) disintesiskan dalam filsafat idealisme
mutlaknya Hegel (1770-1831).4

B. Etika Dakwah
Ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain, mustahil apabila tidak
disertai dengan etika. Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang berarti
adat-istiadat (kebiasaan), perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan
perbuatan. Etika juga mengajarkan tentang keluhuran budi baik dan buruk. Jika
dibatasi asal-usul kata ini, etika berarti ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau
ilmu tentang adat kebiasaan.5
Etika dapat dirumuskan dalam empat poin sebagaimana berikut:
3
Sidi Gazalba, Sistematika filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm.315
4
Ali Maksum, Luluk Yunan Ruhendi, Pradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post
Modern, ( Yogyakarta: IRCiSoD,2004), hlm.46
5
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2006), hlm.4
1. Etika dapat dipakai dalam arti nilai-nilai yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Misalnya, Etika suku Indian, Etika Agama Budha, Etika
Islam.
2. Etika berarti kumpulan asas norma tingkah laku, tata cara
melakukan, sistem perilaku, tata karma, atau disebut juga kode
etik. Misalnya, kode etik jurnalistik, kode etik guru, kode etik
mubaligh.
3. Etika mempunyai arti perilaku baik-buruk, boleh-tidak boleh, suka-
tidak suka, senang-tidak senang. Etika ini semacam konsensus
dalam masyarakat dan dilaksanakan bersama.
4. Etika digunakan dalam ilmu, ilmu tentang perbuatan yang baik dan
buruk. Etika baru menjadi ilmu bila disusun secara metodis dan
sistematis yang terdiri dari asas-asas dan nilai-nilai baik dan
buruk.6

Pengertian etika secara terminologi (istilah), para ahli mempunyai


pengertian yang berbeda-beda. Dalam M. Yatimin Abdullah disebutkan sebagai
berikut: Ahmad Amin mengartikan etika sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik
dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia,
menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan
menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.

Franz Magnis Suseno mengaitkan etika sebagai usaha manusia untuk


memakai akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia
harus hidup apabila ia menjadi baik.

Burhanuddin Salam mengaitkan etika sebagai sebuah refleksi kritis dan


rasional menyamai nilai-nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud
dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun
kelompok.

6
Ibid.hlm 4-6
Poedjawijatna mengaitkan etika sebagai ilmu yang mencari kebenaran. Ia
mencari keterangan benar yang sedalam-dalamnya. Tugas etika adalah mencari
ukuran baik buruknya tingkah laku manusia.

Lewis Mustafa Adam mengaitkan etika sebagai ilmu tentang filsafat, tidak
mengenai fakta, tetapi tentang nnilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia
tetapi tentang idenya.

M. Amin Abdullah mengaitkan etika sebagai ilmu yang mempelajari


tentang baik dan buruk. Jadi etika bisa berfungsi sebagai teori perbuatan baik dan
buruk (ethics atau ‘ilm al-akhlak al-karimah).

Jadi menurut penulis, pengertian sederhana etika ialah suatu ilmu yang
menjelaskan tentang perbuatan atau tingkah laku manusia, menerangkan apa yang
seharusnya, mana yang dapat dinilai baik ataupun buruk yang dipedomani dan
kemudian tercermin dalam amal perbuatannya.

Adapun konsep etika dalam Islam merupakan sebuah kesatuan yang tidak
bisa dipisahkan. Tosihiko Izutsu menyebutkan bahwa Islam sebagai sebuah agama
di mana kemunculannya merupakan reformasi agama yang paling radikal.
Disebabkan kemunculannya di Arab pada abad ketujuh merubah pandangan
masyarakat yang jahiliyah, kemudian menjadi periode di mana moral mulai
ditegakkan.7 Alquran sebagai sebuah tulisan paling autentik memuat konsep etik
dan moral yang dapat dibagi menjadi dua kelompok utama.

1. Terdiri dari istilah-istilah yang berkenaan dengan kehidupan etik orang


Islam pada masyarakat Islamik (ummah).
2. Istilah yang berkenaan dengan etika religius. Konsep pada kategori
kedua membicarakan secara mendalam sifat esensial manusia sebagai
homo religious.
Konsep tersebut menurut pemahaman Qurani mencerminkan karakteristik
spiritual tentang sifat manusia, dan manusia sebagai makhluk religius harus
memahaminya. Dan menurut agama yang bersifat etik seperti Islam, karakteristik

7
Tosihiko Izutsu,Konsep-konsep Etika Religius dalam Qur`an,(Yogyakarta: TiaraWancana,1993),
hlm. 19
manusia harus menjadi religius dan sekaligus etik karena keduanya tidak ada
perbedaan.
Sistem etika Islam menurut Madjid Fakhri dalam Halimi dapat
dikelompokkan ke dalam empat tipologi:
1. Moralitas skriptual, yaitu yang ditunjukkan dalam pernyataan-pernyataan
moral Alquran dan sunnah yang analisisnya dilakukan para filsof atau
teolog. Moralitas ini berisi tentang hakekat benar dan salah, keadilan dan
keuasaan Tuhan, kebebasan dan tanggung jawab moral.
2. Etika teologis, yakni prinsip benar dan salah, kemampuan tanggung jawab
manusia dan kebijaksanaan serta keadilan Tuhan dalam diskursus
mutakallimin.Hal ini terutama ditunjukkan oleh aliran Muktazilah.
3. Teori-teori etika filsafat yang berasal dari karya-karya etika Plato dan
Aristoteles.
4. Etika religius, yakni konsepsi etika yang berdasar dari konsepsi Alquran
tentang manusia dan kedudukannya.
Etika ketika diterapkan dalam sistem dakwah, ia menjadi orientasi bagi
usaha dai untuk menjawab pertanyaan mendasar mengenai bagaimana seorang dai
seharusnya hidup dan melaksanakan tugas profesionalnya.8 Toha Yahya Omar
mengemukakan beberapa etika berdakwah yang penting dimiliki oleh dai.
1. Dai sedapat mungkin berlaku sopan. Sopan di sini berhubungan dengan
adat dan kebiasaan yang berlaku umum dalam setiap kelompok. Sehingga
ukuran kesopanan masing-masing kelompok berlainan satu dengan yang
lain. Kesopanan meliputi pembicaraan dan perbuatan. Gaya atau perangai
berbicara, cara mengenakan dan bentuk pakaian yang dipakai harus dijaga
serapi-rapinya.Pembicaraan harus benar, tidak berbohong atau
memutarbalikkan keaaan yag sebenarnya.
2. Jujur terutama dalam mengemukakan dalil-dalil dan pembuktian.
Kejujuran ini tidak hanya berlaku dalam dakwah bil lisan namun juga
dakwah bil qalam.

8
Hajir Tajiri, Isu-isu Aktual Dakwah: Prespektif Etika (Bandung: Remaja Rosdakarya,2014),
hlm.202
Sementara Hajir Tajiri mengemukakan beberapa hal penting yang harus
dimiliki dai. Antara lain: pengenalan dan kesanggupan dai dalam mematuhi norma
dan ketentuan dakwah, baik berupa norma teologis maupun norma sosial dakwah,
pengenalan dan kesanggupan dai dalam mengimplementasikan kaidah-kaidah
dakwah, serta pengenalan dan kesanggupan dalam meraih segi-segi keutamaan
dakwah. Norma teologis maksudnya aturan-aturan yang berasal dari umber ajaran
Islam Alquran dan hadis. Sedangkan norma sosial merupakan hasil buatan
manusia sebagai makhluk sosial. Norma dalam masyarakat berisi tata tertib,
aturan, dan petunjuk standar perilaku yang pantas atau wajar, seperti menyangkut
tata cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), adat (customs), dan
hukum (lows).9

Adapun kaidah-kaidah dakwah yang harus dimiliki dai ialah berpedoman pada
kaidah ushul fiqh seperti kaidah ‘adam al-ikrah fi al-dîn (menghargai kebebasan
dan menghargai hak individu atau kebebasan dalam beragama), al-dharuratu
tubîhu al-mahdûrat (kondisi keterpaksaan membolehkan dilakukan hal-hal yang
terlarang), al-tadarruj (gradual, mengikuti proses), dan sebagainya. Jum’ah Amin
juga merumuskan beberapa kaidah seperti: al-qudwah qabla al-da’wah (menjadi
teladan sebelum berdakwah), al-ta’lif qabla al-ta’rif (mengikat hati sebelum
mengenalkan), al-ta’rif qabla al-taklif (mengenalkan sebelum membebani), al-
ushul qabla al-furu’ (perkara pokok sebelum cabang), al-targhib qabla al-tarhib
(memberi harapan sebelum ancaman), al-tafhim la al-talqin (memberikan
pemahaman bukan mendikte), al-tarbiyah la al-ta’riyah (mendidik bukan
menelanjangi), tilmidzu al-imam la tilmidzu al-kitab (menjadi murid seorang
guru, bukan murid buku).

C. Sistem nilai dan Moral dalam Islam


Sistem nilai atau sistem moral yang dijadikan kerangka acuan yang
menjadi rujukan cara berperilaku lahiriah dan rohaniah manusia muslim ialah nilai
9
Asep Muhyiddin,dkk., Kajian Dakwah Multiprespektif (Bandung: Remaja Rosdakarya,2014), hlm.
203
dan moralitas yang diajarkan oleh Agama Islam sebagai wahyu Allah, yang
diturunkan kepada Utusan-Nya Nabi Muhammad SAW. Nilai dan moralitas
Islami adalah bersifat menyeluruh, bulat dan terpadu, tidak berpecah-pecah
menjadi bagian-bagian yang satu sama lain berdiri sendiri.
Suatu kebulatan nilai dan moralitas itu mengandung aspek normatif
(kaidah, pedoman) dan operatif (menjadi landasan amal perbuatan). Nilai-nilai
dalam Islam mengandung dua kategori arti dilihat dari segi normatif, yaitu baik
dan buruk, benar dan salah, hak dan batil diridai dan dikutut oleh Allah swt.
Sedangkan bila dilihat dari segi operatif nilai tersebut mengandung lima
pengertian kategori yang menjadi prinsip standarisasi perilaku manusia yaitu
sebagai berikut:
1. Wajib atau fardu yaitu bila dikerjakan orang akan mendapat pahala dan
bila ditinggalkan orang akan mendapat siksa Allah.
2. Sunnah atau mustahab, yaitu bila dikerjakan orang akan mendapat pahala
dan bial ditinggalkan orang tidak akan disiksa.
3. Mubah atau jaiz, yaitu bila dikerjakan orang tidak akan disiksa dan tidak
diberi pahala dan bila ditinggalkan tidak pula disiksa oleh Allah dan juga
tidak diberi pahala.
4. Makruh, yaitu bila dikerjakan orang tidak disiksa, hanya tidak disukai oleh
Allah dan bila ditinggalkan, orang akan mendapatkan pahala.
5. Haram, yaitu bila dikerjakan orang akan mendapatkan siksa dan bial
ditinggalkan orang akan memperoleh pahala.10

Nilai-nilai yang tercakup didalam sistem nilai Islami yang merupakan


komponen atau subsistem adalah sebagai berikut:

1. Sistem nilai kultural yang senada dan senapas dengan Islam.


2. Sistem nilai sosial yang memiliki mekanisme gerak yang berorientasi
kepada kehidupan sejarah didunia dan bahagia diakhirat.
3. Sistem nilai yang bersifat psikologis dari masing-masing individu yang
didorong oleh fungsi-fungsi psikologisnya untuk berperilaku secara
terkontrol oleh nilai yang menjadi sumber rujukannya yaitu Islam.

10
Iqbal, dkk, Islam Sebagai Pandangan Hidup, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm.56
4. Sistem nilai tingkah laku dari makhluk (manusia) yang mengandung
interrelasi atau interkomunikasi dengan yang lainnya.

Sedangkan pengertian norma disini ialah suatu pola yang menetukan tingkah
laku yang diinginkan bagi suatu bagian (unit) atau kelompok unti beraspek khusus
dan yang membedakan dari tugas-tugas kelompok lainnya. Norma bersifat
integratif ia mengatur berbagai macam proses yang membantu
mengimplementasikan komitmen terhadap nilai yang terpolakan.

Dengan demikian, sistem nilai Islami yang hendak dibentuk dalam pribadi
anak didik dalam wujud keseluruhannya dapat diklasifikasikan kedalam norma-
norma. Misalnya, norma hukum (syari’ah) Islam, norma akhlak, dan sebagainya.
Norma tersebut diperlukan untuk memperjelas pedoman operatif dalam proses
kependidikan.11

Oleh karena itu pendidikan Islam bertujuan pokok pada pembinaan akhlak
mulia, maka sistem moral islami yang ditumbuhkan dalma proses kependidikan
adalah norma yang berorientasi kepada nilai-nilai Islami. Sistem moral Islami itu
menurut Sayyid Abdul A’la Al-Maududi, adalah memiliki ciri-ciri yang sempurna
berbeda dengan norma moral non Islam.

Ciri-ciri tersebut terletak pada tiga hal yaitu dapat disimpulkan sebagai
berikut:

1. Keridaan Allah merupakan tujuan hidup manusia dan keridaan Allah ini
menjadi sumber standar moral yang tinggi dan menjadi jalan bagi evolusi
moral kemanusiaan.
2. Semua lingkup kehidupan manusia senantiasa ditegakkan diatas moral
Islami sehingga moralitas Islami berkuasa penuh atas semua urusan
kehidupan manusia, sedang bahwa nafsu dan vested interest picik tidak
diberi kesempatan menguasai kehidupan manusia.
3. Islam menuntut manusia agar melaksanakan sistem kehidupan yang
didasarkan pada norma-norma kebajikan dan jauh dari kejahatan.

11
http://ibnu-soim.co.id/2013/06/bab-i-sistem-nilai-dan-moral-islam.html
Pendapat diatas, didasarkan pada firman Allah sebagai berikut: Artinya:
“Orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya
mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan
mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala
urusan.” (Q.S. Al-Hajj: 41).

Sistem moral Islam, dengan demikian berpusat pada sikap mencari ridha
Allah. Pengendalian nafsu negatif, dan kemampuan berbuat kebajikan serta
manjauhi perbuatan jahat. Menurut Sayyid Quthub seorang cendekiawan dan
ulama Mesir yang terkenal berpendirian keras dalam memegang kaidah-kaidah
syari’ah, ia dihukum mati oleh lawan politiknya (Presiden Gamal Abdul Nasser),
berpendapat bahwa sistem moral Islami itu didasarkan pada pandangan Islam
yang memandang dosa dan perbuatan keji merupakan belenggu yang menghukum
jiwa manusia, menjatuhkan, dan menyeretnya kedasarnya yang paling dalam. Ia
memandang pelepasan diri dari ikatan nafsur rendah sebagai pembebasan yang
sejati.12

Menurut Pendapatnya,bahwa moralitas Islami itu tidak hanya terdiri dari


kumpulan belenggu dan larangan-larangan. Ia pada hakekatnya adalah suatu
kesatuan konstruktif dan positif, merupakan suatu kekuatan pendorong bagi
perkembangan yang ber- keseimbangan dan bagi kesadaran pribadi di dalm proses
perkembangan dan bagi kesadaran pribadi di dalam proses perkembangan
tersebut.

BAB III

PENUTUP

12
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hal. 126-12
Kesimpulan

Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat saya simpulkan bahwa idelisme
adalah suatu aliran filsafat yang berpandangan bahwah dunia ide dan gagasan
merupakan hakikatdari rialitas. Sistem nilai atau sistem moral yang dijadikan
kerangka acuan yang menjadi rujukan cara berperilaku lahiriah dan rohaniah
manusia muslim ialah nilai dan moralitas yang diajarkan oleh Agama Islam
sebagai wahyu Allah, yang diturunkan kepada Utusan-Nya Nabi Muhammad
SAW. Nilai dan moralitas Islami adalah bersifat menyeluruh, bulat dan terpadu,
tidak berpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang satu sama lain berdiri sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Tafsir Ahmad , Filsafat Umum,( Bandung: Rosdakarya, 2004)

George R. dkk. Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Idea Press, 1981)

Gazalba Sidi, Sistematika filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981)

Maksum Ali, Luluk Yunan Ruhendi, Pradigma Pendidikan Universal di Era


Modern dan Post Modern, ( Yogyakarta: IRCiSoD,2004)

Abdullah M. Yatimin, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2006)

Izutsu Tosihiko ,Konsep-konsep Etika Religius dalam Qur`an,(Yogyakarta:


TiaraWancana,1993)

Tajiri Hajir, Isu-isu Aktual Dakwah: Prespektif Etika (Bandung: Remaja


Rosdakarya,2014)

Asep Muhyiddin,dkk., Kajian Dakwah Multiprespektif (Bandung: Remaja


Rosdakarya,2014)

Iqbal, dkk, Islam Sebagai Pandangan Hidup, (Bandung: Sinar Baru, 1983)

http://ibnu-soim.co.id/2013/06/bab-i-sistem-nilai-dan-moral-islam

Arifin Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012)

Anda mungkin juga menyukai