Anda di halaman 1dari 6

Pengertian Etika

Salah satu hal penting dalam menjaga keharmonisan manusia dalam menjalani
kehidupannya adalah masalah etika. Etika merupakan refleksi dari moralitas perilaku manusia.
Ketika zaman semakin berkembang, perilaku manusia juga akan mengikuti perkembangan
zaman, maka tidak heran jika permasalah manusia juga semakin kompleks. Ilmu pengetahuan
dan teknologi selain memberikan pengaruh positif dalam kehidupa manusia, juga memberikan
dampak negatif, seperti munculnya masalah-masalah moral baru.
Dalam buku “Etika”, Prof. Dr. K. Bertens memberikan gambaran terhadap seluruh
wilayah etika. Hal pertama yang dibahas yaitu tentang tema-tema klasik, misalnya; hati nurani,
kebebasan, tanggung jawab, keutamaan.
Kemudian, yang kedua, dijelaskan tentang teori-teori besar dari sejarah filsafat moral,
seperti: hedonisme, eudemonisme, utilitarisme, dan deontologi. Dan yang ketiga, ditampilkan
pandangan singkat tentang pengantar pada etika terapan, artinya etika yang membahas bidang-
bidang khusus, misalnya dunia kedokteran, praktik bisnis, lingkungan hidup, dan lain-lain.

Namun dalam tulisan ini hanya ingin membedah dan membaca ulang tulisan K. Bertens
tentang teori-teori etika atau sistem filsafat moral. Hal tersebut dikarenakan teori-teori tersebut
memberikan pengaruh yang besar di sekitar kehidupan manusia saat ini. Tulisan ini dapat
dikatakan sebagai ringkasan buku, karena penulis hanya menulis kembali tulisan-tulisan K.
Bertens dan memberikan sedikit interpretasi terhadap istilahistilah yang dirasa sulit. Apabila
pembaca merasa kurang puas dengan ringkasan ini, silahkan pembaca bisa membaca langsung
buku “etika” karya K. Bertens.

1. Definsi Etika
Dalam kehidupan sehari-hari kata-kata seperti “etika”, “etis”, dan “moral” sering kita
dengar tidak saja di lingkungan pendidikan seperti sekolah, kampus, dsb, namun kata-kata
tersebut juga sering didengar di berbagai kehidupan praktis manusia. Misalnya, “tindakan yang
dilakukan si A tidaklah etis”, “Perilaku pejabat negara sudah tidak mempunyai etika
Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ethos yang mempunyai banyak arti:
tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang, habitat; kebiasaan, adat; akhlak, watak;
perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jama (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan.
Dalam kamus bahasa Indonesia (KBBI, edisi ke-1, 1988), etika dijelaskan dengan
membedakan tiga arti: (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak); (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenan dengan akhlak; (3) nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat
Etika mempunyai tiga arti berikut ini. Pertama, kata “etika” bisa diartikan sebagai nilai-
nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Misalnya, “etika agama Budha”, maka kata etika yang dimaksud di
sini bukan etika sebagai ilmu namun sebagai “sistem nilai” yang menjadi pengangan umat agama
budha.
Kedua, “etika” berarti juga: kumpulan asas atau nilai moral, yang dimaksud di sini adalah
kode etik. Misalnya dalam dunia Kesehatan, Rumah Sakit mempunyai kode etik, dokter
mempunyai kode etik, maka etika dalam arti ini adalah kode etik.
Ketiga, “etika” mempunyai arti ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika baru menjadi
ilmu, apabila keyakinankeyakinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan
buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat –sering kali tanpa disadari- menjadi
bahan refleksi kritis bagi suatu penelitian sistematis dan metodis.
Sumber: Aidin, A. K. (2021). Teori-Teori Etika.

Etika Normatif
Etika normatif merupakan bagian terpenting dari etika, di sini ahli bersangkutan tidak hanya
bertindak sebagai penonton netral, seperti dalam etika deskriptif, namun ia melibatkan diri dalam
mengemukakan penilaian terhadap perilaku manusia. Artinya melihat tingkah laku manusia dari
sudut pandang norma, sehingga ia bisa menentukan posisi di mana ia berdiri. Ia tidak hanya
melihat fungsi prostitusi di masyarakat lalu menggambarkannya saja, namun ia juga menolak
prostitusi sebagai lembaga yang melanggar martabat wanita.
Etika normatif dibagi menjadi dua, yaitu etika umum, memandang tema-tema umum seperti apa
itu norma etis? Jika banyak norma etis bagaimana hubungan satu sama lain? Kedua, norma
khusus, berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia
yang khusus.
Etika normatif sering disebut filsafat moral (moral philosophy) atau etika filsafati
(philosophical ethics). Etika normatif dibagi ke dalam dua teori, yaitu teori-teori nilai
(theories of value) dan teori-teori keharusan (theories of obligtion).Teori-teori nilai
mempersoalkan sifat kebaikan. Sifat teori ini ada dua, yakni monistis dan pluralistis. Yang
termasuk dalam kategori monistis adalah hedonisme spiritualistis maupun hedonistis
materialistis sensualistis. Sedangkan teori teori keharusan membahas tingkah laku. Teori-
teori yang tergolong dalam theories of obligationadalah aliran egoisme dan formalisme.
Ada lima teori yang membahas nilai-nilai dalam etika. Kelima teori tersebut adalah Idealisme
Etis, Deontologisme Etis, Etika Teleologis, Hedonisme, dan Utilitarisme (Tim Dosen UGM,
2007:41).
Idealisme Etis meyakini adanya skala nilai-nilai, asas-asas moral, atau aturan-aturan untuk
bertindak. Teori ini juga lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat spiritual (kerohanian)
ataupun mental daripada yang bersifat inderawi atau kebendaan. Kebebasan moral dan hal-
hal yang bersifat umum juga menjadi fokus kajiannya ketimbang ketentuan kejiwaan atau
alami serta hal-hal yang khusus
Teori Deontologis diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant, yang terkesan kaku, konservatif
dan melestarikan status quo, yaitu menyatakan bahwa baik buruknya suatu perilaku
dinilai dari sudut tindakan itu sendiri, dan bukan akibatnya. Suatu perilaku baik apabila
perilaku itu sesuai norma-norma yang ada. Deontologisme etis dilawankan dengan etika
aksiologi (etika yang mendasarkan pada teori nilai). Deontologis etis disebut juga formalisme
dan juga intuisionisme.

Teori Teleologis lebih menekankan pada unsur hasil. Suatu perilaku baik jika buah dari
perilaku itu lebih banyak untung daripada ruginya, dimana untung dan rugi ini dilihat dari
indikator kepentingan manusia. Teori ini memunculkan dua pandangan, yaitu egoisme
(hedonisme) dan utilitarianisme (utilisme).
Teori Hedonisme menganjurkan manusia untuk mencapai kebahagiaan yang didasarkan pada
kenikmatan dan kesenangan (pleasure). Pengajar teori ini adalah Cyrenaics (400 S.M).
Cyrenaics menyatakan bahwa hidup yang baik adalah memperbanyak kenikmatan melalui
kenikmatan inderawi dan intelek. Epikuros (341-270 S.M) malah justru berseberangan
pendapat dengan pendahulunya. Epikuros menyatakan bahwa kesenangan dan kebahagiaan
adalah tujuan hidup manusia. Ia tidak menganjurkan manusia untuk mengejar semua
kenikmatan yang sesuai intelegensi. Kesenangan dan kebahagiaan itu yang wajar-wajar saja
dan tengah-tengah (pola hidup sederhana). Kegembiraan pikiran menurutnya lebih tinggi
tingkatannya ketimbang kenikmatan jasmani.
Teori Utilitarisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah
tindakan yang menimbulkan kenikmatan atau kebahagiaan yang sebesar besarnya bagi
manusia yang sebanyak-banyaknya. Tokoh yang mengajarkan adalah Jeremy Bentham
(1742-1832), yang kemudian diperbaiki oleh John Stuart Mill (1806-1873), (Bertens,
2007). Mill mengatakan bahwa kebahagiaan seseorang tidak harus diukur secara kuantitatif
tetapi juga harus mempertimbangkan kualitasnya. Menurut-nya kesenangan ada yang lebih
tinggi dan ada yang lebih rendah. Misalnya, kesenangan orang kaya lebih tinggi
ketimbang kesenangan orang miskin. Pemikiran kedua Mill menyatakan bahwa
kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah semua orang yang terlibat dalam suatu
kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja sebagai pelaku utama. Kemakmuran
negara harus dapat dinikmati oleh semua rakyat, bukan segelintir orang (kelompok
penguasa dan kroni-kroninya). Kebahagiaan satu orang tidak boleh dianggap lebih penting
daripada kebahagiaan orang lain (Bertens, 2007).
Sumber:
Abadi, T. W. (2016). Aksiologi: antara etika, moral, dan estetika. KANAL: Jurnal Ilmu Komunikasi, 4(2),
187-204.
Ulitarianisme dikenal juga sebagai konsekuensialisme. Menurut pakar sejarah, Richard
Cumberland, seorang filsuf moral Inggris abad ke-17 yang dianggap sebagai orang pertama yang
menggagas paham ulitarianisme. Kemudian, Francis Hutcheson memberikan sentuhan teori yang
lebih jelas mengenai paham ini. Dia bukan hanya menganalisis bahwa perbuatan yang baik itu
adalah yang memberikanmanfaat kepada banyak orang (the greatest happiness for the greatest
numbers), melainkan juga mengusulkan hal yang ia sebut sebagai moral arithmec untuk
mengkalkulasinya. Pengembangan teori ini selanjutnya dilakukan oleh David Hume, filsuf dan
sejarawan dari Skotlandia. Namun, Bentham dianggap sebagai figur yang secara utuh dan
komprehensif mampu memformulasikan dan kemudian mempopulerkan paham u_lilitarianisme.¹
Meskipun demikian, Bentham sendiri mengakui bahwa teori yang ia kemukakan merupakan
sintesis dari pemikiran pakar dan filsuf sebelumnya seper_ Joseph Priestly, Claude Adrien
Helve_us, Cesare Beccaria, dan David Hume.

Menurut paham utilitarianisme, suatu perbuatan dianggap baik apabila mendatangkan


kebahagiaan dan sebaliknya dianggap perbuatan buruk apabila menyebabkan ketidakbahagiaan.
Bukan saja kebahagiaan bagi para pelakunya, tapi juga kebahagiaan bagi orang lain.
Utilitarianisme merupakan oposisi bagi egoisme yang berpendirian bahwa seseorang harus
memenuhi kepentingannya sendiri, meskipun hal tersebut diperoleh dengan mengorbankan
kepentingan orang lain. Utilitarianisme juga berbeda dengan teori etika yang menetapkan bahwa
suatu perbuatan dinilai baik atau buruk didasarkan atas motivasi pelakunya, sedangkan
utilitarianisme menekankan kepada kemanfaatannya. Bagi utilitarianisme, bukan sesuatu yang
mustahil, hal yang baik lahir dari mo_vasi yang jelek. Paham utilitarianisme menekankan kepada
perbuatan bukan kepada individu pelakunya. Singkat kata, ajaran pokok dari utilitarianisme
adalah prinsip kemanfaatan (the principle of utility).
Utilitarianisme termasuk yang digagas Bentham adalah bagian dari sistem etika. Secara garis besar,
sistem etika terbagi menjadi 2, yaitu teleologis (berorientasi pada tujuan) dan deontologi (berorientasi
kepada kewajiban; deon: apa yang harus dilakukan). Dalam sistem teleologis, baik tidaknya suatu
perbuatan diukur berdasarkan konsekuensinya. Karena itu, sistem ini disebut juga sebagai
konsekuensialisme yang salah satu alirannya adalah utilitarianisme. Dalam utilitarianisme, tujuan
perbuatan adalah memaksimalkan kegunaan atau kebahagiaan untuk sebanyak mungkin orang.
Sementara itu, deontologi adalah sistem etika yang tidak mengukur baik buruknya suatu perbuatan
berdasarkan hasilnya, melainkan semata-mata berdasarkan maksud si pelaku dalam melakukan
perbuatan tersebut. Sistem ini tidak memfokuskan kepada tujuan dari suau perbuatan, melainkan
semata-mata wajib tidaknya perbuatan tersebut dilakukan.

Deontologi
Deontologi berasal dari bahasa Yunani deon yang berarti apa yang harus dilakukan; kewajiban.
Deontologi tidak menyoroti tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan manusia, melaikan
semata-mata wajib tidaknya perbuatan dan keputusan itu dilakukan. Berbeda dengan teori-teori etika
seperti hedonisme, eudemonisme, dan utilitarianisme yang berorientasikan kepada tujuan suatu
perbuatan serta mengukur baik dan buruk dari konsekuensi perbuatan, teori deontologi lebih
menekankan kepada maksud pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut
Immanuel Kant merupakan filsuf berkebangsaan Jerman yang menggagas teori deontologi. Menurut
Kant, perbuatan yang disebut baik dalam arti yang sebenarnya hanyalah kehendak yang baik. Lalu apa
yang membuat kehendak menjadi baik? Menurut Kant kehendak menjadi baik, jika bertindak karena
kewajiban. Kita melakukan kewajiban bukan hanya karena kewajiban tersebut memiliki nilai dan
menguntungkan bagi kita.

Misalnya, ketika saya melihat seorang pengemis kemudian saya mendermakan sebagian uang, karena
merasa iba ataupun kasihan melihat keadaannya, maka sebetulnya menurut Kant perbuatan itu tidak
patut disebut baik, karena perbuatan baik didasarkan pada kewajiban. Ketika melihat pengemis
kewajiban kita adalah mendermakan sebagian harta, karena itu adalah suatu kewajiban, tanpa
memperdulikan motifnya, entah karena iba, kasian, atau sebagainya. Perbuatan mendermakan tersebut
baru dapat memasuki taraf moralitas jika perbuatan tersebut dilakukan semata-mata karena kewajiban

Anda mungkin juga menyukai