Anda di halaman 1dari 5

Hubungan Filsafat, Etika dan Moral

Secara etimologis, filsafat berasal dari Bahasa Yunani yaitu philosophia. Philosophia
merupakan gabungan kata yang terdiri dari kata philos yang berarti kekasih atau sahabat dan
kata sophia yang berarti kebijaksanaan atau pengetahuan. Oleh karena itu, philosophia dapat
diartikan menjadi “yang mencintai kebijaksanaan” atau “sahabat pengetahuan”. Filsafat
mempunyai dua pengertian: Pertama, filsafat sebagai produk mengandung arti filsafat sebagai
jenis ilmu pengetahuan, konsep-konsep, teori, sistem aliran yang nerupakan hasil proses
berfilsafat. Kedua filsafat sebagai suatu proses, dalam hal ini filsafat diartikan sebagai bentuk
aktivitas berfisafat sebagai proses pemecahan masalah dengan menggunakan cara dan metode
tertentu. (Kaelan: 6-7) Filsafat dalam konsep ilmu adalah sebuah ilmu untuk berpikir menelaah
berbagai masalah yang timbul terkait objek-objek materialnya, yaitu : manusia, alam, dan
tuhan.
Etika berasal sari Bahasa Yunani Kuno yaitu ethos yang memiliki banyak arti, seperti
cara berpikir, adat, kebiasaan, akhlak dan watak. Etika merupakan salah satu cabang ilmu
filsafat, yang disebut dengan filsafat moral. Etika mempelajari kajian dari penilaian pandangan
baik atau buruknya suatu tindakan seseorang. Etika mempelajari tingkah laku manusia, tidak
hanya menentukan benar salah atau baik buruknya saja. Etika mengkritisi mengapa suatu
tindakan dapat dikatakan benar atau salah, selain itu juga menyelidiki manfaat atau kebaikan
dari seluruh tingkah laku manusia.
Moral adalah suatu pemahaman yang menilai baik buruknya sesuatu. Moral lebih
mengkhususkan pada suatu tindakan, perbuatan atau tingkah laku seseorang yang sedang
dinilai. Moral juga bisa diartikan sebagai sistem ajaran tentang penilaian baik buruk.. Moral
berasal dari bahasa latin “mos” yang berarti adat kebiasaan. Moral membuat kita mengetahui
tindakan mana yang bermoral dan tindakan mana yang tidak bermoral. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa pandangan baik buruknya sesuatu atau moral, dipengaruhi oleh adat,
kebiasaan dan budaya.
Perbedaan yang mendasar antara etika dan moral adalah dimana moral hanya menilai
benar dan salahnya, sedangkan etika mengkritisi mengapa hal tersebut bisa dikatakan benar
ataupun salah. Oleh karena itu, saya menyimpulkan bahwa filsafat adalah pemikiran-pemikiran
kritis mengenai objek-objek materialnya, yaitu : manusia, alam dan Tuhan. Sedangkan etika
merupakan salah satu cabang dari filsafat yang mengkritisi pandangan atau nilai baik buruknya
suatu tindakan dan moral adalah pemahaman yang menilai baik buruk dan benar salahnya dari
sebuah tingkah laku manusia. Maka, dapat dikatakan bahwa etika itu berlandaskan moral dan
moral melandasi etika. Sedangkan filsafat sebagai telaah, pandangan atau pemikiran awal,
dapat dikatakan sebagai asal terbentuknya etika dan moral.

Daftar Pustaka
1. Rapar, J.H. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta : PT Kanisius
2. Wilujeng, Sri Rahayu. FILSAFAT, ETIKA DAN ILMU : Upaya Memahami Hakekat
Ilmu dalam Konteks Ke-Indonesiaan. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro
3. Dewantara, A.W. 2017. FILSAFAT MORAL Pergumulan Etis Keseharian Hidup
Manusia. Yogyakarta : PT Kanisius
4. Siregar, Fahrul. 2015. ETIKA SEBAGAI FILSAFAT ILMU (PENGETAHUAN)
DE’RECHTSSTAAT ISSN 2442-5303 Volume, 1 Nomor 1 Hlm : 54-61
5. Tanyid, Maidiantius. 2014. Etika Dalam Pendidikan: Kajian Etis Tentang Krisis Moral
Berdampak pada Pendidikan. Jurnal Jaffray Vol. 12, No. 2, Oktober 2014
Aliran Berpikir (Teori) Etika

Ada berbagai macam sistem atau aliran berpikir dalam etika. Penulis bermaksud untuk
merangkum beberapa contoh aliran pikir yang ada dalam etika. Aliran pikir yang pertama
adalah hedonisme. Hedonisme berasal dari Bahasa Yunani hedone yang memiliki arti
kesenangan. Aliran pikir ini menganggap kesenangan sebagai aspek penting yang harus dicapai
dalam kehidupan manusia. Dalam sejarah filsafat Yunani, hedonisme ditemukan oleh
Arristipos, seorang murid Socrates. Dalam pandangannya menganggap bahwa hal yang benar-
benar baik bagi manusia dan dijadikan tujuan hidup adalah kesenangan. Hedonisme juga
memandang bahwa kesenangan adalah yang paling berharga bagi manusia, sehingga baik
untuk mengusahakan kesenangan tersebut. Filsuf lain yang mengungkapkan teori ini adalah
Epikuros, yang mana Ia mengelompokkan keinginan menjadi 3 macam yaitu : keinginan
alamiah yang perlu, keinginan alamiah yang tidak perlu dan keinginan yang sia-sia.
Aliran yang kedua adalah eudemonisme. Eudemonisme merupakan aliran pikir yang
berasal dari filsuf besar Yunani, Aristoteles. Eudemonisme berasal dari kata eudaemonia yang
berarti kebahagiaan. Orang yang mencapai tingkat Bahagia dikatakan memilii kepuasan yang
sempurna baik jasmani maupun rohaninya. Menurut Aristoteles, apabila manusia sudah
mencapai fungsinya sebagai manusia, maka ia juga telah mencapai tujuan hidupnya yaitu
kebahagiaan. Aristoteles menganggap akal budi dan rasio adalah yang menjadi keuntungan
manusia disbanding dengan makhluk lain. Oleh karena itu, manusia akan mencapai
kebahagiaannya apabila sudah bertindak yang terbaik sesuai dengan rasionalnya. Aliran pikir
ini juga menekankan bahwa kebahagiaan belum tercapai apabila perbuatan rasional yang
diambil hanya dalam satu waktu saja, seharusnya tindakan rasional yang terbaik ini dilakukan
terus menerus dalam kehidupan kita sehari-hari.
Aliran pikir yang ketiga adalah Utilitarisme. Utilitarisme berasal dari Bahasa Latin
utilis yang memiliki arti berguna, bermanfaat, berfaedah dan menguntungkan. Aliran pikir ini
menggolongkan baik dan buruk berdasarkan kebergunaannya. Suatu hal dikatakan baik apabila
mendatangkan manfaat bagi orang lain dan dipandang buruk apabila mendatangkan keburukan
bagi orang lain. Utilitarisme pertama kali tampil pada ajaran seorang tokoh Inggris, Jeremy
Bentham. Beliau menyatakan bahwa perilaku atau perbuatan manusia digerakkan oleh
kemanfaatan dan kerugiannya.
Selanjutnya, aliran pikir yang keempat adalah Deontologi. Deontologi berasal dari
Bahasa Yunani yaitu deon yang berarti : apa yang harus dilakukan atau kewajiban. Ada
perbedaan yang besar antara deontologi dengan tiga aliran pikir yang sudah disebutkan di atas.
Tiga aliran pikir di atas menentukan baik buruknya suatu tindakan berdasar pada hasil,
sedangkan aliran pikir deontology menentukan baik buruknya suatu tindakan berdasar dari
maksud pelaku untuk melakukan tindakan tersebut. Teori ini tidak menyoroti tujuan yang
dipilih bagi suatu perbuatan melainkan semata-mata wajib atau tidaknya perbuatan tersebut
dilakukan. Menurut Immanuel Kant, perbuatan baik dapat disebut baik apabila dilakukan
dengan maksud baik.
Selanjutnya, aliran pikir yang kelima adalah vitalisme. Vitalisme berasal dari Bahasa
Latin yang berarti kehidupan. Teori ini berpandangan bahwa kehidupan adalah kebaikan
tertinggi, sehingga memandang perilaku baik adalah perilaku yang menambah daya hidup dan
perilaku yang buruk adalah yang menurunkan atau menghilangkan daya hidup. Aliran ini
terbagi menjadi dua yaitu, vitalisme pesimistis dan vitalisme optimisme. Vitalisme pessimistis
memandang lahir dan hidup manusia tidak berguna dan menyatakan bahwa manusia adalah
serigala bagi manusia lain. Sedangkan vitalisme optimistis memandang lahir dan hidup
merupakan suatu pengorbanan, yang mana aliran ini menghalalkan perang. Lima aliran pikir
atau teori etika yang sudah saya sebutkan di atas adalah sebagian kecil saja dari berbagai
macam teori yang ada. Masih banyak teori-teori etika yang lain seperti egoisme, marxisme,
pragmatism, idealisme dan lain-lain.

Daftar Pustaka
1. Bertens, K. 2007. ETIKA. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
2. Zulfari, Sukri Bin. 2016. “Ethics in the Prespective of Learning Al-Ghazali. Thesis
Pendidikan Islam : IAIN Tulungagung.
3. Rahayu, Arda Dwi. 2016. Etika Kepesantrenan Santri di Pesantren Mahasiswa An
Najah Purwokerto. Skripsi Program Studi Bimbingan Konseling Islam : IAIN
Purwokerto.
4. Sulandjari, Rekno. 2011. Berbagai Kelemahan dan Kelebihan sebagai panduan Moral
Pekerja Media. Majalah Ilmiah Universitas Pandanaran Vol. 9, No. 19
Ethics Decision Making

Ethics decision making atau pengambilan keputusan etis adalah sebuah proses yang
dilalui seseorang untuk mengambil suatu keputusan yang etis. Keputusan yang etis diartikan
sebagai suatu sikap atau tindakan yang diambil sebagai wujud hasil pemikiran individu terkait
suatu masalah dengan meninjau nilai-nilai moral dan etika yang berlaku. Keputusan etis
memiliki beberapa ciri-ciri, yaitu merupakan pertimbangan antara yang benar dan yang salah,
biasanya menyangkut masalah yang sukar, tidak mungkin dielakkan, dan dipengaruhi oleh
norma dan etika.
Para peneliti telah mengelompokkan 2 variabel pengaruh suatu pengambilan keputusan
etis, yaitu variabel individu dan variabel situasi. Variabel individu, adalah variabel pengaruh
yang berasal dari si pengambil keputusan itu sendiri. Variabel individu meliputi usia, agama,
keyakinan, dan gender (Hegarty dan Simms, 1978). Selain itu, tingkat kematangan pemahaman
moral juga menjadi variabel yang penting dalam pengambilan keputusan etis (Kohlberg, 1969;
Rest, 1986). Ada juga locus of control, yaitu keyakinan individu tentang kemampuannya
menyelesaikan suatu masalah. Selanjutnya variabel situasi adalah variabel yang dipengaruhi
oleh keadaan sekitar si pembuat keputusan. Variabel situasi dibedakan menjadi 3 yaitu, dalam
konteks pekerjaan yang meliputi tekanan dan ekspektasi pekerjaan, dalam konteks organisasi
yang meliputi otoritas, tanggung jawab dan sanksi, serta oleh lingkungan luar seperti norma
social.
Pengambilan keputusan etis melalui 4 tahap, yaitu sensitivitas moral, penalaran etis,
motivasi etis dan implementasi etis. Tahapan yang pertama yaitu sensitivitas moral adalah
kegiatan seseorang untuk mengidentifikasi suatu masalah dari sisi moralnya. Melihat suatu
masalah moral dalam situasi yang dihadapi. Kemudian hasil identifikasi moral ini digunakan
untuk menentukan keputusan etis yang diambil, tindakan mana yang sebaiknya dilakukan.
Pengambilan keputusan ini tentu saja tidak serta merta diputuskan secara acak, melainkan
dengan melakukan penalaran etis. Keputusan yang telah diambil ini membutuhkan suatu
dorongan untuk menjadikannya sebuah aksi yang nyata. Itulah yang kemudian disebut dengan
motivasi etis. Setelah adanya motivasi atau dorongan, hal selanjutnya yang dilakukan adalah
melakukan secara nyata keputusan yang telah ditentukan. Yang kemudian tindakan nyata
cerminan keputusan tadi disebut dengan implementasi etis.
Menurut Kohlberg, ada tiga tingkatan penalaran terhadap isu moral. Ketiga tingkatan
itu meliputi pre-conventional, conventional dan post-conventional. Masing-masing tingkatan
tersebut terbagi lagi menjadi dua tahap, yang menjadikannya total enam tahap. Tingkatan
pertaman yaitu pre-conventional yang dimulai dengan memahami benar atau salahnya suatu
tindakan dengan konsekuensi fisik seperti hukuman. Kemudian dilanjutkan dengan
merepresentasikan penalaran yang menilai apa yang baik itu dalam rangka pemenuhan
kebutuhan seseorang. Tahap ini juga memahami adanya perbedaan kepentingan satu orang
dengan yang lainnya. Selanjutnya, pada tingkatan kedua yaitu conventional. Pada tingkatan ini
seseorang memahami benar atau salahnya tindakan yang dilakukan berdasar kesesuaian dengan
harapan orang lain. Kemudian, dilanjutkan dengan menempatkan dirinya berada di tengah-
tengah masyarakat luas yang diatur oleh hukum. Tingkatan yang terakhir yaitu pos-
conventional seseorang memahami moral lebih dalam dan lebih universal. Tingkatan ini
dimulai dengan memahami adanya aturan yang harus dijunjung tinggi karena merupakan dasar
kontrak sosial. Kemudian tahap yang terakhir adalah memahami bahwa pengambilan
keputusan harus didasarkan dengan prinsip moral universal.

Daftar Pustaka
1. Brownlee, Malcolm. 2006. Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-Faktor di
Dalamnya. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia
2. Wisesa, Anggara. 2011. Integritas Moral dalam Konteks Pengambilan Keputusan Etis.
Jurnal SBM ITB Volume 10 No. 1
3. McDevitt, R. Giapponi, C. Tromley, C. 2006. A Model of Ethical Decision Making:
The Integration of Process and Content. Journal of Business Ethics (2007) 73:219–229

Anda mungkin juga menyukai