Anda di halaman 1dari 12

TUGAS ETIKA BISNIS

ETIKA DAN MORAL

OLEH:

KELOMPOK 1

KADEK DITA PURWITA SARI 1807531103


COKORDA BAGUS KRISNA DHARMAYUDA 1807531104
I DEWA MADE DWITYA ADYATMA 1807531111
NI KETUT FEBRI ANGGRENI 1807531112
AMELIA LARISSA 1807531114

KELAS EII3

REGULER DENPASAR
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Etika dan Moral


Kajian tentang etika telah dimulai oleh Aristoteles. Kepada anaknya Nikomachus,
dia menuliskan sebuah buku dengan judul Ethika Nichomacheia. Pesan moral yang
ingin disampaikan Aristoteles adalah bagaimana tata pergaulan dan rupa-rupa
penghargaan manusia satu terhadap lainnya. Tata pergaulan ideal antarmanusia
seyogianya didasrkan atas kepentingan orang banyak, bukan kepentingan egois
individual semata-mata.
Terdapat banyak pengertian tentang etika yang dikemukakan oleh para ahli. Untuk
memudahkan pemahaman, pengertian etika dalam pembahasan ini akan diuraikan dari
dua sudut pandang, yaitu: etika sebagai moralitas (pandangan sempit), dan etika sebagai
ilmu pengetahuan (pandangan luas).
Etika sebagai moralitas
Sebagaimana dikutip oleh Rindjin (2004:2), Encyclopedia Americana (1965,
Vol.10:610) menyebutkan bahwa etika berasal dari bahasa Yunani: “ethikos and ethos
(‘character’) refers to the values or rules of conduct held by a group or individual”.
Menurut Bertens (1997:224), ethos menunjukkan ciri-ciri, pandangan, dan nilai yang
menandai kelompok tertentu. Sedangkan ethos yang menurut Concise Oxford
Dictionary: “characteristic spirit of community, people orf system”. Hal ini tercermin
pada konsep etos kerja atau etos profesi. Semangat, ciri-ciri, pandangan dan pandangan
khas yang dirumuskan untuk profesi tertentu disebut kode etik, misalnya, kode etik
kedokteran, kode etik akuntan, kode etik guru, kode etik jurnalistik, dan sebagainya.
Ethos mempunyai banyak arti, tetapi yang penting dalam konteks pembahasan ini
adalah kebiasaan, akhlak atau watak. Encyclopedia Britanica (1965, Vol.8:752) malah
hanya memberikan satu arti dari ethos, yaitu character (Rindjin, 2004:2). Dalam
pengertian ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri
seseorang maupun pada masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata
cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan
diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari suatu generasi ke generasi
berikutnya. Kebiasaan ini lalu terungkap dalam prilaku berpola yang terus berulang
menjadi suatu kebiasaan.
Kata etika dalam bahasa Indonesia umum kurang lazim digunakan. Biasanya istilah
yang dipergunakan adalah susila atau kesusilaan. Kata ini berasal dari akar kata bahasa
Sansekerta “su” yang berarti baik, indah dan “sila” berarti dasar, kelakuan. Kesusilaan
bermakna sebagai tatanan kelakuan yang baik dalam wujud kaidah, norma dan aturan
yang menjadi dasar pergaulan manusia dalam sosial masyarakat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), yang dimaksud dengan etika adalah:
a. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak);
b. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
c. Nilai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Makna etika sebagai kebiasaan atau watak hampir sama dengan moral yang berasal
dari bahasa Latin mos (dalam bentuk jamak mores) yang juga memiliki arti kebiasaan
atau adat (Bertens, 1997:5), sehingga dari istilah ini lahir penyebutan moralitas atau
moral. Moralitas adalah sistem nilai yang terkandung dalam petuah, perintah atau
aturan yang diwariskan melalui agama dan kebudayaan tentang bagaimana manusia
harus hidup dengan baik; atau tentang kualitas perbuatan yang baik dan buruk.
Sebagai kata sifat, moral mengandung makna berkenaan dengan perbuatan yang
baik dan buruk. Secara harfiah, etika dan moral sama-sama berarti sistem nilai tentang
bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang terwujud dalam pola
perilaku yang ajeg dan terulang dalan kurun waktu yang lama sehingga menjadi sebuah
kebiasaan. Sebagai kata benda, moral berarti norma-norma tingkah laku yang baik atau
buruk yang diterima secara umum.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa etika sebagai moralitas berarti
sistem nilai tentang moral, yaitu bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia.
Istilah etika dan moral sering digunakan secara bergantian untuk maksud yang sama.
Masyarakat awam sering kali menyebutkan ‘amoral’ sebagai tindakan yang
bertentangan dengan moral. Lawan dari moral adalah immoral, bukan amoral. Amoral
sesungguhnya berarti tidak ada kaitannya dengan moral’. Misalnya, orang yang berkata
kasar, tidak dapat dikatakan serta merta dikatakan tidak bermoral. Berkata kasar lebih
berkaitan dengan etiket atau sopan santun, bukan moral. Berbeda dengan tindakan
menipu misalnya yang jelas merupakan tindakan immoral, yaitu tindakan yang
bertentangan dengan moral.
Etika Sebagai Ilmu Pengetahuan
Kata ilmu merupakan terjemahan dari “science” berasal dari kata Latin “Scinre”,
artinya “to know”. Menurut Ensiklopedia Indonesia (dalam Wiranata, 2005:89) ilmu
pengetahuan adalah suatu sistem dari berbagai pengetahuan yang disusun sedemikian
rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan; suatu sistem dari berbagai
pengetahuan yang didapatkan sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan
secara teliti menggunakan metode tertentu (induksi atau deduksi). De Vos menyatakan
etika adalah ilmu pengetahuan tentang moral (Wiranata, 2005:89). Menurut De George
(dalam Satyanugraha, 2003:5), etika sebagai ilmu pengetahuan, pemahamannya dapat
diklasifikasikan dala tiga pendekatan:
1. Etika deskriptif;
2. Etika normatif;
3. Metaetika
Etika deskriptif berkenaan dengan gejala-gejala moral atau tingkah laku manusia
dalam arti luas. Etika deskriptif hanya melukiskan dan tidak memberikan penilaian.
Suatu norma yang digambarkannya tidak akan dilihat atau diperiksa apakah norma
norma itu benar atau salah. Penggambaran etika deskriptif yang cenderung hanya
melukiskan saja, menyebabkan etika lebih dikenal dengan pengetahuan empiris bukan
filsafat. Saat ini etika deskriptif banyak dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial, seperti
antropologi, sosiologi, sejarah dan sebagainya.
Etika normatif terkait dengan sifat hakiki moral manusia. Menurut etika normatif
manusia hanya menggunakan norma-norma sebagai panutan, tetapi tidak menanggapi
kelayakan ukuran moral. Sah tidaknya norma-norma tidak dipersoalkan, yang
diperhatikan hanya keberlakuannya. Berbeda dengan etika deskriptif, etika normatif
harus memberikan penilaian tentang perilaku manusia. Disini, terbentuk pendapat untuk
menerima atau menolak sebuah fenomena moral yang terjadi disekitarnya. Etika
normatif ini menjadi sesuatu yang sangat penting diperlukan dan bermakna, sebab
disinilah berlangsung diskusi-diskusi yang paling menarik tentang berbagai masalah-
masalah moral.
Metaetika (meta-dalam bahasa Latin berarti mempunyai, lebih, melampaui)
menunjukkan penggambaran tentang ucapan-ucapan moral. Metaetika bergerak dalam
tatanan yang lebih tinggi dari hanya sekedar “etis”, tetapi lebih pada tataran filsafat
analitis (meski terkadang ada juga yang menyebutkan etika analitis) terhadap sejumlah
fenomena moral. Etika deskriptif maupun normatif sangat membutuhkan metaetika,
karena dalam membuat berbagai argumentasi yang rasional dan kritis, diperlukan
analisis-analisis mendalam tentang konsep, istilah, atau kata, yang semuanya
mempengaruhi pemahaman manusia tentang suatu masalah. Pemahaman kritis
demikian merupakan suatu model telaah yang terdapat dalam metaetika.
Dari uraian tersebut, tampak bahwa etika mempunyai pengertian yang jauh lebih
luas dari moralitas. Secara luas etika dimengerti sebagai filsafat moral, yaitu ilmu yang
membahas dan mengkaji nilai moral. Etika dalam pengertian ini lebih normatif dan
dapat dirumuskan sebagai refleksi kritis dan rasional mengenai:
1. Nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik
sebagai manusia;

2. Masalah-masalah kehidupan manusia denganmendasarkan diri pada nilai dan


norma-norma moral yang umum diterima.
Etika sebagai ilmu menuntut orang untuk berperilaku moral secara kritis dan
rasional. Etika berusaha menggugah kesadaran manusia untuk bertindak secara otonom
(berdasarkan kehendak sendiri) dan bukan secara heteronom (berdasarkan kehendak
orang lain). Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas tetapi
dapat dipertanggungjawabkan. Kebebasan dan tanggung jawab adalah unsur pokok dari
otonomi moral yang merupakan salah satu prinsip utama moralitas.
Bisa dipahami bahwa etika berkaitan dengan seluruh bidang dan aspek kehidupan
manusia. Oleh karenanya, etika dalam pengertian ini membutuhkan bantuan dan
masukan dari hampir seluruh ilmu lain termasuk eksakta, semacam teori genetika dan
kimia. Etika lalu menjadi sebuah ilmu yang sangat luas dan kompleks. Tidak berlebihan
kalau dikatakan bahwa etika lalu menjadl sebuah ilmu interdisiplin. Sebagai ilmu
interdisiplin, di satu pihak ia betumpu pada nilai dan norma moral yang ada, tetapi di
pihak lain ia juga mengandalkan kajian dan informasi dari ilmu lain untuk bisa
mengambil keputusan yang baik untuk bertindak maupun untuk mengevaluasi tindakan
tertentu yang telah dilaksanakan.
1.2 Norma Umum
Sebelumnya, telah diuraikan bahwa etika normatif melakukan penilaian tentang
baik buruk perbuatan. Pembahasan selanjutnya berkaitan dengan etika dalam bisnis
berpedoman pada etika normatif, sehingga dapat dilakukan penilaian tentang baik
buruk perbuatan atau tindakan dalam bidang bisnis. Dalam hidup terdapat begitu
banyak norma yang memberi pedoman tentang bagaimana harus hidup dan bertindak
secara baik dan tepat, sekaligus menjadi dasar bagi penilaian mengenai baik buruknya
perilaku dan tindakan seseorang. Secara umum dapat dibedakan dua macam etika
normatif, yaitu norma khusus dan norma umum. Norma-norma khusus adalah aturan
yang berlaku dalam bidang kegiatan atau kehidupan khusus, misalnya, aturan olahraga,
aturan pendidikan, lebih khusus lagi aturan di sekolah, dan sebagainya. Norma-norma
ini khusus hanya berlaku untuk bidang itu saja sejauh seseorang masuk ke dalam
bidang itu dan tidak berlaku lagi ketika keluar dari bidang itu. Norma-norma umum
sebaliknya lebih bersifat umum dan sampai tingkat tertentu boleh dikatakan bersifat
universal. Norma-norma umum ini dapat dibagi menjadi tiga, yaitu norma sopan
santun, norma hukum, norma moral.
Norma Sopan Santun
Norma sopan santun juga disebut norma etiket, adalah norma yang mengatur pola
perilaku dan sikap lahiriah manusia, misalnya menyangkut sikap dan perilaku seperti
ketika bertamu, makan dan minum, duduk, berpakaian, dan sebagainya. Norma ini
lebih menyangkut tata cara lahiriah dalam pergaulan sehari-hari. Norma ini tidak
menentukan baik buruknya seseorang sebagai manusia, karena hanya menyangkut
sikap dan perilaku lahiriah. Kendati perilaku dan sikap lahiriah bisa menentukan
pribadi seseorang, namun tidak dengan sendirinya sikap ini menentukan sikap moral
seseorang. Jelas bahwa etika tidak sama dengan etiket. Etiket hanya menyangkut
perilaku lahiriah yang menyangkut sopan santun atau tata krama. Etiket dalam bisnis
tidak benar-benar menentukan kualitas moral, yaitu baik buruknya seseorang sebagai
manusia di mana dia bekerja.
Norma Hukum
Norma hukum adalah norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh
masyarakat, karena dianggap perlu dan penting demi keselamatan dan kesejahteraan
manusia. Norma ini mencerminkan harapan, keinginan, dan keyakinan seluruh anggota
masyarakat tentang bagaimana hidup bermasyarakat yang baik dan bagaimana
masyarakat harus diatur secara baik. Karena itu, ia mengikat semua anggota masyarakat
tanpa terkecuali. Norma hukum bersifat tegas dan pasti, karena ditunjang dan dijamin
oleh hukuman dan sanksi bagi pelanggarnya. Norma hukum selalu dituangkan dalam
bentuk aturan tertulis yang dapat dijadikan pegangan dan rujukan konkret bagi setiap
anggota masyarakat, baik dalam perilaku maupun dalam menjatuhkan sanksi bagi
pelanggarnya.
Norma Moral
Norma moral adalah aturan mengenai sikap dan perilaku manusia sebagai manusia.
Norma ini menyangkut aturan tentang baik buruknya, adil tidaknya tindakan dan
perilaku manusia sebagai manusia. Norma moral lalu menjadi pedoman yang dipakai
oleh masyarakat untuk menentukan baik buruknya tindakan manusia sebagai manusia,
entah sebagai anggota masyarakat atau pun sebagai orang dengan jabatan atau profesi
tertentu. Kalau seseorang dinilai perilaku moralnya dalam kaitan dengan profesinya,
yang dinilai bukanlah sikap lahiriahnya dalam menjalani profesi itu. Misalnya, yang
dinilai bukan tentang seseorang ramah atau tidak, pakaiannya rapi atau tidak, sopan
atau tidak, pakai sepatu atau sandal, pakai celana jeans atau tidak, pakai dasi atau tidak,
pakai rok pendek atau tidak, mengajarnya memukau atau tidak, dan semacamnya. Yang
dinilai adalah tanggung jawabnya dalam menjalankan profesi secara tuntas, sikapnya
melayani klien, pasien atau orang yang dilayani, sikapnya menanggapi keluhan,
penderitaan, kesulitan orang lain, sikapnya yang tidak diskriminatif, dan
memperlakukan semua orang sebagai manusia yang sama.
Berbeda dengan norma hukum, norma moral diharapkan untuk dipatuhi oleh setiap
orang tanpa mempedulikan sanksi atau hukuman karena memang norma moral tidak
mengenal sanksi semacam itu. Jadi, kendati norma hukum dan norma moral sama-sama
menyangkut tindakan yang punya konsekuensi bisa merugikan atau berguna bagi orang
lain, norma moral diharapkan ditaati hanya karena nilai yang terkandung norma itu.
Pada norma hukum, ada kemungkinan yang sangat besar bahwa norma itu ditaati
sekadar untuk dari sanksi atau hukuman. Jadi, bersifat eksternal dan heteronom. Pada
norma moral, norma tersebut telah muncul dari dalam diri pelakunya, karena sadar akan
nilai yang ingin dicapai oleh norma tersebut. Dalam masyarakat primitif, norma moral
ini disertai dengan tabu atau pamali yang kendati bersifat irasional berfungsi untuk
mengingatkan orang akan hal-hal tertentu yang tidak boleh dilakukan, karena punya
konsekuensi serius bagi orang lain atau dirinya.
Norma moral dan norma hukum merupakan ekspresi, cermin, serta harapan
masyarakat mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Namun, berbeda dengan
norma hukum, norma moral tidak ditetapkan atau diubah oleh pemerintah. la lebih
merupakan hukum tak tertulis dalam hati setiap anggota masyarakat, yang karena itu
mengikat semua anggota dari dalam dirinya sendiri. Demikian pula, tanpa perlu
ditetapkan menjadi aturan tertulis, semua anggota masyarakat akan bereaksi serupa
dengan norma tak tertulis itu dalam menghadapi semua kasus dalam masyarakat.
Norma moral selalu menyangkut sebuah perasaan khusus tertentu, yang oleh
beberapa filsof moral disebut sebagai perasaan moral (moral sense). Perasaan moral ini
akan muncul ketika melakukan suatu tindakan yang salah atau melihat tindakan orang
lain yang tidak sesuai dengan norma moral tertentu. Ini sekaligus menunjukkan bahwa
moralitas bukan sekadar hal yang sentimental, soal suka atau tidak suka. Kendati punya
kaitan dengan perasaan moral, tidak lalu berarti moralitas menjadi hal yang sentimental.
Moralitas mempunyai rasionalitasnya sendiri, bahwa setidaknya orang yang rasional
punya reaksi yang relatif sama atas kasus atau peristiwa sadis, brutal, dan tidak
berperikemanusiaan tertentu yang sama dan berlaku umum terlepas dan kaitan personal
dan emosional dengan pelaku atau korban tertentu. Semua orang mengutuk suatu
tindakan yang memang sepantasnya dikutuk.

1.3 Kesadaran Moral


Kesadaran moral timbul apabila seseorang harus mengambil keputusan mengenai
sesuatu yang menyangkut kepentingan, hak atau kebahagiaan orang lain (Magnis,
1975:22). Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa norma moral mengandung unsur
kesadaran dalam diri manusia. Jadi keputusan melakukan atau tidak melakukan sesuatu
tidak disebabkan oleh fakfor dari luar kesadaran itu sendiri, misalnya, oleh tekanan dari
orang lain, kelompok atau organisasi tertentu, masyarakat, atau pemerintah sekalipun.
Kesadaran moral merupakan kesadaran tentang suatu kenyataan yang tidak
tergantung pada siapa yang menyatakan, tetapi pada ada tidaknya kenyataan. Oleh
karena itu, kesadaran moral bersifat rasional, objektif, dan mutlak. Misalnya, apabila
seseorang meminjam sesuatu dari orang lain, maka peminjam wajib mengembalikan.
Jadi, kesadaran moral bukan perasaan yang irasional, yang bisa berbeda-beda antara
orang yang satu dengan yang lainnya. Karena kesadaran moral bersifat rasional, maka
kesadaran moral juga berlaku secara umum dan bersifat objektif. Artinya, setiap orang
dalam situasi yang sama mempunyai kewajiban yang sama pula. Kesadaran moral
ibarat suara dalam diri sendiri, yang disebut suara batin. Suara batin merupakan
keinsyafan untuk melakukan sesuatu sebagai suatu kewajiban. Oleh karena itu,
kewajiban moral mengikat batin seseorang sehingga ia bersifat mutlak. Suara batin
memang harus ditaati.
Seorang mahasiswa secara tidak sengaja menemukan HP Nokia terbaru di
toilet kampus. Tidak ada orang Iain yang mengetahui ia mengambil HP itu.
Sejenak ia merasa mendapat rezeki yang tak terduga, apalagi kebetulan ia
tidak mempunyai HP. Tetapi segera ia mengetahui bahwa HP itu milik
rekannya sendiri. Ia tidak mempunyai hak untuk memiliki HP itu dan merasa
kasihan serta wajib mengembalikan HP tersebut. Kesadaran inilah yang
disebut kesadaran moral (Magnis, 1975:23).
Dengan memutuskan untuk mengembalikan HP dalam contoh di atas, mahasiswa
itu merasa bahwa rekannya akan sangat berterima kasih. Baik si rekan maupun dia
sendiri akan menilai bahwa harga dirinya tidak ditentukan oleh materi, kekayaan atau
kedudukan yang tinggi, melainkan oleh ketaatannya untuk melakukan kewajiban
sebagai perwujudan tuntutan nuraninya.
Sebuah tim riset dari University of Newcastle, Inggris, meletakkan sebuah
kotak di depan kantin sekolah selama beberapa minggu. Uang pembayaran
atas barang-barang yang dibeli dimasukkan ke dalam kotak tersebut. Tidak
ada orang yang mengawasi. Namun, di kotak tersebut ditempeli poster yang
berbeda setiap minggunya, mulai dari gambar bunga sampai gambar
sepasang mata manusia. Menariknya, ketika gambar yang dipasang adalah
sepasang mata manusia, jumlah yang membayar meningkat 2,76 kali
dibanding dengan gambar bunga.
Bagaimana komentar Anda?
Kewajiban moral mempunyai unsur-unsur pokok berikut:
1. Kewajiban itu bersifat mutlak sesuai dengan hati nurani.
2. Kewajiban itu bersifat objektif, artinya berlaku untuk setiap orang yang berada
dalam situasi yang sama.
3. Kewajiban itu bersifat rasional, karena yang bersangkutan menyadarinya sebagai
sesuatu yang memang sudah semestinya demikian.
1.4 Perkembangan Moral Individu
Norma moral seseorang tumbuh, dan berkembang sesuai dengan perjalanan usia,
pengalaman, serta situasi lingkungan. Menurut Kohlberg (dalam Robby I. Chandra,
1995:81), perkembangan moral individu terdiri dari 3 (tiga) tahap dan masing-masing
tahap meliputi 2 (dua) tingkatan moralitas, yaitu (mulai dari tingkatan terendah):
1. Tahap Prakonvensional
Pada tahap ini terdapat 2 (dua) tingkat moralitas, yaitu:
a. Heteronom
Moralitas seseorang berada pada tingkatan ini apabila suatu tindakan dilakukan
bukan atas kesadarannya sendiri, tetapi akibat adanya dorongan atau motivasi
dari luar. Misalnya, melakukan tindakan mematuhi peraturan dengan alasan
untuk menghindari hukuman. Tingkat moralitas ini biasanya berkembang pada
masa anak-anak, saat seorang anak mengetahui tindakan benar dan salah atau
baik dan buruk bukan dari dirinya sendiri tetapi karena diperintah orang lain.
b. Individulistik
Pada tingkat ini alasan moralitas seseorang melakukan suatu tindakan yang baik
atau benar untuk memenuhi kepentingan atau kebutuhan pribadinya. Misalnya,
anak-anak melakukan tindakan baik untuk memperoleh pujian atau imbalan.

2. Tahap Konvensional
Tingkat moralitas pada tahap ini adalah:
a. Konformitas antarpribadi
Seseorang merasa perlu menjaga tindakannya agar sesuai dengan harapan
keluarga dan kelompok di mana ia menjadi anggota kelompok tersebut
(misalnya, sekolah, klub, perkumpulan, dan lain-lain) dan berusaha
menunjukkan loyalitas terhadap keluarga atau kelompok tersebut. Perilaku yang
dianggap benar adalah perilaku yang sesuai dengan standar moral keluarga dan
kelompok masyarakat tersebut.
b. Konformitas dengan sistem sosial
Moralitas seseorang ditinjau dari loyalitasnya sebagai bagian dari sistem sosial
terhadap standar moral lingkungan masyarakat yang lebih luas. Misalnya,
loyalitas terhadap bangsa dan negara.
3. Tahap Pasca Konvensional
Tingkat moralitas pada tahap ini adalah:
a. Otonom
Pada tingkat ini, mulai disadari bahwa orang-orang mempunyai pandangan dan
opini pribadi yang sering bertentangan dan menekankan cara-cara yang adil
untuk mencapai konsensus. Misalnya, suatu tindakan taat pada hukum
dilakukan secara sadar demi ketertiban umum dan perlindungan terhadap hak
semua orang, bukan sekadar untuk menghindari hukuman.
b. Universal
Pada tingkat moralitas tertinggi ini suatu tindakan dilakukan dengan kesadaran
tinggi berdasarkan prinsip-prinsip moral yang dipilih, karena secara logis
memang komprehensif, universal, dan konsisten. Untuk mencapai tingkatan
universal dalam segala tindakan, bukanlah perkara mudah dan tingkatan ini
menjadi cita-cita penegakan etika.

1.5 Peran dan Manfaat Etika


Peran Etika
Perubahan sosial bergerak semakin dinamis dan menyusup ke setiap individu dan
komunitas melalui media cetak dan elektronik (radio, televisi, dan komputer).
Kemajuan teknologi membawa serta nilai-nilai baru yang belum tentu sesuai dengan
nilai-nilai lama yang sudah ada. Di samping itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi membuka peluang untuk rekayasa bayi tabung, rencana cloning manusia,
bank sperma, cyber crime (kejahatan maya), bom nuklir, senjata kimia, dan lain-lain. Di
bidang ekonomi dan bisnis, muncul rekayasa yang menyesatkan, misalnya kolusi antara
pemegang saham dan CEO (Chief Executive Officer), serta antara analis keuangan dan
banker investasi yang menyebabkan runtuhnya sejumlah perusahaan besar di Amerika
Serikat tahun 2002, seperti Enron Corp, Worldcom Inc., Global Crossing, Xerox Corp.
Penyelewengan marak terjadi seperti monopoli, monopsoni, persaingan yang tidak
sehat, insider trading, korupsi, nepotisme, dan lain-lain.
Perubahan yang demikian cepat menimbulkan masalah etika dan mengundang
pendapat yang setuju dan tidak setuju dengan berbagai alasan masing-masing.
Kesulitan untuk menilai apakah suatu tindakan benar atau salah secara moral akhirnya
mengakibatkan krisis multidimensional, yaitu krisis moral. Apa yang harus dilakukan
untuk mengatasi krisis moral tersebut? Kendati sudah ada norma hukum, penegakan
etika sangat diperlukan demi terciptanya keadilan, keamanan, dan kesejahteraan umat
manusia. Alasannya adalah sebagai berikut.
1. Norma hukum tidak mencakup semua aktivitas manusia, khususnya yang
merupakan wilayah abu-abu. Norma hukum tidak memerinci semua jenis,
kadar, serta motif kejahatan yang diancam dengan hukuman. Misalnya, kalau
benar Presiden SBY pernah menikah sebelumnya, haruskah ia diberhentikan
sebagai presiden? Mengapa banyak penjabat pemerintah , elite politik dan
pengusaha besar yang sudah dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri, bahkan
ada yang sudah diputuskan oleh Pengadilan Negeri masih menyatakan diri
tidak bersalah dan tetap aktif menjalankan tugas pemerintahan atau aktifitas
bisnis ?
2. Norma hukum cepat ketinggalan zaman karena perubahan yang terjadi dalam
masyarakat, sehingga senantiasa terdapat celah celah hukum yang bias
dimanfaatkan olh pihak yang suka bermain curang.
3. Mekanisme pasar tidak memberikan sinyal secara efektif kepada pemilik dan
manajer perusahaan untuk merespon situasi krisis yang mempunyai dampak
etis di kemudian hari. Misalnya, haruskah perusahaan melarang perempuan
hamil bekerja di wilayah yang beracun yang berbahaya terhadap janinnya?
Tidakkah tindakan ini bias dikatagorikan diskriminasi terhadap perempuan?
4. Masalah etika mensyaratkan pemahaman dan kepedulian terhhadap kejujuran,
keadilan, dan prosedur yang wajar terhadap manusia, kelompok manusia dan
masyarakat. Biasanya dunia perusahaan dan pemerintahan mempunyai
kebijakan dan prosdur yang tidak lengkap serta terperinci untuk menutupi biaya
sosial dan lingkungan hidup manusia. Haruskah pemerintah memikil semua
kesalahan dan biaya karena banyak TKI gelap diusir dari Malaysia? Tahukah
pemerintah tentang keberangkatan mereka?
5. Asas legalitas harus dibedakan dari atas moralitas. Boleh saja penguasa
(eksekutif maupun legislatif) menyatakan bahwa pemberian sejumlah hadiah
dalam bentuk uang kepada anggota legislatif di daerah dengan jumlah
bervariasi sebagai seseuatu yang sah menurut hukum karena memang mereka
sendiri yang memasukannya dalam APBD, yang dikukuhkan menjadi PERDA.
Mereka tidak pernah melihat personalnya dari sudut asas moralitas. Etiskah
mereka membagi bagi hadiah, sengaja menggelembungkan anggaran legislatif,
yang uangnya berasal dari rakyat, sementara sebagian besar rakyat Indonesia
dalam situasi krisis dan hidup dalam kemiskinan? Jadi, perosalannya sangat
tidak memadai kahau hanya dilihat dari sudut asas legalitas, dengan
mengabaikan asas moralitas.
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa peran etika adalah sebagai berikut:
1. Sebagai moralitas, etika membimbing tingkah laku manusia agar dapat
mengelola kehidupan ini dengan lebih baik. Di samping itu, etika juga
memberikan ukuran terhadap tindskan manusia di dalam tata kehidupan sehari-
hari, baik antar pribadi, antarkelompok maupun antarprofesi. Etika membantu
mngatasi konflik konflikan mencegah meluasnya tindakan tindakan immoral.
2. Sebagai ilmu pengtahuan, etika memberikan pmenuhan terhadap keingintahuan
manusia dan menuntut manusia untuk dapat berprilaku moral secara kritis dan
rasional.
Manfaat Etika
Adapun manfaat etika adalah:
1. Dapat mndorong dan mengajak orang untuk bersikap kritis dan rasional dalam
mengambil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri, yang dapat
dipertanggung jawabkannya (otonom);
2. Dapat mengarahkan masyarakat untuk berkembang menjadi masyarakat yang
tertib, teratur, damai dan sejahtera dengan menaati norma-norma yang berlaku
demi mencapai ketertiban dan kesejahteraan sosial. Hal ini disebut justitia
legalis atau justitia generalis, yaitu keadaan yang menuntut ketaatan setiap
orang terhadap semua kaidah hukum dan kaidah sosial lainnya demi ketertiban
dan kesejahteraan masyarakat (bona communie).

KASUS UNTUK DISKUSI


1. Perusahaan dalam Perusahaan
Joko bekerja di bagian penjualan PT Caraka Jaya yang bergerak di bidang
komputer. Ia sangat disukai pemilik toko karena rajin, sopan, dan luwes
menghadapi pelanggan. Satu siklus penjualan biasanya ditangani sendiri,
mulai dari melakukan negosiasi dengan calon pembeli, pmesan kepada vendor,
menyiapkan pesanan, mengirim pesanan, dan sampai menerima pembayaran
dari pembeli. Suatu hari Joko tidak bekerja karena sakit, seseorang membawa
satu set komputer untuk diperbaiki. Dari dokumen identitas PT Caraka Jaya
yang dibawanya, menujukan bahwa komputer itu baru dua minggu yang lalu
di beli dan tertera nama dan tandatangan jokosebagai pihak yang menyerahkan
barang. Setelah ditelusuri ke catatan penjualan, ternyata tidak ditemukan
adanya transaksi untuk komputer tersebut. Pada laci meja Joko yang kebetulan
tidak dikunci, ditemukan sejumlah bukti transaksi penjualan lain yang juga
tidak ada dalam catatan pembelian maupun penjualan perusahaan. Rupanya
Joko melakukan praktek perusahaan dalam perusahaan.
Pertanyaan:
a. Jelaskan perbedaan antara norma sopan santun dengan norma moral!
b. Demi meningkatkan penerapan etika pada masa mendatang norma mana
yang lebih penting? Mengapa?
c. Apa yang harus dilakukan perusahaan untuk mencegah agar kejadian
tersebut tidak terulang lagi dikemudian hari?
d. Setelah peristiwa ini terungkap, tindakan apa yang sebaiknya dilakukan
joko?
2. Petani Itacha
Di desa-desa nun jauh di sana, di dekat kota Itacha, para petani akan menaruh
sayur sayuran di atas meja di tepi jalan. Apa lagi yang di meja tersebut? Yup!
Sebuah kotak untuk pembayaran. Para pembeli tinggal menggambil sayur-
sayuran yang dikehendaki dan menaruh uang pembayaran di dalam kotak
tersebut. Namun, kotak tersebut tertutup rapat, kecuali lubang untuk
memasukan uang. Dan satu hal lagi, kotak tersebut melekat pada meja,
sehingga tidak bias diangkat. Para petani di sekitar Ithaca mungkin telah
menemukan solusi terbaik mencegah ketidakjujuran. Mereka yakin bahwa
manusia pada dasarnya jujur sehingga cara penjualan seperti itu tetap
menguntungkan, namun mereka juga sadar bahwa bila kotak tersebut tidak
ditutup dan bisa diangkat pergi, cepat atau lambat seseorang pasti yang akan
mengambilnya (Sumber: Jawa Post, 26/06/2006)
Pertanyaan:
a. Apa yang dimaksud engan kejujuran ?
b. Setujukah Anda bahwa manusia pada dasarnya jujur?
c. Apa saja yang telah mendorong manusia untuk bertindak jujur?
d. Dilihat dari dimensi etis, apakah penduduk desa-desa dekat Itacha telah
bersikap otonom atau heteronom? Mengapa?

3. Membantu Istri
Pak Aryadi, 42 tahun, adalah manajer personalia PT Aman Sentosa yang
bergerak di bidang pertekstilan. Dalam janji kerja dengan PT Aman Sentosa
terjantum ketentuan bahwa sebagai manajer ia tidak diperkenankan
mempunyai pekerjaan lagi di tempat lain (extra job). Maksudnya tentu supaya
para manajer tidak “ngobek” ke tempat lain. Gaji yang diberikan PT Aman
Sentosa dianggap cukup tingggi untuk membenarkan peraturan seperti itu. Pak
Aryadi menandatangani perjanjian itu. Istrinya mempunyai suatu usaha eskpor
kecil kecilan, yang berkantor di rumah. Dalam waktu luang Pak Aryadi
membantu istrinya melakukan kegiatan pembukaan dan korespondensi. Ia juga
kadang kadang memakai telepon dan komputer PT Aman Sentosa untuk
keperluan usaha istrinya. Ia menganggap dirinya berhak untuk itu, karena di
rumah juga kadang-kadang memakai telepon dan computer untuk kepentingan
pekerjaannya di PT Aman Sentosa. Sampai saat ini pihak direktur PT Aman
Sentosa belum mengetahui tindakan Pak Aryadi.
Pertanyaan:
a. Apakah secara moral dibenarkan Pak Aryadi membantu pekerjaan istrinya?
b. Mengapa PT Aman Sentosa menetapkan kebijakan yang tidak mengkendaki
manajernya mempunyai pekerjaaan ekstra ?
c. Apakah tindakan Pak Aryadi telah merugikan PT Aman Sentosa?
d. Setujukah Anda bahwa Pak Aryadi memang berhak bertindak seperti itu?
e. Apabila tindakan Pak Aryadi diketahui oleh direktur PT Aman Sentosa, apa
kira-kira resiko yang akan dihadapinya?

Anda mungkin juga menyukai