Anda di halaman 1dari 8

2.

5 Dilema dan Independensi yang Dihadapi Auditor Internal


2.5.1 Dilema yang Dihadapi Auditor Internal
Seperti yang kita ketahui bahwa banyak pihak yang berkepentingan di dalam sebuah
organisasi bisnis. Investor yang menanamkan dananya ke dalam perusahaan atau kreditur yang
meminjamkan dananya, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan
perusahaan tidak terbatas kepada manajemen saja, tetapi meluas kepada investor dan kreditor serta
calon investor dan calon kreditur. Para pihak tersebut memerlukan informasi mengenai
perusahaan, sehingga seringkali ada dua pihak yang berlawanan dalam situasi ini. Di satu pihak,
manajemen perusahaan ingin menyampaikan informasi mengenai pertanggunjawaban pengelolaan
dana yang berasal dari pihak luar, di lain pihak, pihak eksternal ingin memperoleh informasi yang
andal dari manajemen perusahaan. Profesi akuntan timbul untuk memberikan informasi yang
terpercaya bagi kedua belah pihak dalam situasi seperti ini.
Kode etik yang digunakan oleh para profesional beranjak dari bentuk pertanggunjawaban
profesi kepada masyarakat. Akuntan sebagai sebuah profesi juga tidak terlepas dari
pertanggungjawaban kepada masyarakat. Damman (2003) menyatakan bahwa sebenarnya akuntan
di dalam aktivitas auditnya banyak hal yang harus dipertimbangkan, karena dalam diri auditor
mewakili banyak kepentingan yang melekat dalam proses audit (built-in conflict of interest).
Seringkali dalam pelaksanaan aktivitas auditing, seorang auditor berada dalam konflik audit (Tsui,
1996; Tsui dan Gul, 1996).

Konflik ini akan menjadi sebuah dilema etika ketika auditor diharuskan membuat keputusan yang
menyangkut independensi dan integritasnya dengan imbalan ekonomis yang mungkin terjadi di sisi lainnya
(Windsor dan Askhanasy, 1995). Karena auditor seharusnya secara sosial juga bertanggung jawab kepada
masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan kepentingan dan pertimbangan pragmatis pribadi atau
kepentingan ekonomis semata, sehingga seringkali auditor dihadapkan kepada masalah dilema etika dalam
pengambilan keputusannya.
Dilema etika muncul sebagai konsekuensi konflik audit karena auditor berada dalam situasi
pengambilan keputusan yang terkait dengan keputusannya yang etis atau tidak etis. Situasi tersebut
terbentuk karena dalam konflik audit ada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keputusan auditor
sehingga auditor daihadapkan kepada pilihan keputusan etis dan tidak etis.

Konflik dalam sebuah audit akan berkembang pada saat auditor mengungkapkan informasi
tetapi informasi tersebut oleh klien tidak ingin dipublikasikan kepada umum. Konflik ini akan
menjadi sebuah dilema etika ketika auditor diharuskan membuat keputusan yang menyangkut
independensi dan integritasnya dengan imbalan ekonomis yang mungkin terjadi di sisi lainnya
(Windsor dan Askhanasy, 1995). Karena auditor seharusnya secara sosial juga bertanggung jawab
kepada masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan kepentingan dan pertimbangan
pragmatis pribadi atau kepentingan ekonomis semata, sehingga seringkali auditor dihadapkan
kepada masalah dilema etika dalam pengambilan keputusannya.
Dilema etika (ethical dilemma) adalah situasi yang dihadapi oleh seseorang di mana ia
harus mengambil keputusan tentang perilaku yang tepat. Para auditor, akuntan, serta pelaku bisnis
lainnya menghadapi banyak dilema etika dalam karier bisnis mereka. Situasi tersebut terbentuk
karena dalam konflik audit ada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keputusan auditor
sehingga auditor dihadapkan kepada pilihan keputusan etis dan tidak etis. Auditor yang
menghadapi klien yang mengancam akan mencari auditor baru, kecuali bersedia menerbitkan
suatu pendapat wajar tanpa pengecualian, akan mengalami dilema etika bila pendapat wajar tanpa
pengecualian itu tidak tepat.
Dalam tahun-tahun terakhir, telah dikembangkan kerangka kerja formal untuk membantu
orang-orang menyelesaikan dilema etika. Tujuan dari kerangka kerja adalah membantu
mengidentifikasi isu-isu etis dan memutuskan serangkaian tindakan yang tepat dengan
menggunakan nilai dari orang itu sendiri. Pendekatan enam langkah untuk pendekatan alternatif
yag relatif sederhana dalam menyelesaikan dilema etika:
a) Memperoleh fakta yang relevan
b) Mengidentifikasi isu-isu etis berdasarkan fakta tersebut
c) Menentukan siapa yang akan terpengaruh oleh akibat dari dilema tersebut dan
bagaimana setiap orang atau kelompok itu terpengaruhi
d) Mengidentifikasi berbagai alternatif yang tersedia bagi orang yang harus
menyelesaikan dilema tersebut
e) Mengidentifikasi konsekuensi yang mungkin terjadi dari setiap alternatif
f) Memutuskan tindakan yang tepat

Auditor internal diharapkan menerapkan dan menegakkan prinsip-prinsip sebagai berikut:


1. Integritas
Integritas auditor internal membangun kepercayaan dan dengan demikian memberikan dasar untuk landasan
penilaian mereka.
2. Objektivitas
Auditor internal menunjukkan objektivitas profesional tingkat tertinggi dalam mengumpulkan, mengevaluasi, dan
mengkomunikasikan informasi tentang kegiatan atau proses yang sedang diperiksa. Auditor internal membuat
penilaian yang seimbang dari semua keadaan yang relevan dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan
mereka sendiri atau pun orang lain dalam membuat penilaian

3. Kerahasiaan
Auditor internal menghormati nilai dan kepemilikan informasi yang mereka terima dan tidak mengungkapkan
informasi tanpa izin kecuali ada ketentuan perundang-undangan atau kewajiban profesional untuk melakukannya.
4. Kompetensi
Auditor internal menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang diperlukan dalam pelaksanaan
layanan audit internal.
Aturan Perilaku
1. Integritas
Auditor Internal:
1. Harus melakukan pekerjaan mereka dengan kejujuran, ketekunan, dan tanggung jawab.
2. Harus mentaati hukum dan membuat pengungkapan yang diharuskan oleh ketentuan perundang-undangan
dan profesi.
3. Sadar tidak boleh terlibat dalam aktivitas ilegal apapun, atau terlibat dalam tindakan yang memalukan untuk
profesi audit internal atau pun organisasi.
4. Harus menghormati dan berkontribusi pada tujuan yang sah dan etis dari organisasi.
2. Objektivitas
Auditor Internal:
1. Tidak akan berpartisipasi dalam kegiatan atau hubungan apapun yang dapat mengganggu, atau dianggap
dianggap mengganggu, ketidakbiasan penilaian mereka. Partisipasi ini meliputi kegiatan-kegiatan atau
hubungan-hubungan yang mungkin bertentangan dengan kepentingan organisasi.
2. Tidak akan menerima apa pun yang dapat mengganggu, atau dianggap dianggap mengganggu,
profesionalitas penilaian mereka.
3. Harus mengungkapkan semua fakta material yang mereka ketahui yang, jika tidak diungkapkan, dapat
mengganggu pelaporan kegiatan yang sedang diperiksa.
3. Kerahasiaan
Auditor Internal:
1. Harus berhati-hati dalam penggunaan dan perlindungan informasi yang diperoleh dalam tugas mereka.
2. Tidak akan menggunakan informasi untuk keuntungan pribadi atau yang dengan cara apapun akan
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan atau merugikan tujuan yang sah dan etis dari
organisasi.
4..Kompetensi
Auditor Internal:
1. Hanya akan memberikan layanan sepanjang mereka memiliki pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman
yang diperlukan.
2. Harus melakukan audit internal sesuai dengan Standar Internasional Praktik Profesional Audit Internal.
3. Akan terus-menerus meningkatkan kemampuan dan efektivitas serta kualitas layanan mereka.

2.5.2 Independensi Auditor Internal


Independensi merupakan poin penting yang harus disorot dalam definisi internal audit.
Seorang auditor internal harus memiliki sifat independen dan objektif dalam melakukan
pekerjaannya. Independen disini diartikan sebagai kondisi bebas dari situasi yang dapat
mengancam kemampuan aktivitas auditor internal untuk dapat melaksanakan tanggung jawabnya
secara tidak memihak (IIA). Dalam melaksanakan tugasnya seorang auditor internal harus
didukung oleh seluruh manajemen senior dan dewan komisaris agar independensinya dapat
terjaga. Dukungan dari seluruh manajemen dan dewan komisaris dapat membantu auditor internal
dalam melakukan tugasnya dan mengungkapkan pemikirannya sesuai dengan standar audit yang
berlaku.

Independensi berarti bahwa auditor harus jujur, tidak mudah dipengaruhi dan tidak
memihak kepentingan siapapun, karena ia melakukan pekerjaannya untuk kepentingan umum.
Auditor berkewajiban untuk jujur tidak hanya pada manajemen dan pemilik perusahaan, namun
juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan pada pekerjaan auditor tersebut.
Sikap mental independen tersebut meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun independen
dalam penampilan (in appearance).

a) Independen dalam fakta adalah independen dalam diri auditor, yaitu kemampuan
auditor untuk bersikap bebas, jujur, dan objektif dalam melakukan penugasan audit.
Hal ini berarti bahwa auditor harus memiliki kejujuran yang tidak memihak dalam
menyatakan pendapatnya dan dalam mempertimbangkan fakta-fakta yang dipakai
sebagai dasar pemberian independen dalam fakta atauindependen dalam kenyataan
harus memelihara kebebasan sikap dan senantiasa jujur menggunakan ilmunya.
b) Independen dalam penampilan adalah independen yang dipandang dari pihak-pihak
yang berkepentingan terhadap perusahaan yang di audit yang mengetahui hubungan
antara auditor dengan kliennya. Auditor akan dianggap tidak independen apabila
auditor tersebut mempunyai hubungan tertentu (misalnya hubungan keluarga,
hubungan keuangan) dengan kliennya yang dapat menimbulkan kecurigaan bahwa
auditor tersebut akan memihak kliennya atau tidak independen. Oleh karena itu, auditor
tidak hanya harus bersikap bebas menurut faktanya, tapi juga harus menghindari
keadaan-keadaan yang membuat orang lain meragukan kebebasannya

Auditor internal yang professional harus memiliki independensi untuk memenuhi


kewajiban profesionalnya, memberikan opini yang objektif, tidak bias, dan tidak dibatasi, dan
melaporkan masalah apa adanya, bukan melaporkan sesuai keinginan seksekutif atau lembaga.
Auditor internal harus bebas dari hambatan dalam melaksanakan auditnya. Hanya dengan begitu,
auditor internal bisa disebut melaksanakan audit dengan professional.

2.5.2.1 Indikator Independensi Professional

Mautz dan Sharaf, dalam karya terkenal mereka, The Philosophy of Auditng (Filosofi
Audit), memberikan beberapa indicator independensi professional. Indikator tersebut memang
diperuntukkan bagi akuntan public, tetapi konsep yang sama dapat diterapkan untuk auditor
internal yang ingin bersikap objektif. Indikator-indikatornya adalah :

Independensi dalam Program Audit

1. Bebas dari intervensi manajerial


2. Bebas dari segala intervensi atas prosedur audit
3. Bebas dari segala persyaratan untuk penugasan audit selain yang memang disyaratkan
untuk sebuah proses audit.

Independensi dalam Verifikasi

1. Bebas dalam mengakses semua catatan, memeriksa aktiva, dan karyawan yang relevan
dengan audit yang dilakukan
2. Mendapatkan kerja sama yang aktif dari karyawan manajemen selama verifikasi audit
3. Bebas dari segala usaha manajerial yang berusaha membatasi aktivitas yang diperiksa atau
membatasi pemerolehan bahan bukti
4. Bebas dari kepentingan pribadi yang menghambat verifikasi audit

Independensi dalam Pelaporan


1. Bebas dari perasaan wajib memodifikasi dampak atau signifikansi dari fakta-fakta yang
dilaporkan
2. Bebas dari tekanan untuk tidak melaporkan hal-hal yang signifikan dalam laporan audit
3. Menghindari penggunaan kata-kata menyesatkan baik secara sengaja maupun tidak
sengaja dalam melaporkan fakta, opini, dan rekomendasi dalam interpretasi auditor
4. Bebas dari segala usaha untuk meniadakan pertimbangan auditor mengenai fakta atau opini
dalam laporan audit internal

2.5.2.2 Gangguan Terhadap Independensi

Internal auditor perlu mempertimbangkan tiga macam gangguan terhadap independensi,


yaitu gangguan yang bersifat pribadi, gangguan yang bersifat ekstern, dan gangguan yang bersifat
organisasi. Apabila salah satu atau lebih gangguan independensi tersebut mempengaruhi
kemampuan internal auditor secara individu dalam melaksanakan tugasnya secara tidak memihak,
maka internal auditor tersebut harus menolak penugasan.

Menurut Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (2007:25-29) yang mengemukakan tiga


macam gangguan terhadap independensi yaitu:

1) Gangguan Pribadi
gangguan yang disebabkan oleh suatu hubungan dan pandangan pribadi mungkin
mengakibatkan auditor membatasi lingkup pertanyaan dan pengungkapan atau melemahkan
temuan dalam segala bentuknya
Organisasi pemeriksa harus memiliki sistem pengendalian mutu intern untuk membantu
menentukan apakah pemeriksa memiliki gangguan pribadi terhadap independensi. Organisasi
pemeriksa perlu memperhatikan gangguan pribadi terhadap independensi petugas pemeriksanya
.Gangguan pribadi yang disebabkan oleh suatu hubungan dan pandangan pribadi mungkin
mengakibatkan pemeriksa membatasi lingkup pertanyaan dan pengungkapan atau melemahkan
temuan dalam segala bentuknya. Pemeriksa bertanggung jawab untuk memberitahukan kepada
pejabat yang berwenang dalam organisasi pemeriksanya apabila memiliki gangguan pribadi
terhadap independensi. Gangguan pribadi dari auditor secara individu meliputi antara
lain:
a. Memiliki hubungan pertalian darah ke atas, ke bawah, atau semenda sampai dengan
derajat kedua dengan jajaran manajemen entitas atau program yang diperiksa atau sebagai pegawai
dari entitas yang diperiksa, dalam posisi yang dapat memberikan pengaruh langsung dan signifikan
terhadap entitas atau program yang diperiksa. b. Memiliki kepentingan keuangan baik secara
langsung maupun tidak langsung pada entitas atau program yang diperiksa. c. Pernah bekerja atau
memberikan jasa kepada entitas atau program yang diperiksa dalam kurun waktu dua tahun
terakhir. d. Mempunyai hubungan kerjasama dengan entitas atau program yang diperiksa. e.
Terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan obyek pemeriksaan, seperti
memberikan asistensi, jasa konsultasi, pengembangan sistem, menyusun dan/atau mereviu laporan
keuangan entitas atau program yang diperiksa. f. Adanya prasangka terhadap perorangan,
kelompok, organisasi atau tujuan suatu program, yang dapat membuat pelaksanaan pemeriksaan
menjadi berat sebelah. g. Pada masa sebelumnya mempunyai tanggung jawab dalam pengambilan
keputusan atau pengelolaan suatu entitas, yang berdampak pada pelaksanaan kegiatan atau
program entitas yang sedang berjalan atau sedang diperiksa. h. Memiliki tanggung jawab untuk
mengatur suatu entitas atau kapasitas yang dapat mempengaruhi keputusan entitas atau program
yang diperiksa, misalnya sebagai seorang direktur, pejabat atau posisi senior lainnya dari entitas,
aktivitas atau program yang diperiksa atau sebagai anggota manajemen dalam setiap pengambilan
keputusan, pengawasan atau fungsi monitoring terhadap entitas, aktivitas atau program yang
diperiksa. i. Adanya kecenderungan untuk memihak, karena keyakinan politik atau sosial, sebagai
akibat hubungan antar pegawai, kesetiaan kelompok, organisasi atau tingkat pemerintahan
tertentu. j. Pelaksanaan pemeriksaan oleh seorang auditor, yang sebelumnya pernah sebagai
pejabat yang menyetujui faktur, daftar gaji, klaim, dan pembayaran yang diusulkan oleh suatu
entitas atau program yang diperiksa. k. Pelaksanaan pemeriksaan oleh seorang auditor, yang
sebelumnya pernah menyelenggarakan catatan akuntansi resmi atas entitas/unit kerja atau program
yang diperiksa. l. Mencari pekerjaan pada entitas yang diperiksa selama pelaksanaan pemeriksaan.

2) Gangguan Ekstern
Gangguan ekstern bagi organisasi pemeriksa dapat membatasi pelaksanaan pemeriksaan
atau mempengaruhi kemampuan pemeriksa dalam menyatakan pendapat atau simpulan hasil
pemeriksaannya secara independen dan obyektif. Independensi dan obyektifitas pelaksanaan suatu
pemeriksaan dapat dipengaruhi apabila terdapat: apabila terdapat :
Campur tangan atau pengaruh pihak ekstern yang membatasi atau mengubah lingkup pemeriksaan
secara tidak semestinya. b. Campur tangan pihak ekstern terhadap pemilihan dan penerapan
prosedur pemeriksaan atau pemilihan sampel pemeriksaan. c. Pembatasan waktu yang tidak wajar
untuk penyelesaian suatu pemeriksaan. d. Campur tangan pihak ekstern mengenai penugasan,
penunjukan, dan promosi auditor. e. Pembatasan terhadap sumber daya yang disediakan bagi
organisasi auditor, yang dapat berdampak negatif terhadap kemampuan organisasi auditor tersebut
dalam melaksanakan pemeriksaan. f. Wewenang untuk menolak atau mempengaruhi
pertimbangan auditor terhadap isi suatu laporan hasil pemeriksaan.
Gangguan Organisasi
Independensi organisasi pemeriksa dapat dipengaruhi oleh kedudukan, fungsi, dan struktur
organisasinya. Dalam hal melakukan pemeriksaan, organisasi pemeriksa harus bebas dari
hambatan independensi. Pemeriksa yang ditugasi oleh organisasi pemeriksa dapat dipandang
bebas dari gangguan terhadap independensi secara organisasi, apabila melakukan pemeriksaan di
luar entitas tempat ia bekerja.

Anda mungkin juga menyukai