Anda di halaman 1dari 71

BAB I

ETIKA

A. Pengertian Etika
Bartens (1994) menjelaskan, etika berasal dari bahasa Yunani
kuno, ethos dalam bentuk tunggal yang berarti adat kebiasaan, adat
istiadat, akhlak yang baik. Bentuk jamak dari ethos adalah ta etha
artinya adat kebiasaan. Dari bentuk jamak ini terbentuklah istilah
etika yang oleh filsuf Yunani, Aristoteles (484-322 BC) sudah
dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Berdasarkan asal usul
kata ini, maka etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan
atau ilmu tentang adat kebiasaan.
WJS. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia mengemukakan bahwa pengertian etika adalah : Ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). (WJS.
Poerwadarminta, 1986 : 278).
Menurut Verkuyl, perkataan etika berasal dari perkataan
“ethos” sehingga muncul kata-kata ethika. (Rudolf Pasaribu, 1988
: 2).
Perkataan ethos dapat diartikan sebagai kesusilaan, perasaaan
batin atau kecenderungan hati seseorang untuk berbuat kebaikan.
Dr. James J. Spillane SJ mengungkapkan bahwa etika atau
ethics memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku
manusia dalam pengambilan keputusan moral. Etika mengarahkan
atau menghubungkan penggunaan akal budi individual dengan
objektivitas untuk menentukan “kebenaran” atau “kesalahan” dan
tingkah laku seseorang terhadap orang lain. (Budi Susanto (ed) dkk,
1992 : 42).

1
Dalam istilah Latin Ethos atau ethikos selalu disebut dengan
mos sehingga dari perkataan tersebut lahirlah moralitas atau sering
diistilahkan dengan perkataan moral.
Namun demikian, apabila dibandingkan dengan pemakaian
yang lebih luas perkataan etika dipandang sebagai lebih luas dari
perkataan moral, sebab terkadang istilah moral sering dipergunakan
hanya untuk menerangkan sikap lahiriah seseorang yang biasa
dinilai dari wujud tingkah laku atau perbuataannya saja.
Sedangkan etika dipandang selain menunjukkan sikap
lahiriah seseorang juga meliputi kaidah-kaidah dan motif-motif
perbuatan seseorang itu.
Dalam Ensiklopedi pendidikan dijelaskan bahwa, etika
adalah filsafat tentang nilai, kesusilaan, tentang baik dan buruk,
kecuali etika mempelajari nilai-nilai, ia juga merupakan
pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. (Soerganda
Poerbakawatja, 1981 : 82).
Sedangkan dalam kamus istilah pendidikan umum
diungkapkan bahwa etika adalah bagian dari filsafat yang
mengajarkan keseluruhan budi (baik dan buruk). (M. Sastra Pradja,
1981 : 144).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (1988). Etika dirumuskan dalam tiga
arti, yaitu :
(1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang
hak dan kewajiban moral (akhlak);
(2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
(3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan
atau masyarakat.
2
Batrens mengemukakan bahwa urutan tiga arti terebut kurang
kena, sebaiknya arti ketiga ditempatkan di depan karena lebih
mendasar daripada arti pertama dan rumusannya juga bisa
dipertajam lagi.
Dengan demikian, menurut Bartens tiga arti etika dapat
dirumuskan sebagai berikut :
(1) Etika dipandang dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini disebut
juga sebagai “sistem nilai” dalam hidup manusia
perseorangan atau hidup bermasyarakat. Misalnya etika
orang Jawa, etika Agama Budha.
(2) Etika dipandang dalam arti: kumpulan asas atau nilai moral.
Yang dimaksud disini adalah kode etik, misalnya Kode Etik
Advokat Indonesia, Kode Etik Notaris Indonesia.
(3) Etika dipakai dalam arti: ilmu tentang yang baik atau yang
buruk. Arti etika disini sama dengan filsafat moral.

Dihubungkan dengan Etika Profesi Hukum, etika dalam arti


pertama dan kedua adalah relevan karena kedua arti tersebut
berkenaan dengan perilaku seseorang atau kelompok profesi
hukum. Misalnya advokat tidak bermoral, artinya perbuatan
advokat itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku
dalam kelompok profesi advokat. Dihubungkan dengan arti yang
kedua, Etika Profesi Hukum berarti Kode Etik Profesi Hukum.
(Abdulkadir Muhammad, 2006: 14).
Pengertian etika juga dikemukakan oleh Sumaryono, menurut
beliau etika berasal dari istilah bahasa Yunani, ethos yang
mempunyai arti adat istiadat atau kebiasaan yang baik. Bertolak
3
dari pengertian ini kemudian etika berkembang menjadi studi
tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut
ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai
manusia dalam kehidupan pada umumnya. Selain itu etika juga
berkembang menjadi studi tentang kebenaran dan ketidakbenaran
berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak
manusia. (Abdulkadir Muhammad, 2006: 14).
Sedangkan Dr. H. Hamzah Ya’qub dalam bukunya Etika
Islam, merumuskan sebagai berikut: Etika ialah ilmu yang
menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dan
memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat
diketahui oleh akal pikiran. (Hamzah Ya’qub, 1983: 13).
Dalam bahasa Indonesia perkataan etika ini kurang begitu
popular dan lazmnya istilah ini lebih sering dipergunakan dalam
kalangan terpelajar. Kata yang sepadan dengan itu serta lazim
dipergunakan di tengah-tengah masyarakat adalah perkataan
“susila” atau “kesusilaan”. Kesusilaan berasal dari bahasa
Sansekerta, yaitu terdiri dari kata su dan sila. Kata “su” berarti
bagus, indah, cantik. Sedangkan “sila” berarti adab, kelakuan,
perbuatan adab (sopan santun dan sebagainya), akhlak, moral.
Dengan demikian perkataan “susila” atau kesusilaan dapat berarti;
Adab yang baik, kelakuan yang bagus, yaitu sepadan dengan
kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hidup yang ada.
(Suhrawardi K. Lubis, 1993: 2).
Dalam bahasa “agama Islam” itulah etika ini adalah
merupakan bagian dari akhlak. Dikatakan merupakan bagian dari
akhlak, karena akhlak bukanlah sekadar menyangkut perilaku
manusia yang bersifat perbuatan lahiriah saja, akan tetapi mencakup
hal-hal yang lebih luas, yaitu meliputi bidang akidah, ibadah dan
syariah. Karena itu akhlak Islami cakupannya sangat luas yaitu
menyangkut etos, etis, moral dan estetika. Karenanya :
4
a. Etos; yang mengatur hubungan seseorang dengan Khaliknya,
al ma’bud bi haq serta kelengkapan uluhiyah dan rubbubiyah,
seperti terhadap rasul-rasul Allah, Kitab-Nya dan sebagainya.
b. Etis; yang mengatur sikap seseorang terhadap dirinya dan
terhadap sesamanya dalam kegiatan kehidupan sehari-
harinya;
c. Moral; yang mengatur hubungan dengan sesamanya, tetapi
berlainan jenis dan atau yang menyangkut kehormatan tiap
pribadi.
d. Estetika; rasa keindahan yang mendorong seseorang untuk
meningkatkan keadaan dirinya serta lingkungannya, agar
lebih indah dan menuju kesempurnaan. (Suhrawardi K. Lubis,
1993: 3).

B. Sejarah Etika
Secara historis etika sebagai usaha filsafat lahir dari
keambrukan tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2.500
tahun lalu. Karena pandangan-pandangan lama tentang baik dan
buruk tidak lagi dipercaya, para filosof mempertanyakan kembali
norma-norma dasar bagi kelakuan manusia. Tempat pertama kali
disusunnya cara-cara hidup yang baik dalam suatu sistem dan
dilakukan penyelidikan tentang soal tersebut sebagai bagian
filsafat. Menurut Poespoproddjo, kaum Yunani sering mengadakan
perjalanan ke luar negeri itu menjadi sangat tertarik akan kenyataan
bahwa terdapat berbagai macam kebiasaan, hukum, tata kehidupan
dan lain-lainnya. Bangsa Yunani mulai bertanya apakah miliknya,
hasil pembudayaan negara tersebut benar-benar lebih tinggi karena
tiada seorang pun dari Yunani yang akan mengatakan sebaliknya,
maka kemudian diajukanlah pertanyaan mengapa begitu?.

5
Kemudian diselidikinya semua perbuatan dan lahirlah cabang baru
dari filsafat yaitu etika. (Poespoprodjo,1999:18).
Penyelidikan para ahli filsafat tidak banyak memperhatikan
masalah etika. Kebanyakan dari mereka melakukan penyidikan
mengenai alam, misalnya: bagaimana alam ini terjadi? apa yang
menjadi unsur utama alam ini? dan lain -lain. Sampai akhirnya
datang Sophisticians ialah orang yang bijaksana yang menjadi guru
dan tersebar ke berbagai negeri. Socrates dipandang sebagai perintis
ilmu akhlak karena ia pertama berusaha dengan sungguh-sungguh
membentuk perhubungan manusia dengan ilmu pengetahuan. Dia
berpendapat akhlak dan bentuk berhubungan itu tidak menjadi
benar kecuali bila didasarkan ilmu pengetahuan. (Ahmaddamin,
1975: 45).
Faham Antisthense, yang hidup pada 444-370 SM. Ajaranya
mengatakan ketuhanan itu bersih dari segala kebutuhan dan sebaik
-baik manusia itu yang berperangai dengan akhlak ketuhanan. Maka
ia mengurangi kebutuhanya sedapat mungkin, rela dengan sedikit,
suka menanggung penderitaan, dan mengabaikanya. Dia
menghinakan orang kaya, menyingkiri segala kelezatan, dan tidak
peduli kemiskinan dan cercaan manusia selama ia berpegangan
dengan kebenaran. Pemimpin aliran ini yang terkenal adalah
Diogenes, wafat pada 232 SM. Dia memberi pelajaran kepada
kawan-kawannya untuk menghilangkan beban yang dilakukan oleh
ciptaan manusia dan peranannya. (H.A.Mustofa, 1999: 42). Setelah
faham Antisthenes ini, lalu datang Plato (427-437 SM). Ia seorang
ahli Filsafat Athena, yang merupakan murid dari Socrates. Buah
pemikirannya dalam Etika berdasarkan 'teori contoh'. Dia
berpendapat alam lain adalah alam rohani. Di dalam jiwa itu ada
kekuatan bermacam -macam, dan keutamaan itu timbul dari
perimbangan dan tunduknya kepada hukum. (Ahmaddamin, 1975:
47). Pokok -pokok keutamaan itu adalah hikmat kebijaksanaan,

6
keberanian, keperwiraan, dan keadilan. Hal ini merupakan tiang
penegak bangsa -bangsa dan pribadi seperti yang kita ketahui
bahwa, kebijaksanaan itu utama untuk para hakim, keberanian itu
untuk tentara, perwira itu utama untuk rakyat, dan adil itu untuk
semua. Pokok-pokok keutamaan itu memberikan batasan kepada
manusia dalam setiap perbuatannya, agar ia melakukan segala
sesuatu dengan sebaik -baiknya.

C. Tujuan Etika
Tujuan etika adalah sesuatu yang dikehendaki, baik individu
maupun kelompok. Tujuan etika yang dimaksud merupakan tujuan
akhir dari setiap aktivitas manusia dalam hidup dan kehidupannya
yaitu untuk mewujudkan kebahagiaan. Tujuan utama etika yaitu
menemukan, menentukan, membatasi, dan membenarkan
kewajiban, hak, cita-cita moral dari individu dan masyarakatnya,
baik masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat profesi.
Aliran yang sepaham untuk mencapai kebahagiaan adalah aliran
Hedonisme. Aliran ini berpendapat bahwa tujuan akhir dari
kehidupan manusia adalah kesenangan. Semua perbuatan manusia
terarah kepada pencapaian kesenangan. Kesenangan dimaksudkan
sebagai kebahagiaan, tanpa derita dan kebahagiaan terbesar serta
tertinggi. Aristoteles menyebutkan bahwa kebahagiaan yang
sempurna apabila ia telah melakukan kebaikan, seperti
kebijaksanaan yang bersifat penalaran dan kebijaksanaan yang
bersifat kerja. Dengan kebijaksanaan nalar, dapat diperoleh
pandangan-pandangan yang sehat dan dengan kerja dapat
memperoleh keadaan utama yang menimbulkan perbuatan-
perbuatan yang baik. Hal inilah menurut Aristoteles yang menjadi
tujuan dari etika. Al-Ghazali menyebutkan bahwa ketinggian
Akhlak (etika) merupakan kebaikan tertinggi. Kebaikan-kebaikan
dalam kehidupan semuanya bersumber pada empat hal yaitu:
7
1. Kebaikan jiwa , yaitu ilmu, bijaksana, suci diri, berani, dan
adil.
2. Kebaikan dan keutamaan badan. Ada empat macam, yakni
sehat, kuat, tampan, dan usia panjang.
3. Kebaikan eksternal, juga ada empat macam, yaitu harta,
keluarga, pangkat, dan nama baik (kehormatan).
4. Kebaikan bimbingan (Taufik Hipotensih), juga ada empat
macam, yaitu petunjuk Allah, bimbingan Allah, pelurusan,
dan penguatannya, jadi tujuan etika diharapkan untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akherat bagi pelakunya.
Di samping aliran Hedonisme, ada pula aliran yang berpendapat
lain tentang tujuan etika, yaitu aliran Idealisme. Aliran ini
menyatakan bahwa berbuat baik bukanlah didasarkan atas
kehendak mencapai tujuan di luar kebaikan itu, melainkan bahwa
seorang seseorang bertindak seperti itu karena hal tersebut
menurutnya baik. Jadi melakukan suatu keutamaan, karena esensi
dari keutamaan itu sendiri, bukan karena keinginan memperoleh
manfaat atau mudaratnya. Artinya, ada suatu rasa kewajiban untuk
berbuat yang timbul dari diri sendiri. Kant menyebutnya sebagai
“Kategorische Imperative” yaitu sesuatu yang memaksa pada diri
sendiri sebagai perintah yang tak dapat diabaikan. Oleh karena itu,
dibedakan dengan dorongan yang dinamakannya “Hyphotetische
Imperave”, yaitu bila tindakan tersebut ternyata mengabdi pada
suatu tujuan tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
aliran Idealisme mewajibkan orang berbuat baik, lepas dari
pertimbangan laba-rugi yang akan diterima,dan lepas pula dari
pertimbangan ruang dan waktu.

8
D. Fungsi Etika
Etika sebagai suatu ilmu, merupakan salah satu cabang dari
filsafat. Sifat praktis, normatif dan fungsional, sehingga dengan
demikian merupakan suatu ilmu yang langsung berguna dalam
pergaulan hidup sehari-hari. Etika juga dapat menjadi asa dan
menjiwai norma-norma dalam kehidupan, disamping sekaligus
memberikan penilaian terhadap corak perbuatan seseorang sebagai
manusia. I Gede A.B. Wiranata dalam bukunya menuliskan
beberapa pendapat para ahli tentang fungsi etika, di antaranya
adalah rohaniawan Frenz Magnis Suseno, ia menyatakan bahwa
etika berfungsi untuk membantu manusia mencari orientasi secara
kritis dalam kehidupan dengan moralitas yang membingungkan.
Etika adalah pemikiran sistematis dan yang dihasilkannya secara
langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih
mendasar dan kritis. Pengertian ini berlandaskan pemikiran tentang
kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik dan masa
transformasi masyarakat menuju modern, proses perbuatan sosial
berpotensi dan bermoral. Menurut Darji Darmohirharjo yang
dikutip oleh Supradi, menyatakan bahwa etika memberi petunjuk
untuk tiga jenis pertanyaan, yaitu:
1. Apa yang harus aku atau kita lakukan dalam situasi kongkret
yang tengah dihadapinya?
2. Bagaimana kita akan mengatur pola konsistensi kita dengan
orang lain?
3. Berfungsi sebagai pembimbing tingkah laku manusia dalam
mengelola kehidupan ini tidak sampai bersifat tragis.
Ketiga pertanyaan tersebut dapat diintisarikan pada fungsi utama
menurut Magnis Suseno. Dari sini terlihat bahwa etika adalah
pemikiran yang sistematis tentang moralitas, dan yang
dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu
pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Bertitik tolak dari fungsi
etika yang diungkapkan Magnis Suseno, maka apabila etika
berorentasi pada pesan moral, timbul sebuah pertanyaan,
bagaimana dengan peran agama sebagai suatu intstitusi yang
9
mengajarkan mengenai pesan-pesan moral? Menjawab pertanyaan
tersebut, Franz Magnis Suseno menyatakan ada tiga alasan yang
melatarbelakangi fungsi etika, yaitu:
a. Etika dapat membantu dalam menggali rasionalitas moral
agama, seperti mengapa Tuhan memerintahkan suatu
perbuatan.
b. Etika membantu dalam menginterpretasikan ajaran agama
yang saling bertentangan.
c. Etika dapat membantu menerapkan ajaran moral agama
terhadap masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia,
seperti masalah bayi tabung dan euthanasia, yaitu tindakan
mengahiri hidup dengan sengaja terhadap kehidupan
makhluk.

E. Jenis-jenis Etika
1. Etika Umum
Etika umum adalah suatu ilmu yang praktis dengan sesama
yang praktis pula. Ia bukan suatu disiplin yang sudah lengkap
melainkan berkembang terus dengan mengkaji banyak isu
yang sedang diperdebatkan. Namun adanya perbedaan
pendapat mengenai isu-isu bukanlah berarti bahwa etika
seakan-akan tidak mampu menghasilkan sesuatu yang dapat
dimanfaatkan. Etika umum mengembangkan dan
menganalisis bentuk argumentasi moral kehidupan, problem-
problem moral yang dihadapi masyarakat dan perorangan
dalam tulisan yang dimuat dalam berita harian, majalah, atau
ditulis dalam bentuk buku dengan menggunakan bahasa
sehari-hari. Tujuannya adalah menciptakan masyarakat yang
serasi dan selaras. Selain itu, etika umum berbicara mengenai
kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara

10
etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori
etika dan prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi
manusia dalam bertindak serta tolok ukur dalam menilai baik
atau buruknya suatu tindakan.

2. Etika Khusus
Merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam
bidang kehidupan yang khusus, etika khusus dibagi lagi
menjadi dua bagian :

a. Etika Individual
Etika individual ini menyangkut kewajiban dan sikap
manusia terhadap dirinya sendiri. Etika individual
adalah etika yang menyangkut ekstisensi manusia
secara pribadi atau manusia inperson. Etika ini
mengharapkan tatanan etika dalam kaitan manusia
mandiri.

b. Etika Sosial
Etika sosial menyangkut kepada kewajiban, sikap, dan
pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.
Etika sosial menyangkut perhubungan sosial manusia
satu dengan yang lainnya dalam suatu komunitas
kelompok dan kelembagaan (keluarga, masyarakat,
hingga setruktur organisasi masyarakat modern, yaitu
negara) secara bersama atau manusia in communal. Ia
mengajak manusia tidak hanya dalam karakteristik
kepentingan perseorangan, tetapi juga kepentingan
bersama, yaitu terciptanya kebahagiaan dan
kesejahteraan umum, sekaligus lebih menggugah
manusia sebagai makhluk sosial akan adanya tanggung
jawab moral dalam kehidupan manusia secara bersama
dalam segala dimensinya. Tujuan dan fungsi etika
sosial pada dasarnya untuk menggugah kesadaran akan
11
tanggung jawab sebagai manusia dalam kehidupan
bersama dalam segala dimensinya. Etika sosial
mengajak untuk tidak hanya melihat segala sesuatu dan
bertindak dalam kerangka kepentingan saja, yaitu
kesejahteraan dan kebahagian bersama.

Perlu diperhatikan bahwa etika individual dan etika


sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain dengan
tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri
dan sebagai anggota umat manusia saling berkaitan.

Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan


manusia baik secara langsung maupun secara
kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap
kritis terhadap pandangan-pandangan dunia dan
idiologi-idiologi maupun tanggung jawab umat
manusia terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian
luasnya lingkup dari etika sosial, maka etika sosial ini
terbagi atau terpecah menjadi banyak bagian atau
bidang. Pembahasan bidang yang paling aktual saat ini
adalah sebagai berikut :
1) Sikap terhadap sesama
2) Etika keluarga
3) Etika profesi
4) Etika politik
5) Etika lingkungan
6) Etika idiologi

3. Etika Perangai
Etika perangai adalah adat istiadat atau kebiasaan yang
menggambarkan perangai manusia dalam hidup
bermasyarakat di daerah-daerah tertentu. Pada waktu tertentu

12
pula. Etika perangai tersebut diakui dan berlaku karena
disepakati masyarakat berdasarkan hasil penilaian perilaku.
Contoh etika perangai adalah :
a. Berbusana adat
b. Pergaulan muda-mudi
c. Perkawinan semenda
d. Upacara adat

4. Etika Moral
Etika moral berkenaan dengan kebiasaan berperilaku baik dan
benar berdasarkan kodrat manusia. Apabila etika ini dilanggar
timbulah kejahatan, yaitu perbuatan yang tidak baik dan tidak
benar. Kebiasaan ini berasal dari kodrat manusia yang disebut
moral. Contoh etika moral adalah :

a. Berkata dan berbuat jujur


b. Menghargai hak orang lain
c. Menghormati orang tua atau guru
d. Membela kebenaran dan keadilan
e. Menyantuni anak yatim / piatu

Etika moral ini terwujud dalam bentuk kehendak manusia


berdasarkan kesadaran dan kesadaran adalah suatu hati
nurani. Dalam kehidupan manusia selalu dikehendaki yang
baik dan benar. Karena ada kebebasan kehendak, maka
manusia bebas memilih antara yang baik dan tidak baik,
antara yang benar dan tidak benar. Dengan demikian, dia
mempertanggungjawabkan pilihan yang telah dibuatnya itu.
Kebebasan kehendak mengarahkan manusia untuk berbuat

13
baik dan benar. Apabila manusia melakukan pelanggaran
etika moral, berarti dia berkehendak melakukan kejahatan,
dengan sendirinya pula berkehendak untuk dihukum. Dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara nilai moral dijadikan
dasar hukum positif yang diciptakan oleh penguasa.

5. Etika Deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap
dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang
dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya etika
deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa
adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai
suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang
membudaya. Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan
dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu
masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu
memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.

6. Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal
dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang
seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang
bernilai dalam hidup ini. Jadi etika normatif merupakan norma-
norma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara
baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan
kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat

14
F. Aliran-aliran dalam Etika
1. Hedonisme
Hedonisme berasal dari bahasa Yunani hedone, yang berarti
kesenangan, pleasure. Istilah ini mula-mula digunakan oleh
Jeremy Bentham pada tahun 1781. Prinsip aliran ini
menganggap bahwa sesuatu itu dianggap baik, sesuai dengan
kesenangan yang didatangkannya. Dalam bahasa Yunani,
disebut hedone dari kata istilah hedonism. Usaha ini
terungkap dalam sikap menghindari dari rasa sakit, dan secara
positif usaha ini terungkap dalam sikap mengejar apa saja
yang menimbulkan rasa nikmat. Namun tidak sekedar
menetapkan kenyataan kejiwaan ini, melainkan juga
berpendapat bahwa kenikmatan benar-benar merupakan
kebaikan yang paling berharga atau yang paling tertinggi bagi
manusia, sehingga dengan demikian baik baginya untuk
mengusahakan kenikmatan. Hedonisme secara paling jelas
menyingkapkan sikapnya ketika mengajarkan bahwa
kenikmatan adalah berharga, sehingga yang penting bukanlah
sifat kenikmatannya, melainkan semata-mata jumlah jumlah
bagi manusia yang bersangkutan. Dalam menyikapi
kebahagiaan tersebut, aliran ini memandang dari tiga aspek,
yaitu:
a. Aliran Hedonisme Individualistik
Aliran ini melihat kebahagiaan, yang dimaksudkan
disini adalah kebahagiaan yang bersifat individualistis,
bahwa manusia hendaknya harus mencari kebahagiaan
diri sepuas-puasnya, dan mengorientasikan seluruh
sikap dan perilakunya untuk mencapai kebahagiaan.
Aliran ini berpendapat, jika suatu keputusan baik bagi
15
pribadinya, maka disebut baik, dan sebaliknya, apabila
keputusan itu tidak baik bagi pribadinya, maka itulah
yang buruk.

b. Rasionalistik Hedonisme
Aliran ini berpendapat, bahwa kebahagiaan atau
kelezatan individu itu haruslah berdasarkan
pertimbangan akal sehat.

c. Universalistic Hedonisme
Menurut orang yang menganut paham ini, tolok ukur
kebahagiaan bukanlah dari ukuran kebahagiaan diri
sendiri (individu), tapi patokannya adalah kebahagiaan
setiap orang (universal).

2. Intuisionisme
Berasal dari kata intuition yang berarti bisikan hati, ilham.
Bisikan hati adalah kekuatan batin yang dapat
mengidentifikasi apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk
tanpa terlebih dahulu melihat akibat yang ditimbulkan
perbuatan itu itu. Pada dasarnya, aliran ini merupakan
bantahan terhadap hedonisme. Tujuan utama dari aliran ini
adalah keutamaan, keunggulan, keistimewahan yang dapat
juga diartikan sebagai kebaikan budi pekerti. Dari segi ilmiah,
cara ini sulit dijabarkan karena sifatnya seperti spekulatif.
Namun sejumlah ahli psikologi membenarkan, bahwa intuisi
itu ada, dan cara kerjanya adalah tidak dapat dirumuskan atau
diperagakan secara kongkret. Secara umum intuisionisme
16
adalah aliran yang mengajarkan bahwa dalam hidup ada
kebenaran-kebenaran pokok yang dapat diketahui dan
dipahami secara langsung dan tanpa lewat proses logika.
Dalam etika, intuisionisme adalah pendirian etis yang
menyatakan bahwa prinsip-prinsip fundamental tentang yang
benar dan yang salah serta yang baik dan yang jahat dapat
diketahui dan dimengerti dengan langsung dan tanpa
menggunakan otak.

3. Evolusi
Teori evolusi berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada di
alam ini selalu (secara berangsur) mengalami perubahan yaitu
berkembang menuju kesempurnaan. Filsuf Herbert Spencer
(1820-1903) seorang filsuf Inggris, mengemukakan bahwa
perbuatan etika tumbuh secara sederhana, kemudian dengan
berlakunya (evolusi) akan menuju menuju cita-cita, dan cita-
cita inilah yang disebut sebagai tujuan. Yang menjadi pokok
utama cita-cita manusia adalah untuk meraih kesenangan dan
kebahagiaan, sedangkan kesenangan dan kebahagiaan akan
selalu berkembang sesuai dengan situasi mengikuti
perkembangan masyarakat. Jadi, tidak ada standar baku yang
dapat dijadikan patokan nilai. Dengan mengadopsi teori
Darwin, dalam bukunya The Origin Of Species
mengemukakan beberapa patokan di dalam terjadinya suatu
evolusi, yaitu:
a. Selection of nature, alam selalu mengadakan
penyeleksian terhadap segala sesuatu yang berwujud.
b. Struggle for life, usaha untuk memperjuangkan hidup,
dan berupaya mengenyahkan segala tantangan yang
menghadang
17
c. Survival for the fittest, berhak untuk hidup adalah bagi
yang telah lolos dari perjuangan hidup. Alexander
mengungkapkan bahwa nilai moral harus selalu
berkompetisi dengan nilai yang lainnya, bahkan dengan
segala yang ada di alam ini, dan nilai moral yang
bertahanlah (tetap) yang dikalahkan oleh yang baik, dan
(kalah dengan perjuangan antar nilai) dipandang
sebagai buruk.

4. Eudomonisme
Berasal dari kata eudemonia, yang secara harfiah berarti
mempunyai roh pengawal yang baik, artinya beruntung.
Dengan demikian, mula-mula mengacu pada keadaan
lahiriah. Kemudian lebih dititikberatkan pada suasana
batiniah dan demikian mempunyai arti bahagia. Kata ini
mempunyai arti senang terhadap diri sendiri maupun
lingkungan sebagai akibat pengetahuan penyelarasan hati.
Arti bahagia disini tidak sama dengan istilah yang ditawarkan
karena lebih di titik beratkan pada segi rasa. Orang yang telah
mencapai tingkat eudemonia mempunyai keinsyafan akan
kepuasan yang sempurna, baik secara jasmani maupun
rohaninya. Eudomonisme merupakan salah satu etika yang
paling tersebar luas. Aliran ini dapat mengambil dari
beberapa bentuk, demikian juga eudemonisme keagamaan,
yang mengajarkan agar manusia mempersatukan dengan
Tuhan demi kebahagiaan yang dapat diberikannya. Prinsip
pokok eudemonisme adalah kebahagiaan bagi diri sendiri dan
kebahagiaan bagi orang lain.
Menurut Aristoteles, untuk mencapai eudemonia ini
diperlukan empat hal yaitu:

18
a. Kesehatan, kebebasan, kemerdekaan, kekayaan dan
kekuasaan
b. Kemauan
c. Perbuatan baik
d. Pengetahuan batiniah

5. Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani, pragmatikos, yang
dalam bahasa latin menjadi pragmaticus, arti harfiahnya
adalah cakap dan berpengalaman dalam urusan, perkara
negara, dan dagang. Dalam bahasa inggris menjadi
pragmatic, yang artinya berkaitan dengan hal-hal praktis, atau
sejalan dengan aliran filsafat. Sebagai aliran filsafat,
berpendapat bahwa pengetahuan dicari bukan sekedar untuk
tahu demi tahu, melainkan untuk mengerti masyarakat dan
dunia. Pragmatisme lebih memprioritaskan tindakan daripada
pengetahuan dan ajaran. Oleh karena itu, prinsip untuk
menilai pemikiran, gagasan, teori, kebijakan, pernyataan
tidak cukup hanya berdasarkan logisnya dan bagusnya
rumusan tersebut, tetapi berdasarkan dapat-tidaknya
dibuktikan, dilaksanakan, dan mendatangkan hasil. Dengan
demikian, menurut kaum pragmatis, otak berfungsi sebagai
pembimbing perilaku manusia. Aliran ini menitik beratkan
pada hal-hal yang berguna dari diri sendiri, baik yang bersifat
moral maupun material. Umumnya penganut aliran ini tidak
peduli kepada diri orang lain, ia berpedoman kepada hal-hal
yang bersifat empiris. Yang menjadi titik beratnya adalah
pengalaman, oleh karena itu penganut aliran ini tidak
mengenal istilah kebenaran sebab kebenaran bersifat abstrak

19
dan tidak akan diperoleh dalam dunia empiris. Sikap kaum
pragmatis ini ditentang oleh kaum teoritikus dan kaum
intelektual, serta dicap dangkal tak mau berfikir mendalam,
anti kegiatan spekulatif dan intelektual. Namun, pada
tingkatnya, baik secara umum maupun secara khusus
dibidang etis telah menyumbangkan sesuatu, yaitu
menekankan kesederhanaan, kemudahan, kepraktisan,
dampak positif langsung dan manfaat. Di bidang etis ini,
sumbangan pragmatisme terletak pada tekanannya pada
praktek ajaran dan prinsip etis, serta perubahan perilaku yang
dihasilkan. Sumbangan pemikiran pragmatis dibidang etis ini
sangat mencuat pentingnya di dalam masyarakat yang
cenderung memisahkan antara kata dan perbuatan, yang
mudah berlaku munafik, dan yang hidup etisnya beku tidak
membawa peningatan secara kualitatif.

6. Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan
eksistensi. Dalam bidang etika, karena hidup ini terbuka,
kaum eksistensialis memegang kemerdekaan sebagai norma.
Bagi mereka manusia mampu menjadi seoptimal mungkin.
Untuk menyelesaikan proyek hidup itu, kemerdekaan mutlak
diperlukan, segala tata tertib, peraturan, tidak menjadi bahan
pertimbangan. Sebagai gantinya, yang menjadi pegangan
mereka adalah tanggung jawab pribadi dan siap menanggung
segala konsekuensi yang dari masyarakat, negara, atau
lembaga agama. Satu-satunya yang diperhatikan adalah
situasi. Etika eksistensialisme ini berpandangan bahwa
eksistensi (keberadaan) diatas dunia selalu terkait pada
keputusan-keputusan individu, maksudnya individu itulah
yang menetapkan keberadaannya yang berwujud keputusan,
20
andaikan individu itu tidak mengambil suatu keputusan maka
pastilah tidak ada yang terjadi. Adapun yang menjadi ukuran
baik dan buruk menurut paham ini adalah truth is subjective
ity atau kebenaran terletak pada pribadi, dengan sendirinya
apabila keputusan itu baik bagi pribadinya, maka disebut
baik, dan apabila keputusan tidak baik bagi pribadinya, maka
itu yang buruk. Segi positif yang sekaligus merupakan
kekuatan dan potensi adalah pandangan tentang hidup, sikap
dalam hidup, penghargaan atas peran situasi, penglihatannya
tentang hidup masa depan.

7. Gessingnungsethink
Aliran ini di prakarsai oleh Albert Schweitzer, seorang ahli
teolog, musik, filsuf, dan etika. Yang terpenting menurut
aliran ini adalah penghormatan akan kehidupan, yaitu sedapat
mungkin setiap makhluk harus saling menolong dan berlaku
baik. Ukuran kebaikannya adalah pemeliharaan akan
kehidupan, dan yang buruk adalah setiap usaha yang
berakibat kebinasaan dan menghalang-halangi hidup.

8. Stoisisme
Aliran ini merupakan salah satu bentuk tertentu dari
eudemonissme. Dalam sikap ini, sekali lagi tujuan hidup
dipandang terletak pada kebahagiaan, tulisan terkenal dari
Seneca, salah satu tokoh aliran ini adalah De Vita Beata
(mengenai hidup dalam kebahagiaan surgawi). Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka manusia harus menggunakan
akalnya, artinya menggunakan pikirannya. Jika manusia
melakukan hal ini, maka hanya sedikit sekali perubahan yang

21
dapat dilakukannya terhadap jalannya peristiwa-peristiwa
karena itu adalah bijaksana jika orang menyesuaikan diri
dengan perjalanan alami peristiwa-peristiwa, menerimanya
sebagai sesuatu yang tidak terelakan dan tidak
menggantungkan kebahagiaannya kepada hal-hal tersebut.
Artinya, manusia harus menemukan kebahagiaan dan
kedamaian dalam dirinya sendiri. Hal ini dapat terjadi, jika
manusia dalam menghadapi dirinya sendiri menggunakan
akalnya serta menguasai perasaannya.

9. Utilitarisme
Nama ini dijabarkan oleh kata latin utilis, bahasa inggrisnya
utilitarisme, yang berarti bermanfaat, berguna, berfaedah, dan
menguntungkan. Utilitarisme mengatakan bahwa ciri
pengenal kesusilaan adalah manfaat suatu perbuatan. Suatu
perbuatan dikatakan baik, jika membawa bermanfaat,
dikatakan buruk jika mendatangkan mudarat. Utilitarisme
tampil sebagai pendirian yang agak bersahaja mengenai
hidup. Utilitarisme pertama kali tampil pada ajaran seorang
tokoh Inggris, Jeremy Bentham (1742M- 4832 M).
Menurutnya, perbuatan manusia digerakan oleh kemanfaatan
dan kerugian, yang menurut dugaannya, disebabkan oleh
perbuatan tersebut, pertama-tama bagi diri sendiri secara
umum dikatakan bahwa, sesuatu dapat dikatakan bermanfaat
jika memberikan kebaikan kepada kita atau menghindarkan
keburukan dari kita. Bentham menyamakan kebahagiaan
dengan kenikmatan, dan kesenangan dengan kepedihan.
Betham menyamakan kebahagiaan dengan kenikmatan, dan
kesengsaraan dengan kepedihan menurutnya, pengalaman
yang utama, yaitu bahwa manusia mengejar kenikmatan dan
menghindari kepedihan. Banyak orang yang merasa tidak
22
puas dengan Bentham, mereka menghendaki agar arti serta
hak masyarakat lebih mendapat perhatian kemudian gagasan
tersebut dikembangkan oleh John Stuart Mill (1806 M-1873
M). Mill melanjutkan ajaran Benthamm, Mill hendak
mendasarkan teorinya pada pengalaman. Berdasarkan teori
yang dikembangkannya, Mill menegaskan bahwa yang
terbaik ialah The desireto be in unity with our fellowmen
(keinginan untuk bersatu dengan manusia).

10. Marxisme
Ajaran marxisme didasarkan atas Dialectical yaitu segala
sesuatu yang ada dikuasai oleh keadaan material dan keadaan
material pun juga harus mengikuti jalan dialektika itu orang-
orang yang bersifat materialis memandang bahwa jalan
revolusi disejajarkan dengan jalan reaksi, dengan tujuan
untuk mengejar masyarakat yang setaraf dan bebas. Aliran ini
memegang motto, segala sesuatu jalan dapatlah dibenarkan
asalkan saja jalan dapat ditempuh untuk mencapai sesuatu
tujuan. Jadi, apapun dapat dipandang baik asalkan dapat
menyampaikan kepada tujuan.

11. Vitalisme
Istilah ini dijabarkan dari kata latin vita, yang berarti
kehidupan. Istilah tersebut mengacu kepada etika yang
memandang kehidupan sebagai kebaikan tertinggi, yang
mengajarkan bahwa perilaku yang baik ialah perilaku yang
menambah potensi hidup, perilaku yang buruk ialah berlaku
yang mengurangi bahkan merusak potensi hidup. Vitalisme
tidak hanya terdapat dibidang etika, melainkan sering

23
berkembang menjadi kefilsafatan yang lengkap yang disebut
filsafat kehidupan. Aliran ini terdiri dari dua kelompok, yaitu:

a. Vitalisme Pessimistis
Menurut aliran ini, manusia dilahirkan adalah celaka,
dikatakan celaka karena ia dilahirkan dan hidup. Lahir
dan hidup manusia tidak berguna, dan faham vitalisme
pessimistisme mengungkap akan homo homini lopus
artnya, manusia adalah serigala bagi manusia yang lain.
b. Vitalisme Optimistime
Menurut aliran ini, hidup atau kehidupan adalah berarti
pengorbanan diri, oleh karena itu mereka berpandangan
bahwa hidup yang sejati adalah kesedihan dan kerelaan
untuk melibatkan diri dalam setiap kesusahan. Menurut
paham ini, yang paling baik ialah segala sesuatu yang
menimpa manusia untuk menjadi berkuasa. Menurut
mereka gagasan yang paling baik adalah gagasan yang
revolusioner, dan gerakan yang mempergunakan
kekuatan, yang diistilahkan dengan spontan dinamik
terutama sekali dalam merebut kekuasaan. Oleh karena
itu, menurut aliran ini, perang adalah halal, sebab yang
menang akan memegang kekuasaan. Tokoh terpenting
aliran ini adalah F. Niettsche, dia banyak memberikan
pengaruh terhadap tokoh revolusioner seperti Adolf
Hitler.

12. Idealisme
Pengertian idealisme meliputi sejumlah besar idealism serta
aliran kefilsafatan yang memperlihatkan perbedaan-
perbedaan yang besar antara yang satu dengan yang lain. Ciri

24
pengenal umum yang menunjukkan kesamaan adalah
semuanya mengajarkan tentang pentingnya jiwa atau roh.
Menurut idealisme, menusia pada dasarnya merupakan
makhluk rohani, paham ini memandang tinggi terhadap
manusia dan biasanya menunjukan rautan-rautan idealisme.
Karena didalam idealisme sendiri terdapat perbedaan-
perbedaan yang besar, maka ditinjau dari sudut etika juga
tidak merupakan kesatuan. Dalam hal ini, terdapat
pengelompokan-pengelompokan yang didasarkan atas tujuan
yang hendak dicapai dan perbedaan dalam kemampuan
rohani yang diutamakan, yaitu:

a. Idealisme Rasionalistik
Orang dapat berbicara tentang etika rasionalistik, bila
diterima pendirian bahwa dengan menggunakan pikiran
dan akal manusia berusaha mengenal norma-norma
bagi perilakunya, dan dengan demikian dapat sampai
pada pemahaman tentang mana yang baik dan mana
yang buruk. Etika rasionalistik memberikan gambaran
seolah-olah tujuan yang ditetapkannya diperoleh secara
akali, padahal dalam kenyataannya diperoleh dengan
jalan lain. Dalam prakteknya, biasanya tujuan yang
ditetapkan berupa manfaat, kebahagiaan atau
kenikmatan, sehingga etika ini bermuara pada
utilitarisme, eudemonisme atau hedonisme.

b. Idealisme Estetik
Aliran ini berusaha mendekatkan perbuatan susila pada
seni. Para penganutnya sangat menghargai seni,
khususnya keindahan, dan menganggap pemberian
bentuk estetik sebagai hal yang sangat penting. Tapi,
ciri pengenal estetisme adalah pendirinya bahwa dunia,
kehidupan manusia dipandang sebagai karya seni. Pada
umumnya estetisme mewakili pendapat bahwa manusia
serba selaras. Etika estetik ini juga menganjurkan
25
memberikan bentuk yang selaras kepada hal-hal yang
lain. Tetapi untuk dapat mengerjakannya harus
dilandasi motif-motif, yang tidak sesuai dengan ajaran
ini. Etika estetisme dalam kenyataannya sering dengan
mudah berubah menjadi eudeminisme bahkan
hedonisme, dengan segala keberatan yang melekat pada
aliran-aliran tersebut.

c. Idealisme Etika
Aliran ini mengakui adanya lingkungan norma-norma
moral yang berlaku bagi manusia dan yang menuntut
manusia untuk mewujudkannya. Dan perwujudan itu
hanya dapat terjadi dengan kerja keras, serta
pengorbanan dan karenanya hanya sebagian yang
berhasil. Tapi usaha yang bersungguh-sungguh sudah
memberikan makna kehidupan, karena yang utama
menurut aliran ini adalah usahanya, bukan berhasil atau
tidaknya. Ditinjau dari segi etika, bentuk idealisme
mempunyai keberatan-keberatan yang paling sedikit.

13. Tradisionalisme
Berasal dari kata tradition, yang berarti kebiasaan, adat
istiadat. Menurut aliran ini, sesuatu yang susila atau tidak
susila dinilai dari segi kebiasaan atau adat istiadat yang
berlaku dalam masyarakat itu. Proses terjadinya pola tradisi
ada beberapa jalan, yaitu:
1) Faktor kebutuhan
2) Secara kebetulan
3) Berpangkal dari dongeng

26
BAB II
PROFESI DAN PROFESI HUKUM

A. Pengertian Profesi
Istilah profesi, profesional, profesionalisme sudah sangat
sering dipergunakan baik dalam percakapan sehari-hari maupun
dalam berbagai tulisan di media masa, jurnal ilmiah, atau buku teks.
Akan tetapi, arti yang diberikan pada istilah-istilah tersebut cukup
beragam. (Sukrisno Agoes dan I Cenik Ardana, 2009: 121). Sering
kali kata tersebut dipakai untuk menunjuk kepada suatu pekerjaan
tetap. Apabila seseorang itu melakukan pelacuran sebagai satu-
satunya pekerjaan untuk memperoleh nafkah, maka melacur itu
adalah sebuah profesi, walaupun kata-kata itu hanya sebuah iritasi,
karena melacur bukanlah pekerjaan yang pantas dan dianggap
sebagai suatu pekerjaan yang buruk dalam masyarakat yang
beradab. (Dawam Rahardjo, 1999: 294). Oleh karena itulah, maka
pengertian profesi dibuat menjadi lebih khusus. Suatu profesi
adalah pekerjaan yang memang memerlukan keahlian-keahlian
tertentu, yaitu ketrampilan yang mendasarkan diri pada
pengetahuan teoritis dan sesuai dengan kaidah tingkah laku (kode
etik). Sudah tentu pengetahuan itu harus diperoleh dari suatu proses
pendidikan dan latihan. (Dawam Rahardjo, 1999: 295). Untuk
memahami beragamnya pengertian profesi, profesional, dan
profesionalisme tersebut, Sukrisno Agoes dan I Cenik Ardana
mengutip beberapa definisi dari berbagai sumber diantaranya:
1. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan sebagai berikut:
“Profesi: bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan
keahlian (ketrampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu.”
“Profesional: (a) bersangkutan dengan profesi;
(b) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya;
27
(c) mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya).
“Profesionalisme: merupakan ciri suatu profesi atau orang
yang professional. ”(Departemen Pendidikan Nasional,
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, 2014: 1104)
2. Hidayat Nur Wahid dalam Economics, Business, Accounting
Review, edisi II/ April 2006: “Profesi adalah sebuah pilihan
yang sadar dilakukan oleh seseorang, sebuah pekerjaan yang
secara khusus dipilih, dilakukan dengan konsisten, kontinu
ditekuni, sehingga orang bisa menyebut kalau dia memang
berprofesi di bidang tersebut. Sedangkan profesionalisme
yang memayungi profesi tersebut adalah semangat,
paradigma, spirit, tingkah laku, ideologi, pemikiran, gairah
untuk terus menerus secara dewasa, secara intelek
meningkatkan kualitas profesi mereka. (Sukrisno Agoes dan
I Cenik Ardana, 2009: 121).
3. Menurut Kanter (2011): “Profesi adalah pekerjaan dari
kelompok terbatas orang-orang yang memiliki keahlian
khusus yang diperolehnya melalui training atau pengalaman
lain, atau diperoleh melalui keduanya sehingga penyandang
profesi dapat membimbing atau memberi nasehat/saran atau
juga melayani orang lain dalam bidangnya sendiri.”
4. Menurut Sonny Keraf (1998): “Profesi adalah pekerjaan yang
dilakukan sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan
keahlian dan ketrampilan yang tinggi dan dengan melibatkan
komitmen pribadi (moral) yang mendalam. Dengan
demikian, orang yang profesional adalah orang yang
menekuni pekerjaannya dengan purna-waktu, dan hidup dari
pekerjaan itu dengan mengandalkan keahlian dan ketrampilan
yang tinggi serta punya komitmen pribadi yang mendalam
atas pekerjaannya itu.”

28
5. Menurut Brooks (2004): “... It is a combination of features,
duties, and rights all framed within a set of common
professional values-values that determine how decisions are
made and actions are taken”. Kalau diterjemahkan secara
bebas kurang lebih dapat diartikan: “Profesi adalah suatu
kombinasi fitur, kewajiban dan hak yang kesemuanya
dibingkai dalam seperangkat nilai-nilai profesional yang
umum, nilai-nilai yang menentukan bagaimana keputusan
dibuat dan bagaimana tindakan dilaksanankan... .”
6. Definisi yang sangat sederhana tetapi amat jelas diberikan
oleh Prof. Dr. Widjojo Nitisastro (dalam Hans Kartikahadi:
Jurnal Economics, Business, Accounting Review, Edisi
II/April 2006) sebagai berikut: “Seorang professional akan
selalu mempersoalkan (concern) apakah karyanya sesuai
dengan kaidah yang berlaku.” Dari definisi yang diberikan
oleh Widjojo Nitisastro dapat dipetik intisari dari pengertian
profesi adalah sebagai berikut:
a). Karyanya berarti hasil karya (hasil pekerjaan) dari
seorang professional.
b). Kaidah berarti pedoman, aturan, norma, asas. Dalam
kaitannya dengan profesi, diperlukan minimal tiga
unsur kaidah, yaitu: kaidah pengetahuan (keilmuan),
kaidah ketrampilan (teknis), dan kaidah tingkah laku
(sering disebut kode etik). (Sukrisno Agoes dan I Cenik
Ardana, 2009: 122).

Secara etimologi profesi berasal dari istilah bahasa Inggris:


profession atau bahasa Latin: profecus, yang artinya mengakui,
pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melaksanakan
pekerjaan tertentu. (Rusman, 2011: 15).
29
Graham Cheetham, G. E. Chivers menerangkan definisi
profesi adalah : “A vocation or calling, especially one that involved
some branch of advanced learning or science.” Sebuah panggilan
atau panggilan, terutama yang melibatkan beberapa cabang belajar
lanjut atau ilmu pengetahuan. Suatu pekerjaan atau panggilan yang
membutuhkan pelatihan, seperti dalam hukum, teologi, dan ilmu.
(Made Pidarta, 2007: 284)
Secara terminologi, (Rusman, 2011: 19), profesi dapat
diartikan sebagai suatu pekerjaan yang mempersyaratkan
pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan
mental, bukan pekerjaan manual. Kemampuan mental yang
dimaksudkan di sini adalah adanya persyaratan pengetahuan teoritis
sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis. Merujuk
pada definisi ini, pekerjaan-pekerjaan yang menuntut keterampilan
manual atau fisikal, meskipun levelnya tinggi, tidak digolongkan
dalam profesi. Dengan demikian, tidak muncul organisasi profesi,
seperti Ikatan Tukang Semen Indonesia, Ikatan Tukang Jahit
Indonesia, Ikatan Pengayam Rotan Indonesia, dan sebagainya.
Bandingkan dengan Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Guru
Republik Indonesia, Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia, dan
sebagainya.

Ada tiga pilar pokok yang ditunjukkan untuk suatu profesi,


yaitu pengetahuan, keahlian, dan persiapan akademik. Pengetahuan
adalah segala fenomena yang diketahui yang disistematisasikan
sedemikian rupa sehingga memiliki daya prediksi, daya kontrol,
dan daya aplikasi tertentu. Pada tingkat yang lebih tinggi,
pengetahuan bermakna kapasitas kognitif yang dimiliki oleh
seseorang melalui proses belajar. Keahlian bermakna penguasaan
substansi keilmuan, yang dapat dijadikan acuan dalam bertindak.
Keahlian juga bermakna kepakaran dalam cabang ilmu tertentu
untuk dibedakan dengan kepakaran lainnya. Persiapan akademik
mengandung makna bahwa untuk mencapai derajat profesional atau
memasuki jenis profesi tertentu, diperlukan persyaratan pendidikan
30
khusus pada lembaga pendidikan formal, khususnya jenjang
perguruan tinggi (UU Guru dan Dosen).

Selanjutnya disebut Rusman dengan mengutip pendapat


Martinis Yamin (2007), “Profesi mempunyai pengertian seseorang
yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan,
tehnik, dan prosedur berlandaskan intelektualitas.”

Pengertian lain dari Uzer Usman (1992), profesional adalah


“suatu pekerjaan yang bersifat profesional memerlukan beberapa
bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian
diaplikasikan bagi kepentingan umum.” Kata profesional itu sendiri
berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian dan sebagai kata
benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian seperti guru,
dokter, hakim, dan sebagainya. Dengan kata lain, pekerjaan yang
bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan
oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan
pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat
memperoleh pekerjaan lain

B. Kriteria Profesi
Suatu pekerjaan disebut sebagai suatu profesi jika pekerjaan
tersebut meliputi bidang tertentu, mengutamakan kemampuan fisik
dan intelektual, bersifat tetap dengan tujuan memperoleh
pendapatan. (Abdulkadir Muhammad, 2006: 58). Dengan demikian
kriteria suatu profesi adalah :
1. meliputi bidang tertentu saja (spesialisasi);
2. berdasarkan keahlian dan keterampilan khusus;
3. bersifat tetap atau terus menerus;
4. lebih mendahulukan pelayanan daripada imbalan
(pendapatan)
5. bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan masyarakat;
6. terkelompok dalam suatu organisasi.

31
Berdasarkan kriteria tersebut, profesi dapat drumuskan
sebagai pekerjaan tetap bidang tertentu berdasarkan keahlian
khusus yang dilakukan secara bertanggung jawab dengan tujuan
memperoleh penghasilan. Pekerja yang menjalankan profesi
disebut profesional. Berikut ini pembahasannya.
1. Spesialisasi
Pekerjaan bidang tertentu adalah spesialisasi yang dikaitkan
dengan bidang keahlian yang dipelajari atau ditekuni.
Biasanya tidak ada rangkapan dengan pekerjaan lain di luar
keahliannya itu. Contoh spesialisasi bidang keahlian tertentu
itu antara lain adalah bidang hukum, ekonomi, farmasi,
kedokteran, keteknikan, kependidikan. Tidak ada rangkapan,
misanya dokter tidak merangkap apoteker, notaris tidak
merangkap pengacara, akuntan tidak merangkap pengusaha.
Hal demikian itu tidak memungkinkan yang bersangkutan
melakukan pekerjaan secara profesional.

2. Keahlian dan keterampilan


Pekerjaan di bidang tertentu itu berdasarkan keahlian dan
keterampilan khusus, yang diperolehnya melalui pendidikan
dan latihan. Pendidikan dan latihan itu ditempuhnya secara
resmi pada lembaga pendidikan dan latihan yang diakui oleh
pemerintah berdasarkan undang-undang. Keahlian dan
keterampilan yang diperolehnya itu dibuktikan oleh
sertifikasi yang dikeluarkan oleh instansi atau lembaga lain
yang diakui oleh pemerintah. Contoh keahlian itu antara lain:
a). Notaris, keahliannya dibuktikan dengan ijazah program
pendidikan notaris Fakultas Hukum.
b). Akuntan, keahliannya dibuktikan dengan ijazah
program pendidikan akuntansi Fakultas Ekonomi.
c). Dokter, keahliannya dibuktikan dengan ijazah program
pendidikan kedokteran Fakultas Kedokteran.
d). Apoteker, keahliannya dibuktikan dengan ijazah
program pendidikan farmasi Fakultas Farmasi.

32
e). Arsitektur, keahliannya dibuktikan dengan ijazah
program pendidikan keteknikan Fakultas Teknik.

3. Tetap atau terus menerus


Pekerjaan bidang teretntu itu bersifat tetap atau terus-
menerus. Tetap artinya tidak berubah-ubah pekerjaan,
misalnya sekali berkiprah pada profesi notaris seterusnya
tetap sebagai notaris. Sedangkan terus-menerus artinya
berlangsung untuk jangka waktu lama sampai pensiun, atau
berakhir masa kerja profesi yang bersangkutan.

4. Mengutamakan pelayanan
Pekerjaan bidang tertentu itu lebih mendahulukan pelayanan
daripada imbalan (pendapatan). Artinya mendahulukan apa
yang harus dikerjakan bukan berapa bayaran yang diterima.
Kepuasan konsumen atau pelanggan lebih diutamakan.
Pelayanan itu diperlukan karena keahlian profesional, bukan
amatir. Seorang profesional selalu bekerja dengan baik,
benar, dan adil. Baik artinya teliti, tidak asal kerja, tidak
sembrono. Benar artinya diakui oleh profesi yang
bersangkutan. Adil artinya tidak melanggar hak pihak lain.
Sedangkan imbalan dengan sendirinya akan dipenuhi secara
wajar apabila konsumen atau pelanggan merasa puas dengan
pelayanan yang diperolehnya.

5. Tanggung jawab
Dalam memberikan pelayanannya, profesional itu
bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada
masyarakat. Bertanggung jawab kepada diri sendiri, artinya
dia bekerja karena integritas moral, intelektual, dan
profesional sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam
memberikan pelayanan, seorang profesional selalu
mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan
tuntutan kewajiban hati nuraninya, bukan karena sekedar hobi
belaka. Bertanggung jawab kepada masyarakat artnya
33
kesediaan memberikan pelayanan sebaik mungkin sesuai
dengan profesinya, tanpa membedakan antara pelayanan
bayaran dan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan
layanan yang bermutu, yang berdampak positif bagi
masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata
bermotif mencari keuntungan melainkan juga pengabdian
kepada sesama manusia. Bertanggung jawab juga berarti
berani menanggung segala resiko yang timbul akibat
pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi
menimbulkan dampak yang membahayakan atau merugikan
diri sendiri, orang lain, dan berdosa kepada Tuhan.

6. Organisasi profesi
Para profesional itu terkelompok dalam suatu organisasi
biasanya organisasi profesi menurut bidang keahlian dari
cabang ilmu yang dikuasai. Bartens menyatakan, kelompok
profesi merupakan masyarakat moral (moral community)
yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Kelompok
profesi memiliki kekuasaan sendiri dan tanggung jawab
khusus. Sebagai profesi, kelompok ini mempunyai acuan
yang disebut kode etik profesi.
Contoh organisasi profesi antara lain :
a). Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin);
b). Ikatan Notaris Indonesia (INI);
c). Ikatan Dokter Indonesia (IDI);
d). Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi);
e). Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI);
f). Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi).

Pengakuan terhadap organisasi profesi didasarkan pada nilai


moral yang tercermin pada keahlian dan keterampilan
anggota profesi yang bersangkutan bukan karena ketentuan
hukum positif Indonesia.

34
C. Profesi Hukum
Profesi hukum merupakan salah satu dari sekian banyak
profesi lain, seperti : profesi dokter, profesi akuntan, profesi guru
dan lain-lain. Profesi hukum mempunyai ciri tersendiri karena
profesi ini sangat bersentuhan langsung dengan kepentingan
manusia/orang yang lazim disebut “klien” (Supriadi, 2016: 19).
Apabila profesi itu berkenaan dengan bidang hukum, maka
kelompok profesi itu disebut kelompok profesi hukum. Pengemban
profesi hukum bekerja secara profesional dan fungsional. Mereka
memiliki tingkat ketelitian, kehati-hatian, ketekunan, kritis, dan
pengabdian yang tinggi karena mereka bertanggung jawab kepada
diri sendiri dan kepada sesama anggota masyarakat, bahkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Mereka bekerja sesuai kode etik profesinya.
Apabila terjadi penyimpangan atau pelanggaran kode etik, mereka
harus rela mempertanggungjawabkan akibatnya sesuai dengan
tuntutan kode etik. Biasanya dalam organisasi profesi, ada Dewan
Kehormatan yang akan mengoreksi pelanggaran kode etik.

1. Nilai Moral Profesi Hukum


Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut
pemenuhan nilai moral dan pengembangannya. Nilai moral
itu merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari
perbuatan luhur. Setiap profesional di tuntut supaya memiliki
nilai moral yang kuat. Franz Magnis Suseno mengemukakan
lima kriteria nilai moral yang kuat mendasari kepribadian
profesional hukum. Kelima kriteria tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a). Kejujuran
Kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran maka
profesional hukum mengingkari misi profesinya,

35
sehingga dia menjadi munafik, licik, penuh tipu. Dua
sikap yang terdapat dalam kejujuran, yaitu :
1) Sikap terbuka
Ini berkenaan dengan pelayanan klien, kerelaan
melayani secara bayaran atau secara cuma-cuma.
2) Sikap wajar
Ini berkenaan dengan perbuatan yang tidak
berlebihan, tidak otoriter, tidak sok kuasa, tidak
kasar, tidak menindas, dan tidak memeras.

b). Autentik
Autentik artinya menghayati dan menunjukkan diri
sesuai dengan keasliannya, kepribadian yang
sebenarnya. Autentik pribadi profesional hukum antara
lain:
1) tidak menyalahgunakan wewenang;
2) tidak melakukan perbuatan yang merendahkan
martabat (perbuatan tercela);
3) mendahulukan kepentingan klien;
4) berani berinisiatif dan berbuat sendiri dengan
bijaksana, tidak semata-mata menunggu perintah
atasan;
5) tidak mengisolasi diri dari pergaulan.

c). Bertanggung Jawab


Dalam menjalankan tugasnya, profesional hukum wajib
bertanggung jawab, artinya
1). kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin
tugas apa saja yang termasuk lingkup profesinya
2). bertindak secara proporsional, tanpa
membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-
cuma (prodeo).
3). kesediaan mmeberikan laporan
pertanggungjawaban atas pelasanaan
kewajibannya.
36
d). Kemandirian Moral
Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh
atau tidak mudah mengikuti pandangan moral yang
terjadi di sekitarnya melainkan membentuk penilaian
sendiri. Mandiri secara moral berarti tidak dapat dibeli
oleh pendapat mayoritas, tidak terpengaruh oleh
pertimbangan untung rugi (pamrih), menyesuaikan diri
dengan nilai kesusilaan agama.

e). Keberanian Moral


Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suatu hati
nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung
resiko konflik. Keberanian tersebut antara lain:
1). menolak segala bentuk korupsi, kolusi, suap,
pungli;
2). menolak tawaran damai di tempat atas tilang
karena pelanggaran lalu lintas jalan raya;
3). menolak segala bentuk cara penyelesaian melalui
jalan belakang yang tidak sah.

2. Bidang-bidang Profesi Hukum


Manusia hidup bermasyarakat pada hakikatnya terikat oleh
hukum. Di setiap pojok kita hidup disitu ada hukum. Hukum ada
dimana-mana. Jika demikian halnya, masyarakat merupakan
jaringan hukum (web of law). Ahli hukum dengan sendirinya
berperan penting karena berhadapan dengan tata kehidupan. Ahli
hukum selalu terlibat dengan kegiatan menciptakan hukum,
melaksanakn hukum, mengawasi pelaksanaannya, dan apabila
terjadi pelanggaran hukum, maka perlu ada pemulihannya
(penegakannya). Terakhir adalah kegiatan pendidikan hukum yang
menghasilkan para ahli hukum. Semua kegiatan tersebut
merupakan bidang-bidang profesi hukum. Betapa pentingnya ahli
hukum, sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa “peradaban
37
manusia ditentukan oleh para ahli hukum”. Baik buruk peradaban
masyarakat bergantung pada baik buruk perilaku para ahli
hukumnya.
Hukum mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia.
Peraturan hukum mengatur dan menjelaskan bagaimana
seharusnya:
a). legislator menciptakan hukum;
b). pejabat melaksanakan administrasi negara;
c). notaris merumuskan kontrak-kontrak harta kekayaan;
d). polisi dan jaksa menegakkan ketertiban hukum;
e). pengacara membela kliennya dan menginterpretasikan
hukum;
f). hakim menerapkan hukum dan menetapkan keputusannya;
g). pengusaha menjalankan kegiatan bisnisnya
h). konsultan hukum memberikan nasihat hukum kepada
kliennya;
i). pendidik hukum menghasilkan ahli hukum.

Pekerjaan yang ditangani oleh para profesional hukum


tersebut diatas tadi merupakan bidang-bidang profesi hukum, yang
jika dirincikan adalah sebagai berikut :
a). profesi legislator
b). profesi administrator hukum;
c). profesi notaris;
d). profesi polisi;
e). profesi jaksa;
f). profesi advokat (pengacara);
g). profesi hakim;
h). profesi hukum bisnis;
i). profesi konsultan hukum;
j). profesi dosen hukum.

38
3. Etika Profesi Hukum

Kita semua hidup dalam jaringan keberlakuan hukum dalam


berbagai bentuk formalitasnya. Semua berjalan sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku. Namun, yang namanya manusia dalam
menjalani kehidupannya tidak lepas dari kecenderungan
menyimpang atau menyeleweng. Profesional hukum yang tidak
bertanggung jawab melakukan pelanggaran dalam menjalankan
profesinya karena lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau
golongannya.
Padahal adanya norma hukum secara esensial menuntuk ke
arah mana seharusnya berbuat yang membahagiakan semua pihak.
Dengan berpedoman pada norma hukum, masyarakat berharap
banyak kepada profesional hukum agar masyarakat dapat
dilindungi oleh hukum, hidup tertib, teratur, dan bahagia. Setiap
kelompok profesi memiliki norma-norma yang menjadi penuntun
perilaku anggotanya dalam melaksanakan tugas profesi.
Norma-norma tersebut dirumuskan dalam bentuk tertulis
yang disebut kode etik profesi. Kode etik profesi hukum merupakan
bentuk realisasi etika profesi hukum yang wajib ditaati oleh setiap
profesional hukum yang bersangkutan. Notohamidjojo (1975)
menyatakan dalam melaksanakan kewajibannya, profesional
hukum perlu memiliki : (Abdulkadir Muhammad, 2006: 66).
a. Sikap manusiawi, artinya tidak menanggapi hukum secara
formal belaka, melainkan kebenaran yang sesuai dengan hati
nurani;
b. Sikap adil, artinya mencari kelayakan yang sesuai dengan
perasaan masyarakat;
c. Sikap patut, artinya mencari pertimbangan untuk menentukan
keadilan dalam suatu perkara konkret;
d. Sikap jujur, artinya menyatakan sesuatu itu benar menurut
apa adanya, dan menjauhi yang tidak benar dan tidak patut.

39
D. Masalah-masalah Profesi Hukum
Berkaitan dengan kemajuan sebuah profesi, apakah itu profesi
hukum atau profesi lainnya, maka terdapat masalah-masalah yang
merupakan kelemahan dalam mengembangkan profesi tersebut.
Menurut Sumaryono, (Abdulkadir Muhammad, 2006: 66) ada lima
masalah yang dihadapi sebagai kendala yang cukup serius bagi
profesi hukum, yaitu:
1). Kualitas pengetahuan profesional hukum
2). Terjadi penyalahgunaan profesional hukum
3). Kecenderungan profesi hukum menjadi kegiatan bisnis.
4). Penurunan kesadaran dan kepedulian sosial.
5). Kontinuitas sistem yang sudah usang.

Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai masalah-


masalah yang dihadapi oleh profesi hukum, akan diuraikan sebagai
berikut :

1). Kualitas Pengetahuan Profesional Hukum


Seorang profesional hukum harus memiki pengetahuan
bidang hukum yang handal, sebagai penentu bobot kualitas
pelayanan hukum secara profesional kepada masyarakat. Hal
ini sesuai Pasal 1 Keputusan Mendikbud No. 17/Kep/O/1992
tentang Kurikulum Nasional Bidang Hukum, program
pendidikan serjana bidang hukum bertujuan untuk
menghasilkan serjana bidang hukum yang :

a). mengusai hukum Indonesia;


b). mampu menganalisis masalah hukum dalam
masyarakat;
c). mampu mengunakan hukum sebagai sarana untuk
memecahkan masalah kongret dengan bijaksana
dengan berdasarkan prinsip-prinsip hukum;

40
d). menguasai dasar ilmiah untuk mengembangkan ilmu
hukum dan hukum;
e). mengenal dan peka masalah keadilan dan masalah
sosial.

2). Penyalahgunaan Profesi


Dalam kenyataannya, di tengah-tengah masyarakat sering
terjadi penyalahgunaan profesi hukum oleh anggotanya
sendiri. Terjadinya penyalahgunaan profesi hukum tersebut di
sebabkan adanya faktor kepentingan. Sumaryono
mengatakan bahwa pennyalahgunaan dapat terjadi karena
adanya persaingan individu profesional hukum atau tidak
adanya disiplin diri. Dalam profesi hukum dapat dilihat dua
yang sering berkontradiksi satu sama lain, yaitu di satu sisi,
cita-cita etika yang selalu tinggi, dan sisi lain, praktik
pengemban hukum yang berada jauh di bawah cita-cita
tersebut. Selain itu, penyalahgunaan profesi hukum terjadi
karena desakan pihak klien yang mengiginkan perkaranya
cepat selesai dan tentunya ingin menang. Klien kadang kalah
tidak segan-segan menawarkan bayaran yang menggiurkan
baik kepada penasehat hukum ataupun hakim yang
memeriksa perkara.
3). Profesi Hukum Menjadi Kegiatan Bisnis
Suatu fakta yang tidak dapat di pungkiri bahwa semuanya
kehadiran profesi hukum bertujuan untuk memberikan
pelayanan atau memberikan bantuan hukum kepada
masyarakat. Namun dalam kenyataannya di Indonesia,
profesi hukum dapat di bedakan antara profesi hukum yang
bergerak di bidang pelayanan bisnis dan profesi hukum di
bidang pelayanan umum. Profesi hukum yang bergerak di

41
bidang pelayanan bisnis menjalankan pekerjaan berdasarkan
hubungan bisnis (komersial), imbalan yang di terima sudah di
tentukan menurut standar bisnis. Contohnya para konsultan
yang mengenai masalah kontrak-kontrak dagang, paten,
merek. Untuk profesi hukum yang bergerak di bidang
pelayanan umum menjalankan pekerjaan berdasarkan
kepentingan umum, baik dengan bayaran maupun tanpa
bayaran. Contoh profesi hukum pelayanan umum adalah
pengadilan, notaris, LBH, kalaupun ada bayaran sifatnya
biaya pekerjaan atau biaya administrasi.

4). Kurang Kesadaran dan Kepedulian Sosial


Kesadaran dan kepedulian sosial merupakan kriteria
pelayanan umum profesional hukum. Wujudnya adalah
kepentingan masyarakat yang lebih diutamakan atau di
dahulukan daripada kepentingan pribadi, pelayanan lebih
diutamakan dari pada pembayaran, nilai moral lebih
ditonjolkan dari pada nilai ekonomi. Namun segala yang
dapat diamati sekarang sepertinya lain dari pada yang
seharusnya diemban oleh profesional hukum. Gejala tersebut
mulai pudarnya keyakinan terhadap wibawa hukum.

5). Kontinuitas Sistem Yang Telah Usang


Profesional hukum adalah bagian dari sistem peradilan yang
berperan membantu menyebarluaskan sistem yang sudah
dianggap ketinggalan zaman karena di dalamnya terdapat
banyak ketentuan penegakan hukum yang tidak sesuai lagi.
Padahal profesional hukum melayani kepentingan
masyarakat yang hidup dalam zaman modern. Kemajuan

42
teknologi sekarang kurang diimbangi oleh percepatan
kemajuan hukum yang dapat menangkal kemajuan teknologi
tersebut sehingga timbul pameo hukum selalu ketinggalan
zaman.

43
BAB III
KODE ETIK PROFESI

A. Pengertian Kode Etik Profesi


Menurut Abdul Kadir Muhammad, kode etik profesi
merupakan produk etika terapan karena dihasilkan berdasarkan
penerapan pemikiran etis atas suatu profesi. Kode etik profesi dapat
berubah dan diubah seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sehingga anggota kelompok profesi
tidak akan ketinggalan zaman. Sejalan dengan pemikiran Abdul
Kadir Muhammad di atas, Bartens menyatakan bahwa etika profesi
merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok
profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada
anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin
mutu moral profesi itu di mata masyarakat. Oleh karena itu,
kelompok profesi harus menyelesaikannya berdasarkan
kekuasaannya sendiri. Kode etik profesi merupakan hasil
pengaturan diri profesi yang bersangkutan, dan ini perwujudan nilai
moral yang hakiki, yang tidak dipaksakan dari luar. Kode etik
profesi hanya berlaku efektif apabila dijiwai oleh cita-cita dan nilai-
nilai yang hidup dalam lingkungan profesi itu sendiri. Kode etik
merupakan rumusan norma moral manusia yang mengemban
profesi itu. Kode etik profesi menjadi tolok ukur perbuatan anggota
kelompok profesi dan merupakan upaya pencegahan berbuat yang
tidak etis bagi anggotanya. (Abdulkadir Muhammad, 2006: 77).
Setiap kode etik profesi selalu dibuat tertulis yang tersusun
secara teratur, rapi, lengkap, tanpa cacat, dalam bahasa yang baik,
sehingga menarik perhatian dan menyenangkan pembacanya.
Semua yang tergambar adalah perilaku yang baik-baik. Akan tetapi,
dibalik semua itu terdapat kelemahan-kelemahan sebagai berikut :
(Abdulkadir Muhammad, 2006: 78).
1. Idealisme yang terkandung dalam kode etik profesi tidak
sejalan dengan fakta yang terjadi di sekitar para profesional
sehingga harapan sangat jauh dari kenyataan. Hal ini cukup
44
menggelitik para profesional untuk berpaling kepada
kenyataan dan menggambarkan idealisme kode etik profesi.
Kode etik profesi tidak lebih dari pajangan lukisan
berbingkai.

2. Kode etik merupakan himpunan norma moral yang tidak


dilengkapi dengan sanksi yang keras karena keberlakuannya
semata-mata berdasarkan kesadaran profesional. Rupanya
kekurangan ini memberi peluang kepada profesional yang
lemah iman untuk berbuat menyimpang dari kode etik
profesinya.

B. Fungsi Kode Etik Profesi


Semua kode etik profesi dibuat dalam bentuk tertulis dengan
maksud agar dapat dipahami secara kongkret oleh para anggota
profesi tersebut. Dengan tertulisnya setiap kode etik, tidak ada
alasan bagi anggota profesi tersebut untuk tidak membacanya dan
sekaligus merupakan pegangan yang sangat berarti bagi dirinya.
Menurut Sumaryono, fungsi kode etik profesi memiliki tiga makna,
yaitu : (Abdulkadir Muhammad, 2006: 78)
1). Sebagai sarana kontrol sosial;
2). Sebagai pencegah campur tangan pihak lain;
3). Sebagai pencegah kesalapahaman dan konflik.
Menurut Abdul Kadir Muhammad, kode etik profesi
merupakan kriteria prinsip-prinsip profesional yang telah
digariskan sehingga dapat diketahui dengan pasti kewajiban
profesional anggota lama, baru ataupun calon anggota kelompok
profesi. Dengan demikian dapat dicegah kemungkinan terjadi
konflik kepentingan antara sesama anggota kelompok profesi, atau
antara anggota kelompok profesi dan masyarakat. Anggota

45
kelompok profesi atau anggota masyarakat dapat melakukan
kontrol melalui rumusan kode etik profesi, apakah anggota
kelompok profesi telah memenuhi kewajiban profesionalnya sesuai
dengan kode etik profesi. Lebih jauh Abdul Kadir Muhammad
mengatakan bahwa kode etik profesi telah menentukan standarisasi
kewajiban profesional anggota kelompok profesi. Dengan
demikian, pemerintah atau masyarakat tidak perlu lagi campur
tangan untuk menentukan bagaimana seharusnya anggota
kelompok profesi melaksanakan kewajiban profesionalnya. Kode
etik profesi pada dasarnya adalah norma perilaku yang sudah
dianggap benar atau yang sudah mapan dan tentunya akan lebih
efektif lagi apabila norma perilaku tersebut dirumuskan sedemikian
baiknya, sehingga memuaskan pihak-pihak yang berkepentingan.
Kode etik profesi merupakan kristalisasi perilaku yang dianggap
benar menurut pendapat umum karena berdasarkan pertimbangan
kepentingan profesi yang bersangkutan. (Abdulkadir Muhammad,
2006: 79).

C. Kode Etik Notaris


Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I)
Pasal 3 Kewajiban
Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan
Notaris wajib :
1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik.
2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat
jabatan Notaris.
3. Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan.

46
4. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung
jawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi
sumpah jabatan Notaris.
5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak
terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan.
6. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat
dan Negara.
7. Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa keNotarisan
lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa
memungut honorarium.
8. Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor
tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang
bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.
9. Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan / di lingkungan
kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150
cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang memuat :
a. Nama lengkap dan gelar yang sah;
b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan
yang terakhir sebagai Notaris;
c. Tempat kedudukan;
d. Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan
nama berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan
tulisan di papan nama harus ielas dan mudah dibaca.
Kecuali di lingkungan kantor tersebut tidak
dimungkinkan untuk pemasangan papan nama
dimaksud.

47
10. Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap
kegiatan yang diselenggarakan oleh Perkumpulan;
menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh
keputusan Perkumpulan.
11. Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib.
12. Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman
sejawat yang meninggal dunia.
13. Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang
honorarium ditetapkan Perkumpulan.
14. Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan,
pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan di
kantornya, kecuali alasan-alasan yang sah.
15. Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam
melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta
saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling
menghormati, saling menghargai, saling membantu serta
selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahmi.
16. Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak
membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya.
17. Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut
sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain
namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam :
a. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris;
c. Isi Sumpah Jabatan Notaris;
d. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan
Notaris Indonesia.
48
Pasal 4 Larangan
Notaris dan orang lain yang memangku clan menjalankan jabatan.
Notaris dilarang :
1. Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang
ataupun kantor perwakilan.
2. Memasang pagan Hama dan/atau tulisan yang berbunyi
“Notaris/ Kantor Notaris" di luar lingkungan kantor.
3. Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun
secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan
jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau
elektronik, dalam bentuk
a. Iklan;
b. Ucapan selamat;
c. Ucapan belasungkawa;
d. Ucapan terima kasih;
e. Kegiatan pemasaran;
f. Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial,
keagamaan, maupun olahraga;
4. Bekerja sama dengan Biro jasa/orang/Badan Hukum yang
pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari
atau mendapatkan klien.
5. Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya
telah dipersiapkan oleh pihak lain.
6. Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditanda tangani.
7. Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang
berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu
ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun
melalui perantara orang lain.
8. Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan
dokumen-dokumen yang telah diserahkan dan/atau
melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien
tersebut tetap membuat akta padanya.

49
9. Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak
langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang
tidak sehat dengan sesama rekan Notaris.
10. Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam
jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah
ditetapkan Perkumpulan.
11. Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus
karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih
dahulu dari Notaris yang bersangkutan.
12. Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau
akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris
menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh
rekan sejawat yang ternyata didalamnya terdapat kesalahan-
kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, maka
Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat
yang bersangkutan etas kesalahan yang dibuatnya dengan
cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk
mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap
klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut.
13. Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat
ekslusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu
instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi
Notaris lain untuk berpartisipasi.
14. Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai
dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
15. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum
disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris,
antara lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-
pelanggaran terhadap :
a. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
b. Penjelasan pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 30
tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
c. Isi sumpah jabatan Notaris;

50
d. Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar,
Anggaran Rumah Tangga dan/atau Keputusan-
Keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi
Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh dilakukan oleh
anggota.

Pasal 5 Pengecualian
Hal-hal yang tersebut di bawah ini merupakan pengecualian oleh
karena itu tidak termasuk pelanggaran, yaitu :
1. Memberikan ucapan selamat, ucapan berdukacita dengan
mempergunakan kartu ucapan, surat, karangan bunga ataupun
media lainnya yang tidak mencantumkan Notaris, tetapi
hanya nama saja.
2. Pemuatan nama dan alamat Notaris dalam buku panduan
telepon, fax dan telex, yang diterbitkan secara resmi oleh PT.
Telkom dan/atau instansiinstansi dan/atau lembaga-lembaga
resmi lainnya.
3. Memasang 1 (satu) tanda penujuk jalan dengan ukuran tidak
melebihi 20 cm x 50 cm, dasar berwarna putih, huruf
berwarna hitam, tanpa mencantumkan nama Notaris serta
dipasang dalam radius maksimum 100 meter dari kantor
Notaris.

Pasal 6 Sanksi
1. Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan
pelanggaran Kode Etik dapat berupa :

a. Teguran;
b. Peringatan;
c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan
Perkumpulan;
d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan;
e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan
Perkumpulan.

51
2. Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap
anggota yang melanggar Kode Etik disesuaikan dengan
kwantitas dan kwalitas pelanggaran yang dilakukan anggota
tersebut.

D. Kode Etik Advokat


Kode Etik Advokat Indonesia
Pasal 3
a. Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan
hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau
bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak
sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati
nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena
perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis
kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya.
b. Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-
mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih
mengutamakan tegaknya Hukum, Kebenaran dan Keadilan.
c. Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas dan
mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib
memperjuangkan hak-hak azasi manusia dalam Negara
Hukum Indonesia.
d. Advokat wajib memelihara rasa solidaritas diantara teman
sejawat.
e. Advokat wajib memberikan bantuan dan pembelaan hukum
kepada teman sejawat yang diduga atau didakwa dalam suatu
perkara pidana atas permintaannya atau karena penunjukan
organisasi profesi.

52
f. Advokat tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaan lain
yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat
Advokat.
g. Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat
sebagai profesi terhormat (officium nobile).
h. Advokat dalam menjalankan profesinya harus bersikap sopan
terhadap semua pihak namun wajib mempertahankan hak dan
martabat advokat.
i. Seorang Advokat yang kemudian diangkat untuk menduduki
suatu jabatan Negara (Eksekutif, Legislatif dan judikatif)
tidak dibenarkan untuk berpraktek sebagai Advokat dan tidak
diperkenankan namanya dicantumkan atau dipergunakan oleh
siapapun atau oleh kantor manapun dalam suatu perkara yang
sedang diproses/berjalan selama ia menduduki jabatan
tersebut.
Pasal 4
a. Advokat dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan
penyelesaian dengan jalan damai.

b. Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang


dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang
diurusnya.

c. Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa


perkara yang ditanganinya akan menang.

d. Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib


mempertimbangkan kemampuan klien.

e. Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-


biaya yang tidak perlu.

53
f. Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus
memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara
untuk mana ia menerima uang jasa.

g. Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut


keyakinannya tidak ada dasar hukumnya.

h. Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal


yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib
tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan
antara Advokat dan klien itu.
i. Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan
kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien
atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian
yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan,
dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 3 huruf a.
j. Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak
atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari
pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila
dikemudian hari timbul pertentangan kepentingan antara
pihak-pihak yang bersangkutan.
k. Hak retensi Advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak
akan menimbulkan kerugian kepentingan klien.

Pasal 5
a. Hubungan antara teman sejawat Advokat harus dilandasi
sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling
mempercayai.
54
b. Advokat jika membicarakan teman sejawat atau jika
berhadapan satu sama lain dalam sidang pengadilan,
hendaknya tidak menggunakan kata-kata yang tidak sopan
baik secara lisan maupun tertulis.
c. Keberatan-keberatan terhadap tindakan teman sejawat yang
dianggap bertentangan dengan Kode Etik Advokat harus
diajukan kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa dan
tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui media massa atau
cara lain.
d. Advokat tidak diperkenankan menarik atau merebut seorang
klien dari teman sejawat.
e. Apabila klien hendak mengganti Advokat, maka Advokat
yang baru hanya dapat menerima perkara itu setelah
menerima bukti pencabutan pemberian kuasa kepada
Advokat semula dan berkewajiban mengingatkan klien untuk
memenuhi kewajibannya apabila masih ada terhadap Advokat
semula.
f. Apabila suatu perkara kemudian diserahkan oleh klien
terhadap Advokat yang baru, maka Advokat semula wajib
memberikan kepadanya semua surat dan keterangan yang
penting untuk mengurus perkara itu, dengan memperhatikan
hak retensi Advokat terhadap klien tersebut.

55
E. Kode Etik Hakim
Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia
Nomor : 02/PB/MA/IX/201202/PB/P.KY/09/2012 tentang
Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

Pasal 4
Kewajiban dan larangan bagi Hakim dijabarkan dari 10 (sepuluh)
prinsip Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yaitu:
a. berperilaku adil;
b. berperilaku jujur;
c. berperilaku arif dan bijaksana;
d. bersikap mandiri;
e. berintegritas tinggi;
f. bertanggung jawab;
g. menjunjung tinggi harga diri;
h. berdisiplin tinggi;
i. berperilaku rendah hati;dan
j. bersikap profesional.

Pasal 5
(1) Berperilaku adil bermakna menempatkan sesuatu pada
tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang
didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama
kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan
yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan
perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and
fairness) terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang
yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan
yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil
dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-
bedakan orang.

56
(2) Kewajiban Hakim dalam penerapan berperilaku adil adalah:
a. Hakim wajib melaksanakan tugas-tugas hukumnya
dengan menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa
mengharapkan imbalan.
b. Hakim wajib tidak memihak, baik di dalam maupun di
luar pengadilan, dan tetap menjaga serta menumbuhkan
kepercayaan masyarakat pencari keadilan.
c. Hakim wajib menghindari hal-hal yang dapat
mengakibatkan pencabutan haknya untuk mengadili
perkara yang bersangkutan.
d. Hakim dalam suatu proses persidangan wajib meminta
kepada semua pihak yang terlibat proses persidangan
untuk tidak menunjukkan rasa suka atau tidak suka,
keberpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap
suatu ras, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan,
perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia, atau
status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan
hubungan dengan pencari keadilan atau pihak-pihak
yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui
perkataan maupun tindakan.
e. Hakim harus memberikan keadilan kepada semua pihak
dan tidak beritikad semata-mata untuk menghukum.
f. Hakim harus memberikan kesempatan yang sama
kepada setiap orang khususnya pencari keadilan atau
kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu
proses hukum di Pengadilan.
(3) Larangan bagi hakim dalam penerapan berperilaku adil
adalah:
a. Hakim dilarang memberikan kesan bahwa salah satu
pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk
penuntut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa
untuk mempengaruhi hakim yang bersangkutan.
b. Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya dilarang
menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan,
prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis
57
kelamin, agama, asal kebangsaan, perbedaan
kemampuan fisik atau mental, usia, atau status sosial
ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan
dengan pencari keadilan atau pihak-pihak yang terlibat
dalam proses peradilan baik melalui perkataan maupun
tindakan.
c. Hakim dilarang bersikap, mengeluarkan perkataan atau
melakukan tindakan lain yang dapat menimbulkan
kesan memihak, berprasangka, mengancam, atau
menyudutkan para pihak atau kuasanya, atau saksi-
saksi, dan harus pula menerapkan standar perilaku yang
sama bagi advokat, penuntut, pegawai pengadilan atau
pihak lain yang tunduk pada arahan dan pengawasan
hakim yang bersangkutan.
d. Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai
pengadilan atau pihak-pihak lain untuk mempengaruhi,
mengarahkan, atau mengontrol jalannya sidang,
sehingga menimbulkan perbedaan perlakuan terhadap
para pihak yang terkait dengan perkara.
e. Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang
berperkara di luar persidangan, kecuali dilakukan di
dalam lingkungan gedung pengadilan demi
kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan
secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang berperkara,
tidak melanggar prinsip persamaan perlakuan dan
ketidak berpihakan.

Pasal 6
(1) Berperilaku jujur bermakna dapat dan berani menyatakan
bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.
Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan
membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang
batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang

58
tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan
maupun diluar persidangan.
(2) Kewajiban hakim dalam berperilaku jujur adalah:
a. Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari
perbuatan yang tercela.
b. Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari
perbuatan yang dapat menimbulkan kesan tercela.
c. Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku
dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar
pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan
kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta
para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap
ketidakberpihakan hakim dan lembaga peradilan
(impartiality).
d. Hakim wajib melaporkan secara tertulis gratifikasi yang
diterima kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung,
dan Ketua Komisi Yudisial paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi
tersebut diterima.
e. Hakim wajib menyerahkan laporan kekayaan kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi sebelum, selama, dan
setelah menjabat, serta bersedia diperiksa kekayaannya
sebelum, selama dan setelah menjabat.
(3) Larangan bagi hakim dalam berperilaku jujur adalah:
a. Hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus
mencegah suami atau istri hakim, orang tua, anak atau
anggota keluarga hakim lainnya, untuk meminta atau
menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian,
penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari:
1) advokat;
2) penuntut;
3) orang yang sedang diadili;
4) pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili;

59
5) pihak yang memiliki kepentingan baik langsung
maupun tidak langsung terhadap suatu perkara
yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan
diadili oleh hakim yang bersangkutan yang secara
wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau
mengandung maksud untuk mempengaruhi
Hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.

Pengecualian dari butir ini adalah pemberian atau


hadiah yang ditinjau dari segala keadaan
(circumstances) tidak akan diartikan atau dimaksudkan
untuk mempengaruhi hakim dalam pelaksanaan tugas-
tugas peradilan, yaitu pemberian yang berasal dari
saudara atau teman dalam kesempatan tertentu seperti
perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan,
upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya sesuai
adat istiadat yang berlaku, yang nilainya tidak melebihi
Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). Pemberian
tersebut termasuk dalam pengertian hadiah
sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur
dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

b. Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai


pengadilan atau pihak lain yang di bawah pengaruh,
petunjuk atau kewenangan hakim yang bersangkutan
untuk meminta atau menerima hadiah, hibah, warisan,
pemberian, pinjaman atau bantuan apapun sehubungan
dengan segala hal yang dilakukan atau akan dilakukan
atau tidak dilakukan oleh hakim yang bersangkutan
berkaitan dengan tugas atau fungsinya dari:
1) advokat;
2) penuntut;
3) orang yang sedang diadili oleh hakim tersebut;
4) pihak lain yang kemungkinan kuat akan diadili
oleh hakim tersebut;
60
5) pihak yang memiliki kepentingan baik langsung
maupun tidak langsung terhadap suatu perkara
yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan
diadili oleh hakim yang bersangkutan, yang
secara wajar patut diduga bertujuan untuk
mempengaruhi hakim dalam menjalankan tugas
peradilannya.

(4) Dalam kaitannya dengan penerapan perilaku jujur, hakim


dibolehkan menerima imbalan dan atau kompensasi biaya
untuk kegiatan ekstra yudisial dari pihak yang tidak
mempunyai konflik kepentingan, sepanjang imbalan dan atau
kompensasi tersebut tidak mempengaruhi pelaksanaan tugas-
tugas yudisial dari hakim yang bersangkutan.

Pasal 7
(1) Berperilaku arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak
sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat
baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan,
kebiasan-kebiasan maupun kesusilaan dengan
memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu
memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif
dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang
berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi,
bersikap hati-hati, sabar dan santun.
(2) Kewajiban hakim dalam penerapan berperilaku arif dan
bijaksana adalah:
a. Hakim wajib menghindari tindakan tercela
b. Hakim, dalam hubungan pribadinya dengan anggota
profesi hukum lain yang secara teratur beracara di
pengadilan, wajib menghindari situasi yang dapat
menimbulkan kecurigaan atau sikap keberpihakan
c. Hakim dalam menjalankan tugas-tugas yudisialnya
wajib terbebas dari pengaruh keluarga dan pihak ketiga
lainnya.
61
(3) Larangan bagi hakim dalam penerapan berperilaku arif dan
bijaksana adalah:
a. Hakim dilarang mengadili perkara di mana anggota
keluarga hakim yang bersangkutan bertindak mewakili
suatu pihak yang berperkara atau sebagai pihak yang
memiliki kepentingan dengan perkara tersebut.
b. Hakim dilarang mengizinkan tempat kediamannya
digunakan oleh seorang anggota suatu profesi hukum
untuk menerima klien atau menerima anggota-anggota
lainnya dari profesi hukum tersebut.
c. Hakim dilarang menggunakan wibawa pengadilan
untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak ketiga
lainnya.
d. Hakim dilarang mempergunakan keterangan yang
diperolehnya dalam proses peradilan untuk tujuan lain
yang tidak terkait dengan wewenang dan tugas
yudisialnya.
e. Hakim dilarang mengeluarkan pernyataan kepada
masyarakat yang dapat mempengaruhi, menghambat
atau mengganggu berlangsungnya proses peradilan
yang adil, independen, dan tidak memihak.
f. Hakim tidak boleh memberi keterangan atau pendapat
mengenai substansi suatu perkara di luar proses
persidangan pengadilan, baik terhadap perkara yang
diperiksa atau diputusnya maupun perkara lain.
g. Hakim tidak boleh memberi keterangan, pendapat,
komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka atas
suatu perkara atau putusan pengadilan baik yang belum
maupun yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam kondisi apapun.
h. Hakim tidak boleh memberi keterangan, pendapat,
komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka atas
suatu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap, kecuali dalam sebuah forum ilmiah yang
hasilnya tidak dimaksudkan untuk dipublikasikan yang
62
dapat mempengaruhi putusan hakim dalam perkara
lain.
i. Hakim tidak boleh menjadi pengurus atau anggota dari
partai politik.
j. Hakim tidak boleh secara terbuka menyatakan
dukungan terhadap salah satu partai politik.
k. Hakim tidak boleh atau terlibat dalam kegiatan yang
dapat menimbulkan persangkaan beralasan bahwa
hakim tersebut mendukung suatu partai politik.

(4) Dalam kaitannya dengan penerapan perilaku arif dan


bijaksana, hakim diperbolehkan:
a. membentuk atau ikut serta dalam organisasi para hakim
atau turut serta dalam lembaga yang mewakili
kepentingan para hakim.
b. melakukan kegiatan ekstra yudisial, sepanjang tidak
menggangu pelaksanaan tugas yudisial, antara lain
menulis, memberi kuliah, mengajar dan turut serta
dalam kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan
hukum, sistem hukum, ketatalaksanaan, keadilan atau
hal-hal yang terkait dengannya.
c. menjelaskan kepada masyarakat tentang prosedur
beracara di pengadilan atau informasi lain yang tidak
berhubungan dengan substansi perkara dari suatu
perkara, berdasarkan penugasan resmi dari Pengadilan.
d. memberikan keterangan atau menulis artikel dalam
surat kabar atau terbitan berkala dan bentuk-bentuk
kontribusi lainnya yang dimaksudkan untuk
menginformasikan kepada masyarakat mengenai
hukum atau administrasi peradilan secara umum yang
tidak berhubungan dengan masalah substansi perkara
tertentu.
e. menulis, memberi kuliah, mengajar dan berpartisipasi
dalam kegiatan keilmuan atau suatu upaya pencerahan
mengenai hukum, sistem hukum, administrasi peradilan
63
dan non-hukum, selama kegiatan-kegiatan tersebut
tidak dimaksudkan untuk memanfaatkan posisi Hakim
dalam membahas suatu perkara.
f. menjabat sebagai pengurus atau anggota organisasi
nirlaba yang bertujuan untuk perbaikan hukum, sistem
hukum, administrasi peradilan, lembaga pendidikan
dan sosial kemasyarakatan, sepanjang tidak
mempengaruhi sikap kemandirian Hakim.
g. berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan dan amal
yang tidak mengurangi sikap netral
(ketidakberpihakan) Hakim.

Pasal 8
(1) Berperilaku mandiri bermakna mampu bertindak sendiri
tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun
dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri mendorong
terbentuknya perilaku hakim yang tangguh, berpegang teguh
pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan
moral dan ketentuan hukum yang berlaku.
(2) Kewajiban hakim dalam penerapan berperilaku mandiri
adalah:
a. Hakim harus menjalankan fungsi peradilan secara
mandiri dan bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman
atau bujukan, baik yang bersifat langsung maupun tidak
langsung dari pihak manapun.
b. Hakim wajib bebas dari hubungan yang tidak patut
dengan lembaga eksekutif maupun legislatif serta
kelompok lain yang berpotensi mengancam
kemandirian (independensi) Hakim dan Badan
Peradilan.
c. Hakim wajib berperilaku mandiri guna memperkuat
kepercayaan masyarakat terhadap Badan Peradilan.

64
Pasal 9
(1) Berperilaku berintegritas tinggi bermakna memiliki sikap dan
kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak
tergoyahkan.
(2) Integritas tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap setia
dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma
yang berlaku dalam melaksanakan tugas.
(3) Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang
berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan
mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan serta selalu berusaha melakukan
tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.
(4) Kewajiban Hakim dalam penerapan berperilaku berintegritas
tinggi adalah:
a. Hakim harus berperilaku tidak tercela.
b. Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung
maupun tidak langsung dengan advokat, penuntut dan
pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh
hakim yang bersangkutan.
c. Hakim harus membatasi hubungan yang akrab, baik
langsung maupun tidak langsung dengan advokat yang
sering berperkara di wilayah hukum pengadilan tempat
hakim tersebut menjabat.
d. Hakim wajib bersikap terbuka dan memberikan
informasi mengenai kepentingan pribadi yang
menunjukkan tidak adanya konflik kepentingan dalam
menangani suatu perkara.
e. Hakim harus mengetahui urusan keuangan pribadinya
maupun beban-beban keuangan lainnya dan harus
berupaya secara wajar untuk mengetahui urusan
keuangan para anggota keluarganya.
f. Hakim yang memiliki konflik kepentingan
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5) huruf c dan
huruf d wajib mengundurkan diri dari memeriksa dan
mengadili perkara yang bersangkutan. Keputusan untuk
65
mengundurkan diri harus dibuat seawal mungkin untuk
mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul
terhadap lembaga peradilan atau persangkaan bahwa
peradilan tidak dijalankan secara jujur dan tidak
berpihak.
g. apabila muncul keragu-raguan bagi hakim mengenai
kewajiban mengundurkan diri, memeriksa dan
mengadili suatu perkara, wajib meminta pertimbangan
Ketua.
(5) Larangan bagi hakim dalam penerapan berperilaku
berintegritas tinggi adalah:
a. Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila
memiliki konflik kepentingan, baik karena hubungan
pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-hubungan
lain yang beralasan (reasonable) patut diduga
mengandung konflik kepentingan.
b. Hakim dilarang melakukan tawar-menawar putusan,
memperlambat pemeriksaan perkara, menunda
eksekusi atau menunjuk advokat tertentu dalam
menangani suatu perkara di pengadilan, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang.
c. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila
memiliki hubungan keluarga, Ketua Majelis, hakim
anggota lainnya,penuntut, advokat, dan panitera yang
menangani perkara tersebut.
d. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila hakim
itu memiliki hubungan pertemanan yang akrab dengan
pihak yang berperkara, penuntut, advokat, yang
menangani perkara tersebut.
e. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah
mengadili atau menjadi penuntut, advokat atau panitera
dalam perkara tersebut pada persidangan di pengadilan
tingkat yang lebih rendah.
f. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah
menangani hal-hal yang berhubungan dengan perkara
66
atau dengan para pihak yang akan diadili, saat
menjalankan pekerjaan atau profesi lain sebelum
menjadi hakim.
g. Hakim dilarang mengijinkan seseorang yang akan
menimbulkan kesan bahwa orang tersebut seakan-akan
berada dalam posisi khusus yang dapat mempengaruhi
hakim secara tidak wajar dalam melaksanakan tugas-
tugas peradilan.
h. Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang salah satu
pihaknya adalah organisasi atau kelompok masyarakat
apabila hakim tersebut masih atau pernah aktif dalam
organisasi atau kelompok masyarakat tersebut.
i. Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang salah satu
pihaknya adalah partai politik apabila hakim tersebut
masih atau pernah aktif dalam partai politik tersebut.
j. Hakim dilarang menggunakan wibawa jabatan sebagai
hakim untuk mengejar kepentingan pribadi, anggota
keluarga atau siapapun juga dalam hubungan finansial.
k. Hakim dilarang mengijinkan pihak lain yang akan
menimbulkan kesan bahwa seseorang seakan-akan
berada dalam posisi khusus yang dapat memperoleh
keuntungan finansial.
l. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila hakim
tersebut telah memiliki prasangka yang berkaitan
dengan salah satu pihak atau mengetahui fakta atau
bukti yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan
disidangkan.
m. Hakim dilarang menerima janji, hadiah, hibah,
pemberian, pinjaman, atau manfaat lainnya, khususnya
yang bersifat rutin atau terus-menerus dari Pemerintah
Daerah, walaupun pemberian tersebut tidak
mempengaruhi pelaksanaan tugas-tugas yudisial.

(6) Dalam kaitannya dengan penerapan berintegritas tinggi,


Pimpinan Pengadilan diperbolehkan menjalin hubungan yang
67
wajar dengan lembaga eksekutif dan legislatif dan dapat
memberikan keterangan, pertimbangan serta nasihat hukum
selama hal tersebut tidak berhubungan dengan suatu perkara
yang sedang disidangkan atau yang diduga akan diajukan ke
Pengadilan.

Pasal 10
(1) Berperilaku bertanggungjawab bermakna kesediaan untuk
melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi
wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk
menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan
tugasnya tersebut.
(2) Kewajiban hakim dalam penerapan berperilaku bertanggung
jawab adalah:
a. Hakim dilarang menyalahgunakan jabatan untuk
kepentingan pribadi, keluarga atau pihak lain.
b. Hakim dilarang mengungkapkan atau menggunakan
informasi yang bersifat rahasia, yang didapat dalam
kedudukan sebagai hakim, untuk tujuan yang tidak ada
hubungan dengan tugas-tugas peradilan.

Pasal 11
(1) Berperilaku menjunjung harga diri bermakna bahwa pada diri
manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus
dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang.
(2) Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya hakim, akan
mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan tangguh,
sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga
kehormatan dan martabat sebagai aparatur Peradilan.
(3) Kewajiban hakim dalam penerapan berperilaku menjunjung
harga diri adalah:
a. Hakim harus menjaga kewibawaan serta martabat
lembaga peradilan dan profesi baik di dalam maupun di
luar pengadilan.

68
b. Hakim wajib menganjurkan agar anggota keluarganya
tidak ikut dalam kegiatan yang dapat mengeksploitasi
jabatan hakim tersebut.
(4) Larangan bagi hakim dalam penerapan berperilaku
menjunjung harga diri adalah:
a. Hakim dilarang terlibat dalam transaksi keuangan dan
transaksi usaha yang berpotensi memanfaatkan posisi
sebagai hakim.
b. Hakim dilarang menjadi advokat, atau pekerjaan lain
yang berhubungan dengan perkara.
c. Hakim dilarang bekerja dan menjalankan fungsi
sebagai layaknya seorang advokat, kecuali jika:
1) hakim tersebut menjadi pihak di persidangan;
2) memberikan nasihat hukum cuma-cuma untuk
anggota keluarga atau teman sesama hakim yang
tengah menghadapi masalah hukum.
d. Hakim dilarang bertindak sebagai arbiter dalam
kapasitas pribadi, kecuali bertindak dalam jabatan yang
secara tegas diperintahkan atau diperbolehkan dalam
undang-undang atau peraturan lain.
e. Hakim dilarang bertindak sebagai mediator dalam
kapasitas pribadi, kecuali bertindak dalam jabatan yang
secara tegas diperintahkan atau diperbolehkan dalam
undang-undang atau peraturan lain.
f. Hakim dilarang menjabat sebagai eksekutor,
administrator atau kuasa pribadi lainnya, kecuali untuk
urusan pribadi anggota keluarga Hakim tersebut, dan
hanya diperbolehkan jika kegiatan tersebut secara wajar
(reasonable) tidak akan mempengaruhi pelaksanaan
tugasnya sebagai Hakim.
g. Hakim dilarang melakukan rangkap jabatan yang
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

69
(5) Dalam penerapan perilaku menjunjung harga diri, mantan
hakim dianjurkan dan sedapat mungkin tidak menjalankan
pekerjaan sebagai advokat yang berpraktek di Pengadilan
terutama di lingkungan peradilan tempat yang bersangkutan
pernah menjabat, paling sedikit selama 2 (dua) tahun setelah
memasuki masa pensiun atau berhenti sebagai hakim.

Pasal 12
(1) Berperilaku disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma
atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur
untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat
pencari keadilan.
(2) Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang
tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian
dan berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya,
serta tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan
kepadanya.

Pasal 13
(1) Berperilaku rendah hati bermakna kesadaran akan
keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan
terhindar dari setiap bentuk keangkuhan.
(2) Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis,
mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat
orang lain, menumbuh kembangkan sikap tenggang rasa,
serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan
ikhlas di dalam mengemban tugas.
(3) Dalam penerapan berperilaku rendah hati, Hakim harus
melaksanakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian yang
tulus, pekerjaan hakim bukan semata-mata sebagai mata
pencaharian dalam lapangan kerja untuk mendapat
penghasilan materi, melainkan sebuah amanat yang akan
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang
Maha Esa.
70
(4) Dalam penerapan berperilaku rendah hati, hakim tidak boleh
bersikap, bertingkah laku atau melakukan tindakan mencari
popularitas, pujian, penghargaan dan sanjungan dari siapapun
juga.

71

Anda mungkin juga menyukai