Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH MATA KULIAH PANCASILA

“Tiga Mainstream Etika yang Mewarnai Sikap dan


Perilaku Masyarakat Indonesia”

Dosen Pengajar:

Dr. Kurniaty SE M.SI

Disusun oleh:

KELOMPOK V

UNIVERSITAS HASANUDDIN

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

STATISTIKA

2022

i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
berkat serta rahmat-Nya, kami boleh menyelesaikan Makalah Pancasila yang berjudul “Tiga
Mainstream Etika yang Mewarnai Sikap dan Perilaku Masyarakat Indonesia” ini dengan baik
adanya. Adapun tujuan ditulisnya makalah ini yaitu untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Pancasila. Semoga dengan adanya makalah ini, pembaca dapat memperluas
wawasannya mengenai ketiga mainstream dalam bidang etika, yakni etika keutamaan, etika
deontologis, serta etika teleologis yang meliputi konsep eudaemonisme, konsep hedonisme,
dan konsep utilitarianisme.

Kami selaku penulis sadar akan ketidaksempurnaan makalah yang telah kami buat ini,
yang mana dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mohon maaf apabila terdapat kekurangan maupun kesalahan dalam makalah
yang telah kami susun ini. Selain itu, kami juga mengharapkan kritik serta saran yang
membangun dari seluruh pembaca sehingga dapat kami jadikan sebagai acuan untuk
melakukan perbaikan bagi makalah selanjutnya.

Makassar, 12 November 2022

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………...………..i

KATA PENGANTAR………………………………………..………………………...….…ii

DAFTAR ISI……………………………………………………..…………………...…...…iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……………………………………………………………………...…1
B. Rumusan Masalah………………………………...…………………….……………..2
C. Tujuan Penulisan………………………………………………………………………2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Etika…………………………………………………………….…………3
B. Mainstream Etika Keutamaan…………………………………………..……………..3
C. Mainstream Etika Deontologis…………………………………………………..…….8
D. Mainstream Etika Teleologis…………………………………………………………12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………………………...22
B. Saran………………………………………………………………………………….22

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pancasila merupakan dasar negara, ideologi negara, dan dasar filosofi negara.
Dalam fungsi nya sebagai Dasar Filosofi negara Pancasila mengandung Nilai-nilai luhur
yang diharapkan menjadi pandangan hidup bangsa. Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa mengandung etika-etika yang harus dijiwai dalam kehidupan bermasyarakat.
Secara etimologi “etika” berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos” yang berarti
watak, adat ataupun kesusilaan. Jadi etika pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu
kesediaan jiwa seseorang untuk senantiasa patuh kepada seperangkat aturan-aturan
kesusilaan (Kencana Syafiie, 1993). Dalam konteks filsafat, etika membahas tentang
tingkah laku manusia dipandang dari segi baik dan buruk. Etika lebih banyak bersangkut
dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia
(Kattsoff, 1986).

Dalam etika, aliran etika dibagi atas 3 yaitu etika keutamaan, etika teleologis dan
etika deontologis. Aliran etika keutamaan berorientasi pada keutamaan dan kebajikan.
Aliran etika teleologis berorientasi pada konsekuensi dan akibat. Sedangkan aliran etika
deontologis berorientasi pada kewajiban dan keharusan. Aliran etika teleologis kemudian
dibagi menjadi 3 yaitu Eudaemonisme (kebahagiaan), Hedonisme (kesenangan) dan
utilitarisme (kebermanfaatan).

Aliran etika ini secara pelan-pelan muncul dalam kehidupan masyarakat pancasila
di Indonesia. Diantara masyarakat Indonesia ada yang menampikan etika dengan
pandangan yang baik dan mengahasilkan kebaikan untuk bersama. Namun, tidak sedikit
warga Negara yang malah menampilkan etika yang dibalut dengan hati nurani sesat yang
tentu tidak sejalan dengan etika bangsa. Beranjak dari topik tersebut, hal ini menjadi
menarik untuk dibahas mengenai konsep dari aliran-aliran etika dan identifikasinya
dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan bagaimana sifat etika tersbut dalam
mewarnai sikap dan perilaku masyarakat Indonesia.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa itu etika?


2. Apa itu mainstream etika keutamaan?
3. Bagaimana bentuk mainstream etika keutamaan dalam kehidupan masyarakat
Indonesia?
4. Apa itu mainstream etika deontologis?
5. Bagaimana bentuk mainstream etika deontologis dalam kehidupan masyarakat
Indonesia?
6. Apa itu mainstream etika teleologis?
7. Bagaimana bentuk konsep eudaemonisme, hedonisme, dan utilitarianisme dalam
kehidupan masyarakat Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian etika.


2. Mengetahui tentang mainstream etika keutamaan.
3. Mengetahui bentuk mainstream etika keutamaan dalam kehidupan masyarakat
Indonesia.
4. Mengetahui tentang mainstream etika deontologis.
5. Mengetahui bentuk mainstream etika deontologis dalam kehidupan masyarakat
Indonesia.
6. Mengetahui tentang mainstream etika teleologis.
7. Mengetahui bentuk konsep eudaemonisme, hedonisme, dan utilitarianisme dalam
kehidupan masyarakat Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Etika
Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ethos yang mempunyai arti tempat
tinggal yang biasa; padang rumput, kandang, habitat; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan,
sikap, cara berpikir. Dalam kamus bahasa Indonesia, etika dijelaskan dengan membedakan tiga
arti. Pertama etika dijelaskan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang
hak dan kewajiban moral (akhlak). Kedua, etika dijelaskan sebagai kumpulan asas atau nilai yang
berkenan dengan akhlak. Ketiga, etika dijelaskan sebagai nilai mengenai benar dan salah yang
dianut suatu golongan atau masyarakat. Etika mempunyai tiga arti. Pertama, kata “etika” bisa
diartikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, “etika” juga berarti kumpulan asas atau
nilai moral, yang dimaksud di sini adalah kode etik. Ketiga, “etika” mempunyai arti ilmu tentang
yang baik atau buruk.

B. Mainstream Etika Keutamaan


Keutamaan dalam bahasa Inggris adalah virtue, yang merupakan terjemahan dari
bahasa Yunani, yaitu arête. Salah satu teori penting dalam etika normative adalah etika
keutamaan yang mengkaji mengenai ajaran-ajaran keutamaan. Dalam bahasa Inggris,
etika keutamaan adalah virtue ethics, yang juga dapat diartikan sebagai etika kebajikan.
Etika keutamaan merupakan etika yang mempelajari mengenai karakter utama yang
dimiliki oleh manusia. Etika ini tidak begitu menyoroti mengenai perbuatan satu demi
satu, apakah perbuatan tersebut sesuai dengan normal moral atau tidak. Etika ini juga
bukan menyelidiki apakah perbuatan seseorang baik atau buruk, melainkan apakah orang
itu sendiri baik atau buruk. Maka dapat diasumsikan bahwa, jika karakter seseorang baik,
maka akan melahirkan perbuatan yang baik dan juga sebaliknya. Dengan demikian, etika
keutamaan adalah etika yang mengarahkan fokus perhatiannya pada karakter manusia,
berbeda dengan etika lainnya yang berfokus pada perilaku manusia.

3
Etika keutamaan merupakan salah satu teori dalam cabang etika normatif yang
juga merupakan salah satu cabang terbesar dari etika. Secara normative, etika ini
mempreskripsikan suatu pencapian seseorang hingga pada kadar kebaikan dan kualitas
pribadi tertentu. Tuntutan pokok dari etika ini adalah menjadi manusia yang baik,
manusia yang optimal, dan manusia yang memiliki kepribadian dan perilaku etis yang
utama.

Salah satu etikawan pemerhati keutamaan Yunani, yaitu Thompson, menjelaskan


bahwa etika keutamaan adalah cabang etika yang berbicara tentang keutamaan yang
menjadikan kehidupan orang menjadi utama. Pokok pembicaraan dalam etika ini adalah
mengenai disposisi dan karakter atau kualitas yang dimiliki oleh individu. Etika
keutamaan membahas lebih dalam mengenai orang atau pelaku moral dan bukan pada
jenis tindakan moralnya. Moralitas adalah tentang bagaimana membangun pribadi yang
baik sehingga konsisten untuk berperilaku baik dan dapat menghasilkan tindakan yang
baik pula.

Etika keutamaan memiliki pandangan mendasar, yaitu bahwa landasan moralitas


manusia terletak pada perkembangan sifat dan karakter baik yang dimiliki oleh manusia.
Keutamaan yang dimaksud dalam moralitas, antara lain keteguhan hati, kemampuan
untuk menahan amarah, kesetiakawanan, kerendahan hati, dan kemarahan pada
tempatnya. Keutamaan-keutamaan tersebut cenderung sulit untuk dihidupkan karena
tidak mudah untuk menemukan jalan tengah antara kebaikan dan keburukan.

Dalam literatur filsafat, etika keutamaan dapat disebut dengan etika kebajikan.
Kebajikan sendiri merupakan suatu keadaan unggul yang dimiliki sehingga
memungkinkan seseorang untuk berfungsi secara bajik. Pada umumnya, keunggulan ini
tertanam dari kualitas akal dan terbangun dari latihan dan kebiasaan seseorang. Kebajikan
kemudian menjadi asas moral dan juga sebagai ciri kualitatif yang melekat pada diri
seseorang sehingga menciptakan karakter, pemikiran, dan perbuatan yang baik.

4
Pendekatan etika keutamaan dapat dikatakan bersifat aksiologis, karena
mendekati nilai kebaikan. Etika keutamaan mengkaji kebaikan sebagai unsur-unsur
keutamaan. Namun, kebaikan yang dikaji bukanlah kebaikan yang atributif semata, yang
sering menyebabkan seseorang terjebak ke dalam subjektivisme moral karena
menjustifikasi kebaikan berdasarkan subjektif dirinya. Kebaikan yang dikaji dalam etika
keutamaan adalah kebaikan yang bersifat predikatif yang lebih luas sehingga dapat
membentuk pandangan tertentu mengenai dunia. Berdasarkan yang telah dikonsepsikan
oleh Aristoteles, kebaikan predikatif dapat dimisalkan sebagai ciri dari keutamaan yang
menghantarkan manusia kepada kebahagiaan, seperti keberanian, pengendalian diri,
kecerdasan, kebijaksanaan, persahabatan, kemurahan hati, keadilan, dan lainnya.

Seorang etikawan Inggris, Gordon Graham, memandang pengkajian terhadap


konsep-konsep moral yang tebal, seperti keberanian, keadilan, dan nilai lainnya lebih
memberikan manfaat yang banyak daripada kajian yang tipis selama ini. Secara teoritis,
setidaknya terdapat tiga signifikasi dari pendekatan etika keutamaan pada saat ini.
Pertama, pendekatan teori keutamaan memberikan alternatif bagi perdebatan antara
subjektivisme etis dan realisme moral. Kedua, pengkajian teori keutamaan akan
memberikan deskripsi yang aktual mengenai suatu fenomena. Ketiga, konten deskriptif
dari kata-kata nilai memiliki elemen normative yang lebih bersifat preskriptif bagi
seseorang atau orang lain.

Menurut Aristoteles, keutamaan moral adalah kemaudan yang dimiliki oleh


manusia untuk mengatur sifat-sifat yang ekstrim, seperti kejahatan. Menurut James
Rachel, relativitas sifat keutamaan sangat dimungkinkan, karena manusia berbeda satu
dengan yang lainnya, baik dari segi hal kepribadian, lingkungan tempat tinggal, serta
aturan sosial yang akan menyebabkan sifat dan karakter yang dimiliki menjadi berbeda.
Namun, terdapat beberapa keutamaan yang dibutuhkan dan diinginkan oleh semua orang
di semua tempat dan waktu. Secara umum, semua manusia akan menemui masalah-
masalah mendasar dan mempunyai keinginan-keinginan mendasar yang sama. Setiap
orang akan menginginkan keberanian untuk mengatasi setiap bahaya yang muncul. Setiap

5
manusia juga memerlukan kejujuran dalam perkataan, karena tidak ada sosialitas yang
eksis tanpa adanya komunikasi yang jujur.

Sebagai sebuah rumusan nilai-nilai moral, nilai-nilai yang tercantum dalam


Pancasila tidak hanya dapat diinterpretasikan berdasarkan etika kewajiban, seperti yang
telah dilakukan selama ini. Berdasarkan kedudukan kodrat manusia, dapat dijelaskan
bahwa, di satu sisi manusia merupakan peribadi mandiri yang memiliki otonomi sehingga
manusia memiliki kebebasan untuk menentukan diri dan melakukan apapun sesuai
keinginannya. Namun, di sisi lain, menusia juga memiliki ketergantungan, baik terhadap
benda lain, maupun terhadap manusia lain.

Pada akhirnya, ketergantungan manusia memiliki arah paling puncak, yaitu


pengakuan terhadap adanya Tuhan. Sejauh mana ketergantungan manusia akan sampai
pada nilai Ketuhanan, pada akhirnya tetap tergantung pada individunya. Berdasarkan hal
tersebut, maka karakter dan sifat manusia untuk percaya terhadap adanya Tuhan
merupakan sesuatu yang bersifat kodrati. Namun, pada akhirnya akan tetap dikembalikan
pada individu masing-masing.

Manusia berada di dunia bersama dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai
macam kebutuhan, baik jasmani maupun rohani. Eksistensi manusia dapat diakui ketika
bersama dengan manusia lain. Hal inilah yang kemudian disebut dengan ungkapan sifat
individual manusia dapat eksis ketika manusia bersosialisasi dengan manusia lainnya.
Oleh karena itu, sifat hormat dan cinta kasih terhadap sesama merupakan sesuatu yang
secara kodrati ada dalam diri manusia.

Secara ideal, dapat dikemukakan bahwa sosialitas manusia akan membimbing


individualitas manusia. Manusida akan dapat menemukan dirinya ketika bersama-sama
dengan manusia lain. Kemampuan untuk mendamaikan antara individualitas dan
sosialitas ini kemudian akan melahirkan karakter atau sifat keadilan. Dalam hal ini, adil
berarti mampu menempatkan secara seimbang dan harmonis berbagai kepentingan
individual di tengah-tengah kepentingan sosial.

6
Penilaian moral terkait dengan nilai-nilai moral Pancasila harus dilihat dari tiga
lembaga, yaitu esensi, forma, dan ekspresi. Hal ini berarti, ketika seseorang melakukan
ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya, maka hal tersebut sudah sesuai dengan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, perlu dilakukan pertimbangan lain yang
menyangkut esensi, yaitu motivasi yang melatarbelakangi ibadah tersebut.

Kekuatan moral yang ada dalam nilai Pancasila, seperti cinta kasih terhadap
Pencipta dan sesama, pengendalian diri, penghargaan terhadap orang lain, serta keadilan,
merupakan sifat atau karakter manusia yang harus dikembangkan. Berdasakan sifat
keutamaan inilai maka sebuah tindakan dilakukan dan bukan hanya untuk sekedar
formalitas untuk menggugurkan kewajiban atau mengharapkan adanya imbalan.
Tindakan baik bukan didasrkan atas norma, hukum, agama, dan masyarakat. Namun,
didasrkan pada sifat, karakter, dan keutamaan dalam diri seseorang.

Berikut merupakan beberapa contoh mainstream etika keutamaan.

 Seorang pemimpin yang bersifat bijaksana dalam segala hal merupakan salah satu bentuk
contoh etika keutamaan, yaitu kebijaksanaan.
 Keadilan adalah contoh dari etika keutamaan, yaitu bersifat adil dalam menentukan
pilihan.
 Seseorang anak dikenal sebagai anak yang sopan dan santun. Hal tersebut terlihat dari
sikapnya yang menghormati orang lain serta berbicara dengan tutur kata yang sopan dan
baik kepada orang lain, khususnya pada orang yang lebih tua.
 Bekerja keras merupakan salah satu contoh etika keutamaan yang membuat seseorang
dapat mengatasi kecenderungan spontan untuk bermalas-malasan.
 Hidup yang baik, yaitu tidak pernah melakukan hal-hal yang dapat merugikan sekitarnya,
dapat menikmati hidup dengan tenang, nyaman, dan tentram juga merupakan contoh dari
etika keutamaan.

7
C. Mainstream Etika Deontologis
Istilah ”deontologi” berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban, dan
logos berarti ilmu atau teori. Deontologi menghadapi pertanyaan bagaimana bertindak
dalam situasi konkret tertentu dengan jawaban melakukan apa yang menjadi kewajiban
sebagaimana terungkap dalam norma dan nilai-nilai moral yang ada. Menurut etika
deontologi, suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai
atau tidak dengan kewajiban. Etika deontologi tidak mempersoalkan akibat dari tindakan
tersebut, apakah baik atau buruk.

Immanuel Kant menolak akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai suatu
tindakan karena akibat tadi tidak menjamin universalitas dan konsistensi kita dalam
bertindak dan menilai suatu tindakan. Atas dasar itu, etika deontologi sangat menekankan
motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat untuk bertindak sesuai dengan kewajiban.
Maka, dalam menilai tindakan kita, kemauan baik harus dinilai paling pertama dan
menjadi kondisi dari segalanya. Kemauan baik menjadi kondisi yang mau tidak mau
harus dipenuhi agar manusia dapat bertindak secara baik, sekaligus membenarkan
tindakannya itu. Maksudnya, bisa saja akibat dari suatu tindakan memang baik, tetapi
kalau tindakan itu tidak dilakukan berdasarkan kemauan baik untuk menaati hukum
moral yang merupakan kewajiban seseorang, tindakan itu tidak bisa dinilai baik. Akibat
baik tadi bisa saja hanya merupakan sebuah kebetulan. Atas dasar itu, menurut Kant,
tindakan yang baik adalah tindakan yang tidak saja sesuai dengan kewajiban tetapi karena
dijalankan berdasarkan dan demi kewajiban. Ia menolak segala tindakan yang
bertentangan dengan kewajiban sebagai tindakan yang baik, walaupun tindakan itu
mendatangkan konsekuensi yang baik. Demikian pula, semua tindakan yang
dilaksanakan sesuai dengan kewajiban, tetapi tidak didasarkan pada kemauan baik untuk
menghormati perintah universal, melainkan, misalnya, karena terpaksa, akan dianggap
sebagai tindakan yang tidak baik.

Secara singkat, menurut Kant ada tiga hal yang harus dipenuhi:
(1) Tindakan harus dilaksanakan berdasarkan kewajiban supaya mempunyai nilai moral.
(2) Nilai moral suatu tindakan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang
untuk melakukan tindakan tersebut, kalaupun tujuannya tidak tercapai, tindakan itu
sudah dinilai baik.
(3) Kewajiban untuk mematuhi hukum moral universal adalah hal yang niscaya bagi
suatu tindakan moral.

Bagi Kant, hukum moral telah tertanam dalam hati setiap orang dan karena itu
bersifat universal. Hukum moral itu dianggap sebagai perintah tak bersyarat (imperatif
kategoris), yang berarti hukum moral itu berlaku bagi semua orang pada segala situasi
dan tempat. Ia mengikat siapa saja dari dalam dirinya sendiri karena hukum moral itu

8
telah tertanam dalam hati setiap orang. Misalnya, bersikap adil adalah tindakan yang
baik, dan sudah kewajiban kita untuk bertindak demikian. Sebaliknya, pelanggaran
terhadap hak orang lain atau mencurangi orang lain adalah tindakan yang buruk pada
dirinya sendiri sehingga wajib dihindari. Demikian pula, sikap hormat terhadap alam,
misalnya, akan dianggap baik kalau itu dianggap sebagai sebuah kewajiban moral.

Untuk menjelaskan hukum moral universal ini, Kant membedakan antara perintah
tak bersyarat dan perintah bersyarat (imperatif hipotetis). Perintah bersyarat adalah
perintah yang hanya akan dilaksanakan kalau orang menghendaki akibatnya, atau kalau
akibat dari tindakan itu merupakan hal yang diinginkan. Jadi, perintah itu baru akan
dilaksanakan kalau syaratnya dipenuhi, yaitu kalau tercapai akibat yang dikehendaki.
Sebaliknya, perintah tak bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan begitu saja tanpa
syarat apa pun, yaitu tanpa mengharapkan akibat, atau tanpa mempedulikan apakah
akibatnya tercapai dan berguna bagi orang tersebut atau tidak. Norma atau hukum moral
merupakan perintah tak bersyarat.

Bagi Kant, ada tiga prinsip atau hukum universal yang merupakan perintah tak bersyarat.
1. Prinsip Universalitas
Prinsip universalitas membuat kita bertindak hanya atas dasar perintah yang kita
sendiri kehendaki akan menjadi sebuah hukum universal. Bagi Kant, kita mempunyai
kewajiban untuk mematuhi apa yang kita anggap benar dan akan juga dilakukan
orang lain. Oleh karena itu, kalau kita menuntut orang untuk bertindak secara tertentu
sesuai dengan hukum moral, kita sendiri pun harus bertindak seperti itu.
2. Sikap Hormat Kepada Manusia Sebagai Tujuan pada Dirinya Sendiri
Hukum universal yang harus dipegang adalah bertindaklah sedemikian rupa agar kita
memperlakukan manusia, apakah diri kita sendiri ataupun orang lain, selalu sebagai
tujuan pada dirinya sendiri dan tidak pernah hanya sebagai alat. Bagi Kant, manusia
mempunyai harkat dan martabat yang luhur sehingga tidak boleh diperlakukan secara
tidak adil, ditindas, diperas demi kepentingan lain. Demikian pula, kita tidak boleh
membiarkan diri kita diperalat, diperas, diperlakukan sewenang-wenang, dan
membiarkan hak kita dirampas.
3. Prinsip Otonomi
Kita harus bertindak berdasarkan kemauan dan pilihan sendiri karena yakin hal itu
baik, dan bukan karena diperintah dari luar (heterotonomi). Oleh karena itu, bagi
Kant, suatu tindakan akan dianggap baik secara moral kalau tindakan itu dilakukan
berdasarkan kemauan bebas, dan pilihan bebas kita. Kalaupun tindakan itu dilakukan
berdasarkan dan sesuai dengan kewajiban kita akan hukum moral universal, itu
dilakukan karena kita sendiri menghendaki demikian dan karena kita menganggapnya
benar. Misalnya, kita mau berbuat baik, bertindak adil, menghargai hak orang lain,
dengan niat agar dengan itu kita akan masuk surga. Bagi Kant, berbuat baik adalah

9
perintah tak bersyarat yang atas kemauan kita sendiri harus kita laksanakan terlepas
dari apakah ada surga atau tidak, apakah dengan demikian kita akan masuk surga atau
tidak. Kant juga ingin menghindari sikap heteronom. Sikap yang hanya mau
bertindak secara moral karena diperintahkan dari luar, atau karena faktor-faktor di
luar diri kita, misalnya ketika atau untuk dilihat orang lain.

Terdapat beberapa kesulitan yang dapat diajukan terhadap teori deontologi,


khususnya terhadap teori deontologi Kant. Pertama, dalam kehidupan sehari-hari
ketika menghadapi situasi yang dilematis, ketika ada dua atau lebih kewajiban yang
saling bertentangan, dan kita harus memilih salah satu sambil melanggar yang lain,
maka etika deontologi tidak banyak membantu.

Kesulitan ini kemudian dipecahkan oleh WD. Ross dengan mengajukan


prinsip prima facie. Menurut Ross, dalam kenyataan hidup ini, kita menghadapi
berbagai macam kewajiban moral bahkan bersamaan dalam situasi yang sama. Dalam
situasi seperti ini, kita perlu menemukan kewajiban terbesar dengan membuat
perbandingan antara kewajiban-kewajiban itu. Untuk itu, Ross memperkenalkan
perbedaan antara kewajiban prima facie dan kewajiban-kewajiban aktual. Kewajiban
prima facie adalah kewajiban yang selalu harus dilaksanakan kecuali kalau
bertentangan dengan kewajiban lain yang sama atau lebih besar. Tapi pandangan ini
punya kesulitan juga. Ross tidak bisa menunjukkan norma untuk menentukan
kewajiban apa yang berlaku diatas kewajiban prima faice lainnya sehingga tidak ada
jalan lain daripada mencari sendiri alasan yang paling meyakinkan. Namun, dengan
demikian terbuka kemungkinan bahwa tidak semua orang yang ikut dalam suatu
diskusi moral dan mencapai kesimpulan yang sama. Bisa saja, dari diskusi tentang
sebuah dilema moral muncul dua pendapat yang bertentangan. Rupanya hal itu terjadi
dalam beberapa diskusi tentang masalah etis yang kita saksikan dalam masyarakat
modern. Contoh paling mencolok adalah diskusi tentang abortus provocatus yang
sudah lama berkisar pada 2 pendapat (pro dan kontra) yang tidak pernah bisa
mencapai kesepakatan.

Persoalan kedua, sebagaimana dikatakan oleh John Stuart Mill, para penganut
etika deontologi sesungguhnya tidak bisa mengelakkan pentingnya akibat dari suatu
tindakan untuk menentukan apakah tindakan itu baik atau buruk. Para penganut etika
deontologi secara diam-diam menutup mata terhadap pentingnya akibat suatu
tindakan supaya bisa memperlihatkan pentingnya nilai suatu tindakan moral itu
sendiri. Kant sendiri tidak mengabaikan pentingnya akibat suatu tindakan. Hanya
saja, ia ingin menekankan pentingnya kita menghargai tindakan tertentu sebagai
bermoral karena nilai tindakan itu sendiri, dan tidak terlalu terjebak dalam tujuan
menghalalkan cara. Lebih dari itu, Kant ingin menekankan pentingnya hukum moral
universal dalam hati kita masing-masing, sekaligus mencegah subjektivitas kita dalam
10
bertindak secara moral. Tanpa itu, kita bisa bertindak secara berubah-ubah sesuai
dengan konsekuensi yang ingin kita capai. Dengan demikian, hukum moral hanya
akan menjadi perintah bersyarat.

Persoalan ketiga, mainstream etika deontologis tidak mengkategorikan tindakan yang


didasarkan pada rasa cinta dan kasih sayang sebagai tindakan yang benar, seperti
misalnya tindakan membaktikan hidup kepada orang tua dengan dasar rasa cinta dan
kasih. Padahal, tentu saja pemikiran tersebut keliru.

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terdapat tindakan-tindakan yang


dapat dianggap etis maupun tidak etis menurut mainstream etika deontologis. Berikut
merupakan identifikasi tindakan masyarakat Indonesia menurut mainstream etika
deontologis.

1. PT. PLN yang memonopoli kelistrikan nasional, tidak mampu secara merata dan
adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat sehingga banyak daerah yang
kebutuhan listriknya belum terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik
secara sepihak. Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi
masyarakat. Dalam kasus ini, PT. Perusahaan Listrik Negara sesungguhnya
mempunyai tujuan yang baik untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Akan
tetapi tidak diikuti dengan perbuatan atau tindakan yang baik, karena PT. PLN
belum mampu memenuhi kebutuhan listrik secara adil dan merata. Menurut teori
etika deontologi, pihak PLN melakukan tindakan yang etis dalam kegiatan usaha
karena niat baiknya.
2. Para generasi muda yang menggunakan jejaring sosial memiliki niat serta motif
yang baik adalah untuk bersilaturahmi serta mengenal dan memperbanyak teman.
Namun terdapat oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab yang memanfaatkan
hal ini untuk melakukan perbuatan yang tidak benar seperti penculikan. Pada
kasus ini, menurut mainstream etika deontology bersifat etis niatnya untuk
menjaga silaturahmi dan memperbanyak teman.
3. Ketika menjual makanan dengan harga 20.000, dan ada seorang anak kecil
membawa uang 100.000 hendak membeli makanan yang kita jual, sebenarnya kita
dapat mengubah harganya menjadi 50.000, karna anak tersebut pastinya tidak
tahu dan juga tidak akan melaporkan kita pada lembaga perlindungan konsumen.
Namun, kita memilih untuk tidak memberi harga 50.000 karena sudah menjadi
kewajiban bagi kita untuk berlaku jujur.
4. Ketika kita melihat seorang pengemis kemudian kita mendermakan sebagian
uang, karena merasa iba ataupun kasihan melihat keadaannya, maka sebetulnya
menurut Kant perbuatan itu tidak patut disebut baik, karena perbuatan baik
didasarkan pada kewajiban. Ketika melihat pengemis kewajiban kita adalah
mendermakan sebagian harta, karena itu adalah suatu kewajiban, tanpa
11
memperdulikan motifnya, entah karena iba, kasian, atau sebagainya. Perbuatan
mendermakan tersebut baru dapat memasuki taraf moralitas jika perbuatan
tersebut dilakukan semata-mata karena kewajiban.

D. Mainstream Etika Teleologis


Teleologi berasal dari bahasa Yunani yaitu telos yang berarti tujuan, akhir.
Teleologi adalah mainstream etika yang mendasarkan tindakan pada tujuan atau
akibatnya. Menurut mainstream etika ini, suatu tindakan dikatakan benar jika
menghasilkan akibat baik dan salah jika berakibat buruk. Dalam teori ini, segalanya
tergantung dari penilaian seseorang tentang apa yang dianggap baik dan buruk, tetapi apa
yang dianggap baik dan buruk bagi setiap orang berbeda.

Dalam sejarah filsafat, terdapat dua pendapat mengenai apa yang baik pada diri
sendiri, yaitu rasa nikmat dan apa yang membuat bahagia. Pendapat pertama lazim
disebut hedonisme (dari bahasa Yunani hadone yang berarti nikmat) dan pendapat kedua
dinamakan eudemonisme (dari bahasa Yunani eudaimo- nia yang berarti kebahagiaan
tertinggi). Masih ada perbedaan penting dalam teori teleologis, yaitu mengenai cakupan
apa yang baik bagi diri sendiri atau yang baik bagi banyak orang. Pendapat pertama
disebut egoisme etis dan kedua dinamakan universalisme etis yang lazim disebut
utilitarianisme etis.

1) Konsep Eudaemonisme
Eudaimonisme ialah teori etika yang menyatakan bahwa kebahagiaan
(eudaimonia) dicapai dengan melalui kebajikan (aretê). Eudaimonia serta aretê ialah
dua konsep sentral di dalam etika Yunani kuno. Eudaimonia, yang secara harfiah ini
berarti “memiliki roh penjaga yang baik,” sering diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris yakni sebagai “kebahagiaan,” serta meskipun sejauh ini memadai, itu tidak
sepenuhnya menangkap arti dari kata Yunani tersebut.
Satu perbedaan penting ialah bahwa kebahagiaan itu tampaknya terkait erat
dengan penilaian subyektif kualitas hidup seseorang, sedangkan untuk eudaimonia ini
merujuk pada kehidupan yang diinginkan dengan secara objektif. Eudaimonia
kemudian merupakan suatu gagasan yang lebih luas dari pada kebahagiaan karena
peristiwa/kejadian buruk yang tidak berkontribusi pada pengalaman kebahagiaan
seseorang memang memengaruhi eudaimonia seseorang.

12
Secara sederhana Eudemonisme didefinisikan sebagai penegasan bahwa
apapun bentuk tindakan sosial yang dilakukan manusia pada akhirnya ialah untuk
mengejar tujuan, sedangkan tujuan manusia adalah kebahagiaan yang artinya realitas
sosial ini menjadi kondisi disaat seluruh bakat, kemampuan, potensi, dan dimensi
manusia dapat dikembangkan dengan baik secara maksimal penuh.

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia eudaemonisme dapat ditemukan


dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat antara lain dalam hal kesehatan, bisnis,
kehidupan koleransi, dan sebagainya.

1. Kesehatan
Kasus penggambarannya atas implementasi eudemonisme dalam bidang
kesehatan. Misalnya saja ketika bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit
pemerintah. Kerap kali dijumpai ruang tunggu pengambilan obat di rumah sakit
yang tidak mampu lagi menampung pasien yang akan mengambil obat. Disinilah,
sebagai manusia akan muncul visi yang jelas pada setiap tindakan atau kegiatan
yang dilakukannya yaitu untuk menemukan kebahagiaan dengan mengusulkan
untuk menata ulang bangku tempat tunggu pasien untuk mengambil obat dengan
mengedepankan kenyamanan dan daya tampung yang lebih banyak. Melalui pola
pikir semacam ini, maka hal akan menjadikan manusia lebih fokus dengan
tindakan-tindakan yang dilakukannya. Selain itu dengan tujuan akhirnya yang
ingin dicapainya ini, maka secara langsung juga memotivasi manusia untuk dapat
melakukan kegiatan secara maksimal tanpa adanya rasa pantang menyerah
terhadap kondisi yang ada. Tujuan akhir tentu saja berupa kebahagiaan bersama
yang berhasil diperolehnya nanti akan menimbulkan suatu kepuasaan dan
penghargaan tertentu dalam diri seseorang itu sendiri maupun dalam lingkungan
sosial yang ada.
2. Bisnis
Dalam ranah bisnis penerapan eudemonisme ialah membuat business plan
maupun perancanaan usaha dengan membuat analisis SWOT. Sehingga hal ini
menjadikan segala kegiatan yang dilakukan manusia akan dilakukan penuh
dengan perencanaan. Tujuannya tentu saja yaitu agar setiap kegiatan berhubungan
dengan bisnis tersebut bisa dilakukan dengan berhasil dan mencapai tujuan akhir
yang selama ini sudah impikan. Selain itu kegiatan-kegiatan usaha yang dilakukan
juga harus rasional, karena semakin bisa dipikirkan dengan daya pikir yang jelas
maka akan semakin mudah untuk mencapai keberhasilan dari setiap kegiatan atau
tindakan yang dilakukan manusia.
3. Kehidupan Toleransi
Adanya seseorang yang telah fokus pada tujuan utamanya untuk mencari
kebahagiaan dalam hidupnya menjadikan menjadikannya memiliki pengamalan
13
atas contoh sikap rasa toleransi dalam bermasyarakat. Karena adanya
kecenderung memikirkan inilah semua hal yang baik untuk kepentingannya
sendiri, sehingga menjadi menghargai dan menghormati orang lain.
4. Kehidupan Sehari-hari
Penggambaran atas keseharian pengamalan atas sikap eudemonisme, misalnya
sebagai pelayan toko. Suatu hari tanpa sengaja berbuat kesalahan pada pelanggan.
Pelanggan mengancam akan melaporkan kelalaian ada atasan. Dengan adanya
kejadian tersebut tentu saja seseorang yang memiliki sikap eudaemonisme
langsung meminta maaf dan mengkomunikasikan pada atasan. Perwujutan atas
tindakan ini tentu saja sesuai dengan tujuan mampu menampilkan perilaku
keramahtamahan dalam bekerja yang efektif agar bisa memenuhi kebutuhan dan
kepuasan orang lain sesuai dengan tugas dan wewenang yang dimiliki. Walaupun
begitu, eudaemonisme juga biasanya diikuti dengan sifat egoisme. Egoisme dapat
muncul dalam eudaemonisme karena sifat manusia yang mementingkan
kebahagiaan dengan menghiraukan kebahagiaan orang lain. Di Indonesia sendiri
tak sedikit dijumpai sifat eudaemonisme negatif ini misalnya sebagai anggota
pemerintah yang melakukan korupsi, pedagang yang curang untuk menghasilkan
untung besar dan kasus penipuan yang tak jarang terjadi di masyarakat.
Eudaemonisme dimasyarakat perlu ditata agar berkembang sejalan dengan
kepentingan bersama masyarakat dan tidak hanya berpusat pada kepentingan
pribadi semata, karena eudaemonisme dalam hal tersebut bukan tidak mungkin
dapat menjadi bumerang bagi masyarakat itu sendiri.

2) Konsep Hedonisme
Perkembangan zaman memberikan suatu gaya hidup baru dalam kehidupan
manusia. Gaya hidup manusia dipengaruhi oleh pola perkembangan zaman yang saat
ini identik dengan kemewahan material. Gaya hidup ini secara tidak langsung
ditafsirkan sebagai hedonisme, prinsip yang menganggap kenikmatan adalah hal yang
harus dicapai sehingga manusia berusaha memenuhi level kenikmatannya secara
terus-menerus.

Konsep hedonisme telah mengalami banyak perkembangan, Aristippos hingga


Epicurus memiliki penafsiran level kenikmatan yang berbeda. Kenikmatan hanya
berhubungan dengan jasmaniah saja dikemukakan oleh Aristoppus. Namun, Epicurus
membantah bahwa kenikmatan atau kesenangan harus mencakup materi atau
jasmaniah dan rohaniah. Pelopor teori hedonisme pada zaman Yunani diantaranya
adalah Democritus, Aristoppus, Epicurus, Jeremy Bentham, dan James Mill. Dua
filsuf terkenal adalah Aroistoppus dan Epicurus, Aristoppus memiliki pendapat yang
bertentangan dengan Epicurus. Menurut Aristoppus kesenangan adalah hal utama
yang dicari dalam hidup manusia. Ia mengesampingkan adanya rasa sakit ketika

14
mencapai kesenangan. Kesakitan adalah hal wajar yang diperoleh. Sedangkan
Epicurus menilai kesenangan dalam hidup adalah ketika manusia merasakan
ketenangan. Ia menghindari kesakitan yang didapatkan individu dalam menafsirkan
sebuah kesenangan. Semua hal harus berada dalam keadaan setimbang sehingga tidak
ada kesakitan yang dirasakan. Epicurus menyatakan bahwa level terbaik dari
kenikmatan adalah dengan mempertimbangkan ketenangan. Ketika kenikmatan yang
didapat membawa ketenangan maka hal itu baik, namun ketika kenikmatan membawa
ketidaktenangan maka hal itu tidak baik.

Gaya hidup hedonisme adalah suatu pola yang mementingkan kesenangan,


pengakuan diri dalam kehidupan dan selalu berusaha tampil mewah untuk
menampilkan kesan modern dan prestisius. Pandangan hidup yang mendorong untuk
mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan menghindari ketidaktenangan. Saat ini,
paham hedonis telah terkontaminasi paham kapitalisme. Hedonis masa kini adalah
akibat dari salah mengartikan makna kenikmatan sesungguhnya.

Seorang hedonis cenderung memilih pergaulan berdasarkan hasil seleksi


secara materi. Teman bagi seorang hedonis adalah mereka yang dianggap satu level
dan mampu membelanjakan uang untuk barang-barang popular. Prinsip hedonisme
telah banyak dianut oleh setiap individu terutama anak muda, faktor lingkungan dan
perkembangan teknologi menuntut anak muda untuk mengikuti trend. Hal ini
berdampak negatif, sebagian dari mereka menjadi kurang kritis dalam menghadapi
permasalahan, cenderung menjadi pengikut semua gaya kekinian, tidak mempunyai
tujuan hidup serta berkurangnya tingkat kepedulian sosial.

Gaya hidup anak muda pada masa dewasa awal dapat dilihat dari beberapa
representasi gaya hidup mahasiswa. Mahasiswa Universitas Riau Kota Pekanbaru
memperlihatkan gaya hidup hedonis melalui kebiasaan berbelanja dan nongkrong di
café, mall dan pusat perbelanjaan. Perilaku konsumtif mahasiswa juga dipengaruhi
oleh perkembangan teknologi, mereka cenderung menggunakan jasa antar makanan
online dengan pesanan makanan yang sudah modern.

Berdasarkan riset, motif menerapkan gaya hidup hedonis adalah untuk


mengikuti perkembangan zaman dan diakui oleh teman sebaya. Mengkonsumsi suatu
barang secara berlebihan merupakan perilaku konsumtif dengan gaya hidup hedonis.
Terdapat beberapa dampak yang dapat ditimbulkan jika perilaku ini terus dilakukan,
efek psikologis akan menyebabkan rasa cemas ketika tidak mampu lagi memenuhi
hasrat untuk membeli barang secara berlebihan. Ditinjau dari segi ekonomi, perilaku
ini mendorong pelaku bersifat boros sehingga pengelolaan keuangan mengalami
kemerosotan.

15
Sebagian mahasiswa IAIN Bukittinggi juga memperlihatkan gaya hidup
seperti kebiasaan nongkrong di cafe, mengkonsumsi barang mewah dan
mengesampingkan kebutuhan primarinya. Fenomena serupa juga terlihat di kalangan
mahasiswa kota Makassar. Riset yang dilakukan di Fakultas Ekonomi Universitas
Negeri Malang memberikan gambaran perilaku konsumtif mahasiswa yang suka
berbelanja dengan alasan mudahnya akses ke pusat perbelanjaan.Kota Malang
merupakan kota metropolitan, sehingga banyak akses mudah untuk mall, restoran,
dan salon. Mahasiswa cenderung konsumtif dan hedonisme sehingga uang yang
seharusnya digunakan untuk biaya hidup selama satu bulan dapat habis sebelum jatuh
temponya.

Pengaruh modernisasi juga menyertai perubahan gaya hidup, salah satunya


adalah kehidupan sosialita. Kaum hedonis biasanya melakukan kegiatan untuk
mencapai kepuasan pribadi dengan menampilkan perilaku hidup yang berlebihan.
Kehidupan sosialita diidentikkan dengan kaum hedonis dan kaum konsumtif. Kaum
sosialita adalah mereka yang identik dengan barang mewah dan kehidupan glamour.
Ironinya perilaku hedonisme ini mewabah hingga ke pedesaan.

Pada riset terkait gaya hidup hedonisme di desa Tirto Kecamatan Pamekasan,
wanita desa menerapkan konsep hedonisme dengan memuaskan diri serta mengikuti
perkembangan fashion sebagai bentuk aktualisasi diri agar diakui oleh masyarakat.
Gaya hidup di desa Tirto berujung pada pembatasan sosial. Wanita sosialita hanya
bergaul dengan melihat status dan kemampuan pemenuhan kebutuhan dalam
penerapan gaya hidup hedonisme. Trimartati pada tahun 2014 melakukan riset untuk
melihat gaya hidup hedonisme yang ada pada kalangan mahasiswa Bimbingan
Konseling Universitas Ahmad Dahlan. Gaya hidup hedonis ditunjukkan dengan
memiliki barang branded, menempati kos mewah dengan harga cukup mahal. Hal ini
dilakukan untuk meningkatkan rasa percaya diri dalam pergaulan. Mahasiswa selalu
berlomba untuk terlihat lebih dengan cara memuaskan diri menggunakan barang yang
dianggap mampu meningkatkan status sosial. Sampel survey 20 mahasiswa di Jakarta
menyatakan bahwa salah satu tempat berkumpul yang paling disukai adalah
Starbucks. Hal ini sejalan dengan keinginan mendapatkan kebahagiaan jika
membelanjakan uang untuk barang yang sedang populer. Mahasiswa Fakultas
Ekonomi Universitas Negeri Surabaya memiliki kebiasaan nongkrong bersama
teman-teman dalam rangka untuk sekedar berkumpul dan bercerita. Hal ini disadari
sebagai suatu kebiasaan buruk yang menyebabkan pengeluaran keuangan menjadi
tidak terkendali. Fenomena ini menyebabkan orang tua harus mengirimkan uang
bulanan lebih banyak dari ketentuan seharusnya. Perilaku konsumtif sebagai wujud
dari gaya hidup hedonis membuat mahasiswa kewalahan dalam mengatur keuangan
pribadi.

16
Hedonisme mesti disikapi secara kritis dan bijaksana, terutama bagi bangsa
Indonesia yang sedang membangun di segala bidang. Kehidupan manusia dalam
masyarakat yang semakin berkembang ini, selalu berkaitan erat dengan segi jasmani
dan rohani. Manusia dalam kehidupannya memerlukan materi untuk memenuhi
kebutuhannya, tetapi bukan berarti meninggalkan pertimbangan- pertimbangan yang
bersifat rohani. Hal-hal yang bersifat materi dan rohani mestinya ditempatkan pada
posisi yang seimbang. Kenikmatan mestinya bukan dipandang dari sisi materi saja,
tetapi kenikmatan yang sesungguhnya dicapai, jika diimbangi juga kenikmatan yang
sifatnya rohani. Kehidupan manusia tidak pernah lepas dengan lingkungannya.

Hubungan dalam arti kompleks berkaitan dengan manusia lain, alam semesta,
dan Tuhan. Pemahaman ini mengindikasikan bahwa manusia memiliki tanggung
jawab yang sifatnya vertikal dan horizontal. Manusia memiliki tanggung jawab untuk
membina hubungan yang baik dengan manusia lain, menjaga keseimbangan alam,
dan tanggung jawab terhadap sang Pencipta. Membina hubungan baik antar sesama
manusia dan menjaga kelestarian alam sebagai wujud rasa syukur pada Tuhan.
Sebagai contoh, seorang ilmuwan mestinya memiliki tanggung jawab untuk
melakukan penelitian-penelitian yang hasilnya untuk perkembangan ilmu dan
disumbangkan untuk kepentingan masyarakat. Hasil penelitian bukan dijual ke
sektor-sektor tertentu demi pertimbangan dan keuntungan materi. Ilmuwan memiliki
tanggung jawab profesional dan sosial juga. Contoh lainnya adalah eksploitasi alam
yang berlebihan akan berdampak buruk bagi manusia dan lingkungannya. Alam
beserta isinya memang diperuntukkan bagi manusia dan makhluk lainnya yang ada di
alam semesta. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya alam mestinya ditujukan
untuk kesejahteraan manusia, dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungannya.
Kenikmatan mestinya dipahami dari adanya keseimbangan yang sifatnya jasmani dan
rohani, individu dan sosial, dan manusia sebagai makhluk Tuhan. Sikap bijak dalam
kehidupan sangat diperlukan untuk mencapai kenikmatan yang sebenarnya.

3) Konsep Utilitarianisme
Utilitarianisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa tindakan dan
kebijakan perlu dievaluasi berdasarkan manfaat dan biaya yang dibebankan
pada masyarakat. Dalam situasi apa pun, tindakan atau kebijakan yang “baik” adalah
yang memberikan manfaat paling besar atau biaya paling
kecil. Utilitarianisme merupakan sebuah prinsip moral yang mengklaim bahwa sesuatu
dianggap benar apabila mampu menekan biaya sosial (social cost) dan memberikan
manfaat sosial (social benefit). “Utilitarianisme” berasal dari kata Latin utilis, yang
berarti berguna, bermanfaat, berfaedah, atau menguntungkan. Istilah ini juga sering

17
disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happiness
theory). Utilitarianisme adalah suatu teori dari segi etika normatif yang menyatakan
bahwa suatu tindakan yang patut adalah yang memaksimalkan penggunaan (utility),
biasanya didefinisikan sebagai memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi
penderitaan.

Menurut Bentham, utilitarianisme dimaksudkan sebagai dasar etis-moral untuk


memperbaharui hukum Inggris , khususnya hukum pidana. Dengan demikian, Bentham
hendak mewujudkan suatu teori hukum yang kongkret, bukan yang abstrak. Ia
berpendapat bahwa tujuan utama hukum adalah untuk memajukan kepentingan para
warga Negara dan bukan memaksakan perintah-perintah Tuhan atau melindungi apa yang
disebut hak-hak kodrati. Oleh karena itu, Bentham beranggapan bahwa klasifikasi
kejahatan dalam hukum Inggris sudah ketinggalan zaman dan karenanya harus diganti
dengan yang lebih up to date. Melalui buku tersebut, Bentham menawarkan suatu
klasifikasi kejahatan yang didasarkan atas berat tidaknya pelanggaran dan yang terakhir
ini diukur berdasarkan kesusahan dan penderitaan yang diakibatkannya terhadap para
korban dan masyarakat. Menurut Bentham, prinsip utilitarianisme ini harus diterapkan
secara kuantitatif. Karena kualitas kesenangan selalu sama, maka satu-satunya aspek
yang bisa berbeda adalah kuantitasnya. Dengan demikian, bukan hanya the greatest
number yang dapat diperhitungkan, akan tetapi the greatest happiness juga dapat
diperhitungkan. Untuk itu, Bentham mengembangkan Kalkulus Kepuasan (the hedonic
calculus).

Ada faktor-faktor yang menentukan berapa banyak kepuasan dan kepedihan yang
timbul dari sebuah tindakan. Faktor-faktor tersebut adalah :
 Menurut intensitas (intensity) dan lamanya (duration) rasa puas atau sedih yang timbul
darinya. Keduanya merupakan sifat dasar dari semua kepuasan dan kepedihan ; sejumlah
kekuatan tertentu (intensitas) dirasakan dalam rentang waktu tertentu.
 Menurut kepastian (certainty) dan kedekatan (propinquity) rasa puas atau sedih itu.
Contoh semakin pasti anda dipromosikan , semakin banyak kepuasan yang anda dapatkan

18
ketika memikirkannya, dan semakin dekat waktu kenaikan pangkat, semakin banyak
kepuasan yang dirasakan.
 Menurut kesuburan (fecundity), dalam arti kepuasan akan memproduk kepuasan-
kepuasan lainnya, dan kemurnian (purity). Maksudnya kita perlu mempertimbangkan
efek-efek yang tidak disengaja dari kepuasan dan kepedihan. “Kesuburan” mengacu pada
kemungkinan bahwa sebuah perasaan tidak akan diikuti oleh kebalikannya, tetapi justru
akan tetap menjadi diri”murni”nya sendiri, dalam arti kepuasan tidak akan mengarah
kepada kepedihan atau pun sebaliknya kepedihan tidak akan menimbulkan kepuasan.
 Menurut jangkauan (extent) perasaan tersebut. Dalam arti kita perlu memperhitungkan
berapa banyak kepuasan dan kepedihan kita mempengaruhi orang lain. Contoh orang tua
merasa puas ketika anak berprestasi dan merasa sedih ketika anak jatuh sakit.

Utilitarianisme menyatakan bahwa manusia seharusnya mengupayakan sebesar-besarnya


kenikmatan untuk manusia, bahkan untuk semua makhluk hidup yang merasakan dampaknya. Salah
satu kekuatan Utilitarianisme adalah kenyataan bahwa mereka menggunakan sebuah prinsip yang
jelas dan rasional. Dengan mengikuti prinsip ini, seseorang mempunyai pegangan yang jelas untuk
membentuk kebijaksanaannya dalam berperilaku. Kekuatan lainnya adalah orientasi utama teori ini
pada hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang mempunyai akibat buruk (misalnya perbuatan yang
mencelakakan orang lain), mempunyai peluang lebih besar untuk dianggap secara etis bernilai buruk
daripada perbuatan yang mempunyai akibat baik (misalnya perbuatan membantu orang lain).

Paham Utilitarianisme klasik dapat disimpulkan kedalam tiga pernyataan, yaitu :


 Tindakan harus dinilai benar atau salah hanya demi akibat- akibatnya (consequences). Hal lain
tidak menjadi pertimbangan. Motif manusia tidak penting, karena tidak bisa diukur atau diukur,
berbeda dengan tindakan yang bisa diukur.
 Dalam mengukur akibat-akibatnya, satu-satunya yang penting hanyalah jumlah kebahagiaan
atau ketidak-bahagiaan yang dihasilkan. Hal lain tidak relevan.
 Kesejahteraan setiap orang dianggap sama pentingnya. Tindakan yang benar adalah yang
menghasilkan pemerataan maksimal dari kesenangan di atas ketidaksenangan, di mana
kebahagiaan setiap orang dipertimbangkan secara sama pentingnya.

19
Sony Keraf merumuskan tiga kriteria obyektif dalam kerangka etika Utilitarianisme untuk menilai
suatu kebijaksanaan atau tindakan, yaitu :
 Kriteria pertama adalah manfaat . Kebijaksanaan atau tindakan yang baik adalah yang
menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya, kebijaksanaan atau tindakan yang tidak baik adalah
yang mendatangkan kerugian tertentu.
 Kriteria kedua adalah manfaat terbesar. Suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara
moral jika menghasilkan lebih banyak manfaat dibandingkan dengan kerugian. Atau, tindakan
yang baik adalah tindakan yang menimbulkan kerugian terkecil.
 Kriteria ketiga adalah bagi sebanyak mungkin orang. Suatu tindakan dinilai baik secara moral
hanya jika menghasilkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. atau suatu tindakan
dinilai baik secara moral jika membawa kerugian yang sekecil mungkin bagi sesedikit orang.

Berikut merupakan beberapa karakteristik yang menggambarkan paham utilitarianisme.


 Universalisme
Para penganut paham utilitarianime beranggapan bahwa moralitas itu sifatnya universal. Semua
patokan manusia mengenai nilai moralitas pun hampir sama. Terlepas dari siapa kita dan siapa
mereka,standar moralitas yang dipegang tetaplah sama.
 Konsekuensialisme
Yang terpenting dari paham utilitarianisme adalah konsekuensinya. Seperti yang kita tahu,
paham ini berpegang teguh pada pertimbangan keputusan sebelum melakukanya. Semua
tindakan harus ditimbang baik buruknya terlebih dahulu.
 Welfarisme (kesejahteraan)
Tentunya semua hal yang telah diputuskan dengan sebaik baiknya menciptakan dampak bagi
kesejahteraan manusianya. Seakan akan semua tindakan yang akan dilakukan berbanding lurus
dengan tingkat kesejahteraan yang ada. Namun, tingkat kesejahteraan sendiri sifatnya subjektif.
 Maksimalisasi
Dalam hal ini mengartikan bahwa utilitarianisme yang berupa tindakan baik akan melahirkan
tingkat kesejahteraan yang maksimal. Baik itu dampak baik dan lain sebagainya.

Adapun tindakan-tindakan yang mencerminkan adanya utilitarianisme, yaitu:


 Beberapa relawan yang mengumpulkan dana sosial untuk membantu para kaum dhuafa selama
pandemi berlangsung.

20
 Para produsen jajan pasar yang menjual barang nya dengan mengambil keuntungan yang sangat
sedikit, apabila dibandingkan dengan produsen jajan pasar lainnya. Hal itu mengakibatkan jajan
pasar yang dijualnya lebih menarik banyak konsumen. Dalam kata lain,sangat laku di pasaran.

Berkembangnya konsep utilitarianisme memberikan beberapa dampak. Berikut merupakan


beberapa dampak dari berkembangnya konsep utilitarianisme.
 Kebahagiaan
Prinsip utama dari teori utilitarianisme menyatakan bahwa semua tindakan yang benar dan
telah bersesuaian dengan kaidah akan menghasilkan dampak berupa kebahagiaan yang
menyeluruh. Dengan memprtimbangkan semua keputusan yang baik membuat paham
utilitarianisme sendiri menghadirkan kebahagiaan yang hakiki pada pemercayanya. Yang mana
mereka hanya merasakan dampak baik dari semua tindakannya.
 Tidak ada rasa diskriminasi
Orang atau kelompok yang menganut paham utilitarianisme pastinya sangat menjunjung tinggi
adanya kebahagiaan. Mereka sangat mempertimbangkan kebahagiaan orang lain. Yang mana
mereka tidak berkeinginan sama sekali untuk merusaknya, terutama dengan mendiskriminasi.
Hal itu dikarenakan mereka percaya bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan akan meuai
dampaknya dilain hari.

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Etika dapat diartikan sebagai nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, kumpulan asas atau
nilai moral (kode etik), maupun ilmu mengenai baik atau buruk. Etika memiliki beberapa
mainstream, yakni etika keutamaan, etika deontolgis, serta etika teleologis yang
mencakup eudaemonisme, hedonisme, dan utilitarianisme. Etika keutamaan mengkaji
mengenai karakter utama yang dimiliki oleh manusia dan tidak begitu menyoroti
perbuatan, sehingga mengasumsikan bahwa karakter yang baik akan melahirkan
perbuatan yang baik, juga sebaliknya. Etika deontologis mengkaji suatu tindakan
berdasarkan niat baik dari seseorang, yang mana suatu tindakan dibenarkan apabila
dilakukan karena memang merupakan suatu kewajiban berdasarkan hukum moral
universal, tanpa memikirkan akibatnya. Etika teleologis mengkaji nilai moral suatu
tindakan berdasarkan akibat dari perbuatan tersebut, yang mana apabila suatu tindakan
memberikan akibat yang baik, maka tindakan tersebut dikategorikan sebagai tindakan
yang bersifat etis, begitu pula sebaliknya.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga pembaca disarankan untuk mencari referensi tambahan mengenai materi
mainstream etika yang mewarnai sikap dan perilaku masyarakat Indonesia agar dapat
lebih mendalami pengetahuan mengenai materi tersebut. Sadar akan segala
kekurangan yang terdapat pada makalah ini, penulis akan berusaha untuk lebih fokus
dan detail dalam penyusunan makalah dengan menggarap lebih banyak sumber yang
dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu, penulis juga mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk dijadikan sebagai acuan perbaikan pada makalah selanjutnya.

22
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2016. Tentang Etika. Diakses pada 13 November 2022, dari
https://www.kompasiana.com/marlinacatur/586286325597735308e85d6b/tentang-etika

Anonim. 2021. Utilitarianisme. Diakses pada 12 November 2022, dari


https://psike.id/glossary/utilitarianisme

Hastanti, W. 2015. Etika Keutamaan dalam Nilai-Nilai Pancasila. Diakses pada 13 November
2022, dari
https://www.researchgate.net/profile/Hastanti-Widy/publication/287686709_ETIKA_KE
UTAMAAN_PANCASILA/links/5678d0a408ae502c99d57e3c/ETIKA-KEUTAMAAN-
PANCASILA.pdf

Ibeng, Parta. (2022). Pengertian Eudaemonisme, Dampak, Macam, Ciri dan Contohnya. Dilihat
pada 12 November 2021 di https://pendidikan.co.id/pengertian-eudaemonisme-dampak-
macam-ciri-dan-contohnya/

Irvana, Nadia. Utilitarianisme: Pengertian – Teori dan Contohnya. Diakses pada 12 November
2022, dari https://haloedukasi.com/

Iswardhana, P,. R,. (2019). Kasus Korupsi DPRD Malang ditinjau dari nilai eudaemonisme yang
berkaitan dengan hati nurani sesat. April 2019

Rahm190. 2011. Pengertian & Contoh dari Etika Teleologi, Deontologi, Teori Hak, Teori
Keutamaan. Diakses pada 13 November 2022, dari
https://r4hm190.wordpress.com/2011/10/11/pengertian-contoh-dari-etika-teleologi-
deontologi-teori-hak-teori-keutamaan/

Rahmasari, T. P. (2022). PERGESERAN MAKNA HEDONISME EPICURUS DI


KALANGAN GENERASI MILLENIAL SHIFTING THE MEANING OF HEDONISM
ON THE MILLENIAL GENERATION. Jurnal Yaqzhan, 8(01).

Ratnawati Tina & A. Sonny Keraf. Pengertian dan Teori Etika. DIakses pada 12 November
2022, dari https://pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/PWKL4302-M1.pdf

23
Setyabudi, M. N. P. & Yusman, M. R. 2015. Etika Keutamaan (Virtue Ethics). Diakses pada 13
November 2022, dari
https://www.academia.edu/download/58214315/ETIKA_KEUTAMAAN.pdf

Skeptical Inquirer. 2017. Pengertian & Contoh dari Etika, Teleologi, Deontologi, Teori Hak,
Teori Keutamaan. Diakses pada 13 November 2022, dari
https://skepticalinquirer.wordpress.com/2017/01/08/gold-digger/

Tim DosenSosiologi.com. (2021). 4 contoh Eudaemonisme di Masyarakat dalam keseharian.


Dilihat pada 12 November 2022 di https://dosensosiologi.com/contoh-eudemonisme/

24

Anda mungkin juga menyukai