Pancasila Sebagai
Etika
Disusun oleh:
Kelompok 5
1. Amelia Dwi Septiyani
2. Erico Hilmar Andreantono
3. Fitria Nur Fatekhah
4. Mufidah Adawiyyah
5. Muhamad Bagas Maulana Ibrohim
6. Yurnia Indriasari, S.E
Fakultas : Kesehatan
Prodi : S1 Keperawatan
1
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan
tak lupa pula kami ucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah -Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Pancasila
yang membahas tentang “Pancasila Sebagai Etika”. Dan juga kami berterima kasih kepada
Bapak Basuni Ismail, S.H, M.H selaku dosen mata kuliah Pancasila di umiversitas As-
syafi’iyah yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Adapun makalah Pancasila Sebagai Etika ini telah kami usahakan semaksimal
mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai referensi buku dan referensi internet,
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa
menyampaikan bayak terima kasih kepada seluruh referensi-referensi yang telah membantu
kami dalam pembuatan makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai Peranan Pancasila Sebagai Etika di Indonesia, khususnya
bagi penulis. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran
dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................................1
KATA PENGANTAR.....................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................4
A. Latar belakang....................................................................................4
B. Rumusan masalah...............................................................................5
C. Tujuan.................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................6
A. Pengertian Etika..................................................................................6
B. Norma Etik Bersumberkan Pancasila.................................................8
C. Kode Etik Profesi.............................................................................15
D. Pengamalan Subjektif Norma Etik...................................................21
A. Kesimpulan.......................................................................................22
B. Saran.................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................23
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nilai norma dan moral adalah konsep-konsep yang saling terkait. Dalam
hubungannya dengan pancasila maka ketiganya akan memberikan pemahaman yang saling
melengkapi sebagai sistem etika.
Pancasila sebagai suatu sistem falsafat pada hakikatnya merupakan suatu sistem nilai
yang menjadi sumber dari penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun norma
kenegaraan lainnya. Disamping itu, terkandung juga pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis,
mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif. Oleh karena itu, suatu pemikiran filsafat
adalah suatu nilai-nilai yang mendasar yang memberikan landasan bagi manusia dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai tersebut dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau kehidupan
nyata dalam masyarakat, bangsa dan Negara maka diwujudkan dalam norma-norma yang
kemudian menjadi pedoman. Norma-norma itu meliputi :
Norma moral : Yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari
sudut baik dan buruk, sopan atau tidak sopan, susila atau tidak susila
Norma hukum : Sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu tempat dan
waktu tertentu dalam pengertian ini peraturan hukum. Dalam pengertian itulah Pancasila
berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Dengan demikian, Pancasila pada hakikatnya bukan merupakan suatu pedoman yang
langsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai
etika yang merupakan sumber norma.
4
B. Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang yang telah dikemukakan di atas, muncul beberapa rumusan
masalah yang menarik untuk dikaji
C. Tujuan
1. Agar mahasiswa lebih memahami tentang materi Pancasila Sebagai Sistem Etika.
2. Untuk mendorong semangat mahasiswa agar memiliki etika yang sesuai dengan
Sila dalam Pancasila.
3. Untuk menambah wawasan mahasiswa tentang Pancasila Sebagai Sistem Etika.
4. Untuk memberi gambaran secara tertulis tentang Pancasila Sebagai Sistem Etika.
5
BAB II
PANCASILA SEBAGAI ETIKA
A. Pengertian Etika
Kata etika yang secara etimologis dari kata yunani ethos secara harfifah berarti adat
kebiasaan. Watak atau kelakuan manusia. Dalam KBBI, etika di artikan sebagai ilmu
tantang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Pengertian etika bias bias beragam menurut para ahli, namun dapat di klasifikasikan ke
dalam 3 makna (sudarminta, 1997); makna etika yang pertama adalah sebagai sistem
nilai. Kata etika di sini berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangaan hidup atau sebagai pedoman penilaian baik buruknya perilaku manusia, baik
secara individu maupun social dalam suatu masyarakat. Makna ini misalnya di gunakan
dalam etik jawa, etik protestan, dan sebagainya. Makna yang kedua adalah kode etik,
yang mana merupakan kumpulan norma dan nilai moral yang wajib di perhatikan oleh
pemegang profesi tertentu.
Meurut bertens (2000), kata etika dapat di artikan sebanyak 3 jenis yang pertama
1. Etika berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok yang mengatur tingkah lakunya. Hal ini biasa di
artikan sebagai sistem nilai yang befungsi dalam hidup manusia perorangan maupun
staf social.
2. Etika di artikan sebagai kumpulan asas dan moral yaitu kode etik.
3. Etika berarti ilmu tentang yang baik atau buruk.
Selain etika, di kenal juga dengan istilah etiket, yang berasal dari bahasa prancis,
etiquette, eika berarti moral namun etiket adalah sopan santun,dinyatakan bahwa
1. Etiket menyangkut cara sesuatu perbuatan yang harus di lakukan manusia, sedangkan
etika tidak terbatas pada cara di lakukannya sesuat perbuatan, etika member norma
pada perbuatan itu sendiri .
2. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, sedangkan etika tidak bergantung pada hadir
tidaknya orang lain.
3. Etiket bersifat relative, sedangkan etika bersifat absolute.
4. Etiket berarti memandang manusia hanya dari segi lahiriahnya, sedangkan etika
menyangkutkan manusia dari segi dalam.
1. Macam-macam etika atau filsafat moral
Etika sebagai filsafat moral adalah salah satu cabang ilmu yang secara filsafat
yang secara khusus mengkaji perilaku manusia dari segi baik buruknya atau benar
salahnya. Secara umum dapat di bedakan dua cabang besar etika:
Etika umum adalah etika yang menyajkan beberapa pengertian dasar dan pengaji
beberapa permasalahan pokok dalam filsafat moral.
6
Etika khusus adalah etika yang membahas beberapa permasalahan moral dalam bidang
bidang khusus.
a. Etika deskriptif
Hanya melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan
suatu kelompok, tanpa memberikan penilaian. Etika deskriptif memelajari moralitas
yang terdapat pada kebudayaan tertentu, dalam periode tertentu. Etika ini dijalankan
oleh ilmu-ilmu sosial: antropologi, sosiologi, psikologi, dll, jadi termasuk ilmu empiris,
bukan filsafat.
b. Etika normatif
Etika yang tidak hanya melukiskan, melainkan melakukan penilaian (preskriptif:
memerintahkan). Untuk itu ia mengadakan argumentasi, alasan-alasan mengapa
sesuatu dianggap baik atau buruk. Etika normatif dibagi menjadi dua, etika umum
yang mempermasalahkan tema-tema umum, dan etika khusus yang menerapkan
prinsip-prinsip etis ke dalam wilayah manusia yang khusus, misalnya masalah
kedokteran, penelitian. Etika khusus disebut juga etika terapan.
c. Metaetika
Meta berati melampaui atau melebihi. Yang dibahas bukanlah moralitas secara
langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika bergerak
pada tataran bahasa, atau memelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis.
7
b. Etika deontology
Etika deontology adalah teori yang membicarakan kewajiban moral sebagai hal
yang benar dan bukan membicarakan tujuan atau akibat dari etika deontology dalam
member tekanan dan focus perhatiannya pada prinsip-prinsip yang mendasari
tindakan, dan mengajarkan bahwa sebuah tindakan itu benar kalau tindakan tersebut
selaras dengan prinsip kewajiban yang relevan untuknya
Kata deon berasal dari yunani yang artinya berkewajiban yang merupakan inti
dari teori ini dan mengasumsi bahwa orang orang bertindak secara moral bila
mengikuti aturan yang benar atau baik imperatif kategoris merupakan perintah
yang tidak bersyarat dan mutlak dimana di simbolkan dengan perkataan „‟bertindak
secara moral‟‟ dimana perkataan itu tidak mengandung perintah(command) tetapi
secara moral yang dating dari diri sendiri, tidak bersyarat, bersifat mutlak, dan
merupakan realisasi dari rasio (budi) praksis (zubaidi).
c. Etika teleology
Etika teleology adalah teori yang menyatakan bahwa hasil dari tindakan moral
menentukan nilai tindakan atau kebenaran tindakan. Etika teleology menganggap
nilai moral dari suatu tindakan di nilai berdasarkan pada jauh mana tindakan
tersebut mencapai tujuannya. Etika ini juga menganggap bahwa kebenaran dan
kesalahan suatu tindakan di nilai dari tujuan akhir yang di inginkan. Aliran-aliran
ini meliputi eudaemonisme, hedonism, dan utilitarianisme.
Nilai nilai yang tertuang dalam pancasila menjadi inspirasi sekaligus pegangan
hidup dalam mewujudkan harapan dan cita-cita bangsa. Namun demikian, nilai tidak
bersifat opersional dan belum konkret. Agar dapat bersifal operasional dan
menjadi
8
pedoman hidup, nilai di wujudkan ke dalam norma. Norma atau kaidah itulah yang
bersifat operasional dan menjadi pegangan atau panduan hidup dalam bersikap dan
berperilaku.
Nilai dasar yang tertuang dalam sila pertama pancasila adalah nilai ketuhanan.
Dimana yang menyangkut pada keyakinan dan kepercayaan yang di miliki oleh
bangsa ini. Agama merupakan salah satu sumber moralitas (sudaryanto 2017)
aspek etis yang tercermikan dari sila pertama pancasila adalah jaminan bagi
setiap penduduk untuk mengidentifikasi dirinya berdasarkan keyakian atau agama
tertentu. Setiap individuberhak menyatakan dirinya berdasar keyakinan yang ia
percayai.
Didalam sila ini menunjukan bahwa kedudukan manusia yang sederajat dan
bermartabat. Manusia di tempatkan di dalam kedudukan yang terhormat.
Kemanusiaan menyakut segala unsur yang melekat pada diri manusia sebagai
mahluk monopluralis (notonagono1980). Dan didalam nya melekat atribut adil
dan beradab yang mempertegas orientasi kemanusiaan berdasar pancasila. Dalam
hal ini pemerintah harus menjamin setiap usaha memanusiaakan manusia dalam
kerangka mewujudkan sosok manusia yang adil dan beradab.
Persatuan Indonesia
9
Sila kelima ini memuat nilai keadilan social yang ditujukan bagi
seluruh bangsa indonesia. Keadilan sosial menjamin pemerataan.
Dalam kedudukan sebagai dasar filsafat negara, maka nilai nilai Pancasila harus
dijabarkan kedalam norma yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan bernegara,
berbangsa, dan bermasyarakat. Ada dua norma dalam hidup bernegara, yakni norma
hukum dan norma moral atau etik (Kaelan, 2013). Oleh karena itu, dapat dinyatakan
bahwa nilai pancasila perlu diderivasikan kedalam norma hukum dan norma etik
bernegara. Pancasila menjadi sumber norma hukum adalah implikasi yuridis dari
pancasila dasar filsafat negara. Pancasila menjadi sumber norma etik adalah implikasi
etis dari pancasila dasar filsafat negara.
Dalam kaitannya dengan etika, maka nilai pancasila menjadi sumber norma
etik bernegara. Nilai pancasila terjabarkan kedalam norma etik bernegara. Nilai
pancasila terjabarkan kedalam norma etik bernegara. Dalam pengalaman sejarah
bernegara diindonesia, ketetapan MPR No. II/MPR/1978 Tentang penghayatan dan
pengalaman pancasila atau ekaprasetya pancakarsa dapat dipandang sebagai contoh
norma etik bernegara. Pedoman penghayatan dan pengalaman pancasila berisis butir
butir pengalaman dari sila sila pancasila yang dimaksudkan sebagai pedoman untuk
dijadikan penuntun atau pegangan terhadap sikap dan tingkah lakubagi setiap manusia
indoensia dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Dalam
ketetapan tersebut dinyatakan pula bahwa P4 bukan merupakan tafsir pancasila dasar
negara. Tafsir pancasila dasar negara adalah sebagaimana termuat dalam UUD 1945
yang berisikan norma hukum. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa butir butir P4
merupakan norma etik dari pada sila sila pancasila..
10
7) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap tuhan Yang
Maha Esa kepada orang lain.
3. Persatuan Indonesia
1) Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan
keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama
diatas kepentingan pribadi dan golongan.
2) Sanggup dan rela berkorban untuk kepentinga negara dan bangsa
apabila diperlukan
3) Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa
4) Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia
5) Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
6) Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika
7) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Butir butir P4 yang merupakan norma etik bersumberkan pancasila, dewasa ini telah
menjadi pengalaman sejarah bangsa. Dikatakan demikian, oleh karena ketetapan MPR RI No.
II/MPR/1978 telah dicabut dan tidak berlaku lagi. Dicabutnya ketetapan MPR tersebut
berdasarkan pada ketetapan MPR No.XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan ketetapan majelis
permusyawaratan rakyat republik indonesia No. II/MPR/1978 tentang pedoman penghayatan
dan pengalaman pancasila (Ekaprasetya Pancakarya) dan penetapan tentang penegasan
kembali pancasila sebagai dasar negara.
12
baru bertugas mengelola dan menyelenggarakan program penataran P4, melalui keputusan
presiden No. 27 Tahun 1999 tentang pencabutan keputusan presiden No. 10 Tahun 1979
tentang Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila.
Yang menarik adalah, meskipun P4 telah dicabut, sebagian publik masih menyatakan
persetujuan dengan apa yang termuat dalm P4 tersebut. P4 dianggap sebagai sesuatu yang
baik, tidak ada yang salah, memiliki tujuan yang baik dan justru penting digunakan untuk
membangun jati diri manusia indonesia. Secara substansi P4 lebih menitik beratkan pada
pembentukan moral dalam bersikap dan bertingkah laku warga negara dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa, bernegara. P4 merupakan etika sosial dan politik bagi seluruh
bangsa indonesia (Achmad Fauzi, 2003). Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 adalah pedoman
yang dapat dijadikan penuntun dan pegangan terhadap sikap dan tingkah laku bagi setiap
manusia indoensia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara (ketut Rindjin,
2010). Yuwono Sudarsana menilai tidak semua materi yang diberikan dalam penataran P4
terdahulu salah. Menurut pengamatannya, penataran P4 sebenarnya bertujuan baik, namun
dalam implementasinya terlalu kaku dan dipaksakan (Kompas, 1 september 2007).
Mengapa ketetapan MPR tentang P4 tersebut dicabut, dapat kita ketahui berdasarkan
konsideran ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 yang mengatakan bahwa materi muatan
dan pelaksanaan dari ketetapan majelis permusyawaratan rakyat republik indonesia No.
II/MPR/1978 tentang pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila tidak sesuai dengan
perkembangan kehidupan bernegara. Uraian akan latar belakang pencabutan tersebut kiranya
belum cukup menjelaskan kepada banyak pihak. Oleh karena itu, perlu penelitian lanjut
perihal mengapa ketetapan MPR No. II/MPR/1978 ini dicabut.
Kebutuhan akan norma etik disisi norma hukum diawal era reformasi akhirnya
disadari oleh penyelnggara negara. Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan 2 ketapan
berkenaan denga ini, pertama yang khusus berkenaan dengan penyelenggaraan negara, yaitu
ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kedua, yang bersifat lebih umum, yaitu ketetapan MPR No.
VI/MPR/2001 tentang etika kehidupan berbangsa.
Etika kehidupan berbangsa dapat dikatakan sebagai norma etik negara. Dalam
ketetapan nya tersebut dinyatakan bahwa etika kehidupan berbangsa merupakan rumusan
yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal dan nilai nilai luhur
budaya bangsa yang tercerminkan dalam pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir,
bersikap, dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pancasila merupakan salah satu
sumber etika kehidupan berbangsa. Sumber etika berbangsa lainnya adalah ajaran agama.
Pancasila merupakan sumber etika kehidupan berbangsa karena didalam nya terkandung nilai
nilai luhur budaya indonesia. Ketut Rindjin (2010) mengatakan ketetapan tentang etika
13
kehidupan berbangsa dapat dipandang sebagai pengganti ketetapan MPR Tahun 1978 tentang
P4.
14
melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur,
berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan
kemampuan saing, dan terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi
yang berpihak kepaeda rakyat kecil melalui kebijakan yang berkesinambungan.
d. Etika Penegakan Hukum Yang Berkeadilan
Etika ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial,
ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan
terhadap hukum dan seluruh peraturan yang ada. Etika ini meniscayakan penegakan
hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap
warganegara dihadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah
sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.
e. Etika Keilmuan
Etika keilmuan dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan,ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mamu menjaga
harkat dan martabatnya,berpijak kepada kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan
kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya. Etika ini diwujudkan secara
ribadi maupun kolektif dalam karsa,cita dan karya, yang tercermin dalam perilaku
kreatif,inovatif,inventif,dan komunikatif dalam kegiatan
membaca,belajar,meneliti,menulis,berkarya,serta menciptakan iklim kondunsif bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
f. Etika Lingkungan
Etika lingkungan menegaskan pentingnya kesadaran menghargai dan
melestarikan lingkungan hidup serta penataan tata ruang secara berkelanjutan dan
bertanggung jawab.
15
dalam suatu kode etik profesi yang secara harafiah berarti etika yang ditulis. Tujuan
kode etik adalah menjunjung tingggi martabat profesi atau seperangkat kaidah
perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban suatu profesi.
Berikut ini contoh Kode Etik Profesi yang disusun oleh organisai profesi :
1. Profesi Hakim
BAB II
Pasal 3
Sifat-sifat Hakim
Sifat Hakim tercermin dalam lambang Hakim yang dikenal dengan “Panca Dharma
Hakim” :
1. Kartika, yaitu memiliki sifat percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab.
2. Cakra, yaitu sifat mampu memusnahkan segala kebathilan, kezaliman
dan ketidakadilan.
3. Candra,. yaitu memiliki sifat bijaksana dan berwibawa.
4. Sari, yaitu berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela.
5. Tirta, yaitu sifat jujur.
Pasal 4
Sikap
Hakim
Setiap Hakim Indonesia mempunyai pegangan tingkah laku yang harus dipedomaninya:
A. Dalam persidangan :
1. Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam Hukum Acara
yang berlaku, dengan memperhatikan azas-azas peradilan yang baik, yaitu :
a. Menjunjung tinggi hak seseorang untuk mendapat putusan (right to a decision)
dimana setiap orang berhak untuk inengajukan perkara dan dilarang menolak
untuk mengadilinya kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang serta putusan
harus dijatuhkan dalam waktu yang pantas dan tidak terlalu lama
b. Semua pihak yang berperkara berhak atas kesempatan dan perlakuan yang
sama untuk didengar, diberikan kesempatan untuk emperoleh informasi
dalam proses pemeriksaan (a fair hearing).
16
c. Putusan dijatuhkan secara obyektif tanpa dicemari oleh kepentingan pribadi atau
pihak lain (no bias) dengan menjunjung tinggi prinsip (nemo judex in resud).
d. Putusan harus memuat alasan-alasan hukum yang jelas dan dapat dimengerti serta
bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang sistematis (reasones and
argumentationsof decision), dimana argumentasi tersebut harus diawasi
(controleerbaarheid) dan diikuti serta dapat dipertanggung-jawabkan (account ability)
guna menjamin sifat keterbukaan (trans parancy) dan kepastian hukum (legal certainity)
dalam proses peradilan. Menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia.
2. Tidak dibenarkan menunjukkan sikap memihak atau bersimpati ataupun antipati kepada
pihak-pihak yang berperkara, baik dalam ucapan maupun tingkah laku.
3. Harus bersifat sopan, tegas dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam
ucapan maupun dalam perbuatan.
4. Harus menjaga kewibawaan dan kehidmatan persidangan antara lain serius dalam
memeriksa, tidak melecehkan pihak-pihak baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
5. Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.
C. Terhadap Bawahan/pegawai
1. Harus mempunyai sifat kepemimpinan.
2. Membimbing bawahan/pegawai untuk mempertinggi pengetahuan.
3. Harus mempunyai sikap sebagai seorang Bapak/lbu yang baik.
D. Terhadap Masyarakat
1. Menghormati dan menghargai orang lain.
2. Tidak sombong dan tidak mau menang sendiri.
3. Hidup sederhana.
17
E. Terhadap Keluarga/Rumah Tangga
1. Menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, menurut norma-norma hukum
kesusilaan
2. Menjaga ketentraman dan keutuhan keluarga.
3. Menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat.
Pasal 5
Kewajiban dan
larangan
Kewajiban :
a. Mendengar dan memperlakukan kedua belah pihak berperkara secara
berimbang dengan tidak memihak (impartial).
b. Sopan dalam bertutur dan bertindak.
c. Memeriksa perkara dengan arif, cermat dan sabar.
d. Memutus perkara, berdasarkan atas hukum dan rasa keadilan.
e. Menjaga martabat, kedudukan dan kehormatan Hakim.
Larangan :
a. Melakukan kolusi dengan siapapun yang berkaitan dengan perkara yang akan dan
sedang ditangani.
b. Menerima sesuatu pemberian atau janji dari pihak-pihak yang berperkara.
c. Membicarakan suatu perkara yang ditanganinya diluar acara persidangan.
d. Mengeluarkan pendapat atas suatu kasus yang ditanganinya baik dalam
persidangan maupun diluar persidangan mendahului putusan.
e. Melecehkan sesama Hakim, Jaksa, Penasehat Hukum, Para pihak Berperkara,
ataupun pihak lain.
f. Memberikan komentar terbuka atas putusan Hakim lain, kecuali dilakukan dalam
rangka pengkajian ilmiah.
g. Menjadi anggota atau salah satu Partai Politik dan pekerjaan/jabatan yang
dilarang Undang-undang.
h. Mempergunakan nama jabatan korps untuk kepentingan pribadi ataupun kelompoknya.
18
2. Profesi Dokter Gigi
Ayat 1
Dalam mengamalkan Sumpah/Janji Dokter Gigi dan Etika Kedokteran Gigi Indonesia,Dokter
Gigi wajib menghargai hak pasien dalam menentukan nasib dan menjaga rahasianya ,
mengutamakan kepentingan pasien, melindungi pasien dari kerugian, memperlakukan orang
lain dengan adil, selalu jujur baik terhadap pasien, masyarakat, teman sejawat maupun profesi
lainnya, sesuai dengan martabat luhur profesi Dokter Gigi.
Pasal 2
Dokter Gigi di Indonesia wajib menjunjung tinggi norma-norma kehidupan yang luhur dalam
menjalankan profesinya. Ayat 1 Dokter Gigi di Indonesia wajib menghormati norma-norma
yang hidup di dalam masyarakat. Ayat 2 Dokter Gigi di Indonesia wajib mentaati peraturan
atau undang-undang Republik Indonesia serta aturan-aturan yang dikeluarkan oleh organisasi
profesi.
Pasal 3
Dalam menjalankan profesinya Dokter Gigi di Indonesia tidak boleh dipengaruhi oleh
pertimbangan untuk mencari keuntungan pribadi
Ayat 1
Dokter Gigi di Indonesia dilarang melakukan promosi dalam bentuk apapun seperti memuji
diri, mengiklankan alat dan bahan apapun, memberi iming-iming baik langsung maupun tidak
langsung dan lain – lain, dengan tujuan agar pasien datang berobat kepadanya.
Ayat 2
Dokter Gigi di Indonesia dilarang menggunakan gelar atau sebutan profesional yang tidak
diakui oleh Pemerintah Indonesia.
19
Ayat 3
Dokter Gigi di Indonesia boleh mendaftarkan namanya dalam buku telepon atau direktori
lain dengan ketentuan tidak ditulis dengan huruf tebal, warna lain atau dalam kotak.
Ayat 4
Informasi profil Dokter Gigi yang dianggap perlu oleh masyarakat dikeluarkan oleh
Pemerintah atau Persatuan Dokter Gigi Indonesia baik melalui media cetak maupun
elektronik.
Ayat 5
Dokter Gigi di Indonesia, apabila membuat blanko resep, kuitansi, amplop, surat keterangan,
cap dan kartu berobat harus sesuai dengan yang tercantum dalam SIP. Seandainya tempat
praktik berlainan dengan rumah dapat ditambahkan alamat dan nomor telepon rumah.
Ayat 6
Dokter Gigi di Indonesia dalam melaksanakan upaya pelayanan kesehatan gigi swasta dapat
melalui beberapa cara ; praktik perorangan dokter gigi praktik perorangan dokter gigi
spesialis praktik berkelompok dokter gigi praktik berkelompok dokter gigi spesialis
6.1 Untuk praktik berkelompok harus diberi nama tertentu yang diambil dari nama
orang yang berjasa dalam bidang kesehatan yang telah meninggal dunia atau nama
lain sesuai fungsinya.
6.2 Dokter Gigi di Indonesia yang melakukan praktik berkelompok baik masing-masing
maupun sebagai kelompok mempunyai tanggung jawab untuk tidak melanggar
Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia
20
D. PENGAMALAN SUBJEKTIF TERHADAP NORMA ETIK
Norma moral seperti P4,etika kehidupan bersama, dan kode etik profesi dapat disebut
sebagai subjektifikasi yang subjektif dari pelaksanaan nilai-nilai yang umum,abstrak,dan
universal dari pancasila dasar negara. Subjektifikasi yang objektif pada dasarnya pembuatan
pedoman hukum bagi manusia indonesian yang umumnya bersumber dari nilai-nilai
pancasila yang gtelah terjabar dalam peraturan perundangan.
Bukti bahwa sifat subjektifikasi yang objektif maupun subjektif ini bisa berubah dan
berkembangan dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan norma hukum dalam UUD
1945 setelah amandemen, dicabutnya Ketetapan MPR tentang P4,munculnya ketetapan
tentang etika kehidupan berbangsa. Menurut Jimly Assidiqie (2011:3) nilai-nilai kehidupan
berbangsa dan bernegara tetap kita perlukan sehingga materinya dituangkan menjadi
Ketetapan MPR RI No.VI MPR/2001 yang dibiarkan tetap berlaku sampai sekarang oleh
Ketetapan MPR No.I/MPR/2003.
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
1. Etika (nilai, norma dan moral) harus senantiasa di terapkan dalam bersikap dan
berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, sehingga terwujud perilaku yang
sesuai dengan adat, budaya dan karakter bangsa Indonesia.
2. Nilai-nilai Pancasila senantiasa harus diamalkan dalam setiap kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Agar tercipta persatuan dan kesatuan
antar warga Indonesia.
22
DAFTAR PUSTAKA
23