Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH PANCASILA

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

Disusun Oleh :

NAMA : Betty Anjelina Zalukhu

NPM : 21752038

DOSEN PENGAMPU : Ibu Dayu Rika Perdana, Mpd

PRODI D4 AKUNTANSI BISNIS DIGITAL

JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS

POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG

TAHUN PELAJARAN 2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan ke hadirat Allah Swt., karena atas rahmatnya sehingga
saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “PANCASILA SEBAGAI SISTEM
ETIKA” tanpa halangan apapun, penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas
Mata Kuliah pancasila. Makalah ini berisi tentang pengertian pancasila sebagai sistem
etika dan manfaatnya dan lain sebagainya. Makalah ini saya lengkapi dengan
pendahuluan sebagai pembukaan yang menjelaskan latar belakang dan tujuan pembantu
makalah.Pembahasan ini yang menjelaskan tentang materi pancasila sebagai sistem
etika. Penutup yang berisi tentang kesimpulan yang menjelaskan tentang isi dari
makalah saya.Makalah ini juga saya lengakapi dengan daftar pustaka yang menjelaskan
sumber dan referensi bahan dalam penyusunan.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu,
kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan makalah ini akan saya terima. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak baik yang menyusun maupun yang
membaca.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2

DAFTAR ISI ............................................................................................................................... 3

BAB I ........................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 4

1.1 latar belakang........................................................................................................................ 4

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................ 5

1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................................................. 5

BAB II .......................................................................................................................................... 6

PEMBAHASAN ......................................................................................................................... 6

2.1 Sistem Etika .......................................................................................................................... 6

2.2 Pengertian Nilai .................................................................................................................. 13

2.3 Makna Nilai-Nilai dalam Setiap Sila Pancasila ............................................................. 16

2.4 Pengertian Moral ................................................................................................................ 20

2.5 Pengertian Norma .............................................................................................................. 20

2.6 Hubungan antara nilai, norma, dan moral....................................................................... 21

2.7 Aplikasi Nilai, Norma, dan Moral dalam Kehidupan Sehari-Hari .............................. 21

2.8 Pengertian Sistem............................................................................................................... 22

BAB III ...................................................................................................................................... 26

PENUTUP ................................................................................................................................. 26

3.1 Kesimpulan ......................................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 27

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 latar belakang

Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua
kata dari Sansekerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila
merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh
rakyat Indonesia.

Sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, tentu saja pancasila


memuat aturan aturan dan larangan larangan. Pancasilasarat akan nilai nilai seperti nilai
ketuhanan, kemanusiaan, pesatuan, kerakyatan, dan keadilan. Oleh karena itu, secara
normatif, Pancasila dapat dijadikanacuan atas tindakan baik, dan secara filosofis dapat
dijadikan sebagai persperktif kajian atas nilai dan norma yang berkembang dalam
masyarakat. Nilai dan norma tersebut bersifat universal, dapat ditemukan dimanapun
dan kapanpun, sehingga memberikan ciri khusus ke-Indonesia-an karena merupakan
komponen yang terdapat dalam Pancasila.

Nilai, norma, dan moral adalah konsep konsep yang saling berkaitan. Ketiganya
akan memberikan pemahaman yang saling melengkapi sebagai sistem etika dalam
kaitannya dengan Pancasila. Pancasila merupakan sumber dari penjabaran segala
norma, baik norma hukum, norma moral, maupun norma kenegaraan lainnya.

Nilai-nilai Pancasila tersebut kemudian dikembangkan dalam masyarakat secara praktis


atau kehidupan nyata sehingga menjadi norma yang pada akhirnya menjadi pedoman
dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Namun seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, nilai-nilai,


pedoman kehidupan, norma-norma, dan sistem etika Pancasila semakin terlupakan
dalam kehidupan bangsa. Sehingga identitas atau ciri ke-Indonesiaan yang telah
disebutkan sebelumnya semakin lama pun semakin terkikis atau bahkan meghilang.
Namun masih ada upaya untuk meluruskan kembali sistem etika tersebut.

4
Perkembangan jaman yang semakin maju dan terbukanya akses terhadap dunia
luar mengharuskan kita untuk mengupayakan pancasila sebagai sistem etika, agar kita,
bangsa Indonesia, tidak kehilangan identitas kita sebagai bangsa yang bermoral,
memiliki etika, dan bermartabat.
1.2 Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan diatas, rumusan masalah dalam jurnal
ini adalah :

 Apakah pengertian Pancasila itu?


 Apakah pengertian sistem itu?
 Bagaimaknakah peran Pancasila sebagai sistem etika?
1.3 Tujuan Penulisan

 Untuk mengetahui pengertian dari Pancasila.


 Untuk mengetahui pengertian dari sistem
 Untuk mengetahui peran Pancasila sebagai sistem etika.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sistem Etika

Etika merupakan cabang utama filsafat,adalah pembelajaran mengenaidi mana


dan bagaimana nilai atau kualitas menjadi standar dan penilaian moral. Etika mencakup
analisis dan penerapan konsep seperti, benar,salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Etika merupakan kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia
bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok. Kedua kelompok
etika itu adalah sebagai berikut :

a. Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setaip tindakan


manusia.
b. Etika Khusus, membahas prinsip prinsip tersebut di atas dalam hubungannya
dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika
individual) maupun makhluk sosial (etika sosial)

Secara etimologis (asal kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang
artinya watak kesusilaan atau adat. Istilah ini identik dengan moral yang berasal dari
bahasa Latin, mos yang jamaknya mores, yang juga berarti adat atau cara hidup.
Meskipun kata etika dan moral memiliki kesamaan arti, dalam pemakaian sehari hari
kata ini digunakan secara berbeda. Moral atau moralitas digunakan untuk perbuatan
yang sedang dinilai, sedangkan etika digunakan untuk mengkaji sistem yang ada
(Zubair, 1987: 13). Dalam bahasa Arab, padanan kata etika adalah akhlak yang
merupakan kata jamak khuluk yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat (Zakky,
2008: 20).

Secara keseluruhan, etika membahas mengenai tingkah laku, watak, dan segala sesuatu
perbuatan manusia yang dibutuhkan dan dinilai dalam kehidupan bermasyarakat.

1). Aliran Besar Etika

6
Dalam kajian etika dikenal tiga teori/aliran besar, yaitu deontologi, teleologi dan
keutamaan. Setiap aliran memiliki sudut pandang sendiri-sendiri dalam menilai apakah
suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk. Berikut adalah ketiga aliran tersebut :

2). Etika Deontologi


Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk
berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika deontologi
tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Kebaikan adalah
ketika seseorang melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya.
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Immanuel Kant (1734-1804). Kant
menolak akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai tindakan tersebut karena
akibat tadi tidak menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan menilai
suatu tindakan (Keraf, 2002: 9).

Kewajiban moral sebagai manifestasi dari hukum moral adalah sesuatu yang
sudah tertanam dalam setiap diri pribadi manusia yang bersifat universal. Manusia
dalam dirinya secara kategoris sudah dibekali pemahaman tentang suatu tindakan itu
baik atau buruk, dan keharusan untuk melakukan kebaikan dan tidak melakukan
keburukan harus dilakukan sebagai perintah tanpa syarat (imperatif kategoris).

Kewajiban moral untuk tidak melakukan korupsi, misalnya, merupakan tindakan


tanpa syarat yang harus dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena hasil atau adanya
tujuan-tujuan tertentu yang akan diraih, namun karena secara moral setiap orang sudah
memahami bahwa korupsi adalah tindakan yang dinilai buruk oleh siapapun.
Etika deontologi menekankan bahwa kebijakan/tindakan harus didasari oleh motivasi
dan kemauan baik dari dalam diri, tanpa mengharapkan pamrih apapun dari tindakan
yang dilakukan (Kuswanjono, 2008: 7).
Ukuran kebaikan dalam etika deontologi adalah kewajiban, kemauan baik, kerja keras
dan otonomi bebas. Setiap tindakan dikatakan baik apabila dilaksanakan karena didasari
oleh kewajiban moral dan demi kewajiban moral itu. Tindakan itu baik bila didasari
oleh kemauan baik dan kerja keras dan sungguh-sungguh untuk melakukan perbuatan

7
itu, dan tindakan yang baik adalah didasarkan atas otonomi bebasnya tanpa ada paksaan
dari luar.

a. Etika Teleologi

Pandangan etika teleologi berkebalikan dengan etika deontologi, yaitu bahwa


baik buruk suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu.
Etika teleologi membantu kesulitan etika deontologi ketika menjawab apabila
dihadapkan pada situasi konkrit ketika dihadapkan pada dua atau lebih kewajiban yang
bertentangan satu dengan yang lain. Jawaban yang diberikan oleh etika teleologi bersifat
situasional yaitu memilih mana yang membawa akibat baik meskipun harus melanggar
kewajiban, nilai norma yang lain.
Ketika bencana sedang terjadi situasi biasanya chaos. Dalam keadaan seperti ini
maka memenuhi kewajiban sering sulit dilakukan. Contoh sederhana kewajiban
mengenakan helm bagi pengendara motor tidak dapat dipenuhi karena lebih fokus pada
satu tujuan yaitu mencari keselamatan. Kewajiban membayar pajak dan hutang juga
sulit dipenuhi karena kehilangan seluruh harta benda. Dalam keadaan demikian etika
teleologi perlu dipertimbangkan yaitu demi akibat baik, beberapa kewajiban mendapat
toleransi tidak dipenuhi.
Persoalan yang kemudian muncul adalah akibat yang baik itu, baik menurut
siapa? Apakah baik menurut pelaku atau menurut orang lain? Atas pertanyaan ini, etika
teleologi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu egoisme etis dan utilitarianisme
a. Egoisme etis memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang
berakibat baik untuk pelakunya. Secara moral setiap orang dibenarkan mengejar
kebahagiaan untuk dirinya dan dianggap salah atau buruk apabila membiarkan
dirinya sengsara dan dirugikan.
b. Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung
bagaimana akibatnya terhadap banyak orang. Tindakan dikatakan baik apabila
mendatangkan kemanfaatan yang besar dan memberikan kemanfaatan bagi
sebanyak mungkin orang. Di dalam menentukan suatu tindakan yang dilematis
maka yang pertama adalah dilihat mana yang memiliki tingkat kerugian paling kecil

8
dan kedua dari kemanfaatan itu mana yang paling menguntungkan bagi banyak
orang, karena bisa jadi kemanfaatannya besar namun hanya dapat dinikmati oleh
sebagian kecil orang saja. Etika utilitarianisme ini tidak terpaku pada nilai atau
norma yang ada karena pandangan nilai dan norma sangat mungkin memiliki
keragaman. Namun setiap tindakan selalu dilihat apakah akibat yang ditimbulkan
akan memberikan manfaat bagi banyak orang atau tidak.
Kalau tindakan itu hanya akan menguntungkan sebagian kecil orang atau bahkan
merugikan maka harus dicari alternatif-alternatif tindakan yang lain. Etika
utilitarianisme lebih bersifat realistis, terbuka terhadap beragam alternatif tindakan dan
berorientasi pada kemanfaatan yang besar dan yang menguntungkan banyak
orang. Utilitarians try to produce maximum pleasure and minimum pain, counting their
own pleasure and pain as no more or less important than anyone else’s (Wenz, 2001:
86).
Etika utilitarianisme ini menjawab pertanyaan etika egoisme, bahwa kemanfaatan
banyak oranglah yang lebih diutamakan. Kemanfaatan diri diperbolehkan sewajarnya,
karena kemanfaatan itu harus dibagi kepada yang lain. Utilitarianisme, meskipun
demikian, juga memiliki kekurangan. Sonny Keraf (2002: 19-21) mencatat ada
enam kelemahan etika ini, yaitu:
(1) Karena alasan kemanfaatan untuk orang banyak berarti akan ada sebagian
masyarakat yang dirugikan, dan itu dibenarkan. Dengan demikian utilitarianisme
membenarkan adanya ketidakadilan terutama terhadap minoritas.
(2) Dalam kenyataan praktis, masyarakat lebih melihat kemanfaatan itu dari sisi
yang kuantitasmaterialistis, kurang memperhitungkan manfaat yang non-material seperti
kasih sayang, nama baik, hak dan lain-lain.
(3) Karena kemanfaatan yang banyak diharapkan dari segi material yang tentu
terkait dengan masalah ekonomi, maka untuk atas nama ekonomi tersebut hal-hal yang
ideal seperti nasionalisme, martabat bangsa akan terabaikan, misalnya atas nama
memasukkan investor asing maka aset-aset negara dijual kepada pihak asing, atau atas
nama meningkatkan devisa negara maka pengiriman TKW ditingkatkan. Hal yang
menimbulkan problem besar adalah ketika lingkungan dirusak atas nama untuk
menyejahterakan masyarakat.

9
(4) Kemanfaatan yang dipandang oleh etika utilitarianisme sering dilihat dalam
jangka pendek, tidak melihat akibat jangka panjang. Padahal,misalnya dalam persoalan
lingkungan, kebijakan yang dilakukan sekarang akan memberikan dampak negatif pada
masa yang akan datang.
(5) Karena etika utilitarianisme tidak menganggap penting nilai dan norma, tapi
lebih pada orientasi hasil, maka tindakan yang melanggar nilai dan norma atas nama
kemanfaatan yang besar, misalnya perjudian/prostitusi, dapat dibenarkan.
(6) Etika utilitarianisme mengalami kesulitan menentukan mana yang lebih
diutamakan kemanfaatan yang besar namun dirasakan oleh sedikit masyarakat atau
kemanfaatan yang lebih banyak dirasakan banyak orang meskipun kemanfaatannya
kecil.
Menyadari kelemahan itu etika utilitarianisme membedakannya dalam dua
tingkatan, yaitu utilitarianisme aturan dan tindakan. Atas dasar ini, maka :
Pertama, setiap kebijakan dan tindakan harus dicek apakah bertentangan dengan
nilai dan norma atau tidak. Kalau bertentangan maka kebijakan dan tindakan tersebut
harus ditolak meskipun memiliki kemanfaatan yang besar.
Kedua, kemanfaatan harus dilihat tidak hanya yang bersifat fisik saja tetapi juga
yang non-fisik seperti kerusakan mental, moralitas, kerusakan lingkungan dan
sebagainya.
Ketiga, terhadap masyarakat yang dirugikan perlu pendekatan personal dan
kompensasi yang memadai untuk memperkecil kerugian material dan non-material.

b. Etika Keutamaan

Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga mendasarkan
pada penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal, tetapi pada
pengembangan karakter moral pada diri setiap orang. Orang tidak hanya melakukan
tindakan yang baik, melainkan menjadi orang yang baik. Karakter moral ini dibangun
cara meneladani perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh para tokoh besar.
Internalisasi ini dapat dibangun melalui cerita, sejarah yang di dalamnya mengandung
nilai-nilai keutamaan agar dihayati dan ditiru oleh masyarakatnya. Kelemahan etika ini

10
adalah ketika terjadi dalam masyarakat yang majemuk, maka tokoh-tokoh yang
dijadikan panutan juga beragam sehingga konsep keutamaan menjadi sangat beragam
pula, dan keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan benturan sosial.

Kelemahan etika keutamaan dapat diatasi dengan cara mengarahkan keteladanan


tidak pada figur tokoh, tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu sendiri,
sehingga akan ditemukan prinsip-prinsip umum tentang karakter yang bermoral itu
seperti apa.

c. Etika Pancasila

Etika Pancasila tidak memposisikan secara berbeda atau bertentangan dengan


aliran-aliran besar etika yang mendasarkan pada kewajiban, tujuan tindakan dan
pengembangan karakter moral, namun justru merangkum dari aliran-aliran besar
tersebut. Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada
nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan
Keadilan.Suatu perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila tidak bertentangan
dengan nilai-nilai tersebut, namun juga sesuai dan mempertinggi nilai-nilai Pancasila
tersebut. Nilai-nilai Pancasila meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam
realitas sosial, keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia, namun
sebenarnya nilai-nilai Pancasila juga bersifat universal dapat diterima oleh siapapun dan
kapanpun.

Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam


kehidupan manusia. Nilai yang pertama adalah Ketuhanan. Secara hirarkis nilai
ini bisa dikatakan sebagai nilai yang tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat
mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik
apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaedah dan hukum Tuhan.Pandangan demikian
secara empiris bisa dibuktikan bahwa setiap perbuatan yang melanggar nilai, kaedah
dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya dengan hubungan antara manusia maupun alam
pasti akan berdampak buruk.Misalnya pelanggaran akan kaedah Tuhan tentang menjalin

11
hubungan kasih sayang antar sesama akan menghasilkan konflik dan permusuhan.
Pelanggaran kaedah Tuhan untuk melestarikan alam akan menghasilkan bencana alam,
dan lain-lain

Nilai yang kedua adalah Kemanusiaan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila
sesuai dengan nilai-nilaiKemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai KemanusiaanPancasila
adalah keadilan dan keadaban. Keadilanmensyaratkan keseimbangan antara lahir dan
batin, jasmani dan rohani, individu dan sosial, makhluk bebas mandiri dan makhluk
Tuhan yang terikat hukum-hukum Tuhan. Keadaban mengindikasikan keunggulan
manusia dibanding dengan makhluk lain, yaitu hewan, tumbuhan, dan benda tak hidup.
Karena itu perbuatan itu dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan
yang didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban.

Nilai yang ketiga adalah Persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila
dapat memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan
perbuatan buruk, demikian pula sikap yang memecah belah persatuan. Sangat mungkin
seseorang seakan-akan mendasarkan perbuatannya atas nama agama (sila ke-1), namun
apabila perbuatan tersebut dapat memecah persatuan dan kesatuan maka menurut
pandangan etika Pancasila bukan merupakan perbuatan baik. Nilai yang keempat adalah
Kerakyatan. Dalam kaitan dengan kerakyatan ini terkandung nilai lain yang sangat
penting yaitu nilai hikmat/kebijaksanaan dan permusyawaratan. Kata
hikmat/kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai kebaikan
tertinggi.

Atas nama mencari kebaikan, pandangan minoritas belum tentu kalah dibanding
mayoritas. Pelajaran yang sangat baik misalnya peristiwa penghapusan tujuh kata dalam
sila pertama Piagam Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI menyetujui tujuh kata
tersebut, namun memperhatikan kelompok yang sedikit (dari wilayah Timur) yang
secara argumentatif dan realistis bisa diterima, maka pandangan minoritas
“dimenangkan” atas pandangan mayoritas. Dengan demikian, perbuatan belum tentu
baik apabila disetujui/bermanfaat untuk orang banyak, namun perbuatan itu baik jika
atas dasar musyawarah yang didasarkan pada konsep hikmah/kebijaksanaan.

12
Nilai yang kelima adalah Keadilan. Apabila dalam sila kedua disebutkan kata
adil, maka kata tersebut lebih dilihat dalam konteks manusia selaku individu. Adapun
nilai keadilan pada sila kelima lebih diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbuatan
dikatakan baik apabila sesuai dengan prinsip keadilan masyarakat banyak. Menurut
Kohlberg (1995: 37), keadilan merupakan kebajikan utama bagi setiap pribadi dan
masyarakat. Keadilan mengandaikan sesama sebagai partner yang bebas dan sama
derajatnya dengan orang lain.

Menilik nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka Pancasila dapat


menjadi sistem etika yang sangat kuat, nilai-nilai yang ada tidak hanya bersifat
mendasar, namun juga realistis dan aplikatif. Apabila dalam kajian aksiologi dikatakan
bahwa keberadaan nilai mendahului fakta, maka nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-
nilai ideal yang sudah ada dalam cita-cita bangsa Indonesia yang harus diwujudkan
dalam realitas kehidupan. Nilai-nilai tersebut dalam istilah Notonagoro merupakan nilai
yang bersifat abstrak umum dan universal, yaitu nilai yang melingkupi realitas
kemanusiaan di manapun, kapanpun dan merupakan dasar bagi setiap tindakan dan
munculnya nilai-nilai yang lain. Sebagai contoh, nilai Ketuhanan akan menghasilkan
nilai spiritualitas, ketaatan, dan toleransi. Nilai Kemanusiaan, menghasilkan nilai
kesusilaan, tolong menolong, penghargaan, penghormatan, kerjasama, dan lain-
lain. Nilai Persatuan menghasilkan nilai cinta tanah air, pengorbanan dan lain-lain. Nilai
Kerakyatan menghasilkan nilai menghargai perbedaan, kesetaraan, dan lain-lain Nilai
Keadilan menghasilkan nilai kepedulian, kesejajaran ekonomi, kemajuan bersama dan
lain-lain.

2.2 Pengertian Nilai

Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda
untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat
seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakekatnya adalah sifat dan kualitas yang
melekat pada suatu obyeknya. Dengan demikian, maka nilai itu adalah suatu kenyataan
yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya.

13
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan
sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan.
Keputusan itu adalah suatu nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna,
benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, dan seterusnya. Penilaian itu pastilah
berhubungan dengan unsur indrawi manusia sebagai subyek penilai, yaitu unsur
jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan kepercayaan.

Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya


batin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada
budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku
manusia. Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan di
samping sistem sosial dan karya.

Dalam pandangan filsafat, nilai selalu dihubungkan dengan masalah kebaikan.


Sesuatu yang berguna, benar, indah, berharga, baik, religius, dan sebagainya dapat
dikatakan sebagai sesuatu yang mempunyai nilai. Nilai adalah sesuatu yang tidak dapat
disentuh dengan panca indera karena bersifat ide. Yang dapat dirasakan adalah barang
atau tingkah perbuatan yang mengandung nilai tersebut.

Ada dua pandangan tentang cara beradanya nilai, yaitu sebagai berikut :
 Nilai sebagai sesuatu yang ada pada obyek itu sendiri. Menurut filusuf Max
Scheler dan Nocolia Hartman, nilai merupakan suatu hal yang obyektif membentuk
semacam “dunia nilai”, yang menjadi ukuran tertinggi dari perilaku manusia.
 Nilai sebagai sesuatu yang bergantung kepada penangkapan dan perasaan orang
(subyektif). Menurut Nietzche, yang dimaksudkan adalah tingkat atau derajat yang
diinginkan oleh manusia. Nilai merupakan tujuan dari kehendak manusia yang benar,
sering ditata menurut susunan tingkatannya yang dimulai dari bawah, yaitu : nilai
hedois (kenikmatan), nilai utilitaris (kegunaan), nilai biologis (kemuliaan), nilai diri
estetis (keindahan, kecantikan), nilai-nilai pribadi (sosial), dan yang paling atas ialah
nilai religius (kesucian).

14
Para ahli mengidentifikasikan nilai dalam beberapa macam atau tingkatan. Para
ahli mengidentifikasikannya secara berbeda, karena nilai ini bersifat abstrak dan idealis.
Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada
enam macam, yaitu : nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik
dan nilai religi.
Max Scheler mengelompokkan nilai-nilai menjadi enam tingkatan, yaitu: nilai
kenikmatan, nilai kehidupan, nilai kejiwaan, dan nilai kerohanian.
Sementara Notonargo membedakan nilai menjadi tiga, yaitu : nilai material, nilai vital,
dan nilai kerohanian.

Nilai bersumber pada budi yang bersifat mendorong dan mengarahkan sikap dan
perilaku manusia, atau lebih jelasnya kita sebut sebagai motivator. Nilai sebagai suatu
sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan, disamping sistem sosial dan karya.
Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan
kriteria, sehingga merupakan suatu keharusan, anjuran atau larangan, tidak dikehendaki
atau tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan
kehidupan setiap manusia.Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran
sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai.

Pancasila sebagai ideologi terbuka dan pedoman hidup bangsa mempunyai


dimensi fleksibilitas. Hal ini disebabkan karena di dalam Pancasila terdapat nilai-nilai.
Nilai-nilai tersebut ada 3, yaitu nilai dasar, nilai instrmental, dan nilai praksis.
 Nilai dasar, sesuai dengan namanya, merupakan suatu dasar dari nilai nilai yang
lain. Nilai dasar ini bersifat tetap, tidak berubah-ubah. Nilai ini terdapat dalam
Pembukaan UUD 1945. Nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila ialah nilai
Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial.
 Nilai Instrumental, merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai dasar. Disebut
juga nilai yang menjadi pedoman bagi belaksanaan daripada nilai dasar. Nilai
dasar belum dapat berfungsi dan bermakna sepenuhnya jika belum memiliki
parameter atau ukuran yang jelas dan konkrit. Nilai instrumental yang berkaitan
dengan tingkah laku manusia dalam berkehidupan sehari-hari akan menjadi

15
norma moral. Sementara nilai yang berkaitan dengan suatu organisasi atau
negara, maka nilai tersebut menjadi sebuah arahan, kebijakan, dan strategi yang
bersumber pada nilai dasar. Dalam kehidupan ketatanegaraan di repunlik
Indonesia, nilai instrumental dapat ditemukan di dlam pasal-pasal UUD yang
merupakan penjelasan dari nilai dasar, yaitu Pancasila.
 Nilai Praksis, yaitu nilai yang lebih menjabarkan nilai-nilai instrumental. Nilai
praksis ini terdapat dalam kehidupan nyata sehari-hari. Nilai ini bersifat
fleksibel, sehingga dapat diubah sesuai dengan perkembangan jaman selama
tidak menyimpang dari nilai dasar maupun nilai instrumental.

2.3 Makna Nilai-Nilai dalam Setiap Sila Pancasila

Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia


merupakan nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing silanya. Hal
ini dikarenakan apabila dilihat satu per satu dari masing-masing sila, dapat saja
ditemukan dalam kehidupan bangsa lain. Makna Pancasila terletak pada nilai-nilai dari
masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tidak dapat diputarbalikkan letak dan
susunannya. Namun demikian, untuk lebih memahami nilai-nilai yang terkandung
dalam masing-masing sila Pancasila, maka berikut ini kitauraikan:

a. Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan menjiwai
keempat sila lainnya. Dalam sila ini terkandung nilai bahwa negara yang didirikan
adalah pengejawantahan tujuan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha esa.
Konsekuensi yang muncul kemudian adalah realisasi kemanusiaan terutama dalam
kaitannya dengan hak-hak dasar kemanusiaan (hak asasi manusia) bahwa setiap warga
negara memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai
dengan keimanan dan kepercayaannya masing-masing. Hal itu telah dijamin dalam

16
Pasal 29 UUD. Di samping itu, di dalam negara Indonesia tidak boleh ada paham yang
meniadakan atau mengingkari adanya Tuhan (atheisme).

b. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

Kemanusian berasal dari kata manusia yaitu makhluk yang berbudaya dengan
memiliki potensi pikir, rasa, karsa dan cipta. Potensi itu yang mendudukkan manusia
pada tingkatan martabat yang tinggi yang menyadari nilai-nilai dan norma-norma.
Kemanusiaan terutama berarti hakekat dan sifat-sifat khas manusia sesuai dengan
martabat. Adil berarti wajar yaitu sepadan dan sesuai dengan hak dan kewajiban
seseorang. Beradab sinonim dengan sopan santun, berbudi luhur, dan susila, artinya,
sikap hidup, keputusan dan tindakan harus senantiasa berdasarkan pada nilai-nilai
keluhuran budi, kesopanan, dan kesusilaan. Dengan demikian, sila ini mempunyai
makna kesadaran sikap dan perbuatan yang didasarkan kepada potensi budi nurani
manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kesusilaan umumnya, baik terhadap
diri sendiri, sesama manusia, maupun terhadap alam dan hewan.

Hakekat pengertian di atas sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 Alinea


Pertama :”bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan ...”. Selanjutnya dapat dilihat penjabarannnya dalam
Batang Tubuh UUD.

c. Persatuan Indonesia

Persatuan berasal dari kata satu artinya tidak terpecah-pecah. Persatuan


mengandung pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka ragam
menjadi satu kebulatan. Persatuan Indonesia dalam sila ketiga ini mencakup persatuan
dalam arti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Persatuan Indonesia
ialah persatuan bangsa yang mendiami seluruh wilayah Indonesia. Yang bersatu karena
didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang

17
merdeka dan berdaulat. Persatuan Indonesia merupakan faktor yang dinamis dalam
kehidupan bangsa Indonesia dan bertujuan melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa, serta mewujudkan perdamaian dunia yang abadi.

Persatuan Indonesia adalah perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia yang


dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, serta kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh
karena itu, paham kebangsaan Indonesia tidak sempit (chauvinistis), tetapi menghargai
bangsa lain. Nasionalisme Indonesia mengatasi paham golongan, suku bangsa serta
keturunan. Hal ini sesuai dengan alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi,
” Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia...”.
Selanjutnya dapat dilihat penjabarannya dalam Batang Tubuh UUD 1945.

d. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam


Permusyawaratan/ Perwakilan

Kerakyatan berasal dari kata rakyat yaitu sekelompok manusia yang berdiam
dalam satu wilayah negara tertentu. Dengan sila ini berarti bahwa bangsa Indonesia
menganut sistem demokrasi yang menempatkan rakyat di posisi tertinggi dalam hirarki
kekuasaan.

Hikmat kebijasanaan berarti penggunaan ratio atau pikiran yang sehat dengan
selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan
dilaksanakan dengan sadar, jujur dan bertanggung jawab serta didorong dengan itikad
baik sesuai dengan hati nurani. Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas
kepribadian Indonesia untuk merumuskan atau memutuskan sesuatu hal berdasarkan
kehendak rakyat sehingga tercapai keputusan yang bulat dan mufakat. Perwakilan
adalah suatu sistem, dalam arti, tata cara mengusahakan turut sertanya rakyat
mengambil bagian dalam kehidupan bernegara melalui lembaga perwakilan.

18
Dengan demikian sila ini mempunyai makna bahwa rakyat dalam melaksanakan
tugas kekuasaanya ikut dalam pengambilan keputusan. Sila ini merupakan sendi asas
kekeluargaan masyarakat sekaligus sebagai asas atau prinsip tata pemerintahan
Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang
berbunyi:”..maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang berkedaulatan
rakyat ...”

e. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang
kehidupan, baik materiil maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia berarti untuk setiap
orang yang menjadi rakyat Indonesia.

Pengertian itu tidak sama dengan pengertian sosialistis atau komunalistis karena
keadilan sosial pada sila kelima mengandung makna pentingnya hubungan antara
manusia sebagai pribadi dan manusia sebagai bagian dari masyarakat. Konsekuensinya
meliputi :
a) Keadilan distributif yaitu suatu hubungan keadilan antara negara dan warganya
dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan
membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalam hidup
bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiaban.
b) Keadilan legal yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara terhadap
negara, dalam masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk
mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara.
c) Keadilan komutatif yaitu suatu hubungan keadilan antara warga atau dengan
lainnya secara timbal balik. Dengan demikian, dibutuhkan keseimbangan dan
keselarasan diantara keduanya sehingga tujuan harmonisasi akan dicapai. Hakekat sila
ini dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu :”dan perjuangan kemerdekaan
kebangsaan Indonesia ... Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur”.

19
2.4 Pengertian Moral

Moral berasal dari kata mos(mores) yang bersinonim dengan kesusilaan, tabiat
atau kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut
tingkah laku dan perbuatan manusia.Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan,
kaedah-kaedah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan
bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap
tidak bermoral.

Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip


yang benar, baik terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap
nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

2.5Pengertian Norma

Kesadaran manusia akan kebutuhan terhadap hubungan yang ideal akan


menumbuhkan kepatuhan terhadap suatu peraturan atau norma. Hubungan ideal yang
seimbang, serasi dan selaras itu tercermin secara vertikal (Tuhan), horisontal
(masyarakat) dan alamiah (alam sekitarnya) Norma adalah perwujudan martabat
manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan suatu
kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena
itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma
kesusilaan, norma hukum dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dipatuhi
karena adanya sanksi.

Norma-norma yang terdapat dalam masyarakat antara lain:

 Norma agama : adalah ketentuan hidup masyarakat yang bersumber pada Tuhan
(agama).
 Norma kesusilaan : adalah ketentuan hidup masyarakat yang bersumber pada
diri sindiri seperti hati nurani, moral, atau filsafat hidup.

20
 Norma hukum : adalah ketentuan ketentuan tertulis yang berlaku dan bersumber
pada UU suatu negara tertentu.
 Norma sosial : adalah ketentuan hidup yang berlaku pada hubungan
bermasyarakat antar umat manusia.

2.6Hubungan antara nilai, norma, dan moral

Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya
tetap terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu
mutlak digarisbawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara
menghendaki fondasi yang kuat tumbuh dan berkembang. Sebagaimana tersebut di atas
maka nilai akan berguna menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila dikonkritkan
dan diformulakan menjadi lebih obyektif sehingga memudahkan manusia untuk
menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari. Dalam kaitannya dengan moral maka
aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh integritas dan martabat
manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya.
Sementara itu, hubungan antara moral dan etika kadang-kadang atau seringkali
disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak
berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang.
Wewenang itu dipandang berada di tangan pihak yang memberikan ajaran moral.

2.7Aplikasi Nilai, Norma, dan Moral dalam Kehidupan Sehari-Hari

Dalam kehidupan bermasyarakat kita sehari-hari, kita akan sering dihadapkan


dengan istilah nilai, norma, dan moral. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, nilai
sosial merupakan nilai yang diyakini oleh masyarakat mengenai sesuatu yang dianggap
baik atau buruk. Sebagai ontoh, dalam kehidupan bermasyarakat, seserang aka dianggap
baik apabila menolong sesamanya, namun apabila seseorang tersebut berbuat kejam dan
jahat, maka itu akan menjadi nilai yang buruk. Bagi manusia, nilai dianggap sebagai

21
landasan, alasan atau motivasi untuk berbuat sesuatu. Nilai mencerminkan kualitas
suatu tindakan dan pandangan hidup sesorang dalam bermasyarakat.
Norma sosial juga dapat dijelaskan sebagai pedoman perilaku dalam suatu
kelompok masyarakat tertentu. Norma sering diistilahkan peraturan sosial. Norma
mengandung aturan tidak tertulis tentang sesuatu yang pantas dilakukan dalam
berinteraksi sosial. Keberadaan norma bersifat memaksa suatu individu atau kelompok
untuk mematuhinya. Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara masyarakat
dapat berlangsung tertib dan damai.
Tingkat norma dasar dalam masyarakat dibedakan menjadi 4, yaitu : cara, kebiasaan,
tata kelakuan, dan adat istiadat.
Moral adalah istilah seseorang menyebut orang lain dalam tindakan yang
memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki normal disebut dengan amoral,
yang berarti ia tidak memiliki nilai positif dalam pandangan manusia lain. Manusia
harus memiliki moral jika ia ingin dihargai dan dihormati oleh orang lain. Moral
merupakan hal mutlak yang harus dimiliki manusia. Moral secara jelas merupakan hal-
hal yang berkaitan dengan proses sosialisai. Tanpa moral, proses sosialisasi terebut
tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Namun moral dalam kehidupan kini
mengandung nilai yang tidak jelas atau implisit. Banyak orang memandang moral dari
sudut pandang yang sempit.

2.8 Pengertian Sistem

Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani


(sustēma),merupakan suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang
dihubungkan bersama untukmemudahkan aliraninformasi, materi, atau energi untuk
mencapai suatu tujuan. Istilah ini sering dipergunakan untuk menggambarkan suatu set
entitas yang berinteraksi, di mana suatu model matematika seringkali bisa dibuat.

Sistem juga merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang


berada dalam suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak, contoh umum
misalnya seperti negara. Negara merupakan suatu kumpulan dari beberapa elemen

22
kesatuan lain seperti provinsi yang saling berhubungan sehingga membentuk suatu
negara di mana yang berperan sebagai penggeraknya yaitu rakyat yang berada dinegara
tersebut.

Kata "sistem" banyak sekali digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam


forum diskusi maupun dokumen ilmiah. Kata ini digunakan untuk banyak hal, dan pada
banyak bidang pula, sehingga maknanya menjadi beragam. Dalam pengertian yang
paling umum, sebuah sistem adalah sekumpulan benda yang memiliki hubungan di
antara mereka.

1. Elemen dalam Sistem

Setiap sistem selalu terdiri atas ampat elemen, yaitu sebagai berikut :

a) Objek. Objek dapat berupa bagian, elemen, atau variabel. Dapat berwujud
sebagai benda fisik, abstrak, atau keduanya sekaligus.
b) Atribut. Hal ini menentukan kualitas atau sifat kepemilikan sistem dan
objeknya.
c) Hubungan internal. Merupakan hubungan di antara objek-objek di dalam
sistem
d) Lingkungan. Merupakan tempat dimana sistem tersebut berada atau
dijalankan.

2. Elemen Sistem

Terdapat beberapa elemen yang dapat bergabung menjadi sebuah sistem, yaitu :

1. Tujuan. Setiap sistem tentulah memiliki sbuah tujuan. Entah tujuan trsebut
hanya satu, atau banyak. Tujuan ini menjadi sebuah motivasi bagi bergeraknya
suatu sistem. Tanpa sebuah tujuan, sistem bergerak tak terkendali. Tujuan setiap
sistem berbeda antara sistem satu dengan yang lain.

23
2. Masukan. Merupakan segala sesuatu yang memeasuki sebuah sistem untuk pada
akhirnya diproses. Masukan dapat berupa hal-hal yang nampak maupun tak
nampak.
3. Proses. Merupakan bagian yang menjalankan perubahan atau transformasi dari
suatu masukan yang berupa bahan mentah menjadi sesuatu yang lebih bernilai.
4. Keluaran. Adalah hasil akhir dari masukan, setelah melewati sebuah proses.
5. Batas. Merupakan pemisah antara sistem dan daerah di luar sistem. Batas ini
menentukan konfigurasi, ruang lingkup, atau kemampuan sebuah sistem. Batas
sistem ini dapat dikurangi atau dimodifikasi sehingga akan merubah perilaku
sistem.
6. Mekanisme Pengendalian dan Umpan Balik. Mekanisme pengendalian dapat
terwujud dengan menggunakan umpan balik, yang mencakup keluaran. Umpan
balik dilakukan untuk mengontrol masukan maupun proses. Tujuannya adalah
untuk mengatur sistem tetap bekerja sesuai tujuan.
7. Lingkungan. Merupakan segala sesuatu yang berada di luar sistem. Dapat
mempengaruhi sistem, baik itu secra positif maupun negatif (menguntungkan
atau merugikan).

3. Jenis-Jenis Sistem

Ada berbagai tipe sistem berdasarkan kategori:

1. Atas dasar keterbukaan:


 Sistem terbuka, dimana pihak luar dapat mempengaruhinya
 Sistem tertutup

2. Atas dasar komponen:

 Sistem fisik, dengankomponen materi dan energi


 Sistem non-fisik atau konsep, berisikan ide-ide

a. Pancasila sebagai Sistem Etika

24
Pancasila disamping sebagai way of life bangsa Indonesia, juga merupakan
struktur pemikiran yang disusun untuk memberikan tuntunan atau panduan kepada
setiap warga negara Indonesia dalam bersikap dan bertingkah laku. Pancasila sebagai
sistem etika, dimaksudkan untuk mengembangkan dimensi moralitas dalam diri sendiri
sehingga dapat memiliki kemampuan untuk menampilkan sikap yang benar dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pancasila sebagai sistem etika merupakan tuntunan moral yang dapat


diwujudkan dalam tindakan nyata, yang melibatkan berbagai aspek kehidupan. Oleh
karnanya, sila-sila dalam Pancasila perlu diwujudkan dengan lebih lanjut ke dalam
keputusan setiap tindakan sehingga mampu mencerminkan pribadi yang saleh, utuh, dan
berwawasan moral-akademis.

Pancasila menjadi sistem etika karena dalam Pancasila terdapat nilai, norma, dan
moral yang merupakan konsep yang saing berkaitan dan akan memberikan pemahaman
yang saling melengkapi satu sama lain. Pancasila sebagai satu sistem filsafat pada
dasarnya merupakan suatu nilai yang menjadi sumber bagi segala penjabaran norma
baik norma hukum , norma moral, maupun norma kenegaraan lainnya. Selain itu, dalam
Pancasila juga terkandung pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional,
sistematis, dan komperhensif.

Pancasila memegang pernanan penting dalam perwujudan sebuah sistem etika


yang baik bagi Indonesia. Di setiap saat dan di manapun kita berada, etika wajib kita
sertakan bersama kita. Setiap sila dalam Pancasila mengandung arti yang besar dalam
membangun etika bangsa. Pancasila memegang berbagai aspek kehidupan bangsa.
Dalam dunia internasional, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang beetika,
ramah, sopan, dan yang lainnya. Semua itu tidak lepas dari tuntunan Pancasila sebagai
pedoman beretika.

25
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pancasila merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Sebagai
dasar negara, Pancasila mengandung banyak nilai moral dan kebaikan. Oleh karena
itulah Pancasila dijadikan sebagai sistem etika. Etika merupakan suatu pemikiran kritis
dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika Pancasila
adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nlai-nilai yang
terkandung dalam pancasila, yaitu niai Ketuhanan, Kemanusiaan, persatuan,
Kerakyatan, dan Keadilan. Jika suatu perbuatan telah mencaup nilai-nilai dan
meninggikan nilai-nilai tersebut, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan baik, dan
berlaku sebaliknya. Pancasila sebagai sistem etika memegang peranan penting dalam
perkembanga bangsa ini karena Pancasla membentuk pla pikir bangsa sehinga bangsa
kita dapat dianggap sebagai bangsa yang bermoral dan beradab di mata dunia.

26
DAFTAR PUSTAKA

https://mahasiswa.yai.ac.id/v5/data_mhs/tugas/1844390017/03TUGAS1_PANCASI
LA_RETNO%20INDRIANI_1844390017.pdf

https://law.uii.ac.id/wp-content/uploads/2018/01/Buku-Pendidikan-Pancasila.pdf

27

Anda mungkin juga menyukai