Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA

“PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 6
1. AINNUR FITRIYA 1203351004
2. IRMA AFRIANI NASUTION 1203351024
3. MEGA HAFNI SIREGAR 1203351020

KELAS : BK REGULER C 2020


MATA KULIAH : PENDIDIKAN PANCASILA
DOSEN PENGAMPU : FAZLI RACHMAN, S.Pd, M.Pd

JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN


PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menyelesaikan Makalah ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
Bapak Fazli Rachman, S.Pd., M.Pd, selaku dosen mata kuliah yang telah memberikan tugas dan
bimbingan sehingga menambah wawasan dalam situasi sekarang ini.

Makalah ini disusun oleh penulis dengan tujuan memenuhi tugas wajib mata Pendidikan
Pancasila yang diberikan oleh Bapak Fazli Rachman, S.Pd., M.Pd. Pada kegiatan ini, tim
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun sangat diperlukan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih semoga dapat bermanfaat dan bisa
menambah pengetahuan bagi pembaca.

Medan, 18 Maret 2022

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................

DAFTAR ISI..............................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................

A. Latar Belakang....................................................................................................................

B. Rumusan Masalah...............................................................................................................

C. Tujuan..................................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................

A. Pengertian Etika..................................................................................................................

B. Pengertian Nilai...................................................................................................................

C. Makna Nilai-Nilai Dalam Setiap Sila Pancasila..................................................................

D. Pengertian Moral..................................................................................................................

E. Pengertian Norma.................................................................................................................

F. Hubungan Antara Nilai, Norma, dan Moral.........................................................................

G. Aplikasi Nilai, Norma dan Moral Dalam Kehidupan Sehari-Hari.......................................

H. Pengertian Sistem..................................................................................................................

I. Elemen Sistem.......................................................................................................................

J. Jenis Sistem...........................................................................................................................

K. Pancasila Sebagai Sistem Etika.............................................................................................

BAB III PENUTUP……………………………………………………………………...........

A.KESIMPULAN.......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA…….......…………………………………………………………….....
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari
Sansekerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan
dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, tentu saja pancasila memuat
aturan aturan dan larangan larangan. Pancasila sarat akan nilai nilai seperti nilai ketuhanan,
kemanusiaan, pesatuan, kerakyatan, dan keadilan. Oleh karena itu, secara normatif, Pancasila
dapat dijadikan acuan atas tindakan baik, dan secara filosofis dapat dijadikan sebagai persperktif
kajian atas nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Nilai dan norma tersebut
bersifat universal, dapat ditemukan dimanapun dan kapanpun, sehingga memberikan ciri khusus
ke-Indonesia-an karena merupakan komponen yang terdapat dalam Pancasila.

Nilai, norma, dan moral adalah konsep konsep yang saling berkaitan. Ketiganya akan
memberikan pemahaman yang saling melengkapi sebagai sistem etika dalam kaitannya dengan
Pancasila. Pancasila merupakan sumber dari penjabaran segala norma, baik norma hukum,
norma moral, maupun norma kenegaraan lainnya.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan diatas, rumusan masalah dalam jurnal ini
adalah :

1. Apakah pengertian Pancasila itu?


2. Apakah pengertian sistem itu?
3. Bagaimaknakah peran Pancasila sebagai sistem etika?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Pancasila.
2. Untuk mengetahui pengertian dari sistem
3. Untuk mengetahui peran Pancasila sebagai sistem etika.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Etika

Etika merupakan cabang utama filsafat, adalah pembelajaran mengenai di mana dan
bagaimana nilai atau kualitas menjadi standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan
penerapan konsep seperti, benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika merupakan
kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa
yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut :

a. Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setaip tindakan


manusia.
b. Etika Khusus, membahas prinsip prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan
berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual) maupun
makhluk sosial (etika sosial)

Secara etimologis (asal kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang artinya watak
kesusilaan atau adat. Istilah ini identik dengan moral yang berasal dari bahasa Latin, mos yang
jamaknya mores, yang juga berarti adat atau cara hidup. Meskipun kata etika dan moral memiliki
kesamaan arti, dalam pemakaian sehari hari kata ini digunakan secara berbeda. Moral atau
moralitas digunakan untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika digunakan untuk
mengkaji sistem yang ada (Zubair, 1987: 13). Dalam bahasa Arab, padanan kata etika adalah
akhlak yang merupakan kata jamak khuluk yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat
(Zakky, 2008: 20).

Secara keseluruhan, etika membahas mengenai tingkah laku, watak, dan segala sesuatu
perbuatan manusia yang dibutuhkan dan dinilai dalam kehidupan bermasyarakat.

 Aliran Besar Etika


Dalam kajian etika dikenal tiga teori/aliran besar, yaitu deontologi, teleologi dan keutamaan.
Setiap aliran memiliki sudut pandang sendiri-sendiri dalam menilai apakah suatu perbuatan
dikatakan baik atau buruk. Berikut adalah ketiga aliran tersebut :
a. Etika Deontologi
Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah
tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika deontologi tidak mempersoalkan akibat
dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan apa
yang sudah menjadi kewajibannya.
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Immanuel Kant (1734-1804). Kant menolak
akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai tindakan tersebut  karena akibat  tadi tidak
menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu tindakan (Keraf,
2002:9).
Kewajiban moral sebagai manifestasi dari hukum moral adalah sesuatu yang sudah tertanam
dalam setiap diri pribadi manusia yang bersifat universal. Manusia dalam dirinya secara
kategoris sudah dibekali pemahaman tentang suatu tindakan itu baik atau buruk, dan keharusan
untuk melakukan kebaikan dan tidak melakukan keburukan harus dilakukan sebagai perintah
tanpa syarat (imperatif kategoris).
Kewajiban moral untuk tidak melakukan korupsi, misalnya, merupakan tindakan tanpa syarat
yang harus dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena hasil atau adanya tujuan-tujuan tertentu
yang akan diraih, namun karena secara moral setiap orang sudah memahami bahwa korupsi
adalah tindakan yang dinilai buruk oleh siapapun. Etika deontologi menekankan bahwa
kebijakan/tindakan harus didasari oleh motivasi dan kemauan baik dari dalam diri, tanpa
mengharapkan pamrih apapun dari tindakan yang dilakukan (Kuswanjono, 2008: 7).

b. Etika Teleologi
Pandangan etika teleologi berkebalikan dengan etika deontologi, yaitu bahwa baik buruk
suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi
membantu kesulitan etika deontologi ketika menjawab apabila dihadapkan pada situasi konkrit
ketika dihadapkan pada dua atau lebih kewajiban yang bertentangan satu dengan yang
lain. Jawaban yang diberikan oleh etika teleologi bersifat situasional yaitu memilih mana yang
membawa akibat baik meskipun harus melanggar kewajiban, nilai norma yang lain.
Ketika bencana sedang terjadi situasi biasanya chaos. Dalam keadaan seperti ini maka
memenuhi kewajiban sering sulit dilakukan. Contoh sederhana kewajiban mengenakan helm
bagi pengendara motor tidak dapat dipenuhi karena lebih fokus pada satu tujuan yaitu mencari
keselamatan. Kewajiban membayar pajak dan hutang juga sulit dipenuhi karena kehilangan
seluruh harta benda. Dalam keadaan demikian etika teleologi perlu dipertimbangkan yaitu demi
akibat baik, beberapa kewajiban mendapat toleransi tidak dipenuhi.
Persoalan yang kemudian muncul adalah akibat yang baik itu, baik menurut siapa? Apakah
baik menurut pelaku atau menurut orang lain? Atas pertanyaan ini, etika teleologi dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu egoisme etis dan utilitarianisme
a. Egoisme etis memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang
berakibat baik untuk pelakunya. Secara moral setiap orang dibenarkan mengejar
kebahagiaan untuk dirinya dan dianggap salah atau buruk apabila membiarkan dirinya
sengsara dan dirugikan.
b. Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung bagaimana
akibatnya terhadap banyak orang.
Tindakan dikatakan baik apabila mendatangkan kemanfaatan yang besar dan memberikan
kemanfaatan bagi sebanyak mungkin orang. Di dalam menentukan suatu tindakan yang dilematis
maka yang pertama adalah dilihat mana yang memiliki tingkat kerugian paling kecil dan kedua
dari kemanfaatan itu mana yang paling menguntungkan bagi banyak orang, karena bisa jadi
kemanfaatannya besar namun hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil orang saja. Etika
utilitarianisme ini tidak terpaku pada nilai atau norma yang ada karena pandangan nilai dan
norma sangat mungkin memiliki keragaman. Namun setiap tindakan selalu dilihat apakah akibat
yang ditimbulkan akan memberikan manfaat bagi banyak orang atau tidak.
Kalau tindakan itu hanya akan menguntungkan sebagian kecil orang atau bahkan merugikan
maka harus dicari alternatif-alternatif tindakan yang lain. Etika utilitarianisme lebih bersifat
realistis, terbuka terhadap beragam alternatif tindakan dan berorientasi pada kemanfaatan yang
besar dan yang menguntungkan banyak orang. Utilitarians try to produce maximum pleasure
and minimum pain, counting their own pleasure and pain as no more or less important than
anyone else’s (Wenz, 2001: 86).
Etika utilitarianisme ini menjawab pertanyaan etika egoisme, bahwa kemanfaatan banyak
oranglah yang lebih diutamakan. Kemanfaatan diri diperbolehkan sewajarnya, karena
kemanfaatan itu harus dibagi kepada yang lain. Utilitarianisme, meskipun demikian, juga
memiliki kekurangan. Sonny Keraf (2002: 19-21) mencatat ada enam kelemahan etika ini, yaitu:
(1) Karena alasan kemanfaatan untuk orang banyak berarti akan ada sebagian masyarakat
yang dirugikan, dan itu dibenarkan. Dengan demikian utilitarianisme membenarkan
adanya ketidakadilan terutama terhadap minoritas.
(2) Dalam kenyataan praktis, masyarakat lebih melihat kemanfaatan itu dari sisi yang
kuantitasmaterialistis, kurang memperhitungkan manfaat yang non-material seperti kasih
sayang, nama baik, hak dan lain-lain.
(3) Karena kemanfaatan yang banyak diharapkan dari segi material yang tentu terkait dengan
masalah ekonomi, maka untuk atas nama ekonomi tersebut hal-hal yang ideal seperti
nasionalisme, martabat bangsa akan terabaikan, misalnya atas nama memasukkan
investor asing maka aset-aset negara dijual kepada pihak asing, atau atas nama
meningkatkan devisa negara maka pengiriman TKW ditingkatkan. Hal yang
menimbulkan problem besar adalah ketika lingkungan dirusak atas nama untuk
menyejahterakan masyarakat.
(4) Kemanfaatan yang dipandang oleh etika utilitarianisme sering dilihat dalam jangka
pendek, tidak melihat akibat jangka panjang. Padahal,misalnya dalam persoalan
lingkungan, kebijakan yang dilakukan sekarang akan memberikan dampak negatif pada
masa yang akan datang.
(5) Karena etika utilitarianisme tidak menganggap penting nilai dan norma, tapi lebih pada
orientasi hasil, maka tindakan yang melanggar nilai dan norma atas nama kemanfaatan
yang besar, misalnya perjudian/prostitusi, dapat dibenarkan.
(6) Etika utilitarianisme mengalami kesulitan menentukan mana yang lebih diutamakan
kemanfaatan yang besar namun dirasakan oleh sedikit masyarakat atau kemanfaatan yang
lebih banyak dirasakan banyak orang meskipun kemanfaatannya kecil. 

Menyadari kelemahan itu etika utilitarianisme membedakannya dalam dua tingkatan, yaitu
utilitarianisme aturan dan tindakan. Atas dasar ini, maka :
1. Pertama, setiap kebijakan dan tindakan harus dicek apakah bertentangan dengan nilai
dan norma atau tidak. Kalau bertentangan maka kebijakan dan tindakan tersebut harus
ditolak meskipun memiliki kemanfaatan yang besar.
2. Kedua, kemanfaatan harus dilihat tidak hanya yang bersifat fisik saja tetapi juga yang
non-fisik seperti kerusakan mental, moralitas, kerusakan lingkungan dan sebagainya.
3. Ketiga,  terhadap masyarakat yang dirugikan perlu pendekatan personal dan kompensasi
yang memadai untuk memperkecil kerugian material dan non-material.

c. Etika Keutamaan
Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga mendasarkan pada penilaian
moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal, tetapi pada pengembangan karakter
moral pada diri setiap orang. Orang tidak hanya melakukan tindakan yang baik, melainkan
menjadi orang yang baik. Karakter moral ini dibangun dengan cara meneladani perbuatan-
perbuatan baik yang dilakukan oleh para tokoh besar. Internalisasi ini dapat dibangun melalui
cerita, sejarah yang di dalamnya mengandung nilai-nilai keutamaan agar dihayati dan ditiru oleh
masyarakatnya. Kelemahan etika ini adalah ketika terjadi dalam masyarakat yang majemuk,
maka tokoh-tokoh yang dijadikan panutan juga beragam sehingga konsep keutamaan menjadi
sangat beragam pula, dan keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan benturan sosial.
Kelemahan etika keutamaan dapat diatasi dengan cara mengarahkan keteladanan tidak pada
figur tokoh, tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu sendiri, sehingga akan
ditemukan prinsip-prinsip umum tentang karakter yang bermoral itu seperti apa.

 Etika Pancasila
Etika Pancasila tidak memposisikan secara berbeda atau bertentangan dengan aliran-aliran
besar etika yang mendasarkan pada kewajiban, tujuan tindakan dan pengembangan karakter
moral, namun justru merangkum dari aliran-aliran besar tersebut. Etika Pancasila adalah etika
yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan.Suatu perbuatan dikatakan baik bukan hanya
apabila tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, namun juga sesuai dan mempertinggi
nilai-nilai Pancasila tersebut. Nilai-nilai Pancasila meskipun merupakan kristalisasi nilai yang
hidup dalam realitas sosial, keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia, namun
sebenarnya nilai-nilai Pancasila juga bersifat universal dapat diterima oleh siapapun dan
kapanpun.

Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia.
Nilai yang pertama adalah Ketuhanan. Secara hirarkis nilai ini bisa dikatakan sebagai nilai yang
tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari
nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaedah dan
hukum Tuhan.Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa setiap perbuatan yang
melanggar nilai, kaedah dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya dengan hubungan antara manusia
maupun alam pasti akan berdampak buruk.Misalnya pelanggaran akan kaedah Tuhan tentang
menjalin hubungan kasih sayang antar sesama akan menghasilkan konflik dan permusuhan.
Pelanggaran kaedah Tuhan untuk melestarikan alam akan menghasilkan bencana alam, dan lain-
lain

Nilai yang kedua adalah Kemanusiaan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan
nilai-nilaiKemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai KemanusiaanPancasila adalah keadilan dan
keadaban. Keadilanmensyaratkan keseimbangan antara lahir dan batin, jasmani dan rohani,
individu dan sosial, makhluk bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang terikat hukum-hukum
Tuhan. Keadaban mengindikasikan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk lain, yaitu
hewan, tumbuhan, dan benda tak hidup. Karena itu perbuatan itu dikatakan baik apabila sesuai
dengan nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban.

Nilai yang ketiga adalah Persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat
memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan perbuatan
buruk, demikian pula sikap yang memecah belah persatuan. Sangat mungkin seseorang seakan-
akan mendasarkan perbuatannya atas nama agama (sila ke-1), namun apabila perbuatan tersebut
dapat memecah persatuan dan kesatuan maka menurut pandangan etika Pancasila bukan
merupakan perbuatan baik. Nilai yang keempat adalah Kerakyatan. Dalam kaitan dengan
kerakyatan ini terkandung nilai lain yang sangat penting yaitu nilai hikmat/kebijaksanaan dan
permusyawaratan. Kata hikmat/kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai
kebaikan tertinggi.

Atas nama mencari kebaikan, pandangan minoritas belum tentu kalah dibanding mayoritas.
Pelajaran yang sangat baik misalnya peristiwa penghapusan tujuh kata dalam sila pertama
Piagam Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI menyetujui tujuh kata tersebut, namun
memperhatikan kelompok yang sedikit (dari wilayah Timur) yang secara argumentatif dan
realistis bisa diterima, maka pandangan minoritas “dimenangkan” atas pandangan mayoritas.
Dengan demikian, perbuatan belum tentu baik apabila disetujui/bermanfaat untuk orang banyak,
namun perbuatan itu baik jika atas dasar musyawarah yang didasarkan pada konsep
hikmah/kebijaksanaan.

Nilai yang kelima adalah Keadilan. Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, maka kata
tersebut lebih dilihat dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai keadilan pada sila
kelima lebih diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai
dengan prinsip keadilan masyarakat banyak. Menurut Kohlberg (1995: 37), keadilan merupakan
kebajikan utama bagi setiap pribadi dan masyarakat. Keadilan mengandaikan sesama
sebagai partner  yang bebas dan sama derajatnya dengan orang lain.

B. Pengertian Nilai
Nilai (value)  adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk
memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau
kelompok. Jadi nilai itu pada hakekatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu
obyeknya. Dengan demikian, maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik
kenyataan-kenyataan lainnya.
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu adalah suatu
nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak
baik, dan seterusnya. Penilaian itu pastilah berhubungan dengan unsur indrawi manusia sebagai
subyek penilai, yaitu unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan kepercayaan.
Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya batin dan
menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi
mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem
merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping sistem sosial dan karya.
Dalam pandangan filsafat, nilai selalu dihubungkan dengan masalah kebaikan. Sesuatu yang
berguna, benar, indah, berharga, baik, religius, dan sebagainya dapat dikatakan sebagai sesuatu
yang mempunyai nilai. Nilai adalah sesuatu yang tidak dapat disentuh dengan panca indera
karena bersifat ide. Yang dapat dirasakan adalah barang atau tingkah perbuatan yang
mengandung nilai tersebut.
Ada dua pandangan tentang cara beradanya nilai, yaitu sebagai berikut :
1. Nilai sebagai sesuatu yang ada pada obyek itu sendiri. Menurut filusuf Max Scheler dan
Nocolia Hartman, nilai merupakan suatu hal yang obyektif membentuk semacam “dunia
nilai”, yang menjadi ukuran tertinggi dari perilaku manusia.
2. Nilai sebagai sesuatu yang bergantung kepada penangkapan dan perasaan orang
(subyektif). Menurut Nietzche, yang dimaksudkan adalah tingkat atau derajat yang
diinginkan oleh manusia. Nilai merupakan tujuan dari kehendak manusia yang benar,
sering ditata menurut susunan tingkatannya yang dimulai dari bawah, yaitu : nilai hedois
(kenikmatan), nilai utilitaris (kegunaan), nilai biologis (kemuliaan), nilai diri estetis
(keindahan, kecantikan), nilai-nilai pribadi (sosial), dan yang paling atas ialah nilai
religius (kesucian).
Para ahli mengidentifikasikan nilai dalam beberapa macam atau tingkatan. Para ahli
mengidentifikasikannya secara berbeda, karena nilai ini bersifat abstrak dan idealis.
 Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada
enam macam, yaitu : nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik dan
nilai religi.
 Max Scheler mengelompokkan nilai-nilai menjadi enam tingkatan, yaitu: nilai
kenikmatan, nilai kehidupan, nilai kejiwaan, dan nilai kerohanian.
 Sementara Notonargo membedakan nilai menjadi tiga, yaitu : nilai material, nilai vital,
dan nilai kerohanian.

Nilai bersumber pada budi yang bersifat mendorong dan mengarahkan sikap dan perilaku
manusia, atau lebih jelasnya kita sebut sebagai motivator. Nilai sebagai suatu sistem merupakan
salah satu wujud kebudayaan, disamping sistem sosial dan karya.
Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan
kriteria, sehingga merupakan suatu keharusan, anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau
tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap
manusia. Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan
dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai.
Pancasila sebagai ideologi terbuka dan pedoman hidup bangsa mempunyai dimensi
fleksibilitas. Hal ini disebabkan karena di dalam Pancasila terdapat nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut
ada 3, yaitu nilai dasar, nilai instrmental, dan nilai praksis.
1. Nilai dasar, sesuai dengan namanya, merupakan suatu dasar dari nilai nilai yang lain.
Nilai dasar ini bersifat tetap, tidak berubah-ubah. Nilai ini terdapat dalam Pembukaan
UUD 1945. Nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila ialah nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial.
2. Nilai Instrumental, merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai dasar. Disebut juga
nilai yang menjadi pedoman bagi belaksanaan daripada nilai dasar. Nilai dasar belum
dapat berfungsi dan bermakna sepenuhnya jika belum memiliki parameter atau ukuran
yang jelas dan konkrit. Nilai instrumental yang berkaitan dengan tingkah laku manusia
dalam berkehidupan sehari-hari akan menjadi norma moral. Sementara nilai yang
berkaitan dengan suatu organisasi atau negara, maka nilai tersebut menjadi sebuah
arahan, kebijakan, dan strategi yang bersumber pada nilai dasar. Dalam kehidupan
ketatanegaraan di repunlik Indonesia, nilai instrumental dapat ditemukan di dlam pasal-
pasal UUD yang merupakan penjelasan dari nilai dasar, yaitu Pancasila.
3. Nilai Praksis, yaitu nilai yang lebih menjabarkan nilai-nilai instrumental. Nilai praksis
ini terdapat dalam kehidupan nyata sehari-hari. Nilai ini bersifat fleksibel, sehingga
dapat diubah sesuai dengan perkembangan jaman selama tidak menyimpang dari nilai
dasar maupun nilai instrumental.

C. Makna Nilai-Nilai dalam Setiap Sila Pancasila


Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia merupakan nilai yang
tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing silanya. Hal ini dikarenakan apabila dilihat
satu per satu dari masing-masing sila, dapat saja ditemukan dalam kehidupan bangsa lain. Makna
Pancasila terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
diputarbalikkan letak dan susunannya. Namun demikian, untuk lebih memahami nilai-nilai yang
terkandung dalam masing-masing sila Pancasila, maka berikut ini kita uraikan:
a. Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila
lainnya. Dalam sila ini terkandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah pengejawantahan
tujuan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha esa.
Konsekuensi yang muncul kemudian adalah realisasi kemanusiaan terutama dalam kaitannya
dengan hak-hak dasar kemanusiaan (hak asasi manusia) bahwa setiap warga negara memiliki
kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keimanan dan
kepercayaannya masing-masing. Hal itu telah dijamin dalam Pasal 29 UUD. Di samping itu, di
dalam negara Indonesia tidak boleh ada paham yang meniadakan atau mengingkari adanya
Tuhan (atheisme).
b. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Kemanusian berasal dari kata manusia yaitu makhluk yang berbudaya dengan memiliki
potensi pikir, rasa, karsa dan cipta. Potensi itu yang mendudukkan manusia pada tingkatan
martabat yang tinggi yang menyadari nilai-nilai dan norma-norma. Kemanusiaan terutama
berarti hakekat dan sifat-sifat khas manusia sesuai dengan martabat. Adil berarti wajar yaitu
sepadan dan sesuai dengan hak dan kewajiban seseorang. Beradab sinonim dengan sopan santun,
berbudi luhur, dan susila, artinya, sikap hidup, keputusan dan tindakan harus senantiasa
berdasarkan pada nilai-nilai keluhuran budi, kesopanan, dan kesusilaan. Dengan demikian, sila
ini mempunyai makna kesadaran sikap dan perbuatan yang didasarkan kepada potensi budi
nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kesusilaan umumnya, baik terhadap
diri sendiri, sesama manusia, maupun terhadap alam dan hewan.
Hakekat pengertian di atas sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 Alinea Pertama :”bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan ...”.
Selanjutnya dapat dilihat penjabarannnya dalam Batang Tubuh UUD.
c. Persatuan Indonesia
Persatuan berasal dari kata satu artinya tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung
pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan.
Persatuan Indonesia dalam sila ketiga ini mencakup persatuan dalam arti ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang
mendiami seluruh wilayah Indonesia. Yang bersatu karena didorong untuk mencapai kehidupan
kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Persatuan Indonesia
merupakan faktor yang dinamis dalam kehidupan bangsa Indonesia dan bertujuan melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan perdamaian dunia yang abadi.
Persatuan Indonesia adalah perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh
Ketuhanan Yang Maha Esa, serta kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, paham
kebangsaan Indonesia tidak sempit (chauvinistis), tetapi menghargai bangsa lain. Nasionalisme
Indonesia mengatasi paham golongan, suku bangsa serta keturunan. Hal ini sesuai dengan alinea
keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, ” Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia...”. Selanjutnya dapat dilihat penjabarannya dalam Batang Tubuh UUD
1945.
d. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/
Perwakilan
Kerakyatan berasal dari kata rakyat yaitu sekelompok manusia yang berdiam dalam satu
wilayah negara tertentu. Dengan sila ini berarti bahwa bangsa Indonesia menganut sistem
demokrasi yang menempatkan rakyat di posisi tertinggi dalam hirarki kekuasaan.
Hikmat kebijasanaan berarti penggunaan ratio atau pikiran yang sehat dengan selalu
mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan dengan
sadar, jujur dan bertanggung jawab serta didorong dengan itikad baik sesuai dengan hati nurani.
Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan atau
memutuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak rakyat sehingga tercapai keputusan yang bulat
dan mufakat. Perwakilan adalah suatu sistem, dalam arti, tata cara mengusahakan turut sertanya
rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara melalui lembaga perwakilan.
Dengan demikian sila ini mempunyai makna bahwa rakyat dalam melaksanakan tugas
kekuasaanya ikut dalam pengambilan keputusan. Sila ini merupakan sendi asas kekeluargaan
masyarakat sekaligus sebagai asas atau prinsip tata pemerintahan Indonesia sebagaimana
dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: ”..maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang berkedaulatan rakyat ...”
e. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan,
baik materiil maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia berarti untuk setiap orang yang menjadi
rakyat Indonesia.
Pengertian itu tidak sama dengan pengertian sosialistis atau komunalistis karena keadilan
sosial pada sila kelima mengandung makna pentingnya hubungan antara manusia sebagai pribadi
dan manusia sebagai bagian dari masyarakat. Konsekuensinya meliputi :
a)     Keadilan distributif yaitu suatu hubungan keadilan antara negara dan warganya dalam
arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan membagi, dalam
bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan
atas hak dan kewajiaban.
b)     Keadilan legal yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara terhadap negara,
dalam masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk mentaati
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara.
c)      Keadilan komutatif yaitu suatu hubungan keadilan antara warga atau dengan lainnya
secara timbal balik. Dengan demikian, dibutuhkan keseimbangan dan keselarasan diantara
keduanya sehingga tujuan harmonisasi akan dicapai. Hakekat sila ini dinyatakan dalam
Pembukaan UUD 1945 yaitu :”dan perjuangan kemerdekaan kebangsaan Indonesia ... Negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.

D. Pengertian Moral
Moral berasal dari kata mos (mores) yang bersinonim dengan kesusilaan, tabiat atau
kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku
dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaedah-kaedah dan
norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral.
Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral.
Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang benar,
baik terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang
mengikat kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
E. Pengertian Norma
Kesadaran manusia akan kebutuhan terhadap hubungan yang ideal akan menumbuhkan
kepatuhan terhadap suatu peraturan atau norma. Hubungan ideal yang seimbang, serasi dan
selaras itu tercermin secara vertikal (Tuhan), horisontal (masyarakat) dan alamiah (alam
sekitarnya) Norma adalah perwujudan martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral
dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai
untuk dipatuhi. Oleh karena itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma
filsafat, norma kesusilaan, norma hukum dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk
dipatuhi karena adanya sanksi.

Norma-norma yang terdapat dalam masyarakat antara lain:

 Norma agama : adalah ketentuan hidup masyarakat yang bersumber pada Tuhan (agama).
 Norma kesusilaan : adalah ketentuan hidup masyarakat yang bersumber pada diri sindiri
seperti hati nurani, moral, atau filsafat hidup.
 Norma hukum : adalah ketentuan ketentuan tertulis yang berlaku dan bersumber pada UU
suatu negara tertentu.
 Norma sosial : adalah ketentuan hidup yang berlaku pada hubungan bermasyarakat antar
umat manusia.

F. Hubungan antara nilai, norma, dan moral

Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetap
terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak
digarisbawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi yang
kuat tumbuh dan berkembang. Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan berguna menuntun
sikap dan tingkah laku manusia bila dikonkritkan dan diformulakan menjadi lebih obyektif
sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari. Dalam
kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh integritas
dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang
mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara moral dan etika kadang-kadang atau seringkali
disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak berwenang
menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang
berada di tangan pihak yang memberikan ajaran moral.

G. Aplikasi Nilai, Norma, dan Moral dalam Kehidupan Sehari-Hari

Dalam kehidupan bermasyarakat kita sehari-hari, kita akan sering dihadapkan dengan istilah
nilai, norma, dan moral. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, nilai sosial merupakan nilai
yang diyakini oleh masyarakat mengenai sesuatu yang dianggap baik atau buruk. Sebagai ontoh,
dalam kehidupan bermasyarakat, seserang aka dianggap baik apabila menolong sesamanya,
namun apabila seseorang tersebut berbuat kejam dan jahat, maka itu akan menjadi nilai yang
buruk. Bagi manusia, nilai dianggap sebagai landasan, alasan atau motivasi untuk berbuat
sesuatu. Nilai mencerminkan kualitas suatu tindakan dan pandangan hidup sesorang dalam
bermasyarakat.

Norma sosial juga dapat dijelaskan sebagai pedoman perilaku dalam suatu kelompok
masyarakat tertentu. Norma sering diistilahkan peraturan sosial. Norma mengandung aturan tidak
tertulis tentang sesuatu yang pantas dilakukan dalam berinteraksi sosial. Keberadaan norma
bersifat memaksa suatu individu atau kelompok untuk mematuhinya. Pada dasarnya, norma
disusun agar hubungan di antara masyarakat dapat berlangsung tertib dan damai. Tingkat norma
dasar dalam masyarakat dibedakan menjadi 4, yaitu : cara, kebiasaan, tata kelakuan, dan adat
istiadat.

Moral adalah istilah seseorang menyebut orang lain dalam tindakan yang memiliki nilai
positif. Manusia yang tidak memiliki normal disebut dengan amoral, yang berarti ia tidak
memiliki nilai positif dalam pandangan manusia lain. Manusia harus memiliki moral jika ia ingin
dihargai dan dihormati oleh orang lain. Moral merupakan hal mutlak yang harus dimiliki
manusia. Moral secara jelas merupakan hal-hal yang berkaitan dengan proses sosialisai. Tanpa
moral, proses sosialisasi terebut tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Namun moral dalam
kehidupan kini mengandung nilai yang tidak jelas atau implisit. Banyak orang memandang moral
dari sudut pandang yang sempit.
H. Pengertian Sistem

Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma), merupakan suatu
kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan
aliraninformasi, materi, atau energi untuk mencapai suatu tujuan. Istilah ini sering dipergunakan
untuk menggambarkan suatu set entitas yang berinteraksi, di mana suatu model matematika
seringkali bisa dibuat.

Sistem juga merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam
suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak, contoh umum misalnya seperti negara.
Negara merupakan suatu kumpulan dari beberapa elemen kesatuan lain seperti provinsi yang
saling berhubungan sehingga membentuk suatu negara di mana yang berperan sebagai
penggeraknya yaitu rakyat yang berada dinegara tersebut.

Kata "sistem" banyak sekali digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam forum diskusi
maupun dokumen ilmiah. Kata ini digunakan untuk banyak hal, dan pada banyak bidang pula,
sehingga maknanya menjadi beragam. Dalam pengertian yang paling umum, sebuah sistem
adalah sekumpulan benda yang memiliki hubungan di antara mereka.

I. Elemen dalam Sistem

Setiap sistem selalu terdiri atas ampat elemen, yaitu sebagai berikut :

1. Objek. Objek dapat berupa bagian, elemen, atau variabel. Dapat berwujud sebagai benda
fisik, abstrak, atau keduanya sekaligus.
2. Atribut. Hal ini menentukan kualitas atau sifat kepemilikan sistem dan objeknya.
3. Hubungan internal. Merupakan hubungan di antara objek-objek di dalam sistem
4. Lingkungan. Merupakan tempat dimana sistem tersebut berada atau dijalankan.

Elemen Sistem
Terdapat beberapa elemen yang dapat bergabung menjadi sebuah sistem, yaitu : Tujuan.
Setiap sistem tentulah memiliki sbuah tujuan. Entah tujuan trsebut hanya satu, atau banyak.
Tujuan ini menjadi sebuah motivasi bagi bergeraknya suatu sistem. Tanpa sebuah tujuan, sistem
bergerak tak terkendali. Tujuan setiap sistem berbeda antara sistem satu dengan yang lain.

1. Masukan. Merupakan segala sesuatu yang memeasuki sebuah sistem untuk pada akhirnya
diproses. Masukan dapat berupa hal-hal yang nampak maupun tak nampak.
2. Proses. Merupakan bagian yang menjalankan perubahan atau transformasi dari suatu
masukan yang berupa bahan mentah menjadi sesuatu yang lebih bernilai.
3. Keluaran. Adalah hasil akhir dari masukan, setelah melewati sebuah proses.
4. Batas. Merupakan pemisah antara sistem dan daerah di luar sistem. Batas ini menentukan
konfigurasi, ruang lingkup, atau kemampuan sebuah sistem. Batas sistem ini dapat
dikurangi atau dimodifikasi sehingga akan merubah perilaku sistem.
5. Mekanisme Pengendalian dan Umpan Balik. Mekanisme pengendalian dapat terwujud
dengan menggunakan umpan balik, yang mencakup keluaran. Umpan balik dilakukan
untuk mengontrol masukan maupun proses. Tujuannya adalah untuk mengatur sistem
tetap bekerja sesuai tujuan.
6. Lingkungan. Merupakan segala sesuatu yang berada di luar sistem. Dapat mempengaruhi
sistem, baik itu secra positif maupun negatif (menguntungkan atau merugikan).

J. Jenis-Jenis Sistem

Ada berbagai tipe sistem berdasarkan kategori:

Atas dasar keterbukaan:

 Sistem terbuka, dimana pihak luar dapat mempengaruhinya


 Sistem tertutup

Atas dasar komponen:

 Sistem fisik, dengan komponen materi dan energi


 Sistem non-fisik atau konsep, berisikan ide-ide
K. Pancasila sebagai Sistem Etika

Pancasila disamping sebagai way of life bangsa Indonesia, juga merupakan struktur pemikiran
yang disusun untuk memberikan tuntunan atau panduan kepada setiap warga negara Indonesia
dalam bersikap dan bertingkah laku. Pancasila sebagai sistem etika, dimaksudkan untuk
mengembangkan dimensi moralitas dalam diri sendiri sehingga dapat memiliki kemampuan
untuk menampilkan sikap yang benar dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pancasila sebagai sistem etika merupakan tuntunan moral yang dapat diwujudkan dalam
tindakan nyata, yang melibatkan berbagai aspek kehidupan. Oleh karnanya, sila-sila dalam
Pancasila perlu diwujudkan dengan lebih lanjut ke dalam keputusan setiap tindakan sehingga
mampu mencerminkan pribadi yang saleh, utuh, dan berwawasan moral-akademis.
Pancasila menjadi sistem etika karena dalam Pancasila terdapat nilai, norma, dan moral yang
merupakan konsep yang saing berkaitan dan akan memberikan pemahaman yang saling
melengkapi satu sama lain. Pancasila sebagai satu sistem filsafat pada dasarnya merupakan suatu
nilai yang menjadi sumber bagi segala penjabaran norma baik norma hukum , norma moral,
maupun norma kenegaraan lainnya. Selain itu, dalam Pancasila juga terkandung pemikiran-
pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis, dan komperhensif.
Pancasila memegang pernanan penting dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik bagi
Indonesia. Di setiap saat dan di manapun kita berada, etika wajib kita sertakan bersama kita.
Setiap sila dalam Pancasila mengandung arti yang besar dalam membangun etika bangsa.
Pancasila memegang berbagai aspek kehidupan bangsa. Dalam dunia internasional, bangsa
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang beetika, ramah, sopan, dan yang lainnya. Semua itu tidak
lepas dari tuntunan Pancasila sebagai pedoman beretika.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pancasila merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Sebagai dasar
negara, Pancasila mengandung banyak nilai moral dan kebaikan. Oleh karena itulah Pancasila
dijadikan sebagai sistem etika. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan
penilaian baik dan buruk pada nlai-nilai yang terkandung dalam pancasila, yaitu niai Ketuhanan,
Kemanusiaan, persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Jika suatu perbuatan telah mencaup nilai-
nilai dan meninggikan nilai-nilai tersebut, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan baik, dan
berlaku sebaliknya. Pancasila sebagai sistem etika memegang peranan penting dalam
perkembanga bangsa ini karena Pancasla membentuk pla pikir bangsa sehinga bangsa kita dapat
dianggap sebagai bangsa yang bermoral dan beradab di mata dunia.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Sistem
https://id.wikipedia.org/wiki/Etika
Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 1, No. 2, Januari 2017
https://www.academia.edu/32889592/6._Bagaimana_Pancasila_Menjadi_Sistem_Etika
https://www.academia.edu/29707247/
A._NILAI_DASAR_NILAI_INSTRUMENTAL_DAN_NILAI_PRAKSIS
http://budisma1.blogspot.com/2011/07/pancasila-sebagai-sistem-etika.html?m=1
https://www.academia.edu/13000228/Pancasila_Sebagai_Sistem_Etika
http://sinarmentari4u.blogspot.com/2011/07/makalah-pancasila-sebagai-sistem-etika.html
http://es182.blogspot.com/2013/02/pancasila-sebagai-sumber-nilai_6.html

Anda mungkin juga menyukai