Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PANCASILA SEBAGAI ETIKA

Dosen Pengampu Mata Kuliah :

Prof. Dr. H. Hery Tahir, S.H., M.H

Fediyatun Muntazarah, S.Pd., M.Pd

Di Susun Oleh Kelompok 6 :


Nama Kelas NIM
Diva Airlangga A 230306500016
Muh Nuzul Fadli A 230306502024
Najwah Mutiah Ruslan A 230306501031
Naurahtul Jannah A 230306501035
Nurul Halifah B 230306501044
Alilah Najlaa K. B 230306501036
Zulfirah Afrilia Kartika B 230306501048
Rahmawati C 230306501005

FISIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita


semua, Shalom, Om Swastyastu, Namo Buddhaya, dan Salam Kebajikan.

Puji syukur yang luar biasa kami panjatkan atas kehadirat Tuhan karena
atas kuasa-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Pancasila Sebagai Etika bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Makassar, Oktober 2023

Penulis,

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................1

DAFTAR ISI.............................................................................................................2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG.........................................................................................3

1.2 RUMUSAN MASALAH.....................................................................................3

1.3 TUJUAN..............................................................................................................4

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ETIKA.........................................................................................5

B. NORMA ETIK BERSUMBERKAN PANCASILA ............................................6

BAB III

PENUTUPAN

3.1 KESIMPULAN....................................................................................................13

DAFTAR PUSAKA

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pancasila sebagai dasar Negara, pedoman dan tolok ukur kehidupan


berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Tidak lain dengan kehidupan
berpolitik, etika politik Indonesia tertanam dalam jiwa Pancasila. Kesadaran etik
yang merupakan kesadaran relational akan tumbuh subur bagi warga masyarakat
Indonesia ketika nilai-nilai pancasila itu diyakini kebenarannya, kesadaran etik
juga akan lebih berkembang ketika nilai dan moral pancasila itu dapat di
implementasikan kedalam norma-norma yang di berlakukan di Indonesia.
Pancasila juga sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan
suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran dari norma baik
norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainya. Dalam filsafat
pancasila terkandung didalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis,
mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif (menyeluruh) dan sistem
pemikira ini merupakan suatu nilai. Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak
secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu
tindakan suatu nilai yan bersifat mendasar. Nilai-nilai pancasila dijabarkan dalam
suatu norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma tersebut
meliputi norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang
dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Kemudian yang ke dua adalah norma
hukum yaitu suatu sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Pada makalah ini dapat dirumuskan beberapa masalah diantaranya:


1. Apa Pengertian Etika?
2. Apa itu Norma Etik Bersumberkan Pancasila?

1.3 TUJUAN

Tujuan disusunnya makalah ini antara lain:


1. Menambah pengetahuan tentang Pengertian Etika.
2. Mengetahui tentang Norma Etik Bersumberkan Pancasila.
3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN ETIKA

Kata etika yang secara etimologis berasal dari kata Yunani "ethos" secara
harfiah berarti adat kebiasaan, watak, atau kelakuan manusia. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa
yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak) Pengertian etika
menurut para ahli dapat diklasifikasi ke dalam tiga makna (Sudarminta, 1997).
Makna etika yang pertama adalah sebagai sistem nilai. Kata etika di sini
berarti nilai-nilai dan norma- norma moral yang menjadi pegangan hidup atau
sebagai pedoman penilaian baik atau buruknya perilaku manusia, baik secara
individual maupun sosial dalam suatu masyarakat. Makna ini misalnya digunakan
dalam "Etika Jawa". "Etika Protestan", dan sebagainya. Makna yang kedua adalah
"kode etik", yang mana merupakan kumpulan norma dan nilai moral yang wajib
diperhatikan oleh pemegang profesi tertentu Sebagai contoh, pemakaian dalam
istilah "Etika Rumah Sakit," dan "Etika Jurnalistik". Makna yang ketiga adalah
ilmu yang melakukan refleksi kritis dan sistematis tentang moralitas. Etika dalam
makna ketiga ini sama dengan filsafat moral.

Menurut Bertens (2000), kata etika juga memiliki tiga arti. Pertama, etika
berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok yang mengatur tingkah lakunya. Hal ini bisa diartikan
sebagai sistem nilai yang berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun
pada taraf sosial. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau moral yaitu kode etik.
Ketiga, etika berarti ilmu tentang yang baik atau buruk. Dalam hal ini, etika sama
artinya dengan filsafat moral. Tiga pengertian etika menurut Bertens dan
Sudaminta tersebut dapat dikatakan sama.

Selain etika, dikenal pula istilah etiket, yang berasal dari bahasa Prancis,
etiquette, ketika raja-raja Prancis mengadakan pertemuan resmi, pesta, dan resepsi
untuk para elite kerajaan atau bangsawan untuk meng- atur beberapa tata krama
yang harus dipatuhi, seperti cara berpakaian, cara duduk, cara berbicara,
bersalaman, dan cara berperilaku selama acara. Aturan atau tata krama tersebut
ditentukan dan disepakati ber- sama: Secara normatif, antara etiket dan etika
keduanya menyangkut dan mengatur perilaku manusia. Etika berarti moral,
4
sedangkan etiket berarti sopan santun (Bertens, 2000). Selanjutnya, dinyatakan
bahwa: (1) etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia,
sedangkan etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuat- an, etika
memberi norma tentang perbuatan itu sendiri, (2) etiket hanya berlaku dalam
pergaulan, sedangkan etika tidak tergantung pada hadir tidaknya orang lain, (3)
etiket bersifat relatif, sedangkan etika bersifat absolut, (4) etiket berarti
memandang manusia hanya dari segi lahiri- ahnya, sedangkan etika menyangkut
manusia dari segi dalam.

1. Macam-Macam Etika atau Filsafat Moral

Etika sebagai filsafat moral adalah salah satu cabang ilmu filsafat yang
secara khusus mengkaji perilaku manusia dari segi baik-buruknya atau benar-
salahnya. Secara umum, etika dapat dibedakan dua cabang besar, yakni etika
umum dan etika khusus. Etika umum adalah etika yang menyajikan beberapa
pengertian dasar dan mengkaji beberapa permasalahan pokok dalam filsafat
moral. Sementara etika khusus adalah etika yang membahas beberapa
permasalahan moral dalam bidang-bidang khusus. Contoh etika khusus, yaitu
etika sosial (politik, kemasyarakatan, hukum), etika biomedis, etika seksual, etika
bisnis, etika ilmu, etika profesi, etika kependudukan, etika keluarga, etika ling-
kungan hidup.

Etika atau filsafat moral dibedakan menjadi tiga, yakni: (1) etika deskriptif
(descriptive ethics), (2) etika normatif (normative ethics) dan (3) metaetika (meta-
ethics). Etika deskriptif (descriptive ethics) hanya melukiskan tingkah laku moral
dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan suatu kelompok, tanpa memberikan
penilaian. Etika deskriptif mempel ajari moralitas yang terdapat pada kebudayaan
tertentu dan dalam peri- ode tertentu. Etika ini dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial
(antropologi. sosiologi, psikologi, dan lain-lain).

Etika normatif (normative ethics), yakni etika yang tidak hanya


melukiskan, tetapi juga melakukan penilaian (preskriptif memerintahkan). Untuk
itu diadakan argumentasi, alasan-alasan mengapa sesuatu dianggap baik atau
buruk. Etika normatif berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal
yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang
bernilai.

5
Meta berarti melampaui atau melebihi Maksudnya di sini adalah bukanlah
moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas.
Metaetika bergerak pada tataran bahasa atau mempelajari logika khusus dari
ucapan ucapan etis. Metaetika dapat ditempat- kan dalam wilayah filsafat analitis
yang menganggap analisis bahasa sebagai bagian terpenting, bahkan satu-satunya
tugas filsafat.

2. Aliran-Aliran dalam Filsafat Moral

Selain macam-macam etika, dikenal juga berbagai aliran dalam filsafat


moral yang meliputi etika keutamaan, deontologis, dan teleologi.

a. Etika Keutamaan

Etika keutamaan atau etika kebajikan adalah teori yang mempelajari


keutamaan (virtue), apakah perbuatan manusia itu baik atau buruk. Menurut etika
keutamaan, keutamaan adalah suatu disposisi batin yang bersifat tetap sebagai
akibat suatu latihan dan kebiasaan untuk berbuat baik.

Etika keutamaan menekankan pada karakter moral dan pembangunan


moral seseorang (Kalidjernih, 2010). Beberapa watak yang terkandung dalam nilai
keutamaan adalah baik hati, kesatria, belas kasih, terus terang, ber- sahabat, murah
hati, bernalar, percaya diri, penguasaan diri, sadar, suka bekerja bersama, berani,
santun, jujur, terampil, adil, setia, bersahaja, disiplin, mandiri, bijaksana, peduli,
dan toleran (Ali Mudhofir, 2009).

b. Etika Deontologi

Etika deontologi adalah teori etika yang membicarakan kewajiban moral


sebagai hal yang benar dan bukan membicarakan tujuan atau akibat dari etika
deontologi dalam memberi tekanan dan fokus perhatiannya pada prinsip-prinsip
yang mendasari tindakan.

Kata "deon" berasal dari Yunani yang artinya "kewajiban" yang merupakan inti
dari teori ini dan mengasumsikan bahwa orang-orang bertindak secara moral bila
mengikuti aturan-aturan yang benar atau baik (Kalidjernih, 2010). Aturan itu
sebenarnya adalah kewajiban moral yang sifatnya imperatif kategoris. Teori
deontologi menekankan pada pelaksanaan kewajiban moral. Suatu perbuatan akan
baik jika didasari atas pelaksanaan kewajiban moral. Deontologi tidak terpusat

6
pada konsekuensi perbuatan. Dengan kata lain, deontologi melaksanakan ter lebih
dahulu tanpa memikirkan akibatnya.

c. Etika Teleologi

Etika teleologi adalah teori etika yang menyatakan bahwa hasil dari
tindakan moral menentukan nilai tindakan atau kebenaran tindakan. Seseorang
yang mungkin berniat baik atau mengikuti asas-asas moral yang tinggi, tetapi
hasil tindakan moral itu berbahaya atau jelek, maka tindakan itu dinilai secara
moral sebagai tindakan yang tidak etis. Etika teleologi menganggap nilai moral
dari suatu tindakan dinilai berdasarkan pada sejauh mana tindakan tersebut
mencapai tujuannya. Etika ini juga menganggap bahwa kebenaran dan kesalahan
suatu tindakan dinilai berdasarkan tujuan akhir yang diinginkan (Ali Mudhofir,
2009). Aliran-aliran etika teleologi meliputi eudaemonisme, hedonisme, dan
utilitarianisme. Pada intinya, etika ini mengukur etis tidaknya perbuatan berdasar
hasil akhir yang didapatkan, bukan pada kewajibannya yang dijalaninya.

2.2 NORMA ETIK BERSUMBERKAN PANCASILA

Bagaimana halnya dengan etika Pancasila atau etika yang bersumber- kan
nilai Pancasila? Bagaimana kaitannya dengan macam-macam aliran etika di atas?

Sunoto (1982) memberikan pengertian etika Pancasila sebagai filsafat


moral atau filsafat kesusilaan yang berdasar atas kepribadian, ideologi, jiwa, dan
pandangan hidup bangsa Indonesia. Etika Pancasila adalah cabang filsafat yang
dijabarkan dari sila-sila Pancasila untuk mengatur perilaku kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu, di dalam
etika Pancasila terkandung nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai tersebut membentuk perilaku manusia
Indonesia dalam semua aspek kehidupannya (Tim Pancasila, 2014).

Gagasan tentang etika Pancasila pada hakikatnya berkaitan dengan


kedudukan Pancasila sebagai filsafat negara. Pancasila sebagai dasar filsafat
negara sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 memiliki
implikasi etis, yakni sebagai sumber norma etik. Etika Pancasila bersumber dari
pemikiran mendalam terhadap nilai- nilai dasar Pancasila.

7
1. Nilai Pancasila sebagai Sumber Norma Etik

Hakikat dari Pancasila adalah nilai (Kaelan, 2002) atau berupa jalinan
nilai-nilai sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea
keempat (HAS Natabaya, 2006). Sebagai sistem nilai yang mendasar, abstrak, dan
universal, implikasi etis Pancasila menjadi basis moralitas dan haluan
kebangsaan-kenegaraan (Yudi Latif, 2011). Etika Pancasila mendasarkan dirinya
pada keberadaan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila
menjadi inspirasi sekaligus pegangan hidup dalam mewujudkan harapan dan cita-
cita bangsa.

Agama merupakan salah satu sumber moralitas (Sudaryanto, 2007). Aspek


etis yang tercerminkan dari sila pertama Pancasila adalah adanya jaminan bagi
setiap penduduk untuk mengidentifikasi dirinya berdasar keyakinan atau agama
tertentu.

Nilai kemanusiaan merepresentasikan kedudukan manusia yang sederajat


dan bermartabat. Manusia ditempatkan dalam kedudukan yang terhormat.
Kemanusiaan menyangkut segala unsur yang melekat pada diri manusia sebagai
makhluk monopluralis (Notonagoro, 1980). Dalam nilai kemanusiaan juga
melekat atribut adil dan beradab yang mempertegas orientasi kemanusiaan
berdasar Pancasila.

Sila Persatuan mengikat seluruh perbedaan yang niscaya dalam bangsa ini.
Persatuan juga merupakan modalitas utama dalam mengintegrasikan seluruh
kepentingan di bawah payung kebangsaan. Berbagai kemungkinan yang mengarah
pada disintegrasi seoptimal mungkin diantisipasi.

Sila keempat Pancasila menempatkan kerakyatan sebagai nilai universal


yang melengkapi sila-sila sebelumnya. Nilai kerakyatan menegaskan bahwa
orientasi sesungguhnya dari keberadaan bangsa ini harus bermuara pada
kepentingan rakyat. Rakyat adalah kekuatan terbesar yang menentukan harapan
dan cita-cita bangsa. Pemerintah harus mengupayakan optimalisasi potensi
kekuatan rakyat sebagai penopang keberlangsungan bangsa.

Sila kelima Pancasila memuat nilai keadilan sosial yang ditujukan bagi
seluruh bangsa Indonesia. Keadilan sosial menjamin pemerataan pembangunan.
Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat merupakan prioritas utama kerja

8
pemerintah. Pembangunan yang diupayakan pemerintah harus dirasakan dan
dinikmati seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Melalui sila ini, pemerintah
memastikan bahwa siapapun akan memperoleh haknya berdasarkan pada
kewajiban-kewajiban yang melekat di dalamnya (Mulia Ardi, 2012).

2. Etika Pancasila dalam Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978

Dalam kedudukan sebagai dasar filsafat negara, maka nilai-nilai Pancasila


harus dijabarkan ke dalam norma yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan
bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Ada dua norma dalam hidup bernegara,
yakni norma hukum dan norma moral atau etik (Kaelan, 2013). Oleh karena itu,
dapat dinyatakan bahwa nilai Pancasila perlu diderivasikan ke dalam norma
hukum dan norma etik bernegara. Pancasila menjadi sumber norma hukum adalah
implikasi yuridis dari Pancasila dasar filsafat negara. Pancasila menjadi sumber
norma etik adalah implikasi etis dari Pancasila dasar filsafat negara.

Dalam kaitannya dengan etika, maka nilai Pancasila menjadi sumber


norma etik bernegara. Nilai Pancasila terjabarkan ke dalam norma etik bernegara.
Seperti apakah norma etik bernegara yang bersumber pada nilai Pancasila?

dapat dinyatakan bahwa butir-butir P4 merupakan norma etik daripada


sila-sila Pancasila. Di sisi lain, UUD NRI Tahun 1945 sebagai norma hukum
bernegara merupakan penjabaran pula dari nilai-nilai Pancasila.

Untuk mengingatkan kembali tentang contoh norma etik dalam P4, di


bawah ini adalah butir-butir norma dari setiap sila Pancasila.

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

a. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya


terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
c. Mengembangkan sikap saling menghormati serta bekerja sama antara
pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda- beda terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
d. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

9
e. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah
yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha
Esa.
f. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan
ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
g. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa kepada orang lain.

2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

a. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan


martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
b. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap
manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan,
jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya.
c. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
d. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
e. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
f. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
g. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
h. Berani membela kebenaran dan keadilan.
i. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat
manusia.
j. Mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan
bangsa lain.

3. Persatuan Indonesia

a. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan


keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas
kepentingan pribadi dan golongan.
b. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila
diperlukan.
c. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
d. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air
Indonesia.

10
e. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
f. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar bhinneka tunggal ika.
g. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam


Permusyawaratan/Perwakilan

a. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia


mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
b. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
c. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama.
d. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat
kekeluargaan.
e. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai
sebagai hasil musyawarah.
f. Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan
melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
g. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama diatas
kepentingan pribadi dan golongan.
h. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani
yang luhur.
i. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia, serta nilai-nilai kebenaran dan ke- adilan mengutamakan
persatuan dan kesatuan demi kepenting an bersama.
j. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk
melaksanakan pemusyawaratan.

5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

a. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan


suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
b. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
c. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
d. Menghormati hak orang lain.

11
e. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
f. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan
terhadap orang lain.
g. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan
dan gaya hidup mewah.
h. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan
kepentingan umum.
i. Suka bekerja keras.
j. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan
dan kesejahteraan bersama.
k. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang
merata dan berkeadilan sosial

Butir-butir P4 yang merupakan norma etik bersumberkan Pancasila,


dewasa ini telah menjadi pengalaman sejarah bangsa. Dikatakan demikian, oleh
karena Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 telah dicabut dan tidak berlaku lagi.
Dicabutnya ketetapan MPR tersebut berdasar pada Ketetapan MPR No.
XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan
Kembali Pancasila sebagai Dasar Negara.Yang menarik adalah, meskipun P4
telah dicabut, sebagian publik masih menyatakan persetujuan dengan apa yang
termuat dalam P4 tersebut. P4 ini dianggap sebagai sesuatu yang baik, tidak ada
yang salah, memiliki tujuan yang baik, dan justru penting digunakan untuk
membangun jati diri manusia Indonesia. Secara substansi P4 lebih
menitikberatkan pada pembentukan moral dalam bersikap dan bertingkah laku
warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. P-4
merupakan etika sosial dan politik bagi seluruh bangsa Indonesia (Achmad Fauzi,
2003). Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 adalah pedoman yang dapat dijadikan
penuntun dan pegangan terhadap sikap dan tingkah laku bagi setiap manusia
Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Ketut
Rindjin, 2010). Yuwono Sudarsana menilai tidak semua materi yang diberikan
dalam Penataran P4 terdahulu salah. Menurut pengamatannya, Penataran P4
sebenarnya bertujuan baik, tetapi dalam implementasinya terlalu kaku dan
dipaksa- kan (Kompas, 1 September 2007). Guru-guru PPKn juga masih

12
menggunakan contoh-contoh butir-butir P4 ketika membelajarkan bagaimana
siswa bersikap dan berperilaku berdasar Pancasila (Winarno, 2011).

Mengapa Ketetapan MPR tentang P4 tersebut dicabut, dapat kita ketahui


berdasar konsideran Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 yang mengatakan
bahwa materi muatan dan pelaksanaan dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia No. II/ MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) tidak sesuai dengan
perkembangan kehidupan bernegara. Uraian akan latar belakang pencabutan
tersebut kiranya belum cukup menjelaskan kepada banyak pihak. Oleh karena itu,
perlu penelitian lanjut perihal mengapa Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 ini
dicabut. Padahal norma etik yang merupakan penjabaran nilai-nilai Pancasila
merupakan suatu kebutuhan dalam hidup bernegara. Bagi sebagian pihak,
pencabutan ini dilakukan karena ketetapan tersebut dianggap berbau indoktrinasi
(Ketut Rindjin, 2010).

3. Etika Pancasila dalam Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2001

Setelah vakum beberapa tahun karena norma etik sebagaimana tertuang


dalam P4 dicabut pada tahun 1998, kehidupan berbangsa dan bernegara
tampaknya tetap membutuhkan norma etik bernegara di samping norma hukum.
Sebagaimana dikatakan bahwa sistem kenegaraan modern menuntut rasionalitas
berdasarkan sistem the rule of law dan juga the rule of ethics. Hal ini dikarenakan,
masyarakat modern makin menyadari bahwa sistem hukum sekarang tak lagi
cukup menjadi andalan dan acuan untuk membangun negara yang baik.
Diperlukan juga sistem etika untuk mengontrol perilaku ideal manusia. Hukum
sudah terlalu berat menerima beban. Terlalu banyak kekacauan-kekacauan
manusia modern yang tidak bisa hanya diatasi dan diselesaikan melalui hukum. Di
sisi lain, bahwa masyarakat mulai jenuh dengan banyaknya aturan. Manusia
modern tidak hanya membutuhkan rule of law, tetapi juga rule of ethic (Jimly
Ashieddiqie, 2005).

Kebutuhan akan norma etik di sisi norma hukum di awal era reformasi
akhirnya disadari oleh penyelenggara negara. Majelis Permusyawaratan Rakyat
menetapkan dua ketetapan berkenaan dengan ini. Pertama, khusus berkenaan
dengan penyelenggaraan negara, yaitu Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang
13
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Kedua, yang bersifat lebih umum, yaitu Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001
tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

Etika Kehidupan Berbangsa yang ditetapkan oleh MPR melalui Ketetapan


MPR No. VI/MPR/2001 dapat dikatakan sebagai norma etik bernegara. Dalam
ketetapan tersebut, dinyatakan bahwa etika kehidupan berbangsa merupakan
rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal
dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan
dasar dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku dalam kehidupan bernegara.

Adapun uraian etika kehidupan berbangsa dalam berbagai bidang nebut,


sebagai berikut.

a. Etika Sosial dan Budaya

Etika ini bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan


menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling meng-
hargai, saling mencintai, dan saling tolong-menolong di antara sesama manusia
dan warga bangsa.

Etika ini dimaksudkan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kembali


kehidupan berbangsa yang berbudaya tinggi dengan menggugah, menghargai, dan
mengembangkan budaya nasional yang bersumber dari budaya daerah agar
mampu melakukan adaptasi dan interaksi dengan bangsa lain tindakan proaksi
sejalan dengan tuntutan globalisasi.

b. Etika Politik dan Pemerintahan

Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih,


efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang
bercirikan keterbukaan, rasa bertanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat,
menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima
pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
keseimbangan hak, kewajiban, dan kehidupan bernegara.

c. Etika Ekonomi dan Bisnis

14
Etika ini mencegah terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli,
kebijakan ekonomi yang bernuansa KKN maupun rasial yang berdampak negatif
terhadap efisiensi, persaingan sehat, keadilan, serta menghindarkan perilaku
menghalalkan segala cara dalam memperoleh keuntungan.

d. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan

Etika ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial,


ketenangan, dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan
ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang ada.

e. Etika Keilmuan

Etika keilmuan menegaskan pentingnya budaya kerja keras dengan


menghargai dan memanfaatkan waktu, disiplin dalam berpikir dan berbuat, serta
menepati janji dan komitmen diri untuk mencapai hasil yang terbaikf. Etika
Lingkungan

Etika lingkungan menegaskan pentingnya kesadaran menghargai dan


melestarikan lingkungan hidup serta penataan tata ruang secara ber- kelanjutan
dan bertanggung jawab.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Pancasila merupakan salah satu sumber etika kehidupan berbangsa.


Sumber etika berbangsa lainnya adalah ajaran agama. Pancasila merupakan
sumber etika kehidupan berbangsa karena di dalamnya terkandung nilai-nilai
luhur budaya bangsa. Nilai Pancasila menjadi sumber norma etik bernegara
Indonesia. Ketut Rindjin (2010) mengatakan ketetapan tentang etika kehidupan
berbangsa dapat dipandang sebagai pengganti Ketetap an MPR Tahun 1978
tentang P4.

Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan


subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia.Oleh karena itu etika politik berkait erat
dengan bidang pembahasan moral.

Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara,


etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar
ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan
kepada hakikat manusia sebagi makhluk yang beradab dan berbudaya.

Pancasila adalah sebagai suatu sistem filsafat yang pada hakikatnya


merupakan nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik
norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan laianya.

Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang prinsip-prinsip yang


berlaku bagi setiap tindakan manusia yang membicarakan masalah-masalah yang
berkaitan dengan predikat "susila" dan "tindak susila". "baik" dan "buruk".

Hubungan sistematik antara nilai, norma dan moral tersebut terwujud


dalam suatu tingkah laku praktis dalam kehidupan manusia.

Etika politik adalah termasuk lingkup etika sosial manusia yang secara
harfiah berkaitan dengan bidang kehidupan politik.

16
DAFTAR PUSAKA

17

Anda mungkin juga menyukai