Anda di halaman 1dari 17

ETIKA INTELEKTUAL DALAM ILMU PENGETAHUAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu


Dosen Pengampu :
Drs. Hardjono, M.Pd & Edi Subkhan, S.Pd, M.Pd.

Oleh :

1. Azifna Rizqo Shofy (1102418005)


2. Heppy Aulya Febtiana (1102418010)
3. Seftia Kusumawardani (1102418015)
4. Ninda Novita Arieani (1102418019)
5. Ditya Febriana (1102418023)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN 2018
PRAKATA

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Etika Intelektual dalam Ilmu Pengetahuan” dengan
baik sesuai harapan.

Harapan penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca. Dan semoga untuk ke depannya dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis, penulis


yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini

Semarang, 19 November 2018

Penulis
DAFTAR ISI

PRAKATA .............................................................................................................
DAFTAR ISI ..........................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................
1.1Latar Belakang
1.2Rumusan Masalah
1.3Tujuan
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................
2.1Asal Usul Etika Intelektual
2.2Dasar Etika Intelektual
2.3Pentingnya Etika Intelektual dalam Ilmu Pengetahuan
2.4Perbedaan Etika Intelektual dengan kepribadian di Barat dan Timur
2.5Cara menilai pentingnya Etika atau Ilmu Pengetahuan
BAB III PENUTUP ...............................................................................................
3.1Simpulan
3.2Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Etika adalah filsafat tentang nilai, kesusilaan, tentang hak baik dan
buruk. Ada juga yang menyebutkan etika adalah bagian dari filsafat yang
mengajarkan keseluruhan budi (baik buruk). Etika itu merupakan sebagian
dari ilmu pengetahuan. Ragam ilmu pengetahuan salah satunya filsafat ilmu
pengetahuan yang merupakan cabang filsafat yang secara khusus diminati
semenjak abad ke-17, namun semenjak pertengahan abad ke-20 ini telah
mengalami perkembangan. Perkembangan itu sendiri meningkatkan
implikasi-implikasi ilmu pengetahuan yang sangat beragam dan meresapi
segala bidang kehidupan manusia secara mendalam. Salah satunya adalah
mempelajari etika dalam kehidupan manusia secara individual maupun
masyarakat.Konsep etika sebagai bidang kajian filsafat , etika sudah sangat
lama menjadi wacana intelektual para filsuf. Etika telah menjadi pusat
perhatian sejak zaman yunani kuno. Sampai saat ini pun etika masih tetap
menjadi bidang kajian menarik dan aktual.

Intelektual memiliki arti cerdas, berakal, dan berpikiran jernih


berdasarkan ilmu pengetahuan. Menurut Coser (1965), intelektual adalah
orang-orang berilmu yang tidak pernah merasa puas menerima kenyataan
sebagaimana adanya. Mereka selalu berpikir soal alternatif terbaik dari segala
hal yang oleh masyarakat sudah dianggap baik. Ini dipertegas oleh Shils
(1972) yang memandang kaum intelektual selalu mencari kebenaran yang
batasannya tidak berujung. Dalam KBBI, kata intelektual berkaitan dengan
kata intelek. Intelek berasal dari kosakata latin yaitu intellecus yang berarti
pemahaman, pengertian, kecerdasan. Dalam pengertian sehari-hari kemudian
berarti kecerdasan, kepandaian, atau akal. Intelek di sini mempresentasikan
daya atau proses pikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan
pengetahuan, yaitu daya akal budi dan kecerdasan berpikir.
Membahas tentang intelektual, sangat berhubungan dengan daya
imajinasi seseorang dalam mengembangkan ilmu pengetahuannya. Misalnya
melalui media, media itu bisa didapatkan melalui bacaan dan informasi yang
ada baik buku, televise, surat kabar, dan yang lebih canggih lagi yaitu
internet. Sumber-sumber informasi yang menambah wawasan dan referensi
itu akan menimbulkan daya intelektual kita bangkit. Tetapi keadaan yang ada
sekarang, banyak orang yang kurang akan referensi dan intinya di situ adalah
mereka kurang membaca buku yang kaya akan ilmu dan pengetahuan. Di
sinilah mereka harus bermain dalam aktivitas yang lebih luas, misalnya
mengikuti berbagai aktivitas yang dapat menambah pengetahuan dan
keterampilan.

Jadi, beretika intelektual itu sangat penting dalam mengembangkan


ilmu pengetahuan. Jangan biarkan ilmu dan pengetahuan yang didapat hanya
tinggal dan hilang begitu saja. Menerapkan ilmu adalah cara tepat bagi
seorang intelek untuk menyongsong hari ke depan.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimanakah asal usul dan dasar dari etika intelektual?
1.2.2 Mengapa perlu adanya etika intelektual dalam mengkaji dan
mengembangkan ilmu pengetahuan?
1.2.3 Apakah yang menjadi perbedaan kepribadian etika intelektual di Barat
dan Timur?
1.2.4 Manakah yang harus didahulukan antara etika atau ilmu pengetahuan?
1.3 Tujuan
1.3.1 Memahami asal usul dan dasar dari etika intelektual
1.3.2 Mengidentifikasi pentingnya etika intelektual dalam mengkaji dan
mengembangkan ilmu pengetahuan
1.3.3 Menganalisis perbedaan kepribadian etika intelektual di Barat dan
Timur.
1.3.4 Menganalisis mana yang harus didahulukan antara etika dan ilmu
pengetahuan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Asal-Usul dan Dasar Etika Intelektual


2.1.1 Asal-Usul Etika Intelektual
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti
karakter, watak kesusilaan atau adat kebiasaan. Etika merupakan
ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlaq), nilai mengenai benar dan salah yang
dimuat suatu golongan atau masyarakat. Terkait dengan kajian
etika, secara historis etika sebagai usaha filsafat lahir dari
kehancuran moral dilingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun
yang lalu. Karena pandangan-pandangan yang lama tentang baik
dan buruk tidak lagi dipercayai,para filosof mempertanyakan
kembali norma-norma dasar bagi kelakuan manusia. Situasi itu
berlaku pada zaman sekarang juga,bahkan bagi kita masing-
masing. Yang dipersoalkan bukan hanya apakah yang merupakan
kewajiban saya dan apa yang tidak,melainkan manakah norma-
norma untuk menentukan apa yang harus dianggap sebagai
kewajiban.Untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan
pandangan-pandangan moral ini refleksi kritis etika diperlukan.
Aristoteles dalam bukunya Etika Nikomacheia,menjelaskan
tentang pembahasan etika kedalam dua hal penting,yaitu
pertama,etika sebagai terminus techius. Pengertian etika dalam hal
ini adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan
atau tindakan manusia. Kedua,etika dimaknai sebagai manner dan
custom,dimana etika dipahami sebagai sesuatu yang berkaitan
dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat
manusia yang terikat dengan pengertian “ baik dan buruk ” suatu
tingkah laku atau perbuatan manusia.
Etika sering disebut dengan filsafat moral. Berfilsafat
tentang moral berarti melakukan refleksi atau merenungkan secara
mendalam tentang berbagai ajaran moral secara kritis. Etika dan
moral berbeda. Secara sederhana etika adalah mempelajari moral
secara kritis dan logis. Sedangkan, moral lebih menunjukkan sifat
yang aplikatif pada tindakan manusia tentang yang baik dan yang
buruk.
Etika keilmuan merupakan etika normatif yang
merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung
jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu
pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuan
dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu prinsip yang baik
dan menghindarkan dari anasir buruk ke dalam prilaku
keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuan yang dapat
mempertanggung jawabkan prilaku ilmiahnya.
2.1.2 Dasar Etika Intelektual
Etika intelektual didasari oleh adanya moral-moral yang
berlaku dimasyarakat. Dari penjelasan sebelumnya, dapat dipahami
bahwa etika lebih berkaitan dengan pengkajian lebih dalam tentang
nilai baik atau buruk, sedangkan moral merupakan nilai baik atau
buruk. Kaitannya dengan keilmuwan, seorang ilmuwan dalam
mengkaji ilmu pengetahuan memiliki pedoman khusus dalam
berperilaku. Atau dengan kata lain, dalam melakukan pengkajian
dan pengembangan ilmu pengetahuan baik dari proses pemikiran
atau penemuan maupun kegunaan ilmu yang dihasilkan harus
mengedepankan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Sehingga ilmu pengetahuan hasil pemikiran tersebut,
akan memberikan manfaat bagi manusia dan mendapatkan respon
yang baik.
Selain moral, etika intelektual juga didasarkan pada
tanggung jawab keilmuwan atau tanggung jawab yang harus
dimiliki oleh seorang intelektual. Melalui tanggung jawab
keilmuan ini juga diharapkan kiranya banyak aspek-aspek
emosional dari pengalaman sehari-hari yang dapat dijernihkan,
bahkan diatur, serta keangkuhan dan arogansi keilmuwan diatasi.
Tanggung jawab tersebut diantaranya :
1. Tanggung Jawab Sosial
Menurut Amsal Bakhtiar tanggung jawab
keilmuwan menyangkut kegiatan maupun
penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini
berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan
kodrat dan martabat manusia, menjaga ekosistem,
bertanggung jawab pada kepentingan umum, dan
generasi mendatang, serta bersifat universal karena
pada hakikatnya ilmu pengetahuan dan teknologi
adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh
ekosistem manusia bukan untuk menghancurkan
ekosistem tersebut.
2. Tanggung Jawab Intelektual
Jujun Suriasumatri maupun van Pursen menunjukan
bahwa pengertian bebas nilai dalam ilmu
pengetahuan (epistimologi) sangat bergantung pada
langkah-langkah keilmuwan yang bersangkutan dan
bukan pada proses keilmuwan secara keseluruhan.
Ilmuwan sebagai orang dengan latar belakang
pengetahuanya yang cukup, harus bertanggung
jawab untuk menyampaikan pengetahuanya secara
proporsional kepada masyarakat dalam bahasa yang
dapat mereka cerna. Tanggung jawab intelektual
sekaligus tanggung jawab sosial ini penting dalam
rangka mengusahakan kebenaran epistimologi, baik
dari segi untung rugi, baik buruk, dan lain
sebagainya, sehingga penyelesaiannya yang objektif
terhadap setiap permasalahan sosial dapat
dimungkinkan.
3. Tanggung Jawab Moral
Dalam bidang etika, tanggung jawab seorang
ilmuwan bersifat objektif, terbuka, menerima kritik,
menerima pendapat orang lain, kukuh dalam
pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui
kesalahan. Oleh karena itu, ilmuwan dalam
melaksanakan tugas profesionalnya memiliki kode
etik, atau batasan-batasan yang dijadikan sebagai
patokan
2.2 Perlunya Etika Intelektual Dalam Mengkaji dan mengembangkan
Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan tentang suatu bidang
yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat
digunakan untuk menerangkan gejala-gejala. Ilmu pengetahuan merupakan
hasil dari kajian atau pemikiran mengenai fenomena atau kejadian tertentu
yang kemudian diteliti agar diperoleh suatu kebenaran. Dalam
memperoleh suatu kebenaran, berfikir kritis dan rasional merupakan salah
satu hal pokok dalam memperoleh suatu kebenaran. Proses dalam mencari
sebuah kebenaran tidak hanya mengedepankan pada keberhasilan, namun
juga harus mengedepankan pada etika atau tindakan yang sesuai dengan
moral.
Maftukhin(2015) berpendapat mengenai etika bagi seorang ilmuwan
sebagai berikut.
Aspek mendasar yang menjadi tantangan ilmuwan di era sekarang
ini adalah etika. Realitas kehidupan yang sarat anomali dan
kontradiksi dengan etika menjadi tantangan yang tidak mudah untuk
ditundukkan. Pada kondisi semacam ini, seorang ilmuwan sejati
harus memiliki landasan etika yang kuat. Jika tidak maka ia akan
kehilangan arah dan titik pijak dalam menjalankan tugas dan
perannya.
Dari pendapat diatas, dapat dipahami bahwa etika tidak bisa
dilepaskan dari konteks keilmuwan. Seorang ilmuwan atau kaum
intelektual harus menjadikan etika sebagai petunjuk dan dasar dalam
mengembangkan dan mengkaji ilmu pengetahuan. Jika tidak, ilmu
pengetahuan yang diperoleh hanya akan memberikan dampak kurang baik
baik bagi kehidupan. Akan muncul banyak kontra mengenai ilmu
pengetahuan dalam proses penemuan ilmu pengetahuan tersebut tidak
memperhatikan nilai-nilai moral atau nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku
di masyarakat.
Etika intelektual sangat diperlukan dalam kaitannya dengan ilmu
pengetahuan baik itu etika yang berhubungan dengan kehidupan sosial
maupun berhubungan dengan upaya pengembangan ilmu pengetahuan itu
sendiri. Alasan perlunya etika dalam mengkaji dan mengembangkan ilmu
pengetahuan sebagai berikut :
1. etika menjadi signifikan perannya saat seorang ilmuwan
melakukan interaksi. Salah satu bentuk interaksinya adalah
interaksi dengan kekuasaan. Seorang intelektual tidak boleh
mengorbankan ilmunya untuk kepentingan praktis. Hal ini penting
menjadi perhatian karena tidak jarang atas nama kepentingan diri
dan pragmatisme, seorang ilmuwan mengorbankan nilai kebenaran.
Jika ini yang terjadi maka sesungguhnya kaum intelektual itu telah
berkhianat kepada fungsinya yang mendasar.
Seorang ilmuwan seharusnya memang benar-benar menyadari
keberadaan dan fungsi dirinya. Kesadaran subjektifnya sebagai
pengabdi kepada kebenaran dan kemanusiaan, harus dapat
mengalahkan tarikan-tarikan objektif dari luar dirinya. Termasuk
godaan dari pusat kekuasaan.
2. Selain interaksi dengan kekuasaan, etika juga penting dalam
kaitannya dengan tugas mendasar seorang ilmuwan, yaitu
mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang
dikembangkan oleh seorang ilmuwan harus dibungkus dengan
bingkai etika moral yang jelas. Hal ini penting dilakukan agar ilmu
pengetahuan yang dikembangkan tidak semena-mena terhadap
kemanusiaan. Ilmu pengetahuan yang tidak mempertimbangkan
nilai-nilai kemanusiaan justru merusak terhadap kehidupan
manusia. Produk keilmuwan harus bermanfaat untuk seluruh umat
manusia.
Produk pengetahuan yang tidak bermanfaat bagi kemanusiaan
dapat mengarah pada terjadinya krisis kemanusiaan. Krisis
kemanusiaan menunjukkan adanya ketimpangan antara kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan nilai-nilai moral.
Ketimpangan keberhasilan ilmu eksakta dalam mengembangkan
teknologi berhadapan dengan realitas kegagalan ilmu-ilmu
humaniora dalam menjawab berbagai persoalan kemanusiaan.
Ketimpangan yang terjadi lambat laun akan menjadi pemicu
gejolak perdebatan yang berusaha untuk mempertanyakan
kebenaran, manfaat, dan akibat dari ilmu pengetahuan tersebut bagi
kehidupan. Tidak dapat dibayangkan jika sebuah ilmu pengetahuan
terbentuk tanpa mempertimbangkan etika sebagai pedoman. Pasti
akan muncul keraguan-keraguan mengenai ilmu pengetahuan-
pengetahuan tersebut.
Dari uraian diatas, etika intelektual sangat penting dalam mengkaji
dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Tanpa adanya etika, seorang
intelektual akan berbuat semaunya sendiri tanpa memikirkan akibat dari
tindakan yang dilakukan serta tidak memikirkan tentang moral atau nilai-
nilai norma yang berlaku, maka ilmu pengetahuan tersebut justru tidak
akan memberikan manfaat bagi orang lain.
2.3 Kepribadian Intelektual di Barat dan Timur
Kepribadian Intelektual di Barat
Kepribadian bangsa barat dalam berperilaku dan beretika
memahaminya dari ilmu pengetahuan dan filsafat. Mereka melakukan
berbagai macam cara diskusi dan debat untuk menemukan atau
menentukan makna seperti apa yang sebenarnya murni dari kesadaran.
Mereka banyak belajar dan juga mengajar yang awalnya datang dari
proses diskusi dan perdebatan yang mereka lakukan. Melalui proses
belajar dan mengajar, para ahli kebudayaan barat dituntut untuk pandai
dalam berceramah dan berdiskusi. Begitupun dengan perilaku seksual,
Barat terkenal dengan paham liberalnya yang semuanya bersifat bebas.
Namun, tidak semua filsuf berpendapat seperti itu.
Perilaku seksual itu dianggap perbuatan yang negatif dan hanya
bertujuan untuk memuaskan diri. Pada zaman pertengahan, hubungan seks
dianggap sebagai persoalan tubuh. Freud kemudian mendefinisikanny
ulung sebagai persoalan psikologis. Perhatian masyarakat kemudian bukan
pada perilaku seksual, tetapi hasrat orientasi seksualnya.
Selain itu, realitas sosial yang melahirkan teori yaitu dari Ratu
Victoria I (1809-1810) tidak hanya mengendalikan kerajaan, tetapi juga
perilaku, etika, sopan santun pada para kawulanya termasuk perilaku
seksual. Perilaku seksual dikekang bahkan di bungkam. Pengaruh Victoria
ini sampai ke daratan Eropa, termasuk Perancis tempat Foulcaut tinggal
sekaligus pencetus teori ini.
Perdebatan seputar erotisme, pornografi, seksualitas, perempuan
dan kebebasan ekspresi sudah berlangsung cukup lama. Biasanya
pembahasan mengenai pornografi dimulai dengan penjelasan mengenai
hasrat atau kenikmatan seksual (sexual desire). Dalam filsafat Barat,
pembahasan sexual desire sudeh dimulai oleh beberapa filsuf terdahulu,
seperti plato, Thomas Aquinas, Emanuel Kant, sampai dengan yang
modern ada Sartre dan Hegel, juga filsuf kontemporer yaitu Elias dan
Foucault.
Plato meggambarkan cinta sebagai sebuah jiwa yang tidak boleh
dikotori oleh sexual desire yang diasosiasikan dengan insting
kebinatangan. Sementara itu, Kant berpendapat bahwa seks adalah
tindakan yang tidak bermoral dan digolongkan sebagai dosa. Sater juga
berpendapat yang hampir sama yaitu seks dinilai dalam kaitannya dengan
moral.
Namun, filsuf kontemporer Foucault yang dikenal dengan filsuf
intelektual pada era postmodernisme ini memiliki pendapat berbeda
mengenai sex desire dengan mempertanyakan kebenaran yang selama ini
ditanamkan mengenai seksualitas manusia. Menurut Foucault kebenaran
mengenai seks akan selalu berubah sesuai dengan zaman dan masyarakat
yang berubah.
Foucault juga menjelaskan bahwa episteme merupakan proses
panjang penentuan pengetahuan dan disiplin berpikir manusia oleh rezim
diskursus (wacana) dan kebenaran. Karena itu, wacana dimengerti
Foucault sebagai kumpulan ujaran atau kalimat beraturan berupa hasrat,
penjelasan, pendefinisian, pengklasifikasian, dan pemikiran manusia, yang
dapat membahasakan sebuah kebenaran tertentu. Dan menurut Foucault,
upaya pencapaian kebenaran tersebut sama sekali tidak terlepas dari relasi
kekuasaan.
Wacana selalu bersumber dari pihak yang memiliki kekuasaan dan
dari mereka yang memiliki pemikiran kreatif. Hal ini memungkinkan
mereka untuk membangkitkan relasi kekuasaan dan pengetahuan dalam
suatu sistem sosial, dan kemudian dengan berpijak pada tautan relasi
tersebut mereka mampu memproduksi wacana yang kebenarannya bisa
diakui dan bertahan pada suatu rentang historis tertentu.
Salah satu contoh wacana yang secara jelas menunjukkan
bagaimana kekuasaan dan pengetahuan saling berkaitan satu sama lain,
yakni persoalan seksualitas. Pada masyarakat Greco-Roman seks dimaknai
sebagai ars erotica, karena kontrol kekuasaan yang beroperasi pada saat
itu tidak terkonsentrasi pada satu kekuatan tertentu, melainkan pada
masing-masing orang. Setiap orang diberi kebebasan untuk memaknai
kehidupan seksnya dengan tetap berpegang teguh pada prinsip
kewaspadaan. Kebebasan untuk memaknai dan mengekspresikan hasrat
seksual itu mulai sirna ketika masyarakat berada di bawah bayang-bayang
otoritas Gereja dan Viktorianisme. Dua kekuatan besar ini dinilai telah
merepresi secara militan kehidupan seksual masyarakat pada masa itu.
Gereja mengekang segala bentuk ekspresi seksual yang tidak sesuai
dengan nasihat Injil. Tubuh dipandang rendah karena sifatnya yang fana,
sehingga bisa mendatangkan maut bagi setiap orang Kristen. Sedangkan
kaum Viktorian dengan otoritas kebangsawanan yang dimilikinya,
menetapkan suatu aturan main yang tidak kalah ketatnya seperti Gereja.
Seks dilihat sebagai hal yang puritan, tabu dan karena itu tidak boleh
dibicarakan di tempat umum.
Namun di balik kenyataan represi atau pengetatan wacana seputar
seks itu, ternyata masyarakat dikondisikan untuk selalu membicarakannya
secara terus menerus dan konstan. Rasa ingin tahu atas kehidupan seksual
pun menjadi semakin meningkat di tengah fenomena pengekangan
tersebut. Masyarakat menjadi semakin ditantang untuk mengetahui rahasia
seksnya di balik tirai kekuasan Gereja dan kaum Viktorian. Kehendak
untuk mengetahui secara mendetail seluk beluk hasrat seks inilah yang
kemudian memacu para ilmuwan untuk melakukan analisa yang lebih
teoritis terhadap setiap gejala seksual yang muncul dalam diri manusia.
Hasilnya seks mulai dibebaskan dari “jeruji” kontrol yang represif dan
bergerak menuju suatu ruang klinis yang sarat dengan rumusan-rumusan
teori yang baku. Seks akhirnya diilmukan, dan menjadi scientia sexualis.
Paradigma seksual modern yang memberi ruang studi dan
penelusuran tanpa batas terhadap masalah seksualitas, tampaknya tidak
hanya memberi pengaruh positif terhadap pengembangan kepribadian
seorang manusia, tetapi ternyata dalam analisa penulis, ditemukan bahwa
paradigma scientia sexualis masyarakat modern telah memperlancar
proses potensialisasi dan optimalisasi pengumbaran libido yang berlebihan
dalam dunia cyber, pengeksposan tubuh melalui citra media yang tanpa
bungkus, dan komersialisasi seks untuk mencapai kenikmatan seturut
hasrat diri tanpa norma. Akibat yang terjadi adalah lenyaplah aura
sebatang tubuh di dalam wacana seksualitas. Seks akhirnya bergeser dari
ruang tabu abad pertengahan dan ruang klinis modern, menuju
ruang komoditas yang mengutamakan keuntungan bagi para pemilik
modal dan kepuasan hasrat bagi para pembeli, penikmat dan sebagainya.
Kapitalisme dengan bantuan media massa tampaknya telah berhasil
menempatkan seks menjadi barang komoditi dalam masyarakat
postmodern yang sedang dirasuki budaya informasi dan
konsumsi. Seksualitas manusia yang selama ini dijaga sebagai urusan
privat akhirnya berubah menjadi barang dagangan publik sebagaimana
yang terjadi dalam dunia periklanan. Munculnya berbagai iklan yang
menawarkan produk dengan memanfaatkan daya pikat tubuh manusia
(terlebih tubuh perempuan), serta berkembangnya berbagai situs gelinjang
dalam dunia cyber telah menyebabkan seksualitas kehilangan makna.
Seks tidak lagi dipahami sebagai unsur esensial dalam hidup
manusia yang mesti dihormati, tetapi perlahan-lahan berubah menjadi
obyek pemuasan hasrat yang kerapkali tidak terkontrol. Hal ini secara jelas
membuktikan bahwa dalam kehidupan masyarakat postmodern, kekuatan
media massa di bawah kontrol kapitalisme telah menjelma bagaikan
“agama” dan “tuhan” sekuler. Perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh
agama, etika tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media
massa seturut logika kapitalisme. Setiap orang lantas diberi kebebasan
untuk memaknai arti seks dan seksualitas dirinya berdasarkan aneka
tawaran yang disajikan oleh media.
Pengaruh paham postmodernisme sesungguhnya telah mengubah
cara pandang orang terhadap seksualitas. Dalam ruang
postmodernisme seks tidak lagi menjadi urusan pribadional, tetapi sudah
menjadi urusan yang bersifat publik. Setelah memasuki ruang publik, seks
menjadi komoditi yang potensial untuk diperjualbelikan. Seks tidak lagi
merupakan barang langka yang memiliki nilai suci, tetapi telah menjadi
aktivitas yang diobral tanpa batas. Berbagai bentuk pelayanan seks
komersial menunjukkan hal itu dengan jelas. Seks seolah-olah telah lepas
dari spiritualitas, yang justru semestinya menjadi fondasi dari aktivitas
seks itu sendiri.
Seks pun lalu memusatkan pada kenikmatan daging belaka. Selain
itu dampak lain dari pergeseran wacana tentang seks dari ruang privat
menuju ruang publik dalam masyarakat postmodern adalah hilangnya
makna keutuhan intimitas antara suami dan isteri di dalam ruang privat,
dan sekaligus justifikasi atas tabu bagi mata yang mengintip. Asumsi
kebebasan masyarakat postmodern telah membuat para pengintip sendiri
kini tidak lagi dianggap berdosa atau melanggar hak-hak asasi manusia.
Segalanya perlahan-lahan diterima dan mulai dinilai wajar. Dengan
demikian, seks telah menjadi musuh dalam selimut bagi intimitas itu
sendiri.

Kepribadian Intelektual di Timur

Menurut Hsun Tzu pada dasamya manusia itu memiliki


pembawaan yang jahat, sehingga apabila dibiarkan berkembang secara
leluasa, maka orang itu akan menjadi orang yang jabat, pemabuk, penipu.
Agar manusia dapat menjadi baik, maka pendidikan memegang peranan
penting, yaitu untuk mengubah pembawaan manusia yang jahat itu agar
menjadi baik.
HsUD Tzu mengajarkan bahwa pendidikan itu amat bermanfaat
baik bagi pengembangan individu maupun masyarakat, bagi individu
maka pendidikan ditekankan pada etika, sedangkan untuk masyarakat pada
pembetulan nama-nama, yang artinya bahwa seseorang itu hendaknya
mampu menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukannya dalam
kehidupan ini Manusia itu hendaknya selaiu dalam keadaan yang
seimbang dan harmoni atan tengah sempuma (on the mean), yang perlu
direalisasikan ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat dan hubungan
kemanusiaan. Lebih jelas pernah diungkapkan oleh Paul Sib (1965: 43)
dalam buku Chinese Humanism a Christian Spirituality
bahwa:"Confucianism seeks harmony in human relation, and when it
expresse itself in poetry, it radiates a sertain fragrance of symphaty that
warm the heart. Nothing that is of interest to man as man is alien to it. It
does not despite any human feelings, affections, desires, appetites, it only
insists that they should conform to the ideal ofharmony."
Hidup manusia menjadi bermakna apabila manusia itu dapat membawa
diri di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bukan hidup untuk
menyendiri dan mengasingkan diri dari realitas, dan juga bukan untuk
mementingkan diri sendiri seperti yang diajarkan oleh Taolisme..
Konsekuensi
Jika kita memiliki kapasitas intelek yang mumpuni tetapi tidak
memiliki etika yang baik maka ilmu itu akan digunakan pada hal-hal yang
dapat merugika diri sendiri maupun orang lain.
Jadi, keseimbangan antara ilmu dan etika sangat dibutuhkan agar ilmu
yang dimiliki dapat digunakan dengan benar sesuai porsinya.
2.4 Antara etika dan Ilmu Pengetahuan
Yang harus didahulukan antara etika dan ilmu pengetahuan adalah
Etika. Etika atau filsafat perilaku sebagai cabang filsafat yang
membicarakan tindakan manusia, dengan penekanan yang baik dan buruk.
Apabila permasalahan jatuh pada tindakan maka etika disebut sebagai
filsafat praktis, sedangkan jika jatuh pada baik buruk maka etika disebut
sebagai filsafat normatif. Karena etika mengandalkan pada rasio yang
lepas dari sumber wahyu agama yang dijadikan norma dalam agama, dan
etika lebih cenderung bersifat analitis daripada praktis. Sehingga etika
adalah ilmu yang bekerja secara rasional.
Bagi para filsuf, ilmu pengetahuan adalah filsafat dan filsafat
adalah ilmu pengetahuan itu sendiri. Filsafat telah membantu manusia
membebaskan diri dari cara berfikir yang dikuasai oleh mitos dan mistik
kemudian beralih kepada cara berfikir rasional lurus dan mendalam, jelas
dan sistematis, logis, kritis dan analitis. Karena itu ilmu pengetahuan
semakin tumbuh san terus berkembang dan menjadi dewasa.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.1.1 Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti karakter,
watak kesusilaan atau adat kebiasaan. Etika merupakan ilmu tentang
apa yang baik, apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlaq), nilai mengenai benar dan salah yang dimuat suatu
golongan atau masyarakat. Dasar dari etika intelektual adalah Etika
intelektual didasari oleh adanya moral-moral yang berlaku
dimasyarakat, sehingga dalam mengembangkan sebuah ilmu
pengetahuan perlu memperhatikan aspek moral. Selain itu,
tanggungjawab sebagai seorang ahli dalam bidang ilmu atau
ilmuawan juga menjadi dasar perlunya etika intelektual.
3.1.2 Kepribadian bangsa barat dalam berperilaku dan beretika
memahaminya dari ilmu pengetahuan dan filsafat. Namun, bangsa
barat kurang begitu peduli terhadap etika yang berlaku di masyarakat
terutam tentang kebebasan seksual. Ada beberapa pendapat bahwa
seksual merupakan hal yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
hasrat manusia. Seorang cendakiawan harus memiliki kepribadian
yang baik dan bersikap sesuai dengan moral. Namun, kemampuan
intelektual seorang cendakiawan juga harus dikedepankan. Karena
ilmu pengetahuan baru akan tercipta jika seorang cendakiawan
memiliki kemampuan berfikir yang tinggi. Selain kemampuan yang
tinggi, etika dalam memanfaatkan kemampuan yang dimiliki juga
menjadi salah satu hal yang diutamakan
3.1.3 Yang harus didahulukan antara etika dan ilmu pengetahuan adalah
etika. Etika atau filsafat perilaku sebagai cabang filsafat yang
membicarakan tindakan manusia, dengan penekanan yang baik dan
buruk. Apabila permasalahan jatuh pada tindakan maka etika disebut
sebagai filsafat praktis, sedangkan jika jatuh pada baik buruk maka
etika disebut sebagai filsafat normatif.
3.2 Saran
Dalam mengembangkan dan mengkaji ilmu pengetahuan seorang
cendakiawan/intelektual harus memperhatikan etika atau moral yang
berlaku dimasyarakat dan juga agama. Hal tersebut dilakukan agar tidak
terjadi penyimpangan dan perdebatan dalam ilmu pengetahuan. Sehingga
ilmu pengetahuan tersebut akan memberikan manfaat yang maksilam
kepada semua orang.
Daftar Pustaka
Fahrur, 2015. Etika Sebagai Filsafat Ilmu (Pengetahuan). De’rechtsstaat Issn.
1.1:55

Zulhawati. 2013. Pengaruh Modal Intelektual, Orientasi Etika, dan Gender


Terhadap Sensitivitas Etis Mahasiswa. Jurnal Manajemen Bisnis
Indonesia. 1.1:91-92

https://books.google.co.id/books?id=9KRPDwAAQBAJ&pg=PA255&lpg=PA25
5&dq=filsafat+perilaku+seksual+seorang+intelektual&source=bl&ots=8lj
8A4Iulo&sig=gBFBeLwavxGfK2tfcmM&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwip
Ky159reAhWLOY8KHQarDT0Q6AEwBXoECAgQAQ#v=onepage&q=f
ilsafat%20perilaku%20seksual%20seorang%20intelektual&f=false
Diakses tanggal 15 November 2018.

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-45448-Makalah-
Perbedaan%20Kebudayaan%20Barat%20dan%20Kebudayaan%20Timur.
htm Diakses tanggal 15 November 2018.

Sya’roni, M. 2014. Etika Keilmuwan: Sebuah Kajian Filsafat Ilmu. Jurnal


Teologia. (25)1:1-26.

Rahayu, sri Walny. 2015. Kontribusi Filsafat Ilmu Terhadap Etika Keilmuan
Masyarakat Modern. Jurnal Ilmu Hukum.

Maftukhin. 2015. Ilmuwan, Etika Dan Strategi Pengembangan Ilmu Pengetahuan


Di Indonesia. Jurnal Episteme. (10)1:1-28.

http://agneswirdayanti.blogspot.com/2012/01/etika-dalam-ilmu-
pengetahuan.html?m=1 Diakses tanggal 10 November 2018.

http://megainfo92.blogspot.com/2014/01/etika-pengembangan-ilmu.html?m=1
Diakses tanggal 10 November 2018.

Anda mungkin juga menyukai