A. FILSAFAT MANUSIA
Filsafat manusia adalah cabang ilmu filsafat yang membahas mengenai makna menjadi
manusia. Filsafat manusia menjadikan manusia sebagai objek studinya. Dalam cabang ilmu
filsafat ini manusia akan mengajukan pertanyaan mengenai diri mereka sebagai manusia.
Filsafat manusia terus berkembang karena manusia adalah objek yang penuh dengan misteri.
Titik tolak filsafat manusia adalah pengetahuan dan pengalaman manusia, serta dunia
yang melingkupinya.
Manusia secara bahasa disebut juga insan, yang dalam bahasa arabnya berasal
dari kata ‘nasiya’ yang berarti lupa. Dan jika dilihat dari kata dasar ‘al-uns’ yang
berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki
sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang
baru disekitarnya. Manusia memiliki cara keberadaan yang sekaligus
membedakannya secara nyata dengan mahluk yang lain. Seperti dalam kenyataan
mahluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir, dan berfikir tersebut yang
menentukan manusia pada hakekat manusia.
Kehidupan secara lebih baik merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh manusia
dalam kehidupannya. Untuk mencapai hidup secara lebih baik manusia perlu untuk
dibentuk atau diarahkan. Pembentukan manusia itu dapat melalui pendidikan atau
ilmu yang mempengaruhi pengetahuan tentang diri dan dunianya, melalui kehidupan
sosial atau polis, dan melalui agama.
Dalam makalah ini akan membahas tentang unsur-unsur pembentuk manusia yang
dapat membantu manusia untuk hidup lebih baik. Pembentukan manusia yang lebih
baik bukan dalam arti moral; baik buruknya manusia, tetapi dalam arti pembentukan
manusia sebagai makhluk yang hidup dan berbudaya, yakni hidup yang lebih
bijaksana, dan lebih kritis.
Filsafat bukanlah ilmu positif seperti fisika, kimia, biologi, tetapi filsafat adalah
ilmu kritis yang otonom di luar ilmu-ilmu positif. Kelompok mencoba mengangkat
tiga unsur pembentukan manusia.
Kedua unsur pembentuk itu antara lain:
a. Pengetahuan Manusia Tentang Diri Sendiri Dan Lingkungannya
b. Manusia Dalam Hubungannya Dengan Hidup Komunitas
Pengetahuan menjadi unsur yang penting dalam usaha membentuk manusia yang
lebih baik. Dengan pengetahuan yang memadai manusia dapat mengembangkan diri
dan hidupnya. Apa yang diketahui secara lebih umum dalam pengetahuan, dalam
ilmu diketahui secara lebih masuk akal. Dalam hal ini ilmu lebih kritis daripada
hanya menerima apa yang didapat dari pengetahuan. Sekalipun demikian kelompok
megangkat pengetahuan untuk memahami hidup manusia dan secara kritis dilihat
oleh ilmu. Pengetahuan yang dimaksud di sini lebih pada pengetahuan manusia
tentang diri sendiri dan dunianya. Ketika manusia mengetahui dan mengenal dirinya
secara penuh, ia akan hidup secara lebih sempurna dan lebih baik dalam dunia yang
adalah dunianya. Berkaitan dengan itu manusia juga membutuhkan pengetahuan
tentang lingkungan atau dunianya. Dengan pengetahuan yang ia miliki tentang dunia
atau lingkungannya, manusia dapat mengadaptasikan dirinya secara cepat dan lebih
mudah.
Manusia ternyata tidak hidup sendirian dalam dunianya. Ia hidup dalam hubungan
dengan dan membutuhkan manusia lain, yang menunjukkan hakikat dari manusia,
yaitu sebagai makhluk sosial. Manusia membutuhkan orang lain untuk dapat
membentuk dan mengembangkan dirinya sehingga dapat hidup secara lebih baik;
lebih bijaksana dan lebih kritis. Dengan demikian manusia pada hakikatnya hidup
bersama dengan orang lain atau hidup dalam suatu komunitas tertentu, mengalami
kehidupan polis. Jadi, kebersamaannya dengan orang lain dalam suatu komunitas
inilah yang turut menentukan pembentukan yang memperkenankan manusia itu
hidup atas cara yang lebih baik dan lebih sempurna dalam dunianya.
Unsur lain yang menurut kelompok dapat membantu membentuk manusia
sehingga manusia dapat hidup secara lebih baik, lebih bijaksana adalah agama.
Dengan kata lain, agama mengandung nilai-nilai universal yang pada hakikatnya
mengajarkan yang baik bagi penganutnya.
Pengetahuan merupakan salah satu unsur yang penting dalam hubungan dengan
pembentukan manusia untuk hidup secara lebih baik dan lebih sempurna. Manusia
adalah makluk yang sadar dan mempunyai pengetahuan akan dirinya. Selain itu juga
manusia juga mempunyai pengetahuan akan dunia sebagai tempat dirinya
bereksistensi.
Dunia yang dimaksudkan di sini adalah dunia yang mampu memberikan manusia
kemudahan dan tantangan dalam hidup. Dunia di mana manusia bereksistensi dapat
memberikan kepada manusia sesuatu yang berguna bagi pembentukan dan
pengembangan dirinya. Pengetahuan merupakan kekayaan dan kesempurnaan bagi
makhluk yang memilikinya. Manusia dapat mengetahui segala-galanya, maka ia
menguasai makhluk lain yang penguasaannya terhadap pengetahuan kurang.
Dalam lingkungan manusia sendiri seseorang yang tahu lebih banyak adalah lebih
baik bila dibandingkan dengan yang tidak tahu apa-apa. Pengetahuan menjadikan
manusia berhubungan dengan dunia dan dengan orang lain, dan itu membentuk
manusia itu sendiri. Namun, pengetahuan manusia begitu kompleks. Pengetahuan
manusia menjadi kompleks karena dilaksanakan oleh suatu makhluk yang bersifat
daging dan jiwa sekaligus, maka pengetahuan manusia merupakan sekaligus inderawi
dan intelektif.
Pengetahuan dikatakan inderawi lahir atau luar bila pengetahuan itu mencapai
secara langsung, melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dan peraba,
kenyataan yang mengelilingi manusia. Sementara, pengetahuan itu dikatakan
inderawi batin ketika pengetahuan itu memperlihatkan kepada manusia, dengan
ingatan dan khayalan, baik apa yang tidak ada lagi atau yang belum pernah ada
maupun yang terdapat di luar jangkauan manusia. Pengetahuan intelektif merupakan
watak kodrati pengetahuan manusia yang lebih tinggi.
Lalu bagaimana pengetahuan yang dimiliki manusia tentang dirinya dan dunianya
dapat membentuk manusia untuk hidup secara lebih baik? Manusia mengetahui
dirinya berarti mengenal dengan baik kelebihan dan kekurangan yang ada pada
dirinya. Sementara, manusia mengetahui duninya berarti menusia mengenal secara
baik apa yang ada atau terkandung dalam dunianya itu, baik potensi yang dapat
memudahkan manusia itu sendiri maupun tantangan yang diperhadapkan kepadanya.
Kekurangan manusia dapat diatasi dengan apa yang ada dalam dunianya. Tentu
saja melalui suatu relasi, baik relasi dengan orang lain maupun relasi dengan alam.
Pengetahuan dan pengenalan atas diri dan dunianya membantu manusia untuk
mengarahkan dirinya kepada hidup yang lebih baik. Salah satu cara manusia
mengetahui dirinya dan lingkungannya adalah melalui pendidikan. Dan pendidikan di
sini tentu saja pendidikan yang diharuskan untuk seni yang baik, yang khas hanya
untuk manusia, dan yang membedakannya dari semua binatang.
1. Keadilan moral
Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari
masyarakat yang membuat dan menjadi kesatuannya. Dalam masyarakat yang adil
setiap orang menjalankan pekerjaan menurut sifat dasarnya paling cocok baginya (the
man behind the gun). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan oleh yang
lainnya disebut keadilan legal
2. Keadilan distributif
Aristotele berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama
diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan tidak sama
(justice is done when equels are treated equally).
3. Keadilan komutatif
Filsafat agama adalah filsafat yang membuat agama menjadi obyek pemikirannya.
Dalam hal ini, filsafat agama dibedakan dari beberapa ilmu yang juga mempelajari
agama, seperti antropologi budaya, sosiologi agama dan psikologi agama. Kekhasan
ilmu-ilmu itu adalah bahwa mereka bersifat deskriptif.
Psikologi agama meneliti hakekat, bentuk-bentuk dan perkembangan pengalaman
religius pada individu-individu dan kelompok-kelompok. Psikologi agama meneliti
perasaan religius dalam hati, pertobatan, semangat kenabian, dan perbedaan
penghayatan keagamaan dalam masyarakat-masyarakat sederhana dan dalam
kebudayaan-kebudayaan tinggi. Segala bentuk penghayatan keagamaan serta
fungsinya dalam perkembangan kepribadian diselidiki.
Berbeda dengan ilmu-ilmu deskriptif, filsafat agama mendekati agama secara
menyeluruh. Filsafat agama mengembangkan logika, teori pengetahuan dan
metafisika agama. Filsafat agama dapat dijalankan oleh orang-orang beragama sendiri
yang ingin memahami dengan lebih mendalam arti, makna dan segi-segi hakiki
agama-agama. Masalah-masalah yang dipertanyakan antara lain: hubungan antara
Allah, dunia dan manusia, antara akal budi dan wahyu, pengetahuan dan iman, baik
dan jahat, sosok pengalaman Yang Kudus dan Yang Syaitani, apriori religius, faham-
faham seperti mitos dan lambang, dan akhrinya cara-cara untuk membuktikan
kerasionalan iman kepada Allah serta masalah "theodicea" yang telah saya sebutkan.
Ada juga filsafat agama yang reduktif (mau mengembalikan agama kepada salah
satu kebutuhan manusia dengan menghilangkan unsur transendensi), kritis (mau
menunjukkan agama sebagai bentuk penyelewengan dan kemunduran) dan anti
agama (mau menunjukkan bahwa agama adalah tipuan belaka).
Reduktif misalnya filsafat Immanuel Kant (salah seorang filosof terbesar zaman
moderen, penganut kristen protestan yang 'alim) yang mau mengembalikan peran
agama sebagai penunjang moralitas manusia. Reduktif-kritis adalah teori Durkheim
yang melihat agama sebagai jaminan kekokohan kesatuan sebuah masyarakat. Kritis,
reduktif dan anti agama misalnya filsafat Feuerbach yang mereduksikan agama pada
usaha keliru manusia untuk merealisasikan diri; Marx yang melihat agama sebagai
pelarian orang yang tertindas, dan Freud yang memahami agama sebagai gejala
neurotik.
Tidak mungkin dalam rangka tulisan sederhana ini kami membahas semua paham
itu secara mendalam. Kiranya jelas bahwa orang agama dewasa ini sangat perlu
mempelajari filsafat agama dan bahkan ikut secara aktif di dalamnya, artinya,
rnenjadi filosof agama. Di satu pihak, filsafat dapat membuka mata manusia akan
kenyataan, keluhuran dan keunikan gejala agama (berlawanan dengan segala teori
reduktit). Di lain pihak, serangan-serangan filsafat agama yang reduktif, kritis dan
anti agama perlu ditanggapi. Kaum agama dapat belajar daripadanya, belajar bahwa
keagamaan dapat disalahfahami, supaya mereka memperbaiki .penghayatan
keagamaan sedemikian rupa hingga agama tidak lagi disalahpahami. Juga untuk
membuka kelemahan pendekatan kritis-reduktif itu.
Kalau agama mau menghadapi tantangan modernisasi secara terbuka, dan kalau ia
mau ikut menjadi unsur aktif di dalamnya, maka ia harus berani terjun ke filsafat
agama.
Filsafat berdasarkan otoritas akal murni secara bebas dalam penyelidikan terhadap
kenyataan dan pengalaman terutama dikaitkan dengan kehidupan manusia.
Sedangkan agama mendasarkan pada otoritas wahyu.
Menurut Prof. Nasrun SH., mengemukakan bahwa filsafat yang sejati haruslah
berdasarkan kepada agama. Malah filsafat yang sejati itu terkandung dalam agama.
Apabila filsafat tidak berdasarkan kepada agama dan filsafat hanya semata-mata
berdasarkan akal pikiran saja maka filsafat tersebut tidak akan memuat kebenaran
objektif, karena yang memberikan pandangan dan putusan adalah akal pikiran.
Sedangkan kesanggupan akal pikiran itu terbatas, sehingga filsafat yang berdasarkan
pada akal pikiran semata tidak akan sanggup memberi keputusan bagi manusia,
terutama dalam tingkat pemahamannya terhadap yang ghaib.