Anda di halaman 1dari 17

PENGANTAR ILMU PENDIDIKAN

HUBUNGAN HAKIKAT MANUSIA DAN PENDIDIKAN

Di susun oleh :
Ayatusy Syifa : 15601040077
Melji Salwanis : 15601040065
Ria Handayani : 15601040027
Yola Awanda MT : 15601040045

Dosen Pengampu :
Eka Widyawati, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
2015/2016

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh


Alhamdulillah, kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah kami yang berjudul Hubungan Hakikat Manusia dan
Pendidikan dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
pembuatan makalah sebagai bahan untuk presentasi.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. Kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karna itu kami menerima
masukan dan kritikan demi kesempurnaan makalah ini. Terimakasih

Tarakan, 21 September 2015

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang ................................................................................................................. 1

1.2

Rumusan Masalah ............................................................................................................ 1

1.3

Tujuan Penulisan .............................................................................................................. 2


BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Wujud Sifat Hakekat Manusia .......................................................................... 3
2.2 Aspek-Aspek Hakekat Manusia ........................................................................ 6
2.3 Hubungan Hakekat Manusia dengan Pendidikan ............................................. 10
2.4 Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat dan Implikasinya .................................. 14
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 18
3.2 Saran ............................................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... iii
LAMPIRAN SLIDE PRESENTASI
OUTLINE

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Bukti paling kongkrit
yaitu manusia memiliki kemampuan intelegesi dan daya nalar sehingga manusia mampu
berifikir, berbuat, dan bertindak untuk membuat perubahan dengan maksud pengembangan
sebagai manusia yang utuh. Kemampuan seperti itulah yang tidak dimiliki oleh makhluk
Tuhan lainnya. Dalam kaitannya dengan perkembangan individu, manusia dapat tumbuh dan
berkembang melalui suatu proses alami menuju kedewasaan baik itu bersifat jasmani maupun
bersifat rohani. Oleh sebab itu manusia memerlukan Pendidikan demi mendapatkan
perkembangan yang optimal sebagai manusia.
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Karena dengan
pendidikan manusia dapat mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya dan menggali
sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena hal di atas lah, maka kami membuat
makalah dengan judul Hubugan Hakikat Manusia dan Pendidikan.

1.2 Rumusan Masalah


1.

Apa pengertian hakikat manusia?

2.

Bagaimana aspek-aspek hakekat manusia?

3.

Bagaimana hubungan hakikat manusia dan pendidikan?

1.3 Tujuan Penulisan


1.

Untuk mengetahui pengertian hakekat manusia.

2.

Untuk mengetahui aspek-aspek hakekat manusia.

3.

Untuk mengetahui hubungan hakikat manusia dan pendidikan.

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hakikat Manusia


Manusia dapat diartikan sebagai makhluk yang berakal budi (mampu menguasai
makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta,
sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu. Manusia
memiliki ciri khas yang prinsipil dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Misalnya ciri khas
manusia dari hewan, terbentuk dari kumpulan terpadu dari apa yang disebut dengan sifat
hakikat manusia. Disebut sifat hakikat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya
dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Hakikat manusia pada dasarnya adalah
sebagai makhluk yang memiliki kesadaran susila (etika) dalam arti ia dapar memahami
norma-norma sosial dan mampu berbuat sesuai dengan norma dan kaidah etika yang
diyakininya.
.

Pendapat

lain

mengenai

Hakekat

Manusia

adalah

sebagai

berikut

1)Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnyauntuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. 2) Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab
atas tingkah laku intelektual dan social. 3) Yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang
positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya. 4)
Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai
(tuntas) selama hidupnya. 5)Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam
usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih
baik untuk ditempati. 6) Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan
ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas.
Pada dasarnya ada dua pokok persoalan tentang hakikat manusia. Pertama, tentang
manusia atau hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan di muka bumi ini. Kedua,
tentang sifat manusia dan karakteristik yang menjadi ciri khususnya serta hubungannya
dengan fitrah manusia. Ragam pemahaman tentang hakikat manusia, sebagai berikut :

1.

HOMO RELIGIUS : Pandangan tentang sosok manusia dan hakikat manusia sebagai
makhluk yang beragama. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa di muka bumi ini
sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain ciptaan-Nya.
Melalui kesempurnaannya itulah manusia bisa berfikir, bertindak, berusaha dan bisa
manentukan mana yang baik dan benar. Disisi lain manusia meyakini bahwa ia memiliki
keterbatasan dan kekurangan. Mereka yakin ada kekuatan lain, yaitu Tuhan sang pencipta

alam semesta. Oleh sebab itu, sudah menjadi fitrah manusia pada hakikatnya manusia adalah
makhluk religius yang mempercayai adanya sang maha pencipta yang mengatur seluruh
sistem kehidupan dimuka bumi.

2.

HOMO SAPIENS : Pemahaman hakikat manusia sebagai makhluk yang bijaksana dan
dapat berfikir atau sebagai animal rationale. Hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan
yang paling tinggi dan paling mulia. Hal ini disebabkan oleh manusia karena memiliki akal,
pikiran, rasio, daya nalar, cipta dan karsa, sehingga manusia mampu mengembangkan dirinya
sebagai manusia seutuhnya. Manusia sebagai suatu organisme kehidupan dapat tumbuh dan
berkembang, namun yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah manusia
memiliki daya pikir sehingga ia bisa berbicara, berfikir, berbuat, belajar, dan memiliki citacita sebagai dambaan dalam menjalankan kehidupannya yang lebih baik.

3.

HOMO FABER : Pemahaman hakikat manusia sebagai makhluk yang berpiranti


(perkakas). Manusia dengan akal dan ketrampilan tangannya dapat menciptakan atau
menghasilkan sesuatu (sebagai produsen) dan pada pihak lain ia juga menggunakan karya
lain (sebagai konsumen) untuk kesejahteraan dan kemakmuran hidupnya. Melalui
kemampual dan daya pikir yang dimilikinya, serta ditunjang oleh daya cipta dan karsa,
manusia dapat berkiprah lebih luas dalam tatanan organisasi kemasyarakata menuju
kehidupan yang lebih baik.

4.

HOMO HOMINI SOCIUS : Kendati manusia sebagai makhluk individu, makhluk yang
memiliki jati diri, yang memiliki ciri pembeda antara yang satu dengan yang lainnya, namun
pada saat yang bersamaan manusia juga sebagai kawan sosial bagi manusia lainnya. Ia
senantisa berinteraksi dengan lingkungannya. Ia berhubungan satu sama lain dan membentuk
suatu masyarakat tertentu. Walaupun terdapat pendapat yang berlawanan, ada yang menyebut
manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus). Pemahaman yang terakhir
inilah yang harus dihindarkan agar tidak terjadi malapetaka dimuka bumi ini. Sejarah telah
membuktikan adanya perang saudara ataupun pertikaian antarbangsa, pada akhirnya hanya
membuahkan derajat peradapan manusia semakin tercabik-cabik dan terhempaskan.

2.2 Aspek-Aspek Hakekat Manusia


a. Manusia sebagai Makhluk Tuhan
Terdapat dua pandangan filsafat yang berbeda tentang asal-usul alam semesta, yaitu
(1) Evolusionisme dan (2) kreasionisme. Menurut Evolusionisme, alam semesta menjadi ada
bukan karena diciptakan oleh sang pencipta atau prima causa, melainkan ada dengan
sendirinya, alam semesta berkembang dari alam itu sendiri sebagai hasil evolusi. Sebaliknya,
kreasionisme menyatakan bahwa adanya alam semesta adalah sebagai hasil ciptaan suatu
creative cause atau personality yang kita sebut sebagai Tuhan YME (J. Donal Butler, 1968).
Bertolak dari pandangan tersebut, secara umum ada dua pandangan yang berbeda pula
tentang asal-usul manusia. Menurut evolusionisme beradanya manusia di alam semesta
adalah sebagai hasil evolusi. Hal ini, antara lain dianut oleh Herbert Spencer (S.E. Frost Jr.,
1957) dan Konosuke Matsushita (1997). Sebaliknya kreasionisme menyatakan bahwa
beradanya manusia di alam semesta sebagai makhluk (ciptaan) Tuhan. Filsul yang
berpandangan demikian, antara lain Thomas Aquinas (S.E.Frost Jr., 1957) dan Al-Ghozali
(Ali Issa Othman, 1987).
Oleh karena manusia berkedudukan sebagai makhluk Tuhan YME maka dalam
pengalaman hidupnya terlihat bahkan dapat kita alami sendiri adanya fenomena kemakhlukan
(M.I. Soelaeman, 1998). Fenomena kemakhlukan ini, antara lain berupa pengakuan atas
kenyataan adanya perbedaan kodrat dan martabat manusia daripada Tuhannya. Manusia
bersifat fana, sedangkan Tuhan bersifat abadi, manusia merasakan kasih sayang Tuhannya,
namun ia pun tahu begitu pedih siksanya. Semua itu melahirkan rasa cemas dan takut pada
diri manusia terhadap Tuhannya. Tetapi dibalik itu diiringi pula dengan rasa kagum, rasa
hormat, dan rasa segan karena Tuhannya begitu luhur dan suci. Semua itu mengunggah
kesediaan manusia untuk bersujud dan berserah diri kepada penciptanya. Selain itu
menyadari akan

maha kasih sayangnya sang pencipta maka kepada-Nya lah manusia

berharap dan berdoa. Adapun hal tersebut dapat menimbulkan kejelasan akan tujuan
hidupnya, menimbulkan sifat positif dan familiaritas akan masa depannya, menimbulkan
rasa dekat dengan penciptanya.
b.

Manusia sebagai Kesatuan Badan Roh


Terdapat empat paham berkenaan dengan struktur metafisik manusia, empat paham tersebut
sebagai berikut:
Materialisme gagasan para penganut materialisme, seperti Julien De La Mattie dan
Ludwig Fauerbach bertolak dari realita sebagai mana dapat diketahui melalui pengalaman
diri atau observasi. Karena itu, alam semesta atau reliatas ini tiada lain adalah serba materi,

serba zat, atau benda. Manusia merupakan bagian dari alam semesta sehingga manusia tidak
berbeda dari alam itu sendiri. Yang esensial dari manusia adalah badannya, bukan jiwa atau
rohnya. Manusia adalah apa yang nampak dalam wujudnya, terdiri atas zat (daging, tulang,
urat syaraf). Segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah pada manusia
dipandang hanya sebagai resonansi saja dari berfungsinya badan atau organ tubuh.
Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai epiphenomenalisme
Idealisme bertolak belakang pandangan di atas, menurut penganut edialisme bahwa
esensi dari manusia adalah jiwanya atau spiritnya atau rohaninya. Hal ini sebagai mana dianut
oleh Plato. Sekalipun Plato tidak begitu saja mengingkari aspek badan, namun menurut dia,
jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada badan. Dalam hubungan dengan badan,
jiwa berperan sebagai pemimpin badan, jiwalah yang mempengaruhi badan karena itu badan
mempunyai ketergantungan kepada jiwa. Jiwa adalah asas primer yang menggerakan semua
aktivitas manusia, badan tanpa jiwa tiada memiliki daya. Pandangan tentang hubungan badan
dan jiwa seperti itu dikenal sebagai spiritualisme.
Dualisme C.A.Van Peursen (1982) mengemukakan pihak lain secara tegas bersifat
dualistik yakni pandangan dari Rene Descartes. Menurut Descartes esensi diri manusia terdiri
atas dua substansi, yaitu badan dan jiwa oleh karena itu manusia terdiri atas dua substansi
yang berbeda (badan dan jiwa) maka antara keduanya tidak terdapat hubungan saling
mempengaruhi (S.E. Frost Jr., 1957) namun demikian setiap peristiwa kejiwaan selalu paralel
dengan peristiwa badaniah atau sebaliknya. Contohnya jika jiwa sedih maka secara Paralel
badan pun tampak murung atau menangis. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa
seperti itu dikenal sebagai paralelisme.
Kesatuan Badani-Rohani berbeda dengan ketiga paham diatas (Materialisme,
Idealisme, dan Dualisme), E.F. Schumacher (1980) memandang manusia sebagai kesatuan
dari hal yang bersifat badani dan rohani yang pada hakikatnya berbeda dari benda material,
tumbuhan, hewan maupun Tuhan. Sejalan dengan pandangan Schumacher, Abdurahman
Sholih Abdullah (1991) menegaskan bahwa: meski manusia merupakan pendahuluan dua
unsur yang berbeda, roh dan badan, namun ia merupakan pribadi yang integral.
Berdasarkan penegasan ini, jelaslah bahwa manusia itu adalah kesatuan badani-rohani.
Adapun dalam eksistensinya manusia memiliki aspek individualitas, sosialitas, moralitas,
keberbudayaan dan keberagamaan. Implikasinya maka manusia itu berinteraksi atau
berkomunikasi, memiliki historisitas dan dinamika.

c.

Manusia sebagai Makhluk Individu


Sebagaimana anda alami bahwa manusia menyadari keberadaan dirinya sendiri.
Manusia akan dirinya sendiri merupakan perwujudan individualitas manusia. Sebagai
individu, manusia adalah satu kesatuan yang tak dapat dibagi, memiliki perbedaan dengan
manusia yang lainnya sehingga bersifat unik, dan merupakan subjek yang otonom. Sebagai
individu, manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek badani dan rohaninya.
Manusia bukan hanya badan, sebaliknya bukan hanya roh.
Sebagai individu, setiap manusia mempunyai perbedaan sehingga bersifat unik.
Perbedaan ini baik berkenaan dengan postur tubuhnya, kemampuan berpikirnya, minat dan
bakatnya. Dunianya, cita-citanya.

d.

Manusia sebagai Makhluk Sosial


Manusia adalah makhluk individual, namun demikian ia tidak hidup sendirian, tak
mungkin hidup sendirian, dan tidak pula hidup hanya untuk dirinya sendiri. Manusia hidup
dalam keterpautan dengan sesamanya. Dalam hidup bersama dengan sesamanya
(bermasyarakat) setiap individu menempati kedudukan (status) tertentu. Di samping itu setiap
individu mempunyai dunia dan tujuan hidupnya masing-masing, mereka juga mempunyai
dunia bersama dan tujuan hidup bersama dengan sesamanya. Selain adanya kesadaran diri,
terdapat pula kesadaran sosial pada manusia. Melalui hidup dengan sesamanya lah manusia
akan dapat mengukuhkan eksistensinya. Sehubungan dengan ini Aristoteles menyebut
manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk.

e.

Manusia sebagai Makhluk Berbudaya


Manusia memiliki inisiatif dan kretif dalam menciptkan kebudayaan hidup berbudaya,
dan membudaya. Kebudayaan bukan sesuatu yang ada di luar manusia, bahkan hakikatnya
meliputi perbuatan manusia itu sendiri. Kebudayan bertautan dengan kehidupan manusia
sepenuhnya, kebudayaan menyangkut sesuatu yang nampak dalam bidang eksistensi setiap
manusia. Manusia tidak terlepas dari kebudayaan, bahkan manusia itu baru menjadi manusia
karena dan bersama kebudayaanya (C.A. Van Peursen, 1957). Sejalan dengan ini Ernst
Cassier menegaskan bahwa Manusia tidak menjadi manusia kerena sebuah faktor didalam
dirinya, seperti misalnya naluri atau akal budi, melainkan fungsi kehidupannya, yaitu
pekerjaanya, kebudayaanya. Demikianlah kebudayaan termasuk hakekat manusia.

f.

Manusia sebagai Makhluk Susila


Dalam uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa manusia sadar akan diri dan
lingkunganya, mempunyai potensi dan kemampuan untuk berfikir, berkehendak bebas,
bertanggung jawab, serta punya potensi untuk berbuat baik. Karena itulah, eksistensi manusia

memiliki aspek kesusilaan. Menurut Immanuel Kant, manusia memiliki aspek kesusilan
karena pada manusia terdapat rasio praktis yang memberikan perintah mutlak (categorical
imperative). Sebagai makhluk yang otonom atau memiliki kebebasan, manusia selalu
dihadapkan pada suatu alterntif tindakan yang harus dipilihnya. Adapun kebebasan berbuat
ini juga harus dipilihnya. Karena manusia mempunyai kebebasan memilih dan menentukan
perbuatanya secara otonom maka selalu ada penilaian moral atau tuntutan pertanggung
jawaban atas perbuatannya.
g.

Manusia sebagai Makhluk Beragama


Aspek keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia
yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yang
diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Hal ini terdapat pada manusia manapun, baik dalam
rentang waktu (dulu-sekarang-akan datang) maupun dalam rentang geografis dimana manusia
berada. Keberagamaan menyiratkan adanya pengakuan dan pelaksanaan yang sungguh atas
suatu agama.
Manusia hidup beragama karena agama menyangkut masalah-masalah yang bersifat
mulak maka pelaksanaan keberagamaan akan tampak dalam kehidupan sesuai agama yang
dianut masing-masing individu. Hal ini baik berkenaan dengan sistem keyakinanya, sistem
peribadatan maupun berkenaan dengan pelaksanaan tata kaidah yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia serta hubungan manusia
dengan alam. Dalam keberagamaan ini manusia akan merasakan hidupnya menjadi
bermakna. Ia memperoleh kejelasan tentang dasar hidupnya, tata cara hidup dan berbagai
aspek kehidupanya, dan menjadi jelas pula apa yang menjadi tujuan hidupnya.

2.3 Hubungan Hakekat Manusia dengan Pendidikan


1. Ada 3 ahli yang mengatakan bahwa manusia sebagai:

Animal educable. Artinya, pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang dapat dididik.

Animal educandum, yang artinya manusia pada hakikatnya adalah manusia yang harus
dididik.

Homo educandus, bahwa manusia merupakan makhluk yang bukan hanya harus dan
dapat dididik tetapi juga harus dan dapat dididik.

2. Asas-Asas Keharusan atau Perlunya Pendidikan bagi Manusia


a.

Manusia sebagai Makhluk yang Belum Selesai

Manusia tidak mampu menciptakan dirinya sendiri, beradanya manusia di dunia


bukan pula sebagai hasil evolusi tanpa Pencipta sebagaimana diyakini penganut
Evolusionisme, melainkan sebagai ciptaan Tuhan. Manusia berbeda dengan benda. Perbedaan
itu antara lain dalam hal cara beradanya. Menurut Martin Hedegger, benda-benda di sebut
sebagai yang berada (Seinde), dan bahwa benda-benda itu hanya vorhanden, artinya
hanya terletak begitu saja di depan orang, tanpa ada hubungannya dengan orang itu, bendabenda itu baru berarti. Sedangkan manusia, ia berinteraksi di dunia di mana ia secara aktif
mengadakan diriya, tetapi bukan dalam arti menciptakan dirinya sebagai mana Tuhan
menciptakan manusia, melainkan manusia harus bertanggung jawab atas keberadaan dirinya,
ia harus bertanggung jawab menjadi apa atau menjadi siapa nantinya.
Sebagai kesatuan badan-rohani manusia memiliki historisaitas dan hidup bertujuan.
Karena itu, eksistensi manusia terpaut dengan masa lalunya (misal ia berada karena
diciptakan Tuhan, lahir ke dunia dalam keadaan tidak berdaya sehingga memerlukan bantuan
orang tuanya atau orang lain, dan seterusnya), dan sekaligus menjangkau masa depan untuk
mencapai tujuan hidupnya. Manusia berada dalam perjalanan hidup, perkembangan dan
pengembangan diri. Ia adalah manusia, tertapi sekaligus belum selesai mewujudkan diri
sebagai manusia.
b.

Tugas dan Tujuan Manusia adalah Menjadi Manusia


Manusia hidup di dunia ini dalam keadaan belum tertentukan menjadi apa atau
menjadi siapa nantinya. Sebagai individu atau pribadi, manusia bersifat otonom, ia bebas
menentukan pilihan mau menjadi apa atau menjadi siapa di masa depannya. Andaikan
seseorang menentukan pilihan dan berupaya untuk tidak menjadi manusia atau tidak
mewujudkan aspek-aspek hakikatnya sebagai manusia, maka berarti yang bersangkutan
menurunkan martabat kemanusiannya.
Sebagai pribadi setiap orang memang otonom, ia bebas menentukan pilihannya, tetapi
bahwa bebas itu selalu berarti terikat pada nilai-nilai tertentu yang menjadi pilihannya dan
dengan kebebasannya itulah seseorang pribadi wajib bertanggung jawab serta akan dimintai
pertanggungjawaban. Oleh karena itu, tiada makna lain bahwa berada sebagai manusia adalah
mengemban tugas dan mempunyai tujuan untuk menjadi manusia, atau bertugas mewujudkan
berbagai aspek hakikat manusia. Karl Jaspers menyatakannya dalam kalimat to be a man is
to become a man, ada sebagai manusia adalah menjadi manusia (Fuad Hasan, 1973).
Implikasinya jika seorang tidak selalu berupaya untuk menjadi manusia maka ia tidaklah
berada sebagai manusia.

c.

Perkembangan Manusia Bersifat Terbuka

Dalam

kenyataan

hidupnya,

perkembangan

manusia

bersifat

terbuka

atau

mengandung berbagai kemungkinan. Manusia mungkin berkembang sesuai kodrat dan


martabat kemanusiaannya atau mampu menjadi manusia, sebaliknya mungkin pula ia
berkembang ke arah yang kurang sesuai atau bahkan tidak sesuai dengan kodrat dan martabat
kemanusiaanya. Menurut Gehlen seorang pemikir Jerman mengemukakan kesimpulan yang
sama dengan Teori Retardasi dari Bolk, yaitu bahwa Pada saat kelahirannya taraf
perkembangan manusia tidak lebih maju dari hewan, tetapi kurang maju daripada hewan
yang paling dekat dengan dia (primat) sekalipun. Manusia lahir prematur dan tidak
mengenal spesialisai seperi hewan. Ia adalah makhluk yang ditandai kekurangan (C.A. Van
Peursen, 1982). Nietzsche juga mendukung kesimpulan ini yang menyebut manusia sebagai
das nicht festgestellte Tier, artinya sebagai hewan yang belum ditetapkan. Ada beberapa
akibat manusia dilahirkan terlalu dini :
a.

Kelanjutan hidup manusia menunjukkan keragaman, baik ragam dalam hal kesehatannya,
dalam dimensi kehidupan individualitasnya, sosialitasnya, keberbudayaannnya, kesusilaanya,
keberagamaanya.

b.

Oleh karena itu spesialisasi manusia itu harus diperoleh setelah ia lahir dalam
perkembangan menuju kedewasaanya.
Pada dasarnya kemampuan berjalan tegak di atas dua kaki, kemampuan berperilaku
lainnya yang lazim dilakukan manusia yang berkebudayaan, tidak dibawa manusia sejak
kelahirannya. Demikian halnya dengan kesadaran akan tujuan hidupnya, kemampuan untuk
hidup sesuai individualitas, sosialitasnya, tidak dibawa manusia sejak kelahirannya,
melainkan harus diperoleh manusia melalui belajar, melalu bantuan berupa pengajaran,
bimbingan, latihan, dan kegiatan lainnya yang dapat dirangkumkan dalam istilah pendidikan.
Dari hal inilah dapat dipahami bahwa manusia belum selesai menjadi manusia, ia
dibebani keharusan untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi
manusia, adapun untuk menjadi manusia ia memerlukan pendidikan atau harus dididik. Man
can become man through education only, demikian pernyataan Immanuel Kant dalam teori
pendidikannya (Henderson, 1959). Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil studi M. J.
Langeveld. Bahkan sehubungan dengan kodrat manusia seperti dikemukakan di atas,
Langeveld memberikan identitas kepada manusia dengan sebutan Animal Educandum (M.J.
Langeveld, 1980).

3. Asas-Asas Kemungkinan Pendidikan


Atas dasar studi fenomenologis yang dilakukannya, M.J. Langeveld (1980)
menyatakan bahwa manusia itu sebagai animal educandum, dan ia memang adalah animal

educabile. Jika kita mengacu kepada uraian terdahulu tentang sosok manusia dalam berbagai
dimensinya, ada 5 asas antropologis yang mendasari kesimpulan bahwa manusia mungkin
dididik yaitu:
a.

Asas Potensialitas
Berbagai potensi yang ada pada manusia yang memungkinkan ia akan mampu
menjadi manusia, tetapi untuk itu memerlukan suatu sebab, yaitu pendidikan. Contohnya
dalam aspek kesusilaan, manusia diharapkan mampu berperilaku sesuai dengan norma-norma
moral dan nilai-nilai moral yang diakui. Ini adalah salah satu tujuan pendidikan atau sosok
manusia ideal berkenaan dengan dimensi moralitas. Oleh karena itu manusia akan dapat
dididik karena ia memiliki berbagai potensi untuk dapat menjadi manusia (Pengantar
Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.23).

b.

Asas Dinamika
Jika ditinjau dari sudut pendidik, pendidikan dilakukan dalam rangka membantu
manusia (peserta didik) agar menjadi manusia ideal. Di pihak lain, manusia itu sendiri
(peserta didik) memiliki dinamika untuk menjadi manusia ideal. Oleh karena itu, dimensi
dinamika mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.

c.

Asas Individualitas
Individu antara lain memiliki kedirisendirian (subjektivitas), ia berbeda dari yang
lainnya dan memiliki keinginan untuk menjadi seseorang sesuai keinginan dirinya sendiri.
Pendidikan dilaksanakan untuk membantu manusia dalam rangka mengaktualisasikan atau
mewujudkan dirinya. Pendidikan bukan untuk membentuk manusia sebagaimana kehendak
pendidik dengan mengabaikan dimensi individualitas manusia (peserta didik). Di pihak lain
manusia sesuai dengan individualitasnya berupaya untuk mewujudkan dirinya. Oleh karena
itu individualitas manusia mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.

d. Asas sosialitas
Sebagai insan sosial, manusia hidup bersama dengan sesamanya, maka ia butuh beraul
dengan orang lain. Dalam kehidupan bersama dengan sesamanya ini akan terjadi hubungan
pengaruh timbal balik setiap individu akan menerima pegaruh dari individu yang lainnya.
Kenyataan ini memberikan kemungkinan bagi manusia untuk dapat dididik, oleh karena itu
upaya bantuan atau pengaruh pendidikan itu disampaikan justru melalui interaksi atau
komunikasi antar sesama manusia dan bahwa manusia dapat menerima bantuan atau
pengaruh pendidikan juga melalui interaksi atau komunikasi dengan sesamanya.
e.

Asas Moralitas

Manusia memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dan tidak baik, dan
pada dasarnya ia berpotensi untuk beperilaku baik atas dasar kebebasan dan tanggung
jawabnya (aspek moralitas).
Pendidikan pada hakikatnya bersifat normatif, artinya dilaksanakan berdasarkan
sistem nilai dan norma tertentu serta diarahkan untuk mewujudkan manusia ideal, yaitu
manusia yang diharapkan sesuai dengan sistem nilai dan norma tertentu yang bersumber dari
agama maupun budaya yang diakui. Pendidikan bersifat normatif dan manusia memiliki
dimensi moralitas karena itu aspek moralitas memungkinkan manusia untuk dapat dididik.
Atas dasar berbagai asas di atas, pendidikan mutlak harus dilaksanakan. Jika berbagai asumsi
tersebut diingkari, kita harus sampai pada kesimpulan bahwa manusia tidak perlu dididik,
tidak akan dapat dididik karena itu kita tak perlu melaksanakan pendidikan.

BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1.

Wujud Sifat Hakekat Manusia

a.

Kemampuan Menyadari Diri

b.

Kemampuan Bereksistensi

c.

Kata Hati

d. Moral
e.

Tanggung Jawab

f.

Rasa Kebebasan

g.

Kewajiban dan Hak

h.

Kemampuan Menghayati Kebahagiaan

2.

Aspek-Aspek Hakekat Manusia

a.

Manusia sebagai Mahluk Tuhan

b.

Manusia sebagai Kesatuan Badan-Roh

c.

Manusia sebagai Mahluk Individu

d.

Manusia sebagai Mahluk Sosial

e.

Manusia sebagai Mahluk Berbudaya

f.

Manusia sebagai Mahluk Susila

g.

Manusia sebagai Mahluk Beragama

3.

Hubungan Hakekat Manusia dengan Pendidikan


1. Asas-Asas Keharusan atau Perlunya Pendidikan Bagi Manusia
a. Manusia sebagai Mahluk yang Belum Selesai

b. Tugas dan Tujuan Manusia adalah Menjadi Manusia


c. Perkembangan Manusia Bersifat Terbuka
2. Asas-Asas Kemungkinan Pendidikan
a. Asas Potensialitas
b. Asas Dinamika
c. Asas Individualitas
d. Asas Sosialitas
e. Asas Moralitas

3.2 Saran
Dengan penulisan makalah ini diharapkan masyarakat agar dapat mengetahui tentang
hakekat manusia itu seperti apa dan bagaimana konsep pendidikan seumur hidup yang
sebenarnya beserta implikasinya. Untuk para pendidik mungkin apa yang dibahas dalam
makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan referensi dalam praktek mengajar di
sekolah. Selain itu dengan mengetahui hakekat manusia dan pendidikan seumur hidup,
diharapkan para pendidik bisa lebih memahami masing-masing peserta didik dalam
hakekatnya sebagai manusia dan terlebih pula mampu memberikan himbauan untuk dapat
melaksanakan pendidikan seumur hidup melihat betapa pentingnya pendidikan bagi manusia
dan mengingat dalam makalah ini sudah dibahas mengenai hal tersebut, agar tujuan
pendidikan yang memang dicanangkan dapat memperoleh hasil sesuai harapan yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Fuad Hasan, Drs. H. 1995. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Bineka Cipta.


Umar Tirtarahardja, Prof. Dr. dan Drs. La Sula. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Bineka Cipta.
Wahyudin, Dinn dkk. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Anda mungkin juga menyukai