Di susun oleh :
Ayatusy Syifa : 15601040077
Melji Salwanis : 15601040065
Ria Handayani : 15601040027
Yola Awanda MT : 15601040045
Dosen Pengampu :
Eka Widyawati, M.Pd
KATA PENGANTAR
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1
1.2
1.3
BAB 1. PENDAHULUAN
2.
3.
2.
3.
BAB 2. PEMBAHASAN
Pendapat
lain
mengenai
Hakekat
Manusia
adalah
sebagai
berikut
1)Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnyauntuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. 2) Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab
atas tingkah laku intelektual dan social. 3) Yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang
positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya. 4)
Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai
(tuntas) selama hidupnya. 5)Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam
usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih
baik untuk ditempati. 6) Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan
ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas.
Pada dasarnya ada dua pokok persoalan tentang hakikat manusia. Pertama, tentang
manusia atau hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan di muka bumi ini. Kedua,
tentang sifat manusia dan karakteristik yang menjadi ciri khususnya serta hubungannya
dengan fitrah manusia. Ragam pemahaman tentang hakikat manusia, sebagai berikut :
1.
HOMO RELIGIUS : Pandangan tentang sosok manusia dan hakikat manusia sebagai
makhluk yang beragama. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa di muka bumi ini
sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain ciptaan-Nya.
Melalui kesempurnaannya itulah manusia bisa berfikir, bertindak, berusaha dan bisa
manentukan mana yang baik dan benar. Disisi lain manusia meyakini bahwa ia memiliki
keterbatasan dan kekurangan. Mereka yakin ada kekuatan lain, yaitu Tuhan sang pencipta
alam semesta. Oleh sebab itu, sudah menjadi fitrah manusia pada hakikatnya manusia adalah
makhluk religius yang mempercayai adanya sang maha pencipta yang mengatur seluruh
sistem kehidupan dimuka bumi.
2.
HOMO SAPIENS : Pemahaman hakikat manusia sebagai makhluk yang bijaksana dan
dapat berfikir atau sebagai animal rationale. Hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan
yang paling tinggi dan paling mulia. Hal ini disebabkan oleh manusia karena memiliki akal,
pikiran, rasio, daya nalar, cipta dan karsa, sehingga manusia mampu mengembangkan dirinya
sebagai manusia seutuhnya. Manusia sebagai suatu organisme kehidupan dapat tumbuh dan
berkembang, namun yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah manusia
memiliki daya pikir sehingga ia bisa berbicara, berfikir, berbuat, belajar, dan memiliki citacita sebagai dambaan dalam menjalankan kehidupannya yang lebih baik.
3.
4.
HOMO HOMINI SOCIUS : Kendati manusia sebagai makhluk individu, makhluk yang
memiliki jati diri, yang memiliki ciri pembeda antara yang satu dengan yang lainnya, namun
pada saat yang bersamaan manusia juga sebagai kawan sosial bagi manusia lainnya. Ia
senantisa berinteraksi dengan lingkungannya. Ia berhubungan satu sama lain dan membentuk
suatu masyarakat tertentu. Walaupun terdapat pendapat yang berlawanan, ada yang menyebut
manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus). Pemahaman yang terakhir
inilah yang harus dihindarkan agar tidak terjadi malapetaka dimuka bumi ini. Sejarah telah
membuktikan adanya perang saudara ataupun pertikaian antarbangsa, pada akhirnya hanya
membuahkan derajat peradapan manusia semakin tercabik-cabik dan terhempaskan.
berharap dan berdoa. Adapun hal tersebut dapat menimbulkan kejelasan akan tujuan
hidupnya, menimbulkan sifat positif dan familiaritas akan masa depannya, menimbulkan
rasa dekat dengan penciptanya.
b.
serba zat, atau benda. Manusia merupakan bagian dari alam semesta sehingga manusia tidak
berbeda dari alam itu sendiri. Yang esensial dari manusia adalah badannya, bukan jiwa atau
rohnya. Manusia adalah apa yang nampak dalam wujudnya, terdiri atas zat (daging, tulang,
urat syaraf). Segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah pada manusia
dipandang hanya sebagai resonansi saja dari berfungsinya badan atau organ tubuh.
Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai epiphenomenalisme
Idealisme bertolak belakang pandangan di atas, menurut penganut edialisme bahwa
esensi dari manusia adalah jiwanya atau spiritnya atau rohaninya. Hal ini sebagai mana dianut
oleh Plato. Sekalipun Plato tidak begitu saja mengingkari aspek badan, namun menurut dia,
jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada badan. Dalam hubungan dengan badan,
jiwa berperan sebagai pemimpin badan, jiwalah yang mempengaruhi badan karena itu badan
mempunyai ketergantungan kepada jiwa. Jiwa adalah asas primer yang menggerakan semua
aktivitas manusia, badan tanpa jiwa tiada memiliki daya. Pandangan tentang hubungan badan
dan jiwa seperti itu dikenal sebagai spiritualisme.
Dualisme C.A.Van Peursen (1982) mengemukakan pihak lain secara tegas bersifat
dualistik yakni pandangan dari Rene Descartes. Menurut Descartes esensi diri manusia terdiri
atas dua substansi, yaitu badan dan jiwa oleh karena itu manusia terdiri atas dua substansi
yang berbeda (badan dan jiwa) maka antara keduanya tidak terdapat hubungan saling
mempengaruhi (S.E. Frost Jr., 1957) namun demikian setiap peristiwa kejiwaan selalu paralel
dengan peristiwa badaniah atau sebaliknya. Contohnya jika jiwa sedih maka secara Paralel
badan pun tampak murung atau menangis. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa
seperti itu dikenal sebagai paralelisme.
Kesatuan Badani-Rohani berbeda dengan ketiga paham diatas (Materialisme,
Idealisme, dan Dualisme), E.F. Schumacher (1980) memandang manusia sebagai kesatuan
dari hal yang bersifat badani dan rohani yang pada hakikatnya berbeda dari benda material,
tumbuhan, hewan maupun Tuhan. Sejalan dengan pandangan Schumacher, Abdurahman
Sholih Abdullah (1991) menegaskan bahwa: meski manusia merupakan pendahuluan dua
unsur yang berbeda, roh dan badan, namun ia merupakan pribadi yang integral.
Berdasarkan penegasan ini, jelaslah bahwa manusia itu adalah kesatuan badani-rohani.
Adapun dalam eksistensinya manusia memiliki aspek individualitas, sosialitas, moralitas,
keberbudayaan dan keberagamaan. Implikasinya maka manusia itu berinteraksi atau
berkomunikasi, memiliki historisitas dan dinamika.
c.
d.
e.
f.
memiliki aspek kesusilaan. Menurut Immanuel Kant, manusia memiliki aspek kesusilan
karena pada manusia terdapat rasio praktis yang memberikan perintah mutlak (categorical
imperative). Sebagai makhluk yang otonom atau memiliki kebebasan, manusia selalu
dihadapkan pada suatu alterntif tindakan yang harus dipilihnya. Adapun kebebasan berbuat
ini juga harus dipilihnya. Karena manusia mempunyai kebebasan memilih dan menentukan
perbuatanya secara otonom maka selalu ada penilaian moral atau tuntutan pertanggung
jawaban atas perbuatannya.
g.
Animal educable. Artinya, pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang dapat dididik.
Animal educandum, yang artinya manusia pada hakikatnya adalah manusia yang harus
dididik.
Homo educandus, bahwa manusia merupakan makhluk yang bukan hanya harus dan
dapat dididik tetapi juga harus dan dapat dididik.
c.
Dalam
kenyataan
hidupnya,
perkembangan
manusia
bersifat
terbuka
atau
Kelanjutan hidup manusia menunjukkan keragaman, baik ragam dalam hal kesehatannya,
dalam dimensi kehidupan individualitasnya, sosialitasnya, keberbudayaannnya, kesusilaanya,
keberagamaanya.
b.
Oleh karena itu spesialisasi manusia itu harus diperoleh setelah ia lahir dalam
perkembangan menuju kedewasaanya.
Pada dasarnya kemampuan berjalan tegak di atas dua kaki, kemampuan berperilaku
lainnya yang lazim dilakukan manusia yang berkebudayaan, tidak dibawa manusia sejak
kelahirannya. Demikian halnya dengan kesadaran akan tujuan hidupnya, kemampuan untuk
hidup sesuai individualitas, sosialitasnya, tidak dibawa manusia sejak kelahirannya,
melainkan harus diperoleh manusia melalui belajar, melalu bantuan berupa pengajaran,
bimbingan, latihan, dan kegiatan lainnya yang dapat dirangkumkan dalam istilah pendidikan.
Dari hal inilah dapat dipahami bahwa manusia belum selesai menjadi manusia, ia
dibebani keharusan untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi
manusia, adapun untuk menjadi manusia ia memerlukan pendidikan atau harus dididik. Man
can become man through education only, demikian pernyataan Immanuel Kant dalam teori
pendidikannya (Henderson, 1959). Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil studi M. J.
Langeveld. Bahkan sehubungan dengan kodrat manusia seperti dikemukakan di atas,
Langeveld memberikan identitas kepada manusia dengan sebutan Animal Educandum (M.J.
Langeveld, 1980).
educabile. Jika kita mengacu kepada uraian terdahulu tentang sosok manusia dalam berbagai
dimensinya, ada 5 asas antropologis yang mendasari kesimpulan bahwa manusia mungkin
dididik yaitu:
a.
Asas Potensialitas
Berbagai potensi yang ada pada manusia yang memungkinkan ia akan mampu
menjadi manusia, tetapi untuk itu memerlukan suatu sebab, yaitu pendidikan. Contohnya
dalam aspek kesusilaan, manusia diharapkan mampu berperilaku sesuai dengan norma-norma
moral dan nilai-nilai moral yang diakui. Ini adalah salah satu tujuan pendidikan atau sosok
manusia ideal berkenaan dengan dimensi moralitas. Oleh karena itu manusia akan dapat
dididik karena ia memiliki berbagai potensi untuk dapat menjadi manusia (Pengantar
Pendidikan, Dinn Wahyudin, 2008: 1.23).
b.
Asas Dinamika
Jika ditinjau dari sudut pendidik, pendidikan dilakukan dalam rangka membantu
manusia (peserta didik) agar menjadi manusia ideal. Di pihak lain, manusia itu sendiri
(peserta didik) memiliki dinamika untuk menjadi manusia ideal. Oleh karena itu, dimensi
dinamika mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
c.
Asas Individualitas
Individu antara lain memiliki kedirisendirian (subjektivitas), ia berbeda dari yang
lainnya dan memiliki keinginan untuk menjadi seseorang sesuai keinginan dirinya sendiri.
Pendidikan dilaksanakan untuk membantu manusia dalam rangka mengaktualisasikan atau
mewujudkan dirinya. Pendidikan bukan untuk membentuk manusia sebagaimana kehendak
pendidik dengan mengabaikan dimensi individualitas manusia (peserta didik). Di pihak lain
manusia sesuai dengan individualitasnya berupaya untuk mewujudkan dirinya. Oleh karena
itu individualitas manusia mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
d. Asas sosialitas
Sebagai insan sosial, manusia hidup bersama dengan sesamanya, maka ia butuh beraul
dengan orang lain. Dalam kehidupan bersama dengan sesamanya ini akan terjadi hubungan
pengaruh timbal balik setiap individu akan menerima pegaruh dari individu yang lainnya.
Kenyataan ini memberikan kemungkinan bagi manusia untuk dapat dididik, oleh karena itu
upaya bantuan atau pengaruh pendidikan itu disampaikan justru melalui interaksi atau
komunikasi antar sesama manusia dan bahwa manusia dapat menerima bantuan atau
pengaruh pendidikan juga melalui interaksi atau komunikasi dengan sesamanya.
e.
Asas Moralitas
Manusia memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dan tidak baik, dan
pada dasarnya ia berpotensi untuk beperilaku baik atas dasar kebebasan dan tanggung
jawabnya (aspek moralitas).
Pendidikan pada hakikatnya bersifat normatif, artinya dilaksanakan berdasarkan
sistem nilai dan norma tertentu serta diarahkan untuk mewujudkan manusia ideal, yaitu
manusia yang diharapkan sesuai dengan sistem nilai dan norma tertentu yang bersumber dari
agama maupun budaya yang diakui. Pendidikan bersifat normatif dan manusia memiliki
dimensi moralitas karena itu aspek moralitas memungkinkan manusia untuk dapat dididik.
Atas dasar berbagai asas di atas, pendidikan mutlak harus dilaksanakan. Jika berbagai asumsi
tersebut diingkari, kita harus sampai pada kesimpulan bahwa manusia tidak perlu dididik,
tidak akan dapat dididik karena itu kita tak perlu melaksanakan pendidikan.
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
a.
b.
Kemampuan Bereksistensi
c.
Kata Hati
d. Moral
e.
Tanggung Jawab
f.
Rasa Kebebasan
g.
h.
2.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
3.
3.2 Saran
Dengan penulisan makalah ini diharapkan masyarakat agar dapat mengetahui tentang
hakekat manusia itu seperti apa dan bagaimana konsep pendidikan seumur hidup yang
sebenarnya beserta implikasinya. Untuk para pendidik mungkin apa yang dibahas dalam
makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan referensi dalam praktek mengajar di
sekolah. Selain itu dengan mengetahui hakekat manusia dan pendidikan seumur hidup,
diharapkan para pendidik bisa lebih memahami masing-masing peserta didik dalam
hakekatnya sebagai manusia dan terlebih pula mampu memberikan himbauan untuk dapat
melaksanakan pendidikan seumur hidup melihat betapa pentingnya pendidikan bagi manusia
dan mengingat dalam makalah ini sudah dibahas mengenai hal tersebut, agar tujuan
pendidikan yang memang dicanangkan dapat memperoleh hasil sesuai harapan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA