Anda di halaman 1dari 10

BAB III

FILSAFAT ILMU DAN METODOLOGI PENELITIAN


A. Keberadaan Ontologi
1. Prof.Dr. H. Endang Komara, M.Si
Dalam Buku Filsafat Imu dan Metodologi Penelitian Karya Prof.Dr. H. Endang
Komara, M.Si, dijelaskan bahwa: Ontologi adalah penjelasan tentang keberadaan atau
eksistensi yang mempermasalahkan akar-akar( akar yang paling mendasar tentang apa
yang disebut ilmu pengetahuan itu). Suriasumantri (1993), yang dipermasalahkan adalah
akar-akarnya hingga sampai menjadi ilmu.
            Dalam tahap ontologis ini manusia mulai mengambil jarak dari objek sekitar,
tidak seperti pada dunia mistis dimana objek berada dalam kesemestaan yang
bersifat difus dan tidak jelas batas-batasnya.Maka ontologis ini memberikan batasan
terhadap objek tertentu.
            Dalam memcahkan masalah penalaran atau logika.Ilmu membatasi hanya
masalah yang konkret pada dunia nyata yang dapat dipecahkan atau permasalahan yang
dikaji berdasarkan pengetahuan manusia.Keseimbangan ilmu-ilmu agar kita tidak mudah
terjatuh pada kebingungan.Karena sesungguhnya setiap ilmu itu saling melengkapi dan
memberikan batasannya yang sesuai.
            Menurut Rapar (1996) ontologis dikatakan sebagai metafisika umum.Hal ini
dimaksudkan untuk membedakan dan memisahkan eksistensi yang sesungguhnya dari
penampakan dan penampilan eksistensi itu. Menurutnya pula ada tiga teori ontology:
1. Idealisme. Teori ini mengajarkan bahwa ada yang sesungguhnya berda di dunia
ide.Segala sesuatu yang tampak dan terwujud nyata dalam alam inderawi hanya
merupakan gambaran atau banyangan dari yang sesungguhnya, yang berada di dunia
ide.
2. Materialisme. Materialisme menolak hal-hal yang tidak kelihata. Baginya, yang ada
sesungguhnya adalah keberadaan yang semata-mata bersifat material atau sama
sekali tergantung pada material. Pada intinya segala sesuatu yang bersifat realitas
mungkin dijelaskan secara material.
3. Dualisme. Dualisme mengajarkan bahwa substansi individual terdiri dari dua tipe
fundamental yang berada dan tak dapat diredukasikan kepada yang lainnya.Pada
intinya dualisme mengakui bahwa realitas teridiri dari materi secara fisis dan mental
atau keberadaannya tidak kelihatan secara fisis.
            Refleksi ontologis berbentuk suatu lingkaran hermeunitis antara pengalaman dan
mengada, tanpa mampu dikatakan mana yang lebih dahulu. Dikatakan oeh Baker, bahwa
dalam ontologis tidak ada rumus yang tepat , yang ada hanya mungkin sebagai
kesimpulan uraian.

B. The Quest for Knowledge


            Dalam Buku Filsafat Imu dan Metodologi Penelitian Karya Prof.Dr. H. Endang
Komara, M.Si, dijelaskan bahwa Filsafat ilmu menjelaskan tentang duduk perkaran ilmu
atau science itu, apa yang menjadi landasan asumsinya, bagaimana logikanya (doktrin
netralistik, etik), apa hasi-hasil empirik yang dicapainya serta batas-batas
kemampuannya. Metodologi penelitian menjelaskan tentang upaya pengembangan ilmu
berdasarkan tradisi-tradisinya, yang terdiri dari dua bagian, yaitu deduktif dan
induktif.Demikian pula yang dicapainya, yang disebut pengetahuan atau knowledge, baik
yang bersifat deskriptif (kualitatif dan kuantitatif) maupun yang bersifat hubungan
(proposisi tingkat rendah, proposisi tingkat tinggi dan hukum-hukum).
            The Quest of Knowledge adalah upaya manusia untuk mengetahui tentang Tuhan,
alam semesta, lingkungan ( baik alamiah maupun sosial), dan dirinya (baik fisik maupun
perilakunya). Sudah menjadi kodratnya bahwa manusia ingin mengetahui segala-galanya
dan bertanya untuk mendapatkan jawabannya. Dengan kata lainQuest of
Knowledge adalah usaha manusia untuk mengetahui tentang ilmu Tuhan.
            Dalam hal ini manusia menggunakan segala kemampuannya dan akal
budinya.  Dengan dianugerahkannya rasio dan rasa kepada  manusia yang mana
merupakan kemampuan manusia untuk menempatkan sesuatuhal yang masing-masing
dan tidak dapat dicampur adukan.
            Kemampuan rasio terletak pada kemampuan membedakan dan atau
menggolongkan, menyatakan secara kuantitatif ataupun kualitatif dan menyatakan
hubungan-hubungan dan mereduksi hubungan-hubungan. Kemampuan rasa terletak pada
kreativitas  yang merupakan kegaiban, karena langsung berhubungan dengan Tuhan.
Kreativitas ini lah yan menjadi permulaan disegala bidang, nalar, ilmu, etika dan estetika.
            Rasio menghasilkan ilmu dan ilmu menemukan dan mengungkapkan sunatullah,
yang lebih kita kenal dengan “hukum-hukum nomologis”, bersifat kekal abadi dan
“netral” yang menghasikan etika atau moral, dengan hukum-hukumnya yang disebut
hukum normatif dan bersifat “imperatif”. Sedangkan rasa dijaga dengan petunjuk-
petunjuk Tuhan, dan dengan kebesaran Tuhan.
            Oleh sebab itu upaya Quest of Knowledge setiap hari, pertama harus kuat
memahami ilmu atau humanitas, dan kedua, dalam mencapai “kebenaran”, tidak cukup
dengan verifikasi seperti dalam ilmu barat, akan tetapi verifikasi yang dibarengi
dengan validasi. Adapun landsan validasi tidak lain adalah firman Alloh SWT.

C. The Knower, Nalar dan Knowledge


            Dalam Buku Filsafat Imu dan Metodologi Penelitian Karya Prof.Dr. H. Endang
Komara, M.Si, dijelaskan bahwa: Sudah menjadi kehendak Alloh SWT bahwa manusia
selalu ingin mengetahui segalanya karena manusia diberi kemampuan untuk itu. Secara
analitik, kemampuan untuk mengetahui itu dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kemampuan kognitif, kemampuan untuk mengetahui (dalam arti kata seperti
mengerti, memahami, menghayati) dan mengingat apa yang diketahui. Landasan
kognitif adalah rasio atau akal.Kognisi bersifat netral.
2. Kemampuan afektif, ialah kemampuan untuk merasakan tentang yang diketahuinya
itu, ialah rasa cinta dan rasa indah. Afeksi tidak bersifat netral.Landasan afeksi
adalah rasa, atau qalbu, dan disebut hati nurani.Rasa inilah yang menghubungkan
manusia dengan kegaiban yang merupakan kreativitas manusia.Rasa ini dapat
menjadi kelebihan manusia sekaligus menjadi kelemahan manusia, karena rasa juga
bersifat polarity dimana antara yang baik dengan yang buruk hanya berbeda
tipis.Rasa mempengaruhi rasio.Rasio tidak dapat berjalan ketika rasa sudah
melenceng dari yang seharusnya.
3. Kemampuan konatif, adalah kemampuan untuk mencapai apa yang dirasakan itu.
Kondisi adalah will, kemauan, keinginan, dan hasrat, yaitu daya dorong  untuk
mencapai (atau menjauhi) segala apa yang didiktekan oleh rasa. Kemampuan untuk
bergerak dalam menentukan rasa adalah konatif.
            Dari ketiga kemampuan di atas, kognitif, afektif dan konatif, kemampuan
afektiflah yang mejadi titik pusat dan pada bidang kemampuan afektif inilah (terutama)
manusia mendapat petunjuk-petunjuk Tuhan di satu pihak, dan atas seizing Tuhan pula
manusia mendapat rongrongan setan yang terus-menerus tiada hentinya di lain pihak.

D. Nalar atau Berpikir


Segala sesuatu yang dapat diindra manusia disebut pengalaman atau experience,
sedangkan segala sesuatu yang tidak dapat diindra oleh manusia disebut metafisika
(meta=beyond, metafisika = beyond experience). Berpikir tentang pengalaman disebut
berpikir empirical, dan berpikir tentang dunia metafisika disebut berpikir transcendental.
            Perkataan philosophy berasal dari kata Yunani yang berarti menyukai kearifan.
Para filusuf Yunani kuno menemukan cara yang diidamkann tersebut, yang disebut
pembuktian rasional atau rational proof, dalam logika dan matematika. Dalam logika
Aristoteles dengan silogismenya, sedangkan dalam matematika Euclid menemukan cara
pembuktian rasional dan geometri.
            Dunia nalar sekarang mengakui empat ciri cara berpikir filsafat Plato yakni: (1)
ada tanda-tanda bahwa dalam studi berbagai ilmu yang telah ditelaah harus dihubungkan
dan dipandang sebagai satu sistem; (2) ada satu kontras tentang sensible
appearance dan intelligible reality. Yang disebut pertama adalah kejadian-kejadian yang
biasa, yang terhadapnya kita hanya bisa beropini saja, sedangkan yang kedua adalah
objek sistem matematika yang terlepas dari waktu dan berbagai form seperti kebaikan
(goodnees) dan keadilan (justice).Istilah untuk intelligible reality adalah idea, yang satu
dan tidak berubah-ubah dan menurut Plato hanya idea saja yang bisa menjadi objek
pengetahuan; (3) keputusan tertinggi pada ilmu hanyalah bila idea tersebut mencapai (the
form of the good), dengan menunjukan mengapa benda-benda soyogianya harus seperti
itu; (4) pandangan (insight) intelektual seyogianya dicapai dengan metode khusus yang
disebut dialectic.Dialectic ini tak lain adalah apa yang sekarang kita sebut dengan logika.

E. Analisa Keunggulan dan Kekurangan Buku Filsafat Ilmu dan Mbetodologi


Penelitian

a. Keunggulan
Keunggulan buku “Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian”yaitu dapat dijadikan
sebagai referensi salah satu upaya mencari ilmu pengetahuan yang benar.Buku ini
disajikan secara sederhana.Kajian utama buku ini adalah memberikan bekal dalam
perancangan riset yang didasari oleh fundamental filsafat ilmu yang masih diakui
kebenarannya sampai sekarang. Berakar pada filsafat ilmu dan metodologi penelitian
guna mencari ilmu engetahuan yang benar, buku ini membahas paradigma filsafat,
berpikir filsafat, metodologi, pengetahuan dan moral, dasar penelitian, metode ilmiah,
dan pengukuran skala.

b. Kekurangan
Buku ini tidak menunjukkan kekurangan yang sangat mencolok, karena pembahasan
dalam buku ini sudahlah tepat sasaran, yaitu membahas kajian lingkup filsafat ilmu
dan metode-metode yang dikemukakan dalam melakukan penelitian ataupun
riset.Hanya saja bahasa yang digunakan agak sulit untuk dicerna dan juga ada
beberapa penulisan kata yang salah pengetikannya.Biasanya dapat langsung dipahami
oleh kalangan pelajar mahasiswa dan kalangan tingkat di atasnya, karena memang
pada dasarnya sasaran buku ini adalah untuk melakukan sebuah penelitian.

c. Penutup
Buku “Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian” ini sangat sempurna bagi kalangan
pelajar mahasiswa dan kalangan di atasnya.Dapat dijadikan sebagai referensi karena
didalamnya memuat materi-materi yang lengkap mengenai pemikiran mendalam
tentang ilmu dan metodologi penelitian.

2. Prof. Dr. Ahmad Tafsir


Menurut Prof Dr Ahmad Tafsir dalam Buku Filsafat Ilmu Ontologi filsafat
membicarakan hakikat filsafat, yaitu apa pengetahuan filsafat itu sebenarnya. Struktur
filsafat dibahas juga di sini. Yang dimaksud struktur di sini ialah cabang-cabang filsafat
serta isi (yaitu teori) dalam setiap cabang itu. Yang dibicarakan di sini hanyalah cabang,
cabang saja, itu pun hanya sebagian. Teori dalam setiap cabang tentu sangat banyak dan
itu tidak dibicarakan di sini. Struktur dalam arti cabang-cabang filsafat sering juga
disebut sistematika filsafat.
a. Ontologi Filsafat menjelaskan tentang: Hakikat Pengetahuan Filsafat, Struktur
Filsafat
b. Epistemologi Filsafat menjelaskan tentang: Obyek Pengetahuan Filsafat, Cara
memperoleh Pengetahuan Filsafat dan ukuran kebenaran Pengetahuan filsafat
c. Aksiologi Filsafat menjelaskan tentang: Kegunaan Filsafat, cara filsafat
menyelesaikan masalah dan cara orang umum menilai
d. Kesimpulan:
Salah satu kekacauan dalam berpikir orang awam ialah mereka tidak benar-benar
menegaskan perbedaan jenis- jenis pengetahuan. Dengan kata lain, mereka tidak
mengetahui dengan jelas kapling pengetahuan. Menge- tahui
kapling tersebut amat penting tatkala kita meng- gunakan pengetahuan tersebut untuk
menyesaikan masalah.
Pengetahuan ialah segala yang diketahui. Ternyata pengetahuan yang dimiliki
manusia itu tidaklah satu jenis. Jenis-jenis pengetahuan itu diuraikan secara singkat
tetapi jelas dalam buku ini. Dapatlah dikatakan buku ini hanya membicarakan jenis-
jenis pengetahuan manusia dan karakteristiknya.
Judul buku ini "Filsafat Ilmu", padahal yang dimaksud ialah filsafat pengetahuan.
Hal itu dilakukan dengan pertimbangan istilah Filsafat Ilmu jauh lebih dikenal
ketimbang filsafat pengetahuan. Berkait dengan itu, saya tidak bermaksud
mengacaukan pengertian ilmu (science) dan pengetahuan (knowledge). Istilah "ilmu"
khusus pada judul buku ini dimaknai sebagai pengetahuan.

3. Prof. Dr. Amsal Bahtiar MA


Menurut Prof. Dr. Amsal Bahtiar MA dalam Buku Filsafat Ilmu Menjelaskan
tentang:
a. Definisi dan Jenis Pengetahuan
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu
knowledge dalam encyclopedia of philosopy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan
adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief) sedangkan secara
terminology menurut Drs sidi gazalba pengetahuan adalah apa yang diketahui  atau
hasil pekerjaan tahu, pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf,
mengerti dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi fikiran dengan
demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari hasil usaha manusia untuk tahu,
dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah proses
kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri.
Burhanudin salam mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada 4
yaitu :
1) Pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan
istilah common sense, dan sering diartikan sebagai good sense.
2) Pengetahuan ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science yang diartikan
sebagai pengetahuan yang kuantitatif dan objektif.
3) Pengetahuan filsafat, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang
bersifat kontemplatif dan spekulatif, pengetahuan filsafat lebih menekankan
pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu.
4) Pengetahuan agama, yaitu pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat
utusannya, pengetahuan agama bersifat mutlak dn wajib diyakini oleh
parapemeluk agama.

b. Hakikat dan Sumber Pengetahuan


Hakikat pengetahuan yang meliputi apa itu pengetahuan dan bagaimana memperoleh
pengetahuan tersebut.
Ada  2 teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan itu yaitu : realismen, empirisme,
idealisme, rasionalisme, intuisi dan wahyu.
c. Ukuran Kebenaran
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai
kebanaran, namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja, problem kebenaran
inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistimologi, telaah epistimologi
terhadap kebenaran membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa perlu dibedakan
adanya 3 jenis yaitu kebenaran epistimologis, kebenaran ontologis dan kebenaran
semantik.  Kebenaran epistimologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan
pengetahuan manusia, kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat
dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan, kebenaran
dalam arti semantic adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata
dan bahasa.Dalam pembahasannya penulis membahas kebenaran epistimologis
karena kebenaran yang lainnya secara inheren akan masuk dalam kategori kebenaran
epistimologis, teori yang menjelaskan episyimologis adalah sebagai berikut : Teori
Korespodensi, Teori Koherensi, Teori Fragmatisme dan Agama sebagai Teori
Kebenaran.
d. Klasifikasi dan Hirarki Ilmu
Para filosof muslim membedakan ilmu kepada ilmu yang berguna dan ilmu yang
tidak berguna. Kategori ilmu yang berguna mereka kategorikan kepada ilmu ilmu
duniawi seperti ilmu kedokteran, fisika, kimia, geografi, logika, etika, bersama
disiplin yang khusus mengenai ilmu keagamaan. Ilmu sihir, alkemi dan numerologi
(ilmu nujum dengan menggunakan bilangan) dimasukkan kedalam golongan
cabang-cabang ilmu yang tidak beguna. Klasifikasi ini memberikan makna implisit
menolak adanya sekularisme, karena wawasan Yang Kudus tidak menghalang-
halangi orang untuk menekuni ilmu-ilmu pengetahuan dinuawi secara teoritis dan
praksis.
Sedangkan Al Ghazali secara filosofis membagi ilmu kedalam ilmu syar’iyah dan
ilmu aqliyyah. Oleh Al-Ghazali ilmu yang terakhir ini disebut juga sebagai
ilmu ghair syar’iyyah. Begitu juga Quthb Al-Din membedakan jenis ilmu
menjadi ulum hikmy dan  ulum ghair hikmy. Ilmu nonfilosofis menurutnya
dipandang sinonim dengan ilmu religius, karena dia menganggap ilmu itu
berkembang dalam satu peradaban yang memiliki syari’ah (hukum wahyu).
Sedangkan Dr Muhammad Al Bahi membagi ilmu dari sumbernya terbagi menjadi 2
yaitu ilmu yang bersumber dari Tuhan dan ilmu yang bersumber dari manusia. Al-
Jurjani membagi ilmu kepada ilmu Qadim dan ilmu Hadis. Ilmu Qadim adalah ilmu
Allah yang jelas sangat berbeda dari ilmu Hadist  yang dimiliki manusia sebagai
hamba-Nya.
Karena semua bentuk pengetahuan yang bersifat empiris, rasionalis, dan
iluminasioris ketiganya bersumber dari manusia yang bersifat relative. Relativitas itu
tidak saja dari pemikiran tetapi juga perangkat yang dimiliki oleh manusia dalam
memperoleh pengetahuan seperti panca indera, akal dan wahyu. Oleh karena itu,
hanya adanya wawasan Yang Kudus-lah yang membedakan pemikiran Islam dengan
Barat.
e. Pembahasan Ontologi, Emistemologi dan Aksiologi dijelaskan dalam Bab IV
f. Kesimpulan
Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, namun pada sisi tertentu memiliki
kesamaan. Agama lebih mengedepankan moralitasdan menjaga tradisi yang
sudah mapan (ritual) cenderung ekslusif, dan subjektif. Sementara ilmu selalu
mencari yang baru. Tidak perlu terikat dengan etika progresif. Agama
memberikan ketenangan dari segi batin karena ada janji kehidupan setelah mati,
sedangkan ilmu memberi ketenangandansekaligus, kemudahan, bagi
kehidupan,di,dunia.
 
Agama mendorong umatnya untuk menuntut ilmu hampir semua kitab suci
menganjurkan umatnya untuk mencari ilmu sebanyak mungkin. Adapun
menurut ilmu, gempa bumi terjadi akibat pergeseran lempengan bumi atau
tersumbatnya lava gunung berapi oleh karena itu para ilmuan harus mencari
ilmu dan teknologi untuk mendektes, kapan  gempa akan terjadi dan bahkan
kala perlu mencari cara mengatasinya.
Disini ilmu dan teknologi tidak harus dilihat dari aspek yang sempit, tetapi
harus dilihat dari tujuan jangka panjang dan untuk kepentingan kehidupan yang
lebih abadi kalo visi ini yang diyakini oleh para ilmuwan dan agamawan maka
harapan kehidupan ke depan akan lebih cerah dan sentosa tentu saja pemikiran-
pemikiran seperti ini perlu dukungan dari berbagai pihak untuk terwujudnya
masa depan yang lebih cerah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah M.E, Konci Rijki, Jakarta: Hasanah, 1985.

Abu al-Siraj al-Thusy, Al-Luma, Mesir: Dar al-Kutub al-


Haditsah, 1996.
Abu Abdullah al-Razi, Tafsir Ibnu Katsir, 1, tt.
Abu Luwis Ma’luf, al-Munjid al-Lughah wa al-‘Alam, Beirut: Dar al-Masyriq,
1975.

Abu Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tashawwuf,


Ramadhani, 1989.
Abdul Qadir Zailani, Koreksi Terhadap Ajaran Tashawuf,

Jakarta: Gema Insani Press, 1996.


Tarmana, Bandung: Hidayah, 1996.

Ahmad Abdurrahman Hamad, al-‘Alaqah bayn al-Lughah wa al- Fikr, Dar al-
Ma’rifah al-Jami’iyyah, 1985.

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Bandung: Rosdakarya, 1997.


Aldous Huxley, The Perennial Philosophy, New York: Harper and Row,
1945.

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam,


Terjemahan, Pustaka Firdaus, 1986.
Ali Abu Hayullah al-Marzuqy, Al-Jawahir al-Lama’ah, tt.
A.S. Hornby, A Leaner’s Dictionary of Current English, London: Oxford
University Press, 1957.

Badrudi Subkhi, Bid’ah-bid’ah di Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press,


1996.

Clifford Geertz, Abangan Santri dan Priayi, Pustaka Jawa, 1983


C. Mulder, Pembimbing ke dalam Ilmu Filsafat, Jakarta: Badan

Ensiklopedi Islam.

Fred N. Kerlinger, Foundation of Behavior Research, New York: Holt, Rinehart


and Winston, 1973.

Frithjof Schoun, The Trancendent Unity of Religion, New York: Harper and
Row, 1975.

Hamka, Tasauf Perkembangan dan Kemurnian, Jakarta: Nurul

Islam, 1980.
Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tinta Mas, 1966.
Hasan Ayub, Tabsith al-‘Aqidah al-Islamiyah, Kuwait: Dar al- Buhuts
al-’Ilmiyah, 1979.

Ha‘iri, Ilmu Hudluri: Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Islam, Bandung:


Mizan, 1999.
Herman Soewardi, Tiba Saatnya Isalam Kembali Kaffah Kuat dan Berijtihad
(Suatu Kognisi Baru tentang Isalam), Bandung: Diterbitkan sendiri oleh
Pengarangnya, 1999.
Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat, Jakarta: Widjaja, 1971. Houston Smith,
Beyond Post-Modern, 1979. (?)
Ibn Khaldun, Muqaddimah, Dar al-Fikr, 1981.

Ibrahim Samirra’i, Fiqh al-Lughah al-Muqarran, Beyrut: Dar al- Tsaqafah al-
Islamiyyah, tt.

Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq, terjemahan, Mizan, Bandung, 1994.

Ibnu Mandzur Jamaluddin al-Anshari, Lisan al-‘Arab, Kairo: Dar al-Mishriyyah


li al-Taklif wa al-Tarjamah, tt.
Jauhar Salim Abbay (penerjemah), Al-Thibb Awasin al- Kaey, Jakarta: Yayasan
Ibnu Ruman, tt.
Joe Park, Selected Reading in The Philosophy of Education, New York: The
Macmillan Company, 1960.

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:


Sinar Harapan, 1994.

Kamus Umum Bahasa Sunda, Panitia Kamus LBSS, Bandung: Tarate, 1992.

J. Bertens, Sejarah Filsafat Barat Abad XX,


Jakarta: Gramedia, 1983.
Kerlinger, Foundation of Behavior Research, New York: Holt, Rinehart and
Winston, 1973.

Karl Jasper, Philosophical Faith and Revelation, London: Colin, 1967.

Komarudin Hidayat dan Muhammad Wahyuni, Agama Masa Depan: Prespektif


Filsafat Perennial, Jakarta: Paramadina, 1995.

Langeved, Menudju ke Pemikiran Filsafat, Djakarta: PT. Pembangunan, 1961.

Lembaga Seni Bela Diri Hikmatul Iman, Buku Pegangan Anggota, Bandung:
LSBDHI, 1993.

Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, Beirut: Dar al-Masyriq,


1975.

Mohammad Hatta, Alam Pikiran Junani, Djakarta: Tintamas, I, 1966.

Mathias Haryadi, Membina Hubungan antar Pribadi


Berdasarkan Prinsip Partisipasi, Persekutuan dan Cinta

Menurut Gabriel Marcel, Yogyakarta: Kanisius, 1996.


Mundiri, Logika, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1994.
Murtadla Muthahhari, Menapak Jalan Spiritual, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1995.

Muhammad Isa Daud, Hiwar al-Syawafy ma’a Jinniy al- Muslim, terjemahan
Afif Muhammad dan H. Abdul Adhiem, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.

Muhammad bin Abdul Wahab, al-Tauhid alladzi huwa Haqqullah ‘ala al-Abid,
Libanon: Dar al-Arabiyyah, 1969.

Mahmud Syaltut, Islam Aqidah wa Syari’ah, Mesir: Dar al- Qalam, 1996.

Maria Susuei Dhavamony, Fenomenologi Agama, Jakarta: Kanisius, 1997.


Poedjawijatna, Pembimbing ke Alam Filsafat, Djakarta:PT Pembangunan, 1974.

Reymond Firth, Human Types, terjemahan, Bandung: Sumur Bandung, 1960.


Samudi Abdullah, Takhayyul dan Magic dalam Pandangan

Islam, Bandung: Alma’arif, 1997.


Sihristany, al-Milal wa al-Nihal, Dar al-Fikr, tt.
Sachiko Murata, The Tao of Islam, Bandung: Mizan, 1996.

Syihabuddin Yahya al-Syuhrawardi, Hikayat-hikayat Mistis,

Bandung: Mizan, 1992.


Syaikh Wahid Abdul Salam Bali, al-Sharim al-Battar fi Tashaddi li Saharat al-
Asrar, terjemahan, Jakarta: Rabbani

Press, 1995.
Suroso Orakas, White Magic, Pekalongan: Bahagia, 1989.
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Djakarta: Bulan Bintang, II, 1973.

Suyono Ariyono, Kamus Antropologi, Jakarta: Akademika Press, 1985.

T. Jacob, Manusia, Ilmu dan Teknologi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993.

Umar Hasyim, Setan Sebagai Tertuduh dalam Masalah Sihir, Takhayyul,


Pedukunan dan Azimat, Surabaya: Bina Ilmu, tt.

Webster’s New Twentith Century Dictionary of English Language,

1980.
Wahid Abdul Salam, Wiqayat al-Insan min al-Jinniy wa al- Syaithan, Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998.

Will Durant, The Story of Philosophy, New York: Simon and

Schuster, Inc., 1959.


William James, Encyclopedia of Philosophy, 1967. (?)
William James, Some Problems of Philosophy, New York: Longman, 1971.

Wajdi Muhammad al-Syahawi, Memanggil Roh dan Menaklukkan


Jin, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997.

Anda mungkin juga menyukai