Anda di halaman 1dari 35

TAFSIR AYAT AHKAM TENTANG

MAKANAN DAN MINUMAN


(Dalam Qs. Al-Baqrah Ayat 173, 219, Al-Maidah Ayat 3, Dan Al-
A’raf Ayat 157)

makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ayat Ahkam

Dosen Pembimbing :
Dr. H. M. Jamil, M. Ag
Dr. Armia, M. Ag.

Oleh :
SAHNAZ KARTIKA
NIM. 4001213032

PRODI HUKUM ISLAM


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................
B. Rumusan Masalah..........................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian makanan dan minuman.................................................
1. Pengertian Makanan.................................................................
2. Pengertian Minuman................................................................
B. Asbabun Nuzul Ayat tentang Makanan dan Minuman...................
C. Ayat-Ayat Berkenaan Makanan dan Minuman..............................
1. Tafsir Tentang Makanan Dalam QS. Al Baqarah ayat 173......
a. Makna Mufradat.................................................................
b. Asbabun Nuzul....................................................................
c. Tafsir Ayat..........................................................................
2. Tafsir Tentang Makanan Dalam QS. Al Maidah ayat 3...........
a. Makna Mufradat.................................................................
b. Asbabun Nuzul....................................................................
c. Tafsir Ayat..........................................................................
3. Tafsir Tentang Minuman Dalam QS. Al Baqarah ayat 219.....
a. Makna Mufradat.................................................................
b. Asbabun Nuzul....................................................................
c. Tafsir Ayat..........................................................................
4. Tafsir Tentang Makanan Dan Minuman Dalam
QS. Al-A’Raaf ayat 157...........................................................
a. Makna Mufradat.................................................................
b. Asbabun Nuzul...................................................................
c. Tafsir Ayat.........................................................................

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan....................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia memiliki beberapa kebutuhan primer. Salah satu kebutuhan
primer manusia adalah makanan dan minuman. Hidup manusia akan terancam jika
tidak makan dan minum dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian
pemenuhan kebutuhan manusia terhadap makanan dan minuman berkaitan erat
dengan pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs), pemeliharaan akal (hifz al-‘aql) dan
pemeliharaan harta (hifz al-mal) dalam maqasid al-syari’ah.
Dalam ajaran Islam, makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia
khususnya umat Islam tidaklah bebas namun harus selektif, yakni halal sesuai
petunjuk Allah dalam al-Qur’an dan penjelasan Nabi Muhammad SAW., dalam
hadis, serta baik, sehat (thayyib). Sighat yang digunakan al-Qur’an dan hadis
dalam menjelaskan makanan dan minuman haram dalam bentuk lafaz ‘amm.
Sehingga semua jenis makanan dan minuman yang tidak disebutkan dalam al-
Qur’an dan hadis tersebut memiliki kesamaan illat dengan makanan dan minuman
yang diharamkan dalam al-Qur’an dan hadis, bisa dikategorikan dengan hukum
haram pula berdasarkan metode qiyas.
Karena jenis makanan dan minuman mengalami perkembangan seiring
dengan perkembangan dan kemajuan peradaban manusia akibat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Misalkan masalah makan dan minuman, banyak
manusia atau orang yang makan dan minum mengikuti tren yang sedang ada
diwaktu itu. Dan sering kali kita lalai tentang halal atau haram makanan yang kita
makan.
Meskipun keragaman makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia
berbeda antar satu daerah atau negara dengan daerah atau negara lain namun
standar halal atau tidaknya makanan dan minuman tersebut bisa mengacu kepada
term yang diperkenalkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Apabila makanan kita terjaga
dari makanan yang diharamkan Allah SWT., atau dengan kata lain kita hanya
makan makanan yang dihalalkan Allah SWT., niscaya ridho Allah SWT., itu tidak
mustahil kita peroleh jika kita taat kepada-Nya. Tetapi sebaliknya, meskipun kita
taat, namun kita makan dari makanan yang haram yang bukan karena terpaksa,
maka akan sia-sialah usaha kita. Berdasarkan uraian di atas dalam tulisan ini akan
dikaji berbagai jenis makanan dan minuman dalam al-Qur’an beserta tafsirnya.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :

1. Apa pengertian makanan dan minuman ?

2. Bagaimana tafsir ayat ahkam berkenaan dengan makanan dan minuman ?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Makanan dan Minuman


1. Pengertian Makanan
Makanan menurut bahasa adalah terjemahan dari kata tha’am bentuk
tunggal dari athi’mah. Dalam bahsa Indonesia makanan berarti segala yang boleh
dimakan seperti panganan, lauk pauk, dan kue-kue.1 Menurut al-Khalil, seperti
dikutip oleh Ibnu Faris dan Ibnu Manzhur, penggunaan kata tha’am (makanan/
‫ )طعام‬dalam percakapan orang Arab dikhususkan pada gandum, seperti sabda Nabi
Saw dari Abi Said al Khudry tentang zakat fitrah ‫ صاع من طع?ام‬yang artinya 1
(satu) sha gandum. Menurut Ibnu Manzhur dan Ensiklopedia al-Qur’an, tha’am (
‫ )طعام‬adalah kata yang digunakan untuk semua jenis yang dimakan. Sebagian yang
lain berpendapat semua yang diairi lalu tumbuh, sebab itu tumbuh tanaman air
tersebut menurut Ibnu Katsir, semua yang termasuk dalam kategori biji-bijian
seperti gandum dan kurma.
Menurut al-Thabary, tha’am (‫ )طع???ام‬adalah apa yang dimakan dan
diminum.2 Sedangkan pengertian makanan menurut istilah adalah apa saja yang
dimakan oleh manusia dan disantap, baik berupa barang pangan, maupun yang
lainnya.3 Penggunaan kata tha’am (‫ )طع?ام‬dalam al-Qur’an bersifat umum, yakni
setiap yang dapat dimakan, baik makanan itu berasal dari darat dan laut, maupun
makanan yang belum diketahui hakikatnya. Dengan demikian kata al-tha’am (
‫“ )طع??ام‬makanan” adalah menunjukkan arti semua jenis yang biasa dicicipi
(makanan dan minuman). Makanan menurut al-Qur’an ada yang halal dan ada
yang haram.4
Makanan merupakan sumber protein yang berguna bagi manusia, yang
berasal dari hewan disebut protein hewani dan yang berasal dari tumbuh-

1
W.J.S. Poerwadaminta, Kamus UmumBahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976),
hlm. 623.
2
Tim Penyusun Ensiklopedia Al-Qur’an, Kajian Kosakata, Jilid III, (t.t: Lentera Hati,
2007), hlm. 994.
3
al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Jilid III, (al-Qahirah: Dar al-Kitab al-Islamiyah, t.th),
hlm. 246.
4
Tim Penyusun Ensiklopedia Al-Qur’an, Op.Cit., hlm. 994-1996.
tumbuhan disebut protein nabati. Semuanya merupakan karunia Allah SWT
kepada manusia. Oleh karena itu Islam tidak melarang manusia baik laki-laki
maupun wanita untuk menikmati kehidupan dunia, seperti makanan dan
minuman, sesuai dengan firman Allah SWT Surah Al-A’raaf ayat 31 yang
berbunyi :
‫۞ اَي بَيِن آ َد َم خ ُُذوا ِزينَتَمُك ْ ِع ْندَ لُك ِ ّ َم ْسجِ ٍد َولُك ُوا َوارْش َ بُوا َواَل تُرْس ِ فُوا ۚ ن َّ ُه اَل حُي ِ ُّب الْ ُمرْس ِ ِف َني‬
‫ِإ‬
Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
2. Pengertian Minuman
Minuman menurut bahasa adalah terjemahan dari kata syarab (‫)ش??راب‬
minuman. Syarab adalah nama dari sesuatu yang dapat diminum, yaitu segala
sesuatu yang ditidak dikunyah.5 Kata Syarab (‫ )ش??راب‬juga dipakai dalam arti
minuman yang memabukkan.6
Secara terminologi, kata syarab berarti sesuatu yang diminum, baik berupa
air biasa, maupun air yang sudah melalui proses pengolahan, yang sudah berubah
warna dan rasanya. Dalam al-Qur'an kata syarab digunakan dengan makna yang
sama, baik dalam konteks minuman dunia, maupun minuman akhirat. Dalam
kedua konteks ini dipahami, bahwa pada dasarnya maksud syarab atau minuman,
adalah makna lafzhi, yaitu benar-benar minuman.7
Dari uraian tentang pengertian makanan dan minuman, dapat disimpulkan,
bahwa di antara makanan dan minuman baik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan,
maupun dari hewan sudah ada ketetapan hukumnya, yaitu ada yang dihalalkan
dan ada yang diharamkan. Istilah makanan (‫ )طع???ام‬yang dihalalkan atau
diharamkan, sering digunakan dalam al-Qur'an dalam pengertian umum, meliputi
makanan dan minuman.

5
Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, Jilid III (t.t: Dar al-Ma’arid, t.th), hlm. 222.
6
Tim Penyusun Ensiklopedia Al-Qur’an, Op.Cit., hlm. 943.
7
Ibid,.
B. Ayat-Ayat Berkenaan Dengan Makanan dan Minuman
1. Makanan Dalam Q.S. Al-Baqarah Ayat 173

‫ا ٍد‬33َ‫ ُط َّر غَرْي َ اَب غٍ َواَل ع‬3‫ ِه ِل َغرْي ِ اهَّلل ِ ۖ فَ َم ِن ْاض‬3‫ن َّ َما َح َّر َم عَلَ ْيمُك ُ الْ َم ْي َت َة َوادلَّ َم َول َ ْح َم الْ ِخزْن ِ ي ِر َو َما ُأ ِه َّل ِب‬
‫ِإ‬
‫فَاَل مْث َ عَلَ ْي ِه ۚ َّن اهَّلل َ غَ ُف ٌور َر ِح ٌمي‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
a. Makna Mufradat
‫ الْ َم ْي َت َة‬: yaitu hewan apapun yang mati, yang semula kematiannya tersebut tidak
diakibatkan dibunuh atau tewas tanpa di sembelih.
‫ ادلَّ َم‬: (dan darah) yang mengalir.8 Hati dan limpa dikecualikan oleh ‘urf (adat
kebiasaan), maka keduanya halal.
‫ لَ ْح َم‬: (daging babi) Ijma’ telah menetapkan bahwa babi haram karena ainnya
(barang itu sendiri), maka seluruh bagian-bagiannya pun diharamkan.
ِ ‫ ُأ ِه َّل ِب ِه ِل َغرْي ِ اهَّلل‬:
(dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain
Allah). Seharusnya menyembeli untuk mengangkat suara
dengan keras, seperti mebgucapkan “labbaikallahumma
labbaik, labbaika la syarikalak labaik innal hamda
wanni’mata laka wal mulk la syarikalak.” Bacaan ini
ducapkan ketika haji atau umrah dengan meninggikan suara
membaca talbiyah. Bahwa orang-orang Arab, ketika ingin
menyembelih untuk mendekatkan diri kepada berhala-berhala
mereka, mereka menyebut nama berhala mereka dengan suara
yang keras ketika menyembelih hewan sembelihan mereka.
‫ اضْ ُط َّر‬: (dalam keadaan terpaksa (memakannya)), yaitu dalam keadaan darurat
yang mana keadaan darurat tersebut mengakibatkan memakan makanan
yang haram.9

8
Salim Bahreisy dan Said, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir, (Surabaya: PT Bina
Ilmu, 2002), hlm. 323.
9
Ahmad Muhammad Al-Hushari, Tafsir Ayat Ahkam, (Beirut: Dar Al-Jail), Terj.
Indonesia Abdurrahman Kasdi, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), hlm.
126.
ٍ‫ غَرْي َ اَب غ‬: (tidak menginginkannya) menurut Said Ibn Jubair tidak
menghalalkannya, sedangkan menurut Assadi bermakna bukan karena
memperturutkan selera ingin memakannya.10
‫ا ٍد‬33َ‫ َواَل ع‬: (dan tidak (pula) melampaui batas) dalam memakannya bila telah
menemukan yang halal. Manurut Ibnu Abbas ‫ا ٍد‬33َ‫ َواَل ع‬tidak boleh
sekenyangnya, sedangkan Assadi berpendapat bahwa makna ‫ا ٍد‬33َ‫َواَل ع‬
sama dengan al ‘udwan yang bermakna melampaui batas.11

b. Asbabun Nuzul
Penjelasan tentang makanan-makanan yang diharamkan tersebut
dikemukakan dalam konteks masyarakat jahiliyah, baik di Mekkah maupun di
Madinah yang memakannya. Mereka misalnya membolehkan memakan binatang
yang mati tanpa disembelih dengan alasan bahwa yang disembelih atau dicabut
nyawanya oleh manusia halal, maka haram yang dicabut sendiri oleh Allah?
Penjelasan tentang keburukan ini dilanjutkan dengan uraian ulang tentang
mereka yang menyembunyikan kebenaran-kebenaran, baik kebenaran Nabi
Muhammad, urusan kiblat, haji dan umroh maupun menyembunyikan atau akan
menyembunyikan tuntunan Allah menyangkut makanan. Orang-orang Yahudi
misalnya, menghalalkan hasil suap orang-orang Nasrani membenarkan sedikit
minuman keras, kendati dalam kehidupan sehari-hari tidak sedikit dari mereka
yang meminumnya dengan banyak.12
c. Tafsir Ayat
Menurut Rasyid Ridha, Allah mengharamkan bangkai hewan yang mati
dengan sendirinya karena berbahaya bagi kesehatan. Hewan mati dengan
sendirinya, tidak mati melainkan disebabkan oleh penyakit. Darah diharamkan,
karena darah itu adalah tempat yang paling baik untuk pertumbuhan bakteri-
bakteri. Darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir. Babi diharamkan,
karena babi itu jorok, makanannya yang paling lezat adalah kotoran dan najis. Dia
berbahaya bagi kesehatan, berbahaya untuk semua iklim, terutama di daerah
10
Abu Sari’ Muhammad Abu Hadi, Hukum Makanan dan Sembelihan Dalam Pandangan
Islam, (Jakarta: Tragenda Karya, 1997), hlm. 18.
11
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 2, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), hlm. 78.
12
Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaludin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, (Bandung:
Sinar Bara Algesindo, 1995), hlm. 87.
tropis, sebagaimana yang dibuktikan oleh berbagai eksperimen. Memakan
dagingnya termasuk salah satu penyebab adanya cacing yang mematikan dan
mempunyai pengaruh psikologis yang jelek terhadap kehormatan bagi orang yang
mengkonsumsinya.13
Ulama sepakat mengatakan bahwa semua bangkai diharamkan
berdasarkan firman Allah Q.S. al-Baqarah ayat 173 yang telah disebutkan diatas,
kecuali bangkai ikan dan belalang, berdasarkan hadis riwayat Imam Ahmad :
14
‫السمك واجلراد والطحال‬: ‫أحلت لنامیتتان ودمان‬
“Dihalalkan bagi kami dua macam bangkai dan dua macam darah, yaitu ikan
dan belalang, hati dan limpa.”
Dari uraian diatas nampaknya bahwa semua kriteria haramnya makanan
yang tercantum dalam Al-Qur'an itu semuanya meliputi hewan darat kecuali
bangkai hewan laut dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Ulama telah
sepakat mengatakan, bahwa haram hukumnya mengkonsumsi, atau menggunakan
bangkai hewan darat, tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukum
mengkonsumsi bangkai hewan laut. Dalam masalah ini terdapat tiga pendapat
ulama, yaitu bangkai ikan hukumnya halal semuanya. Imam Malik dan Imam
Syafi'i mengatakan bahwa bangkai binatang laut halal semuannya berdasarkan
sabda Rasulullah Saw ketika ditanyakan tentang hukum air laut, maka beliau
menjawab :
(15‫ھو الطھور ماؤه احلل میتتھ(رواه ماكل عن أىب ھریرة‬
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (H.R. Malik dari Abi
Hurairah)
Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa semua bangkai ikan
laut haram, berdasarkan ketentuan umum yang disebutkan dalam QS. Al-Maidah
ayat 3 yaitu diharamkan atas mu bangkai. Dalam ayat tersebut tidak dibedakan

13
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manaar, Jilid VI Cet. IV (Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1380 H),
hlm. 135-136.
14
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid II (t.t: Dar al-Fikr, t.th),
hlm. 97.
15
Imam Malik, al-Muwaththa’, Jilid I (t.t: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1951), hlm.
22.
antara bangkai hewan darat dan bangkai hewan laut. Diharamkan bangkai ikan
yang mengapung dan dihalalkan yang terbawa ke pantai berdasarkan hadis Nabi
SAW., yang diriwayatkan oleh Abu Daud :

16
‫ماألقى البحر أوجزر عنھ فلكوه وما طفا فال تألكوه‬: ‫قال رسول هللا صىل هللا علیھ وسمل‬
“Berkatalah Rasulullah SAW: Apa yang dilemparkan atau dibawa kepantai oleh
laut, maka makanlah dan apa yang mengapung, maka janganlah memakannya.”
Selanjutnya,berkenaan dengan hewan laut yang sama dengan hewan darat,
ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, seperti babi laut dan anjing laut,
apakah hewan-hewan tersebut tergolong halal atau haram?
Kelihatannya perbedaan pendapat ulama tentang hukum memakan hewan
laut tersebut berkisar pada persoalan, apakah sebutan babi dan anjing dari segi
bahasa dan syara' sudah mencakup babi dan anjing laut? Persoalan yang sama
juga mengenai hewan laut yang mempunyai persamaan nama, baik menurut
bahasa atau adat istiadat kebiasaan dengan hewan darat yang diharamkan, seperti
anjing bagi ulama yang menganggap haram. Tampaknya pembicaraan tentang
masalah ini dapat disoroti dari dua segi: Pertama, apakah sebutan itu menurut
pengertian bahasa? Kedua, apakah isim musytarak mempunyai keumuman atau
tidak? Karena sebutan babi dan anjing laut bisa juga dikatakan terhadap babi dan
anjing darat karena terdapat persamaan nama.
Dari uraian diatas dapat dikemukakan beberapa pendapat ulama dalam
masalah ini. Pertama, bagi fuqaha yang mengakui bahwa nama-nama tersebut
adalah nama dari segi bahasa dan berpendapat bahwa nama-nama musytarak
mempunyai persamaan nama dengan hewan darat. Kedua, Imam Malik, Ibnu Abu
Laila, al-Auzai, Mujahid dan Jumhur Ulama memakruhkan makan babi laut.
Ketiga, babi laut tidak boleh dimakan sama sekali. Pendapat ini dikemukakan oleh
al-Laits bin Sa'ad.
Al-Qurthubi menafsirkan Surat Al-Baqarah Ayat 173 mengenai firman
Allah SWT ‫( ادلَّ َم‬darah) pada ayat ini, para ulama sepakat bahwa darah itu

16
Ibnu ‘Asy’ats Sijistani, Sunan Abu Daud, Jilid II, Cet. I (Mesir: Mushthafa al-Baby al-
Halaby, 1952), hlm. 322.
hukumnya najis dan haram, tidak boleh dimakan, dan tidak dimanfaatkan dalam
bentuk apapun.17 Ibnu Khuwaizimandad berkata, “Adapun darah ini nyata dan
jelas sekali maka diharamkan, namun jika hanya sebagian kecilnya saja dan
hampir tidak nyata maka hukumnya di maafkan.” Contoh darah yang tidak jelas
adalah darah yang melekat pada daging. Dan jika darah yang tidak nyata ini
terkena badan atau pakaian, maka masih boleh dipakai untuk sholat. Adapun
Alasannya adalah karena Allah SWT berfirman ‫ َة َوادلَّ َم‬3 3‫ر َم عَلَ ْيمُك ُ الْ َم ْي َت‬3َّ 3‫“ َح‬diharamkan

bagimu (memakan) bangkai, darah.” Dan diayat lain Allah SWT berfirman:

َ ‫قُ ْل اَل َأجِ دُ يِف َما ُأويِح َ يَل َّ ُم َح َّر ًما عَىَل ٰ َطامِع ٍ ي َ ْط َع ُم ُه اَّل َأ ْن يَ ُك‬
‫ون َم ْي َت ًة َأ ْو َد ًما َم ْس ُفو ًحا‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
Artinya: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir.” (QS. Al-An’am: 145)
Maka jelas yang diharamkan disini adalah darah yang mengalir.
AlQurthubi mengatakan “pada ayat ini Allah SWT menyebutkan darah secara
mutlak,” lalu pada ayat lainnya Allah SWT mengikatnya dengan kata “yang
mengalir” lalu para ulama berijma’ untuk mengikat ayat pertama dengan ayat
yang kedua, dengan demikian darah yang dimaksudkan pada kedua ayat adalah
“darah yang mengalir”, karena ijma’ para ulama mengatakan bahwa darah yang
menempel pada daging tidak diharamkan. Begitu juga halnya dengan hati dan
limpa, para ulama pun sepakat bahwa keduanya tidak diharamkan.
Berbeda dengan darah ikan paus yang tidak melekat, para ulama sedikit
berbeda pendapat, sebuah riwayat dari Al Qabisi mengatakan bahwa darah
terssebut suci, dan karena kesuciannya itu ia tidak diharamkan. Pendapat ini juga
diamini oleh Ibnu Al Arabi, ia menambahkan “karena jika darah dari ikan ini
najis maka akan disyariatkan untuk menyembelihnya terlebih dahulu”. Pendapat
ini pula yang disampaikan oleh Abu Hanifah mengenai darah ikan paus, dan saya
pernah mendengar bahwa sebagian pengikut mazhab Hanafi mengatakan “bukti
bahwasanya darah ikan paus itu suci adalah, jika darah tersebut dikeringkan
maka darah itu akan berwarna putih, dengan darah lainnya, jika dikeringkan
17
Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi (Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an) Penerjemah,
Fathurrahman dan Ahmad Hotib, Cet. Ke-2 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2013), hlm. 510.
maka warnanya akan menghitam.” Ini landasan mereka dalam perbedaan
pendapat dengan mazhab Imam Syafi’i.
Buya Hamka, menafsirkan surah Al-Baqarah ayat 173, di dalam tafsir Al-
Azhar ‫ ادلَّ َم‬ialah sekalian macam darah walaupun darah binatang yang mati

dikarenakan disembelih. Minum darah atau makan darah yang telah dibekukan,
digulai atau digoreng, adalah kebiasaan orang yang belum maju dalam cara
makan; masih seperti manusia yang hidup digua batu pada zaman purba. 18
“Namun barang siapa yang terpaksa bukan melanggar dan bukan melampaui
batas maka tidak ada dosa atasnya”. terpaksa karena tidak ada lagi makanan yang
lain sehingga kalau tidak dimakan akan membawa kematian, pada waktu itu
diadakanlah rukhshah yaitu keizinan memakan yang terlarang itu, yaitu semata-
mata karena mempertahankan nyawa. Malahan kalau tidak dimakan sehingga
membawa kematian dikarenakan lapar, dan lagi tidak melampaui batas. Artinnya,
kalau sudah hilang lapar, segeralah hentikan dan jangan dimakan lagi.
“sesungguhnya, Allah adalah maha pengampun” atas orang yang terpaksa karena
itu lalu memakannya, dan “maha penyayang”, karena sayang kepada hambanya,
Allah tidak suka hamba-Nya itu mati kelaparan, padahal jalan buat
mempertahankan hidup masih ada.19
Menurut al-Maraghy, diharamkan daging babi, karena babi itu kotor dan
berbahaya bagi kesehatan, karena ia senang pada yang kotor. Adapun bahayanya,
ahli kedokteran kontemporer telah menetapkan, karena babi itu memakan yang
kotor, maka dapat melahirkan cacing pita dan cacing-cacing yang lainnya.
Demikian pula ahli kedokteran kontemporer menetapkan, bahwa daging babi itu
adalah daging yang paling susah dicerna, karena banyak mengandung lemak yang
dapat menghambat kelancaran pencernaan dan melelahkan pencernaan orang yang
mengkonsumsinya, sehingga perutnya merasa berat atau gembung dan membuat
jantungnya berdebar-debar, atau denyut jantungnya tidak teratur. Hanya dengan
muntah dapat meringankan bahaya atau mudharatnya, karena zat-zat yang kotor
itu dapat keluar melalui muntah. Kalau tidak, pencernaannya jadi bengkak dan

18
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid I (Jakarta: Gema Insani, 2015), hlm. 315.
19
Ibid., hlm. 316-317.
dapat menjadikan mencret.20 Di samping membahayakan kesehatan memakan
babi dapat mempengaruhi moral dan watak seseorang yang mengkonsumsinya
serta mempunyai pengaruh psikologis yang jelek terhadap kehormatannya.21
Ibnu Katsir mengatakan, bahwa daging babi diharamkan, baik jinak,
maupun yang liar. Kata daging mencakup segala aspeknya, daging, lemak dan
organ tubuh babi lainnya.22 ‘Ali As-Sabuni mengutip ayat ini secara harfiah
brtuliskan “daging babi” dan dari sini Dahiriyah berpendapat bahwa yang
diharamkan adalah dagingnya saja, tidak lemaknya. Sementara mayoritas ulama
mengharamkan daging dan lemaknya. Ini adalah pendapat yang benar. Disebutkan
dan dikhususkan ‘daging’ karena ingin mengharamkan ‘ain/fisiknya.23
Ar-Razi dalam tafsirnya menukilkan yang isinya seperti berikut ini :
Ijma’ ulama sepakat bahwa babi seluruh bagiannya adalah haram.
Disebutkan “daging” karena bagian adalah bagian besar dari apa yang
dimanfaatkan dari seekor binatang. Hal ini dikuatkan dengan perrnyataan al-
Qur’an pada pesan untuk meninggalkan berjualan saat adzan jum’at tiba.
Disebutkan jualan atau bai’, karena penjualan adalah aktivitas yang paling penting
bagi masyarakat Arab. Dikhususkan jualan, karena ia adalah tugas utama bangsa
Arab. Adapun rambut babi, tidak termasuk hal yang diharamkan, secara lahir.
Apakah rambutnya boleh digunakan untuk kuas? Imam Abu Hanifah dan
Muhammad membolehkan untuk menggunakan rambut babi untuk benang, Abu
Yusuf mengatakan makruh, dan disatu riwayat membolehkan, sementara pendapat
imam syafi’i tidak membolehkan. Alasan Abu Hanafiah bahwa umat Islam pada
masanya membolehkan para pendeta untuk menggunakan rambut babi karena
keperluan yang mendesak.24 Sebagian penganut Imam Syafi’i berpendapat babi
dikiaskan dengan anjing dalam posisi najis mughallazhah, yang harus disamak
tujuh kali bila dijilat. Sebagian lagi, (seperti Imam Malik) tidak melihat babi
sebagai najis mughallazhah.25

Sayyid at-Tantawi, dalam tafsir al-Wasid dan Wahbah dalam al-Munir


berpendapat sama seperti pendapat mayoritas ulama klasik bahwa yang

20
Al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy, Jilid VI, (Mesir: Mustafa al-Baby al-Halaby, 1394
H/1974 M), hlm. 48.
21
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manaar, Jilid VI, (Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1380 H), hlm.
136-135.
22
Ibnu Katsir, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid II Terj. Syihabuddin, (Jakarta: Gema
Insani, 1999), hlm. 17.
23
Muhammad, Ali as-Sabuni, Tafsir Ayat Ahkam, Vol. 1, (Kairo: al-Hayah al-Mishriyah,
1990), hlm. 160.
24
Fakhr ad-Din Ar-Razi, Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, Juz. 5, (Beirut: Dar al-fikr,
1981), hlm. 22.
25
Fahr ad-Din Ar-Razi, Op.Cit., Juz. 5, hlm. 23.
diharamkan seluruh bagian babi, karena ketika disebutkan hanya daging, karena
daging adalah tujuan utama dari memakan hewan.26 Seluruh bagian babi
mengikuti daging. Sebagian ulama membolehkan menggunakan rambut babi
sebagai benang untuk menjahit kulit.27
Sayyid Qutb (w. 1966 M) dalam dilal nya mengatakan bahwa babi itu
telah diharamkan Allah SWT sejak lama, karena kemudian manusia modern
menemukan didalamnya cacing pita berbahaya. Jika ada yang mengatakan bahwa
sains modern dapat membuat pembakaran hingga membunuh mati cacing pita
didalamnya, apakah ia menjadi halal? Tentu tidak, karena didalamnya mungkin
masih banyak bahaya yang belum ditemukan manusia. Apakah tidak sebaiknya,
jika kita mengharamkan apa yang diharamkan oleh syariah?28
Ada juga ulama yang absen dalam mengomentari daging babi apakah
dagingnya saja atau termasuk didalamnya seluruh bagian dari babi. Mereka yang
tidak membahas tentang hal ini diantaranya Ibnu ‘Abbas (w. 68 H) 29 dan Rasyid
Rida (w. 1354 H)30.
Selanjutnya berkenaan dengan keharaman binatang yang disembelih atas
nama selain Allah, menurut Ibnu Katsir adalah jika beralih dari nama-Nya kepada
penyebutan nama lain, seperti nama berhala, thaghut, patung, atau atas nama
makhluk lainnya, maka sembelihan itu haram menurut ijma’, tetapi binatang yang
ketika disembelih tidak membaca basmalah, ulama berbeda pendapat dalam
menetapkan hukumnya.31
Imam Qurtubi menyebutkan suatu riwayat dari Ibnu Atiyyah, yang Ibnu
Atiyyah pernah menukil dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa ia pernah ditanya
mengenai seorang wanita yang mengadakan pesta perkawinan buat bonekanya,

26
Ala’ad-Din Al-Khazin, Lubab at-Ta’wil fi Maani at-Tanzil, Juz 1, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1415 H), hlm. 102. Lihat juga Syaukani, Fath al-Qadir, Juz 1, hlm. 219.
27
Sayid at-Tantawi, Tafsir al-Washid, Juz 1, Maktabah Syamilah, hlm. 276. Lihat juga
Wahbah Az-Zuhaili, al-Munir, Juz 2, hlm. 85.
28
Sayid Qutb¸Dzilal al-Qur’an, Juz 1, (Kairo: Dar asy-Syurq) hlm. 128. Lihat juga Abu
Zahrah, Zahrah at-Tafsir, Juz. 1, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi), hlm. 509.
29
Ibnu Abbas, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, Juz 1, (Libanon: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah), hlm. 128.
30
Muhammad Rasyid Rida, al-Mannar, Juz 2, (Kairo: al-Hayah al-Mishriyah, 1990), hlm.
79.
31
Ibid., hlm. 18.
lalu wanita itu menyembelih seekor unta untuk pesta tersebut. Maka Al-Hasan Al-
Basri mengatakan bahwa daging unta tersebut tidak boleh dimakan karena
disembelih untuk berhala. Imam Qurtubi mengetengahkan pula sebuah as'ar dari
Siti Aisyah r.a., bahwa Siti Aisyah pernah ditanya mengenai hewan yang
disembelih oleh orang-orang 'ajam (selain bangsa Arab) untuk hari perayaan
mereka, lalu mereka menghadiahkan sebagiannya kepada kaum muslim. Maka
Siti Aisyah r.a. menjawab, “Hewan yang disembelih untuk merayakan hari
tersebut tidak boleh kalian makan, dan kalian hanya boleh makan buah-
buahannya." Selanjutnya Allah SWT., memperbolehkan makan semua yang
disebutkan tadi dalam keadaan darurat dan sangat diperlukan bila makanan yang
lainnya tidak didapati.32 Untuk itu Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah
ayat 173 :
ۚ ‫فَ َم ِن اضْ ُط َّر غَرْي َ اَب غٍ َواَل عَا ٍد فَاَل مْث َ عَلَ ْي ِه‬...
‫ِإ‬
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya.”
‫َّن اهَّلل َ غَ ُف ٌور َر ِح ٌمي‬
‫ِإ‬
“Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
As-Saddi mengatakan bahwa gaira bagin artinya bukan karena
memperturutkan selera ingin memakannya. Adam ibnu Abi Iyas mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Damrah, dari Usman ibnu Ata (yakni Al-
Khurrasani), dari ayahnya yang mengatakan bahwa “seseorang tidak boleh
memanggang sebagian dari bangkai itu untuk membuatnya berselera
memakannya, tidak boleh pula memasaknya serta tidak boleh memakannya
kecuali hanya sedikit, tetapi ia boleh membawanya sampai ia dapat menemukan
makanan yang halal. Apabila ia telah menemukan makanan yang halal, ia harus
membuangnya.” Demikianlah yang dimaksud oleh firman-Nya, “wala 'adin”

32
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Jilid I. Tahqiq Sami Ahmad Salamah, (Riyadh:
Daru al-Thaybah, Lil Nasyr wa al-Tauzi’, 1999), hlm. 481.
yakni tidak boleh melampaui batas dalam memakannya bila telah menemukan
yang halal.33
Ulama’ masih berselisih tentang orang yang dalam keadaan terpaksa,
apakah dia boleh makan bangkai hingga kenyang atau menghilangkan rasa lapar
saja? Imam Malik berpendapat boleh makan sampai kenyang, sebab keadaan
terpaksa itu telah menghilangkan keharaman sehingga kembalilah hukum bangkai
itu menjadi halal. Sedang Jumhur berpendapat tidak boleh, karena kebolehan itu
hanya dalam keadaan terpaksa, maka harus diukur menurut keperluannya saja.
Adapun penyebab timbulnya perbedaan pendapat ini ialah berdasarkan
Q.S. al-Baqarah: 173 “Sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula
melampaui batas (pada kadar benda yang dimakan itu.)” Di sini Jumhur
menafsirkan ghaira ‘adin sebagai “tidak menginginkan makan bangkai tanpa
didesak oleh keadaan” dan wala ‘adin sebagai “ tidak melampaui batas keadaan
darurat”. Dan Imam Malik menafsirkan sebagai “tidak durhaka dan memusuhi
imam”. Demikianlah pendapat masing-masing denga alasan-alasannya.34
Dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa makna wala 'adin ialah tidak boleh
sekenyangnya. Sedangkan As-Saddi menafsirkannya dengan makna al-'udwan,
yakni melampaui batas. Disebutkan pula dari Ibnu Abbas bahwa gaira bagin
yakni tidak menginginkan bangkai tersebut, wala 'adin artinya dan tidak
melampaui batas dalam memakannya. Qatadah mengatakan bahwa gaira bagin
artinya tidak menginginkan bangkai tersebut, yakni ketika keadaan memaksanya
untuk memakan bangkai, ia memakannya tidak melampaui batas garis-garis yang
dihalalkan sampai kepada batas yang diharamkan, padahal ia mempunyai jalan
keluar dari itu. Al-Qurtubi meriwayatkan dari Mujahid “yakni dipaksa untuk
memakannya tanpa ada kemauan dari dirinya sendiri.”
Muqatil Ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya
“maka tidak ada dosa baginya”, yakni tidak ada dosa baginya karena memakan
makanan itu, sebab dia dalam keadaan terpaksa. Telah sampai kepada kami suatu
riwayat hanya Allah Yang Mengetahui bahwa makanan tersebut tidak boleh lebih
33
Ibid., hlm. 482.
34
AL-Shabuni, Tafsir Min Ayatil Ahkam Minal Qur’an, Jilid I, (Kairo, Daru al-Shabuni,
t.th), hlm. 117.
dari tiga suap. Menurut Sa'id ibnu Jubair, makna ayat adalah sebagai berikut:
“Allah Maha Pengampun terhadap apa yang telah dimakannya dari barang yang
haram, lagi Maha Penyayang karena Dia telah menghalalkan baginya barang yang
haram dalam keadaan terpaksa.”35

2. Makanan Dalam Q.S. al-Maidah Ayat 3

‫ ُة‬3 َ ‫و َذ ُة َوالْ ُمرَت َ ِ ّدي‬33ُ‫ُح ّ ِر َم ْت عَلَ ْيمُك ُ الْ َم ْي َت ُة َوادلَّ ُم َول َ ْح ُم الْ ِخزْن ِ ي ِر َو َما ُأ ِه َّل ِل َغرْي ِ اهَّلل ِ ِب ِه َوالْ ُم ْن َخ ِن َق ُة َوالْ َم ْوق‬
ْ ‫ ُموا اِب َأْل ْزاَل ِم ۚ َذٰ ِلمُك‬3‫ ِب َوَأ ْن ت َ ْس َت ْق ِس‬3‫ا ُذب َِح عَىَل النُّ ُص‬33‫ا َذكَّ ْيمُت ْ َو َم‬33‫الس ُب ُع اَّل َم‬ َّ َ ‫ا َألَك‬33‫ ُة َو َم‬3‫َوالنَّ ِطي َح‬
‫ِإ‬
ْ ‫و َم َأمْك َلْ ُت لَمُك ْ ِدينَمُك‬3ْ 3 ‫ ْو ِن ۚ الْ َي‬33‫ ْومُه ْ َوا ْخ َش‬33‫روا ِم ْن ِدي ِنمُك ْ فَاَل خَت ْ َش‬3ُ 3 ‫و َم يَِئ َس اذَّل ِ َين َك َف‬3ْ 3 ‫قٌ ۗ الْ َي‬33‫ِف ْس‬
ۙ ٍ ‫ ا ِن ٍف مْث‬3‫ ٍة غَرْي َ ُمتَ َج‬3‫ ُط َّر يِف َمخْ َم َص‬3‫ا ۚ فَ َم ِن ْاض‬33ً‫اَل َم ِدين‬3‫يت لَمُك ُ ا ْس‬ ُ 3‫َوَأتْ َم ْم ُت عَلَ ْيمُك ْ ِن ْع َميِت َو َر ِض‬
‫ِإِل‬ ‫ِإْل‬
‫فَ َّن اهَّلل َ غَ ُف ٌور َر ِح ٌمي‬
‫ِإ‬
Artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul,
yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat
kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.
Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib
dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah
putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada
mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan
tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
a. Makna Mufradat
‫ الْ ُم ْن َخ ِن َق ُة‬: hewan atau binatang yang mati karena tercekik, baik dengan tangan, tali,
atau lainnya. Hewan/binatang tercekik mengakibatkan tertahannya
35
Ibid,.
darah pada bagian-bagian tubuh, pada akhirnya mengakibatkan
dagingnya keras dan membahayakan bagi yang memakannya.
‫ الْ َم ْوقُو َذ ُة‬: hewan yang dipukul dengan suatu benda, misalnya besi, palu, bambu,
dan sebagainya sampai mati.
‫ الْ ُمرَت َ ِ ّدي َ ُة‬: hewan/binatang yang jatuh dari tempat tinggi sehingga mati. Menurut
Ibn Abbas, hewan/binatang yang jatuh dari gunung, Qatadah
mengatakan yang jatuh ke dalam sumur, semnetara al-Suddi
mengatakan bisa saja dari keduanya.
‫ النَّ ِطي َح ُة‬: hewan/binatang yang ditanduk oleh hewan lain.
b. Asbabun Nuzul
Diriwayatkan oleh Ibn Mandah di dalam kitab Ash-Shahaabah, dari
‘Abdullāh bin Jabalah bin Ḥibbān bin Hajar, dari ayahnya, yang bersumber dari
kakeknya (Hibban bin Hajar), dia berkata “Pada suatu ketika kami bersama
Rasulullah SAW, lalu saya menyalakan api untuk memasak daging bangkai
di dalam panci. Lalu Allah menurunkan firman-Nya yang terdapat dalam QS. Al-
Maa’idah: 3 tentang pengharaman bangkai, maka panci itu pun saya tumpahkan.36
c. Tafsir Ayat
Secara terperinci ayat tersebut menjelaskan, bahwa binatang ternak yang
diharamkan itu adalah darah, bangkai, daging babi, yang disembelih untuk berhala
atau yang disebut selain asma Allah, yang mati karena dicekik, yang mati karena
dipukul, yang mati karena jatuh, yang mati karena ditanduk dan yang mati karena
diterkam oleh binatang-binatang buas, yaitu binatang yang bertaring dan berkuku,
seperti serigala dan macan. Kemudian binatang yang jatuh, yang ditanduk dan
yang diterkam binatang buas, itu oleh Allah SWT sendiri dikecualikan kalau
binatang itu dijumpai oleh seseorang masih bernyawa (hidup) lalu disembelihnya
menurut syara’. Banyak analisis yang dikemukakan oleh ulama dan ilmuan
tentang sebab-sebab diharamkan apa yang disebut dalam surah al-maidah ayat 3
ini.
1) Bangkai
Bangkai adalah segala sesuatu yang mati dan baunya menyengat tidak
disembelih, baik dengan cara dicekik, dipukul, jatuh, ditanduk atau diterkam

36
Jalaluddin Abu al-Fadl ‘Abdur Rahman bin Abu Bakar al-Suyun, Sebab Turunnya Ayat
al-Qur’an, trj. Tim Abdul Hayyie, (Jakarta: Gema Insani Press, 1430 H/2009 M), hlm. 214.
binatang buas.37 Bangkai di sini meliputi binatang yang halal dimakan dagingnya,
seperti sapi, domba, unta, dan lain-lain. Bangkai diharamkan karena kematiannya
dikhawatirkan akibat penyakit yang diidap, sehingga memakannya dapat
menularkan kuman penyakit itu. Waktu kematian binatang sering kali tidak
diketahui secara pasti sehingga boleh jadi kematiannya sudah sedemikian lama.
Maka demi kehati-hatian, ditetapkanlah hukum yang bersifat umum, yakni semua
bangkai, kapan pun kematiannya, kecuali yang dihalalkan oleh Rasulullah saw.
yaitu bangkai ikan dan belalang.38
2) Darah
Syariat Islam menegaskan bahwa darah haram untuk diminum. Menurut
M. Quraish Shihab, “darah yang mengalir diharamkan agaknya karena aromanya
membusuk apabila terkena udara dan karena ia mengalir ke seluruh tubuh dengan
membawa kuman-kuman yang terdapat dalam tubuh. Bahkan, juga karena ia
memberi pengaruh negatif pada perilaku manusia. Konon, para pembunuh dan
pelaku kriminal seringkali meminum darah atau menggunakannya dengan satu
dan lain cara sebelum melaksanakan kejahatannya.39 Ini dilakukan agar jiwanya
tidak ragu dan tidak pula cemas ketika melangkah dalam kejahatannya.
Pengharaman darah ditegaskan juga dalam surat al-An’am ayat 145 :

َ ‫ ُه اَّل َأ ْن يَ ُك‬3‫ط امِع ٍ ي َ ْط َع ُم‬3َ ٰ ‫قُ ْل اَل َأجِ دُ يِف َما ُأويِح َ يَل َّ ُم َح َّر ًما عَىَل‬
‫ ٍر‬3‫ ُفو ًحا َأ ْو لَ ْح َم ِخزْن ِ ي‬3‫ا َم ْس‬3‫ ًة َأ ْو َد ًم‬3‫ون َم ْي َت‬3
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫فَ ن َّ ُه ِر ْج ٌس َأ ْو ِف ْسقًا ُأ ِه َّل ِل َغرْي ِ اهَّلل ِ ِب ِه ۚ فَ َم ِن اضْ ُط َّر غَرْي َ اَب غٍ َواَل عَا ٍد فَ َّن َرب َّ َك غَ ُف ٌور َر ِح ٌمي‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬

Artinya: Katakanlah "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan


kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi
karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak

37
Muhammad ‘Abdul Athi Buhairi, Nida’at al-Rahman li Ahl al-Iman, (Kairo: al-
Maktabah al-Tauqitiyah), edisi bahasa Indonesia oleh Abdurrahman Kasdi dan Umma Farida,
Tafsir Ayat-Ayat Yaa Ayyuhal-Ladzina Amanu (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, Cet, 2, 2012), hlm. 40.
38
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Vol.
3, (Jakarta: Lentera Hati, Cet. I, 2017), hlm. 22-23.
39
M. Quraish Shihab, Op.Cit.
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Bangkai dan darah merupakan dua hal yang ditolak oleh jiwa sehat
manusia. Bangkai hukumnya haram dimakan kecuali bangkai ikan dan belalang.
Demikian juga dengan darah, hukumnya haram kecuali darah hati dan limpa.
Bangkai binatang merupakan tempat yang subur bagi tumbuhnya sejumlah
mikroba. Di antara mikroba ini bisa menyebabkan penyakit berbahaya bagi
manusia, bahkan bisa menjadi racun yang dapat membunuh mereka. Racun ini
terkadang tidak akan hilang hanya dengan dimasak. Demikian juga darah, yang
menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya mikroba. Bahkan para ahli bakteri,
apabila hendak mengembangbiakkan mikroba tertentu, mereka akan memberi
darah sebagai nutrisi. Keberadaan darah dalam tubuh hewan bangkai membantu
tumbuhnya mikroba dalam tubuh dan dapat mempercepat rusak atau busuknya
daging.
3) Daging Babi
Maksud babi di sini adalah semua jenis babi, baik babi hutan atau liar
maupun yang diternak. Babi dinilai mengidap sekian banyak jenis kuman dan
cacing yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Tenasolium merupakan
salah satu nama cacing yang berkembang biak dalam pencernaan, yang
panjangnya dapat mencapai delapan meter. Pada tahun 1968, ditemukan jenis
kuman yang merupakan penyebab kematian sekian banyak pasien di Belanda dan
Denmark. Lemak babi mengandung apa yang diistilahkan sementara oleh dokter
dengan complicated fats, antara lain triglyceride, dan dagingnya mengandung
kolesterol yang sangat tinggi, mencapai lima belas kali lipat lebih banyak daripada
daging sapi. Dalam Encyclopedia Americana, dijelaskan perbandingan antara
kadar lemak yang terdapat pada babi, domba, dan kerbau. Dalam kadar berat
yang sama, babi mengandung 50% (lima puluh persen) lemak, domba 17%
(tujuh belas persen), dan kerbau tidak lebih dari 5% (lima persen).40
Babi merupakan hewan yang sangat kotor, biasanya memakan segala
sesuatu yang diberikan kepadanya, baik kotoran maupun bangkai, bahkan

40
M. QurShihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 3, hlm. 23.
kotorannya sendiri atau kotoran manusia akan dimakan. Babi memiliki tabiat
malas, tidak suka cahaya matahari, tidak suka berjalan-jalan, sangat suka
makan dan minum, memiliki sifat yang paling tamak. Semakin bertambah usia,
babi akan semakin bodoh dan malas, tidak memiliki kehendak dan berjuang,
bahkan untuk membela diri sendiri saja enggan.41
Babi tidak layak dikonsumsi dan banyak menimbulkan penyakit pada
manusia. Ada delapan parasit yang terdapat pada babi, yaitu cacing tenia solium,
cacing trichinila spiralis, cacing schistosoma japonicum, fasciolepsis buski,
cacing ascaris, cacing anklestoma, calonorchis sinensis, cacing paragonimus,
swine erysipelas.42 Daging babi merupakan daging yang sulit dicerna karena
banyak mengandung zat lemak, yang biasa menyebabkan timbulnya beberapa
jenis penyakit, seperti penyakit mengerasnya dinding-dinding pembuluh,
meningkatnya tekanan darah, serangan jantung, dan radang persendian.43
4) Binatang yang Disembelih Untuk Berhala
Allah swt. mengharamkan untuk manusia memakan daging hewan atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah, seperti patung dan berhala,
sebagaimana yang biasa terjadi pada kaum Jahiliyah ketika menyembelih
binatang. Al-Qurṭubī mengutip sebuah riwayat dari ‘Āisyah (w. 58 H) ketika
ditanya tentang daging sembelihan orang-orang non-muslim pada perayaan-
perayaan yang mereka selenggarakan, dan menghadiahkan kepada umat Islam.
‘Aisyah menjawab; “apa yang disembelih pada hari itu, janganlah kamu
memakannya, tetapi makanlah makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan
mereka.”44
Menurut Ibnu Rusyd, penyembelihan hewan dengan menyebut nama
selain Allah diharamkan demi menjaga kemurnian tauhid. Adapun hewan yang
dicekik, yang dipukul dengan tongkat, yang terjatuh dari tempat yang tinggi, yang
ditanduk oleh binatang lain dan yang terlukai oleh binatang buas, maka hukumnya
41
Abdul Basith Muhammad As-Sayyid, Pola Makan Rasulullah: Makanan Sehat
Berkualitas Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, trj. M. Abdul Ghoffar dan H.M. Iqbal Haetami
(Jakarta: Penerbit Almahira, cet-IV, 2009), hlm. 213.
42
Ibid., hlm. 41-42.
43
Ibid,.
44
Muhammad ‘Abdul Athi Buhairi, Tafsir Ayat-Ayat Ya Ayyuhal-Ladzina Amanu, hlm.
42.
disamakan dengan bangkai tanpa diperselisihkan lagi, kecuali binatang tersebut
sempat disembelih sebelum mati.45
Makna dari “Kecuali yang sempat kamu menyembelihnya.” Ahli-ahli fiqh
kemudian berbeda pendapat dalam kasus ini, apakah bisa jadi halal macam-
macam binatang yang sudah dihukumi sebagai bangkai? Madzhab Hanafiyah
berpendapat bahwa hewan yang dijumpai masih ada tanda-tanda hidup, misalnya
ekornya masih bergerak-gerak, atau kakinya masih meronta-ronta, kemudian
disembeli tetap hukumnya halal. Tetapi sebagian mereka mempersyaratkan bahwa
hidupnya itu harus masih berlangsung, yakni tidak hilang dengan sekejap.
Sedangkan tanda-tandanya sesudah disembelih masih tetap bergerak, bukan
sekedar waktu disembeli itu saja.46
Diriwayatkan dari Imam Malik “kalau sangkaan kita itu lebih berat,
bahwa ia sudah mati, maka binatang itu sudah tidak halal lagi walaupun sudah
disembelih.” Tetapi diriwayatkan juga dalam perkataannya yang lain persis seperti
pendapat Syafi’iyah dan Hanafiyah yaitu “binatang itu tetap halal, walaupun
ketika disembelih itu dijumpai hidupnya tinggal sekejap.”
Adapun sebab terjadinya perbedaan pendapat tersebut, berkisar pada
kalimat “kecuali apa-apa yang kamu sembelih”, apakah ini istitsna’ muttashil
ataukah mungqathi’ (pengecualian yang bersambung ataukah putus?). Orang yang
berpendapat muttashil, berarti mengecualikan hukum haram, yang dimaksud
dalam ayat “kecuali kamu jumpai binatang itu masih ada sisa umur dan kamu
sempat menyembelihnya, maka binatang itu halal kamu makan.”
Sedangkan yang berpendapat mungqathi’, maka yang dikecualikan itu
adalah mengharamkannya, bukan binatang-binatang yang haram itu sendiri, yang
dimaksud dalam ayat “diharamkan atas kamu semua yang tersebut.” Tetapi
binatang yang kamu sembelih dari binatang-binatang yang memang telah
dihalalkan Allah dengan cara penyembelihan itu, menjadi halal bagimu.
Maka yang benar adalah istitsna’ muttashil, sebab seandainya ada binatang
yang jatuh dan belum mati, kemudian disembelih beberapa hari kemudian, maka
45
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Jilid I, Cet. 3 (Mesir:
Mushthafah al-Baby al-Halaby, 1960), hlm. 464.
46
al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Juz 6, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th), hlm. 58.
jelas binatang itu halal dimakan dengan kesepakatan para ‘ulama. Sedangkan
istitsna’ muttashil (yang ada hubungannya) dengan apa yang lalu itu, kembalinya
kepada lima macam binatang yaitu yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan yang disergap binatang buas. Demikian pendapat ‘Ali Ibnu ‘Abbas
dan al-Hasan.47
Cara penyembelihan menurut syara’, Maliki berkata “penyembelihan tidak
sah kecuali leher dan nadinya terputus”; Syafi’i berkata “penyembelihan
dipandang sah yaitu dengan memotong kerongkongan, tidak perlu memotong dua
urat leher karena kedua urat itu saluran makanan dan minuman”; Abu Hanifah
berkata “cukup memotong kerongkongan serta salah satu urat leher”.
Sehingga hanya pendapat Abu Hanifah dan Malik yang menilai kematian
itu harus dipandang dari segi baik dagingnya, sehingga dari situlah dapat
dibedakan antara daging yang halal dan yang haram. Dan yang demikian itu
adalah dengan dipotong urat leher, dimana darah itu mengalir, berdasarkan sabda
Nabi SAW. : “Binatang yang darahnya telah mengalir dan disebutnya asma
Allah, maka makanlah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ashabus Sunan).
Adapun alat yang dipergunakan adalah semua yang dapat mengalirkan
darah itu serta dapat memutus urat leher, kecuali memperkenankan menyembelih
dengan tulang dan kuku. Namun hanya Abu Hanifah yang memperkenankan
menyembelih dengan tulang dan kuku, apabila kedua alat itu memang sangat
dibutuhkan.48
Keharaman makanan yang disebutkan Allah dalam surah al-Maidah ayat 3
tersebut dapat disimpulkan bahwa semua yang diharamkan atau dilarang dalam
agama Islam, pasti ada mudharatnya dan bahayanya, walaupun baru sebagiannya
dapat dibuktikan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu dan sebagiannya belum
dapat dibuktikan atau diketahui oleh manusia, karena pengetahuan manusia itu
terbatas, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Isra ayat 85 :
‫وح ِم ْن َأ ْم ِر َريِّب َو َما ُأو ِتيمُت ْ ِم َن الْ ِعمْل ِ اَّل قَ ِلياًل‬
ُ ‫َوي َْسَألُون ََك َع ِن ُّالروحِ ۖ قُلِ ُّالر‬
‫ِإ‬
47
Mu’ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni,
(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983), hlm. 471-472.
48
Ibid., hlm. 472-473.
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit.”

3. Minuman Dalam Q.S. Al-Baqarah Ayat 219

ۗ ‫ا‬33‫ا َأ ْكرَب ُ ِم ْن ن َ ْف ِعهِ َم‬33‫ا ِف ُع ِللنَّ ِاس َو ثْ ُمهُ َم‬33َ‫ريٌ َو َمن‬33‫ا مْث ٌ َك ِب‬33‫ل ِف ِهي َم‬3ْ 3ُ‫َألُون ََك َع ِن الْ َخمْ ِر َوالْ َميْرِس ِ ۖ ق‬3‫۞ ي َْس‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫ون‬َ ‫ون قُ ِل الْ َع ْف َو ۗ َك َ ٰذكِل َ ي ُ َبنِّي ُ اهَّلل ُ لَمُك ُ اآْلاَي ِت ل َ َعلَّمُك ْ تَ َت َفكَّ ُر‬
َ ‫َوي َْسَألُون ََك َما َذا يُ ْن ِف ُق‬
artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:
"Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya
kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan".
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu
berfikir.”

a. Makna Mufradat
‫ الْ َخ ْم ِر‬: (khamar) adalah minuman yang dapat memabukkan yang dapat menutupi
akal sehat.49 Para ulama berbeda pendapat tentang makna khamr, Abu
Hanifa membatasinya pada air anggur yang diolah dengan memasakknya
sampai mendidih dan mengeluarkan busa, kemudian dibiarkan hingga
menjernih. Yang ini, hukumnya haram untuk diteguk sedikit atau banyak,
memabukkan atau tidak. Adapun selainnya, seperti perasan aneka buah-
buahan yang berpotensi memabukkan atau mengandung alkohol yang
berpotensi memabukkan, maka ia dalam pandangan Abu Hanifah tidak
dinamakan khamr. Pendapat ini ditolak oleh ulama-ulama mazhab
lainnya yakni Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Hambali
berpendapat bahwa apapun yang apabila diminum atau digunakan dalam
kadar normal oleh seseorang yang normal lalu memabukkan baik itu dari
perasan anggur, kurma, gandum ataupun dari bahan lainnya, maka ia
adalah khamr.50

‫ا ِف ُع ِللنَّ ِاس‬33َ‫ريٌ َو َمن‬33‫ا مْث ٌ َك ِب‬33‫ل ِف ِهي َم‬3ْ 3‫ ُق‬: (pada keduanya terdapat dosa yang besar dan
‫ِإ‬ beberapa manfaat bagi semuanya). Adapun
49
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, (Bandung:
Sinar Baru Algesindo, 2009), hlm. 470.
50
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Rawi’ul Bayan: Tafsir Ayat-Ayat Hukum,
(Semarang:Asy-Syifa, 1994), hlm. 434.
mengenai dosa kedua perbuatan tersebut
merupakan peraturan agama, sedangkan
manfaatnya dari sisi keduniaan , dilihat dari segi
kemanfaatannya bagi badan, yaitu,
memudahkan pencernaan makanan,
mengeluarkan angin yang belebihan,
mengumpulkan sebagian lemak dan rasa mabuk
yang memusingkan , sebagaimana yang
dikatakan oleh Hasan bin Tsabit dalam salah
satu syairnya pada masa jahiliyah: “Kami
meminum khamar, dan khamar menjadikan
kami bagaikan raja-raja dan singa-singa yang
tidak takut pertempuran(pemberani).”

‫ا َأ ْكرَب ُ ِم ْن ن َ ْف ِعهِ َما‬33‫ َو ثْ ُمهُ َم‬: (tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya) oleh
‫ِإ‬ sebab itulah ayat ini merupakan pengantar pengharaman
khamer secara mutlak, tidak secara terus terang, akan
tetapi berupa sindiran.
b. Asbabun Nuzul
Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau berkata:
Rasulullah SAW mendatangi Kota Madinah sedangkan mereka (penduduk
Madinah) dalam keadaan meminum minuman keras (khamr) dan memakan hasil
judi, lantas mereka menanyakan perihal kedua perkara ini kepada Rasulullah
SAW, maka turunlah ayat tersebut. Lalu mereka berkata: “Hal itu tidak
diharamkan kepada kita”, Allah sesungguhnya berfirman “(adalah) dosa yang
besar”, dan merekapun meminum meminum khamar hingga suatu ketika salah
satu kaum muhajirin sholat dan megimani sholat maghrib lalu berbuat kesalahan
dalam bacaan sholatnya, maka Allah SWT menurnkan ayat yang lebih tegas dari
sebelumnya yitu QS. An-Nisaa’: 43, kemudian turunlah ayat lain yang lebih keras
darinya yakni QS. al-Ma’idah: 90-91, merekapun berkata: “Tuhan kita (sungguh)
telah melarang kita”.51 Pelarangan khamr dilakukan secara bertahap, mulai dari
paling ringan terus meningkat kepada larangan yang bersifat qath’i (pasti) yang
tidak dapat ditawar lagi.
Bahwa segolongan sahabat, ketika diperintah untuk membelanjakan harta
di jalan Allah Ta’ala, datang menghadap Rasulullah SAW., dan berkata: “Kami

51
Al-Maroghy, Tafsir Al-Maroghy Juz 2, hlm. 138.
tidak mengetahui perintah infak yang bagaimana dan harta yang mana yang harus
kami keluarkan itu?” Maka Allah SWT., menurunkan ayat ini yang menegaskan
bahwa yang harus dikeluarkan nafkahnya itu adalah selebihnya dari keperluan
hidup sehari-hari.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Sa’id atau Ikrimah,
yang bersumber dari Ibnu Abbas).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah
menghadap Rasulullah SAW., dan bertanya: “Ya Rasulullah, kami mempunyai
banyak hamba sahaya dan banyak pula anggota keluarga. Harta mana yang harus
kami keluarkan untuk infak?”. katakanlah “yang lebih dari keperluan”. Maka
turunlah ayat ini. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari
Yahya).
c. Tafsir Ayat
Dalam tafsir Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, al-Qurtubi menyebutkan
bahwa dalam firman Allah di atas terdapat beberapa masalah. Pertama, firman
Allah SWT (yas-aluunaka) “Mereka bertanya kepadamu”. Orang-orang yang
bertanya dalam ayat ini adalah orang-orang yang beriman. Hal ini sebagaimana
dijelaskan di atas, kata khamr itu diambil dari kata khamara yang artinya satara
(menutupi) seperti khimar al-mar’ah (kerudung perempuan). Dikatakan pula
khamr menutupi akal. Al-Qurthubi dalam tafsirnya berkata lafad al-khamara
dengan memfathah kata mim karena menutupi apa yang dibawahnya seperti ‫اخوسح‬
‫ اآل زض‬maka itulah setiap sesuatu yang menutupi suatu yang lainnya disebut
khamr.
Kedua, mayoritas umat Islam berpendapat bahwa sesuatu yang dapat
membuat mabuk jika mengkonsumsinya dalam jumlah yang banyak tapi sesuatu
itu bukanlah perasan anggur, maka sesuatu itu diharamkan baik dalam jumlah
banyak maupun sedikit. Namun Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu
Syubrumah, dan kelompok ulama Kufah berpendapat bahwa sesuatu yang dapat
memabukkan jika dikonsumsi dengan banyak selain perasaan anggur, maka hal
itu adalah halal. Apabila seseorang mabuk karena mengkonsumsi sesuatu itu tanpa
ada kesengajaan untuk mabuk, maka dia tidak boleh dijatuhi hukuman. Namun
pendapat ini lemah dan bertolak baik menurut logika maupun syara’.
Ketiga, sebagian mufassir berkata, “Allah tidak menyisakan sedikitpun
kemurahan dan kebaikan melainkan memberikannya kepada umat ini. Di antara
kemurahan dan kebaikan Allah terhadap umat ini adalah tidak mewajibkannya
syari‘at kepada manusia secara sekaligus, melainkan mewajibkannya secara
bertahap.” Begitu juga dengan pengharaman khamr, ayat 1 yang turun dengan
redaksi “jangan mendekati” dalam QS. An-Nisa’: 43, selanjutnya naik tahap
dalam al-Maidah: 91, baru dilarang termaktub dalam al-Maidah: 90.
Ayat ini menjelaskan tentang minuman keras yang diikuti dengan
perjudian, karena sebuah budaya di zaman jahiliyah adalah minum diiringi dengan
berjudi. Yang dinamakan khamr adalah segala sesuatu yang memabukkan, apapun
bahan mentahnya. Minuman yang berpotensi memabukkan bila diminum dengan
kadar normal oleh seseorang yang normal, maka minuman itu adalah khamr
sehingga haram hukum meminumnya, baik diminum banyak maupun sedikit serta
baik ketika ia diminum memabukkan secara faktual atau tidak. Jika demikian,
keharaman minuman keras bukan karena adanya bahan alkoholik pada minuman
itu, tetapi karena adanya potensi memabukkan. Dari sini, makanan dan minuman
apapun yang berpotensi memabukkan bila diminum oleh orang yang normal,
bukan yang biasa meminumnya maka ia adalah khamr.52
Ada pendapat yang tidak didukung oleh banyak ulama, yakni ulama
bermazhab Hanafi, mereka menilai bahwa khamr hanya minuman yang terbuat
dari anggur. Adapun minuman lain seperti yang terbuat dari kurma atau gandum
dan lain-lain yang berpotensi memabukkan, maka ia tidak dinamakan khamr,
namun nabidz. Mereka juga berpendapat, bahwa yang haram sedikit atau banyak
adalah yang terbuat dari anggur, yakni khamr. Sedangkan nabidz tidak haram
kalau sedikit dan baru haram kalau banyak.
Ayat ini merupakan ayat kedua yang menjelaskan tentang minuman keras.
Yang mana ayat pertama ialah Q.S. An-Nahl: 67. Ayat ini sendiri menegaskan
bahwa kurma dan anggur dapat menghasilkan dua hal yang berbeda, yakni

52
al-Qurthubi, Abu Abdillah, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Vol. 3, (Beirut: Dar Kutub
Ilmiyyah, 1993), hlm. 212.
minuman memabukkan dan rezeki yang baik. Jika demikian, minuman keras, baik
yang terbuat dari kurma atau anggur, bukanlah rezeki yang baik.
Isyarat pertama ini telah mengundang sebagaian umat Islam pada waktu
itu untuk menjauhi minuman keras, walaupun belum ditegaskan secara jelas
diharamkan. Adapun dalam ayat yang sedang dibahas ini, isyarat kuat tentang
keharamnanya sudah lebih jelas, walau belum juga tegas. Jawaban yang
menyatakan dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya menunjukkan bahwa ia
seharusnya dihindari, karena sesuatu yang keburukannya lebih banyak daripada
kebaikannya adalah sesuatu yang tercela, bukan haram. Salah satu penyebab
banyaknya minuman keras, adalah karena mereka enggan menafkahkan kurma
dan anggur yang mereka miliki. Dari keengganan itu mereka memiliki kelebihan
kurma dan anggur, dan ini yang membuat mereka menggunakannya sebagai bahan
untuk membuat minuman keras, niscaya anggur dan kurma itu tidak perlu dibuat
minuman keras.53

4. Makanan dan Minuman Dalam Q.S Al-A’raaf Ayat 157.

ْ ‫ْأ ُم ُرمُه‬3 َ ‫ل ي‬3ِ 3‫ ُه َم ْك ُتواًب ِعنْدَ مُه ْ يِف التَّ ْو َرا ِة َوا جْن ِ ي‬3 َ ‫و َل النَّيِب َّ اُأْل ِ ّم َّي اذَّل ِ ي جَي ِدُ ون‬3 ‫ون َّالر ُس‬3 َ 3‫اذَّل ِ َين يَت َّ ِب ُع‬
‫ِإْل‬
ْ ‫ ُع َعهْن ُ ْم رْص َ مُه‬3‫اِئ َث َوي َ َض‬3‫ر ُم عَلَهْي ِ ُم الْ َخ َب‬3ِ ّ 3َ ‫ات َوحُي‬3
ِ 3‫ ُّل لَهُ ُم ا َّلط ِ ّي َب‬3ِ ‫ ِر َوحُي‬3‫امُه ْ َع ِن الْ ُم ْن َك‬3َ ‫وف َويَهْن‬ِ ‫اِب لْ َم ْع ُر‬
‫ِإ‬
ۙ ‫ ُه‬3‫وا النُّ َور اذَّل ِ ي ُأنْ ِز َل َم َع‬33‫ز ُرو ُه َونَرَص ُ و ُه َوات َّ َب ُع‬3َّ 3‫ ِه َو َع‬3‫وا ِب‬33ُ‫َواَأْل ْغاَل َل الَّيِت اَك ن َْت عَلَهْي ِ ْم ۚ فَاذَّل ِ َين آ َمن‬
َ ‫ُأولَٰ ِئ َك مُه ُ الْ ُم ْف ِل ُح‬
‫ون‬

Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi
mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka
dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik
dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka
beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang
yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya

53
Ibid,.
yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang
yang beruntung.”
a. Makna Mufradat
ِ ‫ ا َّلط ِ ّي َب‬: Kata ‫ الطيبات‬merupakan bentuk Jamak dari ‫ الطيب‬yakni baik. Menurut ar-
‫ات‬
Razi, secara bahasa ‫ الطيب‬berarti ‫( الطاهر‬suci), sesuatu yang halal disifati
dengan tayyib. Yang dimaksud tayyib di sini adalah makanan-makanan
yang baik, bergizi lagi sesuai dengan selera dan kondisi yang
memakannya.54 Selain itu makna baik di sini juga bisa diartikan
berkhasiat pada tubuh manusia, mengandung zat-zat yang
menumbuhkan, menyuburkan dan menjadikan manusia sehat dan kuat55,
tanpa adanya nash dalil pengharamannya.

‫ الْ َخ َباِئ َث‬: (sesuatu yang buruk) yang haram disifati dengan khaba’is.
b. Tafsir Ayat
Dalam Al-Qur’an bukan hanya mementingkan dalam aspek halal atau
haram saja dalam makanan, namun juga melihat dalam aspek tayyiban dan
khaba’is. Oleh karena itu membahas secara mendalam terkait tayyiban dan
khaba’is guna mendapatkan pemahaman secara integralistik terhadap makna halal
haram di atas.
Di dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang
halalnya makanan yang baik dan haramnya makanan yang kotor. Diantara ayat
tersebut terdapat di dalam surat Al-A’rāf ayat 157 :
‫ات َوحُي َ ّ ِر ُم عَلَهْي ِ ُم الْ َخ َباِئ َث‬
ِ ‫َوحُي ِ ُّل لَهُ ُم ا َّلط ِ ّي َب‬

“...dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk...”
Dari ayat ini, yang dimaksud dengan “ath-tayyibat” (yang baik-baik)
adalah semua yang dianggap baik dan dinikmati oleh manusia, tanpa adanya nash
dalil pengharamannya. Sedangkan yang dimaksud dengan al-khabais (yang kotor-
kotor) adalah semua yang dianggap kotor oleh perasaan manusia secara umum,
kendati beberapa umat dan prinsip mungkin menganggap tidak kotor. Oleh karena
54
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. V
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 273.
55
Fairuzah Tsabit, Makanan Sehat Dalam AL-Qur’an Kajian Tafsir Bi Al-‘Ilm Dengan
Pendekatan Tematik, (Yyogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013), hlm. 23.
itu sesuatu yang tidak masuk kategori ṭayyib, maka ia akan masuk kategori hukum
khaba’is. Konsumsi yang baik adalah konsumsi yang terhindar dari al-khabiṡ atau
al-khaba’is.
Hal tersebut sesuai dengan pandangan Sayid Sabiq bahwa yang dimaksud
dengan makanan yang buruk adalah makanan yang kotor dan menjijikkan.
Sedangkan menurut Al-Raghib al-Ashfahmi mengartikannya lebih luas, yaitu
bahwa yang dimaksud makanan yang buruk itu adalah yang tidak sesuai dengan
kesehatan dan kebutuhan tubuh dari berbagai makanan yang haramkan.56
Mustafa Yakub mengatakan bahwa pendapat di atas kedua-duanya dapat
diterima karena tidak ada teks dalam masalah ini yang menyebutnya dengan jelas
(sarih). Pendapat yang mengatakan bahwa yang berhak menentukan ṭayyib dan
habits adalah bangsa Arab, menurutnya tepat, karena bangsa Arablah yang
dikhitab alQur’an, dan bahasa merekalah yang mengantarkan kedatangan agama
Islam. Pendapat kedua yang mengatakan bahwa yang berhak menentukan tayyib
dan khabais adalah tabiat manusia yang sehat, menurutnya juga logis, karena
Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi alam semesta, dan Rasulullah
SAW,. pun diutus untuk umat manusia seluruhnya.57
Namun dia menambahkan bahwa apabila diperhatikan makna ṭayyib
sebagaimana dikemukakan oleh para ulama, yaitu sesuatu yang lezat, suci (bukan
najis), dan tidak membahayakan pada tubuh dan akal, maka yang menentukan
ṭayyib itu bukan bangsa Arab, juga bukan manusia secara umum, melainkan para
ulama dan para pakar di bidang gizi. Menurutnya pada umumnya yang
mengetahui sucinya sesuatu adalah seorang ulama yang pakar, terutama ketika
memasukkan pengertian ṭayyib dalam makna halal. Sedangkan yang mengetahui
adanya unsur yang membahayakan pada tubuh dan akal adalah seorang ahli dalam
bidang gizi. Demikian juga, jika diperhatikan makna khabits sebagaimana
disebutkan oleh para ulama, yaitu kebalikan dari makna ṭayyib; sesuatu yang
najis, membahayakan pada tubuh dan akal, serta tidak lezat, maka yang
mengetahui hal itu bukanlah bangsa Arab atau manusia biasa pada umumnya,
56
Abuddin Nata (ed.), Kajian Tematik Al-Qur’an Tentang Kemasyarakatan, (Bandung:
Angkasa, 2008), hlm. 355.
57
Q.S. al-‘Anbiya’/21:10 dan Q.S. Saba’/34:28.
melainkan para ulama, kalangan ahli gizi, para dokter umum, dan dokter-dokter
hewan. Untuk merealisasikannya, perlu adanya kerjasama antara para ulama, para
ahli gizi, para dokter umum, dan para dokter hewan. Sebab para ulama tidak
mengetahui persis aspek bahaya yang terkandung di dalam bahan makanan,
sebagaimana para ahli gizi, dokter umum, dan dokter hewan pun tidak mengetahui
persis aspek kesucian dan kehalalan yang ada di dalamnya.58
Dalam tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab memaparkan bahwa
makanan yang halal belum tentu baik, karena makanan yang baik bagi satu orang
dengan yang lain berbeda. Seperti si A mempunyai gangguan pada tekanan
darahnya yaitu ia menderita gangguan darah tinggi yang menyebabkan jika ia
mengonsumsi daging kambing menyebabkan tekanan darahnya terganggu,
berbeda dengan si B, ia mempunyai tekanan darah yang normal sehingga jika ia
mengonsumsi daging kambing tidak akan merugikan apapun dalam tubuhnya.
Jadi makanan yang baik ialah makanan yang tidak merugikan apapun bagi
pengonsumsi makanan tersebut.59
Indikator-indikator tayyib dan khabais ini dapat menjadi rujukan bagi
ulama dan pakar untuk menentukan kriteria bagi konsumsi yang baik dan
dihalalkan. Nabi SAW,. memberikan tuntunan dalam hadisnya :
“Dari Salman, ia berkata Rasululah Saw. ditanya tentang hukum mentega,
keju dan bulu binatang. Beliau menjawab: “Halal adalah sesuatu yang
dihalalkan Allah Swt. di dalam kitab-Nya, haram adalah sesuatu yang
diharamkan Allah dalam kitabNya dan sesuatu yang Allah diamkan (tidak
ditetapkan hukumnya) termasuk yang diampuni.””60

Hadis ini menjadi pegangan ulama-ulama Syafi’iyah dalam menetapkan


dasar-dasar bagi menentukan kriteria ṭayyib dan kriteria khabais.61
Adapun makanan dan minuman yang khaba’is adalah makanan dan
minuman yang dilarang dalam syari’at Islam. Makanan dan minuman yang

58
Ali Mustafa Yakub, Kriteria Halal dan Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika
Menurut Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), hlm. 31.
59
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 1
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 380.
60
At-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, no. hadis 1648, Juz III, hlm. 280
61
Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Juz IX, hlm. 28.
dilarang ini dikategorikan sebagai najis. Menurut Fuqaha Madzhab Syafi’i
makanan dan minuman yang khaba’is adalah :
a. babi, seluruh bagian tubuhnya;
b. anjing, seluruh bagian tubuhnya;
c. bangkai, seluruh bagian tubuhnya, kecuali bangkai ikan dan belalang;
d. semua bagian tubuh yang terpisah dari hewan yang masih hidup;
e. darah yang mengalir;
f. khamr dan semua jenisnya dan lain-lain.62

Di dalam surat al-A’raf ayat 157 dijelaskan bahwa yang baik (tayyib) itu
dihalalkan dan yang buruk (khaba’is) itu diharamkan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum Islam melalui al-Qur’an dan hadis telah menetapkan beberapa
jenis makanan dan minuman yang haram dikonsumsi umat Islam, antara lain
bangkai, darah, babi, binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain
Allah, serta khamar dan semua jenis minuman yang memabukkan. Sedangkan
makanan dan minuman yang tidak disebutkan sebagai makanan dan minuman
haram dalam al-Qur’an dan hadis, dan tidak menjijikkan atau membahayakan
kesehatan (jiwa) manusia maka bisa dikategorikan sebagai makanan dan minuman
yang halal.
Pada dasarnya semua makanan dan minuman halal untuk dimakan kecuali
yang ditentukan keharamannya sebagaimana yang disebutkan dalam Surah Al-
Baqarah ayat 173 dan Surah Al-Maidah ayat 3. Segala makanan yang telah
ditentukan keharamannya haram untuk dimakan kecuali dalam keadaan terpaksa

62
Lathif Awaludin, Ummul Mukminin, (Jakarta: Wali, 2014), hlm. 328.
boleh dimakan dengan tidak berlebihan dan dalam batas-batas tertentu. Mengenai
minuman, Surah Al-Baqarah ayat 219 menjelaskan tentang minuman keras yang
diikuti dengan perjudian, karena sebuah budaya di zaman jahiliyah adalah minum
diiringi dengan berjudi. Yang dinamakan khamr adalah segala sesuatu yang
memabukkan, apapun bahan mentahnya. Minuman yang berpotensi memabukkan
bila diminum dengan kadar normal oleh seseorang yang normal, maka minuman
itu adalah khamr sehingga haram hukum meminumnya.
Di dalam surat al-A’raf ayat 157 dijelaskan bahwa yang baik (tayyib) itu
dihalalkan dan yang buruk (khaba’is) itu diharamkan. Oleh karena itu sesuatu
yang tidak masuk kategori ṭayyib, maka ia akan masuk kategori hukum khaba’is.
Konsumsi yang baik adalah konsumsi yang terhindar dari khaba’is. Dengan
demikian, memakan makanan dan minuman yang halal sangat berpengaruh bagi
tubuh manusia yang memakannya.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Ibnu, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, Juz 1, Libanon: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah.
Ahmad, Imam bin Hanbal, t.th., Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid II, t.t: Dar al-
Fikr.
Al-Khazin, Ala’ad-Din, 1415 H, Lubab at-Ta’wil fi Maani at-Tanzil, Juz 1,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Maraghy, 1394 H/1974 M, Tafsir al-Maraghy, Jilid VI, Mesir: Mustafa al-
Baby al-Halaby.
Ar-Razi, Fakhr ad-Din, 1981, Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, Juz. 5, Beirut:
Dar al-fikr.
at-Thantawi, Sayid, al-Tafsir al-Wasit lil a-Qur’an al-Karim, Juz 1, Maktabah
Syamilah
as-Sabuni, Ali, 1990, Tafsir Ayat Ahkam, Vol. 1, Kairo: al-Hayah al-Mishriyah.
Az-Zuhaili, Wahbah, 2009, al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj,
Juz 2, Damasukus: Dar al-Fikr.
Al-Nawawi, t.th., Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Juz IX, Baitur: Darul Fakir
AL-Shabuni, t.th., Tafsir Min Ayatil Ahkam Minal Qur’an, Jilid I, Kairo, Daru al-
Shabuni.
At-Tirmizi, 2008, Sunan at-Tirmizi, no. hadis 1648, Juz III. Cet. ke-2, Riyadh:
Maktabah al-Ma’aarif Linnasyri Wattauzi’.
Awaludin, Lathif, Ummul Mukminin, Jakarta: Wali, 2014.
Ibnu Manzhur, t.th., Lisan al-‘Arab, Jilid III t.t: Dar al-Ma’arid.
Katsir, Ibnu, 1999, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid II, Syihabuddin, Jakarta:
Gema Insani.
Katsir, Ibnu, 1999, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Jilid I. Tahqiq Sami Ahmad
Salamah, Riyadh: Daru al-Thaybah, Lil Nasyr wa al-Tauzi’.
Malik, Imam, 1951, al-Muwaththa’, Jilid I t.t: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah,
1951.
Mu’ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-
Shabuni, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983), hlm. 471-472.
Nata (ed.), Abuddin, 2008, Kajian Tematik Al-Qur’an Tentang Kemasyarakatan,
Bandung: Angkasa.
Poerwadaminta, W.J.S., 1976, Kamus UmumBahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka.
Qutb, Sayid¸ 1992, Fi Zilal al-Qur’an, Juz 1, Kairo: Dar asy-Syuruq.
Ridha, Rasyid, 1380 H, Tafsir al-Manaar, Jilid VI Cet. IV, Mesir: Maktabah al-
Qahirah.
Rusyd, Ibnu,1960, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Jilid I, Cet. 3
Mesir: Mushthafah al-Baby al-Halaby.
Sabiq, Al-Sayyid, t.th., Fiqh al-Sunnah Jilid III, al-Qahirah: Dar al-Kitab al-
Islamiyah.
Shihab, M. Quraish, 2002, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur’an, Vol. V, Jakarta: Lentera Hati.
Sijistani, Ibnu ‘Asy’ats, 1952, Sunan Abu Daud, Jilid II, Cet. I, Mesir: Mushthafa
al-Baby al-Halaby.
Tim Penyusun Ensiklopedia Al-Qur’an, 2007, Kajian Kosakata, Jilid III, t.t:
Lentera Hati.
Tsabit, Fairuzah, 2013, Makanan Sehat Dalam AL-Qur’an Kajian Tafsir Bi
Al-‘Ilm Dengan Pendekatan Tematik, Yogyakarta: Pustaka Ilmu.
Yakub, Ali Mustafa, 2009, Kriteria Halal dan Haram Untuk Pangan, Obat, dan
Kosmetika Menurut Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Zahrah, Abu, Zahrah at-Tafsir, Juz. 1, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi.

Anda mungkin juga menyukai