Anda di halaman 1dari 12

Landasan Teori

Landasan Teori Hukum, Manajemen Keuangan, Kesehatan, Internasional, Ekonomi


 Edukasi
 Kesehatan
 Manajemen
 Psikologi
 Perbankan
 Ekonomi
 Politik
 Hukum
 IT

Home / Hukum Perdata / Sebab Akibat Wanpres Terjadinya Akibat Hukum Undang Undang
Perdata (KUHP)

Sebab Akibat Wanpres Terjadinya Akibat


Hukum Undang Undang Perdata (KUHP)
11:11:00
Hukum Perdata
Sebab Terjadinya Wanprestasi - Dalam pelaksanaan isi perjanjian sebagaimana yang telah
ditentukan dalam suatu perjanjian yang sah, tidak jarang terjadi wanprestasi oleh pihak yang
dibebani kewajiban (debitur) tersebut. Tidak dipenuhinya suatu prestasi atau kewajiban
(wanprestasi) ini dapat dikarenakan oleh dua kemungkinan alasan. Dua kemungkinan alasan
tersebut antara lain yakni :

1. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan ataupun kelalaiannya.


Kesalahan di sini adalah kesalahan yang menimbulkan kerugian.J. Satrio, Op. cit, hal.
90. Dikatakan orang mempunyai kesalahan dalam peristiwa tertentu kalau ia sebenarnya dapat
menghindari terjadinya peristiwa yang merugikan itu baik dengan tidak berbuat atau berbuat
lain dan timbulnya kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya. Dimana tentu kesemuanya
dengan memperhitungan keadaan dan suasana pada saat peristiwa itu terjadi.

Kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya (debitur) jika ada unsur kesengajaan atau
kelalaian dalam peristiwa yang merugikan itu pada diri debitur yang dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya. Kita katakan debitur sengaja kalau kerugian itu memang
diniati dan dikehendaki oleh debitur, sedangkan kelalaian adalah peristiwa dimana seorang
debitur seharusnya tahu atau patut menduga, bahwa dengan perbuatan atau sikap yang
diambil olehnya akan timbul kerugian.J. Satrio, Op. cit, hal. 91. Disini debitur belum tahu pasti
apakah kerugian akan muncul atau tidak, tetapi sebagai orang yang normal seharusnya tahu
atau bisa menduga akan kemungkinan munculnya kerugian tersebut. Ibid. Dengan demikian
kesalahan disini berkaitan dengan masalah “dapat menghindari” (dapat berbuat atau bersikap
lain) dan “dapat menduga” (akan timbulnya kerugian) Ibid.
2. Karena keadaan memaksa (overmacht / force majure) , diluar kemampuan debitur,debitur
tidak bersalah.
Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh pihak debitur karena
terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau
tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatanAbdulkadir Muhammad, Op. cit, hal.
27. Vollmar menyatakan bahwa overmacht itu hanya dapat timbul dari kenyataan-kenyataan
dan keadaan-keadaan tidak dapat diduga lebih dahulu.Ibid. Hal. 31. Dalam hukum anglo saxon
(Inggris) keadaan memaksa ini dilukiskan dengan istilah “frustration” yang berarti halangan,
yaitu suatu keadaan atau peristiwa yang terjadi diluar tanggung jawab pihak-pihak yang
membuat perikatan (perjanjian) itu tidak dapat dilaksanakan sama sekali. Ibid. Hal. 27.

Dalam keadaan memaksa ini debitur tidak dapat dipersalahkan karena keadaan memaksa
tersebut timbul diluar kemauan dan kemampuan debitur. Wanprestasi yang diakibatkan oleh
keadaan memaksa bisa terjadi karena benda yang menjadi objek perikatan itu binasa atau
lenyap, bisa juga terjadi karena perbuatan debitur untuk berprestasi itu terhalang seperti yang
telah diuraikan diatas. Keadaan memaksa yang menimpa benda objek perikatan bisa
menimbulkan kerugian sebagian dan dapat juga menimbulkan kerugian total. Sedangkan
keadaan memaksa yang menghalangi perbuatan debitur memenuhi prestasi itu bisa bersifat
sementara maupun bersifat tetap. Ibid.

Unsur –unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa itu ialah :Ibid.

1. Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan benda yang
menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat tetap
2. Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan
debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara.
3. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat
perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur. Jadi bukan karena kesalahan pihak-
pihak, khususnya debitur.

Ajaran tentang Keadaan Memaksa (overmacht)

Mengenai keadaan memaksa yang menjadi salah satu sebab timbulnya wanprestasi dalam
pelaksaanaan perjanjian. Dikenal dua macam ajaran mengenai keadaan memaksa tersebut
dalam ilmu hukum, yaitu ajaran memaksa yang bersifat objektif dan subjektif. Yang mana
ajaran mengenai keadaan memaksa (overmachtsleer) ini sudah dikenal dalam Hukum
Romawi, yang berkembang dari janji (beding) pada perikatan untuk memberikan suatu benda
tertentu.J. Satrio, Op. cit. hal. 254 Dalam hal benda tersebut karena adanya keadaan yang
memaksa musnah maka tidak hanya kewajibannya untuk menyerahkan tetapi seluruh
perikatan menjadi hapus, tetapi prestasinya harus benar-benar tidak mungkin lagi.Ibid. Pada
awalnya dahulu hanya dikenal ajaran mengenai keadaan memaksa yang bersifat objektif.
Lalu dalam perkembangannya, kemudian muncul ajaran mengenai keadaan memaksa yang
bersifat subjektif.

1. Keadaan memaksa yang bersifat objektif


Objektif artinya benda yang menjadi objek perikatan tidak mungkin dapat dipenuhi oleh
siapapun.Abdulkadir Muhammad, Op. cit. hal. 28.  Menurut ajaran ini debitur baru bisa
mengemukakan adanya keadaan memaksa (overmacht) kalau setiap orang dalam kedudukan
debitur tidak mungkin untuk berprestasi (sebagaimana mestinya). J. Satrio, Loc. cit. Jadi keadaan
memaksa tersebut ada jika setiap orang sama sekali tidak mungkin memenuhi prestasi yang
berupa benda objek perikatan itu. Oleh karena itu ukurannya “orang” (pada umumnya) tidak
bisa berprestasi bukan “debitur” tidak bisa berprestasi, sehingga kepribadiannya, kecakapan,
keadaannya, kemampuan finansialnya tidak dipakai sebagai ukuran, yang menjadi ukuran
adalah orang pada umumnya dan karenanya dikatakan memakai ukuran objektif. Ibid. Hal.
255. Dasar ajaran ini adalah ketidakmungkinan. Vollmarr menyebutkan keadaan memaksa ini
dengan istilah “absolute overmacht” apabila benda objek perikatan itu musnah diluar
kesalahan debitur.Abdulkadir Muhammad, Loc. cit. Marsch and soulsby juga menyatakan bahwa
suatu perjanjian tidak mungkin dilaksanakan apabila setelah perjan jian dibuat terjadi
perubahan dalam hukum yang mengakibatkan bahwa perjanjian yang telah dibuat itu menjadi
melawan hukum jika dilaksanakan.Abdulkadir Muhammad, Op. cit. hal. 29. Dalam keadaan yang
seperti ini secara otomatis keadaan memaksa tersebut mengakhiri perikatan karena tidak
mungkin dapat dipenuhi. Dengan kata lain perikatan menjadi batal, keadaan memaksa disini
bersifat tetap.Ibid.

2. Keadaan Memaksa yang Bersifat Subjektif


Dikatakan subjektif dikarenakan menyangkut perbuatan debitur itu sendiri, menyangkut
kemampuan debitur sendiri, jadi terbatas pada perbuatan atau kemampuan debitur. Ibid. Salah
seorang sarjana yang terkenal mengembangkan teori tentang keadaan memaksa adalah
houwing. Menurut pendapatnya keadaan memaksa ada kalau debitur telah melakukan segala
upaya yang menurut ukuran yang berlaku dalam masyarakat yeng bersangkutan patut untuk
dilakukan,sesuai dengan perjanjian tersebut.J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung : Alumni, 1999), hal.
263, dikutip dari V.Brakel, Leerboek van het Nederlandse Verbintenissenrecht, Jilid Kesatu, Cetakan Keempat,
Tjeenk Willink, Zwolle, 1948, hal. 122

Yang dimaksud dengan debitur oleh houwing adalah debitur yang bersangkutan. Disini tidak
dipakai ukuran “debitur pada umumnya”(objektif), tetapi debitur tertentu, jadi subjektif. Oleh
karena yang dipakai sebagai ukuran adalah subjek debitur tertentu, maka kita tidak bisa
melepaskan diri dari pertimbangan “debitur yang bersangkutan dengan semua ciri-cirinya”
atau dengan perkataan lain kecakapan, tingkat sosial, kemampuan ekonomis debitur yang
bersangkutan turut diperhitungkan.Ibid. Hal. 263.

Dasar ajaran ini adalah kesulitan-kesulitan. Menurut ajaran ini debitur itu masih mungkin
memenuhi prestasi walaupun mengalami kesulitan atau menghadapi bahaya. Vollmar
menyebutnya dengan istilah “relatieve overmacht”. Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat
sementara.Abdulkadir Muhammad, Op. cit. hal. 30 Oleh karenanya perikatan tidak otomatis batal
melainkan hanya terjadi penundaan pelaksanaan prestasi oleh debitur. Jika kesulitan yang
menjadi hambatan pelaksanaan prestasi tersebut sudah tidak ada lagi maka pemenuhan
prestasi diteruskan.

Timbulnya ajaran mengenai keadaan memaksa seperti yang telah diuraikan di atas
dikarenakan keadaan memaksa tidak mendapatkan pengaturan secara umum dalam undang-
undang.Ibid. Hal. 31. Karena itu hakim berwenang menilai fakta yang terjadi (wanprestasi)
bahwa debitur sedang dalam keadaan memaksa (overmacht) atau tidak, sehingga diketahui
apakah debitur dapat dibebani kewajiban atas resiko atau tidak atas wanprestasi tersebut.
Akibat Hukum Dari Wanprestasi

1. Akibat Hukum dari Wanprestasi karena Kesalahan Debitur


Sejak kapan debitur dapat dikatakan dalam keadaan sengaja atau lalai tidak memenuhi
prestasi, hal ini sangat perlu dipersoalkan, karena wanprestasi tersebut memiliki konsekuensi
atau akibat hukum bagi debitur. Untuk mengetahui sejak kapan debitur itu dalam keadaan
wanprestasi maka perlu diperhatikan apakah di dalam perikatan yang disepakati tersebut
ditentukan atau tidak tenggang pelaksanaan pemenuhan prestasi.

Dalam perjanjian untuk memberikan sesuatu atau untuk melakukan sesuatu pihak-pihak
menentukan dan dapat juga tidak menentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan
prestasi oleh debitur.Ibid. Hal. 21. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi
tidak ditentukan maka dipandang perlu untuk memperingatkan debitur guna memenuhi
prestasinya tersebut dan dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi
ditentukan maka menurut ketentuan pasal 1238 KUHPerdata debitur dianggap lalai dengan
lewatnya waktu yang ditentukan.  Ibid, Hal. 22.

Pasal 1238 KUHPerdata :


“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu
telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si
berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Pasal ini menerangkan bahwa wanprestasi itu dapat diketahui dengan 2 cara, yaitu sebagai
berikut :Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op. cit, hal. 8. 

1. Pemberitahuan atau somasi, yaitu apabila perjanjian tidak menentukan waktu tertentu
kapan seseorang dinyatakan wanprestasi atau perjanjian tidak menentukan batas
waktu tertentu yang dijadikan patokan tentang wanprestasi debitur, harus ada
pemberitahuan dulu kepada debitur tersebut tentang kelalaiannya atau
wanprestasinya. Jadi pada intinya ada pemberitahuan, walaupun dalam pasal ini
dikatakan surat perintah atau akta sejenis. Namun, yang paling penting ada peringatan
atau pemberitahuan kepada debitur agar dirinya mengetahui bahwa dirinya dalam
keadaan wanprestasi. 
2. Sesuai dengan perjanjian, yaitu jika dalam perjanjian itu ditentukan jangka waktu
pemenuhan perjanjian dan debitur tidak memenuhi pada waktu tersebut, dia telah
wanprestasi.

Ketentuan pasal 1238 KUHPerdata ini hanya mengatur tentang perikatan untuk memberikan
sesuatu, sedangkan perikatan untuk berbuat sesuatu tidak ada ketentuan spesifik semacam
pasal ini. Namun ketentuan pasal ini dapat juga diikuti oleh perikatan untuk berbuat
sesuatu.Abdulkadir Muhammad, Loc. cit. Sebaiknya ketentuan pasal 1238 KUHPerdata ini dapat
diperluas juga meliputi perikatan untuk berbuat sesuatu. Jadi dalam penyusunan hukum
perikatan nasional nanti ketentuan semacam pasal ini dapat ditiru dan meliputi perikatan
untuk memberikan sesuatu dan perikatan untuk berbuat sesuatu.Ibid.

Dalam perikatan untuk tidak berbuat sesuatu, prestasinya adalah tidak berbuat sesuatu yang
telah ditetapkan dalam perjanjian. Dalam hal ini tidak perlu dipersoalkan apakah ditentukan
jangka waktu atau tidak. Karena sejak perikatan itu berlaku dan selama perikatan tersebut
berlaku, kemudian debitur melakukan perbuatan itu maka ia dinyatakan telah lalai
(wanprestasi).Ibid. Hal. 23.

Adapun akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi, adalah hukuman atau
sanksi sebagai berikut :Ibid, Hal. 24.

a) Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur
Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan. Apakah yang dimaksud dengan ganti rugi ,
kapan ganti kerugian itu timbul, dan apa yang menjadi ukuran ganti kerugian tersebut, dan
bagaimana pengaturannya dalam undang-undang.

Pasal 1243 KUHPerdata :


“penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai
diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan
dan dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.”

Berdasarkan pasal ini, ada dua cara penentuan titik awal penghitungan ganti kerugian, yaitu
sebagai berikut :

1. Jika dalam perjanjian itu tidak ditentukan jangka waktu, pembayaran ganti kerugian
mulai dihitung sejak pihak tersebut telah dinyatakan lalai, tetapi tetap melalaikannya.
2. Jika dalam perjanjian tersebut telah ditentukan jangka waktu tertentu, pembayaran
ganti kerugian mulai dihitung sejak terlampauinya jangka waktu yang telah ditentukan
tersebut. Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op. cit, hal. 13.

Yang dimaksud dengan ganti kerugian itu ialah ganti kerugian yang timbul karena debitur
melakukan wanprestasi karena lalai. Ganti kerugian itu haruslah dihitung berdasarkan nilai
uang, jadi harus berupa uang bukan berupa barang. Berdasarkan pasal 1246 KUHPerdata
ganti kerugian terdiri dari 3 (tiga) unsur, yakni :

1. Ongkos-ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya ongkos cetak,
biaya materai, biaya iklan.
2. Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan kreditur akibat
kelalaian debitur (damages). Kerugian disini adalah sungguh-sungguh diderita,
misalnya busuknya buah – buahan karena kelambatan penyerahan, ambruknya sebuah
rumah karena salah konstruksi sehingga merusak perabot rumah tangga, lenyapnya
barang karena terbakar.
3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur lalai, kreditur
kehilangan keuntungan yang diharapkannya.

Dalam ganti kerugian itu tidak senantiasa ketiga unsur itu harus ada. Minimal ganti kerugian
itu adalah kerugian yang sesungguhnya diderita oleh kreditur (unsur 2).Abdulkadir Muhammad,
Op. cit, hal. 40. Meskipun debitur telah melakukan wanprestasi dan diharuskan membayar
sejumlah ganti kerugian, undang-undang masih memberikan pembatasan-pembatasan yaitu :
dalam hal ganti kerugian yang sebagaimana seharusnya dibayar oleh debitur atas tuntutan
kreditur. Pembatasan-pembatasan itu diberikan undang-undang sebagai bentuk perlindungan
terhadap debitur dari perbuatan kesewenang-wenangan kreditur.

Pembatasan-pembatasan tersebut dapat kita liat pada pasal 1247 dan 1248 KUHPerdata.

Pasal 1247 KUHPerdata :


“Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi, dan bunga yang nyata telah, atau
sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak
dipenuhinya perikatan itu disebabkan sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya.”

Pasal ini sebagai penegasan tentang pembatasan ganti kerugian yang dapat dituntut dari
debitur, yaitu kerugian yang nyata – nyata telah dapat diperhitungkan pada saat perjanjian
tersebut dibuat oleh para pihak.Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op. cit, hal. 16.

Pasal 1248 KUHPerdata :


“Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan tipu daya si berutang,
penggantian biaya, rugi, dan bunga sekedar mengenai kerugian yang dideritanya oleh si
berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan
akibat langsung dari tak dipenuhinya perikatan.”

Pasal ini sebenarnya memberikan juga perlindungan kepada debitur yang walaupun
melakukan tipu daya terhadap kreditur, ganti kerugian yang harus dibayarnya hanya meliputi
kerugian langsung sebagai akibat wanprestasinya debitur.Ibid.

Dari ketentuan dua pasal ini dapat diketahui bahwa ada dua pembatasan kerugian :

 Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan.


 Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi (lalai). Abdulkadir Muhammad, Op. cit,
hal. 41.

Selain pembatasan seperti yang telah diuraikan di atas, masih ada lagi pembatasan
pembayaran ganti rugi itu, yaitu dalam perjanjian yang prestasinya berupa pembayaran
sejumlah uang. Hal ini dapat kita lihat pada ketentuan pasal 1250 KUHPerdata.

Pasal 1250 ayat 1 KUHPerdata :


“Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah
uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar disebabkan terlambatnya pelaksanaan,
hanya terdiri atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang, dan tidak mengurangi
peraturan-peraturan undang-undang khusus”.

Penggantian biaya, rugi, dan bunga tersebut wajib dibayar, dengan tidak usah dibuktikannya
sesuatu kerugian oleh si berpiutang.

Penggantian biaya, rugi dan bunga itu hanya harus dibayar terhitung mulai dari ia diminta di
muka Pengadilan, kecuali dalam hal-hal dimana undang-undang menetapkan bahwa ia
berlaku demi hukum.”
Maksud pasal ini adalah bahwa setiap tagihan yang berupa uang, yang pembayarannya
terlambat dilakukan oleh pihak debitur, maka tuntutan ganti kerugian tidak boleh melebihi
ketentuan bunga moratorium (bunga menurut undang-undang). Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op.
cit, hal.18.

Bunga yang harus dibayar karena lalai ini disebut “moratoir interest”, sebagai hukuman bagi
debitur.Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal. 43. Moratoir berasal dari kata “mora” bahasa Latin
yang berarti lalai. Pembayaran ganti kerugian sebesar bunga moratorium tersebut semata-
mata digantungkan pada keterlambatan pembayaran tersebut sehingga kreditur tidak perlu
dibebani untuk membuktikan dasar penuntutan ganti kerugian tersebut.Ahmadi Miru dan Sakka
Pati , Loc. cit.

Penghitungan besarnya ganti kerugian tersebut terhitung bukan pada saat utang tersebut tidak
dibayar atau lalainya debitur, melainkan mulai dihitung sejak tuntutan tersebut diajukan ke
pengadilan, kecuali jika dalam keadaan tertentu undang-undang memberikan kemungkinan
bahwa penghitungan bunga tersebut berlaku demi hukum (mulai saat terjadinya
wanprestasi).  Ibid.

b) Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), wanprestasi dari satu pihak memberikan hak
kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim

Pasal 1266 KUHPerdata :


“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan – persetujuan yang bertimbal
balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya”.

Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus
dimintakan kepada hakim.

Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya
kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian.

Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, Hakim adalah leluasa untuk, menurut
keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga
memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.

Pasal ini menerangkan bahwa secara hukum wanprestasi selalu dianggap sebagai syarat batal
dalam suatu perjanjian sehingga pihak yang merasa dirugikan karena pihak lain wanprestasi,
dapat menuntut pembatalan perjanjian melalui pengadilan, baik karena wanprestasi itu
dicantumkan sebagai syarat batal dalam perjanjian maupun tidak dicantumkan dalam
perjanjian, jika syarat batal itu tidak dicantumkan dalam perjanjian, hakim dapat memberi
kesempatan kepada pihak yang wanprestasi untuk tetap memenuhi perjanjian dengan
memberikan tenggang waktu yang tidak lebih dari satu bulan.Ibid, Hal. 29.

c) Resiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (pasal 1237 ayat 2
KUHPerdata).
Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu.

Pasal 1237 KUHPerdata :


“Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu
semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang.
Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaiannya, kebendaan
adalah atas tanggungannya. Berdasarkan pasal ini dapat kita lihat bahwa kelalaian debitur
dalam menyerahkan kebendaan mengalihkan resiko menjadi atas tanggungannya.

d) Membayar biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (pasal 181 ayat 1 HIR).
Debitur  yang  terbukti  melakukan  wanprestasi  tentu  dikalahkan  dalam perkara. Ketentuan
ini berlaku untuk semua perikatan. 

e) Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan perjanjian disertai
dengan pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 KUHPerdata).
Ini berlaku untuk semua perikatan. Pasal 1267 KUHPerdata :

“Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih
dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan
menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga”

Pasal ini memberikan pilihan kepada pihak yang tidak menerima prestasi dari pihak lain
untuk memilih dua kemungkinan agar tidak dirugikan, yaitu Ibid, Hal. 30.

 Menuntut agar perjanjian tersebut dilaksanakan (agar prestasi tersebut dipenuhi), jika
hal itu masih memungkinkan; atau
 Menuntut pembatalan perjanjian.

Pilihan tersebut dapat disertai ganti kerugian (biaya, rugi dan bunga) kalau ada alasan untuk
itu, artinya pihak yang menuntut ini tidak harus menuntut ganti kerugian, walaupun hal itu
dimungkinkan berdasarkan pasal 1267 ini. Berdasarkan pasal inilah sehingga banyak sarjana
menguraikan pilihan tuntutan kreditur tersebut menjadi lima kemungkinan tuntutan,
yaitu :Ibid.

 Pemenuhan perjanjian;
 Pemenuhan perjanjian disertai ganti kerugian;
 Ganti kerugian saja;
 Pembatalan perjanjian;
 Pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian.

Kemungkinan tersebut di atas, sebenarnya terdapat kekeliruan karena seharusnya tidak ada
tuntutan ganti kerugian yang dapat berdiri sendiri, karena ganti kerugian itu hanya dapat
menyertai dua pilihan utama yaitu melaksanakan perjanjian atau membatalkan perjanjian
sehingga hanya ada empat kemungkinan, yaitu :Ibid.

 Pemenuhan perjanjian;
 Pemenuhan perjanjian disertai ganti kerugian;
 Pembatalan perjanjian;
 Pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian
2. Akibat Hukum dari Wanprestasi karena keadaan memaksa
Keadaan memaksa yang bersifat objektif dan bersifat tetap secara otomatis mengakhiri
perikatan, dalam arti kata perikatan itu batal.Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal. 32 Jadi perikatan
ini dianggap tidak pernah ada (seolah-olah tak pernah dibuat). Jika suatu pihak telah
melakukan pembayaran terhadap harga barang yang menjadi objek perikatan, pembayaran
tersebut harus dikembalikan kepadanya. Bila pembayaran belum dilakukan, pelunasannya
tidak perlu dilaksanakan (dihentikan).

Dalam keadaan memaksa yang bersifat subjektif dan sementara keadaan ini memberi akibat
menangguhkan prestasi (mempunyai daya menangguhkan) dan bila keadaan memaksa sudah
berakhir maka kewajiban berprestasi hidup kembali. Bila prestasi tersebut sudah tidak
mempunyai arti lagi untuk kreditur maka perikatan menjadi gugur, dan pihak yang satu tidak
dapat menuntut pada pihak lain. Istilah batal dan gugur di atas mempunyai arti yang berbeda.

Istilah batal menunjuk kepada tidak dipenuhinya salah satu sifat prestasi yaitu harus mungkin
dilaksanakan. Jika prestasi tidak mungkin dilaksanakan, maka perikatan itu tidak akan
mencapai tujuan, jadi batal demi hukum. Sedangkan istilah gugur, prestasi memungkinkan
untuk mencapai tujuan perikatan, tetapi berhubung keadaan memaksa, tujuan perikatan
menjadi tidak tercapai karena terhalang oleh keadaan memaksa, yang mengakibatkan prestasi
menjadi tidak berarti. Pada perikatan yang gugur pihak yang satu tidak dapat menuntut
kepada pihak yang lainnya. Ibid. hal. 33.

Daftar Pustaka Makalah Ekspor Impor

BAGIKAN ke Social Mediamu:

Facebook Google+ Twitter

Related Articles :

 Pengertian Arbitrase Definisi Jenis Keunggulan dan Kelemahan


Penyelesaian Sengketa Hukum Pengertian Arbitrase adalah - Di Indonesia, Arbitrase
bukan merupakan sesuatu hal yang baru dalam dalam penyelesaian sengketa,
meskip ...
 Pengangkutan Hewan Melalui Udara Pengiriman Mekanisme dan
Persyaratan serta Pengawasan Pelaksanaan Pengangkutan Hewan Melalui Udara
adalah Dalam penyelenggaraan kegiatan pengangkutan hewan agar dapat berjalan
dengan lancar dan dapat ...

 Pengertian Perolehan Kekayaan Yayasan Yang Dipisahkan dan


Jenis Menurut Undang undang Pengertian Kekayaan yang dipisahkan tersebut
merupakan modal bagi usaha yayasan yang berasal dari modal para pendiri sebagai
modal aw ...

 Pengertian Jaminan Hari Tua Ketentuan Perjanjian Syarat


Penerimaan Bagi Karyawan dan setelah tidak Bekerja Pengertian Jaminan Hari Tua
adalah merupakan sebuah perlindungan bagi karyawan yang diambil setiap bulannya
dari upah karyawan yang b ...

 Mediasi Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa Para Pihak


Mediasi Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa Para Pihak Setiap masyarakat
mengandung konflik di dalam dirinya atau dengan kata lai ...

0 comments:

Post a Comment

Newer Post Older Post Home

Rekomendasi Bacaan

Teori Pembagian Kekuasaan Menurut Trias Politika, John Locke, Montesquieu

Pengertian Administrasi Fungsi Tujuan Peran dan Ruang Lingkup

Pengertian Analisis Rasio Keuangan Jenis dan Rumusnya

Kekuasaan Legislatif Eksekutif Yudikatif serta Pembagian Kekuasaan Menurut UUD


Negara Republik Indonesia 1945

Dwi Fungsi ABRI Demokrasi Masa Orde Baru Landasan Konsep, Serta Peran Ganda

Pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG) Definisi Komponen Utama dan


Representasi Grafis Suatu Objek


Pengertian Kemiskinan Jenis Faktor Penyebab Menurut Para Ahli

Pengertian Public Relation Fungsi, Tugas dan Tujuan Definisi Menurut Para Ahli

Pengertian Suku Bunga dan Teori Faktor-faktor Yang Mempengaruhi

 Perkembangan Hak Asasi Manusia di Dunia Sebelum Peran dan Sesudah

Advertiser
 
Privacy Policy | Term of Use | Contact Us |
Owner. Ade Sanjaya | © 2015 Landasan Teori by Blogger

Anda mungkin juga menyukai