Anda di halaman 1dari 2

Artikel Mengenai Penyalahgunaan Narkoba, Psikotropika

dan Zat Aditif

Terdapat suatu kenyataan yang sulit dipercaya , bahwa hampir semua pengguna Narkoba
mengetahui bahaya dari Narkoba, namun hanya sedikit yang bersedia dan berhasil untuk
menghentikan kebiasaannya tersebut. Ancaman penyakit yang mengintai terkadang tidak
cukup ampuh untuk membuat pacandu menghentikan kebiasaannya . Narkoba di satu sisi
merupakan suatu yang dibenci dan dicoba untuk dihindari , namun disatu sisi yang lain
dianggap sebagai sahabat setia yang terus dicari dan dijadikan sebagai salah satu alat
pergaulan. Narkoba dipandang sebagai masalah yang paling mendesak untuk ditangani dan
dikurangi , karena mengandung pelbagai senyawa beracun dan bersifat karsinogenik (dapat
menyebabkan keganasan).

Kebiasaan merokok, sebagai salah satu media menikmati narkoba , misalnya putauw ternyata
juga mempunyai keterkaitan dengan penyakit Tuberculosis ( TBC ) , sehingga keduanya
merupakan agenda penting dari WHO akhir-akhir ini . Hal ini juga merupakan masalah yag
sangat penting bagi Indonesia yang merupakan penyumbang kasus TBC ketiga terbanyak di
dunia (Aditama, Kompas , hal 28 , 16 April 2003 ) Pada tahun 1964 , WHO sebagai badan
kesehatan sedunia menyatakan bahwa istilah "adiksi" tidak lagi menjadi istilah ilimiah dan
menganjurkan menggantinya dengan istilah "ketergantungan obat ". Ketergantungan obat
dalam hal ini meliputi dua dimensi yaitu ,ketergantungan perilaku dalam aktivitas mencari-
cari zat , dan ketergantungan fisik beserta gejala-gejala yang muncul sebagai akibat
ketergantungan obat tersebut.

Ketergantungan pada Putauw atau disebut dengan nama lainnya yaitu Amphetamin, crack,
ice, meth, crystal, shabu , atau speed banyak disebut sebagai salah satu bentuk
ketergantungan yang paling tua dalam sejarah modern , dikarenakan ditengarai sudah
dilakukan semenjak tahun1932. Penelitian yang dilakukan oleh National Household Survey
on Drug Abusedi Amerika pada tahun 1991 , satu persen dari total populasi 20.145.033
remaja berusia 12-17 tahun mengalami ketergantungan terhadap putauw.

Demikian juga empat persen dari populasi 28.496.148 remaja berusia 18-25 tahun ( Kaplan ,
1997 ). Survei tersebut juga menemukan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dalam hal
jumlah penyalahgunaan putauw yaitu 7.4 juta yang merupakan penguna dibanding 5.4 juta
wanita. Hal yang memprihatinkan adalah jumlah narkoba yang disalahgunakan setiap
tahunnya selalu mengalami peningkatan dalam usia pertama kali orang merokok yang
semakin muda.

Menurut data dari National Institute on Drug Abuse ( NIDA ) pada tahun 1991 di Amerika
terdapat kecenderungan peningkatan jumlah pecandu baru pada kelompok usia 18 sampai 25
tahun, namun jika dilihat dari jumlah narkoba yang dikonsumsi , kelompok usia dewasa 26
sampai 34 tahun adalah kelompok usia yang terbanyak menghabiskan narkoba dalam satu
harinya ( Kaplan, 1997)

Para ahli terus melakukan penelitian untuk mencari jawaban atas pertanyaan penyebab dari
kebiasaan mecandu pada tiap tahapan usia. Berbeda dengan kebiasaan mecandu yang
dilakukan oleh remaja yang lebih karena usahanya dalam mencari jati diri atau tekanan dari
kelompok sebaya ( Prabandari , 1994 ) , maka kebiasaan menggunakan putauw pada usia
dewasa selain sebagai akibat kebiasaan merokok yang dilakukan semenjak usia remaja juga
merupakan usaha untuk melarikan diri dari perasaan frustrasi dan depresi sebagai akibat dari
lingkungan kompetitif yang dihadapinya ( Butler dalam Kaplan , 1997 ).

Sementara itu , gencarnya pengaruh dari lingkungan pergaulan yang dialami, sering dituding
sebagai salah satu penyebab dari terus bertambahnya angka pecandu di kalangan masyarakat.
Di sisi lain , Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pembatasan penggunaan
narkoba ,beserta hukuman bagi pecandu maupun pengedar masih dianggap terlampau lunak
dan pelaksanaan yang belum merata, serta masih maraknya suap di kalangan penegak hukum
membuat upaya pemberantasan narkoba masih sangat sulit dilakukan . Hal ini membuat
tingkat bahaya narkoba dan kecenderungan ketagihan dan ketergantungan pada narkoba akan
semakin tinggi , dan semakin sulitnya seseorang untuk melepaskan dirinya dari
ketergantungan terhadap narkoba

Ketagihan yang disebabkan oleh narkoba , seringkali bukanlah suatu kebiasaan yang dapat
dengan mudah diubah oleh seseorang . Seringkali pula bantuan ahli atau adanya terapi
diperlukan dalam usaha mengendalikan perilaku merokok . Dalam dunia Psikiatri , misalnya,
dikenal terapi kombinasi penggunaan nikotin transdermal , atau obat - obatan jenis pengganti
nikotin , seperti Lobeline ( tablet hisap nikotin) , Clonidine ( Catapres ) , anti depresan
khususnya Fluoxetine ( Prozac ) , dan Buspirone ( Bu Spar ) ( Kaplan , 1997 ) . Namun,
kemudian disadari bahwa hanya dengan terapi kimiawi saja tidak cukup efektif untuk
mengendalikannya.

Fenomena penyalahgunaan zat mempunyai banyak implikasi untuk penelitian. Dikatakan


bahwa beberapa zat dapat mempengaruhi perilaku baik internal , misalnya mood ataupun
eksternal yaitu perilaku yang dapat diamati oleh orang lain. Dalam hal ini dikatakan bahwa
penggunaan psikotropika, termasuk putauw dengan kerusakan fungsi otak adalah
berhubungan erat.

Dalam hal ini , penanganan yang lebih serius untuk mencegah semakin luasnya penyebaran
narkoba perlu dilakukan secepatnya agar efek merusak pada kalangan remaja dapat dicegah
sedini mungkin mengingat bahwa biaya yang digunakan untuk melakukan rehabilitasi
narkoba telah mencapai 200 milyar dolar pada tahun 1990-an di Amerika saja, belum
termasuk di belahan lain di dunia , jauh lebih besar dibandingkan pemasukan devisa bagi
sebagian besar negara di dunia

Anda mungkin juga menyukai