Anda di halaman 1dari 8

Mekanisme Pelaksanaan Hukum Cambuk di Aceh

Menurut Konsep Fiqih

A. Latar belakang masalah


Islam sebagai sebuah agama mengatur segala aspek kehidupan. Ajaran
Islam merupakan satu kesatuan yang terdiri atas keimanan dan amal yang
dibangun di atas prinsip ibadah1 hanya kepada Allah. Pengaturan itu dibuat tiada
lain dalam rangka kepatuhan kepada-Nya menurut dimensi transcendental.
Bahkan ajaran tentang tauhid (prinsip keesaan Tuhan) merupakan system
kehidupan (manhaj al-hayat) bagi setiap Muslim kapan dan di mana pun.2
Pendek kata, Islam itu satu kesatuan yang menyeluruh dan tidak dapat dipecah-
pecah, al-Islam kullu la yatajaza.3 Di sisi lain aturan-aturan itu untuk ketertiban
dan keteraturan sebagai cita hukum bagi keberlangsungan roda kehidupan sosial
yang lebih luas. Komunitas muslim secara keseluruhan menghendaki pesan-
pesan hukum Tuhan itu dapat berjalan secara alamiah tanpa ada kendala yang
menyebabkan masyarakatnya tidak bisa beramal dan bertindak hukum sesuai
syari’at, karena memang Allah Swt menuntut umat Nya kepada pengabdian
tersebut.4
1
Ibadat artinya: pengabdian, penyembahan, ketaatan, menghinakan/merendahkan diri, dan doa.
Yusuf Qaradhawi mendefinisikan ibadah sebagai “nama bagi semua hal yang membuat Allah senang
dan ridha, baik yang terdiri atas perkataan maupun perbuatan, baik yang bersinar lahir maupun
batin”. Menurut ulama Mazhab Syafi’I, ibadah ialah perbuatan yang dibebankan Allah subhanahu wa
ta’ala kepada hamba-Nya yang tidak selamanya sesuai dengan keinginan yang bersangkutan. Ibnu
Taimiyah mendefinisikan ibadah sebagai “ketaatan dan ketundukan yang sempurna”, juga adanya
unsur “kecintaan terhadap yang disembah sehingga ketundukan dan ketaatan yang merupakan
ibadah haruslah berdasarkan kecintaan terhadap yang disembah”. Berdasarkan penjelasan Ibnu
Taimiyah, Yusuf Qaradhawi mengatakan bahwa segenap aspek kehidupan manusia dapat bernilai
ibadah, seperti makan, minum, pergaulan dalam masyarakat, dan mengunjungi orang sakit, dan
sebagainya.(lihat Ensiklopedi Hukum Islam, 1999 :592).
2
Sayyid Quthb, Ma’alim Fi al-Thariq (Kairo: Dar al-Syauq, 1992), hlm.92
3
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan
Ekonomi (Bandung, Mizan, 1993, hlm.276.
4
Surat An-Nisa’ ayat: 59, Surat, Surat Al-Maidah ayat: 44, 45 dan 47. Ayat-ayat tersebut menjelaskan
supaya manusia taat kepada perintah Allah, taat kepada Rasul Nya dan ulil amri serta berhukum
(memutuskan) perkara menurut hukum-hukum Allah. Bila ini tidak dilakukan maka manusia bisa
masuk kategori kafir, zalim dan fasik. Ayat tersebut tidak hanya ditujukan kepada kaum Yahudi dan
Nasrani tetapi juga ditujukan kepada kaum muslimin. Said bin Jubair pernah ditanya, apakah ayat-
ayat tersebut hanya ditujukan kepada Bani Israil, ia menjawab: Tidak! Bahkan dia diturunkan atas
kita. (Hamka, Tafsir al-Azhar, Juzu’6). Yusuf Qaradhawi juga menyatakan, bahwa meskipun konteks
ayat-ayat al-Qur’an tersebut adalah mengenai Ahlul Kitab, tetapi ayat-ayat itu menggunakan lafaz
‘am (umum), yang mencakup semua orang, baik untuk ahlul kitab maupun orang muslim. Karena itu,
para ahli ushul dari kalangan Ulama kaum Muslim menetapkan bahwa, “Yang terpakai adalah

1
Implementasi hukum syari’at butuh wadah secara struktural dan kultural, 5
kedua strategi ini mutlak adanya dalam rangka menjunjung nilai-nilai yang
ilahiah di bumi. Harapan pada gilirannya terjadi akulturasi nilai liahiah dan
insaniah secara linier dan integral namun keduanya saling mendukung satu
dengan lainnya dan tidak diperlawankan, dengan begitu diharapkan terjadi
ketertiban, keteraturan dan kesejahteraan masyarakat luas secara makro. Pada
tataran implementasi nilai-nilai luhur hukum itu seringkali menemui rintangan
dalam implementasinya tidak semudah membalikkan telapak tangan terkadang
ada saja sekat dan duri yang mengitarinya. Untuk hal itu penegakan hukum (law
enforcement)6 yang kuat tentu merupakan suatu kebutuhan tersendiri. Peraturan
hukum yang dikemas secara rasional argumentatif, aparat penegak hukum yang
profesional serta sarana penunjang yang modern lebih memudahkan capaian
cita-cita luhur hukum dimaksud.
Gerakan untuk menerapkan syari’at Islam di sejumlah daerah merupakan
fenomena yang menonjol di era reformasi. Gerakan ini hampir bersamaan
dengan perjuangan mengusung Piagam Jakarta tahun 2000 yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok umat Islam dalam berbagai organisasi keagamaan. Gerakan
Islam yang memperjuangkan formalisasi syar’at Islam berlangsung secara
relative luas di Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Aceh. 7 Aceh, pasca

keumuman lafaz, bukan yang dikhususkan untuk melatarbelakangi turunnya ayat.(baca: Yusuf
Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, jilid II, 1998, hlm. 1023.)
5
Pergumulan islam dengan kondisi lingkungan yang tidak tunggal ditambah faktor realitas
kesejarahan masyarakat Islam di berbagai kawasan yang heterogen menghadapkan masyarakat
Islam pada berbagai pilihan corak dalam membumikan ajaran-ajaran Islam. Pijakan doktrin Islam dan
realitas sosiologis masyarakat mengantarkan maxim “Islam adalah solusi”, setidaknya, pada dua
corak pendekatan, yaitu mengedepankan pendekatan bercorak ideal-normatif-ideologis dan
menekankan corak ideal historis-sosiologis. (baca: Pengantar Prof DR. H. Ahmad Syafi’I Ma’arif dalam
buku yang ditulis oleh Dr. Haedar Nashir: Gerakan Islam Syariat-Reproduksi Salafiyah Ideologis di
Indonesia”).
6
Sunaryati Hartono (1991) mengemukakan untuk tegaknya sistem hukum Nasional paling sedikit ada
dua belas unsure yang saling mempengaruhi yaitu nilai kehidupan berbangsa, filsafat hukum, budaya
hukum, norma hukum, bahasa hukum, lembaga hukum, prosedur di lembaga hukum, sumber daya
manusia, pendidikan hukum, sarana dan prasarana hukum, lembaga pembangunan hukum, serta
anggaran pembangunan hukum. Dikutip dari buku: Memahami Hukum, Dari Konstruksi sampai
Implementasi, editor Prof. Dr. Satya Arinanto, SH.,M.H dan Nunuk Triyanti, SH, MH, (Jakarta, Rajawali
Pers, 2011), hlm. 9
7
Ibid, Dr. Haedar Nashir, Gerakan Islam Syari’at, hlm. 282. Aceh sebagai daerah yang punya
Heroisme dan militansi sangat tinggi dalam melawan imperialisme Belanda, sejak dahulu kala hingga
kini masih terus mencita-citakan untuk berlakunya syari’at Islam. Masyarakat Aceh yakin dengan
diberlakukan hukum syari’at akan lebih relevan dengan iman yang bertauhidkan kepada Allah Swt.,
sehingga akan lebih ikhlas dalam akseptabilitasnya. Yang menarik bahwa salah satu daerah Aceh di

2
disahkannya Undang-Undang nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang nomor 11
tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kedua Undang-Undang tersebut yang
memberi ruang sangat luas bagi implementasi syari’at Islam di tanah Serambi
Mekah ini. Khusus dalam pasal 128 Undang-Undang nomor 11 tahun 2006
menyebutkan Peradilan syari’at Islam di Aceh adalah bagian dari system
peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh
Mahkamah Syar’iyah dan peradilan tersebut diperuntukkan bagi setiap orang
yang beragama Islam dan berada di Aceh, yang kewenangannya memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-
syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum
pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam.8 Dalam perkara jinayah yang telah
dilimpahkan kewenangannya menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah yang
sebelumnya merupakan kewenangan Pengadilan Umum adalah 1. Perkara
Maisir (Judi), 2. Perkara Khamar (minuman memabukkan), dan 3. Perkara
Khalwat (mesum).9
Terhadap kasus-kasus tersebut setelah diperiksa, diadili dan diputuskan
oleh Hakim Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota, yang kemudian bila tidak
melakukan upaya hukum, dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak dibacakan putusan
tersebut, putusan tersebut telah menjadi berkekuatan hukum tetap (BHT).
Menurut Hukum Acara Pidana penegakan hukum selanjutnya adalah
pelaksanaan eksekusi atas putusan hakim terhadap terdakwa yang telah
dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak
pidana/jarimah dan untuk pelaksanaan eksekusi ini dilaksanakan oleh Jaksa.10
masa lampau dikenal dengan daerah-daerah yang menjadi basis DI/TII. Di samping terkenal
penduduknya taat beragama Islam dan basis dari kekuatan-kekuatan politik Islam seperti Syarikat
Islam dan Masyumi di masa lalu.
8
Dinas Syariat Islam Aceh, Himpunan Undang-undang, keputusan presiden, peraturan
daerah/qanun, instruksi gubernur, edaran gubernur berkaitan pelaksanaan syariat Islam, (Banda
Aceh, 2011), edisi II, hal.156.
9
Baca: Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang pelimpahan sebagian
Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar’iyah Propinsi Aceh nomor
KMA/070/SK/X/2004. Acara monumental dilaksanakan di Pendopo Gubernur Aceh di Banda Aceh
yang dihadiri oleh Ketua Mahkamah Agung sendiri waktu itu Prof. Dr. H. Bagir Manan, dan beberapa
menteri kabinet bersatu di era kepemimpinan persiden Susilo Bambang Yudhoyono.
10
Lihat pasal 36 ayat (1) berbunyi: Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan
oleh jaksa. (Ahmad fauzan, SH., LL.M, Perundang-undangan Lengkap tentang Peradilan Umum,
Peradilan Khusus, Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, Pengadilan Korupsi,

3
Ancaman hukuman (Uqubat) terhadap pelanggar jarimah khamar, maisir
dan khalwat di Aceh, sebagaimana tertuang di dalam qanun nomor 12 Tahun
2003 , qanun nomor 13 Tahun 2003, dan qanun nomor 14 Tahun 2003 yaitu
dicambuk di depan umum oleh eksekutor dalam hal ini adalah Jaksa. Untuk
memback-up pelaksanaan aturan yang dianggap belum cukup memadai pada
tanggal 13 Desember 2013 oleh Gubernur Aceh Zaini Abdullah telah
menandatangani qanun Hukum Acara Jinayah nomor 07 Tahun 2013, dengan itu
diharapkan tidak ada lagi alas an yang selama ini dijadikan bahwa terdakwa
tidak bias ditahan karena aturan hukum acara untuk perkara tersebut belum
diatur.11

Ketika eksekusi hukum cambuk pertama sekali dilaksanakan di Aceh


sekitar tahun 2003 atas putusan Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah Biruen
yang dilaksanakan di depan Masjid Agung Biruen, tiba-tiba saja bermunculan
beragam tanggapan dari masyarakat, antara yang setuju disertai pujian dan yang
anti terhadap hukum cambuk yang disertai dengan tudingan dan menyudutkan
penerapan ancaman hukum cambuk tersebut. Di antara tudingan tersebut
menyatakan hukum cambuk itu kejam, sadis dan melanggar hak asasi manusia.
Terutama yang sangat keberatan terhadap hukum cambuk itu adalah para
pejuang hak asasi manusia bahkan sampai hari ini masih saja mencari-cari alibi
dan hampir saja mengindentikkan setiap hukum yang diterapkan yang bersumber
dari hukum Islam sudah terstigma difikiran mereka bahwa hukum Islam itu
kejam, sadis, dan melanggar hak asasi manusia. Di Sabang tahun 2013 seorang
pejabat kepolisian polres Sabang (Wakalpolres) menggagalkan eksekusi
pelaksanaan hukum cambuk yang sudah dipersiapkan di halaman mesjid agung
kota sabang karena yang akan dicambuk tersebut salah satunya adalah anggota
kepolisian Polres Sabang yang notabene terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan pelanggaran jarimah maisir (perjudian togel).Terakhir sekali

Pengadilan Perburuhan(UU No.2 Tahun 2004), Pengadilan Pajak, Mahkamah Syar’iyah, Mahkamah
Pelayaran (Plus PP No. 8 Tahun 2004) dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kencana, 2005), hlm. 13
11
Penahanan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau
hakim dengan penetapannya bermaksud sebagai upaya memudahkan pengusutan dan pemeriksaan
lebih lanjut terhadap perkaranya. (baca: Qanun nomor 7 Tahun 20013, bagian kedua masalah
penahanan). Masalah penahanan ini acapkali selama ini menjadi polemik bagi tidak terjeratnya
pelaku pelanggar syariat di Aceh.

4
informasi terbaru tanggal 12 mei 2014 yang dipublikasikan di web site
Mahkamah Syar’iyah Aceh, pejabat tinggi kedutaan kedutaan besar Belanda Mr
Nico Scheftners bertandang ke Mahkamah Syar’iyah Aceh,  ingin mengetahui
secara dekat bagaimana peran Mahkamah  Syar’iyah Aceh dalam penegakan
syari’at Islam di Aceh. Karena menurutnya di Aceh telah berlaku hukum Islam
dan banyak turis-turis Belanda yang datang ke Aceh dan mereka pada umumnya
belum tahu tentang perkembangan  baru di Aceh terutama tentang penegakan
Syari’at Islam. Berat dugaan penulis di Eropa sana masih saja dihantui dan
ketakutan terhadap hukum-hukum berbau syariah dalam hal ini hukum Islam.
Sebagai perbandingan kecil saja seperti penulis kutip dalam tulisan Adian
Husaini, MA dalam bukunya “Rajam dalam Arus Budaya Syahwat”, kata beliau:
“Terlalu banyak praktik-praktik dan kejadian yang menyedihkan di negeri-
negeri Islam. Sejumlah pemerintahan di negeri muslim, malah sangat represif
terhadap upaya penegakan syari’at Islam, seperti terjadi di Turki. Di negeri ini,
mengenakan jilbab di kantor pemerintahan dan institusi Negara masih dipandang
sebagai tindak pidana”.12 Hal-hal seperti dijelaskan itu apakah ada benang
merahnya dengan dakwah atau perluasan wilayah Islam dalam sejarah masa lalu
yang menjadikan sebuah trauma besar bagi masyarakat Eropa atau bagaimana
lebih jauh akan di jelaskan di depan.

Menjelaskan mekanisme pelaksanaan hukum cambuk tersebut di atas


menurut konsep fikih, dalam rangka menyatukan pemahaman yang integral,
argumentative dan rasional dirasakan sangatlah penting dalam dunia akademis.
Sehingga mengurangi multi tafsir dan kesalahpahaman tentang apa dan
bagaimana hukum cambuk itu diterapkan di bumi serambi mekah ini sebagai
daerah yang telah memberlakukan syariat Islam.

B. Rumusan masalah
Di sebagian daerah Aceh ini, sebelum hukum cambuk dilegal formalkan
oleh pemerintah, ada budaya hukum yang liar untuk menghakimi seseorang yang
diduga telah melanggar nilai-nilai yang dianggap bertentangan dengan syariat
12
Adian Husaini, Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat, Penerapan Hukum rajam di Indonesia Dalam
tinjauan Syari’at Islam, Hukum Positif & politik global, (Jakarta Timur, CV. Pustaka AlKautsar, 2001).
Edidi I, Hlm.91

5
Islam. Seperti, bila di sebuah desa atau di suatu tempat ditemukan oleh
sekelompok pemuda ada pasangan lawan jenis berdua-duaan tanpa ikatan
perkawinan, seringkali masyarakat menangkap kemudian menghakimi sendiri
tanpa lewat prosedur hukum yang telah ditentukan oleh Negara. Penghakiman
massal itu bermacam-macam bentuknya mulai dari dimandikan pasangan
tersebut dengan air comberan, dikeroyok sampai babak belur, hingga diarak
keliling kampung dengan gendang dari kaleng yang diiringi beramai-ramai.
Tujuannya untuk memalukan dan menjadi jera. Tentunya penghakiman
semacam itu perlu dicegah karena tidak menjamin kepastian hukum dan akan
terjadi ketidakadilan atau kezaliman yang serius. Penegakan hukum seperti itu
berbanding terbalik dengan sebuah falsafah bangsa Indonesia yang senantiasa
menjunjung tinggi nilai-nilai hukum dan kepastian hukum.
Menjadi pertanyaan besar bagi penulis ketika pelaksanaan hukum cambuk
dilaksanakan Di Aceh, banyak sekali terjadi kecaman, tudingan, dan protes,
lewat media massa baik surat kabar maupun di media televisi. Hal ini muncul,
mungkin karena belum maksimalnya penjelasan mengenai hukum yang akan
diterapkan itu, dari segi kedudukan, sejarah dan kaitannya dengan akulturasi
dengan budaya hukum di Negara kita. Apakah sebagian masyarakat menolak
hukum cambuk karena dianggap hukum itu barang impor dari timur tengah dan
sebagainya sehingga oleh pihak Eropa mengecam hukum cambuk itu kejam dan
melanggar HAM dan identik dengan barbarianism.
Di sinilah penulis nantinya ingin melihat bagaimana ketentuan-ketentuan
yang berlaku tentang hukum cambuk itu menurut hukum Islam atau kaca mata
fikih. Begitu juga penulis ingin melihat realita yang ada dalam masyarakat Aceh
bagaimana pemahamannya terhadap hukum cambuk dan sejauh mana
aseptabilitas hukum cambuk itu di rasakan maknanya dalam masyarakat.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Mengapa hukum cambuk yang dipilih untuk diterapkan di Aceh dan apa dasar
hukum serta prinsip-prinsipnya menurut kosep fiqih ?
2. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap pelaksanaan hukum cambuk di
Aceh ?

6
3. Sejauhmanakah hukum cambuk menjadi obat penawar bagi pelaku jarimah
Maisir (judi), Khamar (minuman memabukkan), dan Khalwat (mesum) di Aceh?
4. Bagaimana pula sikap Pemerintah Aceh menjawab tudingan bahwa hukum
cambuk tersebut kejam, sadis dan bertentangan dengan HAM?

C. Tujuan dan kegunaan penelitian

D. Kajian kepustakaan

E. Metode penelitian

F. Sistematika pembahasan.

Catatan:

1. Belum dapat kami selesaikan secara seksama karena masih banyak referensi
yang belum kami baca dan dapatkan, di samping waktu yang lama dan
panjang, yang belum cerdas kami memanfaatkannya.
2. Oleh karenanya, butuh masukan yang inovatif, logis dan bersifat kekinian
terhadap calon proposal ini. Kami dengan senang hati menerima kritikan,
masukan demi terpenuhinya standarisasi sebagai sebuah proposal disertasi di
kajian doktoral fikih modern ini. Akhirnya terimakasih yang sedalam-
dalamnya kami sampaikan atas semua itu.

Daftar Pustaka

1. Ahmad Fauzan, , Perundang-undangan Lengkap tentang Peradilan Umum,


Peradilan Khusus, Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM,
Pengadilan Korupsi, Pengadilan Perburuhan(UU No.2 Tahun 2004),

7
Pengadilan Pajak, Mahkamah Syar’iyah, Mahkamah Pelayaran (Plus PP
No. 8 Tahun 2004) dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kencana, 2005.
2. Adian Husaini, Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat, Penerapan Hukum
rajam di Indonesia Dalam tinjauan Syari’at Islam, Hukum Positif & politik
global, Jakarta Timur, CV. Pustaka AlKautsar, 2001.
3. Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat,
Hukum, Politik dan Ekonomi, Bandung, Mizan, 1993.
4. Hamka, Tafsir al-Azhar, Juzu’6
5. Haedar Nashir: Gerakan Islam Syariat-Reproduksi Salafiyah Ideologis di
Indonesia”.
6. Satya Arinanto dan Nunuk Triyanti, Memahami Hukum, Dari Konstruksi
sampai Implementasi,Jakarta, Rajawali Pers, 2011.
7. Sayyid Quthb, Ma’alim Fi al-Thariq , Kairo: Dar al-Syauq, 1992

8. Yusuf Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, jilid II, 1998.


9. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang pelimpahan
sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar’iyah
Propinsi Aceh nomor KMA/070/SK/X/2004.
10. Dinas Syariat Islam Aceh, Himpunan Undang-undang, keputusan presiden,
peraturan daerah/qanun, instruksi gubernur, edaran gubernur berkaitan
pelaksanaan syariat Islam, Banda Aceh, 201.
11. Undang-undang nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
12. Qanun nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar
13. Qanun nomor 13 Tahun 2003 tentang maisir
14. Qanun nomor 14 Tahun 2003 tentang khalwat
15. Qanun nomor 07 tahun 2013 tentang Hukum Acara jinayah.

Anda mungkin juga menyukai