Disusun Oleh :
D IV / 4A
Dosen Pembimbing :
Jurusan Gizi
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul Hubungan Metabolisme
Zat Gizi dengan Sistem Imun Tubuh. Dalam penyusunan makalah ini, penulis telah berusaha
sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan penulis. Namun, penulis tidak juga luput dari
kesalahan, baik dari teknik penulisan maupun tata bahasa. Namun walaupun demikian,
penulis berusaha sebisa mungkin menyelesaikan karya ini meskipun sangat sederhana.
Banyak kendala yang penulis alami selama pemyusunan makalah ini, tetapi penulis banyak
memperoleh bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak sehingga termotivasi untuk segera
menyelesaikannya. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih,
khususnya kepada:
1. Orang tua tercinta yang telah memberi restu, motivasi, serta ide-idenya
2. dr. Iskandar Zulkarnaen, M.Sc, selaku pembimbing yang telah mengarahkan,
membimbing, dan memberi pendapat serta analisanya terhadap karya tulis ini
sehingga penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikannya dengan baik
3. Para teman Program Studi Diploma IV kelas IV A yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan makalah ini
4. Pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu
Adapun makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Immunologi Gizi. Diharapkan
tulisan ini dapat bermanfaat untuk menambah informasi mengenai Hubungan antara
Metabolisme Zat Gizi dengan Sistem Imun Tubuh. Penulis menyadari bahwa dalam
menyusun makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya makalah ini. Penulis berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
Daftar Isi ii
Bab 1
Tujuan 1
Bab 2 .
Pengertian . 2
Bab 3 ..
Kesimpulan .. 16
Daftar Pustaka .. 17
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui hubungan antara metabolisme zat gizi dengan sistem imun tubuh
individu.
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Metabolisme adalah proses pemecahan zat gizi di dalam tubuh untuk
menghasilkan energi atau untuk pembentukan struktur tubuh. (Almatsier, 2015)
Metabolisme menyangkut semua proses fisik dan kimia yang terjadi dalam tubuh yang
diperlukan untuk mempertahankan kehidupannya. Reaksi kimia yang terjdi
memungkinkan tubuh mengeluarkan dan menggunakan energi yang berasal dari
makanan.
Zat gizi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungisnya,
yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur proses
proses kehidupan. (Almatsier, 2015)
Leptin memberikan sebuah studi kasus mengenai suatu hubungan yang kompleks
ini. Leptin berasal dari bahasa Yunani leptos yang berarti kurus. (Poeggeler, et al.,
2010). Leptin merupakan suatu protein produk dari gen obesitas (ob) dengan berat
molekul 16 kDa yang disintesis terutama coleh jaringan adiposa (Zhang, et al., 1994).
Leptin merupakan hormon polipeptida yang berasal dari sel-sel lemak (Scolaro et
al., 2010) yang sekresinya berbanding lurus dengan massa jaringan lemak (Fain et al.,
2004). Menurut Masuzaki et al., (1995) dan Scolaro et al., (2010), leptin berperan dalam
pengaturan nafsu makan, hematopoiesis, reproduksi, respons imun, dan kesembuhan
luka. Leptin sebagai molekul angiogenik (Honigmann et al., 1998) dapat berperan dalam
neovaskularisasi luka dan memiliki efek pada sel-sel yang terlibat dalam proses
kesembuhan luka, seperti fibroblas, makrofag, dan keratinosit (Murad et al., 2003). Efek
menguntungkan dari leptin pada perbaikan luka adalah aksi mitogeniknya secara
langsung pada keratinosit di tepi luka (Frank et al., 2000). Secara imunohistokimia,
leptin banyak ditemukan pada keratinosit di epidermis serta elemen vaskular di fibroblas
pada dermis. Keratinosit mengekspresikan reseptor leptin dan dapat berproliferasi jika
ada peningkatan jumlah leptin.
Pada sel NK, leptin terlibat dalam semua proses perkembangan sel, diferensiasi,
proliferasi, aktivasi dan sitotoksisitas dan efek ini dimediasi oleh aktivasi STAT3.
Berdasarkan jaringan aktivasi protein STAT yang kompleks, analisis lanjutan mengenai
regulasinya oleh sinyal leptin pada sel imun akan memberikan pengertian yang lebih
baik mengenai modulasi imun yang dimediasi leptin. MAPK, reseptor insulin substrat 1
dan jalur fosfatidilinositol 3- kinase juga penting untuk memediasi aktivitas leptin pada
sel T imun. Pada netrofil, leptin mengaktifkan kemotaksis melalui jalur p38 MAPK.
Selanjutnya, pada PBMC jalur MAPK tampaknya memediasi efek antiapoptotik. Jalur
fosfatidilinositol 3-kinase adalah regulator untuk sejumlah efektor, meliputi faktor
transkripsi antiapoptotik NF-kB. NF-kB berperan penting dalam memediasi berbagai
sistem sinyal untuk meregulasi respon imun (Hotamisligil, 2003).
Peran leptin yang telah dijelaskan dalam fungsi sistem imun dapat bersifat relevan
baik dalam imunitas seluler maupun humoral. Efek utama leptin dalam imunitas bawaan
melibatkan aktivasi proliferasi dan fagositosis monosit/makrofag, kemotaksis netrofil,
pelepasan radikal oksigen oleh sel, serta aktivasi sel NK. Pada makrofag, leptin juga
meningkatkan sekresi sitokin proinflamasi seperti TNF-, IL-6 dan IL-12 (Dagogo dkk.,
2007).
Efek leptin terhadap imunitas adaptif juga telah banyak diteliti. Leptin
menstimulasi proliferasi sel T naf dan sekresi IL-2 oleh sel tersebut. Studi pada manusia
telah menunjukkan peran leptin dalam aktivasi limfosit. Leptin saja tidak mampu
menginduksi proliferasi dan aktivasi limfosit matur di darah perifer manusia kecuali jika
diberikan bersama dengan imunostimulan nonspesifik lain, dimana leptin menyebabkan
induksi penanda aktivasi dini (CD69) dan lambat (CD25 dan CD71) baik pada limfosit
CD4 maupun CD8 (Cusin dkk., 2009).
Tikus dengan mutasi gen reseptor leptin (tikus db/db) mengalami penurunan
bermakna dalam hal ukuran sel timus serta menunjukkan defek imunitas yang dimediasi
sel T. Pada hewan ekperimental, stimulus inflamasi menginduksi mRNA leptin dan
meningkatkan kadar leptin serum. Pada kondisi ini, defisiensi leptin berhubungan
dengan berkurangnya inflamasi pada hewan coba dengan penyakit autoimun dan dengan
meningkatnya kerentanan terhadap infeksi oleh bakteri maupun virus (Faggioni dkk.,
2010).
Serupa dengan itu, manusia dengan defisiensi leptin kongenital memiliki insiden
yang jauh lebih tinggi untuk kematian akibat infeksi pada masa kanak-kanak. Defisiensi
leptin juga berhubungan dengan meningkatnya kerentanaan terhadap toksisitas stimulus
proinflamasi seperti endotoksin dan TNF-. Malnutrisi merupakan kondisi yang ditandai
oleh rendahnya kadar leptin juga berhubungan dengan perubahan respon imun dan atropi
timus, yang dapat dilakukan dengan pemberian leptin (Gerdes dkk., 2010). Defisiensi
dari leptin atau tidak mencukupi nya kadar leptin dalam tubuh akan menurunkan jumlah
sel imunitas yang berasosiasi dengan periode deprivasi nutrisi.
Mirip dengan itu kadar CD4+ yang rendah dalam sirkulasi, gangguan proliferasi
sel T dan gangguan pelepasan sitokin sel T yang ditunjukkan oleh pasien dengan
defisiensi leptin kongenital akan mengalami perbaikan dengan pemberian recombinant
human leptin (Lam dkk., 2007). Efek lebih lanjut dari leptin dalam imunitas melibatkan
supresi pada proliferasi sel T regulator (Treg) CD4+ CD25+ . Baru-baru ini ditunjukkan
bahwa Treg yang diisolasi ternyata menghasilkan leptin. Selanjutnya, reseptor leptin
diekspresikan dalam jumlah sangat besar di permukaan sel Treg. Netralisasi in vitro
dengan antibodi monoklonal leptin saat stimulasi dengan antibodi anti-CD3 dan anti-
CD28 menyebabkan proliferasi Treg, yang dependen IL-2. Temuan tersebut
menunjukkan bahwa sinyal leptin jelas terlibat dalam mempertahankan kondisi anergi
Treg pada manusia. Sesuai dengan hal ini, baik tikus defisiensi leptin (tikus ob) maupun
tikus defisiensi reseptor leptin (tikus db) berhubungan dengan sangat meningkatnya
jumlah Treg (Flier, 2004).
Meskipun leptin telah banyak diketahui efek regulasinya terhadap sel imun,
namun ekspresi dan pelepasannya dibawah kendali rangsangan inflamasi yang berbeda.
Telah dibuktikan bahwa inflamasi akut dan sitokin proinflamasi seperti TNF-, IL-1, IL-
6 dan faktor inhibisi leukosit, meregulasi ekspresi leptin secara positif dalam jaringan
adiposa dan kadar leptin dalam sirkulasi (Scotece dkk., 2014).
Kemampuan untuk menggunakan zat gizi makro adalah sesuatu yang utama
sebagai regenerasi dan pengaturan respon imun efektor pelindung. Defisiensi asupan
glukosa secara negatif berimpas kepada fungsi dari T sel yang beragam dengan
kerusakan baik proliferasi dan ekspresi sitokin.sama dengan kekurangan asam amino
seperti triptofan, arginin, glutamin, dan sistein mengurangi sel imun yang aktif.
ASAM AMINO
Fungsi sistem imun sangat dipengaruhi oleh kadar protein yang tersedia dalm
tubuh, namun sebenarnya mutu protein yang tersedia dalam tubuh, namun sebenarnya
mutu protein yang tersedia juga ikut menentukan. Hal-hal tersebut tentu saja sangat
tergantung pada asam-asam amino yang menyusun protein bersangkutan.
Pada umumnya keparahan kekurangan kadar asam amino dalam darah
mempunyai korelasi terhadap penurunan kadar albumin dalm serum. Walaupun demikian,
kekurangan satu jenis asam amino dalam serum menurunkan fungsi imun pada manusia
belum pernah dilaporkan, kecuali ditemukan pada hewan coba.
Sebaliknya, kekurangan beberapa asam amino umumnya berhubungan dengan
kemunduran imunitas humoral, terutama respons antibodi terhadap antigen baru.
Kekurangan asam amino dalm jangka panjang, misalnya fenilalanian dan triptofan,jelas
berakibat pada kedua mekanisme imun respons tubuh. Hal ini dapat dijelaskan,karena
triptofan mempunyai peran dalam pemeliharaan agrerat ribosom. Demikian pula
kekurangan asam-asam amino lainnya, seperti:tirosin,valin,treonin,sistein dan isolisin
akan menghambat produksi antibodi.
Mekanisme pengaruh kekurangan asam amino terhadapa produksi imunoglobulin
di antaranya karena mereka diperlukan sebagai bahan-bahan pembentuk molekul Ig
sendiri serta sejumlah enzim. Pengaruh yang luar biasa ditemukan pada kekurangan asam
amino lisin yang menyebabkan penekanan imunitas selular, tetapi sebaliknya dalam
keadaaan jumlah yang berlebihan akan menekan aktivitas sel B. Keadaan terakhir ini
disebabkan oleh karena adanya aktivitas beberapa enzim tertentu yang terlihat dalam
katabolisme valin dan isolisin. Artinya kelebihan lisin dapat mengakibatkan kekurangan
asam amino lainnya.
Asam lemak rantai pendek lemak (SCFAs) menjadi salah satu contoh yang paling
jelas tentang bagaimana nutrisi diolah dengan kombinasi antara mikrobiota dan host diet
untuk membentuk respon imun. Asam lemak rantai pendek ini merupakan produk akhir
fermentasi mikroba dari makronutrien, terutama polisakarida yang tidak dapat dicerna
oleh manusia karena genom manusia yang tidak dapat menyandikan repertoar besar
hidrolase glikosida dan lyases polisakarida yang diperlukan untuk membelah glikosidik
bervariasi hadir dalam glycans ini. Enzim yang hilang ini disediakan oleh mikrobioma
tersebut.
Konsentrasi luminal SCFAs usus dapat dimodifikasi dengan jumlah serat dalam
diet: pada gilirannya akan mempengaruhi komposisi mikrobiota. Selain bertindak sebagai
sumber energi untuk tuan rumah, SCFAs memberi efek yang signifikan pada respon imun
host. Butirat dapat memodifikasi profil produksi sitokin sel T helper dan mempromosikan
integritas usus penghalang epitel, yang pada gilirannya dapat membantu membatasi
paparan dari mukosa sistem imun untuk luminal mikroba dan mencegah respon inflamasi
menyimpang. Produksi lain dari SCFA, asetat, dengan mikrobiota mempromosikan
resolusi peradangan usus melalui G protein-coupled receptor, Gpr.
Sebuah studi baru-baru ini menyoroti peran penting dari produksi asetat dalam
mencegah infeksi enteropathogen, E. coli. Efek ini terkait dengan kemampuannya untuk
mempertahankan usus epitel yang berfungsi sebagai penghalang. Menariknya, asetilasi
residu lisin dapat diatur oleh SCFA dan tampaknya mempengaruhi protein yang terlibat
dalam berbagai sinyal dan proses metabolisme. Peran modifikasi kovalen ini dalam
memodulasi aktivitas protein erat terlibat dalam respon imun bawaan dan adaptif perlu
dieksplorasi. Hal ini membuat kita berspekulasi bahwa kovalen atau linkage non-kovalen
dari berbagai produk metabolisme mikroba untuk menjadi tuan rumah protein yang
diproduksi di dalam usus, atau di situs ekstra-intestinal, akan ditemukan dan memiliki
efek regulasi penting. Modifikasi protein yang berbeda dapat mewakili serangkaian
mekanisme yang metabotype masyarakat mikroba tercetak pada host.
Jika nutrisi dan metabolitnya mencerminkan aktivitas fungsional mikrobiota,
ketersediaan sensor gizi/ metabolit dapat dianggap mirip dengan pola molekul mikroba-
terkait (MAMPs) yang menyampaikan informasi mengenai mikroba untuk tuan rumah.
Beberapa keluarga reseptor bawaan terlibat dalam penerimaan MAMPs: mereka termasuk
reseptor Toll-like (TLRs), inflammasomes, lektin seperti Dectin-1 tipe-C, dan RNA-
sensing RIG-like helikase seperti RIG-I dan MDA. Maloy dan Powrie yang menyertai
review dalam edisi ini memberikan gambaran tentang daerah ini. Di sini kami ingin
menekankan bahwa jalur penerimaan imun bawaan klasik telah berevolusi untuk menilai
lingkungan nutrisi.
TLR4 bisa merasakan kehadiran asam lemak bebas sementara ATP dalam
aktivator penting bagi inflammasome. Berbagai sel yang terkait 'sensor' kekebalan tubuh
lainnya berfungsi sebagai informasi tentang beberapa lingkungan nutrisi / metabolit lokal
untuk koordinasi lokal respon imun.
Pendekatan farmakologik secara genetis (baru baru ini menggunakan
rapamycin) menunjukkan bahwa dengan sinyal mTOR mempengaruhi keduanya baik
pasukan bawaan dan adaptif dari sistem kekebalan tubuh, termasuk pematangan dan
kegiatan efektor sel-sel dendritik (DCs), penghambatan pengembangan T Reg, dukungan
perbedaan sel-sel Th1, Th2, dan Th17, pengaturan CD8+ pengangkutan sel T, dan
penghambatan pembentukan sel T memori. Sepasang PKR dengan adanya asam lemak
bebas untuk aktivasi kekebalan dan telah terlibat dalam patogenesis obesitas pada tikus
yang diberi diet tinggi lemak, termasuk inflamasi imun dan resistan insulin fenotipe 33
(lihat di bawah). AhR diaktifkan oleh berbagai agonis, termasuk kynurenine, produk
metabolisme triptofan oleh indolamine-2,3-dioksigenase (IDO). AhR mengatur
perbedaan DCs 39 serta mengembangkan Th17 dan perbedaan T Reg dan Kegiatan
efektor.
Penarikan triptofan dan arginin mengontrol respon imun. Kehadiran asam amino
utuh yang dibutuhkan (AAS/ amino acid starvation) respon pada sel-sel T sangat penting
untuk kegiatan penekanan imun dari menipisnya tryptophan oleh IDO. Contoh ini
menggambarkan bagaimana kemampuan sel T untuk merasakan tingkat nutrisi
(triptofan) di lingkungan lokal, penentu penting dari bagian sel. Jika assesmen zat gizi
gizi tertentu atau metabolit merupakan hal penting dalam proses pengambilan keputusan
kekebalan tubuh, dan jika produk metabolisme mikroba mewakili heterofor yang tidak
didukung agonis atau antagonis reseptor sel imun, maka tantangan penting adalah untuk
merancang model in vitro dan in vivo, termasuk hewan percobaan secara genetik
dimanipulasi (misalnya, tikus atau zebrafish) untuk mengidentifikasi susunan metabolit
yang dihasilkan oleh mikrobiota (dan host) sebagai fungsi dari diet didefinisikan
berbeda.
Sensor metabolik yang membantu mengkoordinasikan respon imun
1. Asupan makanan dari bentuk zat gizi makro dan mikro.
2. Struktur komunitas mikroba yang berganti, mengubah nilai gizi makanan yang
dikonsumsi.
3. Komponen makanan yang belum diubah secara langsung diserap dalam usus di mana
mereka dapat berinteraksi dengan berbagai sel imun (misalnya, asam lemak omega 3).
Keseimbangan zat besi yang ada antara host dan mikrobiota terganggu pada
model tikus dari penyakit Crohn di mana ada disregulasi ekspresi TNF-: oral (tapi
tidak parenteral) suplementasi zat besi pada hewan tersebut menyebabkan pergeseran
dalam komposisi usus mikroba, seperti yang didefinisikan by 16S rRNA berbasis
survei, dan memperburuk ileitis.
Studi kohort pada individu kembar yang berada di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa komposisi filogenetik bakteri mikrobiota feses dan representasi gen mikroba yang
terlibat dalam beberapa aspek metabolisme nutrisi dalam microbiome feses berbeda
antara yang kurus dibandingkan pasangan kembar obesitas.
Kelompok yang berbeda menerapkan lapisan yang berbeda untuk memperkuat gen
16S rRNA bakteri untuk analisis budaya-independen dari usus ekologi mikroba, dan
mempelajari populasi manusia yang berbeda dengan mengkonsumsi diet yang berbeda
telah melaporkan hasil yang berbeda mengenai komposisi filogenetik bakteri mikrobiota
pada orang yang kurus dibandingkan penderita obesitas.
Bukti bahwa ada hubungan antara mikrobiota dan obesitas berasal dari percobaan
transplantasi pada tikus gnotobiotic: kumpulan usus dari leptin yang mengalami
kekurangan ob / ob tikus atau tikus dengan diet-induced obesitas menghasilkan
peningkatan yang lebih besar dalam adipositas saat ditransfer ke penerima bebas kuman
dibandingkan komunitas dari jenis liar littermates atau tikus yang telah diberi calorically
sehat kurang diet padat. Tikus bebas kuman resisten terhadap diet-induced obesitas.
Tambahan studi telah mengungkapkan bahwa komunitas usus mikroba mengatur
ekspresi gen yang mempengaruhi oksidasi asam lemak dan penumpukan lemak di
adiposit. Misalnya, produksi disekresikan lipoprotein lipase inhibitor angipoietin-seperti
protein 4 (Angptl4; juga dikenal sebagai faktor adiposa puasa-diinduksi) ditekan oleh
mikrobiota: studi jenis liar bebas kuman dan conventionalized dan Angptl4 - / - hewan
didirikan bahwa penekanan mikrobiota-dimediasi ekspresi usus epitel ini disekresikan
LPL hasil inhibitor peningkatan aktivitas LPL dan penyimpanan lemak di jaringan
adiposa putih. tikus TLR5-yang mengalami kekurangan memendam mikrobiota usus
dengan konfigurasi yang berbeda dari yang ditemui dalam kontrol littermate. Selain itu,
ketika mikrobiota usus mereka dipindahkan ke jenis liar bebas kuman penerima, asupan
makanan meningkat dibandingkan dengan penerima transplantasi mikrobiota dari jenis
tikus liar: peningkatan adipositas dan hiperglikemia terjadi. Mekanisme yang mendasari
peningkatan konsumsi pangan masih didefinisikan meskipun penulis studi ini
berspekulasi bahwa sinyal inflamasi dapat menurunkan rasa mudah terpengaruh
signaling insulin dengan cara yang menyebabkan hyperphagia.
Obesitas pada tikus dan manusia terhubung dengan infiltrasi pada jaringan
adipose disebabkan oleh CD8+ T Cells dan CD4+ cells menunjukkan peradangan sitokin
dan kemokin seperti TNF , CCL 2, IL 6, IFN dan IL 17.
Defisiensi reseptor kemokin (CCR2) pada tikus dan obesitas yang dipengaruhi
oleh konsumsi asupan makanan dengan kadar lemak tinggi telah terbukti menurunkan
infiltrasi makrofag jaringan adiposa dan meningkatkan toleransi glukosa relatif terhadap
kontrol terhadap kecukupan CCR 2, yang menandai peran yang dimainkan oleh faktor
yang merekrut sel imun inflamatori dan hubungannya dengan produk pro inflamatori
yang tergabung ke dalam ketidaknormalan patogenesis metabolik yang terasosiasi
dengan obesitas.
Lebih jauh lagi, zat gizi diketahui mengaktivasi secara langsung pasukan
inflamatori dari sistem imun.kapasitas dari mikrobiota usus untuk membentuk respon
imun diluar usus terekam dengan baik. Studi menunjukkan bahwa kemampuan
mikrobiota dan spesifiknya SFB membantu mengembangkan arthritis autoimun.dan
perobaan encephalomyelitis alergi.
Sayangnya, kita hanya memiliki sedikit ilmu dari hubungan spasial antara
anggota mikrobiota sebagaimana capaian mereka terhadap elemen dari sistem imun yang
terasosiasi dengan usus pada individu sehat atau individu dengan disfungsi mukosa
barrier. Tikus percobaan gnobiota dengan obesitas dapat menyajikan pandangan penting
dari biogeografi dari komunitas mikrobial di sepanjang dan daerah usus. Termasuk baik
mikrobial yang berada di daerah ektopik maupun yang dapat berimplikasi terhadap
perkembangan dan keberlanjutan yang buruk dari disfungsi pertahanan tubuh (suatu
ruangan di bawah Lieberkuhn yang mana multipotensial stem cel usus hidup
sebagaimana dideskripsikan dalam artikel yang ditulis oleh Medema dan Vermeulen).
Metode terbaru, seperti CLASHI FISH menawarkan tawaran yang menarik yang
menjanjikan untuk menghasilkan karakter dari fitur tempat dari interaksi antara mikroba
mikroba maupun sel host mikroba dalam mukosa usus, khususnya jika diaplikasikan
ke dalam model gnotobiotik.
Terlihat adil, inndividu yang hidup dengan paparan fekal oral yang tinggi
dalam makanan dan minumannya dan dengan komponen eukariotik dari komunitas
dalam ususnya yang termasuk juga parasite di dalamnya akan memiliki sistem imun
yang terasosiasi dengan usus dengan struktur dan fungsi konfigurasi yang berbeda secara
signifikan dibandingkan dengan individu yang tidak terpapar.
Pada kondisi ini, termasuk ketentuan lingkungan bersama dengan enteropati
adalah masuk akal dan empati mengenai kebutuhan untuk menempatkan imun host dan
fenotip gut mikrobiom dalam konteks pajanan yang bervariasi.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan antara
metabolisme zat gizi dalam tubuh manusia dengan sistem imun tubuh manusia. Dalam proses
metabolisme zat gizi, dibutuhkan mikroorganisme yang membantu proses metabolisme zat
gizi tersebut yang disebut sebagai mikrobiota.
Mikrobiota memiliki peran dalam melakukan metabolisme zat gizi dan memiliki
implikasi terhadap sistem imun tubuh manusia. Tidak hanya mikrobiota namun ada unsur
penting yang juga berpengaru terhadap metabolisme zat gizi dan juga berimplikasi terhadap
sistem imun tubuh manusia.
Defisiensi pada unsur zat gizi tertentu maupun pada unsur yang berpengaruh terhadap
metabolisme zat gizi, akan memengaruhi keadaan tubuh manusia terutama yang berhubungan
dengan sistem imun tubuh manusia
DAFTAR PUSTAKA