Anda di halaman 1dari 1

Nama : Dinar Okti Noor Satitah

NIM : 207420100509
Mata Kuliah : Hukum Tata Ruang
Dosen Pengampu : Alam S. Anggara, SH. MH.

Komodifikasi tanpa Henti

Dalam buku Titik Nol, Agustinus Wibowo pernah mengatakan ada beda tipis antara
penjajah dan penjelajah. Penjajahan sejak era Spanyol dan Potugis, untuk mengeruk sumber
daya alam dari bangsa-bangsa di Asia Afrika dan Amerika Latin diawali dari penjelajahan
Samudera. Hal itu terus berlangsung hingga kini dengan kemasan berbeda. Bahkan, bentuk
yang paling baru, yang jarang kita sadari, komodifikasi budaya, berawal dari mass tourism
yang tidak terkendali. Contoh komodifikasi budaya adalah, dulu orang menari kecak sebagai
bentuk persembahan kepada Tuhan, sekarang orang menari kecak karena hanya ingin
ditonton oleh wisatawan untuk mendatangkan manfaat ekonomi sehingga tari kecak
kehilangan esensi spiritualitasnya.
Motif untuk mendatangkan manfaat ekonomi semata ini yang membuat manusia
tercerabut dari akarnya. Industrialisasi yang tak terbendung menyebabkan warga negara
kehilangan hak-haknya. Kabut asap, krisis air, banjir, pencemaran lingkungan, hilangnya
tanah-tanah adat, hilangnya mata pencaharian dan banyak hal lain yang harus ditanggung
oleh masyarakat selalu luput jika berhadapan dengan industrialisasi. Padahal dalam UUD
1945 Pasal 28 h ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Juga menurut UU no 12 tahun 2005 dikatakan bahwa
kewajiban negara ada enam yaitu: Pemenuhan kebutuhan dasar rakyat terhadap pendidikan,
kesehatan, pangan, perumahan yang layak, kesempatan kerja, dan adanya jaminan sosial oleh
negara. Yang terbaru, kurikulum nasional pun menekankan bahwa lulusan perguruan tinggi
harus bisa diterima industri. Tujuan pendidikan dikomodifikasi sebatas untuk memenuhi
kebutuhan industri, bukan untuk menjadikan sebuah bangsa menjadi entitas yang beradab.

Anda mungkin juga menyukai