Anda di halaman 1dari 4

1.

Tidak Menyulitkan/Memberatkan (‘adam al-haraj)

Al-Haraj berarti al-dhaiq/ al-dhīq yang berarti kesempitan, kesusahan, kesedihan, kesukaran, atau kesulitan.

Prinsip ‘adam al-haraj dalam hukum Islam bermakna bahwa di dalam hukum Islam tidak ada dan tidak boleh ada
tugas/tanggung jawab yang melebihi kemampuan atau terlalu berat untuk dipikul oleh manusia.

Dengan perkataan lain, segala taklīf Islam, demikian menurut T.M. Hasbi ash-shiddieqy, hal tersebut masih berada
dalam batas-batas kemampuan mukallaf.

Hukum Islam itu mudah atau tidak menyulitkan/ memberatkan tentunya bukan berarti tidak memiliki kesulitan sama
sekali.

Sebab, bagaimanapun taklīf pasti bermuatan kesulitan sebagaimana pengertian dari taklīf itu sendiri, yaitu yang
mengharuskan sesuatu yang mengandung kesukaran/kesulitan.

Hal yang ditiadakan adalah kesulitan yang melebihi kesanggupan manusia atau yang terlalu berat oleh manusia.

Oleh karena itu, dalam hal yang terakhir ini, di dalam syariat ada konsep yang disebut rukhshah
(keringanan/dispensasi) dan dharūrah (keterpaksaan).

Surat al baqarah/02 : 286

laa yukallifullohu nafsan illaa wus'ahaa, lahaa maa kasabat wa 'alaihaa maktasabat, robbanaa laa tu-aakhiznaaa in
nasiinaaa au akhtho-naa, robbanaa wa laa tahmil 'alainaaa ishrong kamaa hamaltahuu 'alallaziina ming qoblinaa,
robbanaa wa laa tuhammilnaa maa laa thooqota lanaa bih, wa'fu 'annaa, waghfir lanaa, war-hamnaa, angta
maulaanaa fangshurnaa 'alal-qoumil-kaafiriin

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari
(kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), "Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami,
ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang
kafir.""

Contoh dari rukhshah adalah kebolehan berbuka atau tidak berpuasa bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan.

Demikian juga halnya dengan kebolehan meng-qashar shalat bagi musafir.

Adapun contoh dharūrah adalah kebolehan mengkonsumsi makanan yang haram dalam kondisi terpaksa.
2. Menyedikitkan Beban (taqlīl al-takālīf)

Hukum Islam, baik dalam lapangan ibadah maupun muamalah tidak membebani umat dengan perintah dan larangan
yang banyak.

Allah, pencipta manusia yang mengetahui persis tabiat ciptaan-Nya, mengambil jalan pertengahan (moderat). Beban
yang diberikan tidak banyak; bahkan, yang sering ditemuai adalah perintah dan larangan yang berulan-ulang dalam
kasus yang sama, seperti perintah shalat dan zakat, larangan berzina dan memakan harta anak yatim.

Hal ini tentunya tidak berarti banyaknya perintah dan larangan, tetapi lebih kepada penekanan akan pentingnya

perintah - perintah tersebut dan demikian juga larangan - larangan yang diulang-ulang itu.

Surat al maidah/05 : 101

yaaa ayyuhallaziina aamanuu laa tas-aluu 'an asy-yaaa-a ing tubda lakum tasu-kum, wa ing tas-aluu 'an-haa hiina
yunazzalul-qur-aanu tubda lakum, 'afallohu 'an-haa, wallohu ghofuurun haliim

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan
kepadamu, (justru) menyusahkan kamu. Jika kamu menanyakannya ketika Al-Qur'an sedang diturunkan, (niscaya)
akan diterangkan kepadamu. Allah telah memaafkan (kamu) tentang hal itu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha
Penyantun."

Contoh :

Adanya larangan memperbanyak pertanyaan

Tidak diwajibkannya bersiwak sebelum setiap wudhu atau sholat

3. Bertahap dalam Menetapkan Hukum (al-tadarruj fi al-tasyrī‘)

Proses pembinaan hukum Islam akan menemukan bahwa pada galibnya, penetapan hukum Islam pada masa
awalnya melalui tahapan-tahapan (berangsur-angsur), seperti kewajiban shalat, zakat, puasa, haji, pengharaman
riba, dan khamar.

Pola berangsur-angsur dalam menetapkan hukum ini tentunya sangat sejalan dengan tabiat manusia secara pribadi
maupun masyarakat, terutama menyangkut perkara-perkara yang telah “berurat dan berakar” atau mentradisi
dalam masyarakat.

Agama Islam datang ke tengah-tengah komunitas yang sekian lama larut dengan tradisi-tradisinya sehingga
menyangkut ketetapan hukum yang bersifat kritik terhadap praktek yang ada, membutuhkan tahapan-tahapan
untuk sampai pada hukum yang final.

Surat an nahl/16 : 67

wa ming samarootin-nakhiili wal-a'naabi tattakhizuuna min-hu sakarow wa rizqon hasanaa, inna fii zaalika la-aayatal
liqoumiy ya'qiluun

"Dan dari buah kurma dan anggur, kamu membuat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sungguh,
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang mengerti."

Misalnya, kita mendapatkan tahapan-tahapan dalam pengharaman riba dan minuman khamar.
4. Memperhatikan Kemaslahatan Manusia

Prinsip memperhatikan kemaslahatan manusia juga merupakan pijakan nilai yang menjiwai penetapan hukum Islam.

Dalam penetapan hukum, senantiasa didasarkan pada tiga sendi pokok:

1. Hukum-hukum ditetapkan sesudah masyarakat membutuhkan hukum-hukum itu.

2. Hukum-hukum ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkan hukum dan menundukkan
masyarakat ke bawah ketetapannya.

3. Hukum-hukum ditetapkan menurut kadar kebutuhan masyarakat

Dasar pemikiran ini jugalah, agaknya, yang melandasi adanya nasakh pada sebagian kasus hukum.

Surat QS. Al-Baqarah/02: 144

qod naroo taqolluba waj-hika fis-samaaa, fa lanuwalliyannaka qiblatang tardhoohaa fa walli waj-haka syathrol-
masjidil-haroom, wa haisu maa kungtum fa walluu wujuuhakum syathroh, wa innallaziina uutul-kitaaba laya'lamuuna
annahul-haqqu mir robbihim, wa mallohu bighoofilin 'ammaa ya'maluun

"Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat
yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada,
hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa
(pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka
kerjakan."

Misalnya, beralihnya kiblat kaum muslimin dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram setelah lebih kurang satu setengah
tahun Rasul bersama kaum muslimin saat itu menghadap ke arah Baitul Maqdis sebagai kiblat shalat.
5. Mewujudkan Keadilan yang Merata

Prinsip keadilan merupakan salah satu ajaran terpenting dalam syariat Islam; bahkan, keadilan Islam merupakan
keadilan yang paling tinggi dibandingkan dengan sistem keadilan yang lain, baik Yunani, Romawi, maupun hukum
manusia lainnya.

Keadilan di dalam Islam adalah keadilan yang tidak membedakan manusia satu sama lain di depan hukum. Tidak
boleh ada unsur subyektif dalam definisi keadilan. Apa yang dianjurkan oleh Islam adalah sikap berfikir yang reflektif
dan pendekatan yang obyektif terhadap masalah yang dihadapi.

Keadilan dalam syariat Islam, sebagaimana di muka, adalah keadilan yang merata yang tidak membedakan orang
kecuali karena kebenaran dan kesalahannya.

Surat al maidah/05 : 08

yaaa ayyuhallaziina aamanuu kuunuu qowwaamiina lillaahi syuhadaaa-a bil-qisthi wa laa yajrimannakum syana-aanu
qoumin 'alaaa allaa ta'diluu, i'diluu, huwa aqrobu lit-taqwaa wattaqulloh, innalloha khobiirum bimaa ta'maluun

"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Mengetahui
terhadap apa yang kamu kerjakan."

Contoh keadilan dalam islam yaitu setiap orang muslim akan memperoleh hak dan kewajibannya secara sama.

Anda mungkin juga menyukai