Anda di halaman 1dari 17

MAQĀS}ID AL-SHARĪ‘AH : TELAAH PEMIKIRAN

IMAM AL-SHĀT}IBĪ DALAM TRADISI TEPUNG


TAWAR PADA PERKAWINAN ADAT MELAYU

Reza Fahlevi
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Email: 20203012015@student.uin-suka.ac.id

Abstract
Tradition is a habit that is continuously carried out by people in a certain area.
Carrying out traditions can be interpreted as realizing the process of socialization
between each generation in a civilization. Each region has different traditions and
cultures. One of the traditions that are still preserved from generation to generation
by the people of Suka Maju Village is the Tepung Tawar ceremony. The purpose of
this research is to critically examine the thinking of Imam Al-Shāt}ibī in maqās}id
al-sharī‘ah as an effort to measure the value of relevance between shariah and
tradition, in this case it is used to analyze the tradition of tepung tawar in traditional
Melayu marriages in Suka Maju village. The results in this study indicate that the
tradition of tepung tawar in the marriage of the Melayu community in Suka Maju
Village which was analyzed using maqās}id al-sharī‘ah from the perspective of
Imam Al-Shāt}ibī is considered relevant, which is described on the validity and
purpose of the procession. Furthermore, if based on the classification of al-'awāid
Imam Al-Shāt}ibī's idea to sharpen the analysis, then it strengthens that the tepung
tawar tradition is the embodiment of al-'awāid al-jāriyyah’s conception of Al-
Shāt}ibī.
Keywords: Tepung Tawar, Maqās}id al-Sharī‘ah, Imam Al-Shāt}ibī
Abstrak
Tradisi merupakan kebiasaan yang secara kontinuitas dilakukan oleh masyarakat
disuatu daerah tertentu. Melaksanakan tradisi dapat diartikan merealisasikan proses
sosialisasi antar setiap generasi dalam sebuah peradaban. Setiap daerah mempunyai
tradisi dan kebudayaan yang berbeda-beda. Salah satu tradisi yang masih terpelihara
secara turun temurun oleh masyarakat Desa Suka Maju adalah upacara Tepung
Tawar. Adapun tujuan dalam penelitiaan ini yaitu menelaah secara kritis pemikiran
Imam Al-Shāt}ibī dalam maqās}id al-sharī‘ah sebagai upaya menakar nilai relevansi
antara shariah dan tradisi, dalam hal ini digunakan untuk menganalisa tradisi tepung
tawar pada perkawinan adat Melayu di Desa Suka Maju. Hasil dalam penelitian ini
menunjukan bahwa tradisi tepung tawar pada perkawinan masyarakat Melayu di
Desa Suka Maju yang dianalisa menggunakan maqās}id al-sharī‘ah perspektif Imam
Al-Shāt}ibī dianggap telah relevan, yang terdeskripsi pada keabsahan maupun tujuan
prosesinya. Lebih lanjut, jika berdasarkan klasifikasi al-‘awāid gagasan Imam Al-
Shāt}ibī untuk mempertanjam analisa, maka memperkuat bahwa tradisi tepung tawar
merupakan perwujudan al-‘awāid al-jāriyyah konsepsi Al-Shāt}ibī.
Kata Kunci: Tepung Tawar, Maqās}id al-sharī‘ah, Imam Al-Shāt}ibī.
PENDAHULUAN
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.1 Perkawinan menjadi aspek terpenting
dalam membangun rumah tangga karena dianggap sebagai prosedur legalitas sebuah ikatan
antara dua orang individu laki-laki dan perempuan menjadi hubungan (relationship) yang
sah dan berimplikasi hukum sebagai suami dan istri. Oleh sebab itu, dalam mencapai
tujuan perkawinan, setiap individu yang berniat membangun mahligai rumah tangga
diharuskan mempersiapkan kematangan aspek materil maupun non materil.2

Perkawinan mempunyai makna sosial-humanis selain bermakna ibadah kepada


sang pencipta. Sebagaimana tersirat dalam hadits Nabi Saw, yang mensunnahkan untuk
membuat resepsi pernikahan meskipun dalam taraf sederhana bertujuan untuk
mengumumkan sebuah pernikahan kepada masyarakat luas.3 Resepsi (walīmah al-‘urs)
memiliki urgensi pada sebuah prosesi pernikahan, walaupun bukan menjadi syarat sah,
mensiarkan pernikahan adalah suatu upaya mencegah syubhat dalam beragama, tentunya
akan meminimalisir praktik nikah siri dan sekaligus menjadi media rasa syukur terhadap
apa saja yang dihalalkan oleh Allah Swt dari hal yang baik (pernikahan).4

Umumnya berbagai prosesi pernikahan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pola
dan sistem perkawinan suku adat setempat. Hal tersebut sangat dimungkinkan karena
berkaitan dengan susunan masyarakat atau sistem kekerabatan yang masih tetap dijaga dan
terpelihara.5 Didalamnya terkandung nasihat atau petuah yang secara implisit disampaikan
melalui bentuk simbol, lambang, gerakan dan apapun yang dikemas didalam berbagai
ritual ataupun upacara adat.6 Peranan upacara dalam sebuah tradisi adat diartikan sebagai
daya rekat persatuan dalam kehidupan masyarakat yang kemudian menumbuhkan rasa
1
UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1, “Law of the Republic of Indonesia Number 1 of 1974 on Marriage”
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/47406/uu-no-1-tahun-1974.
2
Jamaluddin and Nanda Amalia, Buku Ajar Hukum Perkawinan (Aceh: Unimal Press, 2016).
3
Asrizal Sain, “Status Perkawinan Dalam Hukum Islam: Kajian Teoritik Fikih Konvensional Dan
Fikih Kontemporer”, Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam 7, No. 2 (1 December 2014): 181–190, ISSN
2528-6617, https://ejournal.uin-suka.ac.id/syariah/Ahwal/article/view/1005/929.
4
Al-Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dar al-Fath Li al-I’lam Al-‘Arabi, 1990), II.
5
M. Yasin Soumena, “Pemberlakuan Aturan Perkawinan Adat dalam masyarakat Islam Leihetu-
Ambon (Analisis Antropo-Sosiologi Hukum)”, Jurnal Hukum Diktum 10, No. 1 (December 2012): 40-51.
https://doi.org/10.28988/diktum.v10i1.252.
6
Heru Fachrizal, “Perpaduan Ajaran Islam Dan Adat Dalam Tradisi Perkawinan Di Keraton
Kacirebonan”, (Sarjana, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015),
https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/15899/.

1
saling membutuhkan, memiliki sesama, dan berfungsi melahirkan sifat ketergantungan dan
keseimbangan dalam kehidupan masyarakat.7

Sebagaimana yang terjadi di Desa Suka Maju, Kecamatan Putussibau Selatan,


Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat yang sebagian besar didomisili oleh
masyarakat Melayu. Didalamnya memiliki sebuah tradisi, yaitu upacara kearifan lokal
yang terus dijaga dan terpelihara secara turun-temurun. Tradisi tersebut merupakan
Upacara Tepung Tawar. Tradisi tepung tawar dilaksanakan pada acara-acara tertentu
seperti pertunangan, perkawinan, sunatan (khitan) ataupun seseorang yang baru kembali
pulang dengan selamat dari sebuah perjalanan jauh yang ia tempuh, terlepas dari
malapetaka, atau mendapatkan rahmat berupa rezeki berlebih dari Allah Swt.8

Akan tetapi seiring berkembangnya zaman, historis umat manusia yang terisi
dengan kompleksitas problematika kehidupan sering kali mendistraksi nilai keterkaitan
antara Islam dalam lingkup syariah dan ragam tradisi masyarakat adat di Nusantara.
Berangkat dari pemikiran salah satu aliran dalam Islam yang disinyalir sering
menjustifikasi legalitas sebuah tradisi misalnya, tentunya berpengaruh terhadap
terakomodir atau tidaknya ketentuan-ketentuan hukum bagi ritus yang telah dilakukan
secara turun temurun seperti tradisi tepung tawar pada masyarakat Melayu di Desa Suka
Maju. Bukanlah hal yang mustahil apabila kekhawatiran ini berimplikasi terhadap keragu-
raguan dalam pelaksanaan tradisi tersebut.

Padahal masyarakat muslim dalam menilik keterkaitan antara budaya dan hukum
Islam sebetulnya telah mempunyai gagasan yang saling beragam. Berbagai argumentasi
para pemikir dan intelektual hukum Islam telah menjadi khazanah tersendiri bagi
peradaban pemikiran muslim. Seperti salah seorang pemikir muslim yang mempunyai sifat
apresiatif terhadap budaya dan adat ialah Abū Ishāq al-Shāt}ibī.9 Imam Al-Shāt}ibī
merupakan seorang intelektual yang kontributif dibidang maqās}id al-sharī‘ah, dari karya
monumentalnya dalam teori hukum Islam yaitu al-muwafaqāt fi> us{ūl al-sharī‘ah

7
Sekadau Government, “Rajut Persatuan, Desa Menua Prama Gelar Upacara Adat diartikan Sebagai
Daya Rekat Persatuan dalam Kehidupan Masyarakat” (Sekadau.go.id, 2020), https://sekadaukab.go.id/rajut-
persatuan-desa-menua-prama-gelar-upacara-adat/.
8
Muhammad Takari and others, eds., Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan
Kearifannya, (Medan: USU Press, 2014).
9
Muhammad Aziz and Sholikah, "Metode Penetapan Maqoshid Al Syari'ah: Studi Pemikiran Abu
Ishaq al Syatibi." Ulul Albab: Jurnal Studi Islam 14, No. 2 (December 2013): 160-175.
https://doi.org/10.18860/ua.v14i2.2655.

2
(beberapa persesuaian dalam dasar-dasar syariah) adalah bukti semangat Imam Al-Shāt}ibī
dalam usahanya untuk mempertemukan relasi antara syariah dan adat-istiadat.10

Imam Al-Shāt}ibī mencermati bahwa faktor adat dan praktik sosial memiliki
pengaruh terhadap pemahaman norma syariah. Imam Al-Shāt}ibī kemudian bersepakat
bahwa syariah harus dikembalikan pada tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan.
Dimensi kemaslahatan yang dimaksud terdeduksi menjadi beberapa klasifikasi yang
dibedakan menurut sifatnya, antara lain; d}arūriyyah (primer), h}ājiyyah (sekunder) dan
tah}sīniyyah (tersier). Menurut Imam Al-Shāt}ibī klasifikasi kemaslahatan tersebut
mempunyai perbedaan secara hierarki prioritas. Pola yang pertama bersifat universal dan
diakui oleh semua bangsa dan agama, sedangkan pola kedua didefinisikan sebagai hukum
dan praktik sosial yang disinergikan kedalam syariah dengan memperhatikan kemaslahatan
umum, seperti Mudarabah. Lebih lanjut, pola ketiga adalah hukum yang terdiri dari unsur-
unsur praktik sosial yang halus, seperti kesopanan, norma-norma budaya dan adat
lainnnya. Menurut Imam Al-Shāt}ibī, syariah mengadopsi unsur-unsur ini karena
mencerminkan kepatutan dan opsi budaya dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat.11

Berdasarkan uraian tersebut peneliti secara spesifik memfokuskan tulisan ini


dengan beberapa rumusan masalah sebagai berikut; pertama, bagaimana tata cara
pelaksanaan tradisi tepung tawar dalam perkawinan adat Melayu di Desa Suka Maju,
Kabupaten Kapuas Hulu; kedua, bagaimana analisa maqās}id al-sharī‘ah perspektif Imam
Al-Shāt}ibī terhadap tradisi tepung tawar dalam perkawinan adat Melayu di Desa Suka
Maju, Kabupaten Kapuas Hulu. Tujuan penelitian ini juga difokuskan untuk mencapai
aspek berikut: pertama; untuk mengetahui tata cara pelaksanaan tradisi tepung tawar
dalam perkawinan adat Melayu di Desa Suka Maju, Kabupaten Kapuas Hulu; ketiga;
untuk mengetahui analisa maqās}id al-sharī‘ah perspektif Imam Al-Shāt}ibī terhadap
tradisi tepung tawar dalam perkawinan adat Melayu di Desa Suka Maju, Kabupaten
Kapuas Hulu.

METODE PENELITIAN

10
Fathurrahman Djamil, "Mencari Format Hukum Islam Yang Progresif Berkearifan Lokal:
Pendekatan Socio-Cultural dan Maqashid Al Syariah." Kordinat 16, No. 1 (April 2017):s1-14.
https://doi.org/10.1548/kordinat.v16 i1.6450.
11
Abū Ishāq Al-Shāt}ibī, Al-Muwafaqāt fi> Us{ūl al-Sharī‘ah, (Kairo: Dār al-Hadīs) II.

3
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Antropologi. Menurut
Koentjaraningrat, Antropologi didefinisikan sebagai studi yang berhubungan dengan
manusia pada umumnya mempelajari bentuk, fisik, warna kulit dan budaya yang
dilahirkan.12 Pendekatan Antropologi yang berkaitan dengan agama dinilai cocok untuk
merefleksikan masyarakat sosial yang berkarakter sesuai dengan apa yang dituangkan
agama tanpa harus kehilangan identitas ataupun tereliminasi oleh peradaban.13

Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan


data yang digunakan adalah observasi, wawancara (interview) dan dokumentasi. Informan
yang berperan dalam penelitian ini ialah Adam (39 tahun) yang merupakan Kepala Desa
Suka Maju, Wakasman (54 tahun) yang merupakan tokoh masyarakat adat Melayu di Desa
Suka Maju, Ernawati (51 tahun) yang merupakan penyedia alat dan bahan dalam prosesi
tradisi tepung tawar di Desa Suka Maju.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Profil Desa Suka Maju, Kec. Putussibau Selatan, Kab. Kapuas Hulu
Desa Suka Maju merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Putussibau
Selatan, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Indonesia. Secara topografi, Desa
Suka Maju berada di ketinggian yang berkisar 33 meter di atas permukaan laut dan
digolongkan kedalam dataran sedang. Desa Suka Maju memiliki luas 2.420 Ha dan secara
geografis berbatasan langsung dengan wilayah lain yaitu sebagai berikut; sebelah utara
berbatasan dengan Kecamatan Putussibau Utara; sebalah barat berbatasan dengan Desa
Urang Unsa; sebelah timur berbatasan dengan Desa Cempaka Baru; dan selatan berbatasan
dengan Desa Sayut. Jarak dari Desa Suka Maju menuju pusat Kecamatan Putussibau
Selatan adalah 35 km yang bisa ditempuh dengan waktu sekitar 40 menit, sedangkan jarak
tempuh menuju kabupaten atau kota Kapuas Hulu adalah 44 km yang bisa ditempuh
dengan perjalanan waktu sekitar 50 menit.14

Berdasarkan monografi, Desa Suka Maju memiliki populasi dengan 1.093 jiwa dan
terdiri dari 310 kepala keluarga. Desa Suka Maju juga memiliki tipologi persawahan dan

12
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011).
13
Pebri Yanasari, "Pendekatan Antropologi dalam Penelitian Agama bagi Sosial Worker."
Empower: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam 4, No. 2 (December 2019): 225-240.
https://doi.org/10.24235/empower.v4i2.5450.
14
BPS-Statistics of Kapuas Hulu Regency, Kecamatan Putussibau Selatan dalam Angka 2021,
(Kapuas Hulu: BPSKH, 2021).

4
perkebunan. Luas area persawahan 710 Ha dan perkebunan 100 Ha. Adapun komoditas
yang menjadi potensi unggulan bagi masyarakat Desa Suka Maju berdasarkan luas area
penanaman adalah tumbuhan padi, sedangkan jika berdasarkan nilai ekonomis ialah
tumbuhan karet (getah). Hal ini didukung dengan akurasi musim yang ada di wilayah Desa
Suka Maju yaitu musim hujan dan kemarau.15

Apabila dilihat secara garis besar, kondisi pendidikan masyarakat di wilayah Desa
Suka Maju terdata rendah. Berdasarkan temuan, mayoritas masyarakat di Desa Suka Maju
hanya mampu menyelesaikan sekolah dijenjang pendidikan sekolah menengah pertama
(SMP). Rendahnya kualitas pendidikan masyarakat di Desa Suka Maju tidak terlepas dari
faktor keterbatasan ekonomi dan minimnya sarana-prasarana pendidikan yang ada di Desa
Suka Maju, seperti Perguruan Tinggi ataupun Universitas yang jaraknya relatif jauh dari
desa. Bahkan, untuk sekolah menengah atas (SMA) pun terbilang baru dibuka penerimaan
siswa di tahun 2019 yang lalu. Disisi lain, pandangan masyarakat dari kalangan orang tua
mengenai pendidikan untuk anak-anaknya yang dianggap masih konservatif sehingga
berakibat terstigmasasi bahwa bekerja lebih menguntungkan dari pada menempuh
pendidikan.16

Adat Istiadat Perkawinan Masyarakat Melayu Desa Suka Maju


Masyarakat yang mendiami wilayah Desa Suka Maju mayoritas beragama Islam.
Suku yang berdomisili di Desa Suka Maju ialah Suku Melayu. Walaupun dikategorikan
dalam lingkungan multietnis, masyarakat Melayu di Desa Suka Maju masih tetap
memegang erat kebudayaannya. Adat istiadat maupun kebudayaan yang berada di Desa
Suka Maju masih tetap eksis sampai saat ini karena selalu dipraktikan dan terpelihara
secara turun temurun. Masyarakat suku Melayu juga dinilai dinamis dan menjunjung tinggi
nilai-nilai yang bersifat universal, yaitu kejujuran, keadilan, dan toleransi dalam perbedaan.
Berbagai adat istiadat dan kebudayaan yang terjadi di wilayah Desa Suka Maju sebagian
telah mengalami perubahan dan perkembangan dalam setiap prosesinya. Hal ini
dipengaruhi oleh sistem kepercayaan ataupun keyakinan yang dianut masyarakat suku
Melayu di Desa Suka Maju. Proses perpaduan dengan aneka ragam perbuatan manusia
yang terus terjadi, kemudian terekspresi secara visual kedalam bentuk upacara-upacara

15
BPS-Statistics of Kapuas Hulu Regency.
16
Wawancara dengan Adam, Kepala Desa Suka Maju (2020).

5
adat. Adapun salah satu adat-istiadat dalam pelaksanaan perkawinan suku Melayu di Desa
Suka Maju yang ada hingga saat ini adalah tradisi Tepung Tawar.17

Tradisi Tepung Tawar


Secara definitif, menurut Farizal Nasution, tepung tawar berasal dari kata
“tampung” “tawar” yaitu kegiatan menerima penawar dengan ditampung tawar
(menampung tangan) sebagai bentuk menerima penawar (obat), dan memiliki fungsi
magis.18 Menurut Wakasman, tepung tawar adalah tradisi yang telah dilakukan secara turun
temurun dari leluhur masyarakat Melayu hingga saat ini di Desa Suka Maju. Adapun kata
“Tepung” bermakna beras yang sebelumnya telah direndam dengan air, kemudian
dikeringkan, lalu ditumbuk, setelah itu dicampur dengan sedikit air, sedangkan “Tawar”
berarti air tepung yang tadi diharapkan menjadi penawar dan perisai (pelindung) untuk
menolak bala, penyakit, wabah, bencana dan fitnah dalam kehidupan. Disisi lain,
masyarakat Desa Suka Maju yang sarat dengan nilai keislamann telah dibiasakan
menyebut asma Allah tiga kali berturut-turut, serta diiringi sholawat atas Nabi dalam
memulai prosesi upacara tepung tawar. Oleh sebab itu, tradisi ini masih ada dan tetap
berjalan karena dianggap memiliki niat memohon kepada Allah swt dengan sebab air
tepung tersebut.19

Adapun tujuan yang diinginkan dari upacara tersebut murni hanya permohonan
kepada Allah swt. Permohonan yang dilakukan bersifat positif (baik) dan bukan yang
menyimpang dari ajaran agama, seperti misalnya memohon keselamatan, kesehatan,
dimudahkan rezeki, mohon perlindungan, pengampunan dari tuhan, dan permohonan untuk
dipanjangkan umur dan lain sebagainya. Upacara tepung tawar dianggap memiliki makna
simbolis untuk keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan bagi orang yang di-tepung
tawar. Upacara tepung tawar juga dilakukan sebagai lambang mencurahkan kebahagiaan,
rasa syukur atas keberhasilan, maupun niat baik dalam urusan yang akan dilakukan.20

Upacara tepung tawar jika dicermati lebih lanjut, maka alat dan bahan yang
digunakan dalam prosesinya diyakini oleh masyarakat desa memiliki khasiat dan makna

17
Adam.
18
Farizal Nasution, Upacara Adat Melayu di Sumatera Utara, (Medan: Mitra, 2012).
19
Wawancara dengan Wakasman, Tokoh Masyarakat Desa Suka Maju (2020).
20
Wakasman.

6
tersendiri. Alat dan bahan yang digunakan pada pelaksanaan tepung tawar di Desa Suka
Maju adalah sebagai berikut;

1. Talam (wadah seperti piring besar) diartikan sebagai lambang ikatan, maksudnya
diharapkan agar selalu dalam satu ikatan keluarga yang baik, memiliki hubungan
keluarga yang harmonis dan bisa mengharumkan nama baik keluarga dimanapun
kaki berpijak.
2. Mangkok berwarna putih yang digunakan sebagai wadah dari air tepung beras
melambangkan kepasrahan (tawakal). Dapat juga dimaknai supaya kita sebagai
manusia harus senantiasa berpasrah diri terhadap Allah Swt.21
3. Air tepung beras yang berasal dari perasan beras yang semula telah ditumbuk lalu
dikeringkan. Air ini berwarna putih, bersih, sehingga masyarakat melambangkan
dengan sifat keikhlasan didalam kehidupan.
4. Daun Jaharan. Daun ini memiliki makna kekuatan gaib atau magis yang
dimaksudkan agar sang penerima tepung tawar dapat terhindar dari kekuatan gaib
yang bermaksud jahat dan selalu dilindungi.
5. Daun Sabang. Daun sabang mempunyai khasiat menyembuhkan luka. Dari hal
tersebutlah masyarakat sering menggunakannya sebagai obat-obatan alami yang
berasal dari alam, sehingga dipercaya bahwasannya daun ini menjadi penawar
sehingga dijadikan bahan tepung tawar.
6. Daun Ketabar (Pacing). Daun yang mempunyai khasiat menghilangkan gatal ini,
juga berkhasiat sebagai obat bengkak-bengkak, sakit ginjal dan perut busung ini
dipercayai masyarakat sebagai bahan tepung tawar karena dapat memberikan
khasiatnya ke orang yang ditepung tawar. Sehingga diharapkan terhindar dari
beragam penyakit yang bisa terjadi di kehidupan mendatang.
7. Daun Mali-mali. Daun yang mempunyai khasiat mengurangi peradangan, sehingga
meredakan nyeri dan menurunkan demam ini bahkan sering dikonsumsi
masyarakat untuk mengatasi sakit kepala, nyeri menstruasi, keseleo, atau nyeri
sendi. Sehingga dari khasiat tersebut melalui ritual tepung tawar maka diharapkan
yang ditepung tawar terhindar dari penyakit tersebut dikemudian hari.

21
O.K. Muhammad Syah, Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Pesisir Sumatera Timur, (Medan:
USUPress. 2012).

7
8. Beras Kuning yang melambangkan kemuliaan serta kesungguhan, dimana penerima
tepung tawar diharapkan dapat menjadi pribadi yang senantiasa bermartabat dan
mulia serta bersungguh-sungguh (bersemangat) dalam melakukan sesuatu dalam
hidup.
9. Besi atau pisau kecil. Masyarakat membahasakannya dengan “Pengeras semangat,
keras besi keras juga semangat”. Diharapkan yang menerima tepung tawar
bersemangat serta sungguh-sungguh dan tidak mundah luntur dalam tekadnya.22

Pada dasarnya upacara tradisi tepung tawar masyarakat Melayu di Desa Suka maju
dilakukan pada beberapa acara seperti; sunatan (khitan), pertunangan, pernikahan,
mendapatkan hasil panen berlimpah, memiliki kendaraan baru dan lainnya. Upacara tepung
tawar pada prosesi perkawinan, orang yang menepung tawar juga dipilih menurut yang
paling sepuh atau memiliki kapabilitas, karena dipercayai dan dianggap sebagi kelanjutan
leluhur dalam perangainya, seperti; para tetua adat, kepala desa atau tokoh masyarakat
desa. Adapun tata caranya sebagai berikut;

1. Sebelum akad nikah, tepung tawar hantaran yaitu menepung tawari barang
hantaran yang dilaksanakan dirumah pengantin laki-laki sebelum berangkat
kerumah mempelai wanita. Alat dan bahan tepung tawar diletakan didalam satu
talam (wadah besar), setelah itu barang hantaran disusun sejajar, lalu yang
menepung tawar mengucapkan basmallah diikuti dengan sholawat atas Nabi, lalu
dimulai dengan merenjiskan (memercikan) air tepung beras dengan menggunakan
simpulan daun jaharan, daun sabang, daun tabar (pacing) dan mali-mali yang
menjadi satu ke barang hantaran tersebut, lalu dilanjutkan dengan menaburkan
beras kuning, lalu dilanjutkan dengan mengoleskan atau menempelkan besi atau
pisau kecil ke barang hantaran tersebut. Penepung tawar pada prosesi ini dapat
dilakukan oleh alim ulama, tokoh masyarakat ataupun tetua adat masing-masing
secara bergantian.
2. Saat akad nikah, yaitu setelah prosesi ijab kabul, dimana kedua mempelai
didudukan secara berdampingan dan dipimpin oleh sesepuh, alim ulama masyarakat
desa. Alat dan bahan tepung tawar diletakan di sebuah talam (wadah besar), setelah
itu pasangan pengantin didudukan berdampingan, lalu yang menepung tawar
mengucapkan basmallah diikuti dengan sholawat atas Nabi, lalu dimulai dengan
22
Wawancara dengan Ernawati, Penyedia Alat dan Bahan Tepung tawar di Desa Suka Maju (2020).

8
merenjiskan (memercikan) air tepung beras dengan menggunakan simpulan daun
jaharan, daun sabang, daun tabar (pacing) dan daun mali-mali kepada pasangan
pengantin tersebut, lalu dilanjutkan dengan menaburkan beras kuning ke paha, bahu
dan ubun-ubun pasangan pengantin, dan terakhir dilanjutkan dengan mengoleskan
atau sedikit menempelkan besi atau pisau kecil ke paha, bahu, kemudian digigit,
lalu dioleskan lagi ke atas ubun-ubun pasangan pengantin. Penepung tawar pada
prosesi ini dapat dilakukan oleh alim ulama, tokoh masyarakat ataupun tetua adat
masing-masing secara bergantian.
3. Setelah akad nikah, yaitu ketika akan melakukan prosesi mandi rias pengantin yang
dilakukan terhitung sehari atau lebih setelah akad nikah. Tepung tawar pada prosesi
ini dilakukan dengan alat dan bahan tepung tawar yang diletakan didalam satu
talam (wadah besar), setelah itu pasangan pengantin didudukan berdampingan, lalu
yang menepung tawar mengucapkan basmallah diikuti dengan sholawat atas Nabi,
lalu dimulai dengan merenjiskan (memercikan) air tepung beras dengan
menggunakan simpulan daun jaharan, daun sabang, daun tabar (pacing) dan daun
mali-mali kepada pasangan pengantin, Lalu dilanjutkan menaburkan beras kuning
ke paha, bahu dan ubun-ubun pasangan tersebut, lalu dilanjutkan dengan
mengoleskan atau menempelkan sedikit besi atau pisau kecil ke ke paha, bahu,
kemudian digigit, dan dioleskan atau ditempelkan sedikit pada masing-masing
ubun-ubun pasangan tersebut. Penepung tawar pada prosesi ini dapat dilakukan
oleh alim ulama, tokoh masyarakat ataupun tetua adat masing-masing secara
bergantian.23

Maqās}id al-Sharī‘ah Perspektif Imam Al-Shāt}ibī


Maqās}id al-sharī‘ah terdiri dari dua kata, yaitu Maqās}id dan Al-sharī‘ah. Kata
“Maqās}id” merupakan bentuk plural dari maqs}ud, qas{d atau qus{ūd yang merupakan
pecahan dari kata kerja qas{ada yaqs{udu dengan beragam arti seperti; tujuan, menuju
suatu arah, tengah-tengah, adil dan tidak melampaui batas. Berdasarkan beragam definisi
maqās}id tersebut, makna yang terkandung antara lain; digunakan untuk pencarian jalan
yang lurus dan keharusan dalam memegang teguh kepada jalan tersebut; makna lain juga
dipakai untuk menyatakan bahwa suatu perkataan atau perbuatan yang dilakukan harus
mempertimbangkan konsep keadilan, tidak pula berlebih-lebihan atau terlalu sedikit, akan
23
Wawancara dengan Wakasman, Tokoh Masyarakat Desa Suka Maju (2020).

9
tetapi menempuh jalan tengah. Terkait penggunaan makna tidak berlebih-lebihan dan tidak
pula melonggarkan dimaksudkan untuk mengkompromi teori-teori para ulama yang
terkadang dinilai terlalu tekstual dalam mengkaji sebuah nash ataupun terlalu longgar
dalam memaknai sebuah nash.24

Secara etimologi Al-Shari>‘ah berarti menuju mata air atau jalan menuju mata air.
Pengertian yang lainnya juga mendefinisikan Shari>‘ah sebagai jalan kepada sumber dari
pokok kehidupan. Penggunaan kata “Shari>‘ah” dengan arti jalan menuju mata air juga
dimaknai bahwa hakikat air merupakan sumber kehidupan manusia, tumbuhan dan hewan.
Demikian juga, agama Islam yang merupakan sumber kehidupan setiap Muslim,
keselamatannya, kesejahteraannya, kemaslahatannya, baik di dunia maupun akhirat. Tanpa
Shari>‘ah manusia tidak mendapatkan kebaikan, seperti ia tidak mendapatkan air untuk
diminum. Oleh karenanya Shari>‘ah merupakan sumber setiap kebaikan, pengharapan,
kebahagiaan, baik dalam kehidupan dunia maupun diakhirat kelak.25

Secara terminologi menurut Muhammad Thāhir ibn ‘A>syūr, maqās}id al-sharī‘ah


adalah ma’āniy wal hikam (makna-makna dan hikmah-hikmah) yang diinginkan syari’
dalam setiap penetepan hukum secara umum.26 Dari uraian tersebut kemudian Ahmad
Sarwat mendefinisikan maqās}id al-sharī‘ah sebagai nilai dan makna yang dijadikan
tujuan dan hendak direalisasikan oleh pembuat syariah (Allah Swt) dibalik pembuatan
syariat dan hukum, yang diteliti oleh para ulama-ulama mujtahid dari teks-teks syariah.
Imam Al-Shāt}ibī mengklasifikasi maqās}id menjadi dua macam, yaitu tujuan Allah
(qas}d al-shār‘i) dan tujuan mukallaf (qas}d al-mukallaf).27

Imam Al-Shāt}ibī mencermati bahwa syariah harus dikembalikan pada tujuan


utamanya yaitu untuk kemaslahatan. Menurutnya, kemaslahatan terbagi menjadi tiga
kategori yang dipilih berdasarkan hierarki prioritas suatu kemaslahatan atau
kebermanfaatan. Konsepsi tersebut sekaligus menjadi parameter pemilihan suatu
kebutuhan dengan tingkat urgensitas tertinggi (d}arūriyyah) kemudian kepada hal-hal yang
bersifat penting (h}ājiyyah) dan selanjutnya kepada kebutuhan pendukung (tah}sīniyyah).28

24
Busyro, Maqāshid al-Syarī’ah Pengetahuan Mendasar Memahami Maslahah, (Jakarta: Kencana,
2019).
25
Busyro.
26
Muhammad Thāhir ibn ‘A>syūr, Maqāshid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, (Yordania: Dār al-Nafāis)
27
Ahmad Sarwat, Maqāshid al-Syarī’ah, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019).
28
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997).

10
Pernikahan mempunyai tujuan syariat yaitu pemeliharaan keturunan (h}ifz} al-nasl).
Sehingga segala aspek yang meliputi pernikahan tak terkecuali walīmah al-‘urs juga
menjadi pembahasan dalam konteks menjaga keturunan. Oleh sebab itu, walīmah al-‘urs
yang dipengaruhi oleh karakteristik adat istiadat dapat dianalisa melalui kesesuaiannya
terhadap klasifikasi kebutuhan maqās}id al-sharī‘ah perspektif Imam Al-Shāt}ibī.
Pemeliharaan keturunan (h}ifz} al-nasl) menurut Imam Al-Shāt}ibī terklasifikasi kedalam
suatu kesinambungan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, yang
dicontohkan seperti; pemeliharaan keturunan (h}ifz} al-nasl) dalam tingkat d}arūriyyah
adalah disyariatkan pernikahan dan dilarangnya perzinahan, memelihara keturunan dalam
tingkat h}ājiyyah seperti ditetapkannya mahar pada akad nikah, memelihara keturunan
dalam tingkat tah}sīniyyah seperti khitbah dan disunnahkan melaksanakan walīmah al-‘urs
dalam pernikahan.29

Lebih jauh, Imam Al-Shāt}ibī berpendapat bahwasannya adat istiadat yang


berangkat dari suatu sistem kehidupan masyarakat dan tidak berseberangan dengan prinsip
keislaman dapat menjadi pijakan dalam usaha mengaktualisasi sebuah hukum.
Menurutnya, adat terbagi menjadi dua, yaitu yang pertama disebut al-‘awāid al-shar‘iyyah
terdiri dari ragam tradisi yang disetujui ataupun ditolak (larangan) oleh dalil-dalil syariat.
Adapun yang kedua disebut al-‘awāid al-jāriyyah yaitu kebiasaan yang sedang
berlangsung, terdiri dari berbagai adat-istiadat yang secara kontinuitas dilakukan dalam
kehidupan manusia tetapi didiamkan oleh syariat.30

Imam Al-Shāt}ibī menjadikan kemaslahatan sebagai nilai subtantif yang harus ada
dalam maqās}id al-sharī‘ah, kemudian mengklasifikasinya menjadi tiga kategori. Kategori
tersebut dipilih berdasarkan prioritas kemaslahatan tertinggi. Lebih lanjut, Imam Al-
Shāt}ibī dalam klasifikasinya;

1. D}arūriyyah. Pada tataran ini Imam Al-Shāt}ibī mengklasifikasikannya lagi dalam


beberapa bagian yang disebut dengan d}arūriyyah al-khamsah, yang antara lain;
h}ifz} al-dīn (menjaga agama), h}ifz} al-nafs (menjaga jiwa), h}ifz} al-nasl
(menjaga keturunan) h}ifz} al-māl (menjaga harta) h}ifz} al-‘aql (menjaga akal).
Berkaitan dengan h}ifz} al-nasl (menjaga keturunan) dalam konteks d}arūriyyah
maka segala aspek yang dapat mempertahankan keturunan, memelihara dan
29
Abū Ishāq Al-Shāt}ibī, Al-Muwafaqāt fi> Us{ūl al-Sharī‘ah, (Kairo: Dār al-Hadīs) II.
30
Al-Shāt}ibī.

11
menjaganya harus diutamakan dan apabila ditinggalkan akan merusak eksistensi
keturunan bahkan agama. Sehingga pernikahanlah yang menjadi jawaban solutif
bagaimana suatu keturunan dapat dijaga dalam lingkup syariat Islam. Hal ini
berkenaan dengan disyariatkannya pernikahan dalam Islam.31
2. H}ājiyyah. Secara etimologi memiliki arti kebutuhan. H}ājiyyah didefinisikan juga
sebagai sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah
(keringanan) tidak berpuasa pada orang sakit. Analisa h}ifz} al-nasl dalam konteks
h}ājiyyah adalah ditetapkannya menyebutkan mahar bagi suami sewaktu akad
nikah, jika mahar itu tidak disebutkan, maka suami akan mengalami kesulitan,
karena diharuskan membayar mahar mithl (mahar yang dijadikan ukuran dan
standar dari mempelai wanita sewaktu akad nikah, tidak dikemukakan).
3. Tah}sīniyyah. Diartikan sebagai sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan
dan menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis.
Analisa h}ifz} al-nasl dalam konteks tah}sīniyyah ialah khitbah dan kesunnahan
melaksankan walīmah al-‘urs pernikahan. Bertujuan melengkapi atau pelengkap
dari kegiatan perkawinan yang dilaksanakan, jika hal ini diabaikan, maka tidak
akan mengancam eksistensi keturunan dan tidak mempersulit orang yang
melakukan pernikahan. Imam Al-Shāt}ibī pada tataran ini juga berbicara tentang
adat-istiadat. Menurutnya, adat-istiadat terbagi menjadi dua;
a. Al-‘awāid al-shar‘iyyah. Terdiri dari tradisi-tradisi yang disetujui ataupun
ditolak (larangan) oleh dalil syariat. Imam Al-Shāt}ibī memberikan contoh
T}ahārah}, menutup aurat-aurat dan pelarangan Tawaf dalam keadaan
telanjang.32
b. Al-‘awāid al-jāriyyah. Dianggap sebagai kebiasaan yang sedang berlangsung,
terdiri dari macam-macam bentuk adat-istiadat yang secara kontinuitas
dilakukan dalam kehidupan manusia yang didiamkan oleh syariat. Bentuk adat
istiadat tersebut juga terbagi menjadi dua macam. Pertama, tergantung
keterkaitannya dan kesesuainnya terhadap syariat, hal ini dicontohkan seperti
ketentuan menutup aurat laki-laki. Namun, cara menutupnya ditentukan oleh
adat istiadat seperti menggunakan sarung atau celana, peci dan lain-lain.

31
Al-Shāt}ibī.
32
Al-Shāt}ibī.

12
Adapun kedua yaitu bersifat boleh (mubah) dan tidak bersifat mengikat seperti
makan dan minum, berjalan, bersosialisasi, muamalah.33

Dari uraian gagasan maqās}id al-sharī‘ah perspektif Imam Al-Shāt}ibī, maka


pelaksanaan tradisi tepung tawar dalam perkawinan masyarakat Melayu di Desa Suka
Maju dinilai telah relevan dalam konteks keabsahan maupun tujuan prosesinya. Senada
dengan analisa dalam konteks h}ifz} al-nasl (menjaga keturunan) pada tataran tah}sīniyyah
(pelengkap) yang termanifestasi dalam walīmah al-‘urs saat pernikahan. Lebih lanjut, jika
berdasarkan klasifikasi al-‘awāid gagasan Imam Al-Sha>t{ibi>, memperkuat bahwa tradisi
tepung tawar merupakan sebuah perwujudan konsep al-‘awāid al-jāriyyah, hal tersebut
sejalan dengan tujuan dari prosesi tepung tawar pada perkawinan adat Melayu yang
dianggap panggung bersosialisasi antar sesama warga Desa Suka Maju. Selain itu, tradisi
tepung tawar bukanlah perintah dan tidak melanggar dari syariat, dibuktikan dengan
adanya unsur menyebut asma Allah Swt dan sholawat kepada Nabi, mengundang ulama
untuk bermunajat bersama masyarakat desa, kemudian terbungkus dalam walīmah al-‘urs
yang merupakan sarana bersedekah bagi yang mempunyai hajat (acara) dan sekaligus
memupuk tali silaturahmi, sehingga hal ini dapat dipahami sebagai upaya memperkuat
kesatuan dan persatuan antar warga Desa Suka Maju.

KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan
bahwa tradisi tepung tawar pada perkawinan masyarakat Melayu di Desa Suka Maju,
Kecamatan Putussibau Selatan hingga saat ini masih eksis terpelihara dan dilestarikan
secara turun temurun. Prosesi upacara tepung tawar yaitu alat dan bahan tepung tawar
diletakan didalam satu talam (wadah besar), lalu yang menepung tawar mengucapkan
basmallah diikuti dengan sholawat atas Nabi, kemudian merenjiskan (memercikan) air
tepung beras dengan menggunakan simpulan dari daun jaharan, daun sabang, daun tabar
(pacing) dan mali-mali yang menjadi satu-kesatuan, lalu dilanjutkan dengan menaburkan
beras kuning, dilanjutkan mengoleskan atau menempelkan besi atau pisau kecil. Tradisi
tepung tawar yang dilakukan pada pernikahan terbagi menjadi tiga yaitu sebelum akad
nikah, saat akad nikah, setelah akad nikah.

33
Al-Shāt}ibī.

13
Tradisi tepung tawar dalam perkawinan masyarakat Melayu di Desa Suka Maju
dinilai telah relevan dalam konteks keabsahan maupun tujuan prosesinya. Senada dengan
analisa dalam konteks h}ifz} al-nasl (menjaga keturunan) pada tataran tah}sīniyyah
(pelengkap) yang termanifestasi dalam walīmah al-‘urs saat pernikahan. Lebih lanjut, jika
berdasarkan klasifikasi al-‘awāid gagasan Imam Al-Sha>t{ibi>, memperkuat bahwa tradisi
tepung tawar merupakan sebuah perwujudan konsep al-‘awāid al-jāriyyah, hal tersebut
sejalan dengan tujuan dari prosesi tepung tawar pada perkawinan adat Melayu yang
dianggap panggung bersosialisasi antar sesama warga Desa Suka Maju.

REFERENSI
Amalia, Jamaluddin and Nanda. Buku Ajar Hukum Perkawinan, Aceh: Unimal Press,
2016.
‘A>syūr, Muhammad Thāhir ibn. Maqāshid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, .Yordania: Dār al-
Nafāis.
Al-Shāt}ibī, Abū Ishāq. Al-Muwafaqāt fi> Us{ūl al-Sharī‘ah, Kairo: Dār al-Hadīs. II.
Busyro. Maqāshid al-Syarī’ah Pengetahuan Mendasar Memahami Maslahah, Jakarta:
Kencana, 2019.
BPS-Statistics of Kapuas Hulu Regency, Kecamatan Putussibau Selatan dalam Angka
2021, Kapuas Hulu: BPSKH, 2021.
Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Djamil, Fathurrahman. "Mencari Format Hukum Islam Yang Progresif Berkearifan Lokal:
Pendekatan Socio-Cultural dan Maqashid Al Syariah." Kordinat 16, No. 1 (April
2017):s1-14. https://doi.org/10.1548/kordinat.v16 i1.6450.
Fachrizal, Heru. “Perpaduan Ajaran Islam Dan Adat Dalam Tradisi Perkawinan Di
Keraton Kacirebonan”, (Sarjana, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015),
https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/15899/.
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 2011.
Nasution, Farizal. Upacara Adat Melayu di Sumatera Utara, Medan: Mitra, 2012.
Others, eds., Muhammad Takari and. Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan,
Fungsi, dan Kearifannya, Medan: USU Press, 2014, 207.
Sābiq, Al-Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Kairo: Dar al-Fath Li al-I’lam Al-‘Arabi, 1990, II.
Sain, Asrizal, “Status Perkawinan Dalam Hukum Islam: Kajian Teoritik Fikih
Konvensional Dan Fikih Kontemporer”, Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam

14
7, No. 2 (1 December 2014): 181–190,
https://ejournal.uin-suka.ac.id/syariah/Ahwal/article/view/1005/929.
Sarwat, Ahmad. Maqāshid al-Syarī’ah, Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019.
Sekadau Government, “Rajut Persatuan, Desa Menua Prama Gelar Upacara Adat diartikan
Sebagai Daya Rekat Persatuan dalam Kehidupan Masyarakat” (Sekadau.go.id,
2020), https://sekadaukab.go.id/rajut-persatuan-desa-menua-prama-gelar-upacara-
adat/.
Sholikah, Muhammad Aziz and. "Metode Penetapan Maqoshid Al Syari'ah: Studi
Pemikiran Abu Ishaq al Syatibi." Ulul Albab: Jurnal Studi Islam 14, No. 2
(December 2013): 160-175. https://doi.org/10.18860/ua.v14i2.2655.
Soumena, M. Yasin. “Pemberlakuan Aturan Perkawinan Adat dalam masyarakat Islam
Leihetu-Ambon (Analisis Antropologi-Sosiologi Hukum)”, Jurnal Hukum Diktum
10, No. 1 (December 2012): 40-51. https://doi.org/10.28988/diktum.v10i1.252.
Syah, O.K. Muhammad. Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Pesisir Sumatera Timur,
Medan: USU Press. 2012.
UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1, “Law of the Republic of Indonesia Number 1 of 1974 on
Marriage” https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/47406/uu-no-1-tahun-1974
Yanasari, Pebri. "Pendekatan Antropologi dalam Penelitian Agama bagi Sosial Worker."
Empower: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam 4, No. 2 (December 2019):
225-240. https://doi.org/10.24235/empower.v4i2.5450.

Interview:
Wawancara dengan Ernawati, Penyedia Alat dan Bahan tepung tawar di Desa Suka Maju
(2020).
Wawancara dengan Wakasman, Tokoh Masyarakat Desa Suka Maju (2020).
Wawancara dengan Adam, Kepala Desa Suka Maju (2020).

15

Anda mungkin juga menyukai