Anda di halaman 1dari 29

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP PERJAMUAN MAKAN

SAAT NIPAERANGNGI DI KELURAHAN MAWANG KECAMATAN


SOMBA OPU KABUPATEN GOWA
(TINJAUAN TEOLOGI)

Proposal
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar
Sarjana Agama Jurusan Aqidah Filsafat Islam
UIN Alauddin Makassar

Oleh :
MUHAMMAD FAHRUL IRAS
NIM : 30200115032

JURUSAN FILSAFAT AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki jumlah

pulau terbanyak di dunia. Hal inilah yang mejadikan negara Indonesia menjadi

negara yang besar dengan beragam etnik, tradisi, agama dan budaya didalamnya.

Budaya merupakan hasil cipta, karsa dan rasa manusia yang berhubungan dengan

alam dan menjadi ciri khas yang menjadi keindahan serta ciri khas suatu daerah.

Kebudayaan sebagai wadah dan masyarakat adalah wadah dari

kebudayaan tersebut, sehingga antara kebudayaan dan masyarakat keduanya tidak

dapat dipisahkan.1 Meskipun bentuk dan coraknya berbeda-beda dari

masyarakat-bangsa yang satu kemasyarakat-bangsa lainnya. Kebudayaan secara

jelas menampakkan kesamaan kodrat manusia dari berbagai suku, bangsa, dan

ras.2

Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan

masyarakat. Selain itu, manusia dan masyarakat memerlukan pula kepuasan, baik

dibidang spiritual maupun materil. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut

sebagian besar dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu

sendiri. Kebudayaan mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana

seharusnya bertindak, berbuat, menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan

dengan orang lain. Dalam Q.S Al-Baqarah/2:148 Allah SWT berfirman :


‫اس<تَبقُوا ْال َخ ْي< ٰ<ر ۗت اَ ْينَ م<<ا تَ ُكوْ نُ<<وْ ا ي<ْأت ب ُكم هّٰللا ُ جم ْي ًع<<ا ۗ ا َّن هّٰللا‬
َ ِ ِ َ ُ ِ ِ َ َ ِ ِ ْ َ‫َولِ ُك ٍّل ِّوجْ هَةٌ هُ َو ُم َولِّ ْيهَا ف‬

‫ع َٰلى ُكلِّ َش ْي ٍء قَ ِد ْي ٌ<ر‬

1
Santri Sahar, Pengantar Antropologi: Integrasi Ilmu Dan Agama (Makassar: Cara Baca,
2015), h.156.
2
Rafael Raga Maran, Manusia Dan Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar
(Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 15.
Terjemahnya:
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap
kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan.
Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu
sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu”.3

Ayat diatas menjelaskan bahwa masyarakat terdiri dari berbagai macam

komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus

menerima kenyataan keragaman budaya dan memberikan toleransi kepada

masing-masing komunitas. Hal senada dengan komunitas Bugis Makassar, siklus

kehidupan manusia ditandai dengan kelahiran, pernikahan dan kematian adalah

perjalanan hidup manusia baik secara fisik maupun rohani. oleh karenanya

kalangan muslim Bugis Makassar mengakomodasikan antara dasar ajaran Islam

dengan ajaran Luhur dalam melaksanakan ritual yang berkaitan dengan siklus

kehidupan tersebut. Kemudian diwariskan ke generasi selanjutnya yang dilakukan

secara rutin sesuai dengan yang telah dianjurkan oleh nenek moyang terdahulu.

Max Weber mengartikan tradisi sebagai suatu sikap kejiwaan yang

bersumber dan berdasar pada kebiasaan-kebiasaan yang tidak patut untuk

dilanggar atau dirombak.4 Dalam pengertian ini dapat disimpulkan bahwa suatu

tradisi memang harus dilakukan berdasarkan ketentuan yang telah ada

sebelumnya dan tidak bertentangan dengan Agama, sebagaimana yang tertulis

dalam ayat al-Qur’an. Firman Allah, QS. Al-Baqarah/2 ayat 170:

ۡ‫وا بَ ۡل نَتَّبِ ُع َمٓا َأ ۡلفَ ۡينَا َعلَ ۡي ِه َءابَٓا َءن َۚٓا َأ َولَ ۡو َك<<انَ َءابَ<<ٓاُؤ هُم‬
ْ ُ‫ُوا َمٓا َأن َز َل ٱهَّلل ُ قَال‬
ْ ‫يل لَهُ ُم ٱتَّبِع‬
َ ِ‫َوِإ َذا ق‬

َ‫اَل يَ ۡعقِلُونَ َش ٗۡ‍ٔيا َواَل يَ ۡهتَ ُدون‬

Terjemahnya:

3
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung: CV JUMANATUL
]`ALI-ART (J-ART), 2005).
4
Bungaran Antonius Simanjuntak, Tradisi, Agama, dan Akseptasi Modernisasi Pada
Masyarakat Pedesaan Jawa, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016), h. 14.

3
“Dan apabila dikatakan kepada mereka,“Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa
yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).”
Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan
tidak mendapat petunjuk”.5

Ayat ini memberikan isyarat bahwa tradisi orang tua sekalipun tidak dapat

diikuti jika tradisi tersebut tidak memiliki dasar-dasar yang dibenarkan oleh

agama atau dengan pertimbangan akal sehat dan pertimbangan nalar yang

kemudian dalam pertimbangan tersebut juga berdasarkan dari ilmu yang dapat

dipertanggung-jawabkan, sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam

QS. Al-Ma’idah [5]: 104 atau berdasarkan pada petunjuk ilahi, termasuk yang

sudah ada dalam Sunnah dan Rasul-Nya saw. sebagaimana yang juga telah

ditegaskan dalam QS Ali Imran [3]: 31.6

Hal ini dipaparkan dalam al-Qur’an setelah terdapat banyak uraian tentang

bukti-bukti keesaan Allah swt. serta setelah mengecam kemusyrikan dan

menunjukkan kesesatan.7

Ayat tersebut secara tidak langsung menyampaikan bahwa tradisi juga

mampu membangun suatu hubungan dalam sebuah lingkungan atau dengan kata

lain tradisi mampu menciptakan dan menyambung tali silaturrahmi. Hal ini

dikarenakan ketika suatu tradisi dilaksanakan, akan terdapat sekerumunan orang

yang turut andil dalam pelaksanaan tradisi tersebut. Bukan hanya dengan keluarga

tetapi akan banyak orang lain yang ikut serta dalam pelaksanaan sebuah tradisi.

Konsep yang diterapkan dalam hal ini adalah konsep sunnah taqririyah

dimana konsep ini merupakan bukti kuat bahwa Nabi membolehkan keberlakuan

5
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung: CV JUMANATUL
]`ALI-ART (J-ART), 2005), h. 27.
6
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol. 1,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 458-480.
7
M. Quraish Shihab, Tafsi r Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol.5,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 458-480.

4
beberapa tradisi yang dapat diterima dalam ajaran Islam. 8 Sehingga pada dasarnya

dapat dikatakan bahwa Islam juga membolehkan beberapa tradisi untuk dilakukan

dengan syarat bahwa tradisi yang dilakukan tersebut masih sejalan dengan syariat

Islam yang telah ada dan yang telah ditentukan.

Pasca kematian bagi masyarakat Bugis Makassar khusunya di daerah Kel.

Mawang Kec. Somba Opu digelar tradisi Perjamuan Makan Saat Nipaerangngi.

Tradisi ini dianggap penting dan bahkan dianggap wajib oleh masyarakat

setempat, dengan memperingati hari kematian dalam hitungan hari-hari tertentu

yakni tujuh hari, empat puluh hari, dan seratus hari.

Selanjutnya proyeksi kedepan dalam penelitian ini mencoba menguliti

bagaimana yang seharusnya dilakukan,  dari anekah ritual tersebut sehingga pada

satu sisi tidak meninggalkan budaya sebagai orang Bugis Makassar namun pada

sisi lain juga tidak bertentangan dengan ajaran dasar agama Islam.

B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus

1. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah seperti yang terdapat dalam judul yaitu

Pandangan Masyarakat Terhadap Perjamuan Makan Saat Nipaerangngi di

Kelurahan Mawang Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa (Tinjauan

Teologi), sehingga penelitian ini berfokus kepada setiap proses yang ada

dalam tradisi Perjamuan Makan Saat Nipaerangngi dimulai dari hari pertama

meninggal sampai hari tertentu yang telah ditentukan dan diyakini.

2. Deskripsi Fokus

8
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: Inis,
1998), h.7.

5
Fokus penelitian menjelaskan tentang proses pelaksanaan Perjamuan

Makan Saat Nipaerangngi, pandangan masyrakat tentang Perjamuan Makan

Saat Nipaerangngi, dan fokus yang terakhir adalah prespektif teologi terhadap

Perjamuan Makan Saat Nipaerangngi. Maka terlebih dahulu peneliti akan

mendefinisikan setiap kata yang terdapat dalam judul dan dianggap penting

serta yang menjadi variabel dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

a. Perjamuan merupakan pertemuan makan minum, pesta yang terjadi di

masyarakat.

b. Makan merupakan kegiatan memasukkan makanan atau sesuatu ke

dalam mulut untuk menyediakan nutrisi bagi manusia.

c. Nipaerangngi merupakan salah satu cara masyarakat memperingati

hari kematian Mayit. Pemahaman Hajatan kematian yang dimasud

dalam penelitian ini adalah perayaan yang dilakukan dengan cara

makan bersama dan pemotongan hewan pada hari-hari tertentu dengan

beberpa ritual didalamnya.

d. Tinjauan Teologi adalah penelitian yang melakukan pertimbangan atas

sudut pandang teologi terhadap tradisi Perjamuan Makan Saat

Nipaerangngi. Seperti yang diketahui bahwa teologi adalah sebuah

kata yang berasal dari bahasa Arab artinya adalah ilmu kalam yang

belum dikenal atau belum muncul pada zaman Nabi.9

Tabel 1.1
Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus
No Fokus Penelitian Deskripsi Fokus
1. Perjamuan Makan Saat Hajatan a. Pengertian dan Sejarah tradisi
Kematian Nipaerangngi Perjamuan Makan Saat
Nipaerangngi
b. Proses tradisi Perjamuan Makan

9
Hamka Haq, Pengaruh Teologi dalam Ushul Fikih, (Makassar: Alauddin University
Press, 2013), h. 19.

6
Saat Hajatan Nipaerangngi
2. Pandangan masyarakat terhadap a. Masyarakat umum
Perjamuan Makan Saat
Nipaerangngi
3. Tujuan Tradisi Perjamuan Makan a. Nilai aqidah dan sosial
saat Nipaerangngi

Berdasarkan deskripsi fokus yang ada maka peneliti mengangkat beberapa

permasalahan yang erat hubungannya dengan Perjamuan Makan Saat Saat

Nipaerangngi di Kelurahan Mawang Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, yang

nantinya diharapakan dapat menjawab beberapa permasalahan yang ada dalam

tradisi Perjamuan Makan Saat Hajatan Kematian.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis membatasi pokok-pokok

pembahasan yang dituangkan dalam tiga masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang Perjamuan Makan Saat Saat Nipaerangngi di

Kelurahan Mawang Kab Gowa?

2. Bagaimana pandangan masyarakat muslim terhadap Perjamuan Makan

Saat Hajatan Kematian di Kel. Mawang?

3. Bagaimana Tujuan Tradisi Perjamuan Perjamuan Makan saat

Nipaerangngi?

D. Kajian Pustaka

Pada bagian ini peneliti berusah untuk mencari suatu informasi yang telah

ada dari beberapa penelitian terdahulu meskipun penelitian tentang Perjamuan

Makan Saat Hajatan Kematian (Nipaerangngi) belum pernah diteliti sebelumnya.

Hal ini dilakukan untuk dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam menemukan

7
kekurangan dan kelebihan yang telah ada sebelumnya. Selain itu, dalam penelitian

ini peneliti juga menggunakan buku-buku ataupun skripsi untuk dijadikan sebagai

bahan referensi dalam mencari dan menentukan teori yang erat hubungannya

dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti.

Berdasarkan hasil pencarian peneliti, penelitian yang berhubungan dengan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

Pertama Skripsi yang berjudul “Makna Perayaan Kematian (Studi

Fenomenologi Masyarakat Janggurara Terhadap Tradisi Mangdoja di Kecamatan

Baraka, Kabupaten Enrekang” yang ditulis oleh Hasmira pada tahun 2017. Dia

menerangkan bahwa tradisi Mangdoja adalah tradisi perayaan hari kematian yang

diperingati pada hari pertama, ke-3,7,11,41 dan ke-100 setelah kematian dengan

cara memotong hewan. Dari hasil penelitian ini, dominan masyarakat percaya

bahwa tradisi ini bertujuan untuk untuk meminta Do’a keselamatan untuk mayit.10

Kedua, penulis juga menemukan penelitian tentang Upacara Kematian

yang ada di Desa Salemba Kec Ujung Loe Kab Bulukumba yang disusun oleh

Fahmi Pasra dengan pendekatan Studi Unsur-unsur Budaya Islam tahun 2017.

Beliau menerangkan bahwa Upacara Kematian merupakan tradisi yang

berkembang secara turun temurun, jauh sebelum Islam datang. Dalam

pelaksanaan upacara kematian, pengaruh Islam sangat mendominasi mulai dari

pembacaan doa-doa yang bersumber dari Al-Quran, ceramah agama dan Takziah

dan sebagainya.11

Ketiga, penelitian Ahmad Ghozali terkait Hadis-hadis Tentang

Perkumpulan-perkumpulan Menjamu Makanan di Rumah Ahli Mayit Pada


10
Hasmira “Makna Perayaan Kematian (Studi Fenomenologi Masyarakat Janggurara Terhadap
Tradisi Mangdoja di Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang”, Skripsi (Makassar: Fak. Dakwah dan
Komunikasi UIN Alauddin Makssar, 2017).
11
Fahmil Pasrah “Upacara Adat Kematian di Desa Salemba Kec. Ujung Loe Kab. Bulukumba
(Studi Unsur-unsur Budaya Islam)”, Skripsi (Makassar: Fak. Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makssar,
2017)

8
Peristiwa Kematian (Kajian Ma’anil Al-Hadis) hasil penelitian tersebut

memberikan pencerahan bahwa hadis tentang berkumpul- kumpul dan menjamu

makanan di rumah ahli mayit pada peristiwa kematian, baik yang melarang

maupun yang membolehkan, berstatus sahih dan dapat dijadikan rujukan.12

Tiga Skripsi tersebut memiliki perbedaan dan persamaan dengan

penelitian yang peneliti teliti. Penelitian yang pertama dan kedua persamaannya

dengan penelitian ini adalah membahas tentang tradisi Kematian, sedangkan

perbedaannya terletak pada lokasi penelitiannya kedua penelitian tersebut

merupakan tradisi tentang proses penguburan seseorang yang telah meninggal,

sedangkan dalam penelitian ini membahas perjamuan makan setelah kematian,

berbeda dengan penelitian ketiga berusaha mengkaji kevalitan kedua hadis yang

melarang maupun membolehkan berkumpul dan melakukan jamuan makan,

sehingga tidak mengarah pada perdebatan dalam aspek syari’ah (hukum formal).

Adapun buku yang dianggap berkaitan dengan penelitian ini adalah buku

Sugira Wahid, Manusia Makassar, Makassar: Pustaka Refleksi Lokal 2010. Buku

tersebut berisi tentang sosial budaya masyarakat Makassar. Salah satu bab dalam

buku tersebut menjelaskan tentang fragmen-fragmen adat-istiadat Makassar. Adat

Dalam tata upacara adat kematian menjelaskan mengenai upacara adat kematian

pada masyarakat Cikoang Kabupaten Takalar yang merupakan salah satu daerah

etnis Makassar pada umumnya upacara tradisional masih dianggap sangat penting

karena pada dasarnya mempunyai ikatan langsung dengan kepercayaan. Upacara

kematian pada masyarakat Cikoang adalah merupakan kebiasaan yang telah ada

yang secara turun temurun diteruskan pada generasi berikutnya sehingga tetap di

pertahankan sebagai unsur kebudayaan yang penting nilainya bagi masyarakat

12
Ghozali “Hadis-hadis Tentang Perkumpulan-perkumpulan Menjamu Makanan di Rumah Ahli
Mayit Pada Peristiwa Kematian (Kajian Ma’anil Al-Hadis)

9
bersangkutan. Maka dari itu buku ini memberikan sumbangan kepada peneliti

yang dijadikan sebagai pendukung teori yang digunakan dalam penelitian ini.

E. Tujuan dan kegunaan Penelitian

1. Tujuan

a. Untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan Perjamuan Makan Saat

Hajatan Kematian di Kel. Mawang.

b. Untuk mengetahui pengaruh tradisi Perjamuan Makan Saat Hajatan

Kematian dalam kehidupan umat Islam di Kel. Mawang.

c. Untuk mengetahui prespektif teologi terhadap tradisi Perjamuan

Makan Saat Hajatan Kematian di Kel. Mawang.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun beberapa kegunaan yang akan penulis paparkan dalam

penelitian ini di antaranya sebagai berikut:

a. Secara teoritis. Penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan

informasi kepada wilayah akademik tentang salah satu tradisi yang ada

di Kab. Gowa tepatnya di Kel.Mawang Kec.Somba Opu. Kegunaan

secara teoritis yang diperoleh dalam pelaksanaan penelitian ini antara

lain:

1. Bagi Sosial Background, khususnya jurusan Aqidah Filsafat Islam

Konsentrasi Filsafat Agama UIN Alauddin Makassar menjadi

referensi atau tambahan informasi dalam pengembangan ilmu

pengetahuan terhadap para mahasiswa mengenai Pandangan

10
Teologi Islam Terhadap Tradisi Perjamuan Makan Saat

Nipaerangngi di Kelurahan Mawang Kabupaten Gowa.

2. Menambah pengalaman dan pengetahuan penulis tentang Tradisi

Perjamuan Makan Saat Nipaerangngi di Kelurahan Mawang.

3. Menambah wawasan berfikir tentang dampak sosial terhadap

tradisi perjamuan makan saat Nipaerangngi yang ada di kelurahan

Mawang.

b. Secara praktis. Penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan

sebuah pemahaman secara luas kepada masyarakat Kel. Mawang dan

masyarakat di daerah lain tentang pentingnya menselaraskan atau

menyesuaikan pemahaman antara agama dan tradisi terutama tradisi

Perjamuan Makan Saat Hajatan Kematian. Kegunaan secara Praktis

yang diperoleh dalam pelaksanaan penelitian ini antara lain:

1. Riset ini diharapkan bisa bermanfaat untuk para budayawan dan

warga universal agar tetap melestarikan kebudayaannya yang

cocok dengan ajaran agama Islam. terkhusus bagi pemerintah

setempat supaya membagikan perhatiannya pada aspek-aspek

tertentu demi pertumbuhan budaya warga selaku kearifan lokal.

2. Hasil penelitian ini dapat jadi bahan kajian untuk para peneliti yang

lain terkhusus lembaga perguruan tinggi, serta lembaga swadaya

untuk memahami dan peduli terhadap degradasi kebudayaan.

11
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pandangan

1. Pengertian Pandangan

Setiap orang memandang sesuatu secara berbeda. Pesan akan diterima

oleh orang-orang dari lingkungan mereka berdasarkan apa yang menarik

mereka. Dalam porsi ini, analis membutuhkan untuk memperluas definisi

persepsi, jenis persepsi, proses persepsi, faktor yang mempengaruhi persepsi,

dan faktor peran persepsi. Sebuah. Definisi Persepsi Menurut Robbins dan

Judge, persepsi adalah proses dari manusia mengatur dan menafsirkan kesan

sensorik mereka untuk disumbangkan makna terhadap lingkungannya. 13

Menurut Walgito, persepsi adalah proses yang diawali dengan penginderaan,

yang merupakan proses penerimaan yang nyata stimulus oleh individu melalui

indera atau disebut juga proses indrawi. Dengan kata lain persepsi dapat

diartikan sebagai proses penerimaan dari rangsangan melalui indera yang

didahului oleh perhatian, sehingga individu mampu menyadari, menafsirkan,

dan mengapresiasi tentang sesuatu yang belum diamati.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga mendefinisikan

pandangan sebagai hasil perbuatan memandang. Bimo Walgito

mengemukakan bahwa pandangan mengandung 3 komponen yang

membentuk sikap, yaitu:

a. Komponen Kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang

berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal

13
Robbins dan Judge, Definisi Persepsi (2013)

12
yang berhubungan dengan bagaimana seseorang mempersepsi terhadap

objek.

b. Komponen Efektif (komponen emosional), yaitu komponen yang

berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap sikap

objek. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak

senang merupakan hal yang negatif. Komponen ini menunjukan arah

sikap yakni positif atau negatif.

c. Komponen Konatif (komponen perilaku atau action component),

adalah komponen yang berhubungan dengan kecenderungan seseorang

untuk bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek.

Suatu proses dibutuhkan oleh seseorang untuk menganalisa hasil atau

pengetahuan yang mereka inginkan. Hasil akhir dari proses ini adalah mereka

memberikan gambaran sehingga terjadi proses memandang, kemudian mereka

memberikan pendapat atau tanggapan. 14

2. Jenis Pandangan

Menurut Maramis, ada dua jenis pandangan yaitu sebagai berikut:

a. Pandangan Ekstrenal

Persepsi eksternal adalah persepsi yang terjadi sejak adanya

rangsangan yang datang dari luar orang tersebut.

b. Pandangan Diri

14
UNY, Hakikat Pandangan, (2005), h.8

13
Persepsi diri adalah persepsi yang terjadi karena adanya hasutan itu

berasal dari dalam orang tersebut15. Apalagi menurut Irwanto, yang

berpendapat bahwa jenis persepsi sebagai akibatnya interaksi antara

manusia dan objek ada dua16. Mereka positif dan persepsi negatif, yang

kesemuanya dipahami sebagai berikut:

1) Pandangan Positif

Pandangan positif adalah persepsi yang menggambarkan semua

data (diketahui atau tidak diketahui) secara positif. Dengan kata lain,

persepsi positif adalah menilai atas pertanyaan yang memuat diri

mereka yang memiliki penjelasan positif. Selain itu, seseorang yang

pandangan positif akan mengakui dan mendukung item yang dilihat.

2) Pandangan Negatif

Pandangan negatif adalah persepsi yang menggambarkan data

(diketahui / tidak diketahui) merugikan atau tidak sesuai dengan objek

yang dirasakan. Dengan kata lain, negatif Persepsi adalah penilaian

terhadap objek yang mencakup diri mereka sendiri yang diterjemahkan

secara negatif. Beisdes, seseorang yang berprasepsi negatif akan

menampik objek itu dirasakan. Berdasarkan klarifikasi di atas dapat

disimpulkan bahwa individu tersebut persepsi dapat menyadari dan

memahami tentang keadaan yang melingkupinya lingkungan atau

keadaan orang yang bersangkutan (persepsi diri). Jadi, positif atau

persepsi negatif akan terus mempengaruhi seseorang untuk melakukan

suatu aktivitas. Selain itu, persepsi positif atau negatif tergantung pada

15
Dannerius Sinaga. Sosiologi dan Antropologi (Klaten: PT. Intan Pariwara. Fadholi
Hernanto, 1988).
16
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta. Dedi
Saputra, 2009).

14
bagaimana individu menggambarkannya informasi dari pertanyaan

yang dirasakan.

B. Masyarakat

1. Pengertian Masyarakat

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) masyarakat adalah

sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan

yang mereka anggap sama, terpelajar, bahasa kelompok orang yang merasa

memiliki bahasa bersama, yang merasa termasuk dalam kelompok itu, atau

yang berpegang pada bahasa standar yang sama.17

Menurut Dannerius Sinaga, masyarakat merupakan orang yang

menempati suatu wilayah baik langsung maupun tidak langsung saling

berhubungan sebagai usaha pemenuhan kebutuhan, terkait sebagai satuan

sosial melalui perasaan solidaritas karena latar belakang sejarah, politik

ataupun kebudayaan yang sama.18 Banyak deskripsi yang dituliskan oleh para

pakar mengenai pengertian masyarakat. Dalam bahasa Inggris dipakai istilah

society yang berasal dari kata Latin socius, berarti “kawan”. Istilah

masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab syaraka yang berarti “ikut serta,

berpartisipasi”. Masyarakat adalah sekumpulan manusia saling “bergaul”, atau

dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”.19 Menurut Phil Astrid S. Susanto,

masyarakat atau society merupakan manusia sebagai satuan sosial dan suatu

keteraturan yang ditemukan secara berulang-ulang.20

17
https://kbbi.web.id/
18
Dannerius Sinaga. Sosiologi dan Antropologi (Klaten: PT. Intan Pariwara. Fadholi
Hernanto, 1988).
19
Koentjaraningrat.  Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: RinekaCipta. Dedi Saputra,
2009).
20
Phil. Astrid S. Susanto. Pengatar Sosiologi dan Perubahan Sosial (Jakarta: Raja
Garindo Press. P.J. Bouman, 1999).

15
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dimaknai bahwa masyarakat

merupakan kesatuan atau kelompok yang mempunyai hubungan serta

beberapa kesamaan seperti sikap, tradisi, perasaan dan budaya yang

membentuk suatu keteraturan. Adapun macam-macam masyarakat yaitu:

a. Masyarakat Modern

Masyarakat modern merupakan masyarakat yang sudah tidak

terikat pada adat-istiadat. Adat-istiadat yang menghambat kemajuan segera

ditinggalkan untuk mengadopsi nila-nilai baru yang secara rasional

diyakini membawa kemajuan, sehingga mudah menerima ide-ide baru

(Dannerius Sinaga.21 Berdasar pada pandangan hukum, Amiruddin,

menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern mempunyai solidaritas

sosial organis.22 Menurut OK. solidaritas organis didasarkan atas

spesialisasi. Solidaritas ini muncul karena rasa saling ketergantungan

secara fungsional antara yang satu dengan yang lain dalam satu kelompok

masyarakat.23 Spesialisasi dan perbedaan fungsional yang seperti

diungkapkan tersebut memang kerap dijumpai pada masyarakat modern.

Selain adanya solidaritas organis, Amiruddin juga menjelaskan bahwa

hukum yang terdapat dalam masyarakat modern merupakan hukum

restruktif yaitu hukum berfungsi untuk mengembalikan keadaan seperti

semula dan untuk membentuk kembali hubungan yang sukar atau kacau

kearah atau menjadi normal.24 Jadi masyarakat modern merupakan yang

21
Dannerius Sinaga. Sosiologi dan Antropologi (Klaten: PT. Intan Pariwara. Fadholi
Hernanto, 1988).
22
Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Evarisan, 2010).
23
OK. Chairudin. Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 1993).

24
Amiruddin. Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2010).

16
sudah tidak terpaku pada adat-istiadat dan cenderung mempunyai

solidaritas organis karena mereka saling membutuhkan serta hukum yang

ada bersifat restruktif.

b. Masyarakat Tradisional

Masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang masih terikat

dengan kebiasaan atau adat-istiadat yang telah turun-temurun. Keterikatan

tersebut menjadikan masyarakat mudah curiga terhadap hal baru yang

menuntut sikap rasional, sehingga sikap masyarakat tradisional kurang

kritis.25 Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat

tradisional merupakan masyarakat yang melangsungkan kehidupannya

berdasar pada patokan kebiasaan adat-istiadat yang ada di dalam

lingkungannya. Kehidupan mereka belum terlalu dipengaruhi oleh

perubahan-perubahan yang berasal dari luar lingkungan sosialnya,

sehingga kehidupan masyarakat tradisional cenderung statis. Menurut P. J

Bouman.26 hal yang membedakan masyarakat tradisional dengan

masyarakat modern adalah ketergantungan masyarakat terhadap

lingkungan alam sekitarnya. Faktor ketergantungan masyarakat tradisional

terhadap alam ditandai dengan proses penyesuaian terhadap lingkungan

alam. Oleh karena itu masyarakat tradisional mempunyai karakteristik

tertentu yang menjadi ciri pembeda dari masyarakat modern. Adapun

karakteristik pada masyarakat tradisional diantaranya:

1) Orientasi terhadap nilai kepercayaan kebiasaan dan hukum alam

tercermin dalam pola berpikirnya.

25
Dannerius Sinaga. Sosiologi dan Antropologi (Klaten: PT. Intan Pariwara. Fadholi
Hernanto, 1988), h.152.
26
P.J. Bouman. Ilmu Masyarakat Umum: Pengantar Sosiologi, (Jakarta: PT.
Pembangunan, 1980), h.54-58.

17
2) Kegiatan ekonomi masyarakat bertumpu pada sektor agraris.

3) Fasilitas pendidikan dan tingkat pendidikan rendah.

4) Cenderung tergolong dalam masyarakat agraris dan pada

kehidupannya tergantung pada alam sekitar.

5) Ikatan kekeluargaan dan solidaritas masih kuat.

6) Pola hubungan sosial berdasar kekeluargaan, akrab dan saling

mengenal.

7) Kepadatan penduduk rata-rata perkilo meter masih kecil.

8) Pemimpin cenderung ditentukan oleh kualitas pribadi individu dan

faktor keturunan (Dannerius Sinaga.27

Sosial control dan disiplin hukum adat akan digunakan oleh masyarakat

untuk mengatur ketertiban tata hidup sosialnya. Dari penjelasan tersebut, dapat

dimaknai keseragaman masyarakat sering di jumpai pada masyarakat tradisional

lebih patuh terhadap hukum adat daripada negara atau hukum nasional. Dalam

masyarakat tradisional hukum yang ada bersifat represif. Hukum dengan sanksi

represif memperoleh pernyataan hukumnya yang utama dalam kejahatan dan

hukuman. Pelanggaran peraturan-peraturan sosial berarti kejahatan dan

menimbulkan hukuman.

C. Perjamuan Makan

Adapun perhidangan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit dan

berkumpulnya masyarakat telah diriwayatkan oleh Daud dengan sanad yang

sahih dari ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya dan laki-laki anshar, ia berkata :

Kami bersama Rasulullah saw keluar menuju pemakaman jenazah, sewaktu

hendak pulang muncullah istrinya mayit, mengundang untuk singggah, kemudian

27
Dannerius Sinaga. Sosiologi dan Antropologi (Klaten: PT. Intan Pariwara. Fadholi
Hernanto, 1988), h.156.

18
ia menghidangkan makanan, Rasullullah pun mengambil makanan tersebut dan

mencicipinya, kemudian para sahabat turut mencicipi pula. Hadis tersebut

menunjukkan bahwa diperbolehkan keluarga mayit untuk menghidangkan

makanan berikut mengundang masyarakat terhadap makanan tersebut. bahkan

diberitakan dalam kitab al-Bazaziyah dalam kitab Istihsan, bahwa

keluarga mayit menghidangkan makanan bagi orang-orang fakir merupakan

perbuatan baik”.28

D. Nipaerangngi

Nipaerangngi merupakan salah satu cara masyarakat memperingati hari

kematian Mayit. Peringatan kematian ini biasanya dilakukan pada saat mayat

sudah menghembuskan nafasnya yang terakhir dimana keluarga dan para

tetangganya melakukan suatu tradisi yang tidak pernah lepas dengan pemahaman

dari nenek moyang mereka pada hari-hari ganjil seperti hari pertama, ke-3,7,11,41

sampai ke-100. Pemahaman Hajatan kematian yang dimasud dalam penelitian ini

adalah perayaan yang dilakukan dengan cara makan bersama dan pemotongan

hewan pada hari-hari tertentu dengan beberpa ritual didalamnya.

Setelah doa selesai dibacakan dan diakhiri pidato imam, maka tuan rumah

mempersilahkan para undangan untuk mulai menyantap hidangan. Hidangan ini

merupakan ungkapan terimakasih atas kesediaannya membantu mendoakan

almarhum/almarhummah dengan niat sebagai sedekah. Oleh karena itu, acara

tahlil yang khusus untuk pengiriman doa semacam itu sering dinamakan sedekah,

perubahan ucapan dari kata Shadaqah. Sedekah makanan itu biasanya baru

disuguhkan atau dibagikan setelah selesainya doa dalam tahlil, baik untuk makan

28
Ahmad Ibnu Isma’il al-Thahthawi, Hasyiyah ‘Ala Muragi al-Falah (Mesir : Maktabah
al-Babi al-Halabi, 1318), Juz. I, h. 514.

19
di tempat atau dibawa pulang. Dengan perkataan lain, sedekah itu diberikan

setelah diberkahi dengan doa.

Makanan yang sudah diberkahi doa tersebut kemudian disebut berkati.

Berkat berasal dari bahasa Arab, barkatun bentuk jamaknya adalah barakat yang

artinya kebaikan yang bertambah-tambah terus. Penamaan tersebut berdasarkan

sabda Nabi Muhammad saw yang artinya : Berkumpullah pada jamuan makan

kamu, dan sebutlah asma Allah ketika hendak makan, niscaya Allah

memberkatikamu pada makan itu. (H.R. Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah,

Ibn Hibban dan al-Hakim).

Dalam hadis Imam Abu Dawud dan al-Baihaqi, Nabi Muhammad saw.

bersabda yang artinya :

“Balaslah kebaikan saudaramu seagama. Doakan dia mendapat


barokah. Sesungguhnya seseorang yang makanan dan minumnnya
dimunum oleh yang disuguh, kemudian didoakan mendapat barokah,
maka doa itulah balasan kebaikan dari mereka yang disuguhi”
(H.R. Imam Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Setelah itu ahli kelurga membaca yasin setiap malam jum’atnya atau

dalam empat kali jum’at, setelah membaca yasin empat kali jum’at tersebut

kemudian sampailah keempat puluh, setelah simayit telah empat pulah hari di

alam kubur maka ahli waris atau ahli kelurga yang ditinggal untuk memperingati

keempat puluhnya dengan mengadakan do’a bersama dan juga mengundang sanak

famili yang lainnya untuk menyampaikan do’a kepada mayit. Setelah habis empat

puluhnya kemudian menunggu seratusnya, apabila telah sampai seratusan maka

ahli famili berhak untuk memperingati seratusnya, apabila telah sampai seratusnya

menurut tradisi maka selesailah adat tersebut, akan tetapi hukum tidak terlepas

untuk terus mengirim do’a kepada yang telah mendahului kita.

20
21
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Lokasi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Definisi dari penelitian itu sendiri yakni salah satu bentuk kegiatan

yang dilakukan untuk mencari sebuah data yang diperlukan lalu kemudian

data yang diperoleh dari pencarian dirumuskan kedalam sebuah permasalahan,

kemudian masalah tersebut dianalisis, dan pada akhirnya hasil analisis dari

permasalahan tersbut akan menjadi sebuah laporan.29

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian lapangan (Field Research)

dimana jenis penelitian ini memiliki sifat kualitatif yang proses penelitiannya

akan menghasilkan sebuah data deskriptif yang berbentuk beberapa kata lisan

atau tulisan dari beberapa orang yang akan diamati dalam permasalahan yang

ada.30

2. Lokasi Penelitian

Sesuai dengan judul skripsi tentang Pandangan Tokoh Masyarakat Kel.

Mawang Tentang Perjamuan Makan Saat Hajatan Kematian (Tinjauan

Teologi) maka lokasi penelitian ini dilakukan di Kel. Mawang.

B. Pendekatan Penelitian

Adapun yang pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini digunakan untuk melihat

beberapa fenomena yang terjadi di lingkungan masyrakat khususnya

masyarakat di Kel. Mawang baik itu dalam bentuk tradisi yang dimiliki

29
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2007), h. 1.
30
Lexy J, Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosdakarya, 2005), h.4.

22
masyarakat, adat istadat bahkan kehidupan sehari-hari masyarakat dalam

pelaksanaan tradisi Perjamuan Makan Saat Hajatan Kematian.

2. Pendekatan teologi. Pendekatan ini digunakan untuk menemukan

bagaimana tradisi Perjamuan Makan Saat Hajatan Kematian dalam

kacamata ruang lingkup teologi. Sebagaimana diketahui bahwa teologi

adalah sebuah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan hubungannya

dengan manusia, yang berdasarkan dari kebenaran wahyu maupun

berdasarkan pada penyelidikan akal murni.31

C. Sumber Data

1. Data Primer

Sumber data primer adalah sumber yang didapatkan langsung dari

lapangan (lokasi penelitian) atau informan yang terkait dengan permasalahan

penelitian, yang kemudian dicatat atau direkam secara langsung kemudian

disusun secara sistematis. Informan yang terkait adalah Kepala Dusun dari

desa tersebut yang kemudian mengarahkan peneliti kepada kepala adat yang

begitu paham tentang tradisi yang menjadi objek penelitian, hal ini dilakukan

oleh peneliti dengan cara “snowball”.

2. Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang dikumpulkan peneliti dari

beberapa referensi kepustakaan yang berkaitan dan berhubungan dengan

pokok pembahasan dalam penelitian yang dilakukan peneliti seperti; buku-

buku, beberapa dokumentasi, karya ilmiah dan sebagainya.

31
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1980), h. 11.

23
D. Metode Pengumpulan Data

1. Observasi

Observasi yaitu sebuah atau sekumpulan data yang akan dibutuhkan

dalalm penelitian yang diperoleh dengan cara melakukan pengamatan

langsung tehadap hal-hal yang berkesenambungan terhadap fokus penelitian

yang dilakukan.32 Metode ini digunakan untuk medapatkan sebuah gambaran

dan beberapa data yang terkait dengan keadaan dan perilaku masyarakat Kel.

Mawang ka terhadap pelaksanaan tradisi Perjamuan Makan Saat Hajatan

Kematian.

2. Wawancara

Wawancara adalah salah satu metode pengumpulan data yang

dilakukan dengan cara sistem tanya jawab antara nara sumber dan informan.

Untuk menentukan informan, peneliti harus melakukan seleksi individu-invidu

(informan) yang dinilai ahli atau setidaknya mengetahui banyak hal tentang

persoalan yang memiliki keterkaitan dengan topic penelitian. 33 Sehingga pada

penelitian ini peneliti memilih Kepala Desa, Kepala Dusun, Kepala Adat, dan

beberapa masyarakat setempat yang mengetahui lebih banyak tentang tradisi

bullean karua untuk dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini.

Kemudian informan ini akan diberikan beberapa pertanyaan mendalam

tentang tradisi yang dijadikan topik penelitian.

3. Dokumentasi

Dokumentasi digunakan untuk mendapatkan sebuah data yang

didapatkan langsung di lokasi penelitian. Dokumentasi ini sebagai

32
Syamsuddin AB, Dasar-Dasar Teori Metode Penelitian Sosial, (Jawa Timur: WADE
Group (WD), 2017), h. 102.
33
Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2005), h. 71.

24
pengakuratan atas data-data yang telah diperoleh. Dokumentasi ini biasanya

berbentuk sebuah fakta atas sesuatu yang ada biasanya berbentuk catatan,

laporan, gambar dan sebagainya. Namun, dalam penelitian ini dokumentasi

yang digunakan peneliti hanyalah gambar yang diambil dari serangkaian

proses yang ada dalam tradisi Nipaerangngi

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan penulis untuk

melakukan penelitiannya dan alat penelitian tersebut adalah penulis atau peneliti

itu sendiri. Sehingga dalam instrumen penelitian ini peneliti melakukan penelitian

dengan cara datang langsung (observasi) dengan mewawancarai beberapa

informan yang terkait dengan menggunakan alat perekam untuk merekam

percakapan pada saat wawancara, serta melakukan pengambilan gambar dengan

menggunakan kamera.

F. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data

Teknik pengolahan data dan analisis data yang digunakan penulis adalah

sebagai berikut:

1. Reduksi Data (Data Reducation)

Mereduksi data merupakan tahap pertama yang harus dilakukan

setelah melakukan beberapa metode penelitian yaitu merangkum segala hal

yang penting dari semua hasil penelitian yang telah dilakukan baik itu dari

hasil observasi, wawancara ataupun dokumentasi. Kemudian hasil rangkuman

25
tersebut di susun secara sistematis dan hanya akan fokus terhadap fokus

peneliatian yang dilakukan peneliti.

2. Penyajian Data (Data Display)

Penyajian data dilakukan dengan cara menuliskan atau membentuk

beberapa uraian yang singkat dimana di dalamnya sudah mengandung variabel

penting yang ada dalam penelitian.

3. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan cara melakukan validasi atas

data-data yang diperoleh, dan hasil validasi tersebut yang pada akhirnya akan

menjawab permasalahan yang telah dirumuskan diawal penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, H. (1985). Manusia Bugis Makassar. Jakarta:Inti Idayu Press. h. 15


Departemen Agama RI. (2005). Al-Quran dan Terjemahannya. Bandung: CV
Jumanatul`Ali Art (J-ART).
Hanafi, A. (1980). Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna. h. 11.
Haq, H. (2013). Pengaruh Teologi dalam Ushul Fikih. Makassar: Alauddin
University Press.

26
Hasmira. (2017). Makna Perayaan Kematian (Studi Fenomenologi Masyarakat
Janggurara Terhadap Tradisi Mangdoja di Kecamatan Baraka,
Kabupaten Enrekang”. Skripsi. Makassar: Fak. Dakwah dan Komunikasi
UIN Alauddin Makssar.
Koentrajaningrat. (1988). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. h.
144
Lukito, R. (1998). Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia,
Jakarta: Inis. h.7.
Manzilati, Asfi. (2017). Metode Penelitian Kulitatif: Paradigma, Metode, dan
Aplikasi. Malang: UB Press. h. 8.
Moleong, L. J. (2005). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.
Muhlis, P. (1995). Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Jakarta:Perindo. h.7.
Narbuko, C. & Achmadi, A. (2007). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Bumi
Aksara. h. 1.
Pasrah, F. (2017) Upacara Adat Kematian di Desa Salemba Kec. Ujung Loe Kab.
Bulukumba (Studi Unsur-unsur Budaya Islam). Skripsi. Makassar: Fak.
Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makssar.
Shihab, Q. (2002). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an
Vol. 1. Jakarta: Lentera Hati. h. 458-480.
Simanjuntak, B. A. (2016). Tradisi, Agama, dan Akseptasi Modernisasi Pada
Masyarakat Pedesaan Jawa. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. h.
14.
Soekanto. (2013). Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada. h. 14-
18.
Suyanto, B & Sutinah. (2005). Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group. h. 71.
Syamsuddin, A.B. (2017). Dasar-Dasar Teori Metode Penelitian Sosial. Jawa
Timur: WADE Group (WD). h. 102.
Syamsuddin, AB. (2017). Dasar-Dasar Teori Metode Penelitian Sosial. Jawa
Timur: Wade Group (WD).
Timo, N. E. (2010). Arsip Untuk Sorga. Nusa Tenggara Timur, CV. Inara
Kupang. h. 25-28.

27
28
Outline
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus
C. Rumusan Masalah
D. Kajian Pustaka
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Tradisi
B. Pengertian dan Sejarah Lahirnya Tradisi Perjamuan Makan
Saat Hajatan Kematian di Kel. Mawang.
C. Teologi
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Lokasi Penelitian
B. Pendekatan Penelitian
C. Sumber Data
D. Metode Pengumpulan Data
E. Instrument Penelitian
F. Tehnik Pengolahan dan Analisis Data
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Profil Kelurahan Mawang Kecamatan Somba Opu Kabupaten
Gowa
B. Proses Tradisi Perjamuan Makan Saat Nipaerangngi di Kel.
Mawang.
C. Pandangan Masyarakat Muslim terhadap Tradisi Perjamuan
Makan Saat Nipaerangngi di Kel. Mawang.
D. Tujuan Tradisi Perjamuan Makan saat Nipaerangngi di Kel.
Mawang.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Implikasi
Daftar Pustaka
Lampiran-lampiran

29

Anda mungkin juga menyukai