Anda di halaman 1dari 18

TRADISI dan BUDAYA ISLAMI

Dosen Pengampu :
Dukan Jauhari Faruq, M.Pd.

Di susun oleh :

Dimas Adi Putra (2244260254)


Mamluk Magfiroh (2244260277)
Putri Dwi Fatmawati (2244260286)
Ummi Lailatul Maghfiroh (2244260295)

PROGAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


UNIVERSITAS AL-FALAH ASSUNIYAH
KENCONG JEMBER
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat disusun dengan
selesai. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Bapak
Dukan Jauhari Faruq, M.Pd, selaku dosen mata kuliah “Aswaja An-Nahdliyah”
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penulis meminta masukan demi perbaikan pembuatan makalah untuk
yang akan datanng. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Kencong, 17 November 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tradisi dan Hukum Melestarikan Tradisi ....................................2
B. Tradisi Seputar Kelahiran ..............................................................................4
C. Tradisi Seputar Kematian .......................................................................... . 6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................... 13
B. Saran .............................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Indonesia terdapat berbagai macam ragamnya dari tahun ke tahun,
tak terkecuali tradisi agama Islam. Umat Islam sendiri selalu berupaya untuk
menjaga tradisi agar tidak punah termakan oleh zaman. Yang mana tradisi Islam
memberi manfaat yang besar bagi kehidupan Islam dalam bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Tradisi dalam kamus antropologi sama dengan adat
istiadat, yakni kebiasaan-kebiasaan yang bersifat magis-religius dari kehidupan
suatu penduduk asli yang mengenai nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum,
dan aturan-aturan yang saling berkaitan, dan kemudian menjadi sistem atau
peraturan yang sudah mantap serta mencangkup segala konsepsi sistem budaya
dari suatu kebudayaan untuk mengatur tindakan sosial. 1
Budaya dan Agama sangatlah berbeda. Budaya adalah berupa perilaku
dan tata tertib yang berlaku pada masyarakat atau lingkungan tertentu.
Sedangkan Agama adalah wujud karya Tuhan yang Maha Esa. Tetapi saling
berhubungan erat satu sama lainnya. Akulturasi antara budaya dan agama akan
membentuk budaya baru, yang tentunya tidak meninggalkan ciri khas
kebudayaan lama. Diantaranya yang akan dibahas pada makalah ini, tentang
tradisi seputar kelahiran dan kematian berdasarkan perspektif agama Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Tradisi Dan Hukum Melestarikan Tradisi ?
2. Apa Saja Tradisi Seputar Kelahiran Yang Ada Di Indonesia, Khsusnya Pada
Masyarakat Jawa Berdasar Agama Islam ?
3. Apa Saja Tradisi Dalam Memperingati Hari Kematian Seseorang Dalam
Cara Pandang Agama Islam ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian Tradisi Dan Hukumnya Dalam Melestarikan Tradisi
Tersebut,

1
Arriyono Suyono dan Aminuddi Siregar, Kamus Antropologi, (Jakarta : Akademik Pressindo,
1999), hal. 4

1
2. Dapat Mengetahui Tradisi Yang Dilakukan Dalam Menyambut Kelahiran
Seorang Bayi, Khususnya Dalam Masyarakat Jawa Berdasar Agama Islam,
3. Mengetahui Tradisi Dalam Memperingati Hari Kematian Seseorang Dalam
Cara Pandang Agama Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tradisi dan Hukum Melestarikan Tradisi


Tradisi (bahasa Latin : traditio, artinya diteruskan) menurut artian
bahasa adalah sesuatu kebiasaan yang berkembang di masyarakat baik, yang
menjadi adat kebiasaan, atau yang diasimilasikan dengan ritual adat atau agama.
Atau dalam pengertian yang lain, sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama
dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari
suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Biasanya tradisi ini
berlaku secara turun temurun baik melalui informasi lisan berupa cerita, atau
informasi tulisan berupa kitab-kitab kuno atau juga yang terdapat pada catatan
prasasti-prasasti. Dengan kata lain Tradisi adalah gagasan yang berasal dari
masa lalu namun masih ada hingga kini dan belum dihancurkan atau dirusak.
Tradisi dapat di artikan sebagai warisan yang benar atau warisan masa lalu.
Namun demikian tradisi yang terjadi berulang-ulang bukanlah dilakukan secara
kebetulan atau disengaja.2
Tradisi Islam sendiri merupakan hasil dari proses dinamika
perkembangan agama tersebut dalam ikut serta mengatur pemeluknya dan dalam
melakukan kehidupan sehari-hari. Tradisi islam lebih dominan mengarah pada
peraturan yang sangat ringan terhadap pemeluknya dan selalu tidak memaksa
terhadap ketidak mampuan pemeluknya. Beda halnya dengan tradisi lokal yang
awalnya bukan berasal dari islam walaupun walaupun pada tarafnya perjalanan
mengalami asimilasi dengan islam itu sendiri.

2
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, ( Jakarta: Prenada Media Grup, 2007), Hal. 69

2
Hukum berarti peraturan atau adat yang secara resmi dianggap
mengikat, yang ditetapkan oleh penguasa (penguasa) atau otoriter. Dalam
hukum Islam tradisi dikenal dengan kata Urf yaitu secara etimologi berarti
“sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”.Al- urf (adat
istiadat) yaitu sesuatu yang sudah diyakini mayoritas orang, baik berupa ucapan
atau perbuatan yang sudah berulang-ulang sehingga tertanam dalam jiwa dan
diterima oleh akal mereka. Secara terminology menurut Abdul-Karim Zaidan,
Istilah „urf berarti : “Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena
telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa
perbuatan atau perkataan.3
Al-Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi tradisinya;
baik ucapan, perbuatan atau pantangan-pantangan, dan disebut juga adat,
menurut istilah ahli syara‟,tidak ada perbedaan antara al-urf dan adat istiadat.4
Pada sisi empiris, suatu perilaku yang dilakukan secara terus menerus oleh
perorangan akan menimbulkan kebiasaan pribadi, begitu juga jika kebiasaan itu
ditiru dan dilakukan oleh orang lain, maka kebiasaan tersebut akan menjadi
kebiasaan yang melekat bagi orang tersebut. Apabila secara bertahap kebiasaan
tersebut kian hari kian banyak atau keseluruhan anggota masyarakat yang
mengikuti kebiasaan tersebut, maka lambat laun kebiasaan tersebut akan
berubah menjadi apa yang dinamakan dengan tradisi, adat atau kebiasaan.
Berubahnya suatu kebiasaan pribadi seseorang kearah kebiasaan yang diikuti
oleh suatu masyarakat tidak berarti bahwa kebiasaan tersebut dapat kita katakan
sebagai hukum adat, tetapi masih dalam bentuk adat saja.
Makna akan pengertian hukum adat ini diperkuat dengan kutipan yang
dimaksud dengan hukum adat adalah adat yang mempunyai sanksi.5 Dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa hukum adat adalah adat yang diterima dan harus
dilaksanakan dalam masyarakat yang bersangkutan dengan berbagai macam
konsekuensi didalamnya, hukum adat atau hukum kebiasaan didalam

3
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasryi (Jakarta: Grafindo Persada, 2009), 167.
4
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah Hukum Islam ”Ilmu ushulul figh” (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1993), 133.
5
Ibid., 9.

3
perkembangannya, hukum kebiasaan mengalami pasang surut eksistensinya di
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi sama halnya
dengan adat istiadat yang berlaku yaitu Adat adalah aturan (perbuatan dan
sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. Sehingga adat
ini atau tardisi masih berlaku sampai hari ini dan mengikat masyarakat untuk
melaksanakannya jika tidak melaksanakannya maka kualat atau laknat akan
menimpanya.
B. Tradisi Seputar Kelahiran
Memiliki seorang buah hati adalah impian setiap orang setelah
berkeluarga. Bagi seorang perempuan, kehamilan adalah suatu kebanggaan
tersendiri, karena kehamilan merupakan wujud kesempurnaan dalam diri wanita.
Dalam terbentuknya janin, di awali ketika seorang wanita melakukan hubungan
seksual yang saat itu mengalami masa subur, kemudian sperma membuahi sel
telur. Kemudian sel telur yang telah mengalami pembuahan tersebut menempel
dan berkembang pada dinding rahim sekitar 40 minggu.6 Setelah mengalami
kehamilan 40 minggu, saat ini tiba proses kelahiran sang buah hati yang
ditunggu-tunggu.
Masa kehamilan terbagi menjadi 3 triwulan, yaitu triwulan yang
pertama dimulai dari konsepsi sampai bulan ke tiga. Triwulan yang ke dua,
dimulai dari bulan ke empat sampai bulan ke enam. Triwulan ke tiga, dari bulan
ke tujuh sampai bulan ke sembilan. Ada berbagai macam tradisi dalam
menyambut kelahiran di Indonesia. Tradisi Jawa Muslim, ada brokohan,
sepasaran, selapanan, telonan, mitoni, dan setahunan. Upacara Peutroen
Aneuk, dari Aceh Barat, dilakukan untuk memperingati kelahiran bayi setelah
berusia 7 hari. Tradisi dilakukan dengan memotong kambing, jika kendurinya
lebih besar maka biasanya keluarganya memotong kerbau.7 Gunting bulu dan
turin tanak merupakan tradisi menyambut kelahiran bayi. Upacara ini
merupakan upacara pertama menandai siklus hidup dari masyarakat Sumbawa.

6
Ruswana Anwar, Endokrinologi Kehamilan dan Persalinan, Subbagian Fertilitas dan
Edokrinologi Reproduksi bagian Obstetri & Ginekologi, (Bandung : Fakultas Kedokteran Unpad),
hal. 14-15.
7
Rusdi Sufi, Keanekaragaman Suku dan Budaya di Aceh, (Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan
Nilai Tradisional, 1998), hal 40.

4
Kedua upacara ini biasanya dilaksanakan ketika bayi berusia tujuh hari.8 Dan
masih banyak lain lagi berbagai macam tradisi untuk menyabut kelahiran. Untuk
kali ini peulis akan menguraikan beberapa pola slametan pada masyarakat Jawa
dalam menyambut proses kelahiran bayi :
1. Brokohan (Selamatan Hari Pertama Kelahiran Bayi)
Kata brokohan bukan dari bahasa Jawa, melainkan serapan dari bahasa
Arab barokah atau berkah yang memiliki arti memohon berkah kepada
Allah SWT. Selametan ini bebarengan dengan prosesi penguburan atau
pemendaman ari-ari bayi yang telah dipotong. Untuk menu wajibnya
adalah (a) sego ingkung, (b) sego gudangan, (c) bubur abang putih, dan
(d) Jajanan pasar.
2. Sepasaran (Selametan Setelah 5 Hari Kelahiran Bayi)
Kata Sepasaran berarti sepasar atau lima hari. Yang berarti kegiatan yang
dilakukan setelah 5 hari kelahiran si bayi. Menu wajibnya ada (a) nasi
tumpeng, (b) pisang raja stangkep, (c) jajanan pasar, (d) bubur abang puith,
(e) nasi gudangan, (f) iwel-iwel.
3. Selapanan (Selametan setelah 35 hari kelahiran bayi)
4. Telonan (Selametan setelah bayi berusia 3 bulan)
Telonan berasal dari kata telu dan akhiran -an yang kemudian menjadi
teluan, dan berubah kata menjadi telonan yang memiliki arti selametan 3
bulan kelahiran bayi.
5. Pitonan (Selametan 7 Bulan Kelahiran Bayi)
Pitonan atau di sebut tedhak sinten. Hal tersebut dilakukan karena bayi
berusia 7 bulan sudah bisa menlangkah ke bumi.Tedhak artinya melangkah
atau turun. Sedangkan Sinten memiliki arti tanah atau bumi. Adapun
Umburampe yang harus disiapkan adalah (1) kurungan ayam, (2) jenang
warna-warni, (3) tangga dan kursi, (4) bunga sri taman, (5) pakaian bayi,
(6) tangga dan kursi, (7) ayam panggang, (8) tumpeng robyongan, (9)
bubur, (10) jadah, (11) buah-buahan, (12) jajanan pasar, (13) udik-udik,
(14) air gege.

8
Naniek Taufan, Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo, (Bima:
Museum Kebudayaan Samparaja Bima, 2011).

5
6. Setahunan (Selametan 1 tahun setelah kelahiran bayi)
7. Aqiqoh
Aqiqah sendiri sudah tidak asing ditelinga kita. Aqiqah sendiri identik
dengan penyembelihan kambing dan pemotongan rambut bayi. Jika bayi
laki-laki, maka dilakukan penyembelihan kambing Jantan dua ekor.
Sedangkan untuk bayi perempuan, kambing Jantan yang disembelih hanya
satu ekor.
Hal tersebut sesuai dengan hadits yang artinya, Dari Yusuf bin Mahak
bahwasanya orang-orang datang kepada Hafsah binti ‘Abdur Rahman.
Mereka menanyakan kepadanya tentang Aqiqoh. Maka Hafsah
memberitahukan kepada mereka bahwasanya Aisyah memberitahu
kepadanya bahwa Rasulullah SAW telah memerintahkan para sahabat
(agar menyembelih Aqiqoh) bagi anak laki-laki 2 ekor kambing yang
sebanding dan untuk anak perempuan 1 ekor kambing. (HR. Tirmidzi juz
3, hal. 35, no.1549). Hukum Aqiqoh adalah sunnah muakkad.
Berdasar definisi, jenis, umburampe, dan ritual selametan dalam
pandangan orang jawa memiliki makna filosofisnya. Pandangan dunia Jawa
menyatakan bahwa hidup dan mati, nasib baik maupun buruk merupakan nasib
yang tidak bisa dilawan.9 Maka dari itu tujuan selametan sendiri adalah sebagai
bentuk refleksi dan merupakan ungkapan rasa syukur dan permohonan do’a agar
selalu diberikan keselamatan kepada Allah SWT. Termasuk dengan tradisi
kelahiran atau selamatan bayi.
C. Tradisi Seputar Kematian
Berbicara tentang hakikat kematian merupakan persoalan yang sangat
rumit. Hakikat kematian dalam dimensi filsafat termasuk dalam ranah dan ruang
lingkup ontologis. Penulis berpendapat bahwa kematian merupakan sebuah fase
pembebasan arwah menuju kehidupan yang sebenarnya. Sebuah perjalanan
sunyi yang menjadi awal dari terlepasnya ikatan kehidupan yang fana. Setiap
yang bernyawa hakikatnya pasti akan merasakan mati dan hanya orang-orang
yang mengerti tentang makna " kematian" itulah yang akan memahami tentang

9
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa.
(Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,1999), hal. 62-137.

6
bagaimana cara mereka dalam menjalani dan memaknai hidup. Tidak ada yang
benar-benar mengerti tentang kematian sebelum kematian itu dialami sendiri. 10
Kematian memang menjadi salah satu momen yang paling menyedihkan dalam
setiap perjalanan hidup manusia. Mustahil jika ada cara yang bisa kita lakukan
sebagai manusia untuk menghindari momen yang dianggap menyedihkan ini.
Secara umum pada saat keluarga ataupun kerabat meninggal biasanya cukup
hanya di doakan lalu dimakamkan. Namun beberapa suku di Indonesia
mempunyai cara, tradisi, ritual, uapacara, maupun adat istiadat yang dilakukan
pada saat keluarga atau kerabat mereka meninggal dunia.
Rasulullah bersabda bahwa: “Sesungguhnya dunia itu merupakan
belenggu (penjara) bagi orang-orang yang beriman. Syekh Siti Jenar
menyatakan bahwa “dunia ini adalah alam kematian”. Sebenarnya hidup
hanyalah sebuah persiapan untuk memasuki kehidupan selanjutnya dan jika
tidak siap, maka jiwa akan terperangkap ke dalam alam kematian kembali yang
bersifat mayit atau bangkai. Hidup yang sesungguhnya adalah hidup tanpa raga,
karena raga telah banyak menimbulkan kesesatan. Raga adalah kerangkeng bagi
diri atau jiwa yang menyebabkan manusia hidup dalam banyak penderitaan.11
Mati dalam bahasa Jawa disebut dengan pejah. Pemikian orang Jawa
tentang kematian dapat dilihat dari cara bagaimana orang Jawa dalam
mempersepsikan kehidupan. Masyarakat Jawa merumuskan bahwa “ Urip iki
mung mampir ngombe” (hidup ini cuma sekedar mampir minum). Atau dengan
konsep yang lain, “Urip iki mung sakdermo nglakoni” (hidup ini cuma sekedar
menjalani) atau “Nrima ing pandhum” (menerima apa yang menjadi pemberian-
Nya).12 Geertz dalam buku The Religion of Java. Ia menjelaskan bahwa ketika
terjadi kematian di suatu keluarga, maka hal pertama yang harus dilakukan orang
Jawa adalah dengan memanggil modin. Selanjutnya menyampaikan berita
kematian tersebut ke sekitar meliputi tetangga, kerabat, RT, perangkat desa.
Kabar bahwa telah terjadi suatu kematian umumnya disiarkan melalui toa

10
Achmad Chodjim, “Makna Kematian”, (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2002). Syekh Siti
Jenar.
11
Achmad Chodjim, “Makna Kematian”, (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2002). 22-24.
12
Misrawi, Zuhairi. Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari, “Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan”,
(Kompas,: 2010), 107-108.

7
masjid. Kalau kematian itu terjadi sore atau malam hari, mereka menunggu
sampai pagi berikutnya untuk memulai proses pemakaman. Pemakaman orang
Jawa dilaksanakan secepat mungkin sesudah kematian. Segera setelah
mendengar berita kematian, para tetangga meninggalkan semua pekerjaan yang
sedang dilakukannnya untuk pergi ke rumah keluarga yang tertimpa kematian
tersebut. Setiap perempuan membawa sebaki beras, yang setelah diambil
sejumput oleh orang yang sedang berduka cita untuk disebarkan ke luar pintu,
kemudian segera ditanak untuk slametan. Para laki-laki membawa alat-alat
untuk nisan dan membuat usungan/keranda untuk membawa mayat ke makam,
dan lembaran papan untuk diletakkan di liang lahat. Dalam tradisi masyarakat
Islam Jawa dalam ritual pemakamannya, pertama terdapat ritual semacam
“pembekalan” bagi ruh dalam fase kehidupannya di alam yang baru. Karena ruh
itu tidak pernah mati. Pmembekalan terhadap ruh orang yang meninggal diyakini
dapat ditangkap dan dirasakan oleh ruh orang yang telah meninggal tersebut.
Diantarnya adalah dikumandangkannya adzan dan iqamah setelah mayat
diletakkan di liang lahat dan sebelum ditimbun dengan tanah, setelah itu
dibacakan talkin (talqin). Modin membacakan talkin yang merupakan rangkaian
pidato pemakaman yang ditujukan kepada almarhum, pertama-tama dalam
bahasa Arab dan kemudian dalam bahasa Jawa.13
Situasi sosial budaya masyarakat Islam Jawa dapat dilihat dari
budaya yang berkaitan dengan ritual keagamaan maupun tradisi lokal
masyarakat tersebut. Tradisi lokal upacara kematian orang Jawa ini dilakukan
setiap ada orang yang meninggal dunia dan dilaksanakan oleh keluarga yang
ditinggalkan. Adapun pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
1. Pemberitahuan
Tentu saja hal yang menjadi langkah pertama yang akan di lakukan
saat mengetahui keluarga/kerabat yang meninggal adalah memberitahukan
kabar duka tersebut ke tetanggga, kerabat, keluarga terdekat. Jenazah yang
baru saja meninggal dunia segera ditidurkan secara membujur,
menelentang, dan menghadap ke atas. Selanjutnya mayat ditutup dengan
kain batik yang masih baru. Kaki dipan tempat mayat itu ditidurkan perlu

13
Clifford Geertz, “ The religion of Java “, (Chicago: University of Chicago Press, 1976 ).

8
direndam dengan air, maksudnya agar dipan itu tidak dikerumuni semut atau
binatang kecil lainnya. Tikar sebagai alas tempat jenazah dibaringkan perlu
diberi garis tebal dari kunyit dengan maksud agar binatang kecil tidak
mengerumuni mayat. Terakhir adalah membakar dupa wangi atau ratus
untuk menghilangkan bau yang kurang sedap. Bersamaan dengan hal diatas,
beberapa orang terdekat bertugas memanggil seorang modin dan
mengumumkan kematian itu kepada para sanak saudara dan tetangga.
Pemberitaan juga dilakukan dengan bantuan pengeras suara dari masjid
terdekat. Setelah kabar tersiar mereka yang mendengar akan berusaha
segera datang ketempat itu untuk membantu menyiapkan pemakaman.
2. Upacara Brobosan
Sebelum jenazah diberangkatkan ke makam dilakukan suatu
upacara yang disebut dengan “upacara brobosan”. Upacara brobosan ini
bertujuan untuk menunjukkan penghormatan dari sanak keluarga kepada
mereka (jenazah) yang telah meninggal dunia. Biasanya brobosan dilakukan
apabila yang meninggal adalah orang yang sepuh, atau pinisepuh yang
dituakan dan dihormati. Apabila yang meninggal anak-anak/muda biasanya
tidak dilakukan brobosan. Upacara brobosan diselenggarakan di halaman
rumah orang yang meninggal sebelum dimakamkan dan dipimpin oleh
anggota keluarga yang paling tua. Namun sebelum upacara dilakukan,
biasanya diawali dengan beberapa sambutan dan ucapan belasungkawa oleh
beberapa pamong desa. Dan semua yang hadir ditempat itu harus berdiri
hingga jenazah benar-benar diberangkatkan.
3. Upacara Ngesur Tanah
Bertepatan dengan kematian (ngesur tanah) dengan rumusan jisarji,
maksudnya hari kesatu dan pasaran juga kesatu. Ngesur tanah memiliki
makna bahwa jenazah yang dikebumikan berarti berpindah dari alam fana
ke alam baka dari tanah selanjutnya kembali ke tanah. Upacara ini berupa
kenduri biasanya diselenggarakan pada sore hari setelah jenazah
dikuburkan.

9
4. Selamatan Telung Dina (Tiga Hari-an)
Setelah kematian pada hari ke 3 dengan rumus lusaru, yaitu hari
ketiga dan pasaran ketiga. Selamatan ke tiga hari berfungsi untuk
menyempurnakan empat perkara yang disebut anasir hidup manusia, yaitu
bumi, api, angin dan air. Upacara selamatan tiga hari memiliki arti memberi
penghormatan dan mendoakan orang yang meninggal. Sekaligus
momentum pihak keluarga untuk bersedekah atas nama alamarhum dan
keluarganya.
5. Selamatan Pitung Dina (Tujuh hari-an)
Setelah kematian (mitung dina) dengan rumusan tusaro, yaitu hari
ketujuh dan pasaran kedua. Upacara selamatan hari ketujuh berarti
melakukan penghormatan terhadap ruh yang mulai akan ke luar rumah.
Dalam selamatan selama tujuh hari dibacakan tahlil, yang berarti membaca
kalimah la ilaha illa Allah, agar dosa-dosa orang yang telah meninggal
diampuni oleh-Nya.
6. Selamatan Patang Puluhan (Empat puluh hari-an)
Selamatan 40 hari-an dengan rumus masarama, yaitu hari ke lima
dan pasaran ke lima. Selamatan empat puluh hari (matangpuluh dina),
dimaksudkan untuk mendoakan, memberi penghormatan, dan sekaligus doa
harapan agar senantiasa diberikan keselamatan dan ampunan kepada yang
meninggal. Sekaligus momentum pihak keluarga untuk bersedekah atas
nama alamarhum dan keluarganya.
7. Selamatan Nyatus Dina (Seratus hari)
Selamatan nyatus atau seratusan hari dengan rumus rosarama yaitu
hari ke dua pasaran ke lima. Selamatan seratus hari berfungsi untuk
menyempurnakan semua hal yang bersifat badan wadag. Selamatan
mendhak sepisan untuk menyempurnakan kulit, daging, dan jeroan.
Upacara seratus hari (nyatus dina), untuk mendoakan dan memberikan
penghormatan terhadap ruh yang sudah berada di alam kubur. Sekaligus
momentum pihak keluarga untuk bersedekah atas nama alamarhum dan
keluarganya.

10
8. Selamatan Mendak Pisan (Tahun ke 1)
Satu tahun setelah kematian (mendak pisan) dengan rumus
patsarpat, yaitu hari ke empat dan pasaran ke empat. Bermaksud mendoakan
si mayit agar senantiasa diberikan ampunan dan perlindungan dari yang
Maha Kuasa. Sekaligus momentum pihak keluarga untuk bersedekah atas
nama alamarhum dan keluarganya.
9. Selamatan Mendhak Pindho (Tahun ke-2)
Tahun ke dua (mendhak pindho), dengan rumus jisarlu, yaitu hari
satu dan pasaran ketiga. Selametan mendhak pindho berfungsi untuk
mendoakan dan menyempurnakan semua kulit, darah dan semacamnya
yang tinggal hanyalah tulangnya saja. Sekaligus momentum pihak keluarga
untuk bersedekah atas nama alamarhum dan keluarganya.
10. Selamatan Nyewu (Seribu Hari-an)
Seribu hari setelah kematian (nyewu), dengan rumus nemasarma,
yaitu hari ke enam dan pasaran ke lima. Selamatan nyewu bermaksud
mendoakan si jenazah agar selalu mendapatkan keselamatan dan
perlindungan dari yang Maha Kuasa. Sekaligus momentum pihak keluarga
untuk bersedekah atas nama alamarhum dan keluarganya.
11. Haul atau Khol
Haul (khol), peringatan kematian pada setiap tahun dan
meninggalnya seseorang. Haul (khol) memiliki arti untuk mengenang
kembali memori perjalanan seseorang yang telah meninggal untuk dijadikan
suri tauladan dan aspek kebaikan perilakunya, memberikan penghormatan
dan penghargaan atas jasa-jasanya terhadap keluarga, masyarakat dan
agamanya.
12. Nyadran
Nyadran adalah hari berkunjung ke makam para leluhur/kerabat
yang telah mendahului. Nyadran ini dilakukan pada bulan Ruwah atau
bertepatan dengan saat menjelang puasa bagi umat Islam. Di samping tradisi
tersebut di atas terdapat juga tradisi membaca surat Yasin setiap malam
Jum’at yang dikhususkan untuk ahli kubur/orang-orang yang telah
meninggal, dengan tujuan berdoa untuk memohonkan ampunan bagi arwah

11
ahli kubur agar mendapatkan tempat yang baik di sisi-Nya, yaitu masuk ke
dalam surga-Nya.
Kemudian ada juga tradisi menyelenggarakan acara arwahan pada
bulan Sya’ban yaitu keluarga mengundang masyarakat sekitar untuk datang
ke rumah setelah shalat magrib atau setelah shalat Isya’ dengan mengadakan
acara membaca surah Yasin dan Tahlil yang pahalanya dikhususkan bagi
arwah ahli kubur dan keluarganya.14

14
Suwito, dkk, “Tradisi Kematian Wong Islam Jawa”, (Lembaga Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat, Institut Agama Islam Negri Puwokerto : 2014, Vol 15 no (2)), ISSN :
14114875.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tradisi (bahasa Latin : traditio, artinya diteruskan) menurut artian
bahasa adalah sesuatu kebiasaan yang berkembang di masyarakat baik, yang
menjadi adat kebiasaan, atau yang diasimilasikan dengan ritual adat atau
agama. Dapat dikatakan bahwasannya tradisi adalah warisan yang diberikan
secara turun temurun dan benar. Termasuk tradisi Islam yang mengalami
proses dinamika yang panjang dari zaman ke zaman. Proses akulturasi antara
budaya dahulu dan agama Islam, akan menghasilkan budaya baru yang
bernama budaya Islam. Tradisi identik dengan perilaku atau kebiasaan yang
dilakukan oleh sekelompok masyarakat dari zaman dahulu.
Tradisi Islam lebih dominan mengarah pada peraturan yang sangat
ringan terhadap pemeluknya dan selalu tidak memaksa terhadap ketidak
mampuan pemeluknya. Hukum melestarikan tradisi Islam adalah boleh, selagi
dalam proses tradisi tersebut tidak ada kaitannya dengan ibadah atau masuk
dalam teknis ibadah, dan selama tidak ada madharat yang dilakukan maka tidak
dilarang. Selayaknya penetapan hukum berdasarkan kebiasaan setempat (‘urf)
yang mana tidak boleh bertentangan dengan syariat dan hanya sebagai
muamalah.
Termasuk tradisi seputar kelahiran dan kematian. Dimana di Indonesia
memiliki cara tersendiri dalam merayakan dan memperingati hari-hari tersebut.
Dalam tradisi seputar kelahiran sendiri ada berbagai macam-macam dalam
proses penyambutan bayi yang baru lahir tersebut. Ada upacara Peutroen
Aneuk, dari Aceh. Gunting bulu dan turin tanak dari Sumbawa. Dan ada dari
Masyarakat Jawa, mulai dari brokohan, sepasaran, selapanan, telonan, mitoni,
setahunan, sampai dengan Aqiqoh, yaitu penyembelihan hewan kambing. 2
ekor untuk anak laki-laki, 1 ekor untuk anak Perempuan.
Segala sesuatu yang terlahir akan mengalami masa kematian. Maka
selain ada tradisi seputar kelahiran, juga ada tradisi seputar kematian. Secara
umum pada saat keluarga ataupun kerabat meninggal biasanya cukup hanya di

13
doakan lalu dimakamkan. Namun beberapa suku di Indonesia mempunyai cara,
tradisi, ritual, uapacara, maupun adat istiadat yang dilakukan pada saat
keluarga atau kerabat mereka meninggal dunia. Tak terkecuali dalam
masyarakat Jawa. Situasi sosial budaya masyarakat Islam Jawa dapat dilihat
dari budaya yang berkaitan dengan ritual keagamaan maupun tradisi lokal
masyarakat tersebut. Tradisi lokal upacara kematian orang Jawa ini dilakukan
setiap ada orang yang meninggal dunia dan dilaksanakan oleh keluarga yang
ditinggalkan. Mulai dari diadakannya selamatan 7 hari berturut-turut,
selametan 40 hari setelah meninggal, selametan 100 hari, mendak pisan,
mendak pindo, nyewu, houl, sampai dengan tradisi nyadran (berkunjung
kemakam keluarga/kerabat).
Pandangan dunia Jawa menyatakan bahwa hidup dan mati, nasib baik
maupun buruk merupakan nasib yang tidak bisa dilawan. Maka dari itu tujuan
selametan sendiri adalah sebagai bentuk refleksi dan merupakan ungkapan rasa
syukur dan permohonan do’a agar selalu diberikan keselamatan kepada Allah
SWT. Termasuk dengan tradisi kelahiran atau selamatan bayi dan juga tentang
peringatan hari kematian.
B. Saran
Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mdahan dapat bermanfaat
bagi kita semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah AWT,
dan yang buruk datangnya dari kami sebagai hambanya. Dan kami sadar bahwa
makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kesalahan dari
berbagai sisi. Jadi kami harapkan saran dan juga kritiknya yang bersifat
membangun, untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Ruswana. Endokrinologi Kehamilan dan Persalinan, Subbagian Fertilitas


dan Edokrinologi Reproduksi bagian Obstetri & Ginekologi. Bandung :
Fakultas Kedokteran Unpad. Hal. 14-15.

Chodjim, Achmad . (2002). “Makna Kematian”. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.


Hal. 22-24.

Geertz, Clifford. (1976). “ The religion of Java “. Chicago: University of Chicago


Press.

Hasan Khalil, Rasyad. (2009). Tarikh Tasryi. Jakarta: Grafindo Persada. Hal. 167.

Magnis-Suseno, Franz. (1999). Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi Tentang


Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Hal. 62-
137.

Misrawi, Zuhairi. (2010). Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari Moderasi, Keumatan,


dan Kebangsaan. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara. Hal. 107-108.

Suyono, Arriyono dan Siregar, Aminuddi. (1985). Kamus Antropologi. Jakarta :


Akademik Pressindo. Hal. 4

Sztompka, Piotr. (2007). Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media


Grup. Hal. 69.

Sufi, Rusdi. (1998). Keanekaragaman Suku dan Budaya di Aceh. Banda Aceh :
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Hal 40.

Suwito, dkk. 2014. “Tradisi Kematian Wong Islam Jawa”. Lembaga Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Agama Islam Negri
Puwokerto. Vol 15, no (2). ISSN : 14114875.

Suryatini, lis. 2019. Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti. Kementrian
Agama RI. Hal. 331-336.

Taufan, Naniek . (2011). Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa
dan Mbojo. Bima: Museum Kebudayaan Samparaja Bima.

Wahhab Khallaf, Abdul. (1993). Kaidah Hukum Islam ”Ilmu ushulul figh”. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada. Hal. 133.

15

Anda mungkin juga menyukai