Anda di halaman 1dari 12

KEBUDAYAAN DAN BUDI PEKERTI JAWA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bahasa jawa

Dosen pengampu : Selamet syaifuddin, M.Pd

Disusun oleh :

1. Moh.shobirin (1218008)

2. Karmanto (1218007)

3. Nafisatu Aini (1218009)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI

JURUSAN TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

2019
DAFTAR ISI

A. Halaman judul.....................................................................................................i

B. Daftar Isi............................................................................................................ii

C.Abstrak………………………………………………...……………………….iii

D.Pembahasan ………………………………………………….……………….iv

a. Pengertian kebudayaan…..…………………………………………..…….1

b. Budi pekerti jawa…………………………………………………………...............................2

C. Penutup………………………………………………………………………..v

E. Daftar pustaka…………………………………………………………….......vi
Kebudayaan dan Budi pekerti jawa

Penulis:

1. Moh,sobirin

2. Karmato

3. Nafisatul Aini

Abstrak

Budaya Jawa memiliki bermacam-macam tradisi lisan yang dilaksanakan. Tradisi lisan berupa
nasihat dan ungkapan yang diucapkan orang tua kepada anaknya adalah salah satu contoh tradisi
lisan budaya Jawa yang tampaknya menarik untuk diidentifikasi. Terlebih lagi, tradisi tersebut
masih berlangsung hingga sekarang. Tradisi tersebut jika di telaaah lebih mendalam ternyata
mempunyai makna yang terkandung di dalamnya. Makna yang terkandung dalam nasihat dan
ungkapan orang tua kepada anaknya dapat dilihat dari segi budi luhur, budi pekerti, dan etika.
Hal yang mendasari melakukan pendekatan tersebut karena tinggi rendahnya peradaban sebuah
bangsa dapat dilihat dari seberapa jauh masing-masing warganya bertindak sesuai dengan aturan
main (norma dan etika) yang telah disepakati bersama. Sementara itu, unsur budi luhur, budi
pekerti, dan etika mempunyai keterkaitan yang erat.
PEMBAHASAN

Kebudayaan atau yang dapat disebut juga “Peradaban” mengandung pengertian yang sangat luas
dan mengandung pemahaman perasaan suatu bangsa yang sangat kompleks meliputi
pengetahuan, kepercayaan, seni,moral, hukum, adat-istiadat, kebiasaan dan pembawaan lainnya
yang diperoleh dari anggota masyarakat. (Taylor, 1897).

Mempelajari  kebudayaan bukanlah suatu kegiatan yang mudah dan sederhana, karena banyak
sekali batasan konsep dari berbagai bahasa, sejarah, sumber bacaan atau literatur baik
pendekatan metode juga telah banyak disiplin ilmu lain yang juga mengkaji berbagai macam
permasalahan terkait kebudayaan seperti, Sosiologi, Psikoanalisis, Psikologi (Perilaku) dan
sebagainya yang masing-masing mempunyai tingkat kejelasan sendiri-sendiri tergantung pada
konsep dan penekanan masing-masing.

Apabila ditinjau dari asal katanya, maka “Kebudayaan”  berasal dari bahasa Sanskerta yaitu
“Budhayah”,  yang merupakan bentuk jamak dari “Budhi‟ yang berarti Budi atau Akal. Dalam
hal ini,‟Kebudayaan‟ dapat diartikan sebagai Hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal.

Dalam disiplin Ilmu Antropologi Budaya, pengertian Kebudayaan dan Budaya tidak dibedakan.
Adapun pengertian Kebudayaan dalam kaitannya dengan Ilmu Sosial Budaya Dasar (ISBD)
adalah: “Penciptaan, penertiban dan pengolahan nilai-nilai insani yang tercakup di dalamnya
usaha memanusiakan diri di dalam alam lingkungan, baik fisik maupun sosial”. Manusia
memanusiakan dirinya dan memanusiakan lingkungannya

Karakteristik budaya

Budaya memiliki sifat universal, artinya terdapat sifat-sifat umum yang melekat pada setiap
budaya, kapan pun dan dimanapun budaya itu berada. Adapun sifat itu adalah :

1.kebudayaan adalah milik bersama

2.kebudayaan merupakan hasil belajar

3.kebudayaan didasarkan pada lambang

4.kebudayaan terintegrasi

5.kebudayaan dapat disesuaikan

6.kebudayaan selalu berubah

7.kebudayaan bersifat nisbi (relatif)


Bentuk bentuk kebudayaan

Kebudayaan dibagi menjadi dua bentuk, yakni :


    1. Kebudayaan materi
            Kebudayaan materi terdiri atas benda-benda hasil karya dari suatu kebudayaan yang
meliputi segala sesuatu yang diciptakan dan digunakan oleh manusia dan mempunyai bentuk
yang dapat dilihat dan diraba yang memiliki nilai lisan.
Contoh : Rumah, pakaian, mobil, kapal, gedung, dan peesawat televisi
            Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak
bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal
mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
- Artefak (karya)
            Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan
karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba,
dilihat, dan didokumentasikan.

2. Kebudayaan Non Materi


Kebudayaan non materi terdiri dari kata-kata yang dipergunakan orang, hasil pemikiran
adat istiadat, keyakinan, dan kebiasaan yang diikuti anggota masyarakat. Norma-norma dan adat
istiadat.
Contoh : berbagai norma yang mengatur prilaku manusia (norma agama,norma hukum, norma
kesopanan, dan norma kesusilaan)

Budi Pekerti jawa

Budi pekerti merupakan istilah dari bahasa jawa yakni budi yang artinya pikir serta pakerti yang
artinya perbuatan. Dengan begitu, bisa disimpulkan jika pengertian budi pekerti ialah sikap
maupun perilaku seseorang, prilaku keluarga, atau masyarakat yang berkaitan erat dengan norma
maupun etika.

Budaya Jawa memiliki bermacam-macam tradisi lisan yang dilaksanakan. Tradisi lisan berupa
nasihat dan ungkapan yang diucapkan orang tua kepada anaknya adalah salah satu contoh tradisi
lisan budaya Jawa yang tampaknya menarik untuk diidentifikasi. Terlebih lagi, tradisi tersebut
masih berlangsung hingga sekarang. Tradisi tersebut jika di telaaah lebih mendalam ternyata
mempunyai makna yang terkandung di dalamnya. Makna yang terkandung dalam nasihat dan
ungkapan orang tua kepada anaknya dapat dilihat dari segi budi luhur, budi pekerti, dan etika.
Hal yang mendasari melakukan pendekatan tersebut karena tinggi rendahnya peradaban sebuah
bangsa dapat dilihat dari seberapa jauh masing-masing warganya bertindak sesuai dengan aturan
main (norma dan etika) yang telah disepakati bersama. Sementara itu, unsur budi luhur, budi
pekerti, dan etika mempunyai keterkaitan yang erat.

Budi Luhur, Budi Pekerti, dan Etika


Istilah budi luhur, budi pekerti, dan etika adalah tiga hal yang saling terkait. Dalam Ensiklopedi
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (2006:12) dinyatakan budi luhur berasal dari kata
”budi” artinya upaya, tabiat atau kelengkapan kesadaran manusia. ”Luhur” berarti tinggi atau
mulia. ”Budi” juga berarti kesadaran tinggi berisikan cahaya Ketuhanan yang memberikan sinar
terang. Adapun ”luhur” terkandung pesan sikap mental dan nilai yang mengandung kebaikan
dan hal terpuji. Budi luhur dapat diartikan sebagai hasil kesadaran menuju pada kemuliaan hati.

Budi luhur di kalangan Jawa, dapat dipandang sebagai mainstream ajaran kejawen. Dalam kaitan
ini, Magnis-Suseno (1984:144) menyatakan bahwa budi luhur bisa dianggap sebagai rangkuman
dari segala apa yang dianggap watak utama oleh orang Jawa. Siapa saja yang berbudi luhur
seakan-akan dalam diri manusia itu menyinarkan kehadiran Tuhan kepada sesama dan
lingkungannya. Budi luhur tidak lain merupakan sebuah ideologi kejawen, sebagai falsafah
hidup dalam berperilaku.

Aktualisasi budi luhur dalam perilaku diwujudkan melalui budi pekerti. Budi pekerti berasal dari
kata ”budi” dan ”pekerti.” Kata ”budi” berarti kesadaran mulia, yang dieJawantahkan berupa
etika atau norma kehidupan, sedangkan kata ”pekerti” menurut Yatmana (2000:9) diturunkan
dari akar kata Sanskerta ”kr” yang berarti bertindak. Dari pengertian tersebut dapat
diketengahkan budi luhur adalah hal ihwal yang dicita-citakan, dimimpikan, bersifat abstrak, dan
akan diwujudkan ke dalam kehidupan dalam bentuk budi pekerti. Adapun budi pekerti adalah
etos pekerti atau bingkai tindakan yang membentuk etika kehidupan.

Etika adalah keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang
bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya
(Magnis-Suseno, 1984:6). Pengertian ini memuat pandangan bahwa etika itu merupakan rambu-
rambu normatif untuk menilai apakah pekerti seseorang dianggap mencerminkan budi luhur atau
tidak. Penyimpangan terhadap etika berarti juga sekaligus pengingkaran terhadap nilai budi
luhur. Begitu pula etika kebijakan Jawa, tentu dapat diartikan sebagai norma yang digunakan
masyarakat Jawa untuk menilai pekerti seseorang dalam kehidupannya.

Untuk memahami aktualisasi etika Jawa dalam ajaran budi luhur ke dalam pekerti masa kini,
digunakan konsep Geertz (1973:129-130) bahwa budi luhur dapat diposisikan berada pada
tataran ”ought” (yang seharusnya) dan budi pekerti pada tataran ”is” (yang nyata ada). Adapun
etika adalah seperangkat norma yang membingkai pekerti. Dalam kehidupan orang Jawa, antara
budi luhur sebagai world view, budi pekerti sebagai ethos, dan etika sebagai norma hidup,
seharusnya harmoni sampai tataran ”cocog.” Namun, menurut Turner (dikutip Morris, 2003:328)
antara gagasan abstrak dan budi pekerti serta etika sebagai praksis belum tentu harmoni, sebab
sering terjadi aksi sosial, spontanitas pekerti, dan idiosinkrasi (kelainan yang khas pada
seseorang). Bahkan, tidak jarang pula yang menampilkan pekerti simbolik dalam hidupnya
sehingga maknanya memerlukan penafsiran yang akurat.

Nasihat orang tua kepada anak


Kata-kata ora ilok/ora elok sangat kental dengan nasihat orang tua kepada anaknya atau yang
lebih muda, seolah-olah kalau kita kerjakan sudah setengah dosa atau dalam tahap kualat.
Bahkan, kalau orang itu telanjur melanggar harus di ruwat. Kalau sekarang banyak ditemui
berupa slametan. Mungkin, di antara kita pernah mendengar kalimat “ora ilok” (tidak pantas).
Kalimat itu sering terucap dari orang tua saat kita melakukan sesuatu yang mereka anggap itu
tidak pantas, misalnya: makan di depan pintu, menyapu di malam hari dapat kehilangan rezeki,
potong kuku di malam hari dapat kehilangan rezeki, tidur di depan pintu akan didatangi hantu,
anak kecil tidak boleh keluar setelah jam enam sore, dan lain lain. Pada dasarnya, ora ilok adalah
nasihat orang tua kepada anaknya. Namun, nasihat tersebut merupakan nasihat yang tersamarkan
atau dirahasiakan supaya anak-anak yang diberi nasihat dapat menaatinya. Nasihat itu tidak
disampaikan terus terang, tetapi disembunyikan dan diganti dengan nasihat yang lebih berifat
ancaman atau hal yang menakutkan. Meskipun demikian, nasihat-nasihat itu memiliki makna
positif jika kita telaah lebih mendalam.

1. Aja lungguh ing ngarep lawang, mundhak wong sing nglamar mbalik. ‘Jangan duduk di depan
pintu agar orang yang ingin melamar tidak pergi’. Nasihat ini mengandung ancaman atau hal
yang menakutkan agar dipatuhi. Kenyataan sebenarnya adalah orang yang duduk di depan pintu
itu selain menghalangi orang lain untuk masuk, tetapi juga menyebabkan sakit karena tiupan
angin yang masuk dari pintu.

2. Aja lungguh ing dhuwur bantal, mundhal wudunen. ‘jangan duduk di atas bantal,
menyebabkan bisulan’. Orang yang duduk di atas bantal, selain tidak sopan, membuat bantal
yang diduduki itu kotor.

3. Aja ngidoni sumur, mundhal lambe suwing. ‘Jangan membuang ludah ke dalam perigi, dapat
membuat bibir sumbing’. Kenyataannya adalah ludah yang jatuh ke dalam perigi akan
menyebabkan kualitas perigi menjadi tidak bagus. Terlebih lagi, jika orang yang membuang
ludah itu mempunyai penyakit menular melalui air ludah maka akan menularkan penyakit pula.

4. Aja ngelungguhi sapu, mundhak dicakot lintah. ‘Jangan duduk di atas sapu, dapat digigit
lintah’. Kenyataannya adalah sapu merupakan alat untuk membersihkan sampah. Jadi, sudah
dipastikan sapu itu kotor.

5. Aja mangan ing ngarep omah. ‘Tidak boleh makan di depan pintu’. Pada zaman dahulu
makanan sangat langka dan mahal. Mereka tidak ingin makanan itu tumpah karena saat anaknya
makan terus tersenggol orang yang lewat. Selain itu, mereka juga menghormati tetangga/orang
lain yang lewat karena makanan dapat membuat orang iri.

6. Sumur aja ing ngarep omah. ‘Perigi tidak boleh tepat di depan rumah’. Hal itu disebabkan
ketidakpantasan jika dilihat tamu, potensial menimbulkan kotoran, dan membahayakan anak
kecil.
7. Tidak boleh menyapu di malam hari. Pada zaman dahulu penerangan belum seterang
sekarang. Jadi, kalau menyapu di malam hari akan diragukan kebersihannya dan nanti pada pagi
harinya pasti harus bersih-bersih lagi. Maka, daripada mengulangi pekerjaan (mindoni gawean)
lebih baik menyapu di siang hari dan pada malamnya melakukan pekerjaan yang lain (efisien
waktu).

8. Tidak boleh potong kuku di malam hari. Pada waktu itu penerangan sangat minim dan alat
untuk memotong kuku tidak seperti sekarang, tetapi masih memakai alat pemotong yang tajam
seperti pisau. Jadi, ditakutkan bukannya kuku yang terpotong, tetapi malah jari yang terpotong.

9. Anak kecil tidak boleh keluar setelah jam enam sore. Seputar waktu tersebut, udara tidak baik
untuk kesehatan anak kecil yang dapat menyebabkan sakit. Kira-kira begitulah kenapa orang tua
melarang kita. Hal itu turun temurun dari dulu sampai sekarang.

10. Anak kecil tidak boleh makan “brutu” atau pantat ayam. Brutu itu banyak lemak, lunak, dan
tidak bertulang sehingga tidak banyak serat yang menyebabkan sulit pencernaan. Di sisi lain,
supaya mbah-mbah kita bisa makan “daging ayam”, mereka biasanya memilih “brutu” supaya
tidak sliliden karena struktur gigi mereka sudah tidak lengkap dan tidak sempurna lagi.

11. Kori (pintu) dan jendela harus ditutup pada saat terbenamnya matahari. Hal itu disebabkan
binatang-binatang sawah dan serangga akan masuk ke rumah, mencari cahaya yang ada di dalam
rumah pada saat mulai gelap. Hal ini sangat mungkin mendatangkan penyakit.

12. Tidak boleh menanam pohon pisang di depan rumah. Pohon pisang cepat mendatangkan
kotoran, utamanya dari binatang yang suka makan buah pisang, seperti ulat-ulat akan masuk ke
pintu rumah.

13. Tidak boleh membuang sampah di kolong rumah. Hal itu karena membuat kotoran
menumpuk, membusuk, dan membahayakan kesehatan penghuni rumah.

14. Tidak boleh membuang sampah dari jendela. Hal itu karena tidak sopan. Sangat mungkin
menimpa orang yang lewat atau orang yang sedang berada di luar rumah (tidak terlihat dari
dalam rumah) dan yang jelas adalah menyalahi fungsi jendela.

15. Tidak boleh sangga uwang  (bertopang dagu). Hal itu karena membuat pikiran kosong,
melamun, malas, dan membuang-buang waktu.

16. Tidak boleh singsot sembarangan. Hal itu karena mengganggu ketenangan orang dan sering
dikira kode-kode tertentu yang membuat orang lain curiga.

17. Aja lelungan maghrib-maghrib, ora ilok, mundak diculik wewe. ‘ Jangan berpergian saat
maghrib, tidak boleh/ tidak sopan, nanti diculik wewe (sejenis hantu wanita, versi orang Jawa)’.
Wewe adalah sejenis hantu yang dipercayai orang Jawa sebagai hantu wanita yang konon
kehilangan anaknya, oleh karenanya ia menculik anak-anak yang keluar saat maghrib. Dalam
konsep Islam, memang tidak diperkenankan keluar rumah saat maghrib, kecuali terpaksa karena
pada waktu itu jin dan setan berkeliaran. Terkadang jin juga mencederai manusia, seperti dalam
hadist Muslim “Rasulullah melarang anak kecil keluar setelah maghrib sampai Isya’, karena
pada saat itu Syetan (jin) banyak berkeliaran”.

18. Aja mangan telampik, ora ilok, mundak ditampik bojone. ‘Jangan makan dari piring dengan
memegang piring  dengan satu tangan, tidak boleh/ tidak sopan, nanti ditolak (*tersenggol lalu
jatuh) suaminya’. Saat makan, sebaiknya duduk yang baik. Makan dengan posisi tangan kiri
memegang ujung piring, sementara tangan kanan untuk makan akan berpotensi piring jatuh
karena tersenggol. Hal itulah yang mungkin mendasari makan tidak boleh dengan satu tangan.
Ditolak di sini diartikan dengan tersenggol lalu jatuh, bisa oleh suaminya atau orang lain.

Ungkapan orang tua kepada anak

Disamping kalimat-kalimat larangan, orang tua juga suka mengucapkan beberapa ungkapan.
Ungkapan-ungkapan itu tentu saja mempunyai makna. Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan
cerminan budaya. Ceminan budaya adalah aktualisasi dan interpretasi yang tidak terbatas pada
aspek kehidupan, melainkan merangkum pula harapan, pengetahuan, dan tatanan kehidupan
masyarakat. Bahkan, ungkapan-ungkapan yang dikenal berbagai suku di Indonesia, di dalamnya
selalu mengandung nilai-nilai moral positif yang sangat penting dalam pembangunan karakter
dan pewarisan nilai-nilai bagi penerus bangsa.  Di dalam tata kehidupan masyarakat yang berupa
ungkapan-ungkapan budaya inilah terdapat harapan, gagasan, pemikiran yang positif, dan nilai-
nilai yang universal yang berlaku sepanjang zaman.

Aja tinggal glanggang colong playu

(Jangan meninggalkan gelanggang dan lari)

Makna yang terkandung di dalamnya adalah janganlah orang meninggalkan pekerjaan yang
sedang dilakukan jika belum selesai. Ungkapan itu untuk menggambarkan orang yang tidak
bertanggung jawab. Dengan begitu makna lainnya adalah untuk mendidik seseorang untuk
bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan.

Jer basuki mawa beya

(Sesungguhnya kesejahteraan memerlukan biaya)

Maknanya adalah bahwa untuk mendapatkan suatu hasil yang baik dan memuaskan, orang
harusnya tidak segan-segan mengeluarkan pengorbanan, baik berupa moral maupun materil.

Rawe-rawe rantas malang-malang putung

(Yang menjerat dapat diputuskan, yang melintang dapat dipatahkan)


Maknanya adalah bahwa semangat untuk mencapai suatu tujuan dengan jalan yang benar, segala
rintangan, dan halangan yang menghadang dilenyapkan dengan keberanian, tanpa takut terhadap
risiko apapun.

Aja dhemen thengak-thengok nemu kethuk

(Jangan senang berpangku tangan tetapi mengharapkan penghasilan banyak)

Ungkapan ini merupakan nasehat agar orang senantiasa rajin dan giat bekerja untuk
mendapatkan penghasilan, jangan cuma bermalas-malasan. Masih bertahan di masyarakat.
Ungkapan ini sering digunakan orang tua untuk menasehati anak cucunya bahwa semua
pekerjaan itu baik asalkan halal. Ungkapan ini secara umum dikenal oleh masyarakat Jawa.
Penutup
Dalam masyarakat Jawa, banyak sekali aturan-aturan atau bisa dibilang nasihat yang diberikan
oleh orang tua kepada anaknya.  Nasihat itu bisa berupa ancaman agar anaknya menuruti
perkataan orang tua. Ada pula ungkapan-ungkapan orang tua kepada anak sebagai pedoman
hidup di masyarakat. Semua itu diwariskan turun temurun dari orang tua kepada anaknya.
Walaupun tidak ada aturan tertulis yang secara jelas mengikat, tetapi masyarakat Jawa menaati
aturan tak tertulis tersebut. Aturan tak tertulis seperti nasihat dan ungkapan orang tua kepada
anaknya dapat digolongkan sebagai tradisi lisan dalam masyarakat Jawa. Tradisi lisan
merupakan kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat yang cara penyalurannya secara
lisan atau hanya diucapkan saja.

Tradisi lisan dalam masyarakat Jawa mengandung norma dan etika. Semua aturan main yang
mengandung norma dan etika tersebut diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya, melalui
proses pembudayaan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat secara terus-menerus dengan
berbagai cara. Mulai dari pemberian pengetahuan, pemahaman, praktik langsung, keteladanan,
sampai dengan penyampaian melalui bahasa simbolik.
Daftar Pustaka

Darusuprapta. 1985. Arti dan Nilai Babad dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Javanologi.

Edi Sedyawati, dkk. 1999. Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur. Jakarta: Balai Pustaka.

https://satwikobudiono.wordpress.com/2012/09/19/budi-luhur-budi-pekerti-dan-etika-dalam-
budaya-jawa/

Anda mungkin juga menyukai