Anda di halaman 1dari 41

BAB II

HAL-HAK AHLIWARIS DAN PRINSIP UMUM


PEWARISAN UNDANG-UNDANG
PENDAHULUAN

Dalam Bab I telah dipelajari mengenai pengertian dan unsur-unsur


pewarisan, sampai dengan membahas mengenai syarat menjadi ahliwaris.
Pada Bab II ini akan membahas mengenai hal-hal sebagai berikut:
A. Hak-hak Ahliwaris
1. Hak Umum
a. Hak Berfikir
b. Penerimaan Bersyarat
c. Penerimaan Murni
d. Menolak Warisan
e. Menuntut Pembagian Warisan
2. Hak Khusus
a. Hak Saisine
b. Hak Hereditatis Petitio
B. Cara Mewaris
1. Mewaris atas dasar kedudukan sendiri
2. Mewaris atas dasar penggantian tempat
a. Syarat Penggantian Tempat
b. Kedudukan Ahliwaris Pengganti
c. Bentuk-bentuk Penggantian Tempat
C. Prinsip Umum Pewarisan Undang-undang.
1. Ketentuan Umum
2. Prinsip Golongan Ahliwaris
3. Prinsip Hubungan Perderajatan

Setelah mempelajari materi dalam Bab II ini diharapkan makasiswa


dapat memahami tentang:
a. Hak saisine dan hak hereditatis petitio
b. Penerimaan dan penolakan warisan dan akibat hukumnya
c. Mewaris atas dasar kedudukan sendiri
d. Mewaris berdasar penggantian tempat
e. Syarat dan bentuk-bentuk penggantian tempat
f. Prinsip-prinsip umum pewarisan undang-undang
g. Prinsip golongan ahliwaris dan hubungan perderajatan.

11
A. HAK-HAK AHLI WARIS
Hak-hak ahliwaris dapat dibedakan menjadi hak yang
sifatnya umum dan hak yang sifatnya khusus, yaitu :
1. Hak-hak Umum
a. Hak untuk berpikir
Hak untuk berpikir adalah hak ahliwaris untuk menunda
keharusan menyatakan sikap atas harta warisan, sehubungan dengan
adanya tuntutan pembagian harta warisan oleh kawan waris atau
adanya tuntutan dari kreditur warisan. Selama belum ada tuntutan
demikian, ahliwaris dapat membiarkan harta warisan dalam keadaan
tak terbagi, akan tetapi setelah adanya tuntutan sedemikian harus
segera mengambil sikap dan apabila masih ragu-ragu dalam
menentukan pilihan dapat meminta waktu untuk berpikir.
Pengaturan mengenai hak untuk berpikir terdapat dalam Pasal 1023
sampai 1029 KUH Perdata.
Dalam Pasal 1023 ayat (1) diatur bahwa para ahliwaris yang
ingin menyelidiki keadaan harta peninggalan, untuk mengetahui
apakah warisan itu bermanfaat baginya atau justru merugikannya,
dapat mengajukan hak untuk berpikir. Untuk itu ahliwaris harus
membuat pernyataan di kepaniteraan Pengadilan Negeri dalam
wilayah hukum dimana rumah kematian berada. Selanjutnya dalam
ayat (2) Pasal 1023 diatur bahwa apabila jarak antara rumah
kematian dengan kedudukan Pengadilan Negeri terpisah oleh lautan,
pernyataan itu dapat dilakukan di hadapan Kepala Pemerintah
Daerah, pejabat mana akan mengadakan pencatatan tentang itu dan
selanjutnya memberitahukannya kepada Pengadilan Negeri.
Jangka waktu untuk berpikir yang dapat diberikan oleh
Hakim adalah selama 4 bulan terhitung mulai hari tanggal
pernyataan dibuat, dan selanjutnya Hakim akan menyuruh kepada
ahliwaris untuk melakukan pendaftaran harta peninggalan dan untuk
memikir, yaitu dalam rangka menentukan sikap apakah akan
menerima warisan secara murni, atau menerima warisan secara
benefisier ataukah akan menolak warisan. Namun atas tuntutan
ahliwaris dan atas dasar alasan yang mendesak, waktu untuk berpikir
dapat dimintakan perpanjangan (Pasal 1024).
1) Hak-hak Ahliwaris yang sedang berpikir adalah:
 Tidak dapat dipaksa untuk bertindak sebagai seorang ahliwaris,
misalnya untuk melaksanakan wasiat atau membayar hutang-
hutang warisan;
 Tidak dapat digugat dimuka Hakim, bahkan pelaksanaan
putusan-putusan Hakim yang telah diucapkan untuk kekalahan
Pewaris, harus ditangguhkan (Pasal 1025); dan

12
 Atas ijin Hakim dapat menjual barang-barang warisan yang
tidak begitu penting atau tidak dapat disimpan, dan melakukan
segala macam perbuatan yang tidak dapat ditunda (Pasal 1026).
Adapun cara penjualannya juga harus ditetapkan dalam izin
Hakim.
2) Kewajiban Ahliwaris yang sedang berpikir adalah:
 Menjaga keselamatan harta peninggalan sebagai seorang bapak
yang baik, dalam arti menjaga dengan sebaik-baiknya menurut
ukuran objektif sikap seseorang terhadap harta miliknya sendiri
(Pasal 1025 ayat 2); dan
 Setelah waktu berpikir habis, ahliwaris harus menyatakan sikap
atas harta peninggalan, yaitu akan menerima warisan secara
murni, atau menerima warisan secara benefisier ataukah akan
menolak warisan (Pasal 1029).
Sebagai bentuk pengawasan oleh Hakim dan dalam rangka
melindungi pihak-pihak yang berkepentingan, Hakim dapat
memerintahkan diambilnya tindakan-tindakan hukum yang dianggap
perlu, baik untuk melindungi keselamatan harta peninggalan,
maupun untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan pihak ke
tiga (Pasal 1027).
b. Menerima warisan dengan hak istimewa untuk
mengadakan pencatatan boedel atau penerimaan secara
benefisier
Salah satu pilihan sikap yang dapat diambil oleh ahliwaris
atas harta warisan adalah penerimaan warisan secara bersyarat atau
penerimaan dengan hak istimewa untuk mengadakan pencatatan
boedel atau penerimaan secara benefisier yang diatur dalam Pasal
1030 sampai 1043 KUH Perdata). Penerimaan ini merupakan jalan
tengah, antara penerimaan murni dengan penolakan warisan.
1) Tujuan penerimaan secara benefisier
Ahliwaris yang menerima warisan secara benefisier, hanya
bertanggung jawab atas hutang-hutang warisan sebesar aktiva
warisan yang ada. Harta pribadi ahliwaris tidak ikut menanggung
beban hutang warisan yang melebihi aktiva warisan. dan apabila
aktiva lebih besar dari hutang warisan, ahliwaris benefisier tetap
berhak atas bagian tersebut. Dalam perhitungan secara matematis,
dan perhitungan untung rugi, maka penerimaan secara benefisier
merupakan pilihan paling tepat, agar ahliwaris tidak menderita
kerugian akibat penerimaan warisan.

13
Namun demikian dalam praktik sehari-hari, ternyata
penerimaan secara benefisier ini sangat jarang dipilih oleh ahliwaris.
Faktor utamanya adalah bahwa dilihat dari segi kemasyarakatan,
dapat dianggap sebagai suatu perbuatan yang mencela perbuatan si
pewaris. Mengingat penerimaan secara benefisier ini diumumkan,
maka pendapat umum akan mengatakan bahwa kedudukan ekonomi
pewaris atau harta warisan adalah tidak menguntungkan. Selain itu
adanya faktor penghormatan terhadap pewaris, sehingga tidak jarang
ahliwaris akan dengan suka rela membayar utang warisan dengan
harta pribadinya. Bagi orang yang kuat pemahaman agamanya, tidak
akan membiarkan pewaris meninggal dengan membawa hutang,
karena akan sangat memberatkan arwah si pewaris di alam barzah.
Sehingga ahliwaris akan berdaya upaya untuk membayar ut ang
pewaris, dan kalau perlu dengan harta pribadinya. 1
Akibat hukum penerimaan warisan dengan hak istimewa
untuk mengadakan pencatatan boedel atau penerimaan secara
benefisier, adalah:
 Ahliwaris tidak diwajibkan membayar utang-utang dan beban-
beban warisan yang melebihi jumlah harga benda-benda dalam
harta warisan. Ahliwaris juga dapat membebaskan diri dari
pembayaran itu dengan menyerahkan seluruh harta benda yang
termasuk dalam warisan kepada para kreditur warisan; dan
 Tidak terjadi percampuran harta antara harta pribadi ahliwaris
dengan harta warisan, dan tetap dapat menagih piutang-
piutangnya pribadi atas harta warisan (Pasal 1032).
Ahliwaris benefisier adalah pemilik harta warisan, dan juga
debitur atas hutang-hutang warisan. akan tetapi tanggung jawab
ahliwaris benefisier atas hutang warisan hanya sampai sejumlah
aktiva warisan yang ada. Kedudukan seperti ini dapat disejajarkan
dengan kedudukan pihak ketiga pemberi jaminan kebendaan, yang
hanya bertanggung jawab terhadap hutang debitur sebatas pada
barang jaminan yang telah diberikan, dan tidak berlanjut pada
kekayaan penjamin yang selebihnya.
Akibat hukum lainnya dari penerimaan warisan secara
benefisier adalah kedudukan kreditur warisan lebih didahulukan
pelunasannya dari harta warisan, dibandingkan kreditur pribadi
ahliwaris. Kreditur pribadi dari ahliwaris tidak dapat menuntut

1 Bandingkan dengan pendapat Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata Belanda, Jilid 2, Alihbahasa M. Isa Arief, PT. Intermasa, Jakarta,
1986, hlm. 5.

14
pelunasan piutangnya dari harta warisan, sebelum tagihan para
kreditur warisan dan penerima legaat dibayar lunas. 2
2) Bentuk penerimaan secara benefisier
Penerimaan secara benefisier harus dilakukan secara tegas
dengan membuat pernyataan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
dalam wilayah hukum dimana rumah kematian berada (Pasal 1023
jo. 1029 ayat 2). Sebelum ahliwaris menyatakan menerima warisan
secara benefisier, kedudukannya adalah sebagai ahliwaris secara
penuh, dan dengan adanya pernyataan penerimaan secara benefisier,
maka kedudukan tersebut dihapuskan dan berlaku surut sampai saat
terbukanya warisan.
3) Kehilangan hak mewaris secara benefisier
Seorang ahliwaris kehilangan hak untuk menerima warisan
dengan hak istimewa untuk mengadakan pencatatan boedel atau
menerima secara benefisier, dan dianggap menerima warisan secara
murni (Pasal 1031), apabila:
 dengan sengaja dan dengan iktikad buruk tidak memasukkan
sebagian benda dari harta peninggalan, dalam pendaftaran
tentang harta peninggalan; dan
 bersalah melakukan penggelapan terhadap benda-benda yang
termasuk dalam harta warisan.
4) Kewajiban menerima secara benefisier
Tidak setiap ahliwaris dapat memilih antara tiga
kemungkinan, yaitu menerima murni, menerima secara benefisier
ataupun menolak warisan. Terdapat orang-orang tertentu, undang-
undang melarang mereka menerima warisan secara murni, dan
mewajibkan mereka untuk menerima warisan secara benefisier.
Mengenai hal ini tidak diatur secara khusus dalam pengaturan
tentang penerimaan benefisier, akan tetapi diatur dalam pasal -pasal
lain dalam hukum keluarga dan hukum waris.
Seorang wali dari anak belum dewasa yang mendapat
warisan, wajib menerima warisan itu secara benefisier (Pasal 401).
Juga pengampu terhadap warisan yang diterima anak yang berada
dalam pengampuannya, wajib menerima warisan secara benefisier
Pasal 452). Tujuan pengaturan ini dimaksudkan agar anak yang
belum dewasa dan yang berada di bawah pengampuan tidak
menderita kerugian atas penerimaan warisan, sedang dia sendiri

2 Ibid, hlm 6-7.

15
adalah orang yang tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum
dan harus diwakili oleh wali atau pengampunya.
Badan-badan amal, lembaga-lembaga keagamaan, gereja atau
rumah sakit, yang mendapat warisan melalui surat wasiat, harus
mendapat persetujuan Presiden atau lembaga yang ditunjuk, dan
hanya dapat dilakukan penerimaan warisan secara benefisier (Pasal
1046). Selanjutnya Negara yang menerima warisan yang tidak
terurus, harus meminta keputusan Hakim dan menerima warisan
secara benefisier (Pasal 832 ayat 2 dan Pasal 833 ayat 3).
5) Penyisihan harta peninggalan
Dalam penerimaan secara benefisier, tidak terjadi
percampuran harta warisan dengan harta pribadi ahliwaris; ahliwaris
hanya mengoper kewajiban (pasiva) warisan sebesar aktiva warisan
yang ada. Dapat dikatakan ini merupakan jalan tengah bagi
ahliwaris, kalau masih ada sisa aktiva setelah digunakan untuk
membayar hutang-hutang warisan dan pembayaran hibah wasiat,
maka ahliwaris tetap berhak atas bagian tersebut, sebaliknya atas
kelebihan hutang (pasiva) warisan, ahliwaris tidak terbebani
kewajiban untuk menanggung dengan harta pribadinya. Hanya saja
tugas ahliwaris yang menerima secara demikian cukup berat, karena
adanya kewajiban untuk melakukan pencatatan boedel dan membuat
laporan pertanggungan jawab, melakukan pemanggilan terhadap
semua kreditur warisan, mengadakan perhitungan dan pembayaran
hutang-hutang warisan dan sebagainya.
Kedudukan harta warisan yang diterima secara benefisier,
merupakan kekayaan yang disisihkan atau dipisahkan dari kekayaan
pribadi para ahliwaris. Untuk memahami bentuk bangunan hukum
atau konstruksi hubungan hukum harta warisan yang diterima secara
benefisier, dapat dibandingkan dengan kekayaan suatu badan
hukum, seperti misalnya Perseroan Terbatas (PT) yang memiliki
kekayaan tersendiri, terpisah dengan kekayaan pribadi pengurus atau
pemegang saham 3.
Bentuk perbandingan yang lain adalah kedudukan kekayaan
debitur dalam peristiwa kepailitan. Penerimaan warisan secara
benefisier dapat disejajarkan dengan penyitaan umum dalam
kepailitan. Dalam pengurusan kekayaan si pailit, juga diatur
mengenai tindakan hukum berupa perjumpaan hutang (compensatie),
pemisahan diri (separatisme), pembubaran persetujuan dan
memperhitungkan hutang, dalam semua tindakan di atas juga
dilakukan dalam penerimaan warisan secara benefisier. Adapun

3 Bandingkan dengan Pitlo, Jilid 2, hlm. 10.

16
perbedaannya adalah, kalau dalam kepaillitan, maka penyelesaian
kepengurusan dilakukan oleh pihak ketiga yaitu kurator kepailitan,
sedangkan dalam penerimaan warisan secara benefisier dilakukan
sendiri oleh para ahliwaris 4.
6) Melepaskan harta warisan
Melepaskan harta warisan artinya menyerahkan
kepengurusan harta warisan kepada para kreditur dan penerima
hibah wasiat (legaat) (Pasal 1032 angka 1). Ahliwaris benefisier yang
tidak mau repot melakukan pengurusan harta wasisan, melakukan
pemanggilan kepara para kreditur warisan, melakukan pertanggung
jawaban kepengurusan dan pembayaran hutang-hutang warisan,
dapat menyerahkan pengurusan seluruh harta warisan kepada para
kreditur dan penerima hibah wasiat. Apabila masih terdapat sisa
aktiva warisan tetap menjadi hak ahliwaris benefisier.
7) Kewajiban ahliwaris benefisier
Kewajiban ahliwaris yang menerima warisan secara
benefisier adalah:
 mengurus harta peninggalan sebagai seorang bapak rumah yang
baik;
 menyelesaikan urusan warisan selekas-lekasnya; dan
 bertanggungjawab kepada para kreditur warisan dan para
penerima hibah wasiat (Pasal 1033);
 melakukan penjualan harta peninggal di muka umum atau
melalui pelelangan, dan menurut adat kebiasaan setempat atau
dengan perantaraan makelar atau komisioner jika barang
warisan berupa barang dagangan; dan
 melunasi para kreditur warisan yang dijamin dengan jaminan
kebendaan (seperti hipotik atau hak tanggungan) yang
memajukan dirinya, dengan jalan menyerahkan penagihannya
terhadap si pembeli benda tak bergerak, sampai sejumlah yang
dapat dituntut oleh para kreditur tersebut (Pasal 1034);
 jika diminta oleh kreditur atau orang-orang yang
berkepentingan, memberikan jaminan sejumlah nilai yang
cukup, apabila dia menahan benda bergerak yang termasuk
dalam pendaftaran, dan untuk sebesar harga benda tak bergerak
yang dibebani jaminan kebendaan (hipotik atau hak
tanggungan) yang tidak diserahkan kepada kreditur (Pasal 1035
ayat 1);

4 Bandingkan dengan Pitlo, Jilid 2, hlm. 11.

17
 apabila ahliwaris lalai dalam memberikan jaminan, maka benda
bergerak tersebut harus dijual, dan pendapatan penjualan
maupun bagian dari benda tak bergerak yang tidak diserahkan,
harus diserahkan kepada seorang yang ditunjuk oleh Hakim
untuk melunasi utang-utang dan beban-beban warisan (Pasal
1035 ayat 2);
 memangil para kreditur yang tidak dikenal dengan membuat
pengumuman dalam Berita Negara;
 segera melakukan perhitungan tanggung jawab tentang
pengurusannya kepada para kreditur, para penerima hibah, dan
untuk melunasi piutang para kreditur serta penerima hibah
sekedar harta warisan mencukupi (Pasal 1036);
 setelah dilakukan perhitungan tanggung jawab, ahliwaris wajib
melunasi tagihan para kreditur yang telah diketahui pada saat
itu, berupa pembayaran secara keseluruhan atau menurut
keseimbangan besarnya harta warisan dengan tagihan para
kreditur (Pasal 1037 ayat 1).
8) Pembagian aktiva
Pembagian aktiva warisan diselesaikan menurut tata urutan
kreditur. Kreditur budel benefisier terdiri dari kreditur warisan atau
krediturnya pewaris, kreditur tentang biaya-biaya penyelesaian, dan
legataris. Diantara ketiga kreditur di atas yang paling tinggi adalah
kreditur atas biaya-biaya penyelesaian. Mereka dapat disejajarkan
dengan kreditur hak istimewa (privelegie) yang mempunyai hak untuk
mendahului atau kreditur preveren, bahkan lebih tinggi dari kreditur
pemegang gadai dan hipotik atau hak tanggungan. Dalam hal ini
ketentuan Pasal 1149 angka 1 dapat diterapkan secara analogi 5.
Termasuk dalam kelompok tagihan yang didahulukan adalah segala
biaya untuk melakukan penyegelan, biaya pendaftaran harta
peninggalan dan biaya pembuatan perhitungan, serta segala biaya
lainnya yang telah dikeluarkan secara sah, dibebankan kepada harta
warisan (Pasal 1041).
Posisi kedua adalah para kreditur warisan, yaitu krediturnya
pewaris semasa hidupnya yang belum terbayar sampai pewaris
meninggal. Penyelesaian hutang diantara para kreditur dengan
memperhatikan daftar tingkatan kreditur, seperti kreditur separatis,
kreditur preferen non separatis dan kreditur konkuren. Prinsip-
prinsip hukum jaminan diterapkan dalam persoalan ini, seperti
prinsip preferensi dan prinsip pembagian menurut keseimbangan
(ponds-ponds gewijs).

5 Bandingkan dengan Pitlo, Jilid 2, hlm. 24.

18
Posisi ketiga adalah para penerima hibah wasiat atau para
legataris. Para legataris baru dapat menuntut pembayaran tagihannya
setelah ke dua kreditur di atas terbayar. Apabila ketiga kreditur di
atas sudah dibayar, dan masih ada sisa harta warisan, menjadi hak
para ahliwaris.
Setelah dilakukan pemberesan harta waris menurut tertib
hukum di atas, ada kemungkinan muncul kreditur baru yang tidak
dikenal sebelumnya. Adanya pengumuman melalui Berita Negara
maupun melalui surat kabar tidak menjamin bahwa semua kreditur
warisan dapat mengetahuinya, ada kemungkinan kreditur baru
mengetahui setelah pemberesan warisan dilakukan. Pembayaran
kepada kreditur baru tersebut, dilakukan secara berikut:
 Para kreditur yang memajukan diri setelah dilakukan
pembagian, hanya dibayar dengan benda-benda yang tidak
terjual dan benda lain yang masih tersisa (Pasal 1037 ayat 2);
 Jika terdapat perlawanan dalam pembagian warisan, maka
pembayaran kepada kreditur ditunda, sampai diadakan
penetapan daftar tingkatan kreditur oleh Hakim (Pasal 1038);
 Pembayaran kepada para penerima hibah dilakukan setelah
lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan dalam Pasal 1023 dan
sesudah dilakukan pembayaran kepada para kreditur warisan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1037 (Pasal 1039 ayat 1);
 Para kreditur yang memajukan diri setelah dilakukan
pembayaran kepada penerima hibah wasiat, hanya dapat
menuntut piutangnya kepada para penerima hibah wasiat, dan
tuntutan seperti ini gugur karena daluwarsa dengan lewat waktu
30 tahun setelah dilakukan pembayaran kepada penerima hibah
(Pasal 1039 ayat 2 dan 3).
Seorang ahliwaris yang telah menyatakan menerima warisan
dengan hak istimewa untuk mengadakan pencatatan boedel, tidak
dapat dituntut untuk menanggung utang-utang pewaris dengan harta
pribadinya, kecuali apabila ia telah lalai untuk membuat perhitungan
tanggung jawab, setelah dilakukan peringatan untuk itu (Pasal 1040
ayat 1). Sesudah penyelesaian perhitungan, kekayaan pribadi
ahliwaris hanya dapat disita untuk membayar utang-utang pewaris,
jika benda-benda itu berasal dari warisan yang jatuh kepadanya
(Pasal 1040 ayat 2).
Pilihan sikap berupa hak berpikir dan menerima warisan
dengan hak istimewa untuk mengadakan pencatatan boedel
merupakan hak seorang ahliwaris yang diberikan oleh undang -
undang. Oleh karena itu kalau ada ketetapan pewaris yang telah
melarang digunakannya hak berpikir dan menerima warisan dengan

19
hak istimewa untuk mengadakan pencatatan boedel adalah batal dan
tidak sah (Pasal 1043).
c. Menerima warisan secara murni
1) Asas kebebasan ahliwaris untuk menentukan sikap
Pengaturan mengenai penerimaan warisan terdapat dalam
Pasal 1044 sampai 1056 KUH Perdata. Penerimaan warisan
dibedakan menjadi pemerimaan secara murni dan penerimaan
dengan hak istimewa untuk mengadakan pencatatan harta
peninggalan atau penerimaan secara beneficiair (Pasal 1044).
Menerima warisan secara murni artinya menerima warisan menurut
apa adanya harta warisan, baik menyangkut aktiva maupun pasiva
warisan.
Dalam Pasal 1045 disebutkan bahwa: “Tiada seorang pun
diwajibkan menerima suatu warisan yang jatuh kepadanya”. Kata
“menerima” dalam pasal ini meliputi menerima secara murni dan
menerima secara beneficiair. Ketentuan ini menegaskan bahwa
penerimaan warisan adalah merupakan “hak”, dan bukan suatu
“kewajiban”. Adapun hak adalah berupa kewenangan yang diberikan
oleh hukum untuk melakukan sesuatu, dan hak itu boleh digunakan
atau dituntut ataupun boleh tidak digunakan atau tidak dituntut.
Tidak ada pihak manapun, termasuk pewaris yang dapat mengurangi
kebebasan ahliwaris dalam menentukan sikapnya atas harta warisan
(Pasal 1043).
Antara penerimaan secara murni dan penerimaan secara
benefisier menunjukkan adanya tingkatan penerimaan warisan.
Ahliwaris yang telah menerima warisan secara murni, tidak dapat
beralih dengan penerimaan secara benefisier; sedangkan ahliwaris
yang telah menerima warisan secara benefisier, masih dapat beralih
dengan menyatakan menerima warisan secara murni. Hal ini penting
berkaitan dengan perlindungan kepada pihak ketiga atau para
kreditur warisan, sehingga menjadi jelas terhadap kekayaan mana
saja yang dapat dituntut guna pembayaran piutangnya.
Terhadap asas kebebasan untuk menentukan sikap terdapat
suatu pembatasan. Suatu penerimaan warisan yang jatuh pada
seorang wanita bersuami, seorang anak belum dewasa dan seorang
yang ditaruh di bawah pengampuan, harus mengindahkan
ketentuan-ketentuan undang-undang yang mengenai orang-orang itu
(Pasal 1046 ayat 1). Berkaitan dengan warisan yang jatuh pada
seorang wanita yang besuami (isteri) sudah tidak berlaku dengan
adanya ketentuan Pasal 31 UUP Nomor 1 Tahun 1974 yang
menyatakan bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga

20
dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (ayat 1), dan
masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
(ayat 2). Sedangkan berkaitan dengan warisan yang jatuh pada anak
belum dewasa dan orang yang ditaruh dibawah pengampuan dengan
mengindahkan ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata jo Pasal 47 UUP
Nomor 1 Tahun 1974. Dalam hal ini penerimaan warisan hanya
dapat dilakukan secara benefisier dan tidak dapat dilakukan
penerimaan secara murni. Ketentuan ini dimaksudkan sebagai
bentuk perlindungan hukum bagi anak belum dewasa dan orang-
orang yang ditaruh dibawah pengampuan yang menjadi ahliwaris.
Pengangkatan sebagai waris wasiat, sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 900, dan disetujui oleh Presiden, hanyalah dapat
diterima dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta
peninggalan (Pasal 1046 ayat 2). Ketentuan ini mengatur mengenai
wasiat yang diberikan untuk keuntungan badan-badan amal,
lembaga-lembaga keagamaan, gereja atau rumah sakit, harus
mendapat persetujuan Presiden atau lembaga yang ditunjuk, dan
hanya dapat dilakukan penerimaan warisan dengan hak istimewa
untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan, atau dengan kata
lain tidak dapat dilakukan penerimaan warisan secara murni.
2) Akibat Penerimaan Warisan secara murni
Sejak saat matinya pewaris, ahliwaris secara otomatis dan
demi hukum menjadi pemilik harta warisan berdasarkan hak saisine
(Pasal 833, 955). Kedudukan menjadi ahliwaris adalah karena adanya
penunjukan oleh undang-undang atau penunjukan oleh pewaris
melalui surat wasiat. Peralihan hak atas harta warisan dari pewaris
kepada ahliwaris, tidak melalui tindakan penyerahan, tidak pula dari
pernyataan penerimaan warisan. Sejak saat matinya pewaris, para
ahliwaris menggantikan kedudukan pewaris atas harta warisan, apa
yang dulu dimiliki oleh pewaris, sekarang menjadi miliknya para
ahliwaris. Dalam hal ini terjadi kepemilikan bersama yang terikat
(gebonden medeeigendooms) di antara para ahliwaris atas harta warisan.
Dalam Pasal 1047 disebutkan bahwa: “Penerimaan suatu
warisan berlaku surut hingga pada hari terbukanya warisan itu”.
Penerimaan suatu warisan artinya tindakan hukum melakukan
pernyataan penerimaan suatu warisan. Ketentuan yang senada
terdapat dalam Pasal 1083 ayat (1) yang intinya menyatakan bahwa
ahliwaris yang menerima pembagian harta warisan dan ahliwaris
yang membeli harta warisan berdasarkan Pasal 1076 ayat (2),
dianggap seketika menggantikan kedudukan pewaris atas
kepemilikan harta warisan yang jatuh kepadanya. Selanjutnya dalam
Pasal 1083 ayat (2) ditegaskan bahwa peralihan hak milik atas harta

21
warisan kepada ahliwaris adalah sejak saat matinya pewaris atau saat
terbukanya warisan.
Pertanyaan yang dapat diajukan adalah apa makna atau
akibat hukum dari tindakan penerimaan suatu warisan itu? Seorang
yang mengajukan hak untuk berpikir sudah berkedudukan sebagai
ahliwaris dan sebagai pemilik atas harta warisan. Begitu pula hak
untuk menyatakan menerima atau menolak harta warisan adalah juga
hak-nya ahliwaris. Maka makna atau akibat hukum tindakan
menerima harta warisan adalah ahliwaris menjadi kehilangan hak
untuk menolak warisan. Dengan kata lain ahliwaris yang menyatakan
menerima warisan berarti, berarti ahliwaris tersebut melepaskan hak-
nya untuk menolak warisan.
3) Bentuk penerimaan secara murni
Penerimaan warisan secara murni dapat dilakukan dengan
tegas atau secara diam-diam (Pasal 1048). Penerimaan dengan tegas
dapat dituangkan dalam suatu akta otentik atau akta di bawah
tangan, dalam tulisan mana menyatakan bahwa dirinya adalah
ahliwaris atau mengambil kedudukan sebagai ahliwaris. Dengan
demikian yang dimaksud dengan penerimaan secara tegas, harus
dilakukan dalam bentuk akta atau tulisan, baik melalui akta otentik
atau akta di bawah tangan. Adapun penerimaan warisan secara
diam-diam adalah jika seorang ahliwaris melakukan suatu perbuatan
yang jelas menunjukkan maksudnya untuk menerima warisan, dan
perbuatan tersebut hanya dapat dilakukan oleh seorang dalam
kualitas sebagai ahliwaris. Pernyataan secara lisan berupa pernyataan
penerimaan warisan, tidak termasuk dalam pengertian penerimaan
warisan secara tegas, dalam hal ini dapat dimasukkan dalam
kelompok perbuatan yang jelas menunjukkan maksudnya untuk
menerima warisan. Sebagai contoh tindakan penerimaan warisan
secara diam-diam adalah misalnya tindakan ahliwaris dengan
mengambil sebagian dari harta warisan untuk dimilikinya sendiri.
Guna memberikan pedoman dalam menilai tindakan
ahliwaris dalam hubungannya dengan penerimaan warisan secara
diam-diam, diberikan patokan dalam Pasal 1049. Dijelaskan dalam
Pasal 1049 bahwa tindakan ahliwaris yang berhubungan dengan
penguburan jenazah pewaris, tindakan yang dimaksudkan untuk
menyimpan saja (beheer) dan pengurusan-pengurusan yang bersifat
sementara, tidak termasuk dalam perbuatan penerimaan warisan
secara diam-diam. Menurut Pitlo, yang tidak dapat dianggap sebagai
penerimaan secara diam-diam antara lain: menyewa safe-loket,
menitipkan efek-efek secara terbuka, mengosongkan rumah
untukmemungkinkan penghuni yang baru memasukinya,

22
menghentikan pegawai rumah dari si pewaris, membuat daftar
inventaris, mengakhiri keanggotaan langganan, dan memenuhi
kewajiban fiscal. Pada kekayaan yang besar meliputi: mengangkat
seorang administrator, meneruskan suatu perusahaan, apabila
penghentiannya akan mendatangkan kerugian pada perusahaan,
menguangkan kupon, menagih sewa dan pembayaran lainnya,
membayar hutang, menghentikan sewa-menyewa apabila penyewa
tidak merawat rumah dengan baik, sehingga akan menurunkan harga
rumah 6.
Untuk menilai tindakan seseorang sebagai bentuk tindakan
penerimaan warisan secara diam-diam, kadang tidak mudah
dilakukan. Sebagai gambaran tindakan yang dapat dikelompokkan
sebagai tindakan penerimaan secara diam-diam menurut Hartono
Soerjopratiknjo adalah: meminta pemisahan dan pembagian, ikut
merundingkan suatu pemisahan, menjual benda-benda, memberikan
hak kebendaan, memberikan pembebasan hutang, membayarkan
hibah wasiat, mengakhiri tagihan, memajukan tuntutan hukum, dan
memakai benda-benda yang termasuk dalam harta peninggalan 7.
Akibat hukum adanya penerimaan warisan secara murni
adalah terjadi percampuran harta antara harta warisan yang
merupakan hak ahliwaris dengan harta pribadi ahliwaris yang
bersangkutan. Sehingga tanggung jawab ahliwaris terhadap hutang-
hutang warisan tidak terbatas pada aktiva warisan yang ada, tetapi
termasuk pula dengan harta pribadinya.
4) Penggantian hak untuk menerima atau menolak warisan
Hak ahliwaris untuk menerima atau menolak warisan beralih
kepada para ahliwarisnya (Pasal 1051). Disebutkan dalam Pasal 1051
bahwa: “Jika seseorang yang kepadanya telah jatuh suatu warisan,
meninggal dunia dengan tidak telah menerima atau menolak warisan
itu, maka para warisnya adalah berhak untuk menerima atau
menolaknya sebagai penggantinya, dan berlakulah terhadap mereka
itu ketentuan dalam pasal yang lalu”. Kata “penggantian” dalam hal
ini, tidak identik dengan penggantian tempat sebagaimana diatur
dalam Pasal 842, 844 dan 845, yang mensyaratkan bahwa ahliwaris
yang akan digantikan tempatnya harus telah meninggal lebih dahulu
dari pewaris, dan yang dapat bertindak sebagai ahliwaris pengganti
haruslah keturunan sah dari ahliwaris tersebut. Oleh karena itu kata
yang tepat adalah penggantian hak dan bukan penggantian tempat.

6 Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jilid 2,
Alihbahasa M. Isa Arief, PT. Intermasa, Jakarta, 1986, hlm. 35.
7 Hartono Soerjopratiknjo, op.cit, 1983, hlm 98, bandingkan dengan Pitlo 2, hlm 36.

23
Penggantian hak untuk menerima atau menolak warisan
dapat dilakukan oleh semua ahliwaris, walaupun bukan sebagai
keturunan sah. Untuk jelasnya diberikan contoh skema sebagai
berikut:

A B

C D
Pewaris (P) meninggal dunia dan meninggalkan seorang
anak sebagai ahliwaris (A), namun beberapa tahun kemudian A
meninggal dunia sebelum menyatakan sikap menerima atau menolak
warisan. Dalam peristiwa ini ahliwaris P adalah A, dan ahliwaris A
adalah B, C dan D. Karena A meninggal dunia setelah meninggalnya
P, maka tidak terjadi pewarisan berdasarkan penggantian tempat.
Terhadap warisan dari P yang jatuh kepada A, maka para ahliwaris A
yaitu B, C dan D dapat menggantikan hak A untuk menyatakan
menerima atau menolak warisan. Perhatikan dalam contoh di atas, B
sebagai isteri tidak dapat bertindak sebagai ahliwaris pengganti atau
penggantian tempat, akan tetapi dapat menggantikan hak A untuk
untuk menerima atau menolak warisan.
Dalam Pasal 1052 disebutkan bahwa: “Barangsiapa yang
telah menerima suatu warisan untuk bagiannya, tidaklah
diperbolehkan menolak bagian yang jatuh padanya karena hak
penambahan, kecuali yang diatur dalam Pasal 1054”. Untuk
memahami ketentuan pasal ini dengan menghubungkan ketentuan
Pasal 1059 yang intinya mengatur bahwa bagian warisan seorang
yang menolak warisan jatuh kepada ahliwaris yang berhak atas
bagian itu seandainya si yang menolak warisan tidak ada. Perhatikan
skema di bawah ini:

P A

B C
Pewaris (P) meninggal dunia dengan meninggalkan seorang isteri (A)
dan dua orang anak B dan C, akan tetapi salah satu anak yaitu C
menolak warisan, sedangkan A dan B menerima warisan P. Maka
bagian warisan C jatuh kepada A dan B sebagai penambahan. Dalam
hal ini A dan B yang telah menerima warisan sesuai dengan haknya,
tidak dapat menolak bagian penambahan sebagai akibat penolakan

24
warisan yang dilakukan oleh C. Dengan kata lain, seorang ahliwaris
tidak dapat menerima sebagian harta warisan, sekaligus menolak
bagian yang lain.
5) Pemulihan terhadap penerimaan murni
Maksud kata pemulihan terhadap penerimaan murni, adalah
ahliwaris yang merasa dirugikan akibat penerimaan warisan secara
murni dan ingin memperbaiki pilihan sikapnya, yaitu dengan beralih
kepada penerimaan secara benefisier ataupun menolak warisan. Pada
prinsipnya seorang ahliwaris tidak dapat merubah pilihan sikapnya
atas harta warisan dengan alasan menderita rugi, kecuali penerimaan
itu telah terjadi akibat adanya paksaan atau penipuan terhadap
dirinya (Pasal 1053 ayat 1).
Pada prinsipnya ahliwaris yang telah menerima warisan
secara murni, tidak dapat beralih dengan menerima secara benefisier
atau menolak warisan. Ahliwaris yang telah menerima warisan secara
benefisier tidak dapat beralih menolak warisan, akan tetapi masih
bias menyatakan menerima warisan secara murni. Selanjutnya
ahliwaris yang telah menolak warisan masih bias beralih dengan
menerima warisan secara benefisier atau secara murni, selama
warisan itu belum dibagi diantara para ahliwaris, dan dengan tidak
merugikan pihak ketiga (Pasal 1056).
Pilihan sikap oleh ahliwaris harus didasarkan pada pilihan
yang bebas atas kehendaknya sendiri. Apabila pilihan sikap itu
timbul karena adanya paksaan atau penipuan dalam penerimaan
warisan, dapat dijadikan alasan untuk memperbaiki pilihan sikapnya.
Dengan hanya disebutkan unsur paksaan atau penipuan, maka
adanya kekhilafan atau kekeliruan tidak dapat dijadikan alasan untuk
menuntut diajukannya pemulihan sikap. Menurut J. Satrio bahwa
paksaan di sini diartikan sebagai paksaan psychisch, seperti yang
diatur dalam Pasal 1324; dan penipuan di sini dapat dibandingkan
dengan penipuan pada Pasal 1328 8.
Alasan lain yang dapat digunakan ahliwaris untuk menuntut
pemulihan adalah dengan mengajukan pembatalan penerimaan
warisan yaitu apabila ia menderita kerugian, karena tenyata kondisi
harta warisan telah berkurang lebih dari separuh sebagai akibat
adanya surat wasiat yang tidak diketahui pada saat dilakukan
penerimaan warisan (Pasal 1053 ayat 2). Dari ketentuan ini ada 3
alasan untuk melakukan pembatalan penerimaan warisan secara
murni, yaitu:
 ahliwaris dirugikan dalam penerimaan warisan tersebut;

8 J. Satrio, op.cit, hlm 293.

25
 kerugian tersebut disebabkan adanya surat wasiat yang baru
diketahui setelah dilakukan penerimaan warisan; dan
 jumlah pemberian warisan melalui surat wasiat lebih dari
separuh dari harta warisan.
KUH Perdata tidak mengatur bagaimana cara ahliwaris
menuntut pemulihan atau pembatalan penerimaan warisan. Dalam
hal ini dapat dikemukakan terdapat dua pilihan penyelesaian, yaitu
dengan membuat kesepakatan diantara para pihak atau sesama
ahliwaris, sepanjang tidak merugikan pihak ketiga. Apabila tidak
tercapai kesepakatan, maka dapat dilakukan dengan perantaraan
keputusan Hakim.
6) Daluwarsa penerimaan warisan
Hak untuk menerima suatu warisan hapus karena daluwarsa
dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, terhitung sejak hari
terbukanya warisan, asal telah ada ahliwaris yang menyatakan
menerima warisan (Pasal 1055). Secara umum untuk menghitung
tenggang waktu 30 tahun, adalah dari saat matinya pewaris, akan
secara teknis dari sejak hari adanya ahliwaris yang menyatakan
menerima warisan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada
prinsipnya hak untuk menerima warisan tidak mengenal batas akhir 9.
d. Menolak warisan
Penolakan warisan merupakan pilihan sikap ahliwaris yang
menolak menjadi ahliwaris, baik menyangkut aktiva maupun pasiva
warisan. Dengan adanya penolakan warisan, maka ia dikecualikan
dari pewarisan, ia bukan ahliwaris karena telah melepaskan haknya
sebagai ahliwasris. Terdapat banyak kemungkinan seorang ahliwaris
menolak warisan, bias jadi karena didasarkan pada perhitungan
ekonomis bahwa kalau ia menerima warisan, akan menderita
kerugian, karena harta warisan lebih banyak pasivanya dari pada
aktiva yang ada. Dapat pula kemungkinan ahliwaris tidak mau repot
harus melakukan perhitungan dan pendataan harta warisan,
memanggil para kreditur warisan dan memberikan pertanggung
jawaban dan sebagainya seandainya ia menerima warisan secara
benefisier.
Kemungkinan lain, karena ia tidak suka dengan pewaris atau
kawan warisnya, walaupun hal ini tentunya jarang terjadi dalam
praktik. Alasan lain seorang ahliwaris menolak warisan, karena ingin
memberikan bagiannya atas harta warisan kepada ahliwaris yang lain,
karena ia merasa sudah cukup mampu secara ekonomi, dan ingin

9 Ibid, hlm 294.

26
membantu ekonomi kawan warisnya. Ini merupakan alasan
penolakan warisan yang paling baik dan mulia, karena bisa
melepaskan ego pribadi dan adanya kepedulian terhadap nasib
sesama, apalagi diantara para keluarga sedarah.
1) Bentuk penolakan
Sebagaimana halnya hak untuk berpikir dan menerima
warisan secara benefisier, penolakan warisan harus dilakukan secara
tegas dengan suatu pernyataan yang dibuat dihadapan Kepaniteraan
Pengadilan Negeri dalam wilayah hukum rumah kematian berada
(Pasal 1057). Untuk melakukan penolakan warisan, ahliwaris tidak
perlu membuat suatu akta atau pernyataan tertulis, akan tetapi
cukup menyampaikan kehendaknya di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri, yang mana akan dibuat mengenai akta penolakan warisan.
2) Akibat penolakan
Seorang ahliwaris yang menolak warisan dianggap tidak
pernah menjadi ahliwaris (Pasal 1058). Hak ini menunjukkan bahwa
penolakan itu berlaku surut sampai saat matinya pewaris atau saat
terbukanya warisan, oleh karena itu tidak diperhitungkan dalam
pembagian warisan.
Bagian warisan seorang yang menolak, akan diwarisi oleh
mereka yang berhak atas bagian tersebut seandainya ahliwaris yang
menolak itu tidak hidup pada saat meninggalnya pewaris (Pasal
1059).
Skema:

P A

P meninggal dunia dengan meninggalkan seorang isteri (A) dan dua


orang anak B dan C, akan tetapi salah satu anak yaitu C menolak
warisan, sehingga hak bagian C diwaris oleh A dan B, masing-
masing akan mewaris 1/2 warisan.
Ahliwaris yang menolak warisan tidak dapat digantikan
tempatnya, dan apabila semua ahliwaris dalam derajat terdekat
menolak warisan, maka para keturunan ahliwaris yang menolak,
tampil mewaris atas dasar kedudukan sendiri yang akan mewaris
kepala demi kepala (Pasal 1060). Ketentuanan ini sebetulnya tidak
perlu ada, karena dalam hal ini memang tidak memenuhi syarat
untuk adanya pewarisan berdasar penggantian tempat; yaitu adanya
kematian lebih dulu dari ahliwaris yang akan digantikan tempatnya.

27
Secara tegas disebutkan dalam Pasal 847 bahwa :”Tiada seorangpun
diperbolehkan bertindak untuk orang yang masih hidup selaku
penggantinya".
Skema:

P A

B C

D E F G

P meninggal dunia dengan meninggalkan seorang isteri (A) dan dua


orang anak B dan C, akan tetapi semua anak menolak warisan. B
mempunyai seorang anak yaitu D, dan C mempunyai 3 orang anak
yaitu E, F dan G. Dalam peristiwa ini semua warisan jatuh kepada A
yang akan mewarisi seluruh warisan, sedangkan para anak B dan C
yaitu D, E, F dan G tidak dapat mewaris karena penggantian
tempat, karena B dan C masing hidup sehingga tidak dapat
digantikan tempatnya, perhatikan juga yang diatur dalam Pasal 84 7.
Dalam peristiwa ini D, E, F dan G juga tidak dapat mewaris atas
dasar kedudukan sendiri karena tertutup oleh A, walaupun A bukan
keluarga sedarah, akan tetapi kedudukannya sama dengan
kedudukan anak, yaitu sebagai keluarga sedarah derajat 1.
Skema:

A B

C D E F
P meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang anak yaitu B
dan C, akan tetapi semua anak menolak warisan. A mempunyai
seorang anak yaitu C, dan B mempunyai 3 orang anak yaitu D, E
dan F. Dalam hal ini C, D, E dan F mewaris atas dasar kedudukan
sendiri, sehingga mereka mewaris kepala demi kepala atau masing-
masing mendapat 1/4 bagian.
3) Perlindungan terhadap kreditur
Penolakan warisan tidak dapat dilakukan semata-mata untuk
kerugian para kreditur dari ahliwaris yang bersangkutan (Pasal 1061

28
ayat 1). Kata kreditur dalam pasal ini adalah krediturnya ahliwaris
sendiri, bukan krediturnya pewaris, atau kreditur atas boedel atau
harta warisan. Kalau terdapat seorang ahliwaris yang mempunyai
hutang pada seorang kreditur dan mendapatkan warisan, maka tak
dapatlah ahliwaris tersebut menolak warisan dengan akibat dapat
merugikan krediturnya sendiri. Dalam hal demikian kreditur tersebut
dapat meminta dikuasakan oleh Hakim untuk atas nama si
berhutang --- ahliwaris yang menolak --- sebagai pengganti dan
untuk orang itu menerima warisan.
Kata “penggantian” dalam ketentuan di atas, maksudnya
adalah penggantian hak, dan bukan penggantian tempat. Untuk itu
kreditur harus mengajukan permohonan kepada Hakim. Dengan
demikian penolakan itu menjadi batal, akan tetapi kebatalan itu
hanya untuk dan sebesar tagihan kreditur. Pembatalan itu tidak
berlaku lebih lanjut untuk keuntungan ahliwaris yang telah menolak
warisan (Pasal 1061 ayat 2).
Selain adanya larangan mengenai penolakan warisan untuk
kerugian kreditur, juga terdapat larangan bagi seseorang untuk
melepaskan warisan yang belum terbuka, atau menjadikan warisan
yang belum terbuka itu sebagai objek perjanjian, sekalipun dibuat
dalam suatu perjanjian kawin (Pasal 1063). Kata “melepaskan”
artinya adalah menolak warisan atau melepaskan hak sebagai
ahliwaris. Jadi kalau ada seseorang membuat pernyataan akan
melepaskan warisan atau menolak warisan, pada hal warisan belum
terbuka, atau pemiliknya masih hidup; maka pernyataan itu batal
demi hukum.
Orang juga dilarang menjadikan warisan yang belum terbuka
sebagai objek perjanjian, misalnya menjual, menghibahkan, atau
menjadikan sebagai jaminan utang, sekalipun dengan sepakatnya
pemilik warisan. Hal ini juga lebih secara lebih lengkap diatur dalam
Pasal 1334 ayat 2. Dasar larangan ini adalah norma kepatutan yang
harus diindahkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Salah satu contoh perjanjian yang menggunakan barang
warisan yang belum terbuka sebagai objek perjanjian terdapat dalam
Putusan No. 21/Pdt.G/2018/PN.Srp. Dalam perkaran tersebut
terjadi suatu peristiwa dimana Tergugat I yang bernama I Wayan
Sumatra (debitur) telah melakukan meminjam uang sebesar Rp.
840.000.000 kepada Penggugat yang bernama I Wayan Wenten yang
dibuktikan dengan surat pernyataan utang tertanggal 28 Februari
2017. Untuk menjamin pelunasan atas hutang debitur, maka I
Wayan Sumatra memberikan suatu jaminan berupa sebidang tanah
dan bangunan seluas kurang lebih 575 m2 dan sebidang tanah dan
bangunan seluas kurang lebih 1872 m2 atas nama Nang Rundah

29
(Almarhum) yang keduanya terletak di Lingkungan Banjar Tabu,
Desa Selat, Semarapura, Provinsi Bali yang merupakan bagian
warisan dari I Wayan Jati selaku Tergugat II yang di masa yang akan
datang akan diwariskan kepada I Wayan Sumatra selaku anak dari I
Wayan Jati. Surat perjanjian pinjam meminjam tertanggal 4 Februari
2014 antara I Wayan Wenten dan I Wayan Sumatra diperbarui
dengan surat pengakuan utang tertanggal 28 Februari 2017 yang
menyatakan I Wayan Sumatra meminta pembaharuan waktu
pelunasan pinjaman yang awalnya tanggal 29 Maret 2016 menjadi
tanggal 30 maret 2017. Namun hingga jatuh tempo, I Wayan
Sumatra tidak juga memenuhi prestasinya terhadap I Wayan Wenten
padahal I Wayan Wenten telah memberi surat peringatan sebanyak
dua kali kepada I Wayan Sumatra. Karena perbuatan wanprestasi
yang dilakukan oleh I Wayan Sumatra, maka I Wayan Wenten
mengajukan surat gugatan ke Pengadilan Negeri Semarapura pada
tanggal 26 Maret 2018. Majelis Hakim dalam pertimbangan hukum
dan putusannya menyatakan bahwa I Wayan Jati selaku Tergugat II
merupakan penjamin yang merupakan jaminan perorangan
(borgtocht), yaitu adanya pihak ketiga (orang pribadi atau badan
hukum) yang menjamin untuk melunasi utang debitur bilamana
terjadi wanprestasi (pasal 1820 KUHPerdata), di mana penjaminan
ini meliputi pula seluruh harta milik penjamin.
Menurut penulis, dasar pertimbangan hukum dan putusan
Hakim di atas adalah tidak benar. Hal ini karena tanah dan
bangunan yang dijadikan objek jaminan merupakan suatu barang
warisan yang belum terbuka, sehingga perjanjian jaminan itu
menjadi batal demi hukum, berdasarkan ketentuan Pasal 1334 ayat
2. Jaminan tersebut juga tidak dapat dikelompokkan sebagai jaminan
perorangan (borgtocht), karena menunjuk benda tertentu sebagai
jaminan.
4) Sanksi akibat menggelapkan harta warisan
Ahliwaris yang telah menghilangkan, menyembunyikan atau
mengambil seluruh atau sebagaian dari harta warisan untuk dimiliki,
menjadi kehilangan haknya untuk menolak warisan (Pasal 1064).
Orang yang menghilangkan atau menyembunyikan harta warisan
untuk keuntungan sendiri dapat dikategorikan melakukan
penggelapan atas harta warisan sebagaimana diatur dalam Pasal 372
KUHP. Orang yang telah menggelapkan harta warisan, dianggap
sebagai telah menerima warisan secara murni. Adapun terhadap
bagian warisan yang telah dihilangkan atau disembunyikan itu, ia
tidak berhak menuntut bagian sedikitpun. Ia wajib mengembalikan
dalam wujudnya atau mengganti sebesar nilainya, dan ia menjadi

30
orang yang tidak patut menerima bagian warisan yang telah
dihilangkan atau disembunyikan tersebut.
5) Pemulihan terhadap penolakan
Dalam Pasal 1056 disebutkan bahwa: “Tiada seorang pun
dapat dipulihkan seluruhnya terhadap suatu penolakan warisan,
selainnya apabila penolakan itu telah terjadi sebagai akibat penipuan
atau paksaan”. Asas yang dapat ditarik dari ketentuan Pasal 1056
adalah seorang yang telah menolak warisan, tidak dapat beralih
untuk menerima warisan. Pemulihan terhadap penolakan warisan,
hanya dapat dilakukan apabila penolakan itu terjadi sebagai akibat
adanya penipuan atau paksaan. Apabila penolakan terjadi dengan
suka rela, maka tidak dapat dilakukan pemulihan, atau beralih
dengan menerima warisan.
e. Hak untuk menuntut pembagian harta warisan
Pasal 1066 ayat (1) KUH.Perdata menyebutkan, bahwa:
”Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta warisan
diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam
keadaan tak terbagi”. Ayat (2) bahwa “pemisahan harta itu setiap
waktu dapat dituntut, biarpun ada larangan untuk melakukannya”.
Kedua ketentuan di atas menunjukan bahwa setiap saat
ahliwaris mempuyai hak untuk menuntut pembagian harta warisan,
dan adanya kewajiban bagi Hakim untuk mengabulkan gugatan
ahliwaris yang berupa tuntutan pembagian harta warisan. Akan
tetapi pembagian warisan diantara ahliwaris harus dengan
mempertimbangkan kepentingan para kreditur dan para penerima
hibah wasiat. Para kreditur dan penerima hibah wasiat dapat
memajukan perlawanan terhadap didakannya pemisahan harta
warisan (Pasal 1067), sebelum tagihan-tagihan mereka dilunasi. Akta
pemisahan harta warisan yang dibuat setelah dilakukannya
perlawanan adalah tidak sah.
2. Hak-hak Khusus
Hak khusus maksudnya adalah hak-hak yang hanya dimiliki
oleh seorang ahliwaris, yaitu :
a. Hak Saisine
Setiap orang akan menemui ajalnya, hakekat hidup adalah
menunggu datangnya mati. Kedudukan seorang yang mati
digantikan oleh keturunannya, dalam diri ahliwaris mengalir darah
nenek moyangnya. Hal ini dinyatakan dalam hukum Perancis kuno
sebagai “le mort saisit le vif”, yang berarti orang yang mati menguasai
orang yang hidup, si mati digantikan oleh orang yang hidup.

31
Pengertian "saisine" biasanya didekati dari segi ahliwaris, dan
dikatakan ahliwaris mempunyai "saisine", ahliwaris meneruskan diri
si mati sebagai subjek hukum10.
Dalam Pasal 833 disebutkan, bahwa :"Sekalian ahliwaris ---
dengan sendirinya --- karena hukum --- memperoleh hak milik atas
segala barang, segala hak dan segala piutang si yang meninggal".
Kata "dengan sendirinya" berarti secara otomatis, tanpa harus
melakukan sesuatu perbuatan apapun, tanpa perlu menyatakan
sesuatupun, bahkan seandainya ahliwaris tidak mengetahui tentang
kematian pewaris atau telah terbukanya warisan. Sedangkan kata
"karena hukum", berarti bahwa adanya hak untuk mewaris tersebut
diberikan oleh hukum atau berlaku demi hukum. Hal ini berarti
bahwa ahliwaris sejak saat matinya pewaris, menggantikan
kedudukan pewaris atas harta warisan, ahliwaris menjadi pemilik
harta warisan. Perpindahan hak itu terjadi secara otomatis, tanpa
ahliwaris harus menyatakan menerima, tanpa ahliwaris harus
menuntut penyerahan.
Tindakan ahliwaris menyatakan menerima warisan bukanlah
yang menjadikan dirinya sebagai ahliwaris --- karena hak itu berdasar
hak saisine sudah dimiliki ahliwaris sejak matinya pewaris --- tetapi
hanya berakibat bahwa ia kehilangan hak untuk menolak warisan 11.
Penyebutan kata “segala barang, segala hak dan segala
piutang”, dalam Pasal 833 dapat menimbulkan pengertian yang
salah, karena dalam pasal tersebut hanya menyebutkan segi
aktivanya saja, padahal maksudnya adalah meliputi aktiva dan pasiva
warisan. Pitlo mengatakan bahwa ahliwaris bukanlah kreditur. Ia
tidak perlu menuntut penyerahan, perpindahan hak dan kewajiban
itu kepadanya, tetapi itu terjadi secara otomatis 12. Ketentuan yang
kurang lebih sama berlaku dalam pewarisan testamenter terdapat
dalam Pasal 955.
b. Hak Hereditatis Petitio
Ahliwaris yang karena hukum menggantikan kedudukan
pewaris dalam segala hak dan segala tuntutan hukumnya, juga di
dalam hukum menduduki posisi pewaris atas harta warisan. la tidak
saja dapat meneruskan tuntutan hukum yang sudah dimulai oleh
pewaris, seperti revindikasi, tuntutan bezit atau tuntutan hukum
lainnya, tetapi juga dapat memajukan tuntutan hukum yang belum
dimulai oleh pewaris. Oleh karena ltu, ahliwaris dapat mengajukan
revindikasi dalam hubungan dengan pencurian yang telah terjadi
10
Pitlo, Jilid 1, op.cit, 1986, hlm. 18-19.
11
J. Satrio, op.cit, 1990, hlm. 288.
12 Pitlo, Jilid 1, op.cit, hlm, 19.

32
dibawah pewaris, atau ia juga dapat mengajukan revindikasi apabila
setelah matinya pewaris terjadi pencurian.
Selain itu undang-undang masih memberikan hak tuntut
yang lain, yaitu hak tuntut yang didasarkan pada kedudukannya
sebagai ahliwaris yang disebut "hereditatis petitio". Dengan adanya hak
ini, ahliwaris memperoleh kemudahan kalau hendak mengajukan
gugatan. Ahliwaris cukup membuktikan bahwa dirinya adalah
ahliwaris dan barang-barang yang dituntut adalah barang-barang
warisan pewaris. Pada tahap awal ahliwaris tidak perlu membuktikan
akan asal usul barang warisan. Alangkah sulitnya kalau ahliwaris
harus melakukan hal itu, karena seringkali ahliwaris tidak
mengetahui secara persis asal usul barang warisan, yang dia tahu
bahwa barang tersebut merupakan barang-barang yang dikuasi oleh
pewaris semasa hidupnya; khususnya bagi ahliwaris yang tidak
bertempat tinggal bersama dengan pewarisnya.
Dalam Pasal 834 disebutkan, bahwa :”Tiap-tiap waris
berhak memajukan gugatan guna memperjuangkan hak warisnya,
terhadap segala mereka, yang baik atas dasar hak yang sama, baik
tanpa dasar sesuatu hakpun, menguasai seluruh atau sebagian harta
peninggalan, sepertipun terhadap mereka, yang secara licik telah
menghentikan penguasaannya”. Pasal di atas menyebutkan tentang
orang terhadap siapa dapat diajukan gugatan hereditatis petitio, yaitu
a. terhadap sesama kawan waris, baik ahliwaris undang-undang
maupun ahliwaris tetamenter;
b. terhadap orang yang menguasai harta warisan tanpa alas hak yang
sah, termasuk pula mereka yang menguasai dengan alas hak yang
palsu;
c. terhadap orang yang semula menguasai harta warisan, tetapi
dengan tanpa hak telah melepaskan penguasaannya, misalnya :
menjual atau memberikan pada orang lain:
Selain terhadap mereka yang disebutkan di atas, gugatan hereditatis
petitio tidak dapat dimajukan, misalnya terhadap orang yang
menguasai harta warisan atas dasar suatu alas hak tertentu seperti :
hibah, pinjam-meminjam, jual beli dan sebagainya. Gugatan ini
gugur karena kedaluwarsa selama tiga puluh tahun (Pasal 835).
B. CARA MEWARIS
Terdapat dua cara mewaris yaitu mewaris atas dasar
kedudukan sendiri (uit eigen hoofde) dan mewaris karena penggantian
tempat (bij plaatsvervulling). Dalam pewarisan berdasar undang-
undang dikenal kedua macam cara mewaris, sedangkan dalam
pewarisan testamenter hanya dikenal satu cara mewaris yaitu
mewaris atas dasar kedudukan sendiri.

33
1. Mewaris atas dasar kedudukan sendiri
a. Pengertian
Mewaris atas dasar kedudukan sendiri (uit eigen hoofde) adalah
seorang mewaris karena haknya sendiri terpanggil menjadi ahliwaris,
baik karena ditunjuk oleh undang-undang atau ditunjuk oleh pewaris
dalam surat wasiatnya. Dalam pewarisan undang-undang, mereka
yang mewaris karena kedudukan sendiri adalah ahliwaris yang
mempunyai hubungan darah terdekat dengan pewaris dan yang
berhak mewaris atau tidak kehilangan hak mewaris. Seorang
ahliwaris menjadi kehilangan hak mewaris apabila ia menolak
warisan, tidak patut mewaris atau disingkirkan hak warisnya oleh
pewaris.
Pewarisan undang-undang didasarkan pada adanya
hubungan darah antara pewaris dengan ahliwaris, sedangkan dalam
pewarisan testamenter, dasarnya adalah penunjukan secara subjektif
oleh pewaris. Apabila ahliwaris dari derajat terdekat dengan pewaris
semuanya menolak warisan atau tidak patut mewaris, maka
tampillah ahliwaris dari derajat yang lebih jauh mewaris atas dasar
kedudukan sendiri.
Skema:

A B C D

E F G

P meninggal dunia dengan meninggalkan 4 orang anak, yaitu A, B, C


dan D, mereka adalah keluarga sedarah derajat 1 dan merupakan
derajat terdekat; juga meninggal 3 orang cucu E, F dan G yang
merupakan keluarga sedarah derajat 2. Dalam contoh ini ahliwaris P
adalah A, B, C dan D yang semuanya mewaris atas dasar kedudukan
sendiri, sedangkan E, F dan G tidak mewaris karena derajatnya lebih
jauh sehingga tertutup oleh derajat yang lebih dekat.

34
Skema:

A B

C D E F G
P meninggal dunia dengan meninggalkan 2 orang anak, yaitu A, dan
B, akan tetapi semuanya menolak warisan atau orang yang tidak
patut mewaris atas warisan P. Hal ini berarti bahwa semua keluarga
sedarah terdekat P tidak berhak mewaris, maka tampillah ahliwaris
dari keluarga sedarah yang lebih jauh dengan mewaris atas dasar
kedudukan sendiri, yaitu C, D, E, F dan G.
b. Pembagian warisan
Pembagian warisan diantara ahliwaris yang mewaris karena
kedudukan sendiri, dilakukan berdasarkan kepala demi kepala,
artinya dihitung berdasarkan jumlah ahliwaris, satu ahliwaris
mendapat satu bagian, atau dihitung secara individual.
Skema:

A B C D

E F G
Telah dijelaskan dalam contoh di atas, bahwa ahliwaris P adalah A,
B, C dan D, semuanya mewaris atas dasar kedudukan sendiri,
sehingga mereka berbagi dengan hak bagian yang sama, yaitu
masing-masing mendapatkan 1/4 bagian.

35
Skema:

A B

C D E F G
Karena A dan B tidak berhak mewaris, maka ahliwaris P adalah C,
D, E, F dan G yang semuanya mewaris atas dasar kedudukan
sendiri, sehingga mereka berbagi dengan hak bagian yang sama,
yaitu masing-masing mendapatkan 1/5 bagian.
c. Ahliwaris yang hanya dapat mewaris atas dasar
kedudukan sendiri
Di antara para ahliwaris undang-undang, terdapat orang-
orang yang tidak dapat mewaris dengan penggantian tempat, dan
hanya dapat mewaris atas dasar kedudukan sendiri, yaitu suami atau
isteri pewaris dan para keturuan luar kawin. Suami atau isteri yang
hidup terlama atau lebih tepatnya adalah duda atau jandanya
pewaris, bukanlah keluarga sedarah. Ia tampil mewaris karena
adanya ikatan perkawinan dengan pewaris semasa hidupnya, oleh
karena itu tidak dapat mewaris dengan penggantian tempat, dan juga
tidak dapat digantikan tempatnya. Sedangkan bagi para anak luar
kawin tidak dapat mewaris berdasar penggantian tempat, karena
menurut paham KUH Perdata hubungan hukum anak luar kawin
hanya terbatas dengan orang tua yang mengakuinya, dan tidak
dengan keluarga sedarah orang tuanya, bahkan juga tidak ada
hubungan hukum dengan sesama anak luar kawin.
Prinsip yang terakhir ini sekarang sudah berubah dengan
adanya ketentuan Pasal 43 UUP Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menentukan bahwa anak yang dilahirkan diluar
perkawinan, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga sedarah ibunya. Dengan adanya ketentuan Pasal 43
UUP, maka anak luar kawin secara otomatis --- dengan lahirnya si
anak luar kawin --- mempunyai hubungan perdata dengan ibunya,
bahkan lebih lanjut dengan keluarga sedarah ibunya. Seorang ibu
tidak perlu melakukan pengakuan terhadap anak luar kawinnya,
hubungan itu otomatis ada sejak si anak luar kawin lahir, tentunya
harus dipahami bahwa anak tersebut tetap merupakan anak luar
kawin dari si ibu dan bukan menjadi anak sah si ibu. Sedangkan

36
terhadap bapaknya, hubungan hukum dengan anak luar kawin baru
lahir dengan adanya pengakuan anak oleh si bapak.
Konsekuensi adanya pengakuan bahwa hubungan hukum
antara anak luar kawin --- dalam konsep UUP --- tidak hanya
terbatas dengan orang tuanya, akan tetapi juga berlanjut dengan
keluarga sedarah orang tuanya, akan menimbulkan akibat hukum
sebagai berikut:
 Timbul hubungan hukum antara sesama anak luar kawin; dan
 Anak luar kawin dapat bertindak sebagai ahliwaris pengganti,
atau mewaris berdasarkan penggantian tempat.
Namun demikian, ketentuan Pasal 43 UUP masih membutuhkan
penjabaran lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah dan
perubahan dalam ketentuan hukum waris khususnya mengenai
pewarisan bagi anak luar kawin, baik menyangkut hak waris aktif
anak luar kawin maupun hak waris pasif anak luar kawin.
2. Mewaris atas dasar penggantian tempat
a. Pengertian
Mewaris karena penggantian tempat adalah adanya seorang
yang muncul mewaris karena menggantikan tempat seorang
ahliwaris yang telah mati lebih dulu dari pewarisnya. Orang yang
terpanggil pertama kali untuk mewaris sesungguhnya adalah orang
lain, akan tetapi karena orang itu telah meninggal lebih dulu dari
pewarisnya, maka hak warisnya dapat digantikan oleh keturunannya
yang sah. KUH Perdata hanya mengakui adanya penggantian tempat
bagi keturunan, dan tidak ada penggantian tempat bagi keluarga
sedarah dalam garis ke atas (Pasal 843).
b. Pembagian warisan
Pembagian warisan diantara ahliwaris yang mewaris dengan
penggantian tempat, disebut pembagian secara pancang demi
pancang, maksudnya dengan menghitung jumlah garis keturunan
yang menghubungkan antara pewaris dengan ahliwarisnya. Setiap
garis keturunan disebut sebagai pancang, dan setiap satu garis
mendapat satu bagian dan dibagi diantara para ahliwaris dalam tiap -
tiap garis atau pancang.

37
Skema:

A B

C D E F G

P meninggal dunia dengan meninggalkan keluarga sedarah terdiri


dari dua orang anak yaitu A dan B, dan meninggalkan 5 orang cucu
yaitu C, D, E, F dan G. Akan tetapi anak-anak P yaitu A dan B telah
meninggal kebih dahulu dari P, maka para cucu atau keturunan A
dan B mewaris atas dasar penggantian tempat. Dalam peristiwa di
atas ahliwaris P terdiri dari dua pancang, yaitu pancang A dan
pancang B, sehingga harta warisan dibagi dua, masing-masing 1/2
bagian untuk pancang A, dan 1/2 bagian selebihnya untuk pancang
B. Pembagian dalam pancang A dibagi diantara C dan D, masing-
masing 1/2 x 1/2 atau masing-masing mendapat 1/4. Sedangkan
pembagian warisan dalam pancang B dibagi diantara E, F dan G,
masing-masing mendapatkan 1/3 x 1/2, atau 1/6 bagian.
c. Kedudukan ahliwaris pengganti
Pasal 841 KUH.Perdata menyebutkan, bahwa :"Pergantian
memberi hak kepada seorang yang mengganti, untuk bertindak
sebagai pengganti, dalam derajat dan dalam segala hak orang yang
diganti".
Kedudukan ahliwaris pengganti adalah seperti kedudukan
ahliwaris yang digantikan tempatnya, baik dalam derajat maupun hak
bagiannya atas harta warisan. Maksud kata “derajat” dalam hal ini
adalah ahliwaris pengganti menempati posisi derajat orang yang
digantikan tempatnya. Seorang cucu adalah keluarga sedarah derajat
2, sedangkan anak adalah keluarga sedarah derajat 1. Apabila cucu
mewaris berdasarkan penggantian tempat dengan menggantikan
anak yang telah meninggal lebih dulu dari pewarisnya, maka cucu
naik derajatnya menjadi derajat 1 dan disamakan dengan seorang
anak.

38
Untuk jelasnya lihat skema di bawah ini:

A B

C D E F G
P meninggal dunia dengan meninggalkan keluarga sedarah terdiri
dari dua orang anak yaitu A dan B, dan meninggalkan 5 orang cucu
yaitu C, D, E, F dan G. Akan tetapi anak-anak P yaitu A telah
meninggal lebih dahulu dari P, sedangkan B menolak warisan atau
tidak patut mewaris. Dalam peristiwa seperti ini, ahliwaris P adalah
para cucu atau keturunan A, yaitu C dan D yang mewaris atas dasar
penggantian tempat, dan masing-masing mendapatkan 1/2 bagian.
Sedangkan para cucu P yang lain yaitu E, F dan G tidak dapat
mewaris atas dasar penggantian tempat karena B masih hidup, dan
juga tidak dapat mewaris atas dasar kedudukan sendiri, karena
tertutup oleh C dan D. Ingat ketentuan Pasal 841 bahwa ahliwaris
mengganti menggantikan derajat orang yang digantikan tempatnya,
sehingga walaupun C dan D sebetulnya keluarga sedarah derajat 2,
akan tetapi dalam pewarisan berdasar penggantian tempat, mereka
naik derajatnya menempati derajat orang yang digantikan tempatnya.
d. Syarat Penggantian Tempat
1) Orang yang akan digantikan tempatnya harus orang yang telah
meninggal lebih dahulu dari pewaris.
Dalam Pasal 847 disebutkan bahwa tiada seorangpun
diperbolehkan bertindak untuk orang masih hidup selaku
penggantinya. Dalam pewarisan undang-undang berlaku asas
bahwa mereka yang mempunyai hubungan darah terdekatlah
yang mewaris, keluarga sedarah yang lebih dekat menutup
keluarga sedarah yang lebih jauh. Akan tetapi terhadap prinsip
ini disimpangi oleh undang-undang dengan adanya pewarisan
berdasar penggantian tempat, yaitu terjadinya pewarisan
bersama diantara orang yang berbeda hubungan
perderajatannya. Pergantian hanya dimungkinkan dalam hal
terdapat seorang --- yang seandainya hidup adalah ahliwaris ---
yang telah mati lebih dulu dari pewarisnya, digantikan
tempatnya oleh keturunannya yang sah. Dengan demikian
seorang yang menolak ataupun tidak patut mewaris

39
(onwaardigheid) dan masih hidup tidak dapat digantikan
tempatnya.
2) Orang yang menggantikan tempat adalah keturunan sah dari
ahliwaris yang digantikan tempatnya.
Hanya keturunan sah yang dapat bertindak sebagai
ahliwaris pengganti, ini bararti keturunan luar kawin tidak dapat
bertindak sebagai waris pengganti. Begitu pula tidak dikenal
adanya penggantian tempat bagi keluarga sedarah dalam garis
ke atas (Pasal 843).
3) Orang yang menggantikan tempat harus memenuhi syarat
sebagai ahliwaris.
Setiap orang yang akan bertindak sebagai ahliwaris
pengganti, harus memenuhi syarat sebagai ahliwaris --- seperti
tidak menolak warisan, tidak termasuk orang --- yang tidak
patut mewaris dan sebagainya --- terhadap pewaris. Tidak
masalah apakah waris pengganti merupakan ahliwaris (yang
berhak mewaris) dari orang yang digantikan tempatnya ataukah
tidak. Lihat skema di bawah ini :

A B

C D

P meninggal dunia dengan meninggalkan 2 orang anak, yaitu A


dan B, akan tetapi A telah meninggal lebih dulu dari P. pada
saat meninggalnya A, anak-anak A yaitu C dan D menolak harta
warisan A. Dalam peritiwa di atas, C dan D yang menolak
warisan A --- dengan demikian bukan ahliwaris A --- namun
demikian tidak menghalangi C dan D untuk betindak sebagai
waris pengganti menggantikan tempatnya A mewaris dari harta
warisan P. Pembagian atas harta warisan P adalah C dan D
masing-masing mendapat 1/4 bagian, dan B mendapat 1/2
bagian.
e. Bentuk-bentuk Penggantian Tempat
Dalam KUH. Perdata dikenal adanya tiga bentuk penggantian
tempat, yaitu :

40
1) Penggantian tempat bagi keturunan anak pewaris
(ahliwaris golongan 1)
Penggantian tempat di antara keturunan anak pewaris
berlangsung terus tiada akhimya (Pasal 842), sampai derajat
keberapapun penggantian tempat dimungkinkan.
Skema :

A B

D E

A dan C mati lebih dulu dari P, maka D dan E mewaris


menggantikan tempat A untuk mewaris harta warisan P
bersama dengan B.
2) Penggantian tempat bagi keturunan saudara
Dalam Pasal 844 disebutkan, bahwa :”Dalam garis
menyimpang pergantian diperbolehkan atas keuntungan
sekalian anak dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan
yang telah meninggal terlebih dahulu . . .”.
Apabila terdapat seorang saudara yang muncul sebagai
ahliwaris (ahliwaris golongan 2), saudara mana telah meninggal
lebih dahulu dari pewarisnya, maka kedudukannya dapat
digantikan oleh keturunannya yang sah. Akan tetapi pewarisan
bagi keturunan saudara ini dibatasi hanya sampai derajat ke-
enam, lebih dari derajat enam tidak berhak mewaris. Hal ini
diatur dalam Pasal 861 ayat (1) yang menyebutkan, bahwa
:"Keluarga sedarah yang dengan si meninggal bertalian keluarga
dalam garis menyimpang lebih dari derajat ke-enam, tak
mewaris".

41
Skema:

A B

C D
Dalam gambar skema ini, A mati lebih dulu dari P, maka
pembagian warisannya adalah B mendapat 1/2 bagian dan C, D
rnasing-masing 1/4 bagian.

Skema:

A B

C D E

Dalam gambar skema ini, A dan B mati lebih dulu dari P, maka
C mewaris 1/2 bagian dan D, E masing-masing mendapat 1/4
bagian.

Skema:

P A B

A
C D

E F

G H

I J

K L

42
Dalam gambar di atas, I merupakan keturunan saudara dalam
derajat 6, sedangkan K dan L dalam derajat 7; maka ahliwaris P
adalah I untuk seluruh warisan.

Skema:

J K L M

A B
2

P C
3

D
4
E
5

H I

Dalam gambar di atas A, B, C; D, E, F dan G telah meninggal


lebih dulu dari P, maka muncullah J, K, L dan M sebagai
ahliwaris golongan 3; sedangkan H dan I yang merupakan
ahliwaris golongan 2 tidak berhak mewaris karena berada pada
derajat 7.
3) Penggantian tempat dalam garis ke samping yang lain
Terdapat satu lagi bentuk penggantian tempat, yaitu
diantara ahliwaris golongan 4, misalnya keturunan paman dan
bibi pewaris, keturunan saudara kakek dan nenek dan
seterusnya. Untuk adanya penggantian tempat pada ahliwaris
golongan 4, harus dipenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal
845 KUH. Perdata, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam hal
ini terdapat penggantian tempat yang bersyarat. Hanya apabila
syarat tersebut dipenuhi, maka penggantian tempat
dimungkinkan, namun apabila tidak dipenuhi syaratnya, maka
tidak dimungkinkan adanya penggantian tempat. Oleh karena
itu dapat pula dikatakan bahwa diantara ahliwaris golongan 4
sebetulnya tidak dikenal adanya pewarisan berdasar
penggantian tempat, kecuali apabila syarat dalam Pasal 845
terpenuhi.

43
Dalam Pasal 845 disebutkan bahwa :"Pergantian dalam
garis menyimpang diperbolehkan juga dalam pewarisan bagi
para keponakan, ialah dalam hal bilamana di samping
keponakan yang bertalian keluarga sedarah terdekat dengan si
meninggal, masih ada anak-anak dan keturunan saudara laki-
laki atau perempuan darinya, saudara-saudara mana telah
meninggal lebih dahulu".
Kata "keponakan" dalam pasal di atas dapat
menimbulkan pengertian yang keliru, karena dalam bahasa
sehari-hari kata keponakan digunakan untuk menunjuk anak
dari saudara. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah para
keturunan paman dan bibi, para keturunan saudara kakek dan
nenek dan seterusnya, yang dinamakan ahliwaris golongan 4.
Oleh karena itu kata "keponakan" dalam pasal tersebut harus
dibaca sebagai "para ahliwaris golongan 4".
Untuk mengetahui ada tidaknya penggantian tempat,
harus diketahui lebih dulu siapa keluarga sedarah --- ahliwaris
golongan 4 --- yang mempunyai hubungan darah terdekat,
misalnya kita beri nama X Selanjutnya dicari apakah X
mempunyai saudara yang telah meninggal lebih dulu dari
pewaris dan meninggalkan keturunan. Karena hanya keturunan
saudara X-lah yang dapat muncul sebagai waris pengganti.

Untuk jelasnya lihat skema di bawah ini :

A B C

P D E F

G H I J

Dalam gambar di atas, keluarga sedarah terdekatnya adalah D


sebagai satu-satunya ahliwaris, sedangkan G, H, I, J tidak dapat
mewaris dengan penggantian tempat karena bukan keturunan
saudara D.
Contoh lain:

44
A B C

P D E F

G H I J K

Keluarga sedarah terdekat adalah D sedang G dan H adalah


keturunan E yang merupakan saudaranya D, sehingga behak
mewaris atas penggantian tempat. Lain halnya dengan I, J dan
K karena merupakan keturunan F dan F bukan saudaranya D,
maka tidak dapat bertindak sebagai ahliwaris pengganti.

C. PRINSIP UMUM PEWARISAN MENURUT UNDANG-


UNDANG
1. Ketentuan Umum
Pewarisan undang-undang didasarkan pada adanya
hubungan darah antara pewaris dengan ahliwarisnya, pada dasarnya
hanya mereka yang mempunyai hubungan darahlah yang dapat
bertindak sebagai ahliwaris. Hubungan darah dibedakan menjadi
hubungan darah sah dan hubungan darah luar kawin. Hubungan
darah sah adalah pertalian keluarga antara beberapa orang yang
mana orang yang satu merupakan keturunan yang lain atau karena
mareka mempunyai nenek moyang atau leluhur yang sama (Pasal
290). Hubungan darah sah dibedakan menjadi keluarga sedarah
dalam garis lurus, meliputi garis lurus ke atas dan garis lurus ke
bawah dan keluarga sedarah dalam garis ke samping atau
menyimpang.
Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas adalah hubungan
kekeluargaan dari seseorang menuju para leluhurnya, mulai orang
tua, kakek nenek dan seterusnya dalam garis lurus ke atas. Dalam
bahasa Indonesia tidak dikenal nama-nama leluhur seseorang
sesudah kakek nenek, berbeda halnya dengan bahasa Jawa yang
mengenal penyebutannya, seperti : (wong tua, embah atau eyang,
buyut, canggah, uthek-uthek, gantung siwur dan seterusnya), yang
mengenal panyebutan keluarga sedarah sampai derajat ke-dua belas.
Keluarga sedarah dalam garis lurus ke bawah adalah
hubungan kekeluargaan dari seseorang menuju para keturunannya

45
lebih lanjut, seperti : anak, cucu , cicit dan seterusnya dalam garis
lurus ke bawah. Sedangkan hubungan darah dalam garis ke samping
(menyimpang) seperti hubungan antara dua orang saudara, hal ini
karena adanya persamaan orang tua, hubungan antara paman dan
keponakan karena adanya persamaan leluhur yaitu orang tua si
paman atau kakek nenek si keponakan dan seterusnya keluarga
dalam garis ke samping.
Pertalian keluarga sedarah --- jauh dekatnya hubungan darah
--- dihitung berdasar jumlah kelahiran dan tiap kelahiran dinamakan
derajat. Dengan adanya hubungan darah, menjadikan seseorang
mempunyai kualitas sebagai ahliwaris, akan tetapi tidak berarti
bahwa ia benar-benar akan memperoleh bagian atas harta warisan.
Agar benar-benar mendapat hak bagian atas harta warisan,
diperlukan syarat-syarat lebih lanjut, yaitu berdasarkan prinsip
golongan ahliwaris dan prinsip hubungan perderajatan.
Dalam KUH. Perdata, para keluarga sedarah sah
dikelompokkan dalam 4 (empat) kelompok ahliwaris berdasarkan
urutan hak mewarisnya. Kelompok-kelompok tersebut --- untuk
memudahkan penyebutannya --- dalam literatur disebut sebagai
golongan-golongan ahliwaris, sehingga terdapat ahliwaris golongan
1, 2, 3 dan 4.
Selain hubungan darah, yang dapat menimbulkan hubungan
pewarisan adalah hubungan perkawinan, yaitu berkedudukan sebagai
suami atau isteri pewaris. Pada mulanya suami atau isteri bukanlah
ahliwaris atau ahliwaris dengan hak yang sangat terbatas.
Berdasarkan KUH. Perdata yang lama (sebelum 1 Januari 1936),
suami atau isteri baru tampil mewaris kalau pewaris tidak lagi
meninggalkan keluarga sedarah sampai derajat ke-12; oleh karena itu
hampir tidak pernah suami atau isteri mewaris dari harta warisan
isteri atau suaminya 13. Sulit dibayangkan --- khususnya untuk orang-
orang jaman sekarang --- tentang keluarga sedarah dalam derajat ke-
12. Pada jaman sekarang ini, hubungan kekeluargaan sudah semakin
renggang, jangankan keluarga dalam derajat ke-12, bahkan keluarga
sampai derajat keenam saja sudah banyak yang tidak mengenal satu
sama lain. Dengan adanya S. 1935 No. 486 yang mulai berlaku sejak
1 Januari 1936 diadakan perubahan terhadap Pasal 832 dan
penambahan dalam Pasal 852 a dan b, sehingga kedudukan suami
atau isteri dalam pewarisan dipersamakan dengan kedudukan
seorang anak sah. Kedudukan seorang anak sah dalam pewarisan
adalah sebagai ahliwaris yang paling utama dan terpanggil pertama
kali untuk mewaris (termasuk ahliwaris golongan 1, derajat 1), maka

13
J. Satrio, op.cit, hlm 94, dan Pitlo, Jilid 1, 1986, hlm 43-44.

46
sekarang kedudukan suami atau isteri juga sebagai ahliwaris yang
utama dan pertama terpanggil mewaris dalam pewarisan undang--
undang.
Selain mereka yang tersebut di atas, masih terdapat
kelompok ahliwaris yang lain yaitu para keturunan luar kawin.
Menurut KUH. Perdata anak luar kawin hanya mempunyai
hubungan hukum dengan orang tua yang “mengakuinya”, dan tidak
mempunyai hubungan hukum dengan keluarga sedarah orang
tuanya. Anak luar kawin tidak termasuk dalam salah satu golongan
ahliwaris, melainkan sebagai kelompok ahliwaris tersendiri. Anak
luar kawin dapat mewaris bersama dengan para keluarga sedarah sah
dari golongan manapun, semakin dekat keluarga sedarah sah yang
menjadi kawan waris anak luar kawin, semakin kecil hak bagian anak
luar kawin dalam pewarisan. Sebaliknya semakin jauh hubungan
kekeluargaan dari keluarga sedarah sah yang jadi kawan waris anak
luar kawin, maka semakin besar hak bagian anak luar kawin.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 melalui Pasal 43
membuat perubahan terhadap kedudukan hukum anak luar kawin,
yaitu otomatis mempunyai hubungan hukum dengan ibunya bahkan
lebih lanjut dengan keluarga sedarah ibunya. Akan tetapi bagaimana
pengaturan lebih lanjut --- sebagai konsekuensi dari perubahan
tersebut --- sampai sekarang belum ada peraturan pelaksanaannya.
2. Prinsip Golongan Ahliwaris
Pewarisan diantara keluarga sedarah sah dan suami atau
isteri yang hidup terlama, diatur dengan menggunakan prinsip
golongan ahliwaris. Para keluarga sedarah sah dan suami isteri,
dikelompokkan dalam 4 (empat) golongan ahliwaris yaitu :
a. ahliwaris golongan 1 : anak atau keturunannya dan suami atau
isteri pewaris;
b. ahliwaris golongan 2 : orang tua dan saudara (terdiri dari
kandung dan saudara tiri),
c. ahliwaris golongan 3 : kakek nenek dan leluhur lebih lanjut;
d. ahliwaris golongan 4 : paman bibi dan keluarga sedarah dalam
garis kesamping yang lain dan sekalian
keturunannya.
Dalam prinsip golongan berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. golongan yang lebih dekat menutup golongan yang lebih jauh;
b. golongan yang lebih jauh baru muncul mewaris, kalau pewaris
sudah tidak meninggalkan keluarga sedarah dari golongan yang
lebih dekat dan yang berhak mewaris;
c. kalau masih ada ahliwaris golongan 1, maka ahliwaris golongan
2 tidak dapat muncul mewaris, ahliwaris golongan 2 baru

47
muncul mewaris kalau pewaris tidak lagi meninggalkan
ahliwaris golongan 1, baik karena memang tidak ada/punah
atau semuanya kehilangan hak mewaris;
d. ahliwaris golongan 3 baru muncul mewaris, apabila pewaris
tidak meninggalkan ahliwaris golongan 1 dan 2;
e. ahliwaris golongan 4 baru muncul mewaris, apabila pewaris
tidak meninggalkan ahliwaris golongan 1, 2 dan 3; dan
f. diantara orang yang berbeda golongan tidak dapat mewaris
bersama.
Terhadap prinsip golongan ahliwaris di atas terdapat
pengecualian, yaitu dalam pewarisan golongan 3 dan/atau 4, yang
mana dimungkinkan terjadinya pewarisan bersama diantara orang-
orang yang berbeda golongan warisnya (3 dan 4), kalau mereka
berada dalam garis yang berbeda, satu pihak berada dalam garis ayah
dan pihak lain berada dalam garis ibu. Hal ini terjadi sebagai akibat
adanya kloving sebagaimana diatur dalarn Pasal 850 KUH. Perdata.
3. Prinsip Hubungan Perderajatan
Setelah para keluarga sedarah dikelompokkan dalam
golongan-golongan ahliwaris, selanjutnya diseleksi lagi berdasarkan
prinsip hubungan perderajatan. Hubungan perderajatan adalah
hubungan yang menunjukkan jauh dekatnya hubungan darah antara
seseorang dengan orang lain, dalam hubungannya dengan pewarisan
adalah hubungan antara ahliwaris dengan pewarisnya. Hubungan
perderajatan dihitung berdasarkan jumlah kelahiran, dan tiap
kelahiran dinamakan derajat.
Dalam prinsip hubungan perderajatan berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. derajat yang lebih dekat menutup derajat yang lebih jauh;
b. derajat yang lebih jauh baru muncul mewaris, kalau pewaris
sudah tidak meninggalkan keluarga sedarah dari derajat yang
lebih dekat dan yang berhak mewaris;
c. kalau masih ada ahliwaris derajat 1, maka ahliwaris derajat 2
tidak dapat muncul mewaris, ahliwaris derajat 2 baru muncul
mewaris kalau pewaris tidak lagi meninggalkan ahliwaris derajat
1, baik karena memang tidak ada/punah atau semuanya
kehilangan hak mewaris; dan begitu seterusnya
d. diantara orang yang berbeda derajat tidak dapat mewaris
bersama.
Terhadap prinsip hubungan perderajatan di atas terdapat
pengecualian, yaitu dalam pewarisan berdasarkan penggantian
tempat, dalam pewarisan golongan 2 dan pewarisan golongan 3
dan/atau 4, yang mana dimungkinkan terjadinya pewarisan bersama

48
diantara orang-orang yang berbeda hubungan perderajatannya.
Akibat adanya penggantian tempat, orang yang berbeda derajat bisa
mewaris bersama, seorang anak bisa mewaris bersama dengan cucu
yang mewaris atas dasar penggantian tempat, seorang paman bisa
mewaris bersama dengan keponakan yang mewaris atas dasar
penggantian tempat.
Dalam pewarisan golongan 2, terdapat orang tua yang
merupakan keluarga sedarah derajat 1, akan tetapi mewaris bersama
dengan para saudara yang merupakan keluarga sedarah derajat 2. Hal
ini memang undang-undang yang membuat pengecualian terhadap
prinsip hubungan perderajatan. Begitu pula dalam pewarisan
diantara ahliwaris golongan 3 dan/atau 4, walaupun berbeda
hubungan perderajatan, kalau mereka berada dalam garis yang
berbeda, satu pihak berada dalam garis ayah dan pihak lain berada
dalam garis ibu, mereka bisa mewaris bersama. Hal ini terjadi
sebagai akibat adanya kloving sebagaimana diatur dalarn Pasal 850
KUH. Perdata.
a. Hubungan perderajatan dalam garis lurus
Cara menghitung hubungan perderajatan diantara para
keluarga sedarah dalam garis lurus, dilakukan dengan menghitung
jumlah kelahiran dari orang yang satu menuju orang lain yang akan
dihitung derajatnya. Orang tua menuju anak melalui satu kelahiran,
maka disebut sebagai derajat 1, antara kakek menuju cucu melalui
dua kelahiran, maka disebut sebagai derajat 2. Antara buyut menuju
cicit melalui 3 kelahiran, disebut derajat 3.
Skema:

A B

D E

P menuju A dan B adalah hubungan antara orang tua dengan anak,


melalui satu kelahiran sehingga disebut keluarga sedarah derajat 1. P
menuju C adalah hubungan antara kakek dengan cucu, melalui dua
peristiwa kelahiran, sehingga disebut keluarga sedarah derajat 2.
Adapun antara P menuju D dan E adalah hubungan antara Buyut

49
dengan cicitnya melalui 3 peristiwa kelahiran, sehingga disebut
keluarga sedarah derajat 3.
b. Hubungan perderajatan dalam garis ke samping atau
menyimpang
Cara menghitung hubungan perderajatan diantara keluarga
sedarah dalam garis menyimpang, dilakukan dengan menghitung
jumlah kelahiran dari orang yang satu menuju leluhurnya, dan
kemudian dari leluhur menuju orang lain yang akan dihitung
hubungan perderajatannya. Misalnya hubungan diantara para
saudara, maka dihitung jumlah kelahiran dari saudara menuju orang
tua, dan dari orang tua menuju saudaranya, sehingga hubungan
perderajatan diantara para saudara adalah derajat 2. Hubungan
antara paman dengan keponakan berada pada derajat 3.
Skema:

A B

C D E F G
Keterangan:
Antara A dan B adalah dua orang saudara, untuk menghitung
hubungan perderajatannya, dihitung jumlah kelahiran dari A menuju
orang tua (satu kelahiran), dan dari orang tua menuju B (satu
kelahiran), maka hubungan derajat antara A dan B adalah derajat 2.
Derajat 2 ini merupakan derajat terdekat diantara para keluarga
sedarah dalam garis menyimpang.
Antara A menuju E, F dan G adalah hubungan keluarga sedarah
derajat 3, yaitu dengan menghitung jumlah kelahiran dari A menuju
orang tua (X) (satu kelahiran), dan dari X menuju E, F dan G (dua
kelahiran).
Dari C dan D menuju E, F dan G adalah melalui 4 peristiwa
kelahiran, maka dinamakan keluarga sedarah derajat 4.

--------------------------------------

50
LATIHAN SOAL:

1. Jelaskan yang dimaksud hak saisene dan hak hereditatis petitio.


2. Jelaskan akibat hukum tindakan penerimaan murni, penerimaan
bersyarat dan penolakan atas suatu warisan.
3. Jelaskan hak-hak seorang ahliwaris pengganti.
4. Jelaskan yang dimaksud dengan prinsip golongan ahliwaris dan
prinsip hubungan perderajatan.

RINGKASAN:

Mewaris dalam KUH Perdata tidak berarti selalu


menguntungkan, adakalanya justru timbul kerugian, yaitu apabila
harta warisan lebih besar pasivanya dibandingkan dengan aktiva
warisan yang ada. Oleh karena itu undang-undang memberikan
kebebasan kepada para ahliwaris untuk mengambil sikap terhadap
harta warisan yang disebut dengan hak umum ahliwaris, yang terdiri
dari: hak untuk berpikir, menerima warisan secara benefisier,
menerima secara murni, menolak warisan dan menuntut pembagian
warisan. Selain itu ahliwaris juga mempunyai hak yang sifatnya
khususm yaitu hak saisine dan hak hereditatis petitio. Hak saisine
adalah hak ahliwaris untuk menjadi pemilik atas harta warisan yang
terjadi seketika, secara otomatis dan demi hukum sejak saat matinya
pewaris. Sedangkan hereditatis petitio adalah hak tuntut yang
dimiliki oleh ahliwaris untuk mempertahankan haknya atas harta
warisan.
Pewarisan undang-undang merupakan pembagian warisan
yang didasarkan pada ketentuan pewarisan dalam KUH Perdata.
Aturan ini berlaku sepanjang pewaris tidak menetapkan atau
mengatur sendiri pembagian warisannya melalui surat wasiat.
Pembagian warisan diantara ahliwaris undang-undang didasarkan
pada dua prinsip pokok, yaitu prinsip golongan ahliwaris, dan
prinsip hubungan perderajatan. Dalam prinsip golongan ahliwaris,
para keluarga sedarah dan suami atau isteri dikelompokkan dalam 4
kelompok ahliwaris berdasarkan urutan hak mewaris, sehingga
dikenal dengan ahliwaris golongan 1, golongan 2, golongan 3 dan
golongan 4. Selanjutnya di dalam tiap-tiap golongan diatur lagi
berdasarkan prinsip hubungan perderajatan, yaitu hubungan yang
menunjukkan jauh dekatnya hubungan kekeluargaan diantara para
keluarga sedarah.

51

Anda mungkin juga menyukai